Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

Bimabet
Wah berat nih menentukan pilihan hihihi makasih updatenya neng @merah_delima
Sepertinya emang begitu bagi Rindi. Berat untuk menentukan pilihan. Realita yg dihadapi mungkin akan berat kalo milih Pram. Tapi ya entahlah, biarkan aja jadi misteri unruk hari esok. He he he he

Terkadang kita harus egois untuk membahagiakan diri kita sendiri.

makasih udah sering main ke rumah Rindi ya bang :rose:
 
part 2



Rindiani

Hampir jam delapan malam, akhirnya Nina terbangun dari tidurnya. Ia melangkah gontai, menyusulku di ruang tengah.

“Gila, enak banget aku tidurnya mbak.”

“Karena kamu kecapekan, badanmu butuh istirahat.” jawabku.

“Udah laper?”

Nina tersenyum, lalu mengangguk.

“Pram mana mbak?”

“Tadi ditelpon mbak Aya, dimintain tolong anter buat makan gudeg.”

“Oo gitu.” jawabnya singkat.

“Ya udah, cuci muka dulu, trus kita makan. Mbak udah masak kok.”

“Kamar mandinya dimana mbak?”

“Didalam kamar ada, di dekat dapur ada juga ada.”

Nina melangkah menuju ke kamarku dan kembali beberapa menit kemudian. Penampilannya berubah, karena telah berganti pakaian. Sehelai tanktop dan celana panjang ia kenakan. Rambutnya terurai hingga ke bagian dada.

“Nanti kalo Pram tiba-tiba dateng gimana? Kamu gak malu sama Pram?” tanyaku.


Nina

“Enggak. Pram kan anak baik, gak mungkin macem-macem.” jawabnya enteng.

Akhirnya kami menyantap makan malam bersama, sambil diselingi obrolan ringan seputar kehidupan kampus dan hal spele lainnya.

“Emang kamu gak pengen cari cowok lagi?” tanyaku, sambil membereskan meja makan.

Nina tersenyum, sambil membantuku membawa peralatan makan ke washtafel.

“Kalo ada yang kayak Pram, aku mau.”

“Kok kayak Pram?” tanyaku.

“Ya dia kan baik, gak cerewet. Trus kayaknya orangnya ngalah banget sama cewek. Udah gitu pinter lagi. Tajir juga walo gak ganteng-ganteng amat.”

Aku menggelengkan kepala mendengar apa yang Nina ucapkan.

“Kalo baik sih iya, tapi apa harus tajir sih Nin?” tanyaku.

“Gak juga sih mbak, tajir mah bonus aja. Urusan harta kan bisa dicari bareng.” katanya sambil membantuku mencuci piring.

“Nah, gitu yang bener. Yang penting nyaman dan berpikiran dewasa Nin, bisa membimbing dan jagain kita.”

“Iya mbak. Nah, yang berpikiran dewasa itu yang sulit dicari. Mbak kan tau, jaman sekarang kalo pacaran yang dicari cuman enaknya doang, cuman ngentotnya doang.” jawabnya blak-blakan.

“Hussssss… itu ngomongnya kok jorok gitu?”

Nina tertawa sambil membilas piring yang telah kubersihkan dengan sabun.

“Kalo sama mbak aku santai aja, gak perlu jaim.” jawabnya.

Aku menggelengkan kepala, merasa heran dengan pribadi Nina yang luar biasa berbeda dengan kesehariannya di kampus.

“Iya, kalo sama mbak gapapa kok, santai aja, tapi jangan sampe ngomong kayak gitu didepan orang lain yang belum kamu kenal ya Nin.”

“Iyaa. Tenang aja mbak.“

Hanya dalam beberapa jam, kedekatan dengan Nina membuatku semakin mengenalnya. Si manis dari provinsi paling barat ini terkenal pendiam dan tidak usil seperti Rita, atau Topan. Sedikit banyak aku mengetahui sisi lain hidupnya, yang mungkin tidak diketahui oleh orang lain, bahkan oleh kedua orangtuanya.

“Udah ngantuk belum , Nin?” tanyaku sambil melangkah disisinya menuju ke ruang tengah.

“Belum mbak, tadi tidurnya kelamaan sih.”

“Ya udah, kita nonton tv aja dulu.” kataku sambil duduk di sofa dan menghidupkan televisi.

Entah acara apa yang tersaji di layar tv, aku tak memperhatikannya, karena pikiranku tertuju pada Pram. Aku merindukannya, karena seharian tidak melihatnya, belum lagi ditambah dengan percintaan kami yang harus terhenti karena Calya.

“Mbak melamun.” guman Nina yang duduk disampingku.

“Kangen Pram ya?”

Aku tersenyum,

“Jangan mulai usilnya.” jawabku.

Nina tertawa, lalu mengangkat kaki dan meletakkannya diatas meja.

"Wajar aja kalo kangen, apalagi tiap hari sama-sama terus. Sama kayak aku dulu. Pisah beberapa jam aja udah kangen.” katanya lagi.

“Namanya lagi jatuh cinta, lagi panas-panasnya Nin, jadi ya kangen mulu.” timpalku.

“Yang penting jangan jatuh cinta ke orang yang salah aja sih mbak, kayak aku dulu. Bener-bener bodoh, ketipu sama rayuan palsu.” gumannya.

“Iya sih Nin. Kalo asal milih, akhirnya ya kita yang sakit.”

“Beenneeerrrr… aku nyesel udah jadi kayak gini. Udah gak perawan trus ditinggalin.”

Aku menghela nafas, merasakan betapa kecewa dan sakitnya hati Nina mengingat jalan hidup yang pernah ia lalui.

“Udah, jangan diinget lagi kalo cuman bikin sakit hati.” gumanku.

“Aku yakin Pram orang baik, walaupun gak mengenalnya terlalu dalam seperti mbak Rin kenal dia. Mbak beruntung.” sahut Nina.

“Iya, mbak beruntung bisa kenal Pram.”

“Kalo cowokku kayak Pram, udah pasti gak akan aku lepasin. Pasti kujadiin suamiku tuh.”

Aku tertawa mendengarnya. Sampai sejauh itu pemikiran Nina tentang Pram.

“Aku pernah lho kepikiran mau jadi lesbian aja mbak, gara-gara sakit hati sama mantanku itu.”

“Heehhhh??? Apaaa????” tanyaku kaget.

“Iya, jadi lesbi aja, biar enak. Perempuan kan lebih pakai perasaan daripada laki-laki.”

Aku seakan tak percaya dengan apa yang kudengar. Separah itu kah sakit hati yang Nina rasakan sampai-sampai berpikiran seperti itu?

“Ya gak boleh gitu dong Nin. Itu kan gak normal, gak wajar.” kataku.

“Sakit hati sih wajar, lagian kesalahan kamu itu kan bisa jadi pelajaran, biar nanti gak sembarangan pilih cowok, pilih calon suami.” sambungku.

“Iya mbak.. cuman sempet kepikiran aja sih, waktu pas lagi down, lagi nyesel setelah sadar kalo cowokku ternyata cuman mau ML aja sama aku.”

“Udah, lupain aja mantan.. move on Nin, move on.”

Nina tertawa.

“Mbak, aku sambil tiduran ya.”

“Iya, sambil baring aja Nin, santai aja.” jawabku.

Nina merebahkan tubuhnya diatas sofa, dan menggunakan pahaku sebagai alas kepalanya. Wajahnya menghadap ke depan, ke arah layar televisi.

“Ngomong-ngomong, mbak punya teman atau kenalan lebian gak?” tanyanya.

“Enggak.” jawabku singkat.

Nina membenahi posisi tidurnya, lalu berbaring menghadap ke arah langit-langit rumahku.

“Ngomong-ngomong, apa enaknya pacaran sama cewek ya? Kan gak ada kontolnya.” guman Nina.

Aku memandang kebawah, menatap wajahnya dengan penuh keheranan.

“Kamu ini ada-ada aja mikirnya Nin.” Kataku sambil mencubit hidungnya.

Nina tertawa, sambil berusaha melepaskan cubitanku.

“Ya mungkin pakai dildo kayak punya kamu itu.” jawabku singkat.

“Iya juga sih, tapi kan gak bisa ngentot sambil dipeluk, sambil dicium, diraba gitu.” jawabnya.

Aku menggelengkan kepala.

“Haduuhhhh Ninaaaaaa.. mbak juga gak tauuuuu. Mbak kan perempuan normal, dan gak punya dildo.” jawabku.

“Gimana sih?? Kalo mbak ya gak butuh dildo, kan ada Pram.” bantahnya.

“…..”

“Kok diem?? Hayooooo… mbak pasti udah sering ML sama Pram ya?” tanyanya sambil tersenyum nakal.

Aku tak menjawabnya, melainkan mencubit kedua pipinya dengan gemes. Nina tertawa karena berhasil menjebakku dengan permainan kata-katanya.

“Ya gapapa kali mbak.. selow aja. Aku ngerti kok. Namanya juga cinta, jadi ya kalo sampe ML ya biasa aja.”

Aku menggelengkan kepala, masih terheran-heran dengan sosok Nina yang ternyata memiliki sisi lain kepribadiannya. Sebuah sisi yang mungkin bisa dikatakan ‘gelap’ atau ‘abu-abu’ bagi kebanyakan orang.

“Sebisa mungkin, kamu harus bisa menjaga dirimu lho Nin.” kataku.

“Jangan sampai kesalahanmu yang dulu terulang lagi. Pacaran sih boleh, wajar kok. Tapi kita sebagai perempuan harus pandai menjaga diri dan memilih pasangan.” pesanku.

“Iya mbak. Makanya sampai sekarang aku masih jomblo. Masih takut, masih ragu buat cari cowok lagi.”

“Fokus ke kuliah aja dulu Nin.” jawabku.

“Iya sih mbak, kalo kuliah pasti dan wajib fokus. Cuman kadang kan pengen juga punya cowok, jadi temen ngobrol, temen curhat, temen jalan-jalan.”

“Nanti pasti kamu dapet cowok kok. Yang penting sabar, dan pinter milih pasangan aja Nin. Jangan asal milih karena kebelet pengen punya cowok.”

“Mbak Rin mah udah enak. Udah ada Pram.”

Aku tersenyum, lalu membelai rambutnya.

“Sabar.. kamu juga pasti bisa dapet yang lebih baik kok Nin.” kataku.

Setelah perbincangan seputar asmara itu, hampir tidak ada lagi hal kami bicarakan. Bermenit-menit lamanya kami terdiam, hingga akhirnya Nina bangun dari pangkuanku dan duduk di ujung sofa lainnya.

“Kok bangun?” tanyaku.

“Gapapa mbak, pegel aja, udah tidur sore tadi.”

“Gantian, mbak yang tiduran.” Aku mengiyakannya, lalu merebahkan kepalaku dipangkuannya.

“Pram pulang jam berapa mbak?”

“Gak tau juga, tapi tadi mbak udah bilang, kalo gak sempet pulang, biar besok mbak yang anterin kamu ke bandara.”

“Wah, jadi gak enak sama mbak, jadi ngerepotin.” kata Nina.

“Enggak ngerepotin kok Nin, malah mbak seneng bisa bantu kamu. Kamu kan temen Pram juga.”

“Iya, makasih ya mbak.”

Nina membelai rambutku, sambil menyaksikan acara di tv. Begitu juga denganku, tidur menyamping, membelakanginya, menghadap ke layar tv didepan kami.

“Jangan lupa oleh-oleh lho Nin.” kataku.

“Beres mbak. Pasti aku bawain. Mbak mau oleh-oleh apa? Makanan? Baju? Atau dildo?” tanyanya lalu tertawa.

Aku menghadap kearahnya lalu mencubit pinggangnya.

“Masa sih dildooooo?” protesku sambil mencubit pinggangnya.

“Iya sih.. kan ada Pram yah, ngapain dildo.” gumannya.

“Enakan yang asli tauukkk.” bantahku.

“Haduuhhh.. iya beneran.. jadi pengen punya cowok."

Aku tertawa mendengarnya.

“Sabarrrrr.. nanti pasti ketemu jodohmu kok.” kataku.

Aku kembali menghadap ke arah tv, dan Nina melanjutkan membelai rambuku. Disisipkannya rambut dikening ke telingaku, lalu membelaiku, lagi.

Berkali-kali jemarinya menyentuh kupingku, membuatku merinding dan kegelian. Aku sangat yakin, Nina tidak secara sengaja melakukannya. Ia tak bermaksud menggodaku.

Lama kami berdiam, menyaksikan acara di tv yang sangat tidak menarik bagiku namun aku memilih untuk tetap menyaksikannya, menemani Nina.

“Mbak Rin tinggal dirumah ini sendiri?”

“Iya.”

“Orang tua mbak dimana?” tanya Nina lagi.

“Dikampung Nin. Daerah Wonosari.”

“Oooo.. enak dong, masih singel, udah punya rumah sendiri, punya kostan lagi.”

“Gak juga sih Nin, ini aja mbak lagi nyari kerja.”

“Iya mbak, kalo gak kerja ya bingung juga mau dapet duit darimana. Gak mungkin juga minta sama orang tua melulu.”

“Nah gitu itu Nin. Malu kalo mau minta sama ortu. Gak enak.”

Beberapa menit berlalu, dan ponselku berdering. Pram mengabari jika ia akan pulang sampai larut malam.

“Tapi Pram sering nemein mbak disini kan? Kalo enggak ya pasti sepi banget. Rumah segede gini cuman tinggal sendirian.”

“Iya, selama ini dia kalo belajar ya disini. Tuh ada buku-bukunya dideket tv.” jawabku sambil menunjuk ke arah tumpukan buku milik Pram di rak disamping tv.

“Pram gak tidur sama mbak?” tanyanya lagi.

“Enggak.” jawabku berbohong.

“Tapi kalian kan pacaran??”

“Iya, tapi dia kalo tidur dikamarnya,”

“Ooo gitu.”

“Dia kan pacaran sama mbak, dia juga ngekost disini. Kudu bayar kost juga?”

“Yang bayarin kostnya Pram itu mbak Aya. Bayarnya per tahun. Nah yang untuk tahun ini udah dibayar juga sama mbak Aya.”

“Mbak Aya tau kalian pacaran?”

“Belum tau Nin, biarin aja dulu. Nanti nunggu waktu yang tepat baru ngasih tau ke keluarganya.”

“Mbak beruntung.” guman Nina.

“Beruntung gimana?” tanyaku sambil menghadap ke arahnya lagi.

“Pram baik, tajir lagi. Anak orang kaya.”

“Mbak malah gak tau kalo Pram anak orang kaya lho Nin. Abisnya kamu tau sendiri penampilan dia kayak apa. Udah gitu milih kost disini. Dia kan sederhana banget.”

“Iya.. aku heran lho sama dia. Duit banyak, tapi hidupnya datar banget, kayak gak ada hepi-hepinya gitu."

“Mungkin dia emang kayak gitu kali Nin, seneng hidup sederhana.”

“Kalo aku yang jadi dia, pasti udah hidup enak tuh.”

Aku tertawa, lalu mencubit dagunya.

“Makanya buruan lulus, cari kerja yang bagus, biar gajinya gede, duitnya banyak.”

“Emang kalo mbak lagi sama Pram, ngobrol juga? Dia kan pendiam gitu.”

“Ya ngobrol kayak biasa kok. Cuman ya jarang. Kalo siang kan kalian kuliah. Mbak kerja sampe sore. Kalo malem dia belajar. Kalo sempet aja sih kita ngobrol.”

“Syukurlah. Aku kira Pram juga pendiam didepan ibu. Kalo dia bisa ngobrol, seenggaknya dia gak terlalu tertutup sama semua orang.”

“Iya, kita juga kan baru-baru ini aja deketnya, jadi ya dia udah mulai bisa ngobrol sama mbak kok.”

“Ngomong-ngomong, Pram romantis gak mbak?”

“Romantis gimana maksudnya Nin?”

“Maksudnya, pelukan, ciuman, manjain mbak gitu.”

“Kalo menurut mbak sih romantis. Pelukan, cium kening. Kadang kalo mbak capek juga dipejiten kakinya.”

“Wah.. emang dia pacar yang bener-bener baik.”

“Mbak udah pernah cipokan sama Pram?” tanyanya lagi.

Aku tertawa mendengar pertanyaannya.

“Maksud kamu ciuman bibir?” tanyaku.

“Iya.”

“Pernah.” jawabku singkat.

“Sering?”

Nina menatapku dengan tatapan menyelidik.

“Iya, sering.” jawabku jujur.

“Baguslah kalo gitu mbak, berarti Pram emang suka sama mbak, cinta sama mbak.”

“Kok kamu tau dia cinta sama mbak?” tanyaku.

“Cowok kayak Pram itu, biasanya sulit buat deket sama perempuan. Sulit jatuh cinta. Tapi kalo udah jatuh cinta dan suka sama seseorang, dia bakalan serius, gak main-main.”

“Dulu waktu aku SMA, aku punya temen cowok kayak Pram gitu. Mirip. Ganteng, tajir, tapi setia banget sama ceweknya. Padahal ceweknya biasa aja, bukan orang kaya, gak cantik-cantik banget, tapi cowoknya sayang banget sama dia, sampe akhirnya tahun lalu mereka menikah.” sambung Nina.

“Coba mbak pikir nih. Pram punya duit. Disini bebas. Mau ngapain aja dia bisa. Mau Nakal? Bisa. Mau main perempuan? Gampang. Mau cari pacar yang cantik seksi? Gampang karena duit ada.”

“Tapi Pram kan gak kayak gitu.”

“Iya sih Nin. Kadang mbak juga mikir gitu. Padahal temen kampusnya cantik-cantik.”

“Dulu ada lho cewek yang naksir Pram. Adik kelas kami. Tapi Pram bersikap biasa aja ke cewek itu, menganggap kayak temen biasa gitu.”

“Oh ya?? Pram gak pernah cerita lho Nin.” kataku.

“Cewek itu emang cantik, baik, pinter. Kayaknya mungkin sering ketemu di perpus, akhirnya ceweknya jadi cinlok gitu kali.”

“Aku, Rita, sama Galang sih tau kalo cewek itu suka sama Pram. Pram juga kayaknya tau kok, tapi ya gitu deh. Gak ada respon dari Pram.”

“Trus cewek itu gimana?”

“Ya biasa aja sih mbak, mungkin karena gak ada respon dari Pram, akhirnya pelan-pelan menjauh.” kata Nina.

Ternyata bukan hanya diriku saja yang menyukai Pram, tetapi ada perempuan lain yang juga menaruh rasa padanya. Namun aku cukup beruntung, Pram bisa menjalin hubungan denganku dan menerimaku apa adanya.

“Kalo Anita kamu kenal?” tanyaku.

“Cuman kenal gitu aja sih mbak. Dulu kan teman satu kelompok waktu ospek kampus. Cantik sih, tapi jarang bergaul sama yang lain.”

“gosipnya sih dia simpenan om-om gitu. Ya seperti yang dibilang sama Topan tempo hari itu” lanjutnya.

“Kalo aku sih masa bodo aja. Hidup dia ya urusan dia. Mau bejat, mau berengsek. Urusan dia sih mbak.”

“Iya kamu bener, yang penting dia gak jahat sama kamu aja.” timpalku.

“Tapi apa ya enak kalo jadi simpenan kayak gitu. Itu kan sama aja cuman jadi selingan. Yang dibutuhkan cuman enak-enaknya aja, cuman ngentotnya doang.”

“Ya mungkin dia emang beneran cinta sama Omnya itu, makanya rela jadi simpenan.”

“Iihhh, kalo aku mah ogah mbak, mending nyari yang lain. Belum lagi kalo om itu laki orang. Apa gak jadi tambah beban tuh.”

“Gak tau juga sih Nin. Namanya juga hati orang, kita gak tau.”

Sangat sulit untuk mendapatkan informasi tentang Anita, perempuannyang akhirnya berhasil merebut suamiku. Sosoknya benar-benar misterius. Sejauh ini yang kudengar hanyalah seperti rumor, atau gosip, dan tidak ada informasi penting lainnya yang bisa membuatku memahami dan mengetahui siapa Anita.

Cukup lama kami kembali berdiam diri, dan Nina kembali melayangkan pandangannya ke arah televisi, sedangkan aku menatap langit-langit ruang tengah rumahku.

“Nin, ngomong-ngomong, kamu kok sampe kepikiran beli dildo gitu sih?”

Nina tertawa, lalu kembali memandangku. Ia masih saja mengusap rambutku.

“Pertama. Karena aku penasaran mbak. Aku gak munafik, aku suka sama seks kok. Tapi aku masih trauma buat pacaran. Takutnya nanti sakit hati lagi.”

“Kedua. Daripada pakai tangan, mending pakai alat bantu. Nah, karena ketagihan, akhirnya aku beli semua itu. Cuman sekedar pengen tau aja sih mbak, pengen ngerasain.”

“Trus gimana? Kamu puas kalo pakai alat kayak gitu?” tanyaku penasaran.

“Ya puas juga sih mbak, tapi lebih puas kalo main sama orang beneran sih.”

“Oo gitu..”

“Emang Mbak udah pernah ML?” tanyanya.

Hampir satu menit aku terdiam setelah mendengar pertanyaannya.

“Udah.” jawabku jujur.

“Sama Pram?”

Aku mengangguk.

“Ya gapapa mbak, kalo aku sih santai, lagian itu urusan privasi orang. Salah, atau enggak, bukan urusan manusia untuk menjatuhkan vonisnya.” jawabnya.

“Jangan bilang ke temen yang lain ya Nin.” Pintaku.

“Iya, tenang aja mbak. Aku kan jarang ikutan ngobrol yang jorok-jorok kayak Rita gitu. Paling cuman dengerin, trus ikutan ketawa.”

“Emang mbak belum pernah pakai dildo?” tanyanya.

“Boro-boro pakai, lihat dan pegang aja baru hari ini, dikostmu tadi.”

Tiba-tiba Nina mematikan televisi.

“Ayo ke kamar mbak. Ngobrol sambil tiduran aja” ajaknya.

Aku mengangguk, lalu bangkit berdiri dan melangkah menuju ke kamarku. Jam di dinding menunjukkan hampir jam sepuluh malam. Sebelum beristirahat, aku mengganti pakaianku terlebih dahulu, dan melucuti bra yang kukenakan sebelum mengenakan sehelai t-shirt yang lengannya telah terpotong, dan celana pendek.

Nina memperhatikan tubuhku.

“Itu pantat mbak montok banget.” gumannya.

“Bukan montok, tapi gendut.” bantahku.

Nina tertawa, lalu merebahkan tubuhnya diatas ranjang.

“Mbak kok bisa jadian sama Pram sih? Gimana ceritanya?”

Sekali lagi, aku harus berbohong, mengarang cerita agar Nina yakin dan percaya bhawa aku dan Pram menjalin cinta, walaupun sebenarnya lebih rumit dan tidak akan masuk di akal jika ia tahu akan kebenarannya.

Aku berbaring disebelah Nina, lalu menghadap ke arahnya dengan dua bantal menopang kepalaku.

“Awalnya sih cuman karena sering minta bantuan dia buat nemenin mbak pulang kampung, soalnya kalo balik ke sini kan malam. Mbak gak berani. Jadi ya Pram yang sering nemenin.”

“Trus, dia nembak mbak?”

“Gak juga sih Nin. Gak ada yang kayak gituan. Ya kita makin deket aja, sampai sekarang ini. Kalo dibilang pacaran sih iya, soalnya mbak tau, dia sayang sama mbak. Mbak jiga sayang sama dia.”

“Wah, kerennn.. asiknya ya gitu sih mbak. Gak perlu tembak-tembakan kayak ABG. Yang penting sama-sama sadar, sama-sama tau kalo saling menyayangi.”

“Lagian pasti aneh banget kalo seorang Pram sampe nembak cewek.” gumannya, lalu tertawa.

Aku pun ikut tertawa bersamanya karena membayangkan jika di awal kedekatan kami, Pram pernah menyatakan rasa hatinya layaknya ABG.

“Cerita kalian asik, romantis lho mbak.”

“Kenapa dulu kamu gak kepikiran buat jadiin Pram pacar kamu? Padahal kalian kan udah jadi temen. Udah saling kenal.” tanyaku.

Nina kembali tertawa.

“Dulu sih aku masih bodoh mbak, pengen nyari cowok yang gaul, yang keren, yang gak malu-maluin kalo diajak jalan.”

“Trus pas putus sama mantanku, aku trauma, takut mau pacaran lagi. Nah, pas kenalan sama Galang, sama Pram dan temen-temen lain. Aku mulai berubah pikiran. Bisa dibilang sih udah insaf gitu.”

“Ngeliat Pram itu asik aja sih, seneng. Soalnya dia kan gak pernah macem-macem, gak pernah godain cewek, ato cari perhatian gitu.”

“Pernah sih kepikiran buat ngejar Pram, tapi waktu itu udah telat, soalnya kita semua udah akrab. Udah kayak sahabatan gitu, jadi ya aku berani lagi.”

“Lebih baik tetap bersahabat aja kayak sekarang ini, bisa tetap ketemu, ngumpul bareng-bareng.”

Satu lagi pengakuan Nina yang membuatku merasa menjadi wanita paling beruntung, karena bisa menjalin hubungan Pram.

“Kalo kalian pacaran, mungkin Mbak gak kenal kalian kali yah.” gumanku.

“Ya, mungkin juga sih mbak.”

“Lucu ya.. kalo dipikir-pikir, jalan hidup ini aneh.” gumanku.

“Iya bener banget. Aku juga mikirnya gitu mbak. Sesudah hidupku rusak baru kenal Pram dan temen-temen lain yang menurutku hebat dan bisa dijadikan panutan. Coba dari awal aku udah berteman sama mereka, mungkin hidupku baik-baik aja, gak rusak kayak sekarang.”

“Kamu masih baik-baik aja kok Nin.” Kataku sambil mendekatkan tubuhku padanya.

“Yang penting jangan mengulangi kesalahan yang sama. Kamu gak rusak kok. Hatimu masih baik, pikiranmu masih baik. Buktinya kamu bisa bangkit dan memperbaiki kesalahanmu itu.”

“Iya sih mbak. Cuman kadang nyesel aja udah gak perawan lagi.” gumannya lirih.

Aku tak bisa membantah ataupun mencoba menyemangatinya dalam hal ini. Kesucian sorang perempuan merupakan mahkota yang seharusnya dijaga dan diberikan pada seorang yang kelak akan menjadi pendamping hidup.

“Udah.. gak perlu nyesel. Gak perlu diinget lagi.” kataku sambil memeluk tubuhnya.

Nina hanya terdiam, menenggelamkan wajahnya tepat dibawah leherku.

“Yang penting kamu mau belajar dari masa lalu, supaya kedepannya nanti kamu jadi seorang perempuan yang lebih baik lagi.” lanjutku.

“Iya mbak.” jawabnya singkat, lalu mengembuskan nafas seolah sedang melepaskan beban di hatinya.

“Mbak yakin, suatu saat nanti kamu akan bertemu dengan jodohmu, dan gak akan mikirin masalah kamu perawan atau enggak. Karena yang dia lihat adalah kebaikan hatimu.”

“Aammiinnnnn…” jawabnya singkat lalu memelukku dengan sangat erat.

Beberapa saat kami terdiam, pikiranku melayang, merindukan Pram seharusnya kini bersamaku dikamar ini. Entah apa yang dipikirkan Nina, namun ia terlihat begitu nyaman dalam pelukanku.

“Mbak.”

“Iya Nin, kenapa?”

“Ngomong-ngomong, nenen mbak ukuran berapa sih?” tanyanya sambil melihat keatas, ke arah wajahku.

“36”

“Pantesan.. gede, enak, empuk.” balasnya sambil menekan pipinya ke arah payudaraku.

“Eehhhh… geli tauuuu.” protesku.

Nina tertawa lalu, kembali merebahkan kepalanya didadaku. “Emang punyamu ukuran berapa?” tanyaku.

“34B”

“Ooo.. ya pantes buat bodi kamu. Ideal.”

“Tapi kalo gede kayak punya mbak ya lebih asik, jadi makin seksi.”

Aku tertawa, merasa lucu dengan isi obrolan kami.”

“Dadamu itu udah ideal Nin, kalo lebih gede lagi malah gak seksi, tapi nakutin cowok.” bantahku.

Nina tertawa, lalu menjauhkan kepalanya dari dadaku, namun pinggul hingga kakinya masih menyatu dengan tubuhku.

Ia membuka telapak tangan, meregangkan jemari dan menempatkannya tepat didepan payudaraku, sangat dekat, namun tak sampai menyentuhnya. Lalu ia menempatkan telapak tangannya itu didepan dadanya sendiri, seolah sedang membandingkan payudara kami.

“Iya, beda jauh. Punyaku kecil.” katanya sambil melihat payudaranya sendiri.

Aku tertawa geli.“

"Jangan lihat dadanya aja dong Nin, tapi keseluruhan badan. Ideal ato enggak kan juga tergantung bentuk badannya.”

“Iya sih, tapi aku pengen dadaku agak gedean dikit lagi.” gumannya sambil melirik kearah payudaraku.

Sekali lagi ia meletakkan tangannya dipayudaraku, namun kali ini ya menyentuhnya, bukan sekedar mengukur seperti yang barusan ia lakukan.

“Eehhh,..” jeritku karena terkejut.”

“Eh iya, maaf mbak Rin. Maaf banget.” balasnya karena tak enak hati terhadapku setelah melihat reaksiku.

“Gapap kok, gak sakit, cuman kaget aja.”

Cukup lama Nina memandangi payudaraku yang masih terbungkus baju kaos, dan bentuknya menyamping mengikuti posisi tidurku yang menghadap kearah Nina, disampingku.

“Kok ngeliatinnya gitu banget sih?” protesku karena merasa risih, apalagi aku tidak mengenakan Bra.

Nina memandang wajahku, sambil tersenyum. Sebuah senyum yang sulit untuk kuartikan.

“Pasti Pram seneng mainin nenen mbak Rin.” gumannya kemudian.

“Hiihhhh..!! nakalnya adek mbak ini..” balasku sambil mencubit hidungnya dengan gemes.

Nina tertawa, lalu kembali mendekatkan wajahnya padaku.

♡♡♡

Bersambung

Part 3 akan rilis beberapa jam kedepan.
Terima kasih :rose:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd