9
Ugi masuk ke halaman rumahnya dan mendekati motornya. Dia mengambil kantong kresek besar berwarna kuning yang digantung di kaitan tebeng motor. Masuk ke dalam rumah dan duduk bersila di ruang tengah untuk membuka kantong kresek itu. Dia mengambil handuk dan peralatan mandi dan meletakakkannya di pinggir kiri. Lalu menjatuhkan semua isi kantong kresek itu ke pangkuannya. Satu demi satu kaos dan celana pendekn buat persediaan ganti itu, dia lipat lagi dengan rapi. Menumpuknya dan menyimpannya di pojok ruang tengah itu, di atas meja belajar berkaki pendek yang dibuatkan bapaknya dulu.
"Harusnya aku membawa tas." Kata Ugi dalam hatinya. Dia menarik kasur busa yang sudah sangat lepet itu, yang menjadi tempat tidurnya sejak kecil. Kasur itu kotor dan berdebu. Ugi berniat membersihkannya di luar ketika tiba-tiba Cici datang.
"Uwak belum pulang?"
"Belum."
"Akang lagi ngapain?"
"Beres-beres sedikit."
"Cici bantuin ya?"
"Enggak usah." Kata Ugi. Dia lalu mencari-cari sapu tapi tidak ditemukannya. "Emak nyimpen sapunya di mana ya?" Katanya kepada dirinya sendiri.
"Kang, enggak nonton?"
"Enggak ah, males."
"Yang lain pada pergi, tuh lihat orang-orang pada lewat."
"Biarin aja." Ugi berkata sambil memunggungi Cici.
"Kang... sini atuh lihat ke Cici."
"Apaan sih? Enggak mau ah."
"Lihat ke sini sebentar aja."
"Gak ma..."
Tiba-tiba Cici bergerak ke pinggir dan mencium pipi Ugi.
Chup!
Srrrr... darah Ugi berdesir.
"Kamu ngapain sih cium-cium pipi, entar kalau dibales lari."
"Kang, sini duduk dulu di sini." Kata Cici. Dia menarik tangan Ugi untuk duduk berdepan-depan. Cici memegang kedua Pipi Ugi lalu mencium bibirnya dengan lembut. Ugi merasa nikmat dan nyaman. Tapi belum sempat membalasnya Cici sudah melepaskan bibirnya.
"Sekarang, akang dengerin Cici. Dengerin dulu." Katanya. "Akang inget enggak pernah ngejemput Cici di sekolah waktu hujan besar?"
"Ya, waktu itu kamu masih SD."
"Akang membawa payung besar dan berdiri di pintu gerbang sekolah... lalu kita pulang bersama sambil berpelukan dan sambil berjalan kita bermain air dengan kaki... ingat?"
"Lalu tiba-tiba ada bunyi geledek yang sangat keras dan kamu ketakutan... dasar penakut."
"Iiihhhh... akang, mah. Bukan itu maksudnya." Kata Cici, dia meraih tangan Ugi.
"Cici memang sangat ketakutan. Lalu memeluk akang dengan erat. Aneh sekali Cici merasa nyaman." Katanya. "Terus, satu lagi. Akang inget enggak waktu Cici ditinggal sendirian malem-malem di rumah ..."
"Ya, waktu itu hujan besar dan banyak suara geledek... akang denger kamu nangis."
"Malam itu akang datang dan nemenin sampai Cici tertidur."
"Ya, dan kamu mengigau."
"Bukan itu maksudnya... sejak waktu itu Cici sering bertanya-tanya dalam hati, mengapa kalau dekat akang hati Cici merasa sangat nyaman dan gembira; semua rasa sedih dan takut seakan-akan hilang... akang bisa mengerti maksud Cici enggak?"
Ugi menatap gadis itu dengan tatapan berbinar yang aneh.
"Akang tahu enggak sejak saat itu perasaan Cici sama akang tidak pernah bisa sama lagi? Akang bisa mengerti enggak ketika akang main-main memeluk Cici dari belakang dan Cici panas dingin merasa nyaman dan enggak mau dilepaskan? Akang bisa mengerti enggak Cici membanting gelas waktu akang pulang berjalan bareng sama Teh Imas? Akang bisa paham enggak?"
Sepasang bola mata Ugi berpendar.
"Akang bisa mengerti enggak perasaan Cici waktu akang ditangkap polisi dan tak pernah kembali ke rumah?" Sepasang mata Cici berkilau oleh airmata yang mengembang di kelopak. "Cici... ingin bunuh diri." Kali ini Cici tak sanggup lagi menahan linangan airmatanya. Dia terisak.
Ugi memeluknya dengan erat. Membiarkan gadis itu melepaskan semua airmatanya. Kemudian Ugi mengecup kening, mata dan pipinya yang basah. Lalu bibirnya. Mereka berciuman lamaaaaa sekali.
Cici melepaskan diri dari ciuman Ugi.
"Akang bisa mengerti enggak perasaan Cici, setelah sekian lama mengikhlaskan akang pergi... tiba-tiba Akang datang pake motor, bawa HP, rambut rapi, baju bagus... akang bisa enggak mengerti perasaan Cici yang meledak minta dipeluk? Akang tahu enggak Cici merasa bahagia akang enggak punya pacar dan minta cium..." Kata Cici, nada suaranya terdengar bergetar.
Ugi terdiam lama. Sepasang matanya terbuka namun sorot matanya jauh mengembara entah ke mana.
"Kang... "
Ugi masih terdiam. Tiba-tiba di mengangkat dagu Cici pelahan dan mengecup lembut bibir gadis itu dengan sekali kecupan.
"Ci, ingat waktu akang duduk memeluk lutut di belakang rumah sendirian? Waktu Emak dan Bapak enggak berhenti bertengkar dan saling mencaci maki?"
Cici mengangguk.
"Kamu datang dan memeluk Akang dari belakang. Kamu bilang, Kang jangan sedih, ada Cici di sini." Ugi menatap mata Cici. "Sadarkah kamu Ci, sejak saat itu perasaan akang berubah?"
Cici membalas tatapan Ugi dengan mata berlinang.
"Akang merasa bahagia kamu peluk. Ingin sekali akang mencium Cici saat itu, tapi Akang juga tahu, kita ini saudara sepupu. Apakah boleh akang melakukan hal itu? Akang tidak tahu. Tapi waktu tadi kamu sama Cucu kelepasan ngomong dengan si Usep... akang, akang cemburu."
Cici tersenyum manis.
"Si Usep belum pernah ngapa-ngapain Cici, Kang. Akang yang pertama menyentuhkan jari itu... dan Cici merasa... merasa..."
"Kamu merasa takut?"
Cici tidak menjawab. Dia tiba-tiba memagut bibir Ugi dan mengemutnya tanpa memberi kesempatan Ugi untuk membalas. Lalu secara tiba-tiba pula melepaskannya.
"Sekarang akang paham kan apakah Cici takut atau tidak."
Ugi tersenyum.
"Ya, kamu cuma takut sama geledek."
"Kalau ada akang mah enggak... mmm, tadi akang bilang punya... punya... Cici basah."
"Maafin kalau tadi akang ngomong jorok."
"Asal ngomongnya hanya buat Cici aja ga pa pa, Kang. Cici malah senang. Tapi kalau sama perempuan lain enggak boleh. Harus buat Cici doang."
"Eh, Ci. Itu emak sama Bi Popong sudah pulang. Cepet kita beres-beres."