SG 50 – Forced Permission
“Huff hahh hahh”, aku berusaha mengatur ritme nafasku setelah pergumulanku dengan Lia tadi. Lalu aku merebahkan tubuhku ke ranjang.
Aku melirik ke arah istriku yang saat ini sedang berbaring menyamping dan memunggungiku. Kulihat Lia juga sedang mengatur ritme nafasnya yang tersengal lemah.
Sebenarnya aku belum mendapatkan klimaksku dalam permainan panasku bersama istriku tadi. Sedangkan Lia sendiri kuduga sudah mendapatkan orgasmenya 4 atau 5 kali.
Hal itu bisa kurasakan dalam beberapa posisi gaya yang tadi kupraktekkan dengan Lia, dan berujung dengan tubuhnya yang mendadak menegang dan bergetar lalu aku yang merasakan semburan hangat cairan cintanya itu di rudal kebanggaanku.
Lia memang kulihat sudah berupaya untuk bertingkah binal dan erotis untuk membuatku mencapai puncak kenikmatan juga. Namun ketahanan dalam bercinta-ku yang sekarang mungkin sudah jauh di atas rata-rata pria normal, membuatku masih belum meraih orgasme.
Lia sendiri dari sejak awal menjadi istriku, lalu mulai merasakan kenikmatan bercinta bersamaku, tidak pernah mau untuk melakukan oral kepadaku. Alasannya karena memang dia merasa jijik dan tidak suka perbuatan seperti itu. Dan aku pun tidak mempermasalahkan hal itu.
Dulu ketika kami masih berpacaran, paling jauh aku dan Lia hanya berciuman atau sekedar ber-
cuddling mesra. Aku sendiri memang tipe cowok yang agak konservatif, yang sudah bertekad untuk menjaga kesucian calon istriku sampai akhirnya dia sudah sah menjadi istriku.
Tadinya aku masih berniat melanjutkan aksiku kepada Lia. Aku sudah membuatnya terlentang pasrah setelah dia mendapatkan orgasmenya yang keempat atau kelima.
Tapi ketika aku mau menjebloskan kembali penisku ke dalam vaginanya, kulihat Lia sudah sangat kecapean dan lemas. Nafasnya sudah tersengal lemah dan matanya terpejam sayu. Tubuhnya pun terlihat sudah mandi keringat.
Lalu karena kasihan kepadanya, aku tidak jadi melanjutkan aksiku. Dan aku juga sama sekali tidak mempermasalahkan apalagi menyalahkan Lia karena aku juga paham ini semua gara-gara status atribut dan
skill baru yang kudapatkan dari sistem.
Lagipula malam masih panjang kawan!. Sebentar lagi juga aku akan menikmati layanan ekstra dari kedua budakku, Indah dan Vera, di dalam
dream room. Lalu dengan bersemangat membayangkan apa yang nanti akan kulakukan dengan mereka, aku bersiap untuk tidur dan mengaktifkan
dream connection.
Namun baru saja mataku terpejam beberapa saat, aku mendengar suara tangisan terisak di sampingku. Refleks aku membuka kembali mataku dan menoleh ke arah Lia.
Dan benar saja, kulihat Lia sedang menangis terisak sambil masih memunggungiku.
“Eh??”, aku seketika terkaget dengan reaksi Lia itu. Lalu dengan cepat aku memikirkan kesalahan apa yang telah kuperbuat, sehingga Lia sampai menangis. Apa aku lupa kalau hari ini ulang tahunnya atau ulang tahun pernikahan kami?
Tidak.. Hari ulang tahun Lia dan pernikahan kami masih lama lagi. Lalu apa?? Apa jangan-jangan Lia sudah mengetahui
affair-ku dengan Vera? Kalau dengan Indah kurasa tidak mungkin, karena selama ini aku hanya bercinta dengan Indah di dalam
dream room. Dan tidak mungkin Indah juga menceritakan semuanya kepada kakaknya.
Kemudian dengan berhati-hati, aku memiringkan tubuhku menghadapnya lalu memegang pundaknya lembut seraya berkata,
“Sayang.. kamu kenapa?”, ujarku lirih.
Kulihat Lia menggeleng sambil berusaha mengusap air matanya. Aku menghela nafas panjang lalu bertanya kembali dengan lembut kepadanya,
“Aku ada salah apa? Aku minta maaf kalau aku sudah membuatmu kecewa”, kataku lembut sambil mengecup pundaknya lalu membiarkan mulutku menempel di pundaknya itu.
Lia menggeleng lebih keras kali ini. Aku tak menyerah lalu bertanya lagi,
“Trus ada masalah apa? Bukannya dulu kita sudah sama-sama berjanji untuk saling terbuka dan obrolin semua?” tanyaku sambil mengutuk diriku sendiri.
Karena akulah yang sebenarnya menyembunyikan banyak hal pada Lia di kehidupanku yang kedua ini. Namun aku sengaja tidak menceritakan tentang kondisiku atau bahkan rencana balas dendam yang sedang kujalani saat ini.
Selain karena aku tidak mau membuatnya khawatir, aku juga tidak mau kalau Lia bisa sampai berhasil membujukku untuk tidak melanjutkan rencanaku lalu melanjutkan hidupku secara normal.
Tidak.. Satu-satunya alasan aku kembali ke kehidupanku yang sekarang adalah untuk membalaskan dendamku dan menghancurkan Rudy Zhao dan kelompoknya yang menjadi
cancer di dunia ini dan sudah semestinya dibasmi. Dan aku juga tetap berusaha untuk melibatkan sedikit mungkin orang lain dalam rencanaku ini.
Aku memang sudah berniat untuk menceritakan semuanya kepada Lia. Tapi kalau semua ini sudah berakhir. Kalau rencanaku menghancurkan Rudy Zhao dan kelompoknya sudah berhasil. Dan untuk saat ini, aku masih akan menutupi kenyataannya pada Lia.
Aku merasakan tubuh Lia sedikit gemetar dan berusaha membalik tubuhnya untuk menghadapku. Aku memundurkan sedikit posisiku untuk memberinya sedikit ruang. Lalu Lia berbalik dan menghadapku. Matanya kulihat merah dan berkaca-kaca. Lalu dia berkata,
“Zaa..”, ujarnya lirih.
“Oh ow..”, batinku seketika panik mendengar Lia memanggilku begitu. Sejak menikah denganku, Lia tidak pernah memanggilku seperti itu lagi. Aku seketika teringat, terakhir kali Lia memanggilku dengan namaku adalah ketika aku masih berpacaran dengannya.
Waktu itu raut wajahnya sama seperti ini. Lia juga memanggilku dengan namaku yang membuatku seketika sadar ada persoalan yang sangat serius yang harus kami bicarakan berdua.
Lalu saat itu Lia mulai menceritakan padaku bahwa dirinya sedang berusaha dijodohkan oleh bapaknya dengan anak dari temannya. Kemudian dengan masih berlinang air mata, Lia menatapku tajam dan mengeluarkan perkataan yang sampai detik ini pun masih terukir jelas dalam ingatanku.
“Lamar aku secepatnya za.. atau kamu akan kehilangan aku selamanya.”
..
Saat ini, aku berusaha menenangkan diriku. Jantungku mulai kurasakan berdetak lebih kencang. Lalu aku perlahan mengangkat tanganku dan membelai lembut pipinya, seraya menghapus sisa air matanya yang berlinang. Kemudian aku menunggu dengan sabar apa yang mau dikatakan oleh Lia.
Setelah beberapa saat, kulihat Lia sudah memantapkan hatinya lalu berkata dengan diiringi isak tangisnya lagi,
“Maafin aku za.. Aku sudah tidak bisa memberikanmu anak dari rahimku.. trus..trus.. sekarang aku sudah tidak bisa memberikan kepuasan biologis untuk suamiku..huu hiks..hiks”, Lia menangis semakin kencang dan kali ini menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
“Fyuhhh”, seketika aku menghembuskan nafas lega karena ternyata ini sangat berbeda dari apa yang kutakutkan. Lalu seketika pula aku memahami perkataan Lia tadi.
Sambil tersenyum, aku mengecup keningnya sekali lalu memeluk erat Lia.
“Sshh.. shh.. Bukannya dari dulu aku tidak pernah mempermasalahkan soal ini.. Kita juga dulu sudah sering berdiskusi, kalau soal anak bukannya kita sudah setuju untuk mengadopsi anak kalau kita berdua sudah sama-sama siap”, bisikku pada Lia sambil membelai rambutnya.
“Kalau soal bercinta, ini mungkin gara-gara vitamin kesehatan yang baru-baru ini aku konsumsi. Tapi aku puas kok dan sama sekali tidak merasa kecewa sama kamu”, lanjutku berbohong kali ini.
“Kalau kamu mau, aku akan berhenti minum vitamin itu, lalu kondisinya juga akan kembali normal lagi”, ujarku berusaha meyakinkannya.
Kulihat Lia menggeleng sambil agak mendorong tubuhku menjauh. Lalu Lia menatapku tajam sambil mengelus pipiku. Aku sudah paham dengan tatapan istriku ini. Kalau Lia sudah menatapku seperti itu, maka apapun permintaan yang terucap dari mulutnya selanjutnya, dengan terpaksa aku akan menurutinya.
“Ngga za.. itu hak kamu..”, Lia berhenti beberapa saat sebelum melanjutkan,
“Zaa.. kalo kamu benar-benar kecewa padaku dan berniat mencari istri baru dan menceraikanku.. a-aku ikhlas zaa.. aku relaa.. Kalau kamu juga.. berniat untuk berpoligami, aku juga siap za..”, katanya sambil berusaha membuat suaranya terdengar mantap seraya tersenyum. Padahal kulihat air matanya berlinang lagi.
“Oh my…”, batinku bingung harus mengeluh atau bersorak senang setelah mendengar perkataannya.
Kalau dalam kondisi normal, suami manapun yang mendengar perkataan itu dari istrinya, aku yakin akan langsung bersorak dalam hatinya lalu berselebrasi layaknya baru saja memenangkan
world cup.
Namun dengan kondisiku sekarang.. Aku harus apa kawan?? Kenyataannya sekarang aku sudah berpoligami secara tidak sah. Bahkan aku masih berusaha menambah jumlah
harem-ku.
Aku hanya bisa menatap Lia dengan tatapan penuh cinta seraya berusaha untuk merangkai kata-kata yang pas. Aku memang benar-benar sangat sangat mencintai Lia. Baik di kehidupanku sebelumnya ataupun di kehidupan keduaku sekarang.
Bahkan, kalau tidak terjadi tragedi tragis yang kualami di kehidupanku dulu, aku pasti akan memilih untuk tidak mengkhianati istriku ini. Aku akan lebih memilih untuk tetap setia pada Lia, tidak peduli seberapa
hot dan cantikpun wanita lain yang ditawarkan kepadaku.
Namun kesempatan kedua yang ditawarkan sistem kepadaku, ditambah dengan dendamku yang membara, membuatku harus memilih jalan ini. Jalan seorang
slave master, yang mau tak mau harus bisa menundukkan banyak wanita lalu kujadikan sebagai budakku yang patuh.
Setelah beberapa saat, aku kembali menghela nafas panjang lalu berkata kepada Lia,
“Kamu tau, sampai detik ini pun aku sangat sangat mencintai kamu. Tidak pernah sedikitpun terlintas di pikiranku untuk menceraikan kamu”, ujarku yakin dan berharap Lia bisa melihat kejujuran dan keyakinanku dari mataku.
“Kalau untuk berpoligami, walaupun syarat dan kondisinya sudah diperbolehkan dalam syariat, aku tidak mau kita buru-buru memutuskan hal seperti ini. Keputusan berpoligami artinya aku sudah sangat siap untuk bisa berlaku adil dan bertanggung jawab sepenuhnya atas istri-istriku. Dan hal seperti itu tidak bisa diputuskan secara grasak-grusuk. Wanita pilihannya pun tidak boleh sembarangan. Sampai saat ini aku tidak menemukan wanita sebaik dan secocok kamu untukku”, jawabku panjang dan berbohong kepada Lia seraya berusaha sekuatnya menyembunyikan kemunafikan di balik suaraku.
Lalu aku memajukan wajahku dan mencium bibir Lia dengan penuh perasaan. Aku memagut dan menghisap lembut bibirnya. Lama kelamaan, Lia mulai menikmati cumbuanku dan membalas ciumanku.
Cukup lama kami saling berpagutan dan bercumbu. Kurasakan ciuman kami terasa agak asin karena air mata Lia.
Setelah beberapa saat, Lia melepaskan bibirnya dari bibirku lalu berkata,
“Tapi za..”, ujarnya lirih.
“Shh.. gak ada tapi-tapian. Saat ini aku sudah cukup puas hanya dengan kamu. Aku tidak mau yang lain”, jawabku memotong perkataannya.
“Boong..”, kata Lia sambil menusuk perutku dengan jarinya. Tapi bisa kulihat sekarang dia lebih tenang, dan senyumnya tidak sepasrah tadi.
“Aghh.. hehe.. siapa sih suami yang nolak kalau istrinya sudah mengizinkan suaminya itu berpoligami”, kataku membela diri. Lalu aku melanjutkan,
“Tapi keputusan ini tidak boleh kita ambil secara terburu-buru. Harus dengan kepala dingin. Wanitanya pun harus diseleksi, emang kamu sudah ada calonnya? Kalau aku sih maunya yang putih, soalnya kan kulitku agak hitam, jadi biar anakku nanti putih cakepan dikit”, kataku seraya bercanda.
“Hngg maunyaa”, jawab Lia yang sekarang sudah terlihat jauh lebih tenang.
“Tapi kalau soal anak, jujur sekarang aku masih belum siap. Mungkin tahun-tahun depan, kita bisa obrolin lagi soal ini”, kataku mantap.
“Dan untuk urusan berpoligami, kamu harus memikirkan juga masak-masak. Karena yang ber-
impact lebih terasa itu kamu yang akan menjalaninya. Kalau aku sih enak-enak aja. Tapi tanpa poligami pun aku gak masalah..”, kataku bercanda lagi untuk membuatnya tersenyum.
Dan memang kulihat Lia langsung tersenyum mendengarkan perkataanku. Tapi terlihat juga Lia seperti sedang memikirkan sesuatu. Apa dia lagi mikirin calon-calon wanita yang akan ditawarkan kepadaku untuk kuperistri? Entahlah..
Lagipula aku sudah punya 2 calon sendiri yang nantinya akan kuceritakan pada Lia. Aku tidak tahu bagaimana nanti reaksi Lia, tapi aku tidak mempedulikan hal itu untuk saat ini.
Aku mengecup bibir Lia lagi sesaat lalu berbisik lirih, “Mau lagi?”
Lia seketika langsung menggeleng dan berkata lemah sambil wajahnya terlihat mau menangis lagi,
“ngghh.. aku udah capek banget.. maafin aku zaa..”
“Shhh.. udah jangan nangis lagi atuh. Iya aku gpp kok.. ya udah tidur aja yuk, udah malem”, bujukku menenangkannya lalu memeluknya hangat.
Sambil menepuk-nepuk pelan pahanya sambil sesekali membelai rambutnya, kurasakan Lia perlahan menjadi lebih rileks dalam pelukanku. Lia memejamkan matanya dan perlahan tampaknya dia mulai tertidur.
Aku pun memejamkan mataku dan bersiap untuk mengaktifkan
dream connection. Tapi kali ini, niatku berbeda dari sebelumnya. Saat ini aku perlu menceritakan persoalanku dan Lia kepada Indah dan meminta pendapatnya. Indah yang paling paham dengan kondisiku sekarang.
Sedangkan Vera? Ya mungkin nanti kalau
mood-ku membaik, aku akan memanggil kesadarannya ke dalam
dream room. Lalu kami akan beraktifitas seperti biasanya.
Aku menunggu selama beberapa saat sampai Lia benar-benar terlelap lalu mengaktifkan perintah
dream connection..
….
….
….