Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

part 4



Rindiani


“Kamu gak jijik Nin?” Nina tersenyum, lalu menggelengkan kepala.

“Enggak.” jawabnya singkat.

“Emang kamu pernah nyoba anal seks?” tanyaku lagi.

Nina mengangguk, lalu bergeser mendekat padaku.

“Sama mantanku, pernah tiga kali.”

“Trus rasanya gimana?” tanyaku penasaran.

“Awalnya sih sakit banget mbak, hampir sama kayak waktu jebol perawan.”

“Kedua juga masih lumayan sakit, soalnya mantanku mainnya kasar.” Sambungnya lagi.

“Emang mbak belum pernah?” tanyanya.

Aku menggelengkan kepala.

“Sebenernya enak kok mbak, sama aja kayak seks lewat vagina. Soalnya di sekitar anus itu lebih banyak sarafnya.”

“Tapi ya tergantung kesiapan mental juga, tergantung cowoknya pinter main apa enggak.”

Apa yang Nina katakan sedikit banyak menambah pengetahuanku tentang seks, terutama seks anal, sesuatu yang belum pernah kulakukan sebelumnya.

“Tapi, kalo penis cowoknya gede, sebaiknya sih jangan mbak. Lubang anus emang elastis, tapi kalo keseringan di anal, nanti otot yang ada disekitar lubang anus bisa rusak.”

Aku terperangah mendengar penjelasan Nina. Dia memiliki pengetahuan yang cukup tentang anal seks.

“Kok kamu tau hal kayak gini sih Nin?” tanyaku heran.

Nina tertawa.

“Ya udah, aku jujur sama mbak deh. Aku ini penggila seks. Bisa dibilang seks addicted. Jadi aku banyak baca-baca tentang seks. Cuman sekedar untuk nambah ilmu aja sih mbak, biar aku tau, mana yang baik dan mana yang enggak baik.”

“Iya, kamu bener. Cerdas.”

“Iyaaa dooonngggg.. Nina gitu lhoooo.” timpalnya.

Aku tertawa mendengar celotehnya.

“Dulu aku pernah diajak main bertiga.” gumannya sambil menatap langit-langit kamarku.

“Hehhh?? Threesome???”

Nina melirikku sekejab, sambil mengangguk.

“Tapi aku gak mau.” sambungnya.

“Gila.” gumanku.

“Iya, mantanku emang gila.” timpalnya.

“Emang kenapa kamu tolak?”

“Aku gak mau kayak gitu. Sama aja jadi bahan mainan laki-laki.”

“Aku emang suka seks, tapi gak segila dan senekat itu.” sambungnya.

“Ngelayanin satu cowok aja udah kewalahan, apalagi dua sekaligus.” gumanku.

“Kalo buatku, bukan masalah kepayahannya sih mbak, tapi gak sreg aja. Gak nyaman. Masa main sama laki lain?”

“Aku mau ngeseks kalo sama cowokku aja.” sambungnya.

Aku takjub dengan pengalaman Nina. Sosoknya yang pendiam diantara teman-temannya ternyata menyimpan sisi lain yang cukup liar dan mencengangkanku.

“Aneh ya.. apa mantanmu gak cemburu liat kamu main sama laki lain..” kataku.

“Gak tau juga sih mbak. Mungkin sih enggak, buktinya dia yang ngajak kok.”

Aku hanya bisa menggelengkan kepala.

“Kalo main sama cewek sih aku mau, tapi kalo sama cowok gak mau.”

“Hahhh??”

“Iya.. kalo threesome sama cewek ya aku mau, apalagi kalo sama orang yang udah aku kenal.”

Lagi-lagi aku menggelengkan kepala.

“Emang kamu gak cemburu? Gak takut cowokmu ketagihan main sama cewek lain?”

“Ya takut juga sih mbak. Pasti khawatir. Tapi ya kudu harus ada komitmen kuat sama harus saling setia.”

“Enggak.. susah Nin. Sulit dan gak mungkin.” bantahku.

Nina mengangguk pelan.

Kami kembali terdiam. Aku kembali membayangkan bagaimana jika seandainya Nina memenuhi ajakan sang mantan untuk threesome. Tentu saja sebuah keberuntungan bagi si pasangan yang diajak bermain. Dan juga mungkin bagi Nina karena ia adalah seorang penggila kepuasan seks.

Aku pun membayangkan bagaimana jika seandainya Pram mengajukan tawaran yang sama padaku. Apakah aku akan menolak, atau menerimanya? Entahlah. Aku pun tak kan mampu menjawabnya jika seandainya Pram meminta main bertiga dengan wanita lain.

Beragam pikiran nakal berseliweran dikepalaku hingga beberapa saat, sampai akhirnya terdengar deru suara mesin mobil memasuki pekarangan rumahku. Sesaat kemudian, terdengar suara pintu gerbang depan tertutup.

“Pram.” gumanku pelan.

“Sana, temuin dia dulu mbak, gapapa kok. Aku mau tidur. Udah jam duabelas lewat tuh.”

Aku mengangguk, lalu beranjak turun dari ranjang dan meninggalkan Nina seorang diri. Dari jendela samping rumahku, kulihat Pram sedang membuka pintu kamar kostnya, dan ketika mendengar suara aku membuka pintu, ia menengok.

Aku melangkah mendekatinya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Begitu juga dengan Pram. Tentu saja kami tak ingin kedua penghuni kost lain mendengar suara dan mengetahui kami tengah bersama ditengah nalam seperti ini.

Pram melanjutkan membuka pintu kamar, dan saat aku telah berada didalam bersamanya, ia segera mengunci pintu itu.

“Kok ibu belum tidur?” tanyanya dengan suara pelan.

“Belum ngantuk. Tadi ngobrol dulu sama Nina.”

Pram melucuti pakaiannya dan berganti dengan pakaian santai yang biasa kenakan saat tidur malam.

“Nina udah tidur?”

“Udah, tapi dia tau kok kalo ibu mau liat kamu sebentar.”

Pram mengangguk, lalu duduk bersamaku ditepian kasurnya.

“Pram capek?”

“Enggak bu. Tadi cuman duduk-duduk aja kok. Ndengerin Mbak Aya ngobrol sama temen-temennya.”

“Mbak Aya punya temen disini?”

Pram beralih, merebahkan tubuh diatas kasur. Ia mengajakku berbaring disisinya.

“Temen-temen kuliahnya dulu bu. Mereka tadi reunian.”

“Oooo… berarti kamu cuman dengerin aja dong.”

“Iya bu. Dengerin emak-emak ngerumpi.”

Aku tersenyum mendengar keluhannya.

“Ibu jiga udah emak-emak lhoo.” balasku.

“Tapi ibu gak banyak bicara kayak mereka. Mereka ngomongnya gak putus-putus. Heboh bener bu.”

“Mungkin karena udah lama gak ketemu, jadi ada banyak cerita yang mau disampaikan.” kataku.

“Iya sih bu, tapi gak perlu sampe heboh gitu juga kali.”

Aku tertawa. Aku yakin Pram merasa tidak betah selama waktu tersebut.

“Gak ada yang ngajakin kamu ngobrol?” tanyaku.

“Gak ada bu, cuman digodain mulu sama mereka.”

“Digodain gimana?” tanyaku penasaran.

“Mereka tau saya masih kuliah, masih muda. Jadi katanya cocok buat jadi simpanan, buat awet muda.”

Aku tersenyum, membayangkan Pram hanya diam membisu akibat ulah teman-teman Calya.

“Obat awet muda.” gumanku, lalu tersenyum.

“Emang Pram mau kalo mereka beneran mau jadiin simpenan?”

Pram menatapku, lalu menggelengkan kepala.

“Tapi kok Pram mau sama ibu? Padahal ibu kan juga emak-emak.”

“Karena ibu gak seperti mereka.” jawabnya.

Aku memeluk tubuhnya dan meletakkan lengannya sebagai alas kepalaku.

“Ibu gak marah kan?”

“Ya enggaklah sayang.. mereka cuman bercanda.”

“Kalo mereka serius gimana?”

“Ibu serahkan keputusannya ke kamu. Kalo kamu juga mau, ya udah, gapapa, tapi ibu gak mau kamu tinggalin.”

Pram menataku sekilas, lalu mengecup keningku.

“Nah, sekarang kalo misalnya ada laki-laki yang mau sama ibu gimana? Kamu siap?” tanyaku.

Pram kembali menatapku dengan sangat dalam untuk beberapa saat lalu menggelngkan kepala. Aku telah menduga jawabannya dan aku bahagia.

Sebuah lumatan lembut kuberikan dibibirnya sebagai tanda terima kasih dan sayangku padanya. Aku yakin, Pram mengerti makna ciumanku tersebut.

“Trus kalo ada cewek yang mau sama ibu, gimana? Kamu siap?”

Pram menatapku dengan penuh tandanya tanya. Pram heran dengan pertanyaanku yang sepertinya tak masuk di akal.

“Lesbi..?” tanyanya.

Aku mengangguk.

“Kalo dia yang naksir ibu sih gapapa. Tapi kalo ibu yang naksir dia, saya gak mau. Saya tau ibu perempuan normal.”

“Iya sih.. ibu perempuan normal kok.” kataku.

“Emang ada cewek naksir ibu?” tanyanya.

“Enggak kok sayang.. ibu cuman nanya aja kok.”

Pram mengusap pipiku, lalu mengecup bibirku dengan lembut.

“Kadang ibu heran dengan perempuan yang mau dipoligami.”

“Aneh. Ibu gak habis pikir.”

“Iya bu, saya juga gitu. Apa gak cemburu ya satu sama lainnya.”

“Nah itu tuh Pram. Cemburu. Masa gak ada rasa cemburu sedikitpun. Apalagi kalo istri kedua jauh lebih muda, pasti kan lebih menarik daripada yang pertama."

Pram mengangguk.

“Kalo pas lagi ML, masa mainnya barengan?” tanyaku.

Pram tersenyum.

“Ibu ini mikirnya aneh-aneh.” gumannya.

Aku tersenyum, lalu mencubit pipinya.

“Ya gak aneh dong sayang. Kali aja mereka mainnya bareng. Kalo istrinya dua, main bertiga. Kalo istrinya tiga main berempat.”

“Iya juga sih bu, bisa aja kayak gitu. Tapi saya belum pernah kenalan sama orang yang poligami. Jadi ya gak tau bu.”

“Kamu bisa Poligami?” tanyaku.

Pram menggelengkan kepala sambil memainkan beberapa helai rambut di kepalaku.

“Kalo ML bertiga?” tanyaku lagi.

“Saya gak mau ibu disentuh laki-laki lain. Saya gak siap bu. Gak ikhlas. Kecuali laki-laki itu serius dan mau menikahi ibu. Saya gak mau ibu dipermainkan.”

Mendengar jawabannya, aku beringsut, naik keatas tubuhnya, lalu melumat bibirnya dengan mesra. Aku tahu, Pram mencintaiku. Pram menyayangiku dengan setulus hatinya walaupun ia tak pernah mengatakannya secara langsung padaku.

Aku pun tak berharap bahwa Pram akan menjadi miliku seutuhnya karena aku sadar, ada banyak hal yang bisa menjadi batu sandungan, bisa menjadi halangan jika hal itu terjadi.

“Iya, ibu mengerti sayang.” balasku setelah selesai melumat bibirnya.

“Kalo misalnya yang menyentuh ibu itu seorang cewek gimana?”

“Maksud ibu?” tanyanya.

“Maksudnya, kalo misalnya ibu main sama cewek. Entah cewek itu lesbi, atau biseksual.”

“Emang ibu mau, main sama cewek?” tanyanya heran.

“Kayaknya sih bisa. Biar bisa main bertiga sama sayang.” jawabku.

“Tapi cuman ML aja, kalo pakai perasaan ya ibu gak mau. Ibu kan masih suka laki-laki. Ibu jugavgak mau kalo ada perempuannlain yang merebut kamu dari ibu." sambungku.

Pram terheran-heran dengan jawabanku. Ia menggelengkan kepala, seaka ntak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Emang kamu mau main bertiga kalo sama ibu?” tanyaku lagi.

“Heehhh??! Kok Ibu makin aneh aja sih?”

“Ibu cuman nanya aja kok sayang?”

“Emang ibu gak cemburu kalo saya main sama cewek lain.”

“Gak tau sih sayang, tapi kayaknya ya pasti cemburu.”

Pram tersenyum. Lalu melumat bibirku. Kubalas ciumannya dengan penuh kasih sayang.

“Saya gak mau. Saya gak bisa nyakitin hati ibu seperti itu.”

“ML sama cewek lain, pasti saya mau. Saya gak munafik bu, pasti mau dan senang. Tapi buat apa kalo kalo hal itu malah menyakiti hati ibu.”

Aku yakin Pram berkata sejujurnya tentang hal itu. Dan aku bangga karena bisa memiliki satu tempat di hatinya, dalam hidupnya.

“Ibu yakin dan percaya, kamu gak akan menyakiti hati ibu.” kataku, lalu mengecup keningnya.

Beberapa saat kami terdiam, dan aku merebahkan kepalaku didadanya. Pram memelukku, dan satu tangannya mengusap punggungku. Ada perasaan bersalah terhadap Pram dalam diriku karena telah melakukan hubungan seks dengan Nina.

Namun aku khawatir akan reaksi Pram terhadapku maupun terhadap Nina, jika aku menceritakannya. Namun disisi lain, aku tak ingin membohonginya dan menutupi apa yang telah terjadi. Pram telah begitu baik padaku, dan aku tak ingin membalas hal itu dengan kebohongan.

“Pram.” gumanku tanpa memangdang wajahnya karena masih merebahkan kepalaku di dadanya.

“Iya bu.”

“Ibu mau ngomong sesuatu.” kataku, sambil mengangkat wajah dan memandangnya.

Daguku bersandar di tengah dadanya.

“Iya, ibu mau ngomong apa?”

“Ibu mau jujur sama kamu.” kataku sambil membelai pipinya.

“Iya, ada apa bu?”

Aku menghela nafas sejenak, lalu menatap matanya dalam-dalam. Dan ketika aku telah merasa siap, akhirnya aku mengungkapkannya.

Kuceritakan kejadian sejak siang, dimana aku menyaksikan sepasang kekasih bercinta di kamar mandi kampus. Lalu melihat beragam koleksi sek toys Nina, hingga akhirnya percintaan kami yang gagal senja tadi. Dan yang terpenting, aku mengakui perbuatanku bersama Nina. Tidak ada yang kututupi, karena aku menceritakan semuanya dengan sangat detail. Aku bahkan mengakui jika aku terpuaskan oleh permainan Nina, walaupun hanya sebatas seks oral.

Pram mendengarkan ceritaku dengan seksama. Ekspresi wajahnya datar, sangat sukar untuk kutebak. Dan ketika aku selesai menceritakan semuanya, Pram tetap diam membisu, ia hanya memandangiku seolah dengan tatapan kosong, membuatku khawatir dan cemas.

Hampir sepuluh menit Pram tak mengeluarkan reaksi apa-apa. Ia hanya memandang wajahku tanpa berkata-kata. Sikapnya membuatku semakin khawatir. Aku takut Pram marah dan kecewa lalu menjauhiku.

“Waktu melakukannya, ibu nyaman?” tanyanya setelah beberapa saat membisu.

Aku mengangguk. Aku berusaha jujur padanya.

“Ibu bisa menikmatinya?”

Lagi-lagi aku mengangguk.

“Ibu menyesal?”

“Iya, ibu menyesal. Seharusnya ibu bisa menahan nafsu, tapi ibu gagal.” kataku sambil menundukkan wajah karena tak berani menatap matanya.

Pram kembali diam membisu. Ia membuatku semakin merasa bersalah dan takut.

“Sayang marah?” tanyaku sambil kembali menatap wajahnya. Pram tak menjawabnya.

“Sayang kecewa sama ibu?”

Sama seperti sebelumnya, Pram hanya diam membisu. Pram membuatku tak enak hati, hingga akhirnya aku memutuskan untuk beranjak turun dari atas tubuhnya. Aku berbaring di sampingnya, menatap langit-langit kamarnya dengan perasaan gundah dan cemas.

“Maaf” gumanku lirih, lalu bangkit dan duduk dikasurnya.

Aku yakon Pram marah dan kecewa karena perbuatanku. Ia tak pernah bersikap seperti ini sebelumnya.

Setelah beberapa saat, akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan kamarnya. Waktu menunjukkan hampir jam satu malam.

“Kamu istirahat ya. Ibu mau kembali ke kamar.”

Saat hendak beranjak pergi, Pram memegang tanganku. Ia mencegahku. Tanpa berkata-kata, Pram membimbingku untuk kembali berbaring disisinya.

“Jangan pergi.” gumannya, lalu memelukku.

Aku membalas pelukannya dengan sangat erat. Kekhawatiranku akan kekecewaan dan kemarahannya sedikit berkurang.

“Kamu marah?”

Pram membimbingku untuk kembali menindih tubuhnya.

“Kamu kecewa?”

Pram menatapku dalam-dalam, sambil membenahi rambut di keningku.

“Saya gak marah bu. Saya gak kecewa.”

“Justru saya yang minta maaf. Seandainya sore tadi saya bisa memuaskan ibu, pasti hal ini gak akan terjadi.”

“Enggak. Ibu yang salah. Ibu gak bisa mengendalikan nafsu.” bantahku, sambil mengusap pipinya.

Dengan gerakan pelan, Pram mendekatkan wajahnya, lalu melumat bibirku dengan lembut selama beberapa saat.

Sebuah ciuman yang melegakanku, membebaskan segala rasa ketakutanku. Setelah ciuman itu berakhir, kami saling menatap dalam diam. Kupandangi lelaki yang telah berhasil menguasai hatiku dan mencerahkan hari-hariku. Aku menyayanginya, aku mencintainya.

Aku yakin, Pram mengetahuinya tanpa harus mengucapkan kata-kata.

“Nina kan ada cowoknya bu. Masa Nina lesbi?”

“Nina itu jomblo. Dia bilang ada cowoknya biar gak dikerjain temen-temen lain. Sayang kan tau gimana usinya mereka ngerjain orang jomblo.”

“Berarti sama seperti saya ya bu.”

“Ya beda dong sayang. Sayang kan punya ibu.”

Pram tersenyum, lalu kembali melumat bibirku.

“Berarti ibu biseksual ya?” tanyanya.

“Mungkin sih gitu, tapi ibu gak yakin juga.”

“Ini kan pengalaman pertama ibu.” sambungku.

Pram mengangguk.

“Sayang cemburu?” tanyaku.

Pram menggelengkan kepala.

“Kalo ibu main sama cowok lain, mungkin saya cemburu.” jawabnya.

Aku tahu, Pram tidak akan rela jika aku bersetubuh dengan laki-laki lain. Ia mencintaiku dalam diamnya. Aku memahami hal tersebut.
“Iya, ibu pasti menjaga diri untuk kamu.” jawabku, sambil mengusap kepalanya.

“Tapi saya serahkan semuanya pada ibu. Sebenernya itu privasi ibu, dan saya tidak berhak untuk melarang ibu.”

“Enggak sayang. Kamu berhak untuk mengatur ibu, karena ibu percaya kamu. Kita bukan kekasih, bukan suami istri, tapi ibu tau, ibu merasakan kalo kamu mencintai ibu dengan hatimu.”

Pram mengangguk, lalu mengecup keningku.

“Sayang jangan marah sama Nina ya..” pintaku.

Pram tersenyum.

“Enggak kok bu..saya gak marah.”

“Ibu khawatir sikap kamu berubah ke Nina.”

Pram kembali tersenyum,

“Ibu jangan khawatir, hal itu gak akan terjadi.”

“Janji..??” tanyaku lagi.

“Iya janji. Kalo perlu ibu main sama dia dihadapan saya biar ibu lebih yakin.” jawabnya.

“Eh.. maksudnya??” tanyaku.

“Ya ibu main sama Nina, dihadapan saya.”

“Threesome?” tanyaku.

“Enggak bu. Ibu aja yang main sama dia.”

“Cuckload?”

Pram mengangguk.

Aku tertawa dengan idenya. Sungguh liar dan panas tantangan yang diajukan Pram.

“Enggak ah, ibu malu.”

“Lagian nanti kalo Nina pengen main sama kamu, gimana?”

Pram tak menjawab pertanyaanku. Aku yakin ia bimbang dengan hal itu. Sebuah pertanyaan menarik yang mungkin saja tidak diperhitungkan oleh Pram sebelumnya.

“Trus kalo ibu yang jadi pengen main sama kamu gimana? Masa kita main didepan Nina??” tanyaku.

Aku yakin Pram bingung dengan pertanyaanku yang bertubi-tubi.

“Ternyata repot. Ribet.” gumannya pelan.

Aku tersenyum geli, karena sepertinya Pram tidak memikirkan hal ini sebelumnya.

“Udah.. gak usah dipikirin sayang. Kita jalani yang normal-normal aja.”

Pram mengangguk, lalu memelukku dengan sangat erat.

“Iya, yang normal-normal aja bu.”

“Kalo sayang pengen main sama cewek lain, gapapa. Asal ceweknya ibu kenal, ibu tau orangnya, dan harus dihadapan ibu."

Pram menatapku dengan penuh keheranan. Ia seolah tak percaya dengan apa yang aku katakan.

“Enggak.” jawabnya singkat sambil menggeleng.

“Kalo sama Nina gimana?” tanyaku lagi.

Sekali lagi Pram menggeleng.

“Saya bukan orang seperti itu bu.” jawabnya dengan suara yang terdengar tegas.

Salah satu ujian yang kuberikan padanya, sebuah tawaran yang menggiurkan, dan lelakiku menolaknya dengan tegas. Pram berhasil melewatinya dengan mudah, dengan menjadi dirinya sendiri. Aku yakin, jawabannya adalah kejujuran yang bersumber dari nuraninya. Ia menolak tawaranku karena aku masih berada dalam hati dan hidupnya.

“Ibu tau, kamu bukan laki-laki seperti itu.”

Beberapa saat kemudian, aku kembali merebahkan kepalaku di dadanya.

“Sayang, ibu istirahat dulu ya. Udah hampir dua tuh.”

Pram mengangguk, lalu mengecup keningku.

“Malam ini sayang bobo sendiri dulu ya.” Kataku lagi.

Pram tersenyum lalu melumat bibirku dengan lembut.

Akhirnya aku kembali merebahkan tubuhku disamping Nina yang telah terlelap. Aku hanya berharap, bahwa kegilaanku bersama Nina tidak terulang lagi, karena aku memiliki seseorang yang begitu menyayangi dan mencintaiku. Aku tak ingin mengecewakannya.

♡♡♡

Pram dan aku sedang membuat sarapan untuk kami bertiga ketika akhirnya Nina muncul di dapur dan bergabung bersama kami.

“Duhhh, romantis banget.” gumannya setelah melihat kami sedang membuat sarapan.

“Pagi Nin..” sapa Pram.

“Iya, pagi Pram.”

“Yuk sarapan dulu.” kataku.

Teh dan kopi serta roti tawar yang diolesi selai menjadi santapan pembuka hari.

“Kamu kapan kembali kesini Nin?” tanya Pram.

“Belum tau Pram, mungkin minggu depan. Tapi liat nanti deh. Berangkat aja belum.” jawab Nina.

“Kuliahnya libur sampai kapan?” tanyaku.

“Sampai kamis depan mbak. Jumat udah masuk. Tapi kan tanggung banget. Jumat, sabtu, trus minggu.”

“Iya, tanggung.” sambung Pram.

“Mungkin aktifnya mulai senin. Jumat, sabtu belum ada perkuliahan.” kataku.

“Biasanya sih gitu mbak. Tapi gak tau juga sih.”

Pukul 4.20, kami berangkat menuju ke bandara. Mataku terasa berat dan perih karena masih mengantuk, apalagi hawa dingin terasa menusuk hingga ketulang, membuatku serasa ingin memejamkan mata dan bersembunyi dibalik selimut.

“Nanti kasih kabar kalo udah sampe rumah Nin.” kata Pram.

Nina mengacungkan jempolnya.

“Moga perjalanannya lancar, dan selamat sampai dirumah.” kataku.

“Iya mbak. Makasih ya.”

“Pram. Makasih udah nganterin aku.”

Pram tersenyum lalu mengangguk.

Nina memelukku sebelum memasuki ruangan untuk Check-in. Langkahnya diiringi oleh lambaian tanganku, dan tatapan Pram yang mengawasi keadaannya hingga ia menghilang dibalik pintu.

“Kita pulang.”

“Ibu masih ngantuk banget.” sambungku.

Pram mengangguk, lalu menggandeng tanganku dan membawaku pergi dari tempat itu.

“Seumur hidup, ibu belum pernah naik pesawat.” gumanku.

“Masa sih bu?”

“Iya, beneran. Ibu kan belum pernah pergi jauh.”

“Paling jauh ya ke Bali. Itu pun naik mobil ini bareng suami.”

Pram menggeleng.

“Apa ya gak capek bu? Ke Bali kan jauh.”

“Capek sih, tapi kan banyak rest area.” jawabku sambil melihat ke arah langit dari jendela mobil.

Puluhan menit berikutnya, kami telah tiba kembali di rumahku.

“Ibu tidur lagi aja, nanti saya bangunkan.” kata Pram saat kami memasuki ruang tengah.

“Kamu gak ngantuk?”

“Enggak bu, tadi kan udah minum kopi.”

“Trus sekarang mau ngapain?” tanyaku sambil membuka pintu kamarku.

“Nonton tv.”

“Temenin ibu tidur. Mau?” tanyaku sambil melepaskan jilbab yang kukenakan.

Pram mengangguk, lalu menutup pintu kamar. Setelah kembali merebahkan tubuh dikasur, aku segera menutupi tubuhku dengan selimut. Pram berbaring disisiku, lantas memelukku dari arah belakang karena aku memunggunginya. Kukecup mesra tangannya yang melingkar di dadaku.


“Makasih sayang.” gumanku, sambil mendesakkan tubuhku kebelakang, kearahnya.

Pram membalas dengan mengecup tengkukku, lantas mempererat pelukannya. Hanya sesaat, akhirnya aku tertidur dalam kehangatan pelukannya.

♡♡♡

Jika aku seorang biseksual, apakah Pram akan menerimaku? Sebuah pertanyaan yang sedikit rumit muncul dikepalaku. Permainanku bersama Nina membuka tabir sisi lain kepribadianku. Aku bisa menikmatinya, bahkan meraih kepuasan berkat kepiawaian Nina.

Disisi lain, aku takut Pram sulit menerima kenyataan ini dan memilih menjauhiku, atau bahkan meninggalkanku. Aku rela untuk memperbaiki kesalahanku ini demi Pram, mengurangi dan belajar mengendalikan nafsuku demi Pram.

Aku yakin hal ini pun sangat baik untukku, agar lebih mawas diri dan melindungiku dari beragam modus lelaki diluar sana yang hanya ingin mencari kenikmatan seks.

Pram membangunkanku saat waktu menunjukkan pukul setengah tujuh kurang beberapa menit.

Kecupan bertubi-tubi di pipi akhirnya menyadarkanku dari tidur. Sejenak, aku menikmati kecupan-kecupan mesra dari lelakiku, menikmati limpahan kasih sayangnya di awal hari.

“Ciumin lagi…” pintaku, setelah Pram berhenti menghujani pipiku dengan ciumannya.

Pram memenuhi keinginanku, kembali menciumi pipiku berkali-kali dengan perasaan gemesnya. Ia bahkan melakukannya diseluruh bagian pipiku, hingga ke area dekat dengan telingaku. Tentu saja aku merasa geli dan tertawa kecil karena ulahnya.



Satu tanganku terjulur ke belakang, memegang kepalanya yang condong ke arah wajahku.

“Hhhmmmm… enakk..” gumanku sambil menikmati kecupan-kecupannya.

Beberapa saat berlalu, dan aku kembali membenahi selimut yang tersingkap diatas tubuh kami. Pram pun kembali memelukku.


“Mau lagi?” tanyanya.

Aku tak menjawabnya.

Dibawah selimut, kusingkapkan baju terusan yang menutupi tubuhku hingga ke bagian dada tanpa sepengetahuan Pram, lalu menuntun tangannya untuk menyentuh kemaluanku.

Pram nampak sedikit terkejut dengan perbuatanku, namun mengerti, lalu menyelipkan tangannya kedalam celana dalam dan mengusapi vaginaku.

Ia menuntun tubuhku untuk berbaring menghadap keatas, ke arah langit-langit kamar, lantas membuka lebar kedua pahaku. Satu lengannya menjadi alas leherku dengan telapak tangan bermuara di dada, di balik Bra yang masih menutupi payudaraku.

“Tangannya pinter.” gumanku, sambil menyusupkan tangan kedalam celananya.

Aku mulai terlena dengan usapan-usapannya yang lembut disekitar pangkal pahaku. Jemarinya bergerak pelan dan lembut, sangat cukup untuk memancing birahiku. Sebagai balasan, tanganku mulai meremas kemaluannya, lalu mengocoknya.

“Tangan ibu juga pinter.” balasnya, lalu tersenyum.

“Sayang suka?” tanyaku sambil terus mengocok penisnya.

Pram mengangguk, lalu meremas lembut payudaraku. Aku benar-benar menikmati sentuhannya. Namun semuanya berakhir ketika kami mendengarkan suara guntur menggelegar, lalu disertai padamnya listrik beberapa detik kemudian.

Kami menghentikan permainan dan bangkit dari ranjang. Dari balik jendela, langit kota pelajar nampak menghitam.

“Kayaknya mau hujan deh bu.”

“Semoga perjalanan Nina lancar.” gumanku.

“Aminn.” timpal pram.

Didepan jendela kamarku, kami memandangi rintik hujan yang mulai turun, membasahi bumi sebagai pembuka hari. Aku berdiri disampingnya, menyandarkan kepalaku dibahunya dalam diam.

“Berarti mbak Aya gak jadi ke parangtritis.” kataku.

“Mungkin gak jadi, hujan gini gak bisa jalan-jalan dipantai.”

Pram kembali mengajakku berbaring dikasur, menutupi tubuh kani dengan selimut dan memelukku.

“Ibu sama Nina main diranjang ini?” tanya Pram.

Aku mengangguk.

Aku sedikit terkejut karena Pram masih membahas permainanku dengan Nina. Aku sama sekali tak menduganya.

“Kenapa?” tanyaku.

“Gapapa kok bu. Cuman nanya aja.”

“Sayang marah ya?” tanyaku lagi sambil mengeratkan pelukan di pinggangnya.

“Enggak kok bu, saya penasaran aja.”

“Penasaran apanya?”

“Penasaran sama mainnya ibu dan Nina. Nina kan pendiam, kayak alim gitu. Kok bisa ya ngelakuin kayak gitu sama ibu.”

Aku terdiam sesaat, lalu naik ketas tubuhnya dengan dagu bersandar ditengah dadanya.

“Iya, ibu juga gak nyangka.”

“Selama ini ibu juga berpikir kalo ibu normal-normal aja. Gak pernah kepikiran atau membayangkan main sama cewek.”

“Tapi ya ternyata terjadi juga. Rasanya sih sama aja kayak main sama sayang. Cuman bedannya gak ada ngentotnya aja, jadi berasa gak lengkap.” jawabku.

“Mungkin kalo pakai dildonya Nina bakal jadi komplit.” sambung Pram.

“Iya sih. Mungkin. Tapi pasti kurang greget. Soalnya dildonya Nina gak ada yang gede kayak kontol sayang.” jawabku.

Pram tersenyum, lalu melumat bibirku dengan lembut.

“Ya pasti tetap greget bu, soalnya Nina kan punya banyak koleksi.”

“Enggak sayang. Ibu kan udah sering ngerasain punya kamu. Dan ibu udah terbiasa sama punya kamu.”

Lagi-lagi lelakiku tertawa. Dibawah selimut, kurasakan kedua tangannya meraba kedua belah pantatku yang masih tertutupi celana dalam. Baju terusan yang kukenakan kusingngkap hingga ke pinggang, agar memudahkan gerak kakiku saat menaiki tubuhnya.

“Trus, masa kita main bertiga biar ibu puas?” tanyanya.

Akhirnya kami kembali membahas topik ini, walaupun semalam telah membicarakannya. Sedikit berbeda, karena pagi ini, suasananya sangat mendukung, seiring dengan kenyamanan yang kami rasakan.

“Ibu sih mau, cuman takut cemburu aja. Sama takut nanti sayang ketagihan main saama Nina.” jawabku malu-malu.

“Ibu takut nanti sayang ninggalin ibu.”

Pram menyisipkan kedua tangan kebalik celana dalamku, dan mengusap lembut kulitku. Sesekali ia meremas pantaku. Ia kembali mendaratkan ciumannya dibibirku, melumatnya dengan lembut.

“Ibu jangan berpikir seperti itu. Saya tidak akan pergi karena hal seperti itu.”

“Seandainya pun Nina menaruh rasa pada saya, saya akan menghindarinya.”

“Berarti kita bisa main bertiga dong?” tanyaku lagi.

“Saya gak yakin bisa seperti itu bu, lagian juga pasti malu banget.” jawabnya lalu tersenyum malu.

“Iya, ibu juga malu.” timpalku.

Aku yakin, Pram berkata yang sejujurnya tentang Nina. Pram bisa saja menjalin hubungan dengan Nina karena selama ini mereka berteman, cukup akrab dan dekat sebelum akhirnya aku memasuki kehidupannya.

Ia memiliki peluang itu, namun melewatkannya dengan begitu saja. Seperti yang pernah ia ungkapkan, pertemanan mereka lebih berharga daripada hanya sekedar mengikuti keinginan pribadinya.

“Pas main kemarin, pas ibu udah keluar, Nina jilatin memek ibu. Airnya ditelan sama dia.”

“Dia gak jijik yaa.. padahal kan sesama cewek.” guman Pram.

“Iya.. sama kayak sayang. Dia gak jijik.”

“Malah, dia juga jilatin pantat ibu, soalnya airnya keluar, ngalir sampai situ.”

Pram terkejut, wajahnya menunjukkan seolah tak percaya dengan apa yang kuceritakan.

“Ternyata kalo dijilatin disitu, rasanya enak baaangggetttttttt..” sambungku.

Pram tersenyum, sambil terus mengusap kedua belah pantatku.

“Ibu suka?” tanyanya.

Aku mengangguk malu.

Sebuah sensasi baru yang cukup menggetarkan jantungku, membayangkan kami bercinta bersama Nina. Cukup menggiurkan walaupun masih bimbang dengan akibat yang akan ditimbulkannya.

Kekhawatiran utamaku bahwa Pram akan lebih memilih Nina setelah realisasi fantasi itu cukup mengangguku. Aku telah merasa memilikinya, begitupun sebaliknya, dan sejauh ini, kami selalu berusaha untuk menjaga satu sama lain, demi kebaikan hubungan kedekatan kami.

Aku cukup beruntung bisa menjadi perempuan istimewa baginya, karena jika melihat realita kehidupan pribadiku, aku sangat tidak pantas memperoleh keberuntungan itu. Usiaku terpaut beberapa tahun diatasnya, dan statusku yang telah menjadi seorang ibu membuatku semakin tak layak untuk menjadi pasangannya, walaupun hanya sebatas kekasih.

Pram adalah keberuntunganku, sosok yang mampu membuatku menjadi wanita bahagia dan sempurna. Itulah yang mendorongku untuk selalu berusaha terbuka padanya, bersikap jujur dan memberikan seluruh hatiku untuknya.

Menceritakan kejadian permainan seks bersama Nina adalah keharusan bagiku, karena aku ingin Pram tahu, tanpa harus menutupinya. Aku ingin membahagiakannya dengan caraku, walaupun mungkin akan terdengar sangat aneh dan sedikit ‘nakal’.

Secara terbuka, aku telah menawarkan untuk bercinta bersama Nina, karena aku yakin, Nina tak akan keberatan dengan hal itu. Aku harus mengalahkan rasa takut kehilangan lelaki dalam hidupku, karena aku pernah mengalaminya.

Aku kehilangan suami karena perempuan lain. Aku sangat yakin, jika hal itu terjadi, aku akan merasakan cemburu.

Pram bukanlah kekasih, bukanpula suamiku, namun aku sangat yakin, hati dan perasaan kami telah terikat. Dan sebagai perempuan normal, tentu saja aku akan bersikap egois jika menyangkut membagi hati dan tubuh Pram. Dia milikku, seutuhnya dan aku tak ingin ada perempuan lain yang menyentuhnya. Itulah keinginanku, itulah harapanku.

Namun, jika Pram menginginkannya, aku akan mengabulkannya dengan senang hati, jika hal tersebut bisa membahagiakannya, bisa membuatnya semakin mencintaiku.

Aku tahu, dibalik semua itu, aku harus menghadapi resiko kehilangan Pram. Kemungkinan itu selalu ada, karena kenikmatan seks selalu mampu menaklukan kebanyakan laki-laki, membuat mereka mabuk kepayang dan lupa segalanya. Aku pernah mengalaminya dan aku telah merasakan kehilangan.


♡♡♡ Seri 7 TAMAT ♡♡♡


Sampai jumpa di seri selanjutnya.

Terima kasih :rose:
 
makasih buat saran, kritik, tanggapan teman-teman semua. Maaf ya kalo g bisa bales satu persatu.

jadi gini ya teman-teman,

kisah Rindiani ini udah nyaris 80% jadi, dan jangan khawatir, karakter para tokoh utama tidak akan berubah, tapi mungkin untuk seri selanjutnya akan lebih banyak lagi memperkenalkan karakter tokoh lain dalam lingkaran pertemanan Pram.

kalo mengikuti dari awal, dan mungkin bisa memasuki semesta Rindiani, pasti bisa mudah menebak bagaimana perjalanan kisah mereka. Kayaknya si abang yang nanya berapa lama waktu perjalanan ke Bali kalo naik mobil udah paham 😂

dan mohon maaf ya kalo kisah ini gak sesuai ekspektasi kalian, soalnya beberapa bagian ditulis berdasarkan kisah nyata si tokoh utama.

terus...

dikisah ini gak ada BDSM lho ya.. ntu butuh bantuan dewa dewi kalo mau buat SS BDSM. Kudu punya skill level dewa.

terus...
3S, 4S, Dan sebagainya itu hhmmmm... coba lihat nanti di seri-seri selanjutnya aja ya.

masih inget tentang pengakuan rindi kalo dia ngerasa lebih mudah ON saat dengan Pram? Aku lupa di seri berapa itu. Nah, Pram juga ngasih kebebasan buat rindi untuk berekspresi. Kalo gk salah bukan kebebasan mutlak, tapi ada batasannya. (Kalo g salah sih, aku lupa soalnya) he he he maaf ya.

sebagai perempuan normal, rindi juga punya fantasi. Tapi coba deh baca seri 7 part 4 yang bagian dialog rindi dan Pram di kamar Pram.

terus..

jangan lupa

cuci tangan
pakai masker
jaga jarak aman


selalu sehat untuk kita semua.
 
Uhm uhm berhubung seri ini tamat mau komen dulu ah

Dari jogja ke bali mobil rindi jalan di kecepatan berapa dan menempuh waktu berapa lama ya??


Sehat selalu sissy @merah_delima
Katanya keceoatan 40km/jam bang. Waktu tempuh 4 hari gegara kebanyakan mampir, istirahat, nengokin keluarga, rekreasi, ban gembos, macet, kehabisan BBM.. etc... mwahahahahahahaha...

Sehat selalu disana dan lancar RLnya bang :ampun:
 
Bimabet
Makasih updatenya sist @merah_delima
Antara pram & rindi makin ada keterikatan yg dalam, makin saling memahami,
Apa nina akan ikut ambil bagian dlm hubungan mereka?
Pinteeerrrr... smart...!!

Inget percakapan di teras samping rumah rindi antara Nina, Pram, Rindi?

Nina kenal Calya lho ya. Kenal sejauh apa, masih belum diketahui karena nanti akan ada di seri2 selanjutnya.

Sedikit banyak, Nina akan mengambil peran dalam hubungan kedekatan rindi dan pram. Ok. Cukup segini dulu ya. Kalo kepanjangan ngebahasnya, ntar seri selanjutnya jadi garing, gk surprise lagi. He he he he.

Makasih ya :rose:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd