NastarPelangi
Tukang Semprot
- Daftar
- 26 Mar 2014
- Post
- 1.140
- Like diterima
- 414
Adalah sebuah kisah sederhana yang kutulis, setelah sekian lama aku mengistirahatkan jemariku yang telah kaku. Ini bukan kisah wah nan elegan. Bukan pula kisah yang sarat makna. Ini hanya sebuah kisah penghibur. Dibuat sambil mendengarkan beberapa lagu erotis, berharap akan ada inspirasi menggeliat untuk sebuah kisah kecil yang manis. (Nastar Pelangi/_Apel beracun_, seseorang yang menulis untuk dan agar menjadi bahagia)
PROLOG
"Saat petrichor tercium. Itu adalah saat dimana kenanganku dengannya bermula dan berakhir. " (Rainy, September 2019)
Aku menengadah ke langit. Melihat derasnya hujan memukul-mukul bongkahan paving tempatku berpijak. Iramanya seolah menghiburku. Memberitahu bahwa aku tidak sendiri. Bahwa langit sedang menyertaiku dalam tangis. Kuusap wajahku kasar. Berharap cukup langit saja yang membuatku basah. Mataku jangan. Huft. Ini membuatku muak! Lelaki yang katanya menyukaiku karena hujan, malah meninggalkanku di saat hujan . Parahnya, si hujan tak juga berhenti ketika aku mengharapkannya. Dia malah menungguku, menemani isakku, dan menghiburku dengan derasnya.
Kejadian satu jam lalu kembali berkelebat di kepalaku.
"Ya udah sih, kamu maunya gimana sekarang?" Lelaki itu bertanya pasrah.
Padahal dia yang memulai kekacauan di sini. Tapi seolah tak bersalah, dia menuntutku untuk mengambil keputusan akhir.
Aku tertawa miris.
Melihat sepasang sejoli bergumul di balik selimut seolah tak cukup. Dia bahkan tak berusaha meminta maaf. Si perempuan diam dengan badan setengah telanjang. Memakai kemeja si pria yang kukira dipakai sebelum mereka bercinta. Ujung payudaranya menyembul, terlihat samar. Aku yakin dia tak memakai apapun lagi di balik kemeja itu.
Ingin kujambak rambut kusutnya itu. Biar botak sekalian.
Si lelaki agak mendingan. Berbalut boxer dan kaos hitam polos dia duduk di hadapanku.
"Setidaknya kalau kamu menyukai si jalang ini. Katakan dari dulu. Aku siap membuangmu!" Makiku. Mata si jalang membeliak.
"Apakah hubungan kita selama ini hanya bertujuan untuk ini? Apa gunanya? Kau puas mempertontonkan adegan menjijikkan ini pada pacarmu?" Cerocosku tanpa jeda. Sakit hatiku memergoki mereka berdua.
Kini mata si perempuan semakin melotot, mulutnya bergerak hendak mengucapkan sesuatu.
"Jaga mulutmu! Yang ga bisa jaga pacar sendiri kan kamu. Makanya, jaga baik-baik. Biar ga lari ke perempuan lain." Bentak si Jalang tiba-tiba.
Senyum sinis terbentuk dari bibirku. Itu adalah alasan klise yang dipaparkan perempuan-perempuan tak punya harga diri. Jelas yang brengsek dalam hubungan ini kalian berdua. Lelaki tak tahu malu yang mengumbar janji, dan perempuan jalang yang tak peduli kondisi. Yang penting bagi mereka hanya nafsu dan kesenangan. Sekalipun itu bisa menghancurkan kehidupan orang lain.
Tetapi aku menolak bila hidupku akan hancur karena onggokan daging hidup macam begini.
"Jalang Sialan! Kudoakan kalian mati mengenaskan bersama!" Umpatku dengan mengacungkan jari telunjuk kepada mereka.
Aku pergi dalam kalut. Setidaknya… aku masih bisa berdiri dan berjalan dengan tubuh tegak meninggalkan kedua makhluk terkutuk di tengah derasnya hujan kala itu. Aku berjalan cepat menerobos tumpahan air dari langit. Mataku tak kalah basahnya. Hingga tetesan air hujan dan air mata terasa tertukar di pipi ku. Belum terlalu jauh aku melangkah, seseorang menggenggam tanganku. Dia sedikit menarikku dan membuat badanku berbalik.
"Pakai ini! Hujan lagi deras banget." Katanya sambal menyodorkan payung hijau di tangan kirinya.
Ekspresiku datar. Memangnya sekedar memberi payung bisa membuat perasaanku membaik? Dengan kasar kutepis niat baik pria sialan itu. Aku menjauh dengan langkah lebar. Menuju tempat yang sekiranya bisa membuatku aman. Dia diam terpaku. Masa bodo. Pikirku.
Aku terus melangkah, menerobos tetesan air yang mengalir deras dari langit. Hingga langkah kakiku terhenti di depan deretan tempat duduk yang berjejer rapi. Pepohonan rindang menghiasi sekeliling tempat itu, namun mereka tak bisa memancarkan keasriannya karena terintimidasi oleh hujan. Aku pun duduk dengan seluruh badan basah kuyup.
Aku memandangi sekitar, empat orang terlihat berada di sana lebih dulu. Mungkin menunggu bus tujuan mereka lewat, atau malah sekedar berteduh menunggu si hujan reda. Sedangkan Aku sendiri, hanya ingin diam tanpa memikirkan apa yang harus kulakukan nanti. Air mataku berhenti mengalir, aku hanya ingin seperti ini saja, tanpa harus melakukan apapun. Duduk dan menikmati diamnya diriku. Tak lama, seseorang duduk di sampingku. Seorang pria, yang bahkan tak membuatku tertarik untuk memperhatikannya.
Beberapa saat berlalu, lamunanku terhenti ketika sebuah bus lewat di depanku, Dua orang perempuan naik kesana, sedangkan aku lebih memilih menikmati duduk dipayungi atap halte bus, sampai suasana hatiku sedikit membaik.
Suasana hatiku semakin membaik. Aku ini kuat. Hal yang selalu kuyakini dari dulu. Aku tak akan hancur hanya karena perselingkuhan murahan itu. Sakit ini akan kukubur dengan baik. Karena aku juga yakin, tidak hanya cinta saja yang berjalan cepat menembus jantung seseorang. Kebencian pun sama cepatnya. Ketika seseorang terlalu besar kekecewaannya. Dan dikhianati dengan pongah oleh orang yang mereka sayangi, maka tidak butuh waktu bertahun-tahun untuk membenci mereka. Begitu pun aku, saat ini kebencian itu sedikit demi sedikit tumbuh, kepada lelaki yg menyakitiku.
Aku tersadar dari pusaran pikiranku dan kembali mengamati sekitar lalu melirik pria di sampingku. Kutebak dia sibuk mendengarkan musik melalui earphone putih yang tersangkut di kedua telinganya. Bibirnya bersenandung pelan.
terlukis, tertulis, tergaris di wajahmu
Samar kudengar kalimatnya.
Aku menarik nafas panjang, sambil memejamkan mata, menghirup udara bekas hujan yang tercampur dengan tanah, bebatuan, tumbuhan dan segala macam bau alami yang sedikit demi sedikit membuat perasaanku semakin tenang.
Aku menunggu tetesan air dari langit itu benar-benar berhenti. Lalu perlahan... Aroma kesukaanku menyeruak . Bau khas yang hanya muncul saat hujan berhenti setelah alam ini lama tak menjumpai hujan. Bau ketika air dari langit menyentuh tanah kering. Aroma petrichor.
ku kan jadi hujan
tapi tak kan lama ku kan jadi awan
merakit mesin penenun hujan
ketika engkau telah tunjukkan
semua tentang kebalikan
kebalikan di antara kita
Senandung pria itu lagi. Kali ini terdengar lebih jelas. Aku enggan melirik. Malu dengan kondisi yang begitu kumal. Namun telinga kubuka lebar, suaranya terdengar merdu dan menenangkan.
Tak lama lelaki berkaos hitam itu berhenti, dan berdiri. Menyambut bus yang hendak mengantarkan dia ke tempat tujuannya. Punggungnya yang tertutupi ransel hitam menjauh.
Aku sendiri, masih di sini. Termangu. Menghirup petrichor yang kusukai. Aku pikir, tidak ada gunanya lagi mengingat hal-hal yang sudah berlalu. Bajingan itu tak cukup berharga untuk aku kenang. Sebaiknya aku cepat melupakan kenaangan tak berguna itu. Aku ini Reva, wanita yang tidak pernah hancur hanya karena satu lelaki. Lebih baik, aku gunakan waktuku untuk mencari yang lebih baik darinya.
Ini sempurna. Petrichor selalu membuat perasaan dan tekadku menjadi lebih kuat. Setidaknya aku sudah menangis. Aku sudah melepaskan semua beban yang menumpuk. Lelaki masih banyak. Kalau dia semudah itu berganti wanita seperti berganti celana. Aku pun bisa melakukan hal yang sama.
Aku sadar aku ini menarik. Dan sudah saatnya aku mengeluarkan pesona itu untuk lelakiku yang baru. Lelaki yang akan jauh lebih baik dari pria sialan itu. Saat remaja aku pandai menggoda pria. Kenapa tidak kupraktekan kembali? Benar bukan?
~senandungpetrichor~
Hai~~~ cerita ini dipindahkan ke karyakarsa ya~ untuk yang mau baca bisa follow akun aku di sana usernamenya @noiretblanc1
atau bisa PM aku aja.
"Saat petrichor tercium. Itu adalah saat dimana kenanganku dengannya bermula dan berakhir. " (Rainy, September 2019)
Aku menengadah ke langit. Melihat derasnya hujan memukul-mukul bongkahan paving tempatku berpijak. Iramanya seolah menghiburku. Memberitahu bahwa aku tidak sendiri. Bahwa langit sedang menyertaiku dalam tangis. Kuusap wajahku kasar. Berharap cukup langit saja yang membuatku basah. Mataku jangan. Huft. Ini membuatku muak! Lelaki yang katanya menyukaiku karena hujan, malah meninggalkanku di saat hujan . Parahnya, si hujan tak juga berhenti ketika aku mengharapkannya. Dia malah menungguku, menemani isakku, dan menghiburku dengan derasnya.
Kejadian satu jam lalu kembali berkelebat di kepalaku.
"Ya udah sih, kamu maunya gimana sekarang?" Lelaki itu bertanya pasrah.
Padahal dia yang memulai kekacauan di sini. Tapi seolah tak bersalah, dia menuntutku untuk mengambil keputusan akhir.
Aku tertawa miris.
Melihat sepasang sejoli bergumul di balik selimut seolah tak cukup. Dia bahkan tak berusaha meminta maaf. Si perempuan diam dengan badan setengah telanjang. Memakai kemeja si pria yang kukira dipakai sebelum mereka bercinta. Ujung payudaranya menyembul, terlihat samar. Aku yakin dia tak memakai apapun lagi di balik kemeja itu.
Ingin kujambak rambut kusutnya itu. Biar botak sekalian.
Si lelaki agak mendingan. Berbalut boxer dan kaos hitam polos dia duduk di hadapanku.
"Setidaknya kalau kamu menyukai si jalang ini. Katakan dari dulu. Aku siap membuangmu!" Makiku. Mata si jalang membeliak.
"Apakah hubungan kita selama ini hanya bertujuan untuk ini? Apa gunanya? Kau puas mempertontonkan adegan menjijikkan ini pada pacarmu?" Cerocosku tanpa jeda. Sakit hatiku memergoki mereka berdua.
Kini mata si perempuan semakin melotot, mulutnya bergerak hendak mengucapkan sesuatu.
"Jaga mulutmu! Yang ga bisa jaga pacar sendiri kan kamu. Makanya, jaga baik-baik. Biar ga lari ke perempuan lain." Bentak si Jalang tiba-tiba.
Senyum sinis terbentuk dari bibirku. Itu adalah alasan klise yang dipaparkan perempuan-perempuan tak punya harga diri. Jelas yang brengsek dalam hubungan ini kalian berdua. Lelaki tak tahu malu yang mengumbar janji, dan perempuan jalang yang tak peduli kondisi. Yang penting bagi mereka hanya nafsu dan kesenangan. Sekalipun itu bisa menghancurkan kehidupan orang lain.
Tetapi aku menolak bila hidupku akan hancur karena onggokan daging hidup macam begini.
"Jalang Sialan! Kudoakan kalian mati mengenaskan bersama!" Umpatku dengan mengacungkan jari telunjuk kepada mereka.
Aku pergi dalam kalut. Setidaknya… aku masih bisa berdiri dan berjalan dengan tubuh tegak meninggalkan kedua makhluk terkutuk di tengah derasnya hujan kala itu. Aku berjalan cepat menerobos tumpahan air dari langit. Mataku tak kalah basahnya. Hingga tetesan air hujan dan air mata terasa tertukar di pipi ku. Belum terlalu jauh aku melangkah, seseorang menggenggam tanganku. Dia sedikit menarikku dan membuat badanku berbalik.
"Pakai ini! Hujan lagi deras banget." Katanya sambal menyodorkan payung hijau di tangan kirinya.
Ekspresiku datar. Memangnya sekedar memberi payung bisa membuat perasaanku membaik? Dengan kasar kutepis niat baik pria sialan itu. Aku menjauh dengan langkah lebar. Menuju tempat yang sekiranya bisa membuatku aman. Dia diam terpaku. Masa bodo. Pikirku.
Aku terus melangkah, menerobos tetesan air yang mengalir deras dari langit. Hingga langkah kakiku terhenti di depan deretan tempat duduk yang berjejer rapi. Pepohonan rindang menghiasi sekeliling tempat itu, namun mereka tak bisa memancarkan keasriannya karena terintimidasi oleh hujan. Aku pun duduk dengan seluruh badan basah kuyup.
Aku memandangi sekitar, empat orang terlihat berada di sana lebih dulu. Mungkin menunggu bus tujuan mereka lewat, atau malah sekedar berteduh menunggu si hujan reda. Sedangkan Aku sendiri, hanya ingin diam tanpa memikirkan apa yang harus kulakukan nanti. Air mataku berhenti mengalir, aku hanya ingin seperti ini saja, tanpa harus melakukan apapun. Duduk dan menikmati diamnya diriku. Tak lama, seseorang duduk di sampingku. Seorang pria, yang bahkan tak membuatku tertarik untuk memperhatikannya.
Beberapa saat berlalu, lamunanku terhenti ketika sebuah bus lewat di depanku, Dua orang perempuan naik kesana, sedangkan aku lebih memilih menikmati duduk dipayungi atap halte bus, sampai suasana hatiku sedikit membaik.
Suasana hatiku semakin membaik. Aku ini kuat. Hal yang selalu kuyakini dari dulu. Aku tak akan hancur hanya karena perselingkuhan murahan itu. Sakit ini akan kukubur dengan baik. Karena aku juga yakin, tidak hanya cinta saja yang berjalan cepat menembus jantung seseorang. Kebencian pun sama cepatnya. Ketika seseorang terlalu besar kekecewaannya. Dan dikhianati dengan pongah oleh orang yang mereka sayangi, maka tidak butuh waktu bertahun-tahun untuk membenci mereka. Begitu pun aku, saat ini kebencian itu sedikit demi sedikit tumbuh, kepada lelaki yg menyakitiku.
Aku tersadar dari pusaran pikiranku dan kembali mengamati sekitar lalu melirik pria di sampingku. Kutebak dia sibuk mendengarkan musik melalui earphone putih yang tersangkut di kedua telinganya. Bibirnya bersenandung pelan.
terlukis, tertulis, tergaris di wajahmu
Samar kudengar kalimatnya.
Aku menarik nafas panjang, sambil memejamkan mata, menghirup udara bekas hujan yang tercampur dengan tanah, bebatuan, tumbuhan dan segala macam bau alami yang sedikit demi sedikit membuat perasaanku semakin tenang.
Aku menunggu tetesan air dari langit itu benar-benar berhenti. Lalu perlahan... Aroma kesukaanku menyeruak . Bau khas yang hanya muncul saat hujan berhenti setelah alam ini lama tak menjumpai hujan. Bau ketika air dari langit menyentuh tanah kering. Aroma petrichor.
ku kan jadi hujan
tapi tak kan lama ku kan jadi awan
merakit mesin penenun hujan
ketika engkau telah tunjukkan
semua tentang kebalikan
kebalikan di antara kita
Senandung pria itu lagi. Kali ini terdengar lebih jelas. Aku enggan melirik. Malu dengan kondisi yang begitu kumal. Namun telinga kubuka lebar, suaranya terdengar merdu dan menenangkan.
Tak lama lelaki berkaos hitam itu berhenti, dan berdiri. Menyambut bus yang hendak mengantarkan dia ke tempat tujuannya. Punggungnya yang tertutupi ransel hitam menjauh.
Aku sendiri, masih di sini. Termangu. Menghirup petrichor yang kusukai. Aku pikir, tidak ada gunanya lagi mengingat hal-hal yang sudah berlalu. Bajingan itu tak cukup berharga untuk aku kenang. Sebaiknya aku cepat melupakan kenaangan tak berguna itu. Aku ini Reva, wanita yang tidak pernah hancur hanya karena satu lelaki. Lebih baik, aku gunakan waktuku untuk mencari yang lebih baik darinya.
Ini sempurna. Petrichor selalu membuat perasaan dan tekadku menjadi lebih kuat. Setidaknya aku sudah menangis. Aku sudah melepaskan semua beban yang menumpuk. Lelaki masih banyak. Kalau dia semudah itu berganti wanita seperti berganti celana. Aku pun bisa melakukan hal yang sama.
Aku sadar aku ini menarik. Dan sudah saatnya aku mengeluarkan pesona itu untuk lelakiku yang baru. Lelaki yang akan jauh lebih baik dari pria sialan itu. Saat remaja aku pandai menggoda pria. Kenapa tidak kupraktekan kembali? Benar bukan?
~senandungpetrichor~
Hai~~~ cerita ini dipindahkan ke karyakarsa ya~ untuk yang mau baca bisa follow akun aku di sana usernamenya @noiretblanc1
atau bisa PM aku aja.
Terakhir diubah: