Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG SERI PETUALANGAN SURADI

"Kamu udah pernah gini belum?" Tanya Ceu Enah sambil menunjukkan kepalan tangannya. Dia mengepalkan tangan dengan posisi jempol berada di antara jari telunjuk dan jari tengah. ....
hayoo ... siapa yang mau !! wong cuma jempol masuk ke tengah jari gitu aja kok pada berebut ..... ish isshh isshh

pada ngeres ya ..... :ngacir: :ngacir:
 
Ah jadi malu:fmalu:
Ane pengen kasi pujian kpd Suhu satu ini, ceritanya enak mengalir. Menurut ane, suhu Sumandono layak disejajarkan dg para subes2 disini.
Satu lagi, andai TS - TS disini rajin apdet kayak suhu Sumandono.... dunia akan tenteram dan damai :Peace:
 
8

Ugi duduk di teras Bi Popong sambil menghabiskan rokok filternya. Terlihat olehnya Ceu Lilis ke luar dari pintu rumahnya sambil menjinjing ember kecil. Dia masih memakai daster singlet pendeknya dan Ugi berkeyakinan Ceu Lilis tidak memakai apa-apa lagi di dalamnya.

Ceu Lilis menjemur pakaian yang baru dicucinya pada bentangan tali rapia yang diikat pada paku di dinding tembok rumahnya dengan dinding tembok Mak Ijah di sebelahnya. Dia sempat melirik Ugi sebentar, tapi kelihatannya Ceu Lilis tidak acuh. Dia membungkuk memperlihatkan sebagian bukit kembarnya yang putih untuk mengambil cucian, lalu mengibaskan rambut ikal keritingnya ketika badannya tegak.

Selesai menjemur pakaian, dia masuk lagi ke rumahnya.

Seperti Mami, Ceu Lilis punya kulit putih yang bersih. Mungkin kulitnya lebih kenyal dan lebih lembut dari Mami yang sudah berkeriput. Mungkin.

Berapa ya kira-kira usia Ceu Lilis? Ugi membatin.

Tiba-tiba seorang lelaki seumuran Ugi berjalan di Gang dan melangkah masuk ke halaman.
"Gi, lagi apa?" Tanyanya dalam bahasa Sunda.
"Eh, Sep. Lagi nongkrong. Gabut." Jawab Ugi. "Nyari Cici, ya?"
"Tahu aja."
"Ciiiii.... Cici!" teriak Ugi.
"Apa kang teriak-teriak... eh, Usep. Mau apa ke sini?"
"Jalan yuk ke kelurahan, ada dangdut." Kata Usep.
"Males, ah." Jawab Cici.
"Biasanya kamu semangat kalau nonton dangdut."
"Lagi pusing."
"Masak sikap kamu begitu, sih, Ci? Sopan dikit sama pacar kenapa?!" Kata Ugi.
"Akang enggak usah turut campur. Udah ah Cici mau ngelipat baju."

Wajah Usep tampak berubah.
"Ci..." Kata Usep.
"Kamu ajak si Ida saja ke sana. Aku udah males lihat tampang kamu." Kata Cici dari dalam rumah. Dia berkata dengan menggunakan bahasa sunda yang kasar.
"Ya, ajak si Ida aja." Kata Cucu. "Kang sabun cuci habis. Beli dong ke Ceu Nining, aku lagi nyuci baju Uwak." Katanya. "Kamu jangan berdiri saja di situ, pergi sana." Cucu mengusir Usep. Dia masuk lagi ke dalam.
"Itu artinya aku diputusin ya?!" Kata Usep, entah kepada siapa. Tapi dia menatap Ugi. Ugi mengangkat bahu.
"Sejak kapan kamu pulang, gi?"
"Baru tadi."
"Aku cabut dulu ya." Kata Usep sambil pergi dengan langkah bergegas.

Ugi tak menjawab. Dia mencari sandal dan tak bisa menemukan nya.
"Cu, sandalnya mana?"
"Kang Ugi enggak pake sandal ke sini?"
"Enggak. Pake sepatu."
"Ci, beli sabun dulu."
"Duitnya?"
"Tanya sama si akang."

Cici nongol di pintu.
"Dia udah pergi?"
"Udah. Kamu mutusin dia?"
"Biarin. Enggak butuh." Katanya. "Mana?" Cici memandang Usep.
"Apanya?"
"Uangnya!"
"Dia selingkuh ya?" Tanya Ugi sambil merogoh dompet. "Berapa?"
"Seratus ribu!"
"Gila, mana ada harga sabun cuci seratus ribu? Nih, 2 ribu."

Cici menjebikan mulutnya.

"He, Gi, kapan datang?" Tiba-tiba seorang lelaki lain datang dari arah punggung Ugi.
"Eh, Gun. Belum lama."
"Udah kerja?"
"Sudah."
"Di mana?"
"Cimahi. Biasa jadi kuli. Kamu?"
"Aku juga, di Bandung."
"Di bangunan?"
"Bukan. Jadi tukang cupir dan bersih-bersih di Rumah Makan "unyu"."
"Sudah lama?"
"Paling 5 bulananlah. Yaaaa, lumayan. Daripada nganggur. Cucu ada?"
"Lagi nyuci. Cuuuuu... ada Gugun."
"Entar dulu atuh."
"Tunggu, Gun. Rokok?"
"Makasih, Gi. Sebatang ya?" Katanya. "Itu motor kamu?" Gugun menyalakan rokoknya.

Ugi mengangguk. Dia melihat Cici datang membawa sabun cuci.
"Adududuh.... yang siap-siap nonton." Kata Cici sambil masuk ke dalam rumah.
"Di kelurahan ada dangdut ya?"Tanya Ugi.
"I ya. Udah berapa lama kamu kerja, Gi?"
"Dua tahun mah ada."
"Kamu teh es em pe nya lulus?"
"Lulus."
"Kirain putus."
"Kang Gugun, sebentar ya." Cucu nongol di pintu, pundak dan wajahnya terlihat basah. Kelihatannya baru saja mandi.
"Jam berapa sekarang, Gi?"

Ugi melihat HPnya.
"Jam setengah dua. Mulainya jam berapa?" Tanya Ugi.
"Setengah empat." Jawab Gugun "Kamu mau nyusul nanti?"
"Mungkin. Nunggu emak pulang dulu."

Cucu muncul di pintu, memakai baju terbaiknya dan celana jean. Bedak dan lipstiknya tampak tebal. "Koq cara meriasnya mirip Bi Popong dan emak ya?" Pikir Ugi. Dia ingin mengkritik tapi takut menyinggung. Dia jadi ingat sama mami. Riasannya tak pernah mencolok.
"Hayu, kang." Kata Cucu, antusias. Tangannya memegang lengan Gugun. "Ciciiii, jaga rumah baik-baik ya."
"Tahu ah gelap." Jawab Cici dari dalam rumah.
"Gi, cabut dulu."
"Hati-hati di jalan." Kata Ugi.

Mereka berjalan sambil berpegangan tangan dengan mesra.
 
9

Ugi masuk ke halaman rumahnya dan mendekati motornya. Dia mengambil kantong kresek besar berwarna kuning yang digantung di kaitan tebeng motor. Masuk ke dalam rumah dan duduk bersila di ruang tengah untuk membuka kantong kresek itu. Dia mengambil handuk dan peralatan mandi dan meletakakkannya di pinggir kiri. Lalu menjatuhkan semua isi kantong kresek itu ke pangkuannya. Satu demi satu kaos dan celana pendekn buat persediaan ganti itu, dia lipat lagi dengan rapi. Menumpuknya dan menyimpannya di pojok ruang tengah itu, di atas meja belajar berkaki pendek yang dibuatkan bapaknya dulu.

"Harusnya aku membawa tas." Kata Ugi dalam hatinya. Dia menarik kasur busa yang sudah sangat lepet itu, yang menjadi tempat tidurnya sejak kecil. Kasur itu kotor dan berdebu. Ugi berniat membersihkannya di luar ketika tiba-tiba Cici datang.
"Uwak belum pulang?"
"Belum."
"Akang lagi ngapain?"
"Beres-beres sedikit."
"Cici bantuin ya?"
"Enggak usah." Kata Ugi. Dia lalu mencari-cari sapu tapi tidak ditemukannya. "Emak nyimpen sapunya di mana ya?" Katanya kepada dirinya sendiri.
"Kang, enggak nonton?"
"Enggak ah, males."
"Yang lain pada pergi, tuh lihat orang-orang pada lewat."
"Biarin aja." Ugi berkata sambil memunggungi Cici.
"Kang... sini atuh lihat ke Cici."
"Apaan sih? Enggak mau ah."
"Lihat ke sini sebentar aja."
"Gak ma..."

Tiba-tiba Cici bergerak ke pinggir dan mencium pipi Ugi.
Chup!
Srrrr... darah Ugi berdesir.
"Kamu ngapain sih cium-cium pipi, entar kalau dibales lari."
"Kang, sini duduk dulu di sini." Kata Cici. Dia menarik tangan Ugi untuk duduk berdepan-depan. Cici memegang kedua Pipi Ugi lalu mencium bibirnya dengan lembut. Ugi merasa nikmat dan nyaman. Tapi belum sempat membalasnya Cici sudah melepaskan bibirnya.

"Sekarang, akang dengerin Cici. Dengerin dulu." Katanya. "Akang inget enggak pernah ngejemput Cici di sekolah waktu hujan besar?"
"Ya, waktu itu kamu masih SD."
"Akang membawa payung besar dan berdiri di pintu gerbang sekolah... lalu kita pulang bersama sambil berpelukan dan sambil berjalan kita bermain air dengan kaki... ingat?"
"Lalu tiba-tiba ada bunyi geledek yang sangat keras dan kamu ketakutan... dasar penakut."
"Iiihhhh... akang, mah. Bukan itu maksudnya." Kata Cici, dia meraih tangan Ugi.
"Cici memang sangat ketakutan. Lalu memeluk akang dengan erat. Aneh sekali Cici merasa nyaman." Katanya. "Terus, satu lagi. Akang inget enggak waktu Cici ditinggal sendirian malem-malem di rumah ..."
"Ya, waktu itu hujan besar dan banyak suara geledek... akang denger kamu nangis."
"Malam itu akang datang dan nemenin sampai Cici tertidur."
"Ya, dan kamu mengigau."
"Bukan itu maksudnya... sejak waktu itu Cici sering bertanya-tanya dalam hati, mengapa kalau dekat akang hati Cici merasa sangat nyaman dan gembira; semua rasa sedih dan takut seakan-akan hilang... akang bisa mengerti maksud Cici enggak?"

Ugi menatap gadis itu dengan tatapan berbinar yang aneh.

"Akang tahu enggak sejak saat itu perasaan Cici sama akang tidak pernah bisa sama lagi? Akang bisa mengerti enggak ketika akang main-main memeluk Cici dari belakang dan Cici panas dingin merasa nyaman dan enggak mau dilepaskan? Akang bisa mengerti enggak Cici membanting gelas waktu akang pulang berjalan bareng sama Teh Imas? Akang bisa paham enggak?"

Sepasang bola mata Ugi berpendar.

"Akang bisa mengerti enggak perasaan Cici waktu akang ditangkap polisi dan tak pernah kembali ke rumah?" Sepasang mata Cici berkilau oleh airmata yang mengembang di kelopak. "Cici... ingin bunuh diri." Kali ini Cici tak sanggup lagi menahan linangan airmatanya. Dia terisak.

Ugi memeluknya dengan erat. Membiarkan gadis itu melepaskan semua airmatanya. Kemudian Ugi mengecup kening, mata dan pipinya yang basah. Lalu bibirnya. Mereka berciuman lamaaaaa sekali.

Cici melepaskan diri dari ciuman Ugi.

"Akang bisa mengerti enggak perasaan Cici, setelah sekian lama mengikhlaskan akang pergi... tiba-tiba Akang datang pake motor, bawa HP, rambut rapi, baju bagus... akang bisa enggak mengerti perasaan Cici yang meledak minta dipeluk? Akang tahu enggak Cici merasa bahagia akang enggak punya pacar dan minta cium..." Kata Cici, nada suaranya terdengar bergetar.

Ugi terdiam lama. Sepasang matanya terbuka namun sorot matanya jauh mengembara entah ke mana.
"Kang... "

Ugi masih terdiam. Tiba-tiba di mengangkat dagu Cici pelahan dan mengecup lembut bibir gadis itu dengan sekali kecupan.

"Ci, ingat waktu akang duduk memeluk lutut di belakang rumah sendirian? Waktu Emak dan Bapak enggak berhenti bertengkar dan saling mencaci maki?"

Cici mengangguk.

"Kamu datang dan memeluk Akang dari belakang. Kamu bilang, Kang jangan sedih, ada Cici di sini." Ugi menatap mata Cici. "Sadarkah kamu Ci, sejak saat itu perasaan akang berubah?"

Cici membalas tatapan Ugi dengan mata berlinang.
"Akang merasa bahagia kamu peluk. Ingin sekali akang mencium Cici saat itu, tapi Akang juga tahu, kita ini saudara sepupu. Apakah boleh akang melakukan hal itu? Akang tidak tahu. Tapi waktu tadi kamu sama Cucu kelepasan ngomong dengan si Usep... akang, akang cemburu."

Cici tersenyum manis.
"Si Usep belum pernah ngapa-ngapain Cici, Kang. Akang yang pertama menyentuhkan jari itu... dan Cici merasa... merasa..."
"Kamu merasa takut?"

Cici tidak menjawab. Dia tiba-tiba memagut bibir Ugi dan mengemutnya tanpa memberi kesempatan Ugi untuk membalas. Lalu secara tiba-tiba pula melepaskannya.
"Sekarang akang paham kan apakah Cici takut atau tidak."
Ugi tersenyum.
"Ya, kamu cuma takut sama geledek."
"Kalau ada akang mah enggak... mmm, tadi akang bilang punya... punya... Cici basah."
"Maafin kalau tadi akang ngomong jorok."
"Asal ngomongnya hanya buat Cici aja ga pa pa, Kang. Cici malah senang. Tapi kalau sama perempuan lain enggak boleh. Harus buat Cici doang."
"Eh, Ci. Itu emak sama Bi Popong sudah pulang. Cepet kita beres-beres."
 
Wah ... oke nieh .... hayu kang dlanjut .... makin tegang ini mah
Santae bnr yach nulis x .... hahaha
 
10

"Kalian enggak nonton dangdut?" Tanya Mak Pupung.
"Enggak, Wak." Jawab Cici sambil menyapu ruang tengah. Cici menemukan sapu ijuk itu di sudut di ruang tamu.
"Mak, palu sama paku-paku bekas di mana nyimpennya?"
"Kamu mau ngapain?" Kata Mak Pupung.
"Mau ngebenerin plafon yang di atas."
"Besok lagi aja, Emak cape. Mana laper lagi."
"Ceu!!!" Terdengar teriakan Bi Popong dari luar.
"Ada apa sih, Pong."
"Ada nasi, sambel, lalap dan kerupuk... cepet sini." Kata Bi Popong. "Ciii, ini kamu yang masak?"
"I ya, mah."

Cici memukul pantat Ugi dengan sapu, sebelum dia terkikik-kikik dan berlari kabur ke rumahnya.
"Awas kamu ya!" Kata Ugi, suara kesalnya tampak sekali dibuat-buat. Dia lalu mengambil handuk dan sabun, sambil bersiul pergi ke kamar mandi.

11

"Ci, ini kamu yang masak?" Tanya Mak Pupung
"I ya, Wak."
"Kamu pinter sekali. Nasinya masih pulen walau sudah dingin, sambelnya madep." Kata Mak Pupung.
"Ah, Uwak bisa aja."
"Si Cucu ke mana?" Tanya Bi Popong.
"Nonton dangdut, Mah."
"Kenapa kamu enggak ikut?"
"Tadi tanggung lagi ngelipatin baju, si Kang Gugun udah keburu datang."
"Oh, sama Gugun." Kata Bi Popong. "Ngomong-ngomong kamu beli beras duitnya dari mana?"
"Dari Kang Ugi."
"Eh, baru aja jadi kuli udah belagu tuh anak." Kata Mak Pupung dengan wajah berseri.

Tiba-tiba terdengar suara dari luar.
"Ciiii, kamu mau nonton dangdut enggak?"
"Boleh, Mah?" Tanya Cici.
"Ya, udah sana pergi."
"Mau!!!" Teriak Cici.

12
.
Bi Popong dan Mak Pupung makan dengan lahap sambil ngobrol santai.

"Kapan kamu ngomong yang sebenarnya sama anak itu, Pong." Kata Mak Pupung.
"Entahlah, Ceu. Bingung. Soalnya si Cici mah perasaannya sensitif."
"Tapi si Ating enggak jadi kan dihukum matinya?"
"Kata Kang Otong mah, jadi hukuman seumur hidup." Kata Bi Popong.
"Kapan dia mau ngejenguk adiknya lagi?" Tanya Mak Pupung. "Kalau si Ating teh adik langsung Otong atau adik tirinya?"
"Adik tirinya. Waktu Bah Otang (Bapaknya Otong) kawin, Mak Romlah udah punya anak dari almarhum suaminya dulu yaitu si Ating itu."
"Oh, gitu. Sekarang bapaknya si Cici di mana, apa masih hidup?"
"Sudah mati,Ceu. Di dor polisi."
 
Mirip "Si Doel Anak Betawi" tapi versi Sunda.. Apa adanya, tanpa harus "melebihkan" kondisi tokoh dalam cerita.. Dialog, Pembawaan, Setting Lokasi, semua seolah nyata.. Good Job Mang :ampun:
 
:mantap: alurnya cerita, setting lokasinya juga ok, bkin tmbah penasaran dan sulit d tebak hu, biar gk cpet tamat.
 
Curhat sedikit om~ :D

Om Sumandono salah 1 penulis yg ane kagumi tulisan.. selain om bigoldlover, tentu dgn 'gaya' penulisan masing2 ye.

Keep up the good work om! dan terimakasih telah berbagi pengalamn nya melalui tulisan2 cerita nya :semangat:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd