Sebelumnya...
(Pelelangan Hobbs Parker, kota London)
22 Maret 1999 | Pukul (GMT) 08.00 pagi
Flashback. Di sebuah
showroom pelelangan mewah di pusat kota
London.
Barry beralih menuju pelelangan property-property mahal yang dipamerkan. Kapal pesiar,
Private-Jet, juga mobil-mobil klasik tahun 60-80an senilai ratusan ribu US dollar.
Tidak sendirian, ada seorang petugas pelelangan yang terlihat masam di sebelah, muak mencatat semua omong kosongnya.
( )
“Yacht Fincantieri 3 dek disana, kirim saja ke Karibia. Juga yang dibelakangnya, aku mau di Santorini, Yunani.” kata Barry, khas dengan nada angkuh kepada petugas tagihan tadi.
Petugas ini sempat meliriknya sesaat.
“Damn it, Sir, who are you, 2 ships at once at a price of US $ 1,300,000 ? (memang siapa kau mau membeli 2 kapal sekaligus di harga 18 Milyar Rupiah?)”
Seolah mengasingkan keberadaan Barry. Tapi Barry sendiri tidak terkejut, tidak juga merasa terhina. Sudah biasa melihat reaksi orang-orang arogan tapi miskin seperti mereka. Malah membuat si tukang catat makin terkejut.
“Aku mau mobil klasik,
Bentley 4.5 liter dibelakang tadi, juga
Aston Martin DB4 GT Zagato itu dikirim ke Tennesse. Oh iya, juga
E-Type Lightweight metallic satunya.” imbuhnya, tidak peduli.
“Sir, Oh my god. Jangan buang-buang waktuku—”
“Angelo !” panggil Barry kepada salah satu pengawalnya yang tengah merokok di depan
showroom.
Si pengawal bertampang latin segera menghampirinya. Sambil berbisik dan diakhiri dengan anggukan ‘paham’ si pengawal Angelo.
“Tolong bayar semua yang tercatat disana. Oh iya, juga tolong bayar istri… Tn. Elton?” katanya sambil melirik tag nama si pencatat itu. “Tolong tawarkan istri Tn. Elton sebuah
penthouse di
Los Angeles, dengan syarat ‘biji’ ku harus bersih tiap jam 1 siang.”
“Yes sir…” jawab Angelo
.
Seketika si petugas lelang tadi dibuat tak berkutik saat Angelo membayar semua tagihan barang lelang tadi secara
cash ! Ia lantas berlari mendekati Barry.
“Sir ! Sir ! please forgive me. Saya hanya lelah seharian bertemu orang-orang menyedihkan—”
Langsung dipotong Barry.
“—Hey-hey, Kau sendiri jauh lebih menyedihkan!”
‘Ctik! Ctik!’, Barry menyalakan rokok dan menghisapnya sedalam mungkin.
“Berikan kunci
Lightweight, aku ada urusan!” katanya disusul gerakan cepat si petugas yang kembali dengan kunci mobil yang baru saja sah jadi koleksinya.
“Ningrat sialan, dasar orang-orang konservatif tak tau diri…” - Barry
Seraya menyebulkan asap rokoknya.
“Angelo ! kau bisa cuti 2 hari. Kita bertemu lagi lusa.”
Sebelum sempat membuka kenop pintu. Angelo menceluk kepadanya. “Sir, barusan saja ada panggilan dari nona Luciana dari salerno, apa harus kuangkat?”
‘Hsshhh...
Fyuhhh~’ Barry rokoknya sedalam mungkin.
“Panggilan masuk ? Apakah berulang?” Barry menyelidik, tidak seperti biasanya. Cepat sekali perempuan itu berubah pikiran.
“Tidak ada panggilan berulang pak
. Just one call today.”
“Kalau cuma urusan anggur, biarkan saja, pastikan bisnis itu langsung ke kantor saja. Aku punya urusan lebih penting, jika ia menelpon lagi. Sambungkan langsung.”
“Alright sir !” balas Angelo
‘Grngggggggg!’
(Menutup pintu mobil, dan berlalu…)
Belum sempat menemui tikungan pertama jalan
Ashford, pikiran Barry mengawang, teringat akan sesuatu. Seperti saat ini, beberapa tahun silam dimasa penugasan.
Mobil balap tua, dengan seorang sahabat karibnya dari Berlin Timur, duduk di balik kemudi. 2 hal yang memberinya alasan untuk tetap teguh, memilih jalan hidupnya.
18 tahun berlalu, semenjak kematian janggal sahabatnya,
Anton Raeder Leonides (32) adalah teka-teki pertama yang harus diselesaikan terlebih dahulu.
Melirik ke arah buku catatan kecil diatas
Dashboard, satu-satunya peninggalan mendiang sang kolega. Tertera kontak, alamat kantor dan foto usang saudari perempuan Anton Leonides.
Alamatnya...
Dresden, Jerman.
‘Tuttt... Tutt... Tuutt...’, suara panggilan telepon.
“Ya halo, bisa tolong kirim pesan ku kepada saudarinya... Oh ya. Pertemuan di
Frankfurt atau
Leipzig, minggu depan. Denganku sendiri. Barry, sahabat, saudaramu.” Barry dari ponselnya, mengucapkan perlahan, dengan mata berseri dari balik kaca mata.
(Markas ‘Ramstein’ NATO, kota Frankfurt)
25 Maret 1999 | Pukul (UTC+1) 09.15 pagi
Pagi waktu setempat. Saat beberapa tamu negara duduk bersama.
Pertemuan rahasia. Nama-nama tenar tokoh militer dari organisasi pakta keamanan rival Uni Soviet ini terus berdatangan sejak pukul 07.00 pagi tadi.
Agenda mereka hari ini adalah membahas serangan udara yang baru saja mereka lancarkan ke
Beograd, Yugoslavia.
Hanya berselang sehari, serangan tanpa koordinasi PBB ini, membuat mereka menuai hujatan dan kecaman dari berbagai media, surat kabar, dan para pemimpin dunia.
Di hadapan para delegasi negara anggota NATO, seseorang lelaki menyampaikan tanggapannya dengan berapi-api.
George Robertson (53) adalah seorang politikus, diplomat, serta anggota ‘DPR’ asal inggris yang saat itu dipromosikan sebagai kandidat terkuat sekjen
NATO periode 1999-2004.
Sementara George berpidato panjang lebar, beberapa peserta terlihat meminta interupsi. Sekedar menyampaikan usul karena merasa aksi mereka sudah ‘kelewatan’.
Mayoritas warga sipil dan anak-anak pasti akan menjadi korban atas serangan udara itu.
Pun Amerika Serikat dan Inggris berdalih bahwa keputusan kontroversial ini ‘hanya’ menarget gudang dan fasilitas persenjataan
FR Yugoslavia saja.
“Bukankah kita berbicara tentang gencatan senjata dalam perang bola salju ? Perang Yugoslavia, adalah kejahatan terhadap kemanusiaan selama hampir 10 tahun !” - George Robertson, pidato pertemuan NATO, 25 Maret 1999.
Bantah George kepada beberapa media Amerika yang diundang secara terbatas...
Dari meja miliknya. Seorang staf wanita
US embassy (dubes Amerika Serikat) serius mencatat berita acara yang akan ia kirim FAX ke kantor di
Leipzig.
Sudah hampir sejam ia mendengar seluruh perdebatan omong kosong yang terjadi antara tamu undangan.
Perwakilan Dubes asal Prancis misalnya, ia tidak setuju dengan agenda serangan ini sejak awal.
“Kita selalu bertanya ? Apa yang bisa dijadikan alasan kalau aksi ini (serangan udara) disebut menghalangi kemanusiaan. Bukankah itu langkah terakhir yang sudah kita rundingkan dengan Yugoslavia ?” - George Robertson (53), sekjen NATO 1999-2004
Beberapa tamu langsung
walkout, setelah voting yang dikumpulkan mayoritas mengambil keputusan untuk memperpanjang durasi serangan udara ke Belgrade, setidaknya sampai rezim pemerintahan Sloboban menyerah.
( )
“Pak ! Maaf Pertanyaan sekaligus informasi penting...” seorang delegasi asal Inggris terlihat mengangkat tangannya untuk interupsi.
Beberapa peserta rapat juga kawanan media segera beralih, langsung menyorot sebuah pernyataan yang menarik saat itu.
“Ada informasi yang sudah diperoleh para sukarelawan kita di
Pristina maupun di
Belgrade. Mengenai keberadaan seseorang, atau bisa dicurigai sebagai intelijen mata-mata Rusia, hadir untuk bernegosiasi dengan para pejabat tinggi militer Beograd, perihal transaksi senjata kimia. Bagaimana tanggapan anda ? Dan Bagaimana seharusnya kita menyikapinya? Terima kasih!”
Melalui tampilan proyektor dan siaran audio.
Para peserta rapat diperlihatkan dengan sebuah rekaman kamera amatir, juga CCTV balaikota belgrade saat beberapa tamu delegasi asal Rusia dijamu makan malam, di tengah-tengah seorang jenderal Serbia.
Acara ini berlangsung beberapa minggu lalu. Rekaman suara juga mampu menyadap topik pembicaraan mereka, yang menyebutkan bahwa Rusia selalu berkomitmen bersama Yugoslavia untuk memberantas musuh-musuh teroris negara (KLA / teroris buatan AS dkk).
Termasuk, untuk memfasilitasi, mendanai proyek senjata, obatan-obatan, penambahan milisi asing, dll.
“Apapun dalih dan bantahan atas segala tuduhan. Serangan mereka ke Beograd, mau dicatat sejarah atau tidak, ini jelas melanggar HAM, dilihat dari sisi manapun. Satu dosa NATO yang akan jadi duri dalam daging bagi para korban!”
Protes seorang perwakilan delegasi, menyuarakan pesimisme tujuan penyerangan ini.