Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA SECRETUM TENEBRIS (UPDATE PAGE 103)

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Trastuzumab.… Cetuximab... Obat kemo ya suhu? Setahu ane obat ini bisa di tagihkan terpisah untuk pasien BPJS asal RS nya sudah kerjasama untuk pelayanan kemoterapi 😁 cmiiw
 
Trastuzumab.… Cetuximab... Obat kemo ya suhu? Setahu ane obat ini bisa di tagihkan terpisah untuk pasien BPJS asal RS nya sudah kerjasama untuk pelayanan kemoterapi 😁 cmiiw
anda benar sekali cm tidak semudah yang dibayagkan prosedurnya. dan pada kasus ini, RS blm bekerja sama dan layanan nya belum banyak kenapa bs stok banyak (namanya jg cerita suhu, wkwkwkkwkwkw, kan di dramatisir)
 
Tak pernah kuragu, dan s'lalu kuingat

Kerlingan matamu, dan sentuhan hangat

'Ku saat itu takut mencari makna

Tumbuhkan rasa yang sesakkan dada





Episode V

Gibbosa Calante



Setiba aku di rumah, aku merasakan aura yang sangat dingin mencekam. Ada apa gerangan ini… dimana Phoebe ku?… aku bergegas menuju kamar tidurnya, dan dapat menghela nafas lega setelah melihat wajah mungilnya yang tampak tertidur pulas di ranjang. Babysitter Phoebe juga tampak duduk di kursi didekat ranjang menungguinya. Aku buru-buru mendekat dan mengecup kening Phoebe, tepat diantara kedua alisnya… tersenyum kecil saat melihat Phoebe tampak mengerutkan dahi karena ulah usilku barusan, meski dia tetap lelap dalam tidurnya.

Setelah memberi tanda pada babysitter Phoebe untuk tetap menungguinya, aku beranjak keluar kamar tidur untuk berganti pakaian. Itu, dan kemudian mencari tahu apa gerangan yang terjadi di rumah ini, karena aura tak nyaman ini tak kunjung reda.



Aku berjalan keliling satu persatu ruangan di rumah tingkat ini. Dan setiba aku di ruang kerja Ravi (ya, bahkan di rumah pun dia punya ruangan khusus untuk bekerja, keturunan workaholic yang mendarah daging di trah Godjali), aku akhirnya menemukan apa yang kucari. Aku mendengarnya lebih dulu dibanding melihat. Tapi 100% aku yakin tak akan salah mengenali suara itu. Suara yang membawa aura dingin ke seluruh penjuru rumah ini. Umar Godjali. Papa mertuaku. Dia ada dirumah ini, dan Ravi sedang berbincang dengannya…

Yup… rasa beku langsung menjalar sepanjang tulang belakangku. Serasa menusuk dan ngilu di seluruh badanku. Rasa yang semakin terasa menyakitkan batin saat aku akhirnya mendengar topik pembicaraan mereka.



“Kemarin aku bertemu dengan Gunawan dalam acara pernikahan keponakannya. Gunawan yang songong dan sombong itu, bah… selalu saja mencari celah dan mencoba mengolok-olok keluarga Godjali, apa dia tidak bisa bercermin? Acara macam apa itu, makanan aja sampah, dan busana yang mereka semua kenakan bahkan kuno semua…” suara papa mertuaku menggelegar terdengar bahkan dari luar ruang kerja Ravi dimana aku mencuri dengar.

Ravi hanya tertawa mendengar cerita ayahnya. Tampak sangat puas dengan cara ayahnya mengolok-olok keluarga lain.

“Tau tidak Ravi, Gunawan itu dulu memang sukses di kota ini. Kami sama-sama memulai dari bawah, teman arisan bahkan itu mamamu dan istri Gunawan itu. Sering pergi bersama, tamasya bersama. Tapi lihat sekarang, kesuksesan nya hanya bertahan seumur jagung. Apalagi kalau bukan karena kesombongannya… hahahahha… dan kemarin dia berani coba mengejek ayahmu ini, berkata kalau perusahaan-perusahaan keluarga Godjali tidak bisa berdiri sendiri kalau tidak ada dukungan dan utangan bank. Berani sekali mulutnya berbicara begitu. Sedang dia sendiri saja tidak memiliki usaha, sertifikat tanahpun hanya punya 1 atau 2. Mana bisa dibandingkan dengan kekayaan Godjali. Hahahaahhaa….”

Sahut-sahutan tawa mengejek itu terus menggema dari dalam kantor Ravi. Aku tak tahan lagi mendengarnya, mulutku terasa sangat pahit dan akupun beranjak pergi meninggalkan mereka. Ucapan macam apa itu. Dan kenapa mereka bisa sangat congkak seperti itu. Tertawa dan mengolok orang lain yang bahkan dulu adalah teman mereka sendiri… Semua dinilai dari kekayaan, harta, dan uang. Selebih dari itu, sudah tak ada maknanya dalam keluarga ini.



Dadaku terasa sesak, pengap rasanya dalam rumah tinggalku sendiri. Hanya karena papa mertuaku ada dibawah atap rumah ini. Segera aku pergi kembali ke kamar Phoebe. Hanya dialah yang bisa memberiku ketenangan dan rasa nyaman di rumah ini….





Esok hari – RS Trikarya Husada



Setiba di kantor, aku menemui bu Vera untuk menceritakan serta mengkonfirmasi ulang data yang kutemukan kemarin. Aku hanya menunjukkan data itu padanya, tapi semua berkas dan file tetap kupegang sendiri. Aku tak bisa mempercayai siapapun di RS ini kecuali diriku sendiri. Apalagi ini adalah hal yang sangat sensitif. Pengadaan obat mahal secara besar-besaran, belum dengan masa kadaluarsa singkat dan penggunaan yang minim.

Jujur saja seorang Bu Vera meski sudah berpengalaman dalam stock gudang, tidak akan mampu mengendus permainan ini. Karena dia sama sekali tak memiliki latar belakang medis.



Cih.. kedok yang sangat sempurna… siapa lagi yang punya cukup andil dan kekuatan di RS ini untuk dapat mengatur jabatan logistik yang memiliki celah sebesar ini selain jajaran direksi sendiri. Jajaran yang sama yang bisa langsung menendangku keluar dari RS ini bila aku salah langkah dalam melaporkan dan menyusun data-data ini.



Aku terus mengingatkan diriku sendiri untuk sangat berhati-hati dalam berkoordinasi dengan bu Vera. Hanya bagian-bagian tertentu yang kubagikan dengannya. Begitu pula rencanaku nanti siang saat bertemu bu Tyas, kepala Farmasi. Data yang kuberikan dan kubagikan untuk didiskusikan dengan mereka tidak utuh. Tersebar disana sini, dimana hanya aku yang paham untuk menyusunnya pada akhirnya.



Awalnya bu Vera agak heran dan mungkin sedikit curiga dengan permohonanku. Namun begitu aku mengatakan padanya bahwa laporan ini adalah perintah langsung dari dokter Alvaro, tanpa basa-basi dia langsung meninggalkan semua pekerjaannya untuk segera membantuku. Nama dokter Alvaro nampaknya menjadi suatu mantra atau momok di divisi ini. Nobody wants to mess with him.





Kembali ingatanku saat pertama dulu bertemu dengannya di IGD terbersit di otakku. Entah setan apa yang merasukiku saat itu sampai berani menyanggahnya. Bodoh memang darah mudaku. Meski aku tak tahu dia sekejam ini saat itu, tapi jelas-jelas beliau saat itupun sudah memperkenalkan diri sebagai direktur. Dan aku, dikuasai emosi, dengan sengaja menceramahinya. Di depan perawat. Di IGD yang ramai… bodohhhhh!!!..

Terlebih sekarang aku berhutang budi dengannya, karena jabatan baru ini. Belum lagi dengan kemarin saat beliau mengobati lukaku… hmmhh… aku bingung dan pusing sekali menghadapinya sekarang.

Tapi dengan tanggung jawab menyusun laporan ini… perintah khusus dari beliau untukku… Well, aku harus memulai membalas kebaikan dan kepercayaannya padaku… and I guess, this is a good start. Laporan ini harus sempurna. Harus sesuai dengan harapan dokter Alvaro. Hanya ini yang bisa kulakukan untuknya.



Diskusiku dengan bu Vera berjalan dengan cukup lancar. Sampai pada titik dimana aku membutuhkan SOP dan kepastian alur pengadaan obat yang selama ini berjalan terlebih dulu. Aku sudah mendapat gambaran bagaimana alur ini dilakukan dilapangan, tapi apakah sudah sesuai dengan regulasi RS ini, ataukah regulasinya sendiri yang memang cacat cela… aku perlu menelitinya lebih lanjut untuk mencari celah yang mungkin terbentuk.



“Bu Vera, saya memerlukan buku SOP untuk unit logistik ini bu. Bolehkan saya pinjam sebentar?”

“Oh, untuk buku SOP kebetulan saat ini sedang dipegang oleh dokter Alvaro, dok. Baru minggu lalu beliau meminjamnya untuk mengkoreksi beberapa SOP.” sahut bu Vera.

“Hmm, baiklah.” aku terpaksa memulai nya dari sisi medis kalau begitu...



Meski dalam hatiku sudah pesimis.

Mengetahui rekam jejak kerja dokter Padma dan dokter Agus Taksaka di direktorat medis, mungkin bahkan SOP permintaan obat untuk instalasi Farmasi belum disusun sama sekali. Sejauh ingatanku, dari sekian banyak SOP yang kubuatkan dan/atau kukoreksi untuk direktorat medis, belum pernah kulihat ada SOP tersebut di unit Farmasi. Huft aku hanya berharap bahwa sejak tugas itu dilepaskan dari tanggung jawabku beberapa minggu lalu, sudah ada orang lain yang mengerjakannya.





Setelah selesai dengan bu Vera aku menuju ke unit Farmasi, ke kantor bu Tyas.

“Selamat pagi bu Tyas, mohon maaf mengganggu… apa saya bisa minta waktunya sebentar?” sapaku kepada bu Tyas.

“Pagi dok, mari-mari silahkan duduk… “ bu Tyas tampak agak salah tingkah dan segera merapikan berkas-berkas mejanya.

“Maaf sekali bu. Karena saya datang kemari tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Saya bisa datang lain waktu…”

“Oh tidak apa-apa dok. Pasti akan ada waktu untuk dokter. Gimana dok kabar pak Ravi dan hmm Phoebe juga?” bu Tyas mencoba merayuku untuk tetap tinggal. “Silakan dokter Luna. Apa yang bisa saya bantu?”

Kenapa pula ini orang berani-berani membawa nama Ravi dan Phoebe dalam pekerjaan. Dan kenapa caranya menyebut namanya seakrab itu…

Memang benar kemarin sore di telepon Ravi ada menyebut nama Tyas, apakah bu Tyas ini yang dia maksud? Tanda tanya besar muncul dalam benakku. Potongan puzzle lainnya yang menambah ruwet hidupku…

Tapi aku harus fokus untuk laporan ini dulu. One at a time. Selesaikan satu per satu. Begitu ujarku dalam hati.



“Terimakasih bu… saya ingin meminta tolong dan bertanya pada bu Tyas. Terkait permintaan beberapa obat yang masuk ke bagian logistik bu.. seperti alteplase? Apakah ada data penggunaan obatnya di lapangan bu? “ aku coba memancing.

Dan sesuai dugaanku, wajah bu Tyas nampak agak memucat sedikit. Ekspresinya berubah panik. Hmm… menarik.



“Ohhh.. kalau data semacam itu di unit kami di Farmasi tidak ada dokter Luna… hmm mungkin bisa dimintakan ke dokter Padma..?” ujar bu Tyas berkilah.

“Farmasi tidak memiliki data penggunaan dan permintaan obat? Ohh.. bagaimana bisa?” ujarku dengan nada terkejut dibuat-buat.

“Iyaa dok.. itu semua langsung diatur oleh manajer medis yaitu dokter Padma.” kembali bu Tyas mencoba meyakinkanku.



Orang bodoh mana yang akan percaya kebohongan bodoh macam ini… aduh aduh… RS ini dipenuhi dengan orang macam ini. Kepalaku pening betul dibuatnya.



Okay, fine… kalau begitu bisa saya tolong pinjam buku SOP instalasi farmasi bu? Pasti ada kan di masing-masing unit?” aku kembali memancingnya.

“Ooohh… iya iya dok. Kalau itu ada. Sebentar akan saya carikan dan serahkan ke dokter Luna“ dia segera berdiri dari duduknya dan terburu-buru meninggalkanku. Nampaknya dia cukup senang aku telah memberinya ‘alasan' untuk meninggalkan ku dan mengakhiri pembicaraan ini.



Aku kembali menghela nafas. Baru 3 hari aku berkantor di unit baru dibawah direktorat umum. Dan sekalinya aku kembali bersinggungan dengan direktorat medis, langsung terasa betul kontras atmosfir nya. Seketika aku seperti diingatkan kembali betapa ruwet dan tak teraturnya alur pelayanan dan koordinasi di direktorat medis. Sedangkan di direktorat umum semua berjalan mulus dimana seluruh pegawai dari kepala bagian sampai pelaksana betul-betul menguasai pekerjaan dan fungsi masing-masing. Selebar inikah kesenjangan dan perbedaan pelayanan medis dan umum? Dan sebegini besarnyakah peran seorang pemimpin…



Direktorat medis dibawah dokter Agus Taksaka dan dokter Padma…

Direktorat umun dibawah dokter Alvaro Kalingga…



Sedikit banyak aku sekarang mulai mengerti mengapa bawahan dokter Alvaro begitu loyal padanya. Bukan hanya ketakutan semata. Tapi keseganan. Itulah yang membuat direktorat umum RS ini begitu solid.



“Mohon maaf menunggu lama dok, ini buku SOP yang dokter Luna minta” bu Tyas menyodorkan buku itu kehadapanku.



Bukunya nampak masih sangat mulus. Dan seperti tak pernah disentuh. Aku sangsi bahkan ada yang membaca buku ini. Miris rasanya melihatnya.

Mau seperti apa standar pelayanan di lapangan, bila buku acuan untuk pelayanannya saja nyaris tak pernah dibuka….

Apa gunanya buku itu disusun rapi bila pada akhirnya unit terkait tak membacanya…

Bagaimana bisa kita yakin pelayanan yang diberikan sudah sesuai standar bila bahkan pelaksananya tak tahu prosedurnya…

Makin pening kepalaku memikirkannya.



“Baik bu Tyas. Terimakasih banyak atas bantuannya. Saya mohon diri dulu. Selamat siang.” Tanpa membuang waktu lagi aku beranjak keluar dari kantornya. Entah apa hubunganmu dengan Ravi, tapi cepat atau lambat aku akan mengetahuinya. Dan segala kebusukan pelayanan unitmu, akupun juga akan segera mengendusnya.







Dengan buku SOP Farmasi ditangan, aku melangkahkan kakiku menuju lift. Awalnya aku berpikir untuk kembali ke kantorku saja. Namun kemudian ide lain menghampiriku. Kenapa tidak aku sekalian menghadap ke kantor dokter Alvaro untuk meminta buku SOP Logistik. Dengan begitu aku bisa sekalian bekerja setelah semua data dan informasi yang kubutuhkan sudah terkumpul semua.



Tekadku bulat, dan aku menekan tombol angka 7 dalam lift. Tapi setiba di lantai 7, lantai direksi ini nampak sangat sepi. Seperti tidak ada orang sama sekali. Aneh. Bahkan mbak Tika pun tidak ada di mejanya. Hanya ada secarik kertas dengan tulisan 'Menemani dr. Tantri ke dinas Kesehatan’ tertinggal diatas meja mbak Tika. Hufft. Mungkin belum jodohku untuk bertemu dokter Alvaro. Karena biasanya pintu kantor direktur-direktur itu dikunci semua dan kuncinya dibawa oleh dokter yang bersangkutan dan mbak Tika.



Aku hampir membalikkan badan untuk meninggalkan meja mbak Tika, saat tiba-tiba pintu kantor dokter Alvaro terbuka. Pak Roy HRD muncul dari dalam kantor itu.

“Oh dokter Luna… selamat pagi dok..” sapa pak Roy.

“Selamat pagi juga pak Roy” sapaku kembali. Tapi nampaknya tatapan mataku masih terarah ke pintu kantor dokter Alvaro. Dan pak Roy pun menyadarinya…

“Dokter Alvaro sedang tidak ada ditempat, dok… ada perlu dengan beliau kah?” Pak Roy langsung menanyaiku

“Ahh.. tidak… itu.. saya sebetulnya hanya perlu untuk meminjam buku SOP Logistik. Saya dapat info dari bu Vera kalau buku itu sedang dibawa oleh dokter Alvaro.”

“Oh… kalau begitu silakan saja dok. Langsung saja dokter Luna cari sendiri di kantor beliau. Biasa paling kalau tidak di lemari berkas, ya diatas meja dok. Biasa kami yang lain juga seperti itu kok, dok.. tidak apa-apa. Karena dokter Alvaro memang jarang di kantor, lebih sering ada di lapangan. Silakan dok..”

“Ehhh.. tapi pak… privacy beliau?” aku mencoba mengelak.

“Sudah dok tidak apa-apa. Toh juga buku yang dokter cari itu terkait dengan unit dokter Luna saat ini. Pasti dokter Alvaro akan maklum.” Pak Roy bersikeras meyakinkanku.

“Baiklah kalau begitu.. terimakasih info nya pak Roy”



Memasuki ruangan dokter Alvaro, aku langsung menuju ke lemari berkasnya. Lagipula tempat itulah yang pertama disebutkan pak Roy tadi. Lemarinya terdiri dari 2 bagian. Bagian atas berbentuk rak 2 sap, dimana buku-buku disusun cukup rapi. Dan di bagian bawahnya berbentuk lemari yang dikunci dengan daun pintu lemarinya dari kaca. Sehingga dari luarpun dapat terlihat benda apa saja yang ada didalamnya.

Penyusunan buku yang cukup rapi dan kondisi lemari yang tidak terlalu terjejal barang membuatku dengan mudah dapat melihat bahwa buku SOP Logistik yang kucari tidak ada disana.



Aku kemudian mengarahkan pandanganku ke meja kerja beliau. Meja berbentuk huruf L dimana di atas meja sebelah kiri terdapat komputer beliau yang menyala dalam mode terkunci. Dan di sisi depan bertumpuk beberapa berkas. Berkas yang lama cukup rapi tertata dalam masing-masing folder unit per masing-masing divisi. Sedangkan yang lain, yang masih baru dan belum dikerjakan beliau tercecer diluar folder. Beberapa buku tersusun rapi di samping layar komputer.



Tapi bukan deretan buku itu yang mencuri perhatianku.



Mataku tertuju pada satu berkas dengan judul ‘Alur Pengisian Form Asuransi’… memang bukan hal yang aneh bila pengaturan dan pengumpulan berkas klaim asuransi ada dibawah aturan direktorat umum; karena bagian piutang ada dibawahnya. Tapi tanggung jawab pengisian formnya murni adalah kewajiban dari direktorat medis. Dimana akulah yang kerap kali mengerjakannya…

Sampai beberapa hari yang lalu tiba-tiba mbak Sylvi membebastugaskanku… apakah itu dalam perintah dokter Alvaro?



Rasa ingin tahuku makin tergelitik. Aku memberanikan diri membuka beberapa berkas yang ada di meja dokter alvaro. Terkait sistem RS, e-billing, e-resep, e-rekam medis,,, semua diatur rinci dan rapi supaya tim IT dapat bekerja dan laporan medis mingguan dan bulanan dapat ditarik dengan mudah. Laporan yang dulu mati-matian aku harus lembur dan terjaga mengerjakan disela-sela pelayananku. Sekarang semua mudah karena sudah ada sistem elektronik yang mengaturnya. Kembali tanda tangan dokter Alvaro terbubuh dalam surat perintah instruksi tersebut. Dia lagikah yang berperan membantuku?



Tapi kenapa? Kenapa dia begitu perhatian padaku…

Aku harus menanyakan ini padanya. Apa gerangan yang dia cari dan dia lihat dariku…



Dengan pikiranku terfokus pada dokter Alvaro. Dan hal-hal yang telah dia perbuat untuk meringankan pekerjaanku. Menolongku. Aku meninggalkan kantornya. Tujuanku berubah…

Aku harus mencarinya. Segera. Tapi kemana…



Seraya melangkahkan kaki kedalam lift, aku mendengar handphone ku berbunyi. Tanda pesan dalam grup whatsapp RS. Dalam grup direktorat umum, tampak banyak notifikasi pesan yang mengatakan ada maling helm RS yang berhasil diringkus. Dalam grup direktorat medis, tampak perawat dan dokter sedang ramai membicarakan kondisi maling tersebut yang babak belur dan sedang dirawat di IGD…



Anehnya, seluruh satpam RS ini nampak berebutan mengaku bahwa mereka lah yang menghajar pencuri helm itu. Tidak ada satupun yang mengelak saat ditanya keterlibatan mereka dalam meringkus maling itu. Dan lebih anehnya lagi. Tak satupun dari jajaran security itu yang nampak terluka. Bahkan pak Tris pun tidak tergores sedikitpun.



Padahal pencuri yang sekarang menjadi pasien di IGD RS ini nampak luka parah. Lalu siapa yang menghajarnya?



TINGG!!!! Pintu lift terbuka dan nampak ada orang yang bergegas masuk……



Dokter Alvaro.



Beruntung sekali aku bisa bertemu dengannya tanpa susah-susah mencari ke seluruh penjuru RS. Aku sudah hendak menanyakan penjelasan terkait berkas-berkas yang tak sengaja kutemukan diatas meja kerjanya tadi, tapi sekilas nampak luka di tangan dokter Alvaro yang lebih menarik perhatianku.



“Selamat siang dokter Alvaro….. dan kenapa semua tanganmu berdarah dok?” tanyaku dengan tak bisa kututupi keherananku. Tapi benakku tahu, inilah jawaban misteri maling di grup whatsapp itu… dokter Alvaro kah yang menghajar maling itu?



“Ohhh dokter Luna….anu….ini… tadi kena rantai motor… saat betulin gir.. yang macet” jawabnya terbata-bata. Kentara sekali kalau dia asal menjawab. Seorang serigala alpha bisa salah tingkah begini. Dalam hati aku merasa geli dibuatnya.



“Rantai motornya ganas amat dok? sampai robek seperti itu. Ayo kuobati dok”



“Jangan dok… tidak perlu.. lagipula saya ga mau bikin keributan di IGD” jawab dokter Alvaro mengelak. Aku merasa seperti déjà vu. Kata-katanya barusan persis sama seperti beberapa hari yang lalu. Hanya saja posisi kami terbalik saat ini.



“Baiklah kita ga ke IGD. Ke klinik rawat jalan saja. Sama seperti waktu dokter merawat lukaku. Setidaknya ijinkan aku balas budi” aku sedikit memaksanya. Sekilas pandang kulihat luka di tangannya cukup serius. Masih ada darah yang menetes… nurani batinku sebagai seorang dokter tergelitik. Ingin segera menolongnya.



“Hmmmm….baiklah tapi tolong rahasiakan ini” tatapnya tajam ke arahku.



Aku tak bisa menahan senyumanku. Perasaan lega karena di mau menurut untuk kurawat, dan senang karena aku bisa membantunya membuat hatiku terasa sangat gembira.

Tapi kenapa? Kenapa aku bisa segembira ini hanya karena dokter Alvaro mau kuobati.

Mungkinkah karena aku akhirnya bisa membalas kebaikannya… yap, mungkin inilah satu-satunya kesempatanku balas budi. Apalagi setelah aku tahu betapa banyak yang sudah dilakukannya untukku. Untuk RS ini…





Setibanya kami di klinik, aku langsung menyiapkan alat-alat dan obat yang kurasa kuperlukan untuk membersihkan dan mengobati tangan dokter Alvaro. Perlahan dan sangat berhati-hati aku mencoba selembut mungkin membersihkan lukanya. Seperti saat dia melakukannya padaku dulu…

Kondisi luka dibuku-buku jari dan punggung tangannya cukup mengkhawatirkan. Kulitnya mengelupas kemana-mana. Dan cukup dalam kulihat luka ini. Setelah kubersihkan menyeluruh, tampak jelas bahwa aku perlu melakukan tindakan lebih untuk luka ini. Aku harus menjahitnya.



“Aku perlu menjahit lukamu dok, gimana?” aku melaporkan kondisi luka yang kuperiksa pada dokter Alvaro, sekaligus meminta ijin untuk mengambil tindakan.



“Emmm…. Ga usah ntar juga nutup sendiri” dia menolaknya dengan cepat. Bahkan tanpa pikir panjang sedikitpun… lagipula alasan macam apa itu. Dia yang seorang dokter pasti juga tahu kalau luka sedalam dan sekasar ini tak akan bisa menutup sendiri bila tidak dijahit.



“Sejak kapan luka robek kasar seperti ini bisa menutup sendiri, dan jelas ini bukan rantai motor. Aku membaca grup WA dok. Ada maling yg dihajar habis, sekarang masih dibersihkan lukanya di IGD. Semua security mengaku menghajarnya. Tapi aku tidak sebodoh yang lain.” Aku tersenyum seraya mengingat kembali kejadian tadi di lift. Saat aku menyadari kebenarannya. “Dengan bekas lukamu aku bisa pastikan, kamulah yang menghajar malingnya” simpulku kepada dokter Alvaro. Berharap dengan aku menangkap basah kebohongannya dia akan mau kooperatif.



“Eh….udah jangan di jahit biar saja bekas lukanya jelek juga gapapa” sergahnya lagi.



Hmmm… masih mengelak juga… dasar keras kepala. Tapi saat ini kamu adalah pasienku. Aku tak akan membiarkan luka seperti itu tidak dirawat semaksimal mungkin dalam pengawasanku.



“TIDAK BISA! Harus dijahit” kembali aku memaksanya. Dengan nada cukup keras kali ini.



Tanpa menunggu persetujuannya, aku mempersiapkan peralatan jahit dan jarum suntik untuk memasukkan obat bius. Kemudian aku menyiapkan lampu periksa, mengarahkannya ke area dimana aku akan melakukan penjahitan. Aku mengenakan masker, dan melakukan pembersihan antiseptik di area punggung tangannya. Setelah itu aku langsung memegang tangannya, nampaknya dia tak lagi menolak tindakanku. Tangannya tergeletak pasrah di bed tindakan. Aku membius area jahitan dengan jarum suntik paling kecil yang dapat kutemukan, kemudian mulai menjahit lukanya dengan perlahan. Kuharap dia tak merasa terlalu nyeri dengan jahitanku.



Dari sudut mataku aku berkali-kali dapat melihat dokter Alvaro melirik ke arah jarum suntik dan jarum jahit yang kusiapkan tadi. Dan aku yakin melihat keringat dingin di pelipisnya saat aku menyuntikkan obat bius. Reaksi khas yang sangat kukenal… mungkinkah dokter Alvaro?

Hmm, only one way to find out…



“Jadi ini aslinya seorang dokter Alvaro, serigala ganas, alpha wolf, yang takut jarum?” tanyaku langsung. Tanpa basa-basi. Kucoba sebisa mungkin tidak mengejeknya. Aku tahu phobia bukanlah suatu hal sepele yang layak diperolokkan.



“Darimana kau tahu aku takut jarum? Gosip mana lagi ini” sahut dokter Alvaro defensif.



BINGO!
Dua kali sudah tebakanku benar hari ini…



“Dari matamu dok. Berapa kali kamu melirik jarum suntik dan terlihat tidak nyaman” jawabku singkat, sembari aku tetap berkonsentrasi menjahit lukanya. Luka di bagian tubuh yang sangat terbuka seperti tangan harus memikirkan estetika. Aku memutuskan menjahitnya subcuticular. Bukan teknik jahit yang mudah. Tapi aku berharap dengan ini, bekas luka setelah sembuh nanti akan sangat minimal

“Bukan cuma anda Dok, yang bisa membaca gesture” aku melanjutkan penjabaran analisaku pada dokter Alvaro



Dokter Alvaro hanya diam. Nampaknya dia tak bisa menyangkal dugaanku… dia tetap membisu sampai aku selesai menjahit keseluruhan lukanya. Tinggal memberikan antiseptik dan menutupnya…



“Hal kedua yang ingin aku tanyakan…” aku membuka maskerku, dan menahan degup jantungku menanyakan ini. Akankah aku menyinggung perasaannya jika aku menanyakan ini. Apakah ini akan berdampak pada hubungan profesional kami nantinya…



Aku tak terbiasa ditolong dan dibantu. Baik dalam urusan pribadi maupun urusan pekerjaan. Aku terbiasa selalu mengerjakan segala sesuatunya sendiri, bukan cuma karena aku bisa, tapi karena memang sudah biasa. Bahkan sampai titik dimana sudah tak ada lagi yang menawarkan bantuan padaku. Karena semua sudah terselesaikan dengan rapi.

Sudah tak ada lagi yang peduli apakah aku tenggelam dalam timbunan pekerjaan.

Tidak ada yang memahami apa yang kurasakan.

Berapa banyak waktu dan tenaga yang kukorbankan untuk masing-masing tugas dan pekerjaan itu.



Tidak ada.



Sehingga apa yang kulihat dan kutemui tadi di meja kantor dokter Alvaro sangat membuatku bingung. Heran.



Yang berimbas langsung pada naiknya debar jantungku. Karena aku merasa sangat gugup. Like fish out of the water. Ini adalah hal aneh dan hampir tak pernah kutemui…



Tapi aku sudah sangat ingin tahu. Rasa penasaran ini sangat menghantuiku. Aku memutuskan untuk tetap menanyakan hal ini langsung pada Alvaro.



“Apa itu dok?”



“Kenapa anda menolong saya?” tanyaku seraya menyilangkan kedua tanganku di dada. Dengan harapan dapat menenangkan debar jantungku yang makin menggila.



“Menolong? Maksud dokter Luna?” dokter Alvaro kembali menghindar. Dia bahkan tak bisa bertatap mata denganku saat menjawab.

“Dokter Alvaro…..hanya orang yang tidak paham manajemen dan tidak tahu diri yang akan buta dengan bantuan anda. Hampir semua pekerjaan saya sejak saya di IGD, rekam medis, semua dengan tiba tiba, menjadi lebih mudah, unit unit kecil bergerak membantu tanpa ada arahan dari direktur medis” aku menatapnya tajam sambil menyandarkan tubuhku pada dinding klinik.



Ya… sebanyak itu hal yang sudah kau lakukan untukku. Dengan anonimitas yang terjaga dan tertutup rapat. Sampai pagi ini… sampai aku dengan tak sengaja melihat berkas-berkas di meja kerjamu itu tadi..

Kenapa? Apa alasanmu….



“Ah itu….saya juga kurang tau dok. Mungkin dokter Padma yang memerintahkan.”



Aku mengernyitkan dahi mendengar jawaban asal-asalan dokter Alvaro. Kenapa dia berbohong padaku. Dengan kebohongan sejelas itu… yang aku pasti langsung dapat menyanggahnya… kenapa dia salah tingkah dan menjawab sekenanya seperti ini… kenapa?



“Dann…sudah jam segini, saya mesti ke kantor membenahi berkas saya” ujarnya sambil turun dari bed tindakan.



Ehh.. tunggu, kenapa malah lari… jawaban yang kamu berikan belum dapat memuaskan rasa ingin tahuku.. melihat dokter Alvaro turun dari bed aku refleks langsung bergerak maju mendekatinya. Mencoba menahannya untuk tidak pergi meninggalkan ruangan ini sebelum menjawabku.



Sesaat kemudian, saat akal sehatku akhirnya kembali. Aku menyadari bahwa aku telah berdiri tepat dihadapan dokter Alvaro… sangat dekat hingga aku dapat mencium bau parfum di bajunya. Wangi musk bercampur aroma tubuh alami dari dokter Alvaro yang aku yakin tadi berkeringat hebat saat berkelahi dengan maling itu. Wangi yang entah kenapa memberi rasa nyaman untukku kuhirup. Dan aku langsung salah tingkah dibuatnya….



Kenapa malah aku jadi seperti ini… Tak pernah aku bisa senyaman ini hanya dengan mencium aroma tubuh orang lain… dan ini dokter Alvaro yang ada dihadapanku. Atasanku. Salah seorang direktur di RS ini…



No Luna… get a grip… kamu hanya sedang kalut. Pikiranmu tak menentu.

Aku mencoba menegur diriku sendiri.



Kembali kuatur dan kutata emosiku. Dan aku berusaha bersikap se-profesional mungkin menghadapi donter Alvaro. Terlebih setelah tubuhku tadi berespon spontan berdiri dekat di hadapan dokter Alvaro. Aku yakin dia pasti kaget karena aku sudah sangat melewati batas.



“Aku berterima kasih atas seluruh bantuanmu dok, meski aku tidak tahu alasanmu membantuku. Tapi aku tau, kamu yang telah banyak membantuku di luar sana”



Ya. Terlalu banyak pikiran dan permasalahan dalam otakku. Masalah kerja. Masalah rumah tangga. Ravi. Phoebe. Dan sekarang ditambah dengan misteri dokter Alvaro… otakku pasti sudah overheat dan kacau menghadapi ini semua…



“Aku membantumu, ya itu benar. Aku tidak ingin melihatmu kesusahan. Sudah cukup masalahmu di luar RS ini menyita emosi mu” dokter Alvaro akhirnya menjawab rasa penasaranku.



Entah apa yang dilihat dokter Alvaro dimataku saat ini sehingga akhirnya dia menjawab dengan jujur. Dia berkata itu seraya menundukkan kepalanya, hingga aku tak bisa melihat sorot matanya. Apakah dia benar-benar berkata itu? Dia tahu masalahku? Masalah di luar RS, dia bilang? How? Kukira aku cukup cakap bersikap professional. Memisahkan urusan pribadi dan urusan pekerjaan. Tapi dia tahu itu? Benarkah?





“Masalahku? Kamu tau apa tentang hidupku hingga menghakimi seperti itu” tanyaku lagi padanya. Kurasakan air mata mulai membasahi bola mataku.



Duh… kenapa aku jadi se-emosional ini.. tahan Luna… mustahil dokter Alvaro benar mengetahui masalahku. Mungkin hanya permukaannya dia bisa menduganya. Apalagi semenjak kemarin dia merawat lukaku..

Andai dia tau bahwa itu hanyalah the tip of an iceberg



“Aku mungkin tak tahu pastinya, tapi aku tau dibalik senyummu ada luka yang tidak ada orang lain yang tahu. Dan aku mau menjadi tempatmu berbagi luka. let me fix your broken wings”

Sambil berkata itu, aku merasakan tangan dokter Alvaro menggenggam tanganku. Lembut. Sentuhan yang memberikan rasa aman dan hangat. Gesture yang tulus, seperti benar-benar memaknai apa yang diucapkan bibirnya.



“Huft….kamu bisa melihat itu semua saat orang lain berkata hidupku sempurna…..aku sendiri tidak tahu…entah kenapa aku ingin percaya padamu dan menceritakan semuanya padamu….” Aku menunduk mencoba menahan air mata.

Ya. Sangat melelahkan hidup sesuai dengan ekspektasi orang lain. Mereka bisa saja menilaiku seperti itu. Tapi bila saja mereka tahu apa yang sudah kukorbankan untuk dapat hidup seperti ini. Menjadi sosok panutan dan idaman palsu. Sangat sangat melelahkan…



“Mungkin lain waktu….kita bisa bicara….”

Ya. Lain waktu bila aku sudah cukup percaya padamu. Bila aku sudah diambang batas kemampuanku…. Bila kamu masih bersedia mendengar pedihku…



Aku kembali meremas dan menggenggam erat tangannya. Meyakinkan diriku sendiri bahwa apa yang terjadi tadi, rasa nyaman yang kurasakan tadi, memang nyata adanya.



“Jaga lukamu agar tidak infeksi…minum antibiotik….” aku mengingatkannya untuk merawat lukanya sebaik mungkin. Aku tak ingin dia sakit konyol hanya karena tidak menjaga diri.

“Dan kita harus kembali bekerja…” aku (dengan enggan) melepas tangannya, dan membalikkan badanku untuk membereskan peralatan medis yang sudah kugunakan tadi.



“Iya…banyak yang berkas yang harus aku bereskan” ujar dokter Alvaro singkat. “permisi dokter Luna.” kemudan dia membalikkan badannya dan keluar dari ruangan klinik.
 
Dengan tetap menuangkan karya walaupun dari sisi luna udh cukup menunjukkan klo suhu g mau mengecewakan pembaca cerita ini, semoga dpt segera feel utk melanjutkan versi alvaro nya suhu
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd