SIDE STORY
ANGGIA | PART - 4
timeline : PART 30 - 35 The Lucky Bastard
------------------------------------------
------------------------------------------
"Kamu kok diem aja tadi?" keluh Anggia.
"Habis aku harus gimana?"
"It was awkward"
"Bukan aku yang nanya soal itu.." Adrian tampak menjawab dengan cuek.
Ingatan yang ingin dihapus. Ingatan tentang makan malam dengan orang tua Adrian. Yang terjadi karena paksaan orang tuanya. Karena Adrian memang tidak pernah mencampurkan urusan pribadinya dan keluarga. Tapi ini harus terjadi. Terjadi karena memang wajar terjadi. Apalagi Anggia yang sedikit memaksa untuk datang ke acara pernikahan adik Adrian. Dan juga orang tua Adrian yang ingin bertemu dengan pacar anaknya, berkenalan, dan bermaksud memberi Anggia kain seragam untuk pernikahan Annisa, adik Adrian.
Ingatan tentang percakapan yang kaku tadi ingin segera dilupakan oleh Anggia.
"Kapan dong kamu nyusul?" senyum ayah Adrian kepada Adrian, saat makan malam tadi. Adrian tampak tidak fokus dan hanya memilih untuk memberi perhatian penuh ke makanan di depannya. Karena khawatir jawaban yang diberikan Adrian terlalu lama untuk keluar dari mulutnya, maka Anggia berinisiatif menjawab.
"Aduh om... Kita baru jalan itungan bulan kok.. Haha.. Masih jauh..." senyumnya.
"Gak ada salahnya dipikirin toh.." balas ayahnya Adrian.
"Dulu Anggia kuliah dimana?" Ibunya Adrian berusaha membuka pembicaraan ke arah lain dengan tiba-tiba.
"Trisakti tante.."
"Ooh... Dan sekarang sekantor sama Nica ya? Dulu Nica dimana sih, kok mama lupa?"
"UPH ma..." jawab Adrian tanpa melihat mata ibunya.
"Kalo Adrian dulu sempet di UI setahun, cuman gak beres kuliahnya setahun itu, kebanyakan main... Ancur..." komentar ayahnya. "Padahal sudah masuk ekonomi..."
"Jadi daripada di DO mundur aja ya dulu, jadi kita kirim aja ke Aussie, biar belajar mandiri..." sambung ibunya. "Untung ga bermasalah disana"
Adrian hanya senyum kecil sambil terus makan.
"Kalau SMA nya?"
"Di Tarakanita tante..."
"Kalau kami sekeluarga besar sih Labschool semua... Tadinya memang Adri mau kami masukin PL, tapi dipikir-pikir mendingan masuk sekolah yang lebih umum daripada masuk sekolah Katolik" balas Ibunya Adrian. "Memangnya Anggia dulu gak papa ngikuti pelajaran Agama katolik, kan disana wajib bukan?" lanjut Ibunya.
"Gakpapa tante... Kan saya Katolik..." jawab Anggia dengan ekspresi khawatir yang tidak bisa disembunyikan. Dan setelah topik itu, suasana jadi awkward luar biasa. Ternyata orangtua Adrian sama saja. Susah menerima pasangan yang beda agama. Dan payahnya, malam itu hanya Adrian yang terlihat biasa-biasa saja dan tidak awkward. Awkward yang Anggia khawatirkan. Yang ia berusaha hindari. Pikirnya dengan status keluarga Adrian yang high profile, mereka bisa lebih toleran terhadap pacar yang beda agama. Ternyata tidak juga. Sama saja dengan orang tua pacar-pacar Anggia sebelumnya. Dan ayahnya.
"BTW..."
"Ya Nggi?"
"Kamu bakal ngomongin ke mereka kan? Kalo kita sama sekali belom mikirin soal nikah, kita baru berapa bulan ini...."
"Gak usah lah"
"Kok gak usah?" tanya Angia gemas.
"Gak usah dipikirin..."
"Kok gitu?"
"Ya ga usah dipikirin aja, ribet" jawab Adrian cuek sambil menyetir dan menghisap rokoknya.
"Oh. Oke... Kalo gitu aku capek, anterin aku balik aja, gak usah ke rumah kamu dulu...." balas Anggia dingin ke Adrian.
"Oh? Siap Nggi" jawaban yang tidak diharapkan Anggia. Jawaban yang membuatnya kaget. Jujur, ia mengharapkan Adrian menahannya dan memberinya pengertian soal situasi tadi. Atau setidaknya comforting her. Tapi tidak. Dan Anggia semakin ingin cepat pulang.
------------------------------------------
"Lo gimana sih... Pacaran lagi kok dapetnya gitu lagi?" tanya Asthia.
"Abis gimana?" jawab Anggia pusing sambil menyeruput minuman ringan, di restoran fastfood itu, sehabis gereja minggu. Anak-anak Asthia sedang main di area permainan. Suami Asthia meninggalkan mereka terlebih dahulu, sedang ada urusan yang penting. Orang tua mereka sudah kembali ke rumah.
"Lo jangan bikin bokap senewen terus dong... Kasian udah tua.." Asthia mencoba menasihati.
"Jangan salahin gue dong... Gue cuman pengen happy... Yang pacaran kan bukan bokap.."
"Harusnya lo cari anak gereja aja..."
"Emangnya gue elo"
"Gue gak nyari. Dateng sendiri" senyum Asthia.
"Aduh, mulai abis ini deh, biarawatinya keluar...."
"Hus, jangan gitu dong... Gue kan cuma mau omongin yang baik-baik ke elo"
"Udah apal gue, pasti lo ngomongin soal iman, pernikahan, anak, dan lain lain... Tapi gue gak bisa ngebayangin kayak elo... Enak banget emang kayaknya, hidup gak ribet...." balas Anggia dengan kepusingannya sendiri.
Asthia hanya tersenyum. Maria Asthia Tan, kakak Anggia, di usia awal 30an nya. Dengan tiga anaknya. Sehabis lulus kuliah langsung menikah. Usia perkawinan sudah hampir 8 tahun dengan suaminya. Pacaran dari SMA, dengan sesama anak gereja. Hidup yang nyaman, enak, tanpa hambatan berarti dan semuanya lancar. Tapi Anggia entah kenapa horor membayangkannya. Mungkin karena dari dulu orang tua Anggia selalu memakai itu semua sebagai perbandingan ketika mereka menasihati Anggia soal pernikahan dan keluarga.
------------------------------------------
"Iya aku tau... Tapi aku tetep mau dateng...". "Gak papa sayang.... Iya aku ngerti, aku gak bakal dengerin omongan apapun yang gak enak...". "Iya emang masih lama, tapi perlu diobrolin dari sekarang... Fine.. Bye... Love you"
Anggia menarik nafas dalam dan melempar handphonenya ke pangkuannya.
"Kenapa?" tanya sahabatnya yang tiba-tiba muncul, di belakang Anggia di teras kantor. Tampaknya ia ingin merokok, ritual sorenya.
"Adeknya Adrian mau nikah"
"Oh... Terus?"
"Dia bilang gue gak usah dateng. Padahal menurut gue harusnya gue dateng. Adek pacar lo nikah, wajar kan kalo lo dateng?"
"Apa alasan dia ga pengen lo dateng?"
"Klasik"
"Klasik?"
"Gak cuma bokap gue yang gak suka gue ama dia pacaran"
"Oh..."
"Orang tuanya juga ga suka dia pacaran beda agama, chinese lagi.."
"Dianya gimana?"
"Dianya kayak gak mikirin. Santai santai aja"
"Jadi elu yang pusing?"
"Gue pengen serius ama dia... Gak mau ngehindar hindar dari masalah kayak gini. Sedangkan dia bilang ga usah dipikirin, dan ntar pas adeknya nikah ga usah dateng aja... Padahal gue udah siap kalo dateng dicuekin atau dijudesin ama keluarganya.... Dan gue butuh dia seenggaknya untuk nguatin perasaan gue, tanpa harus dia belain gue atau apa lah di depan keluarganya... Gue cuma butuh dia nyambut gue dan seneng sama ide kalo gue berani dateng ke keluarganya......" jelasnya panjang tanpa sedikitpun mengambil nafas.
"Bahaya itu... Orangnya kayak gimana sih? Gue belom sempet kenal" tanya sahabatnya lagi.
"Baik, banget. Royal. Manjain gue abis abisan. Tapi gak serius. Dalam artian ga bisa ngomongin masa depan dan kalo ketemu konflik dia cenderung menghindar..." Anggia menggigit kukunya. Kebiasaan buruk lamanya. Dia melakukannya kalau sedang senewen.
"Nggi... Kuku lo"
"Shit. Udah lama gak gigit gigit padahal" keluh Anggia.
"Lo cobain ajak ngomong dulu aja panjang lebar. Bikin dia dengerin lo" nasihat sahabatnya.
"Maunya. Liat ntar deh. Anaknya lagi sibuk ngurusin bisnis apa ntah..." lanjut Anggia, yang sedang berusaha membuat koneksi imajiner antara masalah ini dan Adrian yang mendadak jadi super sibuk. Apakah pacarnya ingin menghindar dari hal-hal seperti ini? Ayolah. Setidaknya harusnya ada sedikit omongan yang menenangkan soal hubungan mereka. Situasi yang tidak nyaman ini mau tidak mau harus segera dicari jalan keluarnya, bukan malah dihindari.
------------------------------------------
"Aku udah ngejait buat kawinan adek kamu..." bisik Anggia ke Adrian. Mereka ada di rumah Adrian lagi, malam itu. Malam setelah jam kerja. Kebetulan Adrian sedang free dan tidak ke Simatupang hari itu. Dia keliling ke beberapa tempat, dan memutuskan untuk tidak kembali ke kantor ayahnya. Dia memilih untuk pulang, dan memberi tahu Anggia bahwa ia ada di rumah.
"Oh, kok cepet? Ntar gak cukup lho bajunya" tanya Adrian sambil menatap ke arah televisi, dengan rokok di tangan.
"Aku? Gak bakal.. Udah lama banget aku gak naik timbangannya" Anggia bersandar ke Adrian, mencoba menikmati televisi juga.
"Yaudah..."
Sudah? begitu saja? tidak ada pertanyaan lain? Tidak ada pembicaraan mengenai keberterimaan orang tua Adrian? Sementara waktu ayahnya Anggia banyak mengeluhkan soal Adrian, dia selalu membicarakannya. Dan ia baru sadar waktu itu Adrian pun banyak menghindari pembicaraan itu. Kata-kata "ga usah dipikirin" "santai aja" selalu hadir dari mulutnya. Dan Anggia pun bingung. Di satu sisi ia nyaman dengan semua hal dari Adrian yang memanjakan dirinya, tapi di satu sisi, dia selalu menghindari dari hal-hal yang serius.
"Kok yaudah?" tanya Anggia bingung.
"Ya abis mau gimana?"
"Dri... serius dikit dong..."
"Nggi, ga perlu dipikirin kayak gitu, yang penting kan kita bareng, oke?" Adrian mengelus kepala Anggia, dan mencium keningnya. Anggia hanya bisa diam saja sambil masuk ke pelukan Adrian. Berharap tidak memikirkan hal-hal tersebut. Hal-hal yang mengawang.
"Kamu nginep disini aja... " bisik Adrian sambil memeluk dan tangannya mulai menggerayangi Anggia.
"Gak bisa..."
"Please... Aku pengen ngabisin semaleman sama kamu.."
"Dri.. aku juga pengen, tapi ntar ya, cari waktu, jangan sampe bikin bokap curiga..."
Mereka pun berciuman, tenggelam, dan sejenak melupakan hal-hal yang pelik.
------------------------------------------
Jam 8 malam, hari itu. Jakarta mulai ramai oleh para pekerjanya. Para pekerja yang mendambakan untuk segera berada di rumah mereka masing-masing, beristirahat dan bertemu dengan keluarga mereka.
Anggia sedang berada di ruangan sahabatnya, sambil memainkan kubus rubik dengan asal-asalan.
"Lo makan sama Karen ya malam ini?" tanya Anggia lemas.
"Iya"
"Gue bingung nih, dia ngehindar mulu kalo gue ajakin ngobrol serius..."
"Adrian?"
"Iya lah... Masa tukang rokok?"
"Hmm... Mesti lo kerasin kali Nggi..."
"Kerasin gimana? Marah gitu maksudnya?"
"Bukan, tegas aja, misal jika tidak ada kepastian, maka saya akan ngapain, gitu aja, give and take.. Ya nggak?"
"Haduh... Susah... Ntar malah putus kalo gitu.."
"Ya jangan ekstrim juga give and takenya Nggi..."
"Pusing ah... Bodo.. Mana gue mau ngajak dia dinner hari ini dia gak bisa lagi.. Sibuk katanya.." Anggia menekuk mukanya dan menaruh kubus rubik itu di tempatnya semula.
Sementara di belahan lain selatan Jakarta, Adrian sedang menyetir perlahan, dari arah Sudirman menuju Selatan, mencoba menyibak kemacetan Jakarta. Vivi ada di sebelahnya, memegang berkas-berkas yang harus dirapihkan kemudian.
"Ini banyak banget pak yang mesti diberesin, udah malem lagi sekarang, mau gak mau lembur kita...." keluhnya.
"Geli tau"
"Geli kenapa?"
"Pak... Kayak gue setua bokap aja...."
"Habis saya bingung manggilnya apa"
"Manggil nama gitu, atau minimal Mas kek... Haha"
"Oke.." Vivi terdiam lagi, melihat macetnya Jakarta dengan mata kepalanya sendiri. Tapi tak beda dengan kota asalnya, Bandung yang sekarang pun semakin macet.
"Ntar lah diliat ya, jangan diomongin sekarang, males lagi macet gini..." komentar Adrian.
"Iya mas..."
------------------------------------------
"Kok jadi gue sih?" keluh Rendy.
"Lagian lo mau aja gue suruh dateng ke mari..." ledek Anggia.
"Cowok lu mana?"
"Orang sibuk dia mah, udah pesen makan sana... Gue udah tadi..."
Kemang, jam 9 malam. Anggia belum ingin pulang. Karena Adrian dan sahabatnya tidak bisa menemaninya entah mengobrol atau apapun, dia memanggil manusia ini. Rendy. Untung Rendy sedang ada urusan malam itu di sekitaran Kemang, sehingga bisa dengan cepat ia mengiyakan ajakan Anggia. Atau juga karena fakta bahwa dia menggemari Anggia sejak lama. Anggia yang tak terjangkau olehnya.
"Jadi gue pemain cadangan gitu ya...."
"Kagak kali. Lo kan sama juga temen deket gue..."
"Jadi?"
"Jadi apanya?"
"Ada yang mau diobrolin?" tanya Rendy.
"Ga ada... Gue butuh temen aja."
"Hah"
"Kok hah, kayak gak kenal gue aja lo... Gue lagi bete, makanya butuh temen"
"Kirain ada yang penting"
"Jadi pertemanan kita gak penting?"
"Penting"
"Nah... Udah ga usah banyak komen... Cepet cerita gih... Cerita apa aja. Mau cerita lo abis donlot bokep apa aja silakan... Gue butuh denger orang cerita" keluh Anggia. Terlihat jelas bahwa kepalanya sedang pusing karena masalah keberterimaan orang tuanya dan orang tua Adrian atas hubungan mereka berdua. Ini masalah. Masalah yang bahkan Adrian sepertinya tak sedetik pun memikirkannya.
"Pusing ya Nggi?" tanya Rendy.
"Iya"
"Mungkin Adrian baru sekali ini pacaran beda agama kali..."
"Bisa jadi"
"Yaudah, ntar kalo lo dah gak bete bete amat sama dia, coba obrolin lagi... Mungkin dia juga pusing, karena itu makanya dia belum mau bahas, dia pikir dulu biar ga salah ngomong atau bersikap kali?" jelas Rendy dengan bijak.
"Masuk akal... Yaudah, paling abis nikahan adeknya gue bahas lagi deh.... Toh dia juga gak jadi dingin ama gue, tetep mesra mesra aja kok...." jawab Anggia.
"Nah.." Rendy tersenyum. Tersenyum melihat pujaannya agak tenang.
------------------------------------------
Simatupang, sementara jalanan berangsur sepi, tapi tidak dengan meja Adrian. Kertas-kertas bertumpuk. Vivi dengan cermatnya mencatat di buku catatannya.
"Jadi ini ntar kalo besok email penawaran mereka udah masuk, masukin harganya ke proposal... Tadi inget kan, katanya mereka bisa dapet kapal dengan harga lebih murah dari biasanya...."
"Iya mas"
"Dan jangan lupa, besok ingetin bapak juga, kalo ada penyesuaian harga buat beberapa spare part cadangan kapal... Biar dia gak kaget nanti kalo liat harga proposal akhir.... Eh bentar..."
Adrian mengangkat telponnya. Vivi diam dan memperhatikan Adrian. Gila. 30 tahun dan sudah berposisi setinggi ini di kantor ini. Tak peduli lagi dengan status ayah dan anak. Pasti ada sesuatu yang dimiliki orang ini sehingga ayahnya mempercayainya untuk urusan-urusan sepenting ini.
"Oh, sama Rendy? Yaudah... Paling sabtu ya? Oke... Bye.." telpon dari Anggia. Dan telpon singkat itu selesai. Adrian menaruhnya lagi di meja. Vivi pun penasaran.
"Istri mas?"
"Ah? Bukan, saya belom nikah"
"Pacar?"
"Kayaknya"
"Kok kayaknya?"
"Lo maunya tadi siapa?" Adrian tersenyum tipis dan kembali.ke beberapa berkas yang ada di tangannya.
"Oh... Maaf Mas... Nanya-nanya gak penting"
"Santai, take it easy..."
"Hehe... Abisnya saya belom tau apa-apa soal Mas, cuma taunya mas anaknya bapak..."
"Oh? Emang mau tau apa soal gue?"
"Apa ya... Bingung hehehehe...."
"Mending beresin kerjaan dulu, ntar abis itu beli makan mau? Kayaknya tadi makan malamnya kurang nendang kan?" ujar Adrian.
"Eh? Boleh mas..." senyum Vivi dengan manisnya.
------------------------------------------
Jam 11 malam. Kerjaan sudah beres, makanan sudah habis termakan. Adrian meregangkan tangannya dan ia berdiri, memperhatikan Vivi yang masih berkutat dengan buku catatannya. Ia lalu berjalan keluar, dan berjalan menuju toilet. Sambil buang air kecil, pikiran nakalnya lari kemana-mana. Ada calon baru di depannya. Dia mengutak atik isi kepalanya untuk merancang cara menarik perhatian Vivi.
Dan ia berjalan masuk lagi, menemukan Vivi sedang merentangkan tangannya, tampaknya seperti pegal.
"Pegel?"
"Iya mas... Ga sabar pengen pulang ke kosan"
"Kosan dimana?"
"Fatmawati..."
"Oh, mau dianterin nanti?"
"Ga usah, saya naek gojek aja..."
"Gojek? Dah malem lho, bahaya.... Dianterin ya?"
"Oke deh..."
"Harusnya pacar lo yang jemput"
"Eh tapi saya ga ada pacar..."
"Oh... Haha, my bad..."
Adrian berjalan ke lemarinya, membukanya dan mengeluarkan sebotol wine dan dua gelas.
"Sebelom balik"
"Aduh... Jadi gak enak hahaha...." Vivi tampak malu melihatnya.
"Gapapa, sekalian diabisin, udah rada lama soalnya, ntar alkoholnya ilang kalo kelamaan...."
"Oke mas"
Vivi pun menerima wine yang sudah dituang oleh Adrian ke gelas. Gelas beradu dan cairan itu masuk salam tenggorokan mereka berdua.
"Lo yakin ga punya pacar?" tanya Adrian.
"Haha, emang gak punya..." jawabnya.
"Boong"
"Kok boong?"
"Kan lo goodlooking gitu, masa ga ada cowok yang ngejar sih"
"Ah, saya emang suka ga beruntung urusan cinta cintaan" senyum Vivi. Duh, andaikan orang seperti Adrian available untuknya. Muda, good looking, dengan segala kekuatan bisnis dan pengaruh di dunia ini. Vivi mendadak membayangkan, betapa beruntungnya pacar Adrian tadi.
"Yah... Coba aja saya seberuntung pacarnya mas tadi..."
"Maksudnya?"
"Ya... Dia punya orang kayak mas, yang kayaknya bisa diandalkan oleh dia..." Vivi tersenyum malu, sedikit tersipu.
"Ah, lo bisa juga kok..." Adrian lantas duduk di meja, dengan posisi yang dekat dengan Vivi.
"Bisa gimana?"
"Bisa punya atau dipunyain orang kayak gue.."
"Ah, kan saya jomblo..."
"Gak mesti punya pacar kalo kayak gitu..."
"Maksudnya?" Vivi tersenyum, namun ia bingung, oleh pernyataan tadi.
"Haha... Gue tanya deh.. Lo pengen punya cowok kayak gue apa pengen punya gue?"
"Ah... Ahahahaha... Jangan ah mas... Siapa sih saya? Saya jamin orang kayak mas pacarnya cantik banget, hehe...."
"Dan elo juga cantik kok"
"Boong ah"
"Ga boong..."
"Jangan boong mas... Saya jadi gak enak" senyum Vivi malu. Namun ia perlahan masuk dalam cengkraman tak terlihat Adrian.
"Mau gue buktiin gak gue gak boong?"
"Hah?"
"Gue buktiin kalo gue gak boong"
"Gimana caranya"
"Gini..."
Tangan Adrian mendadak muncul, memegang dagu Vivi dengan lembut. Belum cukup waktu untuk Vivi beraksi, mendadak bibir Adrian menyentuh bibirnya. Dia kaget, berusaha berontak tapi badannya tak melawan. Tangan Adrian lalu turun, menjelajahi bahu dan turun ke pinggang Vivi. Ia menariknya perlahan, dan menuntun Vivi untuk berdiri. Adrian melepas ciumannya. Vivi dengan malu menatap. Nafasnya memburu, nervous, dan ia seperti tak berani menatap Adrian.
"Kalo lo gak mau, kita bisa berhenti dan lupain" bisik Adrian. Vivi terdiam. Hening. Lama. Tangannya berkeringat dingin.
"Gue anggep diem ini artinya mau..." dia mencium Vivi lagi. Dan dengan takut Vivi menerima ciumannya. Antara takut dan excited. Rasanya seperti melihat pertunjukkan kembang api di pinggir jurang.
Ia tenggelam. Tenggelam dalam ciuman Adrian yang penuh hasrat.
------------------------------------------
BERSAMBUNG