Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY SEXFLU 2030

Dari semua episode yang sudah dipublikasikan, episode mana yang jadi favoritmu?


  • Total voters
    143
Story 5: Zoom (Part 2)



Dengan perasaan malu dan nafsu yang bercampur jadi satu, Rian akhirnya mengambil lotion yang ada di atas meja. Ia kemudian melumuri lotion itu pada batang penisnya. Perlahan-lahan, ia mulai memijat batang penisnya sendiri, merasakan lonjakan birahi yang semakin memanjat tinggi. Di hadapannya, layar monitor menampilkan lima orang stafnya, para wanita muda cantik, yang sedang memperhatikan dengan seksama.

"Kalau kameranya sambil dinyalain begini… " gumam Rian sambil tetap mengocok penisnya, "saya jadi liatin muka kalian. Nanti saya jadi ngebayangin kalian yang nggak-nggak."

Mendengar ucapan atasannya tersebut, Ajeng menghela napas. "Nggak apa-apa, Pak," ujar Ajeng. "Bayangin aja, gapapa kok. Jangan sungkan-sungkan."

"Iya, Pak," tambah Erlin. "Santai aja. Kita semua udah sama-sama dewasa kok."

"Betul," kata Karin. "Aku nggak masalah kok dijadiin bacol sama Pak Rian, kan ini darurat."

Shaly mengangguk-anguk. "Berhubung kita posisinya jauh semua, cuma ini yang bisa kita bantu."

Sementara itu, Fitria hanya mengangguk dan sedikit tersenyum, seolah memberikan persetujuan.

Meski berat, Rian berusaha memahami saran dari para stafnya itu. Ia harus mengubah pola pikirnya yang terlalu lurus. Dalam kondisi ini, mengkhayalkan para stafnya bukanlah hal yang nista. Ini sama sekali bukan pelecehan atau objektifikasi. Mereka semua jelas memberikan consent, apalagi hal ini adalah keadaan darurat yang menyangkut keselamatannya sendiri.

Akhirnya Rian mengangguk. Ia melanjutkan masturbasinya sambil memandangi wajah-wajah cantik kelima wanita itu. Sekarang ia baru benar-benar menyadari bahwa kelima stafnya itu ternyata sangat menggairahkan.

Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Ajeng yang smart dan bertubuh ramping, Karin yang fresh dan berkulit mulus, Erlin si ibu muda yang seksi, Shaly yang mungil dan jilboobs, atau Fitria si hijaber yang anggun dan pemalu?

Semakin ia memikirkannya, semakin ia merasa bingung. Akhirnya ia mencoba untuk membayangkan semuanya sekaligus--membayangkan wanita-wanita itu sedang berkerumun untuk melahap batang penisnya.



Setelah 15 menit

Para stafmulai khawatir melihat Rian yang terus mengocok penisnya tanpa hasil. Mereka pikir, karena sejak awal Rian sudah sangat terangsang, kemungkinan tak butuh waktu lama baginya untuk berejakulasi. Namun mereka salah perhitungan.

Ajeng tampak gelisah. Ia tak bisa hanya menonton. Sebagai relawan Sexflu di lingkungannya, ia merasa harus melakukan sesuatu, tapi ia bimbang. Akhirnya dengan agak canggung, ia mulai mencoba merayu Rian. Ia menggerakkan tangannya naik turun, seolah sedang mengocok penis Rian. Tiba-tiba ia teriingat pada spidol yang ada di mejanya, lalu ia mulai mengocok spidol itu sambil menatap ke arah kamera.

"Keluarin, Pak. Jangan lama-lama," ucapnya sambil berusaha mendesah.

Sesekali, Ajeng mengeluarkan lidahnya di depan spidol, seolah sedang menjilati penis Rian. Melihat aksi itu, Erlin tak mau kalah. Ia pergi sebentar ke dapur, mengambil sebuah terong, kemudian mengocok terong itu dengan tangan kirinya.

"Saya ikut bantuin ya, Pak," kata Erlin.

Tak lama kemudian, tiga wanita yang lain terdorong untuk melakukan yang sama. Meski agak canggung, mereka mencari benda panjang atau lonjong di sekitar mereka, kemudian mengocok dan menjilatinya.

Karin kebetulan memiliki stok permen lolipop di kamarnya. Ia menjilati permen itu dengan lihainya. Lidah gadis muda itu menari-nari di permukaan lolipop, membelai dan menggelitiknya dengan lihai. Matanya menatap sayu ke arah kamera.

"Slrrp! Anggap aja ini punya Bapak, ya. Mmmh," gumam Karin.

Meski masih muda, tapi ia tampak mahir.

Sementara itu, Shaly mengambil sebuah es krim rasa buah dari kulkasnya. Ia mencoba mengulum es krim itu ke dalam mulutnya, tapi tiba-tiba saja ia menyeringai.

"Aduh, maaf, Pak. Gigi saya agak sensitif, jadi ngilu. Jilat-jilat aja ya?" ujar Shaly.

Gadis berjilbab casual itu kemudian hanya menjilati ujung es kirim dengan ujung lidahnya. Namun perilaku itu malah membuat ujung penis Rian terasa geli.

Hanya Fitria yang kebingungan. Ia tidak terbiasa melakukan hal seperti ini. Ia sempat panik mencari benda-benda di sekitarnya. Betapa bingungnya ia karena tak menemukan benda berbentuk phalus di dalam kamarnya. Akhirnya, ia malah mengambil beberapa butir kismis dan meletakkannya di atas meja. Dengan ujung-ujung jarinya, ia menggesek-gesek dua buah kismis. Ia tak berani menatap ke kamera, seolah tak yakin bahwa tindakannya itu bisa mengimbangi rekan-rekannya yang lain.

Namun, melihat Fitria memainkan dua buah kismis dengan ujung jarinya itu, Rian malah semakin terangsang. Ia merasa kedua putingnya sedang dimainkan oleh jemari halus milik Fitria. Sayangnya, hal itu masih tak sanggup membuatnya mencapai klimaks.



Setelah 30 menit.

Para wanita semakin gelisah. Tangan dan lidah mereka sudah lelah dan pegal, tapi Rian masih juga belum berejakulasi. Padahal penisnya itu sudah sangat tegang dan keras sejak tadi. Untunglah Zoom yang mereka gunakan sudah di-upgrade sehingga tak ada batasan waktu.

Ajeng kembali berinisiatif. Ia kembali meletakkan spidolnya di atas meja. "Sepertinya Pak Rian butuh stimulus visual yang lebih nyata," gumamnya.

Perlahan, ia membuka satu kancing kemejanya, kemudian satu lagi. Dadanya yang mulus dan putih semakin tampak jelas. Tulang selangkanya membentuk lekuk dan lembah yang sangat indah. Leher dan pundaknya terlihat menantang untuk dikecup dan dijilat. Kemudian, dengan jari-jemarinya yang lentik, ia pun membuka semua kancing kemejanya.

"Pak Rian, maaf ya dada saya kecil. Mudah-mudahan bisa sedikit membantu," ucap Ajeng sambil melepas bra-nya.

Payudara Ajeng memang kecil, tapi putingnya tampak sempurna; menonjol seperti pentil yang siap dihisap. Warnanya cokelat muda, ukurannya pun mungil. Ajeng menjepit kedua putingnya itu dengan jari tangannya, kemudian memilinnya perlahan. Samar-samar terdengar suara Ajeng mendesah. Sepertinya mulai ia ikut terangsang.

"Pak Rian, gimana Pak? Suka nggak?" tanya Ajeng, kini ia mulai memijat-mijat buah dadanya dengan telapak tangan.

Rian menelan ludah. Ia tidak tahu bagaimana harus berkomentar. Apakah ia harus memuji dengan sopan, atau mengucpakan kata-kata kotor?

"Suka, Jeng," jawab Rian dengan napas terengah, "Dada kamu bagus. Putingnya apalagi, bikin gemes."

"Aahhh…" desah Ajeng. Gerak tubuh Ajeng terlihat semakin liar. Entah disengaja atau memang terjadi secara alamiah, tapi ia tampak menikmati. Kepalanya sesekali mendongak ke atas, mulutnya terbuka sebagian, pinggangnya melengkung, matanya sedikit terpejam. Tangannya tak hanya memainkan sepasang payudara dan putingnya, tapi juga sesekali merambat meraba lehernya yang jenjang, perutnya, lalu melintasi selangkangannya yang masih tertutup celana.

Melihat totalitas Ajeng, Karin ingin ikut berpartisipasi. Ia pun melepaskan kaosnya. Tampak bra warna putih yang membungkus sepasang payudara bulat nan indah.

"Mbak Jeng, aku ikutan ya? Mudah-mudahan aku bisa bantu. Punyaku agak lebih gedean dikit, kok," ujar Karin.

Karin menaikkan cup bra-nya. Sepasang buah dada yang bulat dan kencang pun melompat keluar. Ukurannya jelas lebih besar dari Ajeng, tapi juga tidak terlalu besar. Rian membayangkan bahwa ukuran dan kekenyalan buah dada Karin sangat pas dalam genggaman tangannya.

Mendengar kata-kata Karin, Ajeng malah tertawa kecil. "Heh, nggak sopan ya! Ngeledek ya?"

Karin membalasnya dengan juluran lidah dan tawa usil. Kemudian, ia mulai meremas-remas kedua payudaranya itu dan memajukannya ke arah kamera. Ingin sekali rasanya Rian ikut meremas dan menghisap kedua bukit indah itu.

"Ini buat Pak Rian," bisik Karin.

Rian sulit percaya, bahwa gadis yang selama ini ia anggap seperti seorang adik di kantornya, kini sedang memperlihatkan dan memainkan payudaranya.

"Aku juga punya, kok!" kata Shaly tiba-tiba.

Shaly menekan kedua payudaranya dari luar baju, sehingga baju pink itu tampak lebih menonjol. "Lumayan, kan?" tanya Shaly.

"Kak Shaly, kurang jelas, Kak," kata Karin. "Dibuka aja Kak, biar Pak Rian lebih jelas liatnya.

Shaly sedikit manyun, menggembungkan kedua pipinya. Kemudian, ia pun menaikkan bagian bawah bajunya hingga setinggi dada. Samar-samar, underboobs atau bagian bawah payudaranya tampak mengintip dari bagian bawah baju. Bentuknya sangat bulat dan padat, lebih besar dari milik Karin.

"Naikin dikit lagi, Shal. Biar lebih jelas visualnya. Waktu kita nggak banyak," ucap Ajeng.

Shaly mengangguk, kemudian kembali menaikkan baju dan bra-nya lebih tinggi lagi. Dua buah gunung bulat dan kenyal tiba-tiba saja tumpah keluar. Ia menahan lipatan bajunya menggunakan leher, kemudian tangannya ia gunakan untuk memijat kedua payudaranya itu.

"Begini, cukup jelaskah, Pak Rian?" tanya gadis berjilbab pink itu.

Rian mengangguk. Ia masih sibuk mengocok penisnya. Matanya bergantian menikmati keindahan payudara milik Ajeng, Karin, dan Shaly yang terpampang pada layar di hadapannya.

Erlin tak mau ketinggalan. Tidak seperti yang lain yang harus repot membuka kancing atau melepas kaos, Erlin hanya perlu menarik kaos busui-nya ke samping, lalu sepasang buah dada itu pun bisa dengan mudah ia keluarkan.

"Wih, mantap, Mbak Erlin!" kata Karin refleks.

Erlin tersipu. "Maap ya, ini tete emak-emak, tapi masih bagus kan?" tanyanya

"Masih bagus banget, Mbak!" ujar Shaly menimpali sambil masih memainkan putingnya sendiri.

Dalam hati, Rian sangat setuju. Payudara Erlin adalah yang paling besar di antara mereka semua. Bentuknya pun bulat, putih, mulus, dan tampak padat. Entah karena ia sedang menyusui atau memang dari dulu bentuknya sudah bagus, Rian tak tahu.

"Pak Rian, maaf aku nggak bisa mainin tetek nih, takut susunya keluar," ujar Erlin lagi, "tapi sebagai gantinya aku kasih lihat yang lain ya?"

Erlin kemudian bangkit berdiri, ia memerosotkan celana panjangnya, kemudian celana dalamnya. Terlihatlah bagian bawah tubuhnya yang mulus dan indah. Saat ia membalikkan badan, terlihat bokongnya yang bulat padat, sangat pas untuk diremas dan ditampar. Meski sudah pernah melahirkan, tapi tampak sekali dari tubuhnya itu bahwa Erlin rajin berolahraga dan merawat diri.

Mama muda itu kemudian duduk kembali di atas kursi. Ia menaikkan kedua kakinya, kemudian merenggangkan pahanya. Vaginanya kini terlihat dengan jelas. Dengan ujung jari tengahnya, ia memainkan klitorisnya sendiri sambil sesekali mengelus lubang vaginanya.

"Pak Rian, aku ikutan masturb, ya. Nggak apa-apa kan?" tanyanya.

Rian hanya mengangguk. Ia ingat bahwa suami Erlin adalah seorang dokter yang sedang bertugas di Rumah Sakit. Wajar jika Erlin juga memiliki kebutuhan yang ingin disalurkan meski ia tak terjangkit Sexflu.

Namun ternyata bukan hanya Erlin yang ingin tampil total. Ajeng yang juga sudah mulai terangsang, memutuskan untuk tampil lebih maksimal. Gadis muda itu kemudian ikut melepaskan celana panjangnya, kemudian memerosotkan celana dalamnya. Tampaklah vagina Ajeng yang sangat mungil tetapi begitu mulus. Sepertinya Ajeng rajin melakukan waxing. Bahkan ketika ia merenggangkan pahanya, Rian dapat melihat vagina Ajeng sangat halus, seolah menantang untuk dijilat.

"Saya ikutan ya. Biar lebih cepat. Mudah-mudahan Pak Rian suka. Ahhh…" gumamnya sambil memainkan klitorisnya sendiri.

Karin pun tak mau kalah. Ia ikut melepaskan celana pendeknya, kemudian berbalik badan dan memperlihatkan pantatnya yang bulat kencang. Andai saja gadis belia itu ada di hadapannya, Rian pasti ingin sekali meremas pantat yang masih terbungkus celana dalam itu.

Mungkin masih sedikit malu, Karin tak langsung membuka celana dalamnya. Ia hanya duduk, membuka pahanya, kemudian menggeser lipatan celana dalamnya ke samping. Belahan vaginanya perlahan mengintip dari sela celana dalam.

"Begini aja ya, Pak…."

Wanita selanjutnya yang terdorong untuk beraksi adalah Shaly. Namun Shaly rupanya tak seberani Ajeng atau Erlin. Sama seperti Karin, ia tidak berani membuka seluruh celananya.

Perlahan, jilbaber itu menurunkan rok panjangnya, kemudian kembali duduk di atas kursi. Celana dalamnya tampak ketat membungkus vaginanya. Meski tak menggeser lipatan celananya, untunglah belahan vagina Shaly sudah terlihat jelas dari luar celana dalamnya. Vagina itu memang tembam seperti pipi Shaly, sehingga mau tak mau kain celana dalamnya ikut terjepit di antara belahannya itu.

"Kalau aku, dari luar aja ya, Pak?" tanya Shaly sambil menggesek-gesek belahan vaginanya dari luar celana dalam.

Rian semakin tak tahan. Rasanya ingin sekali ia memasukkan batang penisnya ke dalam vagina-vagina itu satu per satu. Namun rupanya waktunya masih belum tiba.



Setelah 45 menit.

Di layar komputer, para wanita sedang asyik bermasturbasi, menemani Rian yang sedang berusaha keras menuntaskan kebutuhan birahinya. Erlin sudah memasukkan terong ke dalam vaginanya, Ajeng sudah memasukkan jari tenganya, Karin sudah memerosotkan celana dalamnya, sementara Shaly masih asyik memainkan vagina dari luar celana dalam.

Rian sudah menghabiskan banyak sekali lotion, tapi tak kunjung juga mencapai orgasme. Sementara itu, napasnya malah terasa semakin sesak.

Akhirnya Ajeng pun memberanikan diri untuk bicara. Ia mengatur napasnya terlebih dulu, kemudian memperbaiki posisi duduknya.

"Mbak Fitria... Mbak?" tanya Ajeng. "Masih menyimak, kan?"

"Iya, Jeng. Masih kok," ucap Fitria yang sejak tadi memang terlihat pasif. Ia hanya memainkan kismis dengan jarinya dan sesekali menjilati kismis itu, tapi tak pernah lebih. Jilbab maupun pakaiannya masih tertutup rapi.

"Mohon maaf nih, Mbak. Saya tau Mbak Fit mungkin agak risih atau canggung. Tapi kita dalam kondisi darurat. Sudah hampir satu jam, tapi tenaga medis belum ada tanda-tanda bakal sampai di rumah Pak Rian," ucap Ajeng dengan nada sesopan mungkin.

"Iya, Jeng. Aku paham kok. Aku juga pingin bantu. Pingin banget. Aku selalu respek dengan Pak Rian dan nggak mau beliau sampai kenapa-kenapa, tapi ...." ucap Fitria terbata-bata.

"Tapi apa, Mbak?" tanya Ajeng lagi.

"Tapi aku nggak biasa, Jeng. Aku nggak biasa ngelakuin hal kaya gini. Aku malu. Nggak pede."

"Mbak...." tiba-tiba Karin menimpali. "Dicoba dulu aja, Mbak. Aku juga sebenernya malu. Sejujurnya, aku nggak pernah kasih liat memek aku ke siapa pun. Bahkan ke pacar aku aja belum pernah. Tapi ini demi keselamatan Pak Rian, Mbak."

Fitria hanya menunduk mendengar masukan dari rekannya yang paling muda itu. Tangannya kini memilin ujung bajunya, rasa bimbang memenuhi hatinya.

"Betul, Mbak Fit," ucap Shaly menambahkan. "Mbak udah dengar fatwa yang beredar, kan? Menolong pasien Sexflu demi alasan kemanusiaan itu boleh kok, Mbak. Bahkan dianjurkan."

Fitria mengangguk-anggukkan kepala. Ia semakin bimbang. Dalam hatinya, ia kagum dengan Shaly yang meski sama-sama menutup aurat seperti dirinya, tapi berani berkorban demi keselamatan orang lain.

Tiba-tiba Erlin mengangkat tangannya. "Guys, guys, guys! Stop! Kita nggak berhak maksa-maksa Fitria. Setiap orang punya prinsip dan prioritasnya masing-masing. Lagipula Pak Rian juga nggak maksa, kan? Kenapa jadi kita yang maksa?"

"Tapi Mbak.... kita nggak maksa kok, cuma minta pengertiannya aja. Kondisi Pak Rian udah semakin buruk. Mbak Erlin kan lihat sendiri?" protes Ajeng.

"Gue ngerti, Jeng! Tapi gue juga yakin, kita bisa kok bikin Pak Rian klimaks tanpa harus maksa Fitria. Gue bisa, lo bisa, Shaly dan Karin juga bisa," balas Erlin. "Misalnya lo, Jeng, coba lo mendesah lebih keras. Elo Kar, coba lo masukin jari lo, memek lo kan udah basah tuh. Dan elo Shal, coba kasih liat memek lo yang jelas dong buat Pak Rian."

"Sudah, sudah, ahh...." potong Rian tiba-tiba. "Saya menghargai kalian semua. Dalam kondisi apa pun, jangan sampai saya malah membuat kalian merasa terpaksa atau terhina. Lebih baik saya mati daripada membuat Fitria atau siapa pun merasa terhina."

Usai mengucapkan kalimat itu, Rian menarik napas dalam. Penisnya masih tegang, tapi napasnya semakin tersengal. Benar kata Ajeng, kondisnya semakin buruk. Ia terbatuk-batuk, sementara wajahnya semakin pucat.

Melihat itu, Fitria tak bisa membendung emosinya lagi. Matanya berkaca-kaca. Sosoknya yang anggun dan berwibawa kini terasa lembut dan penuh belas kasih.

"Maafkan saya Pak Rian. Saya sama sekali nggak merasa terhina. Justru ini sebuah kehormatan buat saya. Pak Rian selama ini udah terlalu baik buat kami, nggak mungkin saya tega melihat Bapak seperti ini," ucap Fitria.

Perlahan-lahan, Fitria menanggalkan baju abu-abunya hingga jatuh ke lantai. Begitu pula dengan roknya. Semua mata terpana melihat keindahan lekuk tubuh dan kulit Fitria yang selama ini selalu tertutup rapat. Bra berwarna putih terang perlahan-lahan dilepaskannya dan dibiarkan jatuh ke lantai. Tampaklah sepasang payudara dengan bentuk dan ukuran yang sangat ideal. Sedikit lebih besar dari milik Karin, tak sebesar milik Erlin, tapi memiliki puting seindah milik Ajeng.

Semua napas ikut tertahan ketika akhirnya Fitria mulai memerosotkan celana dalamnya. Sepasang paha yang mulus bagai porselen tampak mengapit sebuah celah yang mulus dan indah.

Lembaran terakhir yang dilepaskan Fitria adalah jilbabnya. Ketika kain penutup itu dan ikat rambutnya lepas dari kepalanya, terurailah rambut panjang berwarna hitam berkilau yang seperti muncul dari iklan shampo di TV. Rambut Fitria panjang lurus sebahu dengan sedikit bergelombang di dekat pundaknya. Tanpa jilbab, wajahnya kini masih tampak anggun dan lembut, tapi terlihat sedikit lebih sensual.

"Pak Rian, ini tubuh saya. Silakan dinikmati, silakan dibayangkan, ya Pak," ucap Fitria sambil memijat pelan kedua payudaranya.

Melihati itu, birahi Rian melonjak sangat tinggi hingga ke ubun-ubun. Ia mendesah dan melenguh menikmati ekstasi biologisnya. Sementara itu, para wanita yang lain kembali bermasturbasi dengan kemampuan masing-masing.

Saat ini, pada layar monitor di hadapan Rian terlihat lima orang wanita muda dan cantik yang mempersembahkan keindahan tubuhnya untuk dikhayalkan oleh Rian. Semua itu mereka lakukan karena rasa hormat dan rasa sayang kepadanya. Mau tak mau, kenikmatan birahi dan rasa haru bercampur jadi satu dalam dada Rian, kemudian pada satu titik, semua itu meledak dengan sangat kuat.

"Teman-teman.... saya... saya mau keluar!" jerit Rian.

"Keluarin, Pak!"

"Jangan ditahan, Pak!"

"Keluarin yang banyak, Pak!"

"Ayo, Pak Rian! Keluarin yang banyak buat kami, Pak!"

Rian melenguh kencang. Punggungnya melengkung, penisnya tegak mengacung, kemudian dengan sangat kuatnya meriam itu menembakkan sperma berkali-kali. Arwah di tubuh Rian seperti meluncur keluar, seluruh sendi di antara tulang-tulangnya terasa lumer. Napasnya mulai melambat, kemudian ketenangan yang luar biasa membasuh dirinya.

Sambil menikmati sisa-sisa gelombang hasrat di dalam tubuhnya, Rian memandangi cairan spermanya yang membasahi layar laptop. Wajah kelima wanita itu kini tak terlihat jelas karena tertutup cairan kentalnya, tapi samar-samar ia dapat melihat mereka semua tersenyum lega dan mengucap syukur.

Kesadaran Rian mulai melemah. Matanya terasa berat dan ia merasa mengantuk sekali. Untunglah, sebelum ia terkapar di lantai, ia dapat mendengar petugas medis datang mendobrak pintu rumahnya. Ia segera dibawa dengan ambulans untuk menuju pusat karantina.

Namun sebelum dipindahkan ke ambulans, Rian sempat berucap ke layar monitornya.

"Terima kasih, kalian. Terima kasih banyak," ucapnya.

Kelima wanita itu tersenyum gembira, kemudian membalas ucapan Rian dengan serempak dan kompak.

"Sama-sama, Pak Rian...!"

[End of Story 5]
Wah mantaabb, lanjut dibuat masing2 personalndonk suhu... Hmmm si Nisa sabyan boleh tuch, hehehehehehe
 
Hu, usul donk ada pejabat yang bikin kerumunan, trus ada satu yang kena dan nyebar ke yang lain lewat minuman atau apa, trus jadi pesta orgy deh...
 
masih dilanjut ga suhu nyari korban di lingkungan remaja lagi yg lugu lugu
 
menunggu updatenya. sehat selalu biar rutin upload. saya menunggu cerita lanjutannya. seru
 

Story 7: Gowes (Part 4)


Dino dan Randi menatap dari luar garis. Di tengah area yang terbatas itu, hanya ada Ayu dan lima orang anggota TPGD yang berbaris di belakangnya. Petugas di barisan paling depan mendorong tubuh Ayu hingga ia menungging, kemudian tanpa ragu-ragu sedikitpun, petugas itu segera memasukkan batang penisnya ke vagina Ayu dengan gaya doggy.

Hentakan demi hentakan, sodokan demi sodokan dihantamkan ke lubang kemaluan dari gadis yang mereka cintai itu. Ayu melenguh, matanya setengah terpejam dan mulutnya setengah terbuka. Genjotan penis petugas itu semakin lama semakin cepat, tapi dengan percepatan tempo yang konstan.

“Tuh, gitu, Ran. Harusnya kita gitu tadi,” gumam Dino.

“Tapi … kita kan bukan profesional kaya mereka,” jawab Randi menghela napas.

Petugas pertama menggoyangkan panggulnya seperti seorang pemain sirkus mengayunkan cambuk, ada pola yang jelas, ritme yang teratur, dan tenaga yang tak pernah kehilangan hentakannya.

Randi dan Dino menduga-duga, berapa lama sodokan itu akan berlangsung? Apakah petugas TPGD itu adalah manusia dengan stamina luar biasa yang tidak pernah lelah? Apakah ia tidak butuh jeda untuk mengambil napas?

Ternyata tidak demikian. Mereka terhenyak ketika tiba-tiba saja petugas itu mencabut penisnya, kemudian bergeser ke kanan dan melakukan balik kanan. Petugas TPGD kedua yang berbaris di belakangnya segera mengambil alih. Ia maju satu langkah, kemudian segera memasukkan penisnya ke vagina Ayu. Semua itu terjadi dalam satu gerakan yang cepat, mulus, dan tanpa celah.

“Lo lihat tadi, Ran?” tanya Dino.

Randi hanya mengangguk. Ia tahu apa yang dimaksud Randi. Ada sebuah teknik yang ia yakin tak pernah ia saksikan satu kali pun dalam film porno.

“Perpindahan antara petugas pertama dan kedua …” kata Dino dengan terbata-bata, “nggak mengubah apalagi menurunkan tempo genjotan sama sekali!”

Randi menahan napas. “Betul, Din. Kelima petugas itu … mereka… mereka seperti satu tubuh yang nggak terpisahkan!”

“Mereka seperti ular naga!”

Benar saja, beberapa menit kemudian, petugas kedua melakukan hal yang sama. Ia bergeser, mundur ke belakang, dan digantikan oleh petugas ketiga. Begitu seterusnya hingga petugas kelima. Setelah petugas kelima, mereka melanjutkan kembali dengan petugas pertama. Ini seperti sebuah koreografi yang teratur dan telah dimatangkan dalam ratusan kali latihan di kamp militer.

Tidak sampai satu jam, tiba-tiba saja Dino dan Randi merasakan gelombang energi yang sangat dahsyat meledak keluar dari tubuh indah Ayu, diiringi suara desahan paling halus sekaligus paling tinggi yang pernah mereka dengar, membuat sekujur tubuh mereka merinding horny. Hal yang paling membuat mereka tesentuh adalah di antara desahan itu, mereka seperti mendengar nama mereka dibisikkan dengan lirih.

Randi … Dino ….”

Tubuh Ayu menggelinjang kuat. Bokongnya mengangkat tinggi dan bergetar hebat, seperti erupsi gunung Karaktau yang letusannya terasa hingga seluruh penjuru dunia.

Setelah itu, ia jatuh telungkup. Lemas tak berdaya.

“Ayu masih hidup, kan?” tanya Randi.

“Ayo kita lihat!” ajak Dino.

Kedua pemuda itu atas dasar khawatir dengan kondisi sahabatnya langsung melangkahi garis pembatas TPGD. Namun seorang petugas (yang belum sempat memasukkan penisnya) segera menahan mereka dan membentak tegas.

“Mundur! Mundur! Kalau kalian melewati garis, kalian melawan pemerintah!” ucpanya.

Merasa ciut dengan ancaman itu, Dino dan Randi segera mundur. Mereka menyaksikan tubuh Ayu yang dibawa dengan tandu menuju tempat pendaratan helikopter. Sepeda milik Ayu juga dibawa oleh mereka setelah disemprotkan disinfektan.

“Dia mau dibawa ke mana?” tanya Randi.

“Rumah isolasi,” jawab petugas sambil memasukkan penisnya ke dalam celana. “Kondisinya sudah sangat rentan. Teman kalian harus mendapat perawatan intensif.”

“Dia akan selamat, kan?” tanya Dino. Matanya berkaca-kaca.

“Kami tidak bisa janji. Semoga saja ada mukjizat. Andai saja dia mendapatkan pertolongan pertama yang sesuai, kondisinya tidak akan separah ini,” kata petugas sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Ini salah kami!” ucap Dino dengan suara terisak.

“Tolong obati teman kami!” kata Randi.

Petugas TPGD itu menghela napas dalam, kemudian menepuk pundak kedua pemuda itu dengan hangat.

“Kalian sudah berusaha sekuat tenaga,” ujarnya. “Mulai sekarang, belajarlah dengan rajin dan asah kemampuan seks kalian, supaya nanti kalian bisa menyelamatkan orang-orang seperti teman kalian itu.”

Kedua pemuda itu mengangguk. Sambil mendoakan kesembuhan untuk Ayu, mereka menyaksikan pasukan TPGD itu berjalan beriringan menjauh ke ujung jalan sambil membawa gadis yang mereka cintai, yang mungkin tak akan mereka jumpai lagi.

***



Matahari sore mulai tenggelam ke ufuk barat. Cahaya semakin redup, sementara suara lantunan shawalat mulai terdengar dari speaker mushola nun jauh di sana. Dino dan Randi mengayuh sepeda mereka perlahan di pinggir jalan. Tak ada obrolan di antara mereka. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing.

“Ran,” panggil Dino tiba-tiba.

Randi melambatkan laju sepedanya, kemudian menoleh. “Kenapa?”

“Ikut yok!”

“Ke mana?”

“Daftar jadi anggota TPGD,” kata Dino

Randi terhenyak. Ia berhenti mengayuh, kemudian menatap Dino tajam. Dalam waktu sedetik kemudian, mereka sama-sama mengangguk.

“Ayo!”

“Siap!”

Kedua sahabat itu pun mengadu tinju mereka, sebuah bro fist yang menandakan awal baru, sebuah cita-cita dan determinasi yang kuat untuk menjadi berarti. Hari ini, ketika matahari terbenam dan umat manusia sedang diambang keputus-asaan karena gelombang pandemi Sexflu yang tak kunjung mereda, dua orang pahlawan baru telah lahir dari rahim senja dengan menggenggam harapan. Dua orang pemuda ini yang kelak akan menyetubuhi perempuan-perempuan demi menyelamatkan dunia.




Photo by Enrico Perini from Pexels
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd