- Daftar
- 8 Jun 2011
- Post
- 49
- Like diterima
- 3.399
Chapter 8 : Bunda Aku Kembali
Sekian lama Harni bekerja sebagai terapis, uang tabungannya semakin banyak. Sebenarnya Harni ingin sekali pulang menemui ibunya. Tapi rasa malu akan profesi nya saat ini menghentikan keinginannya. Kapanpun sebenarnya Harni bisa pulang ke desanya. Tapi rasa bimbang membuat selalu urung terlaksana rencana itu.
Hingga suatu hari, Warti tak sengaja bertemu dengan salah satu warga desa yang sedang mengirim hasil bumi ke kota. Warti bertegur sapa dengan gembira sambil saling menanyakan kabar. Ditengah keasyikan bercerita mengenang desa asal, tiba tiba Warti terhenti setelah mendengar bahwa Ibu Harni telah meninggal dunia sebulan yang lalu. Tak banyak orang Desa Banjardowo yang mengetahui bahwa Harni merantau ke kota bersama Wartiningsih. Muka Warti berubah pucat, bagaimanapun Harni adalah sahabatnya. Dia paham jika berita ini pasti menggoncang hatinya.
Dengan muka penuh ketegangan dan pucat Warti terburu buru pulang ke ruko tempat mereka menginap. Secepatnya Warti naik mencari Harni, tapi tidak ditemukan Harni dimanapun. Warti langsung tahu satu satunya lokasi dimana Harni saat ini. Bergegas dia naik ke lt 3, tanpa mengetuk Warti masuk ke ruang kerja pribadi Koh Welly. Benar saja, di dalam ruangan tampak Harni sedang duduk di atas meja menghadap Koh Welly, tubuhnya setengah tersandar dimeja bertumpu pada kedua sikunya. Kedua lututnya terbuka menganga lebar sambil ditahan oleh Koh Welly supaya tetap terbuka. Tubuh Harni nyaris telanjang, hanya menyisakan celana dalam yang sudah disibak kesamping. Koh Welly sendiri sudah telanjang tubuh bagian bawahnya dan sedang dalam posisi menyodok keras selakangan Harni dengan batangnya yang tak bersunat dan telah mengeras. Suara desahan kedua insan dan erangan menggema di ruangan membuat Warti bingung bagaimana menyampaikan kabar duka ini.
Warti hanya bisa masuk dan terduduk terdiam di sofa yang biasa menjadi tempat Koh Welly melepas lendir ke para terapis yang dia sukai, secara berganti ganti setiap harinya. Warti bingung bagaimana menyampaikan berita duka ini ke Harni. Koh Welly yang melirik ke arah Warti paham telah terjadi sesuatu dan ada yang tidak beres. Secepatnya Koh Welly menuntaskan hajatnya yang hampir membuncah. Ketika hampir mencapai ejakulasi ditariknya Harni untuk bersimpuh dibawah meja dan diarahkan batang penisnya ke mulut Harni. Harni yang sudah paham dengan kebiasaan Koh Welly lgsg turun dan membuka mulut lebar lebar.
"Crootttt crootttt" dua semburan kencang melesak masuk ke mulut Harni yang menyebabkan sedikit tertelan, setelah itu dibersihkan batang penis Koh Welly menggunakan mulutnya, dikulum hingga bersih dan masih dijilat2.
Selepas menyelesaikan birahi nya, dengan masih telanjang Koh Welly menghampiri Warti sambil bertanya.
"Yu napa War? Kok diem aja? Ada masalah?"
Warti menatap tajam dengan kebingungan ke arah Harni. Dihampirinya tubuh harni yang masih telanjang dengan sedikit bekas muncratan sperma di dagu. Warti pun ikut bersimpuh sambil memegang pundak sahabatnya yang tengah telanjang itu.
"Har....tadi aku iseng ke pasar, aku ketemu Cak Kohar, ya...biasa kita ngobrol soal desa"
Warti terhenti sejenak sebelum melanjutkan ceritanya.
"Har kamu yang kuat ya mendengar ini. Cak Kohar mengabarkan, ibu kamu sudah meninggal sebulan lalu Har, beliau jatuh ketika pergi ke pasar dan meninggal saat itu juga karena terantuk batu kepalanya"
Mendengar cerita Warti pecahlah tangis Harni sejadi jadinya. Dipeluknya sahabatnya itu. Harni merasa dia telah menjadi sosok yang hina, dan tidak berbakti. Bahkan ketika dihari hari terakhir ibunya dia tidak bisa mendampingi. Untuk apa uang yang dia punya. Untuk apa baju bagus yang dia beli. Jika pada akhirnya sekarang dia Yatim Piatu. Ayahnya meninggal belum lama ketika dia remaja, kini ibunya juga turut meninggal.
Singkat cerita Harni memutuskan untuk resign dari pekerjaannya sebagai terapis, untuk pulang ke desa mengunjungi makam ibu nya. Meski berat hati Koh Welly melepas dengan rela, bahkan memberikan pesangon yang cukup besar. Mengingat Harni sering menjadi object pemuas nafsunya dan memberikan kenikmatan lain dari pada terapis lain yang telah ditidurinya.
"Jadi begitu Bar, aku baru pulang ini, aku nggak punya muka untuk bertemu warga desa lain Bar"
Barkah terdiam mendengar cerita Harni, tidak sedikitpun Barkah memandang hina atau rendah akan diri Harni. Malah Barkah merasa iba akan nasib yang dialami dirinya.
"Warti kebangetan, masak kamu bisa diajak jadi begituan sih di kota Har" kata Barkah memecah kesunyian saat itu.
"Ndak Bar, Warti ndak salah, aku yang bodoh, aku yang menipu diriku sendiri. Warti sebenarnya sudah bilang dari awal, tapi aku e yang ndak mau tanya secara jelas" jawab Harni.
"Yowis Har, sekarang rencanamu opo? Sebagai sahabat aku siap bantu Har"
"Mboh Bar, saat ini paling aku mau bersih bersih rumah dulu, biar bisa ditempati seperti dulu saat Ibu masih hidup" terang Harni.
"Oke....ayok, kita beres beres. Aku bakal bantu kamu, udah kamu ndak usah khawatir, ada aku yang siap menemani"
Kebaikan hari Barkah membuat hati Harni yang telah terisi pilu sedikit menghangat. Selesai mereka beres beres rumah, Barkah pamit pulang dan berjanji akan mengunjungi Harni setiap hari. Tak lupa Barkah memberikan sedikit bahan makanan untuk Harni, mengisikan tempayan air untuk minum, memastikan kebutuhan Harni terpenuhi.
Harni melepas Barkah pulang sambil sedikit tersenyum, dia merasa beruntung sekaligus bodoh. Ada pria sebaik Barkah di desanya kenapa dia tidak menyadarinya dari dulu malah mencari peruntungan tidak pasti di kota besar.
Hari pun berlalu dan telah larut. Barkah beristirahat dan mengistirahatkan pikirannya. Harni, Bu Marsih, membuat tembikar, sebelumnya hidup Barkah begitu sederhana. Dalam waktu sekejap semuanya menjadi kompleks dan banyak yang harus dipikirkan. Ah sudahlah, lebih baik tidur saja, besok ya urusan besok. Gumam Barkah.
Bersambung
Sekian lama Harni bekerja sebagai terapis, uang tabungannya semakin banyak. Sebenarnya Harni ingin sekali pulang menemui ibunya. Tapi rasa malu akan profesi nya saat ini menghentikan keinginannya. Kapanpun sebenarnya Harni bisa pulang ke desanya. Tapi rasa bimbang membuat selalu urung terlaksana rencana itu.
Hingga suatu hari, Warti tak sengaja bertemu dengan salah satu warga desa yang sedang mengirim hasil bumi ke kota. Warti bertegur sapa dengan gembira sambil saling menanyakan kabar. Ditengah keasyikan bercerita mengenang desa asal, tiba tiba Warti terhenti setelah mendengar bahwa Ibu Harni telah meninggal dunia sebulan yang lalu. Tak banyak orang Desa Banjardowo yang mengetahui bahwa Harni merantau ke kota bersama Wartiningsih. Muka Warti berubah pucat, bagaimanapun Harni adalah sahabatnya. Dia paham jika berita ini pasti menggoncang hatinya.
Dengan muka penuh ketegangan dan pucat Warti terburu buru pulang ke ruko tempat mereka menginap. Secepatnya Warti naik mencari Harni, tapi tidak ditemukan Harni dimanapun. Warti langsung tahu satu satunya lokasi dimana Harni saat ini. Bergegas dia naik ke lt 3, tanpa mengetuk Warti masuk ke ruang kerja pribadi Koh Welly. Benar saja, di dalam ruangan tampak Harni sedang duduk di atas meja menghadap Koh Welly, tubuhnya setengah tersandar dimeja bertumpu pada kedua sikunya. Kedua lututnya terbuka menganga lebar sambil ditahan oleh Koh Welly supaya tetap terbuka. Tubuh Harni nyaris telanjang, hanya menyisakan celana dalam yang sudah disibak kesamping. Koh Welly sendiri sudah telanjang tubuh bagian bawahnya dan sedang dalam posisi menyodok keras selakangan Harni dengan batangnya yang tak bersunat dan telah mengeras. Suara desahan kedua insan dan erangan menggema di ruangan membuat Warti bingung bagaimana menyampaikan kabar duka ini.
Warti hanya bisa masuk dan terduduk terdiam di sofa yang biasa menjadi tempat Koh Welly melepas lendir ke para terapis yang dia sukai, secara berganti ganti setiap harinya. Warti bingung bagaimana menyampaikan berita duka ini ke Harni. Koh Welly yang melirik ke arah Warti paham telah terjadi sesuatu dan ada yang tidak beres. Secepatnya Koh Welly menuntaskan hajatnya yang hampir membuncah. Ketika hampir mencapai ejakulasi ditariknya Harni untuk bersimpuh dibawah meja dan diarahkan batang penisnya ke mulut Harni. Harni yang sudah paham dengan kebiasaan Koh Welly lgsg turun dan membuka mulut lebar lebar.
"Crootttt crootttt" dua semburan kencang melesak masuk ke mulut Harni yang menyebabkan sedikit tertelan, setelah itu dibersihkan batang penis Koh Welly menggunakan mulutnya, dikulum hingga bersih dan masih dijilat2.
Selepas menyelesaikan birahi nya, dengan masih telanjang Koh Welly menghampiri Warti sambil bertanya.
"Yu napa War? Kok diem aja? Ada masalah?"
Warti menatap tajam dengan kebingungan ke arah Harni. Dihampirinya tubuh harni yang masih telanjang dengan sedikit bekas muncratan sperma di dagu. Warti pun ikut bersimpuh sambil memegang pundak sahabatnya yang tengah telanjang itu.
"Har....tadi aku iseng ke pasar, aku ketemu Cak Kohar, ya...biasa kita ngobrol soal desa"
Warti terhenti sejenak sebelum melanjutkan ceritanya.
"Har kamu yang kuat ya mendengar ini. Cak Kohar mengabarkan, ibu kamu sudah meninggal sebulan lalu Har, beliau jatuh ketika pergi ke pasar dan meninggal saat itu juga karena terantuk batu kepalanya"
Mendengar cerita Warti pecahlah tangis Harni sejadi jadinya. Dipeluknya sahabatnya itu. Harni merasa dia telah menjadi sosok yang hina, dan tidak berbakti. Bahkan ketika dihari hari terakhir ibunya dia tidak bisa mendampingi. Untuk apa uang yang dia punya. Untuk apa baju bagus yang dia beli. Jika pada akhirnya sekarang dia Yatim Piatu. Ayahnya meninggal belum lama ketika dia remaja, kini ibunya juga turut meninggal.
Singkat cerita Harni memutuskan untuk resign dari pekerjaannya sebagai terapis, untuk pulang ke desa mengunjungi makam ibu nya. Meski berat hati Koh Welly melepas dengan rela, bahkan memberikan pesangon yang cukup besar. Mengingat Harni sering menjadi object pemuas nafsunya dan memberikan kenikmatan lain dari pada terapis lain yang telah ditidurinya.
"Jadi begitu Bar, aku baru pulang ini, aku nggak punya muka untuk bertemu warga desa lain Bar"
Barkah terdiam mendengar cerita Harni, tidak sedikitpun Barkah memandang hina atau rendah akan diri Harni. Malah Barkah merasa iba akan nasib yang dialami dirinya.
"Warti kebangetan, masak kamu bisa diajak jadi begituan sih di kota Har" kata Barkah memecah kesunyian saat itu.
"Ndak Bar, Warti ndak salah, aku yang bodoh, aku yang menipu diriku sendiri. Warti sebenarnya sudah bilang dari awal, tapi aku e yang ndak mau tanya secara jelas" jawab Harni.
"Yowis Har, sekarang rencanamu opo? Sebagai sahabat aku siap bantu Har"
"Mboh Bar, saat ini paling aku mau bersih bersih rumah dulu, biar bisa ditempati seperti dulu saat Ibu masih hidup" terang Harni.
"Oke....ayok, kita beres beres. Aku bakal bantu kamu, udah kamu ndak usah khawatir, ada aku yang siap menemani"
Kebaikan hari Barkah membuat hati Harni yang telah terisi pilu sedikit menghangat. Selesai mereka beres beres rumah, Barkah pamit pulang dan berjanji akan mengunjungi Harni setiap hari. Tak lupa Barkah memberikan sedikit bahan makanan untuk Harni, mengisikan tempayan air untuk minum, memastikan kebutuhan Harni terpenuhi.
Harni melepas Barkah pulang sambil sedikit tersenyum, dia merasa beruntung sekaligus bodoh. Ada pria sebaik Barkah di desanya kenapa dia tidak menyadarinya dari dulu malah mencari peruntungan tidak pasti di kota besar.
Hari pun berlalu dan telah larut. Barkah beristirahat dan mengistirahatkan pikirannya. Harni, Bu Marsih, membuat tembikar, sebelumnya hidup Barkah begitu sederhana. Dalam waktu sekejap semuanya menjadi kompleks dan banyak yang harus dipikirkan. Ah sudahlah, lebih baik tidur saja, besok ya urusan besok. Gumam Barkah.
Bersambung