Bab 2
Dering telepon bergema dengan lantangnya di kamar Lani. Ia pun segera menjulurkan tangannya untuk mengangkat telepon yang terletak pada meja kecil di sebelahnya.
"Halo ?" Sapanya dengan setengah malas.
"Ini Dinar." Jawab Dinar di ujung sana. "Aku tak bisa tidur. Bisakah kamu kemari ? Kita bisa melanjutkan perbincangan di sini."
"Baiklah." Ucap Lani setengah heran. Ia masih berpikir, mengapa Dinar tak berbicara dengannya lewat telepon saja ?
"Aku tunggu kamu di sini." Timpal Dinar.
Seketika saja Lani menyadari sesuatu.
"Tunggu, jangan ditutup dulu teleponnya !"
"Ada apa ?" Dinar terdengar seperti terkejut.
"Berapa nomor kamarmu ? Aku belum tahu."
"Oh iya. 1255."
Lani terdiam lama.
"Halo ?” Sapa Dinar. “Kamu masih bangun ?"
"Iya." Kata Lani. "Aku akan segera ke sana."
Ia menutup panggilan dan membiarkan pikirannya mengalun sejenak. 1255. Angka tersebut mengingatkan dirinya akan seseorang yang spesial di dalam hidupnya. Ia sudah lama tak menemui orang itu. Mungkin, orang itulah yang menyebabkan hatinya begitu resah hari ini.
Ia kemudian bergegas bangkit dari tempat tidurnya, mengambil jaket, kacamata, mencabut kartu hotel dari tempat yang menyalakan listrik untuk seisi kamar, lalu pergi meninggalkan kamar itu.
------
Lani sudah berada di depan kamar Dinar. Ia memencet tombol bel pada saklar berwarna putih yang berada tepat di sebelah kanan pintu kamar Dinar.
"Housekeeping !" Ucap Lani bercanda. Ia lantas mendengar suara langkah kaki seseorang yang mendekat ke arah pintu. Pintu pun lalu terbuka.
"Hai." Sapanya. Dinar yang sudah membuka pintu tak membalas sapaan itu. Ia hanya terperanjat memandangi Lani.
Lani mengernyit. Ia merasa aneh. Tidak ada yang istimewa dari penampilannya: rambutnya digerai lurus hingga menyentuh area punggung, dan kacamatanya masih setia melindungi kedua matanya. Atau justru penampilan tanpa make upnya yang terlihat janggal ?
"Nar ?"
"Mmmmm...." Dinar menggeleng - gelengkan kepalanya.
"Kamu kenapa ?" Tanya Lani.
"Tidak. Masuklah. Duduk saja di tempat tidur." Jawab Dinar sembari membuka pintu kamar lebih lebar dan mempersilahkan Lani untuk masuk. Lani pun melangkahkan kakinya kedalam kamar, menaruh kartu kamar hotelnya di meja dan segera duduk di tempat tidur; sementara Dinar menutup pintu dan tetap berdiri disana, mematung. Kedua bola matanya tak pernah lepas dari wajah Lani.
"Serius, kamu kenapa ?"
"Kamu cantik sekali."
"Cantik ?” Tanya Lani. “Tanpa make up seperti ini ?"
"Iya.” Dinar mengangguk. “Aku lebih suka kamu begini."
Lani tersenyum."Terima kasih. Kamu juga."
Dinar pun akhirnya bergerak dan duduk disebelah Lani. Ada keheningan yang melingkupi mereka berdua.
"Kita tak mungkin menghabiskan waktu dengan berdiam diri, bukan ?" Tanya Lani.
"Oh iya, maaf. Sampai dimana kita tadi ?" Ujar Dinar seperti orang linglung.
"Kita bahkan belum memulai.” Kata Lani sembari tersenyum kecil. “Apa kamu sedang sakit ?"
Tangan Lani bergerak untuk memegang dahi Dinar. Dengan cekatan, Dinar menggengam tangan Lani dan memindahkannya jauh - jauh dari daerah dahinya.
"Tidak. Aku tidak sakit." Jawab Dinar tegas.
Hening kembali. Kamar ini seakan - akan penuh sesak dengan udara kecanggungan.
"Baiklah, aku akan mulai berbicara." Ucapnya memecah kebuntuan. "Mengapa kamu menyebut dirimu sebagai housekeeping tadi ? Aku kira kamu benar – benar housekeeping."
"Tidak, aku cuma bercanda. Teman - temanku ketika menginap di hotel selalu berkata seperti itu jika ingin masuk kamar menemuiku. Tidak penting dan tidak begitu lucu." Jawab Lani. Dinar menganggukan kepalanya.
"Mau minum teh atau kopi ? Aku buatkan jika kamu mau." Tanya Dinar sembari berdiri dan berjalan menuju sebuah meja kecil didepan tempat tidur yang menyediakan termos, botol air mineral, serta beberapa kemasan kecil teh, kopi, dan gula.
"Tidak, terima kasih." Jawab Lani. Dinar hanya mengedikkan bahunya. Ia sedang sibuk menuangkan isi botol kemasan air mineral ke dalam termos, membuat teh untuk dirinya sendiri. "Kamar ini...."
"Kenapa dengan kamar ini ?" Seketika Dinar menghentikan aktivitas membuat tehnya dan menengok ke arah Lani.
"Tidak, sebelum kamu mengasosiasikannya dengan hantu, tidak.” Lani menggelengkan kepalanya. “Aku tidak melihat hantu."
Dinar menghela napas dan kembali melanjutkan kegiatannya.
"Hanya saja nomor kamarnya.... mengingatkanku pada seseorang.” Ucap Lani. “Itu tanggal lahir ibuku: 1 Februari 1955."
"Memangnya kenapa dengan ibumu ?"
"Kami sangat dekat, setidaknya sampai SMA. Lalu aku kuliah dan semuanya berubah. Aku tidak dekat lagi dengan ibuku. Semua perkataannya terlihat salah. Apa yang menjadi pedomannya bukanlah apa yang menjadi pedomanku. Begitu pun sebaliknya. Aku tahu ini hal lumrah yang dialami setiap orang, hanya saja..... kami dulu sungguh dekat. Ada perasaan bersalah yang tumbuh pada diriku. Yang kulihat setiap hari dari ibuku hanyalah raut kekecewaan. Namun tidak ada yang bisa aku lakukan untuk mengubah itu. Apa yang aku bicarakan tak akan didengar oleh ibuku; sementara apa yang ibuku bicarakan takkan didengar olehku. Perbincangan kami tak pernah ada ujungnya dan itu tak lebih dari sebuah kesia - siaan belaka." Jelas Lani panjang lebar. "Aku menghormati ibuku dan sepertinya berbicara dengannya hanya akan membuatnya semakin kecewa. Jadi aku memutuskan untuk mengurangi waktu berbicara dengan ibuku."
Dinar sudah selesai memasukkan air ke dalam termos. Ia menyalakan termos dan berjalan menuju tempat tidur untuk duduk.
"Selesai kuliah, aku memutuskan untuk pindah kota dari kota ini ke kota sebelah untuk mencari pekerjaan. Aku hanya memberitahu ibuku lewat sms, dan sudah, aku tidak bertemu dengannya untuk sekedar minta restu, atau apapun itu." Ujar Lani. "Ya, kurasa aku anak durhaka." Ia menundukkan kepalanya.
"Sejak saat itu pula, aku hanya menemuinya jika aku mendapatkan libur panjang, dan kegiatan itu sudah terhenti sejak dua tahun yang lalu." Lanjutnya.
"Jadi kamu sudah tidak bertemu dengan ibumu selama dua tahun ?" Tanya Dinar.
"Iya.” Jawab Lani. “Dan besok tanggal satu, tepat hari ulang tahun ibuku. Mungkin itulah alasan kenapa suasana hatiku sedikit kacau hari ini." Ia menatap Dinar lesu.
"Mengapa kamu tak datang mengunjungi ibumu besok ?" Tanya Dinar dengan hati - hati.
"Entahlah, aku merasa malu dan tak pantas." Jawab Lani kembali tertunduk.
"Tak usahlah kamu seperti itu.” Hibur Dinar. “Besok aku temani, jika itu bisa membuatmu mau."
Lani mendongakkan kepalanya. Wajahnya menjadi sedikit cerah. "Kamu serius ?"
"Iya, sekalian aku check out paginya.” Jawab Dinar. “Kebetulan, aku tak punya acara besok, setidaknya hingga malam."
Lani tersenyum. Corak kelabu yang ada di dalam pikirannya setidaknya dapat tersingkirkan, meski hanya sejumput.
"Baiklah. Terima kasih." Kata Lani. Dinar tersenyum. Ia kemudian menepukkan kedua telapak tangannya.
"Berceritalah mengenai masa SMAmu."
Lani mengernyit. "Memangnya ada apa dengan masa SMA ?"
"Menurutku membahas masa SMA itu selalu menyenangkan." Balas Dinar. "Kamu punya satu kata yang bisa dengan tepat menggambarkan masa SMAmu ?"
"Ada. Tunggu sebentar." Lani menaruh telunjuknya di dagu dan memandang lekat langit - langit kamar. "Mmmm.... Neraka."
Dinar tergelak.
"Ya begitulah.” Lani menatap Dinar. “Sampai sekarang aku masih benci dengan orang - orang yang dengan gembira berkata ‘masa - masa SMA adalah masa - masa paling menyenangkan....’ Persetan dengan itu. Semua kebahagiaan yang ada pada jenjang pendidikan itu berakhir di TK. Mungkin SD."
"Mengapa berhenti di SD ?" Tanya Dinar penasaran.
"Karena setelahnya, kita semua sudah berubah menjadi monster. Kita semua adalah para bajingan yang berusaha menyelamatkan diri dari ganasnya persaingan, apapun itu: kepintaran, ketenaran, skill.... Ego kita melonjak drastis, saling sikut - menyikut. Ingat bagaimana ortu kita begitu ‘rewel’ dalam mengurus kita saat SD ? Saat SMP, hal tersebut justru terjadi pada kita, apalagi SMA. Orang tua kita justru tak lagi melakukan hal serupa. Mereka hanya bertindak di belakang layar, menyuruh kita untuk lebih giat lagi." Jawab Lani begitu lancar.
"Masa SMAku tidak seperti itu." Sanggah Dinar.
"Beruntungnya dirimu." Ucap Lani. "Rangking berapa kamu dulu di kelas ?"
"10 besar."
"Pantas." Kata Lani ketus.
"Tapi kan rangking tidak memepengaruhi apakah seseorang punya teman atau tidak." Bantah Dinar.
"Jelas mempengaruhi. Ya memang tidak bisa dikatakan teman sih... Tapi setidaknya kamu akan didekati siswa maupun siswi di kelasmu dan dimintai jawaban ketika ulangan. Jika kamu konsisten dalam memberikan jawaban dan dapat diandalkan, kamu bisa punya banyak teman dari situ." Ujarnya. Ia mengedikkan bahu. "Hanya olahragawan, pemain gitar, pemberi jawaban ulung, kutu buku, dan pemilik wajah rupawan yang bisa punya banyak teman. Terlepas itu teman atau,” Ia membuat tanda kutip dengan jemarinya, “‘teman’. Selebihnya.... siap - siaplah menjadi hantu kelas selama tiga tahun."
Dinar menganggukan kepalanya pelan. "Masa SMAmu benar - benar buruk ya ?"
Lani memicingkan mata. "Memang apa yang kamu asosiasikan ketika mendengar kata neraka ?"
Dinar diam tak menjawab.
"Muak aku dengan masa SMA." Rutuk Lani. "Masa perkuliahan memang tak jauh beda, tapi.... aku lebih memilih mengulang masa kuliah daripada SMA. Setidaknya bisa lebih bebas di kampus."
Ting ! Terdengar sebuah bunyi yang berasal dari termos. Bunyi tersebut menandakan bahwa air yang dimasak Dinar sudah panas.
"Tunggu sebentar ya ?" Ucap Dinar sembari beranjak dari tempat tidur. Ia pergi ke tempat dimana termos itu berada dan segera menuangkan isinya ke dalam gelas. Tak lupa, ia juga mengeluarkan sebungkus teh dan mencelupkannya ke dalam gelas tersebut. Sembari menunggu Dinar menyelesaikan proses membuat tehnya, Lani pun memutuskan untuk bersenandung.
"Mmmmm...."
"Lagu apa itu ?" Tanya Dinar sembari membawa gelas yang berisi tehnya dan duduk disebelah Lani.
"Tidak ada." Jawab Lani. "Aku hanya mengarang."
Lani kembali melanjutkan senandungnya. Senandung yang terdengar sayup itu membuat Dinar mengernyitkan alisnya. Jelas ada yang mengganjal dalam benaknya.
"Tunggu sebentar. Kamu penyanyi ?"
"Bukan."
"Suaramu sedikit familiar. Bisakah kamu nyanyikan satu lagu untukku ?"
Lani mengangguk. Ia segera menjernihkan kerongkongannya dan mulai bernyanyi.
"Aku masih menunggu~"
"Dan bila hujan atau terik~ Kamu perempuan itu !" Sergah Dinar. "Astaga, sedari tadi aku berbincang dengan artis." Ia tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Tidak usah berlebihan." Kata Lani sembari tersenyum namun tetap merendah.
"Lagumu yang satu itu benar - benar meledak empat tahun yang lalu." Ucap Dinar sebelum menyeruput isi teh yang ada di gelasnya. "Kamu tidak, entahlah, membuat album ?"
"Albumku sudah ada dua." Jawab Lani.
Dinar melongo. "Dua ?"
"Ya, kamu saja yang kurang update.” Ujar Lani. “Laguku setelahnya memang tidak ada yang meledak lagi."
Dinar mengedikkan bahunya. "Sepertinya aku akan segera membeli cd albummu nanti."
Lani mencoba mempertegas informasi yang ia dengar. "Cd ?"
"Ya, aku lebih suka yang bentuk fisik." Jawab Dinar. "Ada nilai lebih di dalamnya. Kita bisa tahu siapa saja yang terlibat dalam proses perekaman."
Lani mengangguk - anggukan kepalanya. "Bagus juga seleramu." Tak ada yang bisa dibantah dari kalimat yang dilontarkan Dinar. Dia terlihat seperti penggemar musik sejati.
"Kamu tidak berpikir untuk membuat album baru ?" Tanya Dinar.
"Aku sudah pensiun dari dunia musik." Jawab Lani.
"Kenapa ?"
"Aku tak begitu menyukai profesi itu. Lagipula, suaraku lumayan buruk."
"Siapa yang bilang ?"
"Aku."
"Well, menurutku tidak."
Dinar kembali menyeruput segelas teh hangat yang ada di tangannya, kali ini hingga benar - benar habis.
"Kamu tahu ?" Lani mengedikkan kepalanya kepada Dinar. "Melihatmu minum teh membuatku ingin minum teh juga."
Dinar memanyunkan bibirnya. "Sudah kutawarkan tadi, kamu malah menolak."
Lani tersenyum malu.
"Serius, kamu mau ? Aku buatkan jika kamu mau." Tanya Dinar sembari bersiap berdiri.
"Tidak, terima kasih." Tolak Lani segera.
Dinar mengedikkan bahunya dan kembali duduk. "Baiklah, kalau kamu masih malu, kamu bisa membuatnya sendiri di sana."
Lani tersenyum. "Terima kasih, nanti saja."
Dinar memainkan jemarinya di antara gelas yang dipegangnya. Lani tahu bahwa Dinar tengah berupaya mencari topik, dan ia juga tahu, ketika sudah ada topik yang terlintas dalam benak Dinar, jemari Dinar pun pasti akan berhenti bergerak.
"Berbicara-“
Benar saja.
“mengenai masa SMA-"
"Astaga ! Kita kembali ke topik itu ?" Protes Lani. Dinar seketika tertawa geli melihat reaksi Lani akan ucapannya.
"Iya, kita belum selesai.” Ucap Dinar. “Apakah kamu punya lelaki dambaan yang tak sempat kamu miliki di sana ?"
"Tidak." Jawab Lani singkat dan kaku. Wajahnya berubah menjadi suram.
"Ayolah...." Bujuk Dinar sembari memamerkan wajah memelas dengan sangat luar biasa. Mimik wajah itu tak membuat Lani menjadi luluh. Ia malah makin kesal.
"Sudah kubilang tadi bahwa masa SMAku itu cukup kelam. Aku tidak pernah berpikir ke arah sana pada saat itu. Aku hanya berpikir bagaimana caranya agar bisa cepat - cepat lolos dari lubang neraka itu." Ujarnya. "Baiklah, aku balas pertanyaanmu." Ia bertolak pinggang. "Apakah kamu punya lelaki dambaan yang tak sempat kamu miliki saat di SMA ?"
"Tidak, karena aku berhasil mendapatkan setiap lelaki yang aku dambakan saat SMA." Jawab Dinar begitu percaya diri.
"Sombong sekali anda." Ledek Lani dalam konteks bercanda.
"Bahkan sampai ada yang berhubungan seksual denganku." Kata Dinar sembari mengedikkan kedua alisnya.
"Apa ?" Mata Lani membesar.
Dinar tersenyum penuh kemenangan. "Iya."
Lalu ia tertawa, geli dengan tindakannya sendiri. Lani menggeleng - gelengkan kepalanya, tidak percaya dengan ucapan Dinar.
"Berapa orang ?"
"Lima."
"Wow." Lani bertepuk tangan dengan cepat. "Fantastis. Peringkat sepuluh besar dan sudah berhubungan intim sebanyak lima kali..... impian setiap perempuan rebel."
"Kamu sendiri... Apakah pernah begituan ?" Tanya Dinar.
Lani mengernyit. "Begituan ?" Ia tidak paham. Kata yang rancu.
"Kamu tahulah,” Dinar memasukan jempolnya di antara telunjuk dan jari manisnya, “bersenggama."
Lani tertawa kecil. "Kenapa kamu menggunakan kata bersenggama ?"
"Aku tak tahu.” Dinar menggelengkan kepala. “Kata itu terdengar cukup lucu. Senggama....."
Mereka berdua sama - sama tertawa.
"Pernah." Jawab Lani setelah tawanya mereda. "Dengan pacarku dulu, waktu aku kuliah. Ia juga yang memperawaniku, tapi aku tak begitu peduli."
"Bagaimana dengan perempuan ?" Tanya Dinar.
Pertanyaan itu tak kunjung dijawab oleh Lani. Ada bayang – bayang kegetiran yang tiba tiba datang menjelma di benaknya.
"Maaf." Ucap Dinar pelan. "Aku terlalu kasar ya ?"
Lani tertawa kecil. Ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela kamar hotel.
"Kenapa kasar ? Tidak." Ucapnya sembari menggelengkan kepalanya. "Aku memang belum pernah."
Ia mengambil nafas pelan.
"Tapi aku pernah menyukai seorang perempuan, sekali, waktu SMA dahulu." Lanjut Lani. "Namanya Rini. Dia salah satu teman dekatku. Di antara 'panasnya' neraka SMA, hanya dialah yang bisa membuatnya menjadi sedikit dingin. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana masa SMAku kalau tidak ada dia."
"Seberapa dekat kamu dengannya ?" Tanya Dinar.
"Sangat dekat. Tidak ada hari - hariku tanpa didampingi dia. Dimana ada Lani, di situ ada Rini. Dimana ada Rini, di situ ada Lani. Kita sudah seperti sepasang kakak - adik yang akur." Jawabnya. "Omong - omong, ia sedikit mirip denganmu, minus kelakuannya saja."
Ia menatap Dinar sembari tersenyum kecil sejenak, sebelum kembali melihat jendela kamar.
"Semenjak kuliah, kami jadi jarang bertemu. Dia pindah kota. Pertemuan terakhir kami terjadi sekitar 3 tahun yang lalu. Dan terakhir yang aku tahu, dia sudah punya pacar."
"Perempuan ?"
Lani menggelengkan kepalanya dan kembali menatap Dinar. "Tentu tidak. Laki - laki." Ia kemudian menghembuskan nafas melalui hidungnya dengan cepat.
"Dia bahkan tidak pernah tahu kalau aku suka dengannya."
"Kenapa ?" Tanya Dinar.
"Kenapa ?" Tanya Lani kembali. "Apakah kamu bermukim di negara lain ?"
"Tidak."
"Kalau kamu tinggal di sini, seharusnya kamu tahu kenapa aku tidak memberitahukan perasaan yang aku punya." Ujar Lani. "Aku takut seandainya aku memberitahukan perasaanku, dia akan kaget dan pergi meninggalkanku.” Suaranya melemah. “Dan semua itu percuma, karena pada akhirnya, aku tetap ditinggal pergi juga." Ia tertawa dengan penuh kegetiran di ujung kalimat.
Mendengar hal itu, Dinar pun tersenyum. Ia menggerakkan tangannya untuk mengelus tangan Lani.
"Terimakasih." Kata Lani.
"Sama - sama." Jawab Dinar. Ia lalu beranjak berdiri dan menaruh gelas yang sudah kosong itu di atas meja.
"Kamu sendiri ?" Tanya Lani. Dinar berjalan kembali ke arah tempat tidur.
"Well," Dinar membaringkan badannya di tempat tidur, "aku pernah berpacaran dengan perempuan.” Ia tersenyum. “Dua kali. Tidak sebanyak dengan laki - laki, namun kenyataannya aku pernah."
Lani mendengarkan dengan begitu seksama.
"Ada perbedaan yang begitu besar dari sebuah hubungan lesbian dengan hubungan hetero."
"Jenis kelamin yang melakukannya sama ?" Tebak Lani.
Dinar memutar kedua bola matanya ke atas. "Semua orang juga tahu kalau itu." Ia menatap Lani dengan serius. "Ketika kamu menjalin hubungan lesbian, resiko kamu atau pacarmu untuk selingkuh itu lebih besar."
"Maksudnya ?"
"Begini, pacarmu bisa menjalin hubungan asmara dengan mantan pacarmu; sementara mantan pacarnya dari mantanmu itu bisa menjalin hubungan asmara dengan kamu. Bisa kamu bayangkan betapa canggungnya kalian jika bertemu." Jelas Dinar.
Lani tersenyum kecil. "Kamu pernah mengalami kejadian itu ?"
Dinar mengangguk pelan. "Pernah. Dan aku berharap untuk tidak mengalaminya lagi. Itu sangat buruk sekali." Ucap Dinar sembari menggeleng - gelengkan kepalanya.
Dinar kemudian memajukkan badannya lebih dekat ke arah Lani. Sekarang ia sudah tak sepenuhnya berbaring. Ia duduk, dengan badan masih bergelayut pada tempat tidur. Kedua tangganya menopang badannya agar tidak kehilangan keseimbangan.
"Balik lagi ke Rini. Kalau misalnya sekarang kamu diberikan kesempatan untuk memberi tahu perasaanmu kepada dia, kamu mau bilang apa ?"
Lani berusaha berpikir.
"Ya, aku juga tidak tahu apakah dia lesbian atau bukan...."
Dinar membetulkan kembali posisi duduknya.
"Seandainya. Seandainya saja dia sudah tahu mengenai hal itu dan dia menerima kamu."
"Terus ?"
"Ya, coba kamu bayangkan dia itu aku." Dinar menunjuk dirinya sendiri. "Apa yang bakal kamu utarakan ?"
"Aku tak terlalu pandai bergombal." Jawab Lani.
"Tidak apa - apa." Kata Dinar sembari menepuk - nepuk pelan punggung Lani. “Anggap ini semua sebagai alternate reality, atau kalau kamu bermain game, kamu sedang berusaha memainkan checkpoint terakhir yang kamu simpan, yang bisa kamu coba berkali – kali sampai kamu mendapatkan apa yang kamu mau.”
Lani mengembangkan bibirnya sedikit. Ia pun kemudian menarik napas dalam – dalam, sebelum menggenggam kedua tangan Dinar dan menatapnya erat - erat, seakan - akan Dinar akan lenyap begitu saja kalau pandangannya lepas.
"Rini, kamu tahu me-“
Lani tiba – tiba melepas genggamannya. Matanya mengerling ke arah tempat tidur.
“Sudahlah Dinar, ini bodoh.” Ucapnya lemah. Ia lantas merasakan tangannya digenggam.
“Hei,”
Lani kembali menatap mata Dinar.
“lihat aku.”
Lani terdiam sejenak. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan organ mata dan otaknya, tapi yang sekarang dilihatnya di depan bukanlah Dinar, melainkan Rini. Ya, jelas itu Rini.
"Rini, kamu tahu mengapa dunia ini diciptakan ?"
Rini menggelengkan kepalanya.
"Aku juga tidak tahu." Jawab Lani. "Di antara berjuta pertanyaan yang pernah terlintas di pikiranku, hanya itu yang paling membekas. Dan dari berjuta pertanyaan sisanya, aku tak memasukkan pertanyaan tentang belahan jiwa. Kamu tahu kenapa ?"
"Kenapa ?" Tanya Rini.
"Karena aku tahu belahan jiwaku sedang ada di depanku sekarang, menatapku dengan tatapan aneh dan berkata dalam hati ‘apa yang kamu pikirkan, Lani ?’" Ujar Lani. "Namun sama seperti halnya misteri mengenai tujuan dunia diciptakan, aku juga tidak tahu mengapa aku bisa jatuh cinta padamu, dan aku tak peduli.” Ia menggelengkan kepalanya berulang kali. “Mungkin ini dosa, entahlah. Tapi seandainya pun ini dosa, aku rela, karena menurutku tak ada yang salah dengan jatuh cinta. Manusia itu selalu sama, tak peduli jenis kelaminnya."
Ada setitik air mata yang mulai menggumpal di pelupuk matanya.
"Aku tidak datang ke dunia ini untuk membunuh banyak orang tak berdosa. Aku datang untuk menemanimu, mendampingimu. Jadi aku mohon, jangan pernah tinggalkan aku. Hanya itu yang aku minta. Aku akan tetap bahagia asalkan kamu ada di sisiku." Ia tak lagi mampu membendung bulir air mata yang mulai jatuh menetes dari kelopak matanya.
Rini tergugah. Disingkirkannya jejak air mata di pipi Lani dengan tangannya, lalu tersenyum begitu manis. Dengan cepat, ia mengecup bibir Lani. Lembut.
Lani menyambut kecupan itu. Bibir keduanya berpagut, untuk sementara. Tanpa ada kecanggungan, tanpa ada keresahan.
Saat terlepas, keduanya menjadi hening. Namun itu tak lama sebelum Lani balas berganti mengecup bibir Rini. Dan bagai kayu pohon paper-birch yang disulut oleh api, semuanya berubah menjadi sebuah kobaran yang begitu dahsyat.
Lani mencumbu Rini tanpa ampun dan mendorong Rini ke tempat tidur, sehingga keduanya terjerembab di atas tempat tidur, dengan posisi tubuhnya berada tepat di atas Rini. Keduanya terus saling mengecup, bergumul, dan meraba.
Rini lantas membuka baju dan pakaian dalamnya; sementara Lani melepas kacamatnya dan menaruhnya di atas meja di samping tempat tidur. Lani kemudian kembali menyerang Rini, kali ini leher dan telinga Rini yang menjadi sasarannya. Rini pun mulai bergelinjang. Ia sepertinya cukup sensitif di bagian tersebut.
Di tengah serbuan serangan cumbu yang dilancarkan Lani, tangannya perlahan menyelinap masuk di antara celana tidur yang dikenakan Rini. Tangannya terus bergerak hingga ia menemukan celana dalam Rini yang sudah mulai lembab karena terkena cairan kental dari sepasang bibir di bawah sana.
Rini meminta lebih. Ia segera membuka celana tidur sekaligus celana dalamnya, dan membuangnya jauh - jauh. Kini tubuhnya sudah tak tertutupi oleh apa pun.
Jemari Lani mulai merangsang sepasang bibir di bawah sana, yang mengantarkannya pada liang sempit yang berdenyut – denyut, sembari terus memagut mulut Rini. Suara lenguhan serta erangan yang keluar dari mulut Rini terdengar begitu merdu di telinga Lani.
“Ahh..”
“Mmmh…”
Melihat Rini sudah tak mampu melawan, Lani memberhentikan pagutannya. Ia memilih untuk fokus pada gerakan tangannya di liang sempit itu.
"Hah...."
Lani terus menatap Rini dengan begitu dalam; sementara jemarinya terus bermain, semakin kencang dan kencang...
Hingga Rini pun tak kuasa untuk menahan klimaksnya.
"Ough...."
Lani tersentak. Suara lenguhan itu membuatnya tersadar: ia sedang tidak bersama Rini. Yang ada dihadapannya saat ini adalah Dinar, dan mereka adalah dua orang yang berbeda.
Kecepatan jemari Lani di liang itu pun terus melambat, hingga akhirnya berhenti total. Sekarang ia terdiam, mematung di atas tubuh Dinar. Dinar yang melihat Lani sedang kehilangan fokus segera mengambil alih kekuasaan dan memutar posisi mereka sehingga kini Dinar yang berada di atas Lani.
"Sekarang giliranmu." Ucap Dinar dengan nafas memburu.
"Tunggu-"
Dinar tidak memperdulikan ucapan Lani. Ia langsung membuka paksa baju beserta pakaian dalam yang dikenakan Lani dan mulai mengecup leher Lani. Semakin lama, kecupan bibir Dinar terus turun hingga mencapai dada Lani. Ia kemudian berhenti sejenak untuk memandangi kedua puting payudara Lani yang berwarna merah muda, lalu mulai mengecup puting payudara Lani yang berada di sisi kiri.
Lani mulai merasakan kenikmatan. Matanya sekarang terperjam dan puting payudaranya pun jadi mencuat. Namun ditengah - tengah itu, kesadarannya kembali datang. Ia langsung menahan kepala Dinar.
"Dinar, seharusnya-"
"Ssst." Ucap Dinar. Wajahnya meninggalkan area dada Lani. Ia menatap dan mengelus wajah Lani, kemudian mendekatakan bibirnya ketelinga Lani.
"Tidak usah takut. Aku tahu kamu teringat dia. Tidak apa - apa, kamu bebas membayangkanku sebagai apa saja." Bisik Dinar. Ia pun lalu mengecup lembut bibir Lani dan bergerak kembali ke arah dadanya.
Lani masih berusaha menolak ucapan itu, namun pemikirannya runtuh saat Dinar mulai mengecup kembali putingnya dan meremas payudaranya.
“Ssshh…”
Dinar terus mengecup dan mengecup puting Lani, terkadang diselingi dengan hisapan serta jilatan, dan suara desahan yang dikeluarkan Lani semakin nyaring terdengar.
Sekujur dada Lani kini sudah basah dijamah oleh liukan lidah Dinar, bahkan ada beberapa bagiannya yang mencetak bercak berwarna kemerahan. Namun hal itu tak membuat Dinar patah arang. Ia malah kian menggila. Ia terus turun kebawah dan mencium pusar Lani. Ia juga membuka paksa celana dan celana dalam yang dikenakan Lani; sementara Lani hanya mampu berpegangan erat pada seprai dan sesekali rambut Dinar yang ikal nan indah itu.
Kini Dinar sudah berhadapan dengan liang kenikmatan milik Lani. Ia sudah bersiaga untuk membuat seisi otot dalam liang kenikmatan itu berdenyut dan berkontraksi. Namun sesaat sebelum Dinar melakukan itu semua, ia sempat mendongak dan memberikan senyum kepada Lani sebagai sebuah simbol perizinan. Lani hanya melihat itu semua tanpa daya, tanpa respon apa - apa.
Dan dengan anggunnya, Dinar langsung melesakkan lidahnya ke dalam liang kenikmatan itu.
Lani mengerang begitu syahdu. Tangannya seketika meremas lebih erat seprai yang ada di bawahnya. Dinar terus menggila dengan menjilat tonjolan kecil yang mencuat di balik selaput kulit yang agak tebal itu. Habis - habisan. Tubuh Lani mengikut kemana arah lidah Dinar mengerjainya terus menerus; sementara kepalanya pasrah mendongak ke langit - langit kamar.
Hingga akhirnya keinginan itu datang tanpa bisa dihindari lagi.
"Argghhh."
Lani berteriak lantang. Tubuhnya melenting luar biasa, lalu terjerembab seketika ke tempat tidur. Ia pun hanya bisa tergolek lemah di tempat tidur, dengan dada yang terus timbul tenggelam karena paru - parunya sedang berusaha keras mencari oksigen. Tenaganya terkuras habis untuk bertahan dari serangan Dinar. Ia jelas kalah dari Dinar soal seks.
Dinar mendongakkan kepalanya. Ada sisa cairan lubrikasi milik Lani yang masih menempel di sudut bibirnya, namun Dinar terlihat tak peduli. Ia tetap mengecup bibir Lani. Lani hanya balas mengecup dengan lemah, karena yang diinginkan Lani sekarang hanyalah tidur.
Tidur di antara bunga mimpi yang melenakan.