Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA SECRETUM TENEBRIS (UPDATE PAGE 103)

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Alurnya cukup rapi,ane jd inget dl ada cerita tentang dokter jg yg jago analisa dan naklukin perempuan, cm macet,moga2 yg ini nga
 
Kurasakan pudar dalam hatiku

Rasa cinta yang ada untuk dirimu

Kulelah dengan semua yang ada

Inginku lepas semua



Episode IV

Luna Piena




Aku tenggelam dalam pekerjaan… Kata-kata Ella semalam benar-benar menghantuiku. Tak butuh waktu lama bagiku untuk mencari data terkait transaksi antara PT. Dwipangga dengan RS Trikarya Husada. Data yang kudapat memang tidak detil. Aku tidak memiliki akses hingga data utang-piutangnya, tapi paling tidak jumlah dan jenis barang dan obat yang keluar masuk dapat kuteliti. Dan tak sulit untuk kusadari bahwa ada hal yang sangat aneh disini.



Proporsi permintaan obat dari PT Dwipangga yang memiliki harga pokok tinggi, sangat besar bila dibanding dengan obat-obat dari perusahaan obat swasta lainnya. Bahkan jauh melebihi proporsi permintaan obat generik. Aneh sekali ini… setahuku, mayoritas pasien yang dirawat di RS ini adalah pasien BPJS. Kenapa justru permintaan obat nya terbalik seperti ini.



Semakin kutelusur lebih jauh, semakin dalam kerutan dahiku…



Trastuzumab... Alteplase… Cetuximab…



Kenapa justru obat2an seperti ini yang diminta untuk stock. Padahal aku yakin benar bahwa RS ini tidak terakreditasi untuk dapat menangani pasien kanker dengan penjaminan BPJS. Dan aku tahu jelas bahwa pasien-pasien yang terdiagnosa kanker dan dirawat di RS ini mayoritas adalah pasien BPJS. Untuk apa banyak2 mengajukan permintaan stock untuk obat yang tidak bisa di klaim ke BPJS. Apakah pasien itu kemudian diminta untuk membayar obat-obat dengan harga selangit ini secara terpisah? Diluar paket BPJS nya..?



Tapi itu jelas melanggar Perjanjian Kerja Sama RS dengan BPJS… yang sangat beresiko akan putusnya hubungan kerjasama antara RS dengan BPJS… apakah benar kondisi pelayanan RS ini separah ini?

Aku betul-betul dibuat keheranan dibuatnya….



Belum lagi alteplase… Obat ini digunakan untuk terapi pasien stroke akut yang tiba di RS kurang dari 6 jam semenjak serangan stroke pertama dikeluhkan… Selama 1 tahun aku bekerja di IGD RS Trikarya Husada, memang banyak pasien stroke yang keluar masuk untuk dirawat di sini. Puluhan bahkan ratusan. Tapi dari sekian pasien itu hanya 1 kali aku dapat memberikan terapi Alteplase.



1 vial, dalam 1 tahun…

Selain dari harga nya yang fantastis (Rp 12juta per 1 vial), obat ini pun tidak ditanggung oleh BPJS… wajar jika tak banyak permintaan penggunaan obat ini dilapangan.

Tetapi, data yang terpampang dilayar monitorku sangat mengejutkan. Bayangkan betapa tercengangnya aku ketika mendapati dan dari data yang kutarik, tiap bulannya puluhan vial obat-obat tersebut di order oleh pihak farmasi, untuk kemudian diteruskan ke pabrikan obat. Permintaan obat puluhan vial per bulan, untuk obat yang bahkan tak bisa dijual rutin di lapangan. Gila…



Data ini kian memancing rasa ingin tahuku… Aku kemudian menarik data permintaan obat generik dan obat yang masuk dalam formularium nasional, jenis obat yang dapat ditanggung oleh BPJS dan memang sangat sering kugunakan saat di IGD.

Dan kecurigaanku terbukti… sebagian dari obat-obatan itu hampir tidak ada dalam list permintaan pengadaan obat rutin. Kalaupun ada, jumlah yang masuk ke data tim logistic untuk kemudian di orderkan ke pabrikan, sangatlah minim. Sangat tidak mencukupi untuk pelayanan sehari-hari di IGD. Padahal dari minggu ke minggu, jumlah kunjungan pasien ke IGD meningkat terus.

Pantas saja aku sering mendapati banyaknya kekurangan dan ketidaklengkapan obat di farmasi IGD. Aku sering dibuat pusing dan harus memutar otak berkali-kali untuk mengakali keadaan tersebut. Pasien sudah menderita, membutuhkan pertolongan, dan mempercayakan kesehatannya ke RS ini, tak mungkin tidak kulayani dengan semaksimal mungkin.

Aku benar-benar jengah melihat hal ini… Kami dokter umum yang menjadi garda depan seringkali harus menelan pil pahit amarah dan komplen dari pasien dan keluarga pasien karena merasa pelayanan kami tak maksimal. Sebisa mungkin sudah kuredam dan kuatasi supaya tidak merambat luas ke luaran bahwa RS kami tidak holistik dan paripurna dalam melayani pasien…

Tapi ini, mengetahui hal ini, amarahku mulai menggelegak. Apa saja kerjaan jajaran manajemen dan direksi. Bagaimana bisa hal ini terus menerus terjadi tanpa mereka melakukan apapun. Bahkan terkesan tutup mata dan justru ikut menyalahkan kami dokter umum ketika ada surat pengaduan pasien masuk.



Disaat otakku bekerja keras untuk meneliti dan menganalisa hal ini, telepon di meja kerjaku berbunyi…

“Selamat pagi, dengan dokter Luna di bagian Logistik, ada yang bisa saya bantu?” sapaku formal

“Ah ya,, dokter Luna , selamat pagi…” terdengar suara dokter Tantri Diyono, direktur utama RS ini ditelingaku. “Bisakah dokter ke ruangan saya sekarang dok? Saya tunggu.” lanjutnya.

“Ke kantor dokter dok? Baik… saya akan kesana sekarang” sahutku.



Ada apa lagi ini… 3 hari berturut-turut aku dipanggil menghadap direksi… dari dokter Padma, kemarin dokter Alvaro, dan hari ini dokter Tantri…

Jantungku berdebar kencang, tak mampu menutupi kepanikanku. Tapi, kenapa aku panik… bukankah aku tak melakukan kesalahan apa-apa… lantas, kenapa beliau memanggilku mendadak seperti ini…

Bergegas aku menyimpan semua temuan data yang tadi aku kumpulkan, kedalam satu folder file pribadiku. Dan dengan helaan nafas berat aku mengangkat tubuhku dan bersiap untuk menghadap direktur.

Aku mengeryitkan dahi dan meringis merasakan perih di selangkanganku. Semalam Ravi betul-betul murka dan menyalurkannya dalam sesi seks yang keras. Perilaku ku dalam acara makan malam membuatnya merasa dipermalukan di depan seluruh keluarganya. Aku tak kuasa melawan, memilih untuk tak melawan. Apa gunanya melawan jika itu hanya akan membuat kondisi makin buruk karena Ravi menganggap aku tak lagi patuh padanya.



Kedua pantatku pun masih terasa panas dan nyeri karena pukulan Ravi yang kasar semalam. Aku yakin pasti ada bekas telapak tangannya disana Punggungku pun kadang terasa ngilu bila posisi dudukku tidak benar. Akibat pompaan dan hentakan Ravi semalam yang tak mengenal ampun dan terus menghajar tubuhku hingga dia mencapai puncak orgasmenya. Bekas2 gigitan dan cupangan nya dapat kurasakan di sekujur tubuhku kali ini. Di leher, di balik telinga, di punggung, di dada dan payudaraku, di perut, bahkan hingga ke kedua betisku.



Aku tak lagi dapat menggunakan bawahan pendek, karena semua bekas luka itu akan terlihat jelas. Celana panjangku mungkin dapat menutupi luka itu, tapi aku tak dapat mengenakannya karena aku akan merasakan sakit saat selangkanganku tergesek ketika aku berjalan dan berpindah posisi saat duduk. Aku tak akan sanggup mengemudikan mobil sendiri jika aku mengenakan celana dan semua memar dan luka itu mengganggu konsentrasiku. Untungnya aku masih memiliki beberapa rok dan dress dengan potongan panjang hingga mata kaki. Yang akan cukup nyaman untuk ku kenakan saat aku mengemudi mobil dan hingga aku bekerja ini.



Baru saja aku keluar meninggalkan bagian logistik yang terletak di lantai dasar, aku berpapasan dengan dokter Alvaro…

Kenapa akhir-akhir ini aku jadi sangat sering bertemu dengannya? Dulu semasa aku di IGD aku bahkan hampir tak pernah melihat batang hidungnya… Well, selain pada saat pertama dulu kami berjumpa di IGD. Aku masih ingat jelas saat itu ada kondisi kegawatan pasien dan beliau tiba-tiba mengambil alih code blue-ku… a very long long time ago…



“Selamat pagi dokter Alvaro” sapaku.

Dokter Alvaro nampak cukup emosi dengan wajah seram dan pikiran kusut. Entah apa yang mengusiknya pagi ini.

“Oh,, ya dokter Luna. Selamat pagi juga. Dokter ada keperluan mencari saya, dok?” tanyanya.

“Dokter Tantri meminta saya menghadap dok” sahutku singkat.

Dan dalam sekejap ekspresi dokter Alvaro tampak seperti tersulut… Apakah itu amarah dalam sorot matanya? Atau cuma bayanganku saja…

“Direktur memanggil dokter?” tanyanya dengan dingin.

“Iya dok, baru saja beliau menelpon ke bagian logistik. Saya mohon permisi dok, beliau sudah menunggu saya.” dengan membungkukkan badan aku memohon ijin dari dokter Alvaro.

Yang adalah suatu kesalahan fatal…

Disaat aku membungkuk, sontak seluruh badanku terasa nyeri dan ngilu luar biasa hingga aku tak dapat menahan pekikan nyeriku. Cukup lirih sebetulnya, aku tak suka menarik perhatian berlebihan yang tak penting kearahku. Namun nampaknya tidak cukup lirih untuk lepas dari pendengaran dokter Alvaro.

“Ada apa dok? Dokter Luna barusan seperti kesakitan…” seperti biasa dokter Alvaro tidak menahan pertanyaannya.

“Oh tidak dok, tidak apa-apa” jawabku singkat. Namun tak dapat menutup nafasku yang menderu karena menahan sakit.

“Yakin dok? Apa perlu dokter ke poliklinik dulu, ijinkan saya memeriksa dokter lagi… Dokter Luna nampak kurang sehat” kembali dia mencecarku.

Kali ini aku betul-betul harus menghindari dan menolak permintaannya. Sungguh tak mungkin aku akan dapat menutupi penyebab dari luka-luka dibadanku. Dokter Alvaro akan langsung dapat menyimpulkan begitu dia melihatnya. Dan bagaimana dengan nama baik keluargaku. Tidak. Aku harus menjaga rahasia ini rapat-rapat.

Aku memilih untuk tidak menanggapi pertanyaan dokter Alvaro, dan membawa diriku segera berjalan menuju kantor dr. Tantri. Meninggalkan dokter Alvaro termangu sendiri…





Tok.. tok.. tok…

Aku mengetuk pintu kantor dokter Tantri, menunggu sejenak hingga kudengar suara dari dalam ruangan yang mengijinkanku masuk. Dokter Tantri nampak duduk di meja kerjanya, cukup penuh dengan berkas-berkas berserak yang aku bahkan tak mau tau tentang apa. Hanya saja benakku merasa ada yang aneh, masa meja seorang direktur seberantakan ini… Bukankah sudah ada sekretaris direktur yang akan membantu merapikan berkas-berkas tersebut.

Ah sudahlah… buat apa juga kupikirkan. Hanya satu harapku, semoga mood beliau tak sekacau mejanya.



Tanpa bicara beliau memberi tanda untuk mempersilakan aku duduk di hadapannya. Kali ini aku ingat untuk duduk dan memposisikan diriku perlahan, supaya nyeri dibadanku tak lagi menyerang.

“Selamat pagi dokter Tantri” perlahan aku menyapa untuk membuka pembicaraan.

Dari balik kacamata bacanya yang terletak agak rendah di hidungnya, dokter Tantri mengangguk membalas sapaanku. “Ya pagi dokter Luna. Untuk mempersingkat waktu, kita langsung ke pokok pembicaraan saja ya dok… apa betul dokter Luna mulai kemarin berpindah divisi ke divisi umum menjadi kepala bagian Logistik Farmasi?”



Pertanyaan yang aneh batinku dalam hati. Bukankah keputusan kepindahan divisiku sudah ditetapkan oleh jajaran direksi? Kenapa malah beliau bertanya balik kepadaku? Apa iya putusan kepindahanku hanya dilakukan sepihak oleh HRD dan direktorat umum yang ada diatasnya? Oleh dokter Alvaro seorang?...

“Ya betul dok, semenjak kemarin saya mendapat info dari bagian HRD bahwa saya dipindah tugaskan dari posisi saya di divisi pelayanan, ke divisi umum. Dan saya mengikuti arahan untuk berkantor disana mulai kemarin dok.”

“Kenapa dokter ******* sama sekali tidak tahu menahu soal ini dok? Apa dokter Luna tidak pamit baik-baik?” kejar dokter Tantri. Raut wajahnya nampak masam.



Hufft.. seharusnya aku tahu, pasti ******* yang paling hobi menggosip itu tidak bisa menjaga mulutnya dan langsung berkoar-koar melapor kepada istrinya terkait kepindahanku. Dan seperti kartu domino, tak akan butuh waktu lama sampai hal ini bergulir dan terdengar oleh sang nenek, yang mulia Tantri Diyono, yang tak lain adalah direktur utama.

Yah.. apa boleh buat. Laiknya dunia perpolitikan dimanapun, politik rumah sakitpun tak jauh berbeda. Kental aroma nepotisme. Tak heran mengapa seorang ******* yang tak becus, sering hanya tidur di kamar jaga saat shift, justru menduduki jabatannya sekarang. Posisi sebagai kepala dokter umum…



Sedari awal aku bergabung di Trikarya Husada, aku sudah mencium ada yang aneh dengan pemilihannya untuk jabatan tersebut. Jika saja ******* tidak setolol itu, mungkin aku akan lebih maklum dengan posisinya di RS ini. Tapi ini, jelas sekali dia sengaja ditaruh disana dengan sengaja, demi kepentingan atasan.. Apalagi setelah aku mendapati data yang kukumpulkan pagi ini, aku jadi sangat skeptis akan segala sesuatu yang terjadi di bawah atap RS ini. Jangan-jangan ******* hanyalah sebuah boneka untuk kepentingan yang lebih besar…



“Mohon maaf dokter Tantri, karena kepindahan jabatan ini cukup cepat dan mendadak, hingga saya lupa untuk menginformasikan kepada dokter ******* terkait mutasi saya. Akan saya segera hubungi dokter ******* supaya dapat menyesuaikan jadwal shift pelayanan di IGD dok.” sahutku tegas.

“Lain kali jangan begini lagi ya, merepotkan rekan-rekanmu sendiri kalau kamu tidak kooperatif seperti ini” muka kecut dokter Tantri bertambah jelas karena bibirnya mengerucut menunjukkan ketidaksukaannya.



Tapi kenapa beliau sangat terganggu dengan ini? Perasaan jadwal jaga dokter umum sangat jauh dibawah daftar prioritas direktorat medis. Dokter Padma saja tidak tahu menahu dan tidak peduli akan pembagian jam kerja dokter umum (yang sangat timpang dan semena-mena, dibawah pengaturan *******). Kenapa ini sampai harus direktur sendiri yang turun tangan. Aku mencoba menerka-nerka, dan mencoba peruntunganku dalam membaca situasi………



“Ya dok, saya sekali lagi mohon maaf. Saya mengira dari bagian HRD, yang kemarin memberikan surat mutasi jabatan pada saya, yang lebih berwenang untuk menyampaikan kepindahan jabatan saya secara resmi kepada seluruh unit terkait… “

“Huuhh,, HRD, direktorat umum kan. Memang semua sama saja… sukanya bekerja sendiri-sendiri dan tak pernah mau mengikuti arahan. Seperti Alvaro itu, asal memindah-mindah jabatan dan buat surat keputusan dalam sehari...” beliau mulai mengomel-ngomel di depanku.

Dalam hati aku tersenyum simpul... Tepat dugaanku. Ada perselisihan antar direktorat. Umum vs Medis. Dokter Alvaro vs Dokter Tantri.



Tak mengherankan memang. Sosok dokter Alvaro yang keras dan teguh pendirian tak berubah dari sejak pertama dulu bersinggungan denganku di IGD. Apa yang dia anggap benar dan layak diperjuangkan, akan segera dilakukannya tanpa kompromi. Sampai-sampai mempertaruhkan legalitas pelayanan kegawatan yang dilakukannya, walau dia tau benar, dia tak memiliki SIP… Lalu sekarang dia sampai berseberang pendapat dengan direktur utama, hanya soal perpindahan jabatanku di RS ini. Entah apa yang ada dipikiran dokter Alvaro kali ini. Mempertahankanku di RS ini hingga seperti itu. Aku mungkin harus menemui dokter Alvaro lagi… segera setelah semua luka ku sembuh.



“Oh ya dokter Luna. Mumpung saya ingat, saya mau memberikan pesan pada dokter Luna. Untuk tidak gegabah dan belajarlah dari sumber yang benar. Mungkin data-data dilapangan yang akan dokter Luna hadapi mulai sekarang di Logistik akan jauh berbeda dengan apa yang dokter Luna biasa ketahui dilapangan. Saya harap dokter Luna bijak menelaah dan jangan segan-segan bertanya pada senior-senior yang ada di Instalasi Farmasi. Tim logistik banyak tidak paham terkait pengadaan. Karena background mereka hanyalah staf gudang yang buta akan medis. Kalau hanya berpegang pada pengetahuan tim logistik saja, dokter Luna pasti akan salah dalam menganalisa data yang ada.” lanjut dokter Tantri.



Sebersit aku dapat merasakan ketegangan dalam hubungan antara dokter Tantri dan dokter Alvaro. Tapi aku belum begitu yakin. Dokter Tantri cukup baik dalam menutup dan mengatur emosi saat bertutur kata. Tapi gesture tubuh dan mimik wajahnya, cukup untuk membuatku yakin bahwa RS ini adalah zona perang antara mereka berdua. Dengan tak ada satu pihakpun yang mau mengalah.

Kedua mataku seperti dibukakan dan kini terang sudah terlihat bahwa dibalik kemulusan permukaan pelayanan dan manajerial RS ini, begitu banyak kawah dan lubang-lubang disana sini. Aku benar-benar harus berhati-hati melangkah sekarang. Salah-salah karir, bahkan nama baikku mungkin akan jadi taruhannya.





Aku meninggalkan ruangan dokter Tantri. Pikiran kusut dan penuh dengan kalkulasi. Berjalan setengah sadar menuju lift. Dimana aku bertemu dengan pak Roy, kepala HRD.

“Selamat siang dok, kebetulan sekali saya bisa bertemu dokter disini. Saya ada perlu bicara dengan dokter Luna.” pak Roy menyapaku.

“Baik pak Roy… mau bicara di kantor saya pak?” sahutku seraya mengikutinya memasuki lift.

Pikiranku masih sangat penuh. Kepalaku terasa berat. Seolah diajak berpikir tentang apa yang akan pak Roy sampaikan saja tak mampu. Untungnya pak Roy langsung memulai pembicaraan setelah menempatkan diri di meja kerjaku.

“Jadi begini dokter Luna. Ini surat resmi untuk pengaturan mutasi jabatan dokter Luna, sebagai kepala bagian logistik farmasi… “ ujarnya seraya menyodorkan berkas-berkas yang dia bawa tersebut kearahku.

“Didalamnya terdapat penjabaran jelas tentang hak dan kewajiban dokter Luna sebagai kepala bagian, peraturan tentang jam kerja yang baru serta tunjangan-tunjangan yang akan dokter Luna peroleh dari posisi baru ini….”



Seketika aku tersentak dari kondisi setengah sadarku. Ah iya. Gaji. Jam kerja. Aturan lembur. Ini semua pasti berbeda dibanding dengan posisiku dulu. Jabatan baru, aturan baru. Dan aku belum menjabarkannya secara gamblang pada Ravi.

Ravi... Bahkan mengingat namanya saja sudah membuat seluruh tubuhku ngilu lagi.



“Pak Roy, tolong bisa jelaskan poin pentingnya? Jam kerja saya berubah jadi jam kerja kantor?”

“Iya dok betul sekali.. mulai sekarang dokter berkantor pukul 08.00 sampai pukul 16.00 dari hari Senin hingga Jumat dan pukul 08.00 hingga pukul 12.00 di hari Sabtu. Tanggal merah dan hari Minggu dokter mendapatkan hak libur.”



Okay.. jadi aku akan pulang terlambat 2 jam di hari Senin sampai Jumat, dan lebih awal 2 jam di hari Sabtu. Jam kerjaku juga dimulai lebih siang 1 jam…



“Lalu untuk lembur?”

“Sebagai kepala bagian, dokter Luna bertanggungjawab untuk memastikan pekerjaan baik yang rutin maupun insidental bisa tercapai sesuai dengan target waktu yang ditentukan. Apabila dokter bisa mengatur pembagian kerja dan efisiensi kerja dengan baik, saya rasa tidak akan ada lembur untuk dokter. Namun bila memang lembur itu diperlukan, tidak ada tambahan jasa lembur untuk kepala bagian, jasa lembur hanya diberikan pada anak buah saja.”

“Kalau untuk gaji, pak?” aku tahu ini konyol. Mana ada yang seperti aku, baru menanyakan ini semua setelah bermutasi kerja. But better late than never. Dan aku harus mengetahui ini semua sejelas-jelasnya. Untuk dapat menjawab cecaran pertanyaan Ravi nantinya. Kuharap dia akan dapat memahami dan maklum akan mutasiku ini.

“Secara total, tidak ada perubahan signifikan dari jabatan yang lama ke yang baru ini dok. Tapi diharapkan bila nanti dokter bisa berprestasi dan dapat melakukan pekerjaan baru ini dengan baik sesuai arahan atasan, tidak menutup kemungkinan akan ada pertimbangan untuk kenaikan“ pak Roy tampak sangat berhati-hati untuk berbicara dalam hal ini.



Ya. Bagi siapapun masalah duit adalah masalah sensitif. Terlebih untuk Ravi. Godjali

Tapi justru aku tertarik dengan kata ‘berprestasi’ dan ‘pekerjaan sesuai perintah atasan’ yang diucapkannya. Apa gerangan maksudnya?



“Pak Roy, yang dimaksud atasan saya, siapa? Mohon maaf saya masih kurang memahami struktur organisasi di RS ini…” lebih baik bertanya sekarang sekalian begitu pikirku.

“Oh. Kalau itu tentu dokter Alvaro, dok. “ sahut pak Roy cepat. Dan seketika kurasakan mood nya seperti berubah. Senang. Dia nampak sangat senang. Tapi kenapa…

“Dokter Alvaro, pak? Seorang kepala bagian langsung menginduk ke direktur umum?” jujur aku agak terheran dibuatnya.



Sangat sangat berbeda dengan direktorat medis. Di divisi medis, tingkatan birokrasi dan jabatan sangat berlapis-lapis. Sesuai aturan struktural, aku di posisiku yang dulu, bila ada masalah, maksimal hanya bisa mengutarakannya kepada dokter ******* selaku kepala dokter umum. Dimana setelah itu dokter ******* yang berwenang menyampaikan kepada dokter Padma, selaku manager medis. Dan setelah itu barulah sampai kepada dokter Agus Taksaka sang Direktur Medis. Langit lapis ketujuh aku sering menyebutnya. Sangat tidak efisien dan sering sekali terjadi miskomunikasi dalam perjalanannya. Masalah kecil dibesarkan, dan masalah besar dikecilkan… seperti soal ketersediaan vaksin. Dan soal penanganan pasien yang salah diagnosa...



Ya, kurang lebih itulah gambarannya.



Pikiranku kemudian melompat kembali ke data – data yang kutemukan pagi ini. Apakah ini yang diminta dokter Alvaro? Tapi bagaimana aku harus melaporkannya. Sangat tidak bijak bila dengan berbekal data kasar seperti ini aku langsung angkat bicara…



Bu Vera. Ya… aku akan melaporkan dan mendiskusikan data ini dengannya dulu. Pasti dia bisa membantuku. Aku juga memikirkan untuk bertanya juga pada Bu Tyas, kepala Instalasi Farmasi. Toh tadi dokter Tantri sendiri yang memerintahkan demikian. Rencana-rencana mulai bermunculan dalam otakku. Sampai-sampai aku melupakan pak Roy yang masih duduk di depanku, yang nampaknya hendak memohon diri untuk kembali ke kantor HRD.



Sepeninggal Pak Roy, tanpa menunda waktu, aku kembali memusatkan konsentrasi dan perhatianku ke laporan dan alur keluar masuk obat yang tadi pagi kukerjakan. Sebegitu tersita perhatianku, hingga aku lupa waktu. Sampai dering handphone ku menyentak dan memecah konsentrasiku. Kuintip layar ponselku dan kulihat nama Ravi disana…

Ravi? Mau apa lagi dia? Kenapa jam segini dia menelponku, biasanya dia masih sibuk dengan pekerjaannya sampai jam makan siang. Begitu batinku…



Tapi kemudian aku terkejut bukan kepalang saat melihat jam mejaku menunjukkan pukul 13.40. Hah? Udah jam segini aja… cepat sekali waktu berlalu…



Segera kuangkat telpon Ravi dan kusapa dia dengan suara datar. Aku mencoba mengatur perasaan dan emosiku. Apa yang sudah dilakukannya semalam betul-betul sudah menguji ambang kesabaranku.



“Ya, Pa. Selamat siang”

“Luna, sudah jam segini, sudah waktunya kamu pulang kan. Ingat pesanku. Jangan terlambat.”



Jangan terlambat. Jangan terlambat. Selalu itu pesannya. Seperti sebuah mantra. Tentu saja aku tak akan lupa Ravi. Kau selalu mengulangnya setiap hari. Hingga aku mendapat julukan Cinderella. Tapi kali ini, aku tau aku tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan untuknya…



Aku menguatkan hati dan menghela nafas seraya menjawab Ravi. Menyiapkan telingaku untuk omelannya yang pasti tak berujung… “Mulai hari ini aku punya jam kerja yang baru Pa. Karena aku sekarang menjabat sebagai Kepala Bagian Logistik Farmasi. Jadi aku baru bisa meninggalkan RS pukul 16.00.”



Tapi… justru hal sebaliknya yang terjadi.



“Oh.. oh… akhirnya kamu tak lagi hanya menjadi dokter jaga IGD ya… hahahahhhahaa.. dan apa katamu barusan, logistik farmasi? Dan kamu kepala bagiannya? Bagus bagus… hahhaha” Ravi justru tertawa terbahak.

Tawa yang membuat tulangku serasa membeku. Dan bulu kudukku merinding. Perasaan yang sama saat aku berhadapan dengan Ella… Juga saat aku menemukan data obat-obat PT. Dwipangga pagi ini.



Oh no… Please no… if my gut feeling is right then…




Asam lambungku seketika naik dan aku merasa mual. Pengaruh dari makan siangku yang terlambat hari ini tentu,, tapi lebih-lebih karena perasaan campur aduk dalam hati dan pikiranku.



“Akhirnya ada titik terang setelah sekian lama Tyas tidak segera memberi kabar membahagiakan dari RS-mu itu… masih ada harapan sekarang dengan posisimu Luna.. hahaha… So, kamu hari ini pulang jam 16.00 ya? Perlu kujemput sekalian aku pulang kantor nanti?” Ravi melanjutkan

“hah? Jemput? La terus mobilku gimana, Pa?” untungnya bibirku masih bisa spontan menjawab meski otakku bekerja 100x lipat lebih cepat mendengar semua yang diutarakan Ravi barusan.



Ada apa ini… selama aku bekerja di RS hampir tak pernah Ravi menjemputku. ‘tak ada waktu’, ‘kamu kan bisa nyetir sendiri',,, selalu itu alasan Ravi. Dan aku tak pernah mempermasalahkannya. Toh dengan begitu aku bisa mendapat waktu bebasku. Waktu yang singkat diantara peranku menjadi seorang istri dan ibu dalam kehidupan pribadiku, dan peranku menjadi seorang dokter yang mencerminkan profesiku. Waktu untuk aku bisa menjadi diriku sendiri. Waktuku lepas dari segala tekanan, walau hanya sekejap…



“Oh iya… kamu masih bawa Cooper ya hari ini buat berangkat kerja… Ya sudah. Hati2 nanti pulangnya. Sampai ketemu nanti dirumah.” Ravi kemudian memutus sambungan telepon.

Hatiku masih berdegup kencang… Reaksi Ravi barusan sangat jauh dari yang kuperkirakan. Tak sedikitpun dia mempermasalahkan jam kerjaku, perubahan jabatanku, bahkan dia tak menanyakan apapun terkait gajiku. Hal yang sangat-sangat aneh. Seorang Godjali yang tak memikirkan jumlah gaji istrinya, yang biasanya sangat senewen dia ributkan karena keseluruhan pendapatanku dialah yang mengaturnya. Aku hanya diberikan jatah sekian juta per bulan untukku ‘memanjakan diri‘. Ya… uang saku bulananku sudah dijatah oleh Ravi. Jangan kira keseluruhan gaji itu adalah hak ku sepenuhnya. No. Yang kuterima tiap bulannya bahkan tak mencapai separuh dari gajiku. Selebihnya adalah untuk Ravi mengelolanya.



Tapi lihatlah… Jajaran direksi di RS ini semua mencapku sebagai dokter umum mata duitan. Selalu meminta kenaikan gaji, lebih dan lebih lagi… Padahal Ravi jugalah yang selalu mengompori dan menyuruhku untuk menyampaikan hal itu ke HRD. Rasa maluku harus kubuang jauh-jauh, hanya demi memenuhi ego dan keinginan Ravi. Reputasiku pun sedikit banyak tercemar…



‘Dokter Luna memang cukup mampu dan cerdas dalam pekerjaan, sayang permintaannya terlalu tinggi dan tak masuk akal'



Pernah kudengar kata2 itu terucap dari salah seorang petinggi di RS ini. Dan aku bahkan tak bisa menyanggahnya… meski sangat perih batinku mendengarnya.



Pikiran dan perasaanku yang kalang kabut kembali terfokus pada Ravi. Dia yang kuduga akan sangat murka karena perpindahan jabatanku, nampaknya justru sangat menikmatinya… Yang membuatku merasa sangat jijik dibuatnya.



Aku tau apa rasa ini… aku hanyalah sebuah pion untuknya. Segala jabatan. Segala posisi. Segala kesulitan yang kualami di RS ini… pada akhirnya, aku hanya berharga apabila apa yang kukerjakan dapat menguntungkan Ravi dan keluarganya. Lidahku terasa sangat pahit memgingat bahwa Ella akan mengetahui akan mutasi jabatanku ini cepat atau lambat…



Oh God… please please give me strength and guidance to get through this. In nominee patris et filii et spiritus sancti. Amen.
 
Yah.. apa boleh buat. Laiknya dunia perpolitikan dimanapun, politik rumah sakitpun tak jauh berbeda. Kental aroma nepotisme. Tak heran mengapa seorang ******* yang tak becus, sering hanya tidur di kamar jaga saat shift, justru menduduki jabatannya sekarang. Posisi sebagai kepala dokter umum…

Bagus amat update nya...
Mengupas seluk beluk pengadaan dan logistik serta 'celah' permainan nya...
Hanya sedikit terganggu dengan '*******' (bintang bintang) tsb... entah untuk menyamarkan seseorang atau sesuatu hanya lah sang @JilboobWarior yang paham...

Namun kalo cerita ini fiksi dan bukan dokumenter tentulah bisa di ganti nama, tempat, jabatan, atau apapun yang di 'bintangi' tersebut dengan samaran...

Entah pula kalo itu adalah sebuah clue bagi sebuah kesimpulan yang akan dibuka di akhir cerita...

Thx..
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd