Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Subarkah

Bimabet
Chapter 3 : Perjanjian Nikmat
Pagi harinya Subarkah menepati janjinya dan berangkat ke rumah Bu Marsih sambil membawa barang dagangannya. Selama perjalanan Subarkah berdebar debar. Kenikmatan yang dia rasakan semalam dan rasa takut akan apa yang hendak diperbuat Bu Marsih berkecamuk dalam pikirannya. Sebersit harapan akan kembali mengulang rasa nikmat itu muncul di hati. Tapi rasa takut juga muncul bersamaan, maklum Subarkah pria lugu yang selama ini tidak pernah melakukan hal hal yang dilarang oleh norma agama dan masyarakat.

Kecamuk pikirannya pun terhenti manakala kakinya telah sampai di pintu rumah Bu Marsih.

"Tok tok tok......Bu Marsih..........Bu.......permisi....."

Subarkah mengetok dan memanggil dengan pelan di depan pintu kayu rumah yang lebih besar dari rumah nya. Daun pintu nya dari kayu jati yang diukir dengan halus. Bu Marsih termasuk orang yang cukup berada karena mendiang suaminya meninggalkan harta yang lumayan semasa hidupnya.

Tak lama pintu pun terbuka, nampak Bu Marsih sudah bersolek dan mengenakan baju sehari harinya. Nampak sopan dan anggun untuk wanita seusianya. Kemeja batik berlengan panjang yang tertutup rapat dan dipadukan dengan rok panjang lebar semata kaki. Rambutnya disanggul keatas khas wanita desa yang anggun menampilkan leher putihnya. Meskipun mengenakan pakaian yang tertutup rapat, kemolekan tubuh yang sudah pernah dinikmati oleh Barkah itu tak bisa disembunyikan.

"Ealah kamu Bar, ayo sini masuk, bawa daganganmu sekalian, aku mau pilih pilih"

"Baik Bu Mar, permisi ya" jawab Barkah singkat sambil masuk membawa barang dagangannya.

Setelah masuk dan duduk di ruang tamu Bu Marsih sibuk memilih milih tembikar yang akan dibelinya, sementara Barkah yang baru kali ini masuk ke rumah Bu Marsih melihat lihat kondisi rumah Bu Marsih sambil terpana. Atap nya tinggi tidak seperti rumahnya, temboknya dicar putih bersih, perabotan furniture dari kayu yang diasah halus dan dipelitur, beda dengan perabot rumahnya yang seadanya.

Dari ruang tamu Subarkah dapat langsung melihat ke ruang tengah. Di ruang tengah nampak kasur yang ditaruh di tengah ruangan dan dibelakangnya ada rak kayu tinggi yang di dalamnya tersusun guci guci obat. Kasur itu pun hanya dibatasi oleh tirai kain yang saat itu terbuka. Bu Marsih berprofesi sebagai penjual obat obatan di Desa Banjardowo sehingga Barkah membatin dalam hati, mungkin itu tempat Bu Marsih mengobati orang orang yang datang membeli obat kepadanya.

"Bar....Bar.....aku ambil guci guci dan ceret ini. Berapa? Malah ngalamun ae to Bar"
Suara Bu Marsih memecah lamunan Barkah

"Eh iya Bu, ini saya kasih harga khusus aja buat Bu Marsih.....e.....berapa ya.....semuanya 50ribu saja bu"
Jawab Barkah yang terkaget dan asal menjawab

"Yo wis tunggu sebentar, tak ambil uang dulu, dan kamu jangan kemana mana, habis ini aku mau langsung omong soal urusan kita berdua"

Hati Barkah lgsg mak deggggggg, teringat kejadian semalam, apakah dia akan dapat kesempatan lagi, atau malah lebih parah Bu Marsih akan minta Barkah untuk menikahinya?
Meskipun seorang bujangan dan tidak memiliki pacar, serta bukan seorang pria yang menjadi idola di desa tersebut. Barkah juga masih mau pilih pilih siapa yang akan jadi istrinya kelak. Masak iya dia akan menikahi janda berumur 58th.

Bu Marsih pun keluar sambil memberikan uang 100rb dan berkata "kembaliannya ambil aja Bar, buat kamu"

"Gini Bar, kamu semalam akhirnya lepas perjaka, itu pertama kali nya kamu berhubungan badan sama wanita?"

"I...iya Bu Mar, saya belum pernah sebelumnya"

Senyum tipis pun tersungging di bibir Bu Marsih

"Aku tak jujur yo sama kamu Bar, kamu itu masih muda, badanmu bagus dan setrong, tapi ada satu masalah Bar"
"Ukuran burungmu itu lo, kok yo cuma sak gitu to Bar"
"Dibilang kecil sih endak, tapi yo kurang josss lah, apalagi stamina burungmu, masak baru sebentar digenjot emak emak udah moncrot"
"Nek kamu digoyang perawan yang masih rapet opo ndak makin cepet moncrotmu"

Bu Marsih menyadari memek nya bukanlah memek paling rapet karena sejak menjanda dia kadang main gila dengan pemuda desa yang dia suka dan kebetulan datang berobat ke dia, sehingga sudah tidak terhitung jumlah pria yang ditidurinya

Mendengar perkataan Bu Marsih, Subarkah pun langsung merasa minder dan bingung. Dia tidak tahu harus menjawab apa perkataan Bu Marsih yang ceplas ceplos tersebut.

Bu Marsih yang memiliki jam terbang tinggi sudah paham akan kondisi dan isi hati Subarkah. Senyumnya makin mengembang dan dia tahu harus memecah kebisuan ini.

"Kamu tenang Bar, kamu kan tau kalo aku ini ahli pengobatan disini. Bukan cuma ngobatin salah urat, sakit demam dan batuk. Tapi sampe urusan stamina di ranjang, aku ini jagonya"

"Mbah buyutku dulu pernah belajar dari ahli urut syarat di Jawa Barat, dan ilmunya itu sudah diturunkan ke aku Bar"

"Kalo kamu mau Bar, aku bisa bantu kamu"

Barkah pun terkejut dengan tawaran dari Bu Marsih. "Tapi itu berapa biayanya Bu Mar? Saya takut nggak cukup uang simpanan saya untuk bayarnya Bu"

"Uwis to, ndak usah khawatir, wong tadi saja habis 50ribu aku isa bayar 100 kok. Duit ndak masalah Bar buat aku, aku cuma minta satu syarat"

"Apa itu Bu Mar" Barkah menjawab dengan antusias dan penuh harap.

"Syarat ku gampang, satu, kamu harus nurut semua proses terapi ku. Yang kedua semua yang aku minta harus kamu penuhi. Kamu boleh menjalani hubungan asmara dengan gadis manapun di desa ini. Tapi kalo aku minta kamu datang kamu harus datang"

"Kalo kamu bisa mengikuti semua syaratku tak jamin Bar, burungmu bakal jadi burung paling perkasa di desa ini, bagaimana?"

Barkah pun terdiam sambil berpikir. Otak lugunya tak mampu mengolah dengan cepat. Tapi perkataan akan kejantanan yang tidak sempurna dari Bu Marsih melintas di kepala Barkah.

"Baik Bu, saya bersedia, tapi boleh saya bertanya, kok Bu Marsih mau mengobati saya dengan cuma cuma kenapa Bu? Kan banyak pria lain di desa ini yang lebih gagah dari saya?"

"Kon itu bodo opo pie to Bar, la nek kamu udah gagah prakoso ya ngapain tak obati?" Seru Bu Mar sambil terkekeh, payudara besarnya berguncang guncang ketika dia tertawa, membuat Barkah makin menelan ludah.

"Kedua gini Bar, kamu itu kan sebatang kara, aku tau kamu tu anak baik, aku juga udah lama kenal almarhum orang tua mu. Aku cuma berpikir mesakno kamu kalo garis keturunan orang tua mu yang pembuat tembikar paling hebat di desa ini putus gara gara performa burungmu yang cuma seiprit"

"Ketiga Bar, jujur ae yo, aku juga masih butuh dipuaskan laki laki, cuma kalo sama sembarang orang, nggak selalu aku dapet kesempatan ngewe Bar, kaya semalem pas lagi kepingin, eh nggak ada yang nggenjot, nah kalo kamu menyanggupi syaratku, paling aku cuma minta seminggu 2-3 kali lah kamu main ke sini buat nggenjot aku Bar" jawab Bu Marsih panjang lebar menjelaskan ke Subarkah

Mendengar jawaban dari Bu Marsih, timbul rasa hangat dan percaya di hati Barkah. Teringat memang betul bahwa orang tuanya dan Bu Marsih sudah berkawan sejak lama. Bahkan ketika Subarkah masih kecil Bu Marsih sering bertandang mengunjungi rumah mereka. Bu Marsih sering menggendong gendong Barkah kecil karena dia sendiri tidak memiliki keturunan. Menatap kejujuran Bu Marsih, Subarkah bagaikan mendapat kehangatan dari ibunya yang telah lama tiada.

"Baik Bu Mar, kalo memang begitu, saya terima niat baik Bu Marsih, saya janji akan berusaha sebisanya tidak mengecewakan harapan Bu Marsih"

"Jadi mau dimulai kapan saya manut Bu"

Bu Marsih terkekeh terbahak bahak dengan keras. "Yowis nek gitu ayo jangan buang waktu, kita mulai sekarang, ayo masuk Bar, kita ke ruang pengobatan"

Mereka berdua pun melangkah ke ruang tengah menuju bilik kasur yang hanya dibatasi oleh tirai. Subarkah disuruh tidur terlentang di ranjang pengobatan tersebut dan diminta untuk menanggalkan semua bajunya hingga telanjang bulat.

Bu marsih sibuk memilih guci dari tanah liat dirak kayu belakang, setelah mengambil beberap guci dibawanya ke meja dekat kasur tempat Subarkah terbaring.

"Bar, ayo buat burungmu ngaceng dulu"

"Gimana caranya Bu Mar?" Jawab Barkah dengan polos dan kebingungan

"Dasar cah lanang jek polos, sek tak buka susuku biar kamu bisa terangsang"

Tanpa membuang waktu Bu Marsih membuka kemejanya dan menanggalkannya, kedua payudara berukuran jumbo tersebut tampak mecotot tertekan beha berwarna krem khas ibu ibu. Payudaranya tampak seperti mau meledak terhimpit cup behanya. Tanpa membuka tali beha, Bu Marsih menarik keluar kedua payudara besarnya.

"Nyoh Bar, kamu boleh pegang, mau diemut, dijilat jilat monggo, pokoknya buat burungmu ngaceng dulu"

Tak membuang waktu Subarkah langsung terduduk dan meraba payudara Bu Marsih. Kedua puting berwarna kecoklatan diraba pelan. Perlahan Subarkah mendekatkan wajahnya untuk mencium aroma payudara tersebut. "Hmmm wangi" batin Subarkah. Ciuman berubah menjadi jilatan, kedua tangannya berubah dari elusan menjadi remasan gemas.

Bu Marsih mulai mendesah pelan, dia melirik dan nampak burung Barkah mulai mengeras perlahan lahan.

"Bar pengobatan ku ini memakan waktu 10hari. Selama 10hari syarat ku kamu tidak boleh berhubungan badan dengan wanita manapun, karena minyak obatku tidak boleh bercampur dengan lendir wanita"

"Butuh waktu agar obat obatan ku ini diserap sempurna melalui kulit burungmu, dan selama 10hari itu kamu setiap dua hari mesti ke sini untuk tak pijit ulang Bar"

Udara di Desa Banjardowo sebenarnya termasuk dingin karena berada di kaki gunung. Itu pulalah yang membuat libido dam hasrat wanita di sana cukup tinggi karena untuk mengatasi rasa dingin tersebut mereka butuh dihangatkan dengan para pria. Namun udara dingin pagi itu kalah dengan hasrat yang memanas kedua insan.

Bu Marsih, mulai mengolesi tangannya dengan minyak obat obatan miliknya, kemudia dia mengambil minyak lain dan mencampurnya sambil komat kamit. Mulutnya terus merapal doa doa yang diajarkan orang tuanya sambil sesekali mendesah keenakan karena payudaranya dihisap hisap oleh Subarkah.

Tangan berminyaknya mulai menyentuh batang kelelakian Subarkah. Seperti tersengat aliran listrik Subarkah merasakan kenikmatan penisnya dipijat oleh Bu Marsih, tangan lembut Bu Marsih yang berminyak membuat Subarkah melayang merasa kenikmatan tiada tara.

Merasakan kenikmatan seperti itu mulut dan tangan Subarkah makin brutal menjilat, menghisap dan meremas payudara Bu Marsih. Sekujur payudara besar itu penuh dengan air liur subarkah, desahan Bu Marsih dan Subarkah saling bersahutan.

Merasa memeknya sudah makin basah akan hawa nafsu Bu Marsih tidak tahan lagi. Diapun bangkit menyibakan roknya dan langsung melepas celana dalamnya, rok panjangnya diikat dipinggang supaya tidak turun kebawah.

"Bar, aku udah napsu, tapi aku ndak isa nggenjot kamu, kamu jilatin tempik ku ae yo"

Bu Marsih langsung menaiki ranjang untuk tengkurap di atas tubuh Subarkah. Mereka membentuk posisi 69. Memek Bu Marsih yang berbulu tipis langsung disodorkan ke mulut Subarkah sambil digesek gesekan ke bibir Subarkah.

Meskipun tidak memiliki pengalaman menjilati memek wanita, insting Subarkah tau apa yang harus diperbuatnya, Subarkah mencium ganas bibir memek Bu Marsih. Aromanya wangi karena hari itu masih pagi dan Bu Marsih baru selesai mandi. Lidahnya berusaha masuk sambil merojok rojok kedalam liang memeknya.

Sementara dibawah Bu Marsih masih sibuk mendesah sambil komat kamit, dan terus memijit batang kelelakian Subarkah. Tak lama batang penis Subarkah lgsg muncrat cairan sperma dengan sangat banyak dan mengenai wajah Bu Marsih. Sebenarnya ritual nya sudah selesai saat itu. Akan tetapi hasrat birahi yang belum tuntas membuat Bu Marsih terus menggoyangkan pantat besarnya menggesek kan memek nya dimulut Subarkah sambil berusaha mencari orgasme dari lidah Subarkah. Subarkah yang menyadari kalo dia sudah ejakulasi dan tangan Bu Marsih yang hanya diam menggenggam erat batang penisnya tau kalau dia harus membalas budi akan kenikmatan yang dia terima.

Lidahnay terus menjilat jilat itil Bu Marsih, dua jari kanannya sibuk merojok rojok rongga memek Bu Marsih, tangan kanannya memeluk pantat dan meremas dengan gemas. Sampai akhirnya Bu Marsih melolong panjang dan membenamkan dalam dalam selakangan nya ke wajah Barkah, hal ini membuat Barkah gelagapan kesusahan bernafa.

Setelah mereda libido Bu Marsih, Bu Marsih segera turun dan kembali mengenakan celana dalamnya serta merapikan pakaiannya kembali. Kemejanya kembali digunakan, dan diapun berjalan ke arah dapur.

Setelah berapa lama Bu Marsih kembali sambil membawa secangkir minuman hangat.

"Duduk Bar....." Kata Bu Marsih melihat Subarkah yang masih tidur terlentang menikmati apa yang baru saja terjadi.

"Nyoh diminum sampe habis, minyak obat sama pijatan ku dari luar, dan ramuan ini dari dalam buat melancarkan aliran darahmu ke burungmu"

"Niscaya burungmu akan bangkit perkasa, asal kamu ingat pesanku. Jangan sampai kamu bohong sama aku ya Bar, karena bisa fatal kalo pengobatan ini putus ditengah jalan. Bisa terjadi aneh aneh dengan burungmu"

"Baik Bu, saya janji tidak akan mengecewakan kebaikan Bu Mar"
Subarkah pun makin mantap berjanji setelah kembali dia merasakan kenikmatan dari Bu Marsih. Rasa hangat akan sosok seorang ibu, kenikmatan pria dewasa, serta pengalaman berhubungan intim yang didapat membuat Barkah makin mantap dan yakin mengikuti semua instruksi dari Bu Marsih.

Setelah menghabiskan ramuan yang diberikan Subarkah pun berpakaian kembali dan pamit pulang. Hari itu dia tidak berencana berjualan di pasar, rasa kantuk dan lelah setelah dikocok oleh Bu Marsih membuat Barkah memutuskan langsung pulang saja. Apalgi hari itu dia sudah mendapatkan pemasukan dari diborongnya dagangan nya oleh Bu Marsih. Senyum lebar tersungging di bibir Subarkah, gembira dan tak sabar untuk bertemu lagi dengan Bu Marsih tiap dua hari.

Bersambung.
 
Latar belakang pedesaan yg bikin mantap ceritanya. Bakal berubah jadi apakah burungnya Barkah nanti, jadi anaconda beneran kh, apa jadi naga. Hahaha..

Lanjut hu.. Trims updatenya
 
Chapter 4 : Sisi Lain Birahi

Sejenak kita melihat kehidupan yang berbeda di Desa Banjardowo. Dipasar Kembangarum, satu satunya pasar tradisional dan pusat perbelanjaan di desa tersebut nampak kios obat obatan milik Bu Marsih masih tertutup rapat. Pemiliknya saat itu sedang sibuk dan asyik mengobati batang penis Barkah agar menjadi perkasa.

Diseberang kios obat milik Bu Marsih adalah kedai kopi dan tuak milik Nyai Darsih. Nyai Darsih saat itu sedang mengintip dari balik jendela di ruang dapur yang terletak terpisah disamping kedainya. Jam baru menunjukan pukul 8. Belum ada pembeli yang berkunjung sehingga kedai belum buka. Nyai Darsih sedang bertumpu dengan kedua tangannya dibalik jendela, sambil sesekali mengintip sedikit menyingkapkan tirainya,

"Sssstttt......ahhh......ssstttt........enak......Mbak Marsih kemana sih kok belum datang buka kios, aku kan mau pamer kalo aku lagi digenjot sama si Cepi"
Ucap Nyai Darsih pelan dan lirih.

Ternyata saat itu Nyai Darsih bertumpu di jendela ruang dapurnya dengan kedua tangan sambil menungging. Kaos lebarnya telah tersibak keatas. Kait behanya telah terlepas tapi tali behanya masih menempel dipundak. Rok panjangnya telah tersingkap digulung keatas agar tidak turun. Celana dalamnya sudah melorot bergantung di kaki kirinya.

Dibelakang Nyai Darsih nampak Cecep yang akrab dipanggil Cepi sudah telanjang bulat. Cepi dengan sekuat tenaga dan sedikit berpeluh memompa lubang memek Nyai Darsih dengan batangnya yang sudah mengeras dan berlumur lendir

"Cleppp cleppp cleppp......cprottt cprotttt" suara benturan dan decak kelamina beradu muncul akibat cairan memek Nyai Darsih yang membanjir hebat

Tangan Cepi meremas remas pantat Nyai Darsih. Sesekali tangan itu berpindah kearah payudara yang menggantung dan berguncang2 hebat. Tidak sebesar payudara Bu Mar, tapi usia Nyai Darsih yang masih muda, masih 37tahun, sehingga fisiknya masih terjaga. Payudaranya lumayan berukuran sebesar cakupan tangan Cepi dan masih sisa bagian yang tidak teremas. Pantatnya membulat kencang.

"Terus Cep.....yang kenceng......awas sampe aku nggak puas.....owhhhh duh gusti enak Cep"

Cepi hanya bisa diam menikmati batangnya diremas remas hangat oleh memek Nyai Darsih yang berbulu lebat. Maklum sebagai pemilik kedai, Nyai Darsih tidak sekaya Bu Marsih yang terbilang kaya. Sehingga Nyai Darsih kurang memiliki waktu untuk merawat tubuhnya.

Kulit hitam Cepi yang biasa bekerja kasar sebagai penimba dan pengantar air berbenturan dengan pantat bulat Nyai Darsih yang bersih mulus berkulit kuning langsat.

Semakin mendekati orgasmenya Nyai Darsih makin mendorong dorongkan bongkahan pantatnya kearah selakangan Cepi. Batang penis Cepi terasa lebih besar dari milik suaminya dan terasa begitu keras. Suami Nyai Darsih yang sudah berumur 45tahun sudah tidak bisa memuaskan hasrat binal Nyai Darsih. Sudah banyak pelanggan kedainya yang jatuh kedalam pelukan Nyai Darsih. Suaminya sebenarnya sudah tau akan hal ini. Tapi karena di Desa Banjardowo ini wanita yang berkuasa, suaminya tidak bisa berbuat apa apa. Yang penting bagi suaminya Nyai Darsih tiap malam masih pulang ke rumah dan anak anaknya tidak kehilangan sosok seorang ibu.

"Owhhhhh Nyai......udah mau moncrot nyai....."
Mendekati ejakulasi, Cepi makin kencang menggenjotkan batang penisnya merojok rojok liang memek Nyai Darsih yang makin banjir. Nampak mulai muncul buih berwarna putih mengental di dekat lubang pantat dan bibir memek Nyai Darsih akibat lendir yang bergesekan dengan batang penis Cepi. Beberapa bahkan sampai menetes ke tanah dan sebagian mengalir membasahi pangkal paha dan mengalir ke paha Nyai Darsih.

"DIKIT LAGI CEP......TAHANNNN......YA GUSTIIIII OWHHHHHHH"

Teriak Nyai Darsih. Untung saat itu pasar belum terlalu ramai. Lokasi Kedai Nyai Darsih yang ada diujung pasar menguntungkan mereka, karena biasanya dipagi hari pusat pasar lah yang ramai. Sehingga teriakan Nyai Darsih tidak terdengar oleh orang lain.

"CEPPPPPP ENAKK CEPPPPPPP..........serrrrrrrrrrr precetttt ceprotttttt prottttt"
Lolong Nyai Darsih begitu keras dibarengi cairan memeknya yang makin membanjir. Sampai sudah puncak orgasme Nyai Darsih pagi itu berkat batang penis Cepi.

Lolongan ini sebenarnya sayup sayup terdengar dikejauhan, tapi warga yang saat itu sedang bekerja di pasar sudah paham akan kelakuan binal dari Nyai Darsih dan memilih untuk mengacuhkan saja. Maklum Nyai Darsih merupakan wanita yang disegani di Desa Banjardowo sehingga orang malas untuk berurusan dengan dia.

"Awghhhh Nyaiiii mau keluar Nyaii enakkkkk nyaiiiii"
Cepi yang sudah diujung ejakulasi pun mulai memfokuskan seluruh tenaganya untuk memuntahkan spermanya

"Diluar Cep jangan didalem, awas kamu aku nggak mau punya anak dari pria item tunteng kayak kamu"
Ucap ketus Nyai Darsih sambil meringis menahan ngilu karena meskipun sudah orgasme Cepi masih saja merojok rojok kuat memompa liang memeknya. Rasa geli, nikmat, ngilu bercampur jadi satu dirasakan oleh Nyai Darsih.

Sejurus kemudian Cepi buru buru mencabut batang penisnya dan mengarahkan tembakan sperma penuh kenikmatan nya kearah bongkahan pantat Nyai Darsih yang begitu menggoda.

"Crotttt crootttttt......." Sebanyak 3x Cepi memuntahkan spermanya. Setelah itu Cepi masih meresapi kenikmatan sambil menggesek gesekan kepala penisnya dibongkahan pantat Nyai Darsih.

Suasana berubah menjadi hening, udara sejuk pedesaan kembali perlahan mereka rasakan. Deru nafas yang memburu masih terdengar di ruangan kecil yang berisi perabot makan dan bahan baku untuk berdagang. Terengah engah bagaikan habis berlari jauh, mereka berdua terdiam meresapi peraduan lendir dan kelamin mereka.

"Cep....ambilin lap bersih disitu cep, buruan"
Cepi mengambil kasi bersih yang masih tertumpuk rapi untuk lap piring dan menyerahkan ke Nyai Darsih. Nyai Darsih pun mengelap selakangan dan pahanya sambil berbenah atas pakaiannya yang berantakan. Sementara Cepi masih duduk dikursi reot di dapur sambil tetap telanjang.

"Nyai.....saya udah boleh pake baju?" Tanya Cepi yang masih terengah engah berusaha mengatur nafas.

"Yo wis sana Cep, tapi inget, utang mu masih banyak, kalo kamu masih mau terima bayaran kalo pas aku kepingin kamu mesti nurut yo, awas sampe nggak nurut, tak plintir sampe tugel manukmu Cep"

Nyai Darsih memang terbiasa berujar kasar. Apes bagi Cepi yang setiap harinya bekerja sebagai tukang timba air dan mengantar air ke kedai kopi dan tuak Nyai Darsih. Selepas kerja Cepi sering nongkrong di kedai Nyai Darsih, dan tak jarang dia minum tuak hingga mabuk. Ketika mabuk Cepi akan terus minum diluar kemampuan bayarnya. Sehingga lama kelamaan hutangnya menumpuk di kedai Nyai Darsih. Karena itu lah dia kena gaplok dan hajaran dari Nyai Darsih di pagi itu. Nyai Darsih mengatakan akan mengurangi jumlah hutangnya asal mau memuaskan hasrat binalnya yg tak ada habisnya itu.

Takut akan dipukul lagi dan bingung melunasi hutangnya, akhirnya pagi itu selepas mengantar air, Cepi pasrah ketika ditarik Nyai Darsih ke ruang samping bagian dapur kedainya. Ditelanjangi nya Cepi, dan ketika melihat batang penis Cepi, Nyai Darsih menatap nanar gembira, karena batang penis Cepi terbilang cukup besar. Nyai Darsih pun langsung bersimpuh dan mengulum dasyat batang penis Cepi berusaha membuatnya tegak maksimal. Setelah itu terjadilah persetubuhan yang baru saja terjadi.

Cepi kembali berpakaian dan berpamitan, dengan lutut yang masih bergetar lemas Cepi menarik gerobak airnya kembali ke pasar. Cepi tidak yakin dirinya bisa bekerja karena masih lemas akibat digempur goyangan pantat Nyai Darsih, tapi tuntutan ekonomi dan hutang yang menumpuk di kedai Nyai Darsih membuat dia terpaksa tetap bekerja.

Selepas Cepi beranjak pergi, Nyai Darsih kelaur dari kedainya untuk menghirup udara segar. Sambil menatap kembali ke arah toko obat milik Bu Marsih, dia bertanya tanya kok tumben hingga menjelang jam 9 Bu Marsih tidak nampak

"Apa jangan jangan dia dapat mangsa baru pemuda desa sini ya?" Ujar Nyai Darsih bertanya tanya dalam hati. Udahlah nanti malem habis tutup kedai tak samperin wae. Pasti ada bahan ghibah menarik dari Mbak Marsih".

Bu Marsih dan Nyai Darsih memang berteman baik, tak jarang mereka berbagi cerita soal pria mana yang sudah dicicipi batang penisnya. Pria mana yang memberikan kenikmatan, pria mana yang gampang letoy, pria mana yang batangnya besar atau kecil sudah jadi bahan ghibah mereka sehari hari.

Pernah satu kali, ada pemuda desa mabuk dikedai Nyai Darsih dan tidak mau membayar tuak ketika kedai hampir tutup dan pelanggan tinggal dia seoarang. Nyai Darsih yang marah menggampar pemuda tersebut, sadar bahwa pemuda tersebut memiliki batang penis yang lumayan besar, dan karena kondisi sudah mulai sore dan sepi, orang orang dipasar hampir semuanya sudah pada pulang. Nyai Darsih menyeret pemuda mabuk tersebut ke arah toko obat Bu Marsih.

Bu Marsih yang sedang siap siap menutup tokonya melihat dan paham apa yang mau dilakukan sahabatnya tersebut. Buru buru dia menutup tokonya, dan kemudian mereka berdua memperkosa pria tersebut hingga larut malam. Alhasil pria tersebut mengalami trauma dan sampai sekarang tidak berani bertemu dengan Nyai Darsih dan Bu Marsih. Kisah akan pemerkosaan pemuda malang tersebut akan diceritakan dilain chapter.

Bersambung.
 
Chapter 5 : Cinta Sejati

"Hoammmmm......." Barkah menguap sambil mengusap matanya. Sepulang dari rumah Bu Marsih pagi tadi, barkah tertidur lelap dikasurnya. Barkah pun beranjak dan menuju kamar mandi untuk pipis. Ketika sedang separuh sadar dan berdiri untuk pipis dia menyadari satu hal.

"Lo....lo....lo semburan air pipisku kok meleset dari lubang wc?"
Semburan airnya lebih jauh dari biasanya dan dia mengusap mata sambil memperhatikan. Ada perubahan yang lumayan terlihat dari batang penisnya. Terasa lebih gempal dan sedikit lebih panjang dari biasanya. Padahal saat itu Barkah sedang tidak ereksi.

"Ah masa secepat itu sih hasil pengobatan Bu Marsih, mungkin perasaan ku saja". Barkah membuang jauh2 pikiran itu dan segera menyiram air kencing nya sambil tak lupa mencuci burungnya. Hari sudah siang dan menunjukan jam 14:00. Setelah seharian tak bekerja, Barkah pun memutuskan untuk naik ke lereng gunung mencari bahan untuk membuat tembikar. Posisi rumah Barkah lebih mendekat ke arah lereng gunung. Di Desa Banjardowo ini strata ekonomi dapat dilihat dari posisi rumah warga. Semakin mendekati kaki gunung letak rumahnya, maka strata ekonominya akan semakin tinggi. Seperti Bu Marsih yang rumahnya dekat dengan kaki gunung, menandakan kondisi ekonomi beliau cukup baik dibandingkan Barkah yang rumahnya lebih naik ke atas.

Barkah pun melangkahkan kaki membawa peralatan dan keranjang bergegas naik ke atas sebelum hari gelap. Sesampainya di lokasi mencari bahan baku tembikar, langkah Barkah terhenti disuatu bangunan rumah yang sudah reyot. Rumah tersebut lebih buruk dari rumah sederhananya. Barkah mengingat bahwa rumah tersebut dulu milik Sri Harni kawan sejak kecilnya. Mereka biasa bermain bersama ketika kedua orang tua mereka masih hidup. Sri Harni senasib dengan Barkah, saat ini yatim piatu. Hanya saja orang tua Harni meninggal ketika Harni sudah remaja. Ketika sedang mengenang masa lalu bersama mata Barkah menatap ada pergerakan dari balik semak semak dekat rumah Harni.

"Waduh, apa babi hutan ya ini"
Memang lingkungan tempat Barkah mencari bahan baku masih berupa hutan liar. Hanya orang orang yang berekonomi kurang baik yang tinggal di sana dan sangat jarang ada rumah penduduk di sana. Seketika menyeruaklah sosok seorant wanita dari balik semak semak.

"Huaaaaaaa.........setannnnnnnnn" meskipun hari masih siang, Barkah berteriak kencang hingga terjatuh, karena sepengetahuan dia Sri Harni sudah tidak tinggal di sana, untuk mencari kerja di kota.

"Bar......barkah.......ini aku Harni" sahut sosok tersebut

"Ka....kamu beneran Harni, be....beneran bukan setan?" Jawab Barkah.

"Hush ngawur kamu, siang siang gini mana ada setan sih Bar"

Barkah yang mendengar jawaban tersebut menjadi tenang dan bangkit berdiri. Hatinya senang melihat teman baiknya ketika kecil. Dia menatap baik baik wajah sahabatnya. Wajah cantik nya masih sama dengan dulu. Rambutnya panjang sudah berubah warna akibat semir rambut. Mungkin akibat pergaulan di kota besar. Barkah memperhatikan wajah Harni hanya lebih pucat dari biasanya.

"Har...kamu kapan balik? Kok aku nggak tahu kamu balik" tanya Barkah.

"Baru hari ini Bar, aku memang diam diam saja, malu ketahuan warga desa Bar. Ayo masuk dulu Bar, kita ngobrol di dalam saja"
Ajak Harni dengan tersenyum bahagia senang mengetahui dia bertemu dengan teman masa kecilnya.

Barkah masuk ke dalam rumah Harni, tampak rumah ini lebih tidak terawat dari rumahnya. Sebetulnya rumahnya tidak beda jauh kondisinya, hanya saja rumah Barkah lebih bersih terawat, karena Barkah rajin membersihkan rumahnya.
"Har, gimana kabarmu, terus kok tiba tiba balik gimana, bukannya kamu udah sukses di kota, ayo cerita Har, aku kangen lo denger suara dan kisah kisahmu"

Mendengar pertanyaan dari Barkah ada rasa hangat seperti seorang ibu yang membuka tangan kepada anaknya, tapi ada terbesit rasa pedih mengingat pengalamannya kerja di kota besar.
"Aku ditipu Bar" jawab harni lirih, sambil menunduk, harni terduduk lesu di kursi reot rumahnya sambil tangannya sesekali meremas kain kaos longgarnya.

"Lahhhh ditipu pie Har?" Jawab Barkah dengan terkejut.

Kisah Perjalanan Harni di kota besar :

Harni yang telah beranjak remaja ketika berumur 16th memiliki cita cita pergi meninggalkan desanya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Kisah kisah kota besar yang dia dengar dari kawan kawan sedesanya yang pernah merantau membuat darah remaja Harni bergolak dan terpacu untuk mewujudkan impiannya itu.

Aslinya ibu Harni melarangnya, khawatir anak gadisnya yang lugu ditipu di kota besar membuat dirinya melarang Harni untuk pergi merantau. Tapi apa daya, desakan keinginan lebih besar daripada larangan orang tua. Diam diam dirinya mencari tau cara pergi ke kota besar.

Harni memiliki teman sedesa bernama Wartiningsih. Warti yang pernah merantau di kota besar berusia terpaut 7th dengan Harni. Dandanannya menor dan sering bersolek, mengenakan kaos ketat kekinian dan celana jeans ketat. Ingin rasanya Harni mengikuti gaya tersebut. Tapi uang dari mana dan kalaupun ada mau beli dimana baju model seperti itu.

Gayung bersambut, suatu ketika saat Warti pulang kampung dia bertemu dengan Harni untuk sekedar ngobrol dan melepas kangen lama tak bertemu. Harni yang mengungkapkan keinginan untuk merantau disambut dengan baik oleh Warti.

"Kalo kamu mau ikut merantau aku bisa bantu Har, cuma pekerjaan nya cukup berat lo. Ya mungkin kamu akan terbiasa mengingat di desa kita ini kayak gitu kelaluan para wanitanya, nggak beda jauhlah dengan pekerjaan ku di kota, malah kita bisa dapat duit banyak" kata Warti.

Sebenarnya perkataan Warti ini sudah mengandung peringatan kepada Harni. Tapi keinginan yang menggebu gebu untuk merantau membuat Harni tidak memikirkan baik baik atau bertanya lebih lanjut dan langsung setuju untuk ikut berangkat ke kota besar.

Ibu Harni yang sudah tidak bisa mencegah anaknya hanya bisa pasrah dan mewanti wanti agar anaknya berhati hati dan segera pulang jika terjadi sesuatu.

Bersambung
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd