- Daftar
- 8 Jun 2011
- Post
- 49
- Like diterima
- 3.359
Chapter 3 : Perjanjian Nikmat
Pagi harinya Subarkah menepati janjinya dan berangkat ke rumah Bu Marsih sambil membawa barang dagangannya. Selama perjalanan Subarkah berdebar debar. Kenikmatan yang dia rasakan semalam dan rasa takut akan apa yang hendak diperbuat Bu Marsih berkecamuk dalam pikirannya. Sebersit harapan akan kembali mengulang rasa nikmat itu muncul di hati. Tapi rasa takut juga muncul bersamaan, maklum Subarkah pria lugu yang selama ini tidak pernah melakukan hal hal yang dilarang oleh norma agama dan masyarakat.
Kecamuk pikirannya pun terhenti manakala kakinya telah sampai di pintu rumah Bu Marsih.
"Tok tok tok......Bu Marsih..........Bu.......permisi....."
Subarkah mengetok dan memanggil dengan pelan di depan pintu kayu rumah yang lebih besar dari rumah nya. Daun pintu nya dari kayu jati yang diukir dengan halus. Bu Marsih termasuk orang yang cukup berada karena mendiang suaminya meninggalkan harta yang lumayan semasa hidupnya.
Tak lama pintu pun terbuka, nampak Bu Marsih sudah bersolek dan mengenakan baju sehari harinya. Nampak sopan dan anggun untuk wanita seusianya. Kemeja batik berlengan panjang yang tertutup rapat dan dipadukan dengan rok panjang lebar semata kaki. Rambutnya disanggul keatas khas wanita desa yang anggun menampilkan leher putihnya. Meskipun mengenakan pakaian yang tertutup rapat, kemolekan tubuh yang sudah pernah dinikmati oleh Barkah itu tak bisa disembunyikan.
"Ealah kamu Bar, ayo sini masuk, bawa daganganmu sekalian, aku mau pilih pilih"
"Baik Bu Mar, permisi ya" jawab Barkah singkat sambil masuk membawa barang dagangannya.
Setelah masuk dan duduk di ruang tamu Bu Marsih sibuk memilih milih tembikar yang akan dibelinya, sementara Barkah yang baru kali ini masuk ke rumah Bu Marsih melihat lihat kondisi rumah Bu Marsih sambil terpana. Atap nya tinggi tidak seperti rumahnya, temboknya dicar putih bersih, perabotan furniture dari kayu yang diasah halus dan dipelitur, beda dengan perabot rumahnya yang seadanya.
Dari ruang tamu Subarkah dapat langsung melihat ke ruang tengah. Di ruang tengah nampak kasur yang ditaruh di tengah ruangan dan dibelakangnya ada rak kayu tinggi yang di dalamnya tersusun guci guci obat. Kasur itu pun hanya dibatasi oleh tirai kain yang saat itu terbuka. Bu Marsih berprofesi sebagai penjual obat obatan di Desa Banjardowo sehingga Barkah membatin dalam hati, mungkin itu tempat Bu Marsih mengobati orang orang yang datang membeli obat kepadanya.
"Bar....Bar.....aku ambil guci guci dan ceret ini. Berapa? Malah ngalamun ae to Bar"
Suara Bu Marsih memecah lamunan Barkah
"Eh iya Bu, ini saya kasih harga khusus aja buat Bu Marsih.....e.....berapa ya.....semuanya 50ribu saja bu"
Jawab Barkah yang terkaget dan asal menjawab
"Yo wis tunggu sebentar, tak ambil uang dulu, dan kamu jangan kemana mana, habis ini aku mau langsung omong soal urusan kita berdua"
Hati Barkah lgsg mak deggggggg, teringat kejadian semalam, apakah dia akan dapat kesempatan lagi, atau malah lebih parah Bu Marsih akan minta Barkah untuk menikahinya?
Meskipun seorang bujangan dan tidak memiliki pacar, serta bukan seorang pria yang menjadi idola di desa tersebut. Barkah juga masih mau pilih pilih siapa yang akan jadi istrinya kelak. Masak iya dia akan menikahi janda berumur 58th.
Bu Marsih pun keluar sambil memberikan uang 100rb dan berkata "kembaliannya ambil aja Bar, buat kamu"
"Gini Bar, kamu semalam akhirnya lepas perjaka, itu pertama kali nya kamu berhubungan badan sama wanita?"
"I...iya Bu Mar, saya belum pernah sebelumnya"
Senyum tipis pun tersungging di bibir Bu Marsih
"Aku tak jujur yo sama kamu Bar, kamu itu masih muda, badanmu bagus dan setrong, tapi ada satu masalah Bar"
"Ukuran burungmu itu lo, kok yo cuma sak gitu to Bar"
"Dibilang kecil sih endak, tapi yo kurang josss lah, apalagi stamina burungmu, masak baru sebentar digenjot emak emak udah moncrot"
"Nek kamu digoyang perawan yang masih rapet opo ndak makin cepet moncrotmu"
Bu Marsih menyadari memek nya bukanlah memek paling rapet karena sejak menjanda dia kadang main gila dengan pemuda desa yang dia suka dan kebetulan datang berobat ke dia, sehingga sudah tidak terhitung jumlah pria yang ditidurinya
Mendengar perkataan Bu Marsih, Subarkah pun langsung merasa minder dan bingung. Dia tidak tahu harus menjawab apa perkataan Bu Marsih yang ceplas ceplos tersebut.
Bu Marsih yang memiliki jam terbang tinggi sudah paham akan kondisi dan isi hati Subarkah. Senyumnya makin mengembang dan dia tahu harus memecah kebisuan ini.
"Kamu tenang Bar, kamu kan tau kalo aku ini ahli pengobatan disini. Bukan cuma ngobatin salah urat, sakit demam dan batuk. Tapi sampe urusan stamina di ranjang, aku ini jagonya"
"Mbah buyutku dulu pernah belajar dari ahli urut syarat di Jawa Barat, dan ilmunya itu sudah diturunkan ke aku Bar"
"Kalo kamu mau Bar, aku bisa bantu kamu"
Barkah pun terkejut dengan tawaran dari Bu Marsih. "Tapi itu berapa biayanya Bu Mar? Saya takut nggak cukup uang simpanan saya untuk bayarnya Bu"
"Uwis to, ndak usah khawatir, wong tadi saja habis 50ribu aku isa bayar 100 kok. Duit ndak masalah Bar buat aku, aku cuma minta satu syarat"
"Apa itu Bu Mar" Barkah menjawab dengan antusias dan penuh harap.
"Syarat ku gampang, satu, kamu harus nurut semua proses terapi ku. Yang kedua semua yang aku minta harus kamu penuhi. Kamu boleh menjalani hubungan asmara dengan gadis manapun di desa ini. Tapi kalo aku minta kamu datang kamu harus datang"
"Kalo kamu bisa mengikuti semua syaratku tak jamin Bar, burungmu bakal jadi burung paling perkasa di desa ini, bagaimana?"
Barkah pun terdiam sambil berpikir. Otak lugunya tak mampu mengolah dengan cepat. Tapi perkataan akan kejantanan yang tidak sempurna dari Bu Marsih melintas di kepala Barkah.
"Baik Bu, saya bersedia, tapi boleh saya bertanya, kok Bu Marsih mau mengobati saya dengan cuma cuma kenapa Bu? Kan banyak pria lain di desa ini yang lebih gagah dari saya?"
"Kon itu bodo opo pie to Bar, la nek kamu udah gagah prakoso ya ngapain tak obati?" Seru Bu Mar sambil terkekeh, payudara besarnya berguncang guncang ketika dia tertawa, membuat Barkah makin menelan ludah.
"Kedua gini Bar, kamu itu kan sebatang kara, aku tau kamu tu anak baik, aku juga udah lama kenal almarhum orang tua mu. Aku cuma berpikir mesakno kamu kalo garis keturunan orang tua mu yang pembuat tembikar paling hebat di desa ini putus gara gara performa burungmu yang cuma seiprit"
"Ketiga Bar, jujur ae yo, aku juga masih butuh dipuaskan laki laki, cuma kalo sama sembarang orang, nggak selalu aku dapet kesempatan ngewe Bar, kaya semalem pas lagi kepingin, eh nggak ada yang nggenjot, nah kalo kamu menyanggupi syaratku, paling aku cuma minta seminggu 2-3 kali lah kamu main ke sini buat nggenjot aku Bar" jawab Bu Marsih panjang lebar menjelaskan ke Subarkah
Mendengar jawaban dari Bu Marsih, timbul rasa hangat dan percaya di hati Barkah. Teringat memang betul bahwa orang tuanya dan Bu Marsih sudah berkawan sejak lama. Bahkan ketika Subarkah masih kecil Bu Marsih sering bertandang mengunjungi rumah mereka. Bu Marsih sering menggendong gendong Barkah kecil karena dia sendiri tidak memiliki keturunan. Menatap kejujuran Bu Marsih, Subarkah bagaikan mendapat kehangatan dari ibunya yang telah lama tiada.
"Baik Bu Mar, kalo memang begitu, saya terima niat baik Bu Marsih, saya janji akan berusaha sebisanya tidak mengecewakan harapan Bu Marsih"
"Jadi mau dimulai kapan saya manut Bu"
Bu Marsih terkekeh terbahak bahak dengan keras. "Yowis nek gitu ayo jangan buang waktu, kita mulai sekarang, ayo masuk Bar, kita ke ruang pengobatan"
Mereka berdua pun melangkah ke ruang tengah menuju bilik kasur yang hanya dibatasi oleh tirai. Subarkah disuruh tidur terlentang di ranjang pengobatan tersebut dan diminta untuk menanggalkan semua bajunya hingga telanjang bulat.
Bu marsih sibuk memilih guci dari tanah liat dirak kayu belakang, setelah mengambil beberap guci dibawanya ke meja dekat kasur tempat Subarkah terbaring.
"Bar, ayo buat burungmu ngaceng dulu"
"Gimana caranya Bu Mar?" Jawab Barkah dengan polos dan kebingungan
"Dasar cah lanang jek polos, sek tak buka susuku biar kamu bisa terangsang"
Tanpa membuang waktu Bu Marsih membuka kemejanya dan menanggalkannya, kedua payudara berukuran jumbo tersebut tampak mecotot tertekan beha berwarna krem khas ibu ibu. Payudaranya tampak seperti mau meledak terhimpit cup behanya. Tanpa membuka tali beha, Bu Marsih menarik keluar kedua payudara besarnya.
"Nyoh Bar, kamu boleh pegang, mau diemut, dijilat jilat monggo, pokoknya buat burungmu ngaceng dulu"
Tak membuang waktu Subarkah langsung terduduk dan meraba payudara Bu Marsih. Kedua puting berwarna kecoklatan diraba pelan. Perlahan Subarkah mendekatkan wajahnya untuk mencium aroma payudara tersebut. "Hmmm wangi" batin Subarkah. Ciuman berubah menjadi jilatan, kedua tangannya berubah dari elusan menjadi remasan gemas.
Bu Marsih mulai mendesah pelan, dia melirik dan nampak burung Barkah mulai mengeras perlahan lahan.
"Bar pengobatan ku ini memakan waktu 10hari. Selama 10hari syarat ku kamu tidak boleh berhubungan badan dengan wanita manapun, karena minyak obatku tidak boleh bercampur dengan lendir wanita"
"Butuh waktu agar obat obatan ku ini diserap sempurna melalui kulit burungmu, dan selama 10hari itu kamu setiap dua hari mesti ke sini untuk tak pijit ulang Bar"
Udara di Desa Banjardowo sebenarnya termasuk dingin karena berada di kaki gunung. Itu pulalah yang membuat libido dam hasrat wanita di sana cukup tinggi karena untuk mengatasi rasa dingin tersebut mereka butuh dihangatkan dengan para pria. Namun udara dingin pagi itu kalah dengan hasrat yang memanas kedua insan.
Bu Marsih, mulai mengolesi tangannya dengan minyak obat obatan miliknya, kemudia dia mengambil minyak lain dan mencampurnya sambil komat kamit. Mulutnya terus merapal doa doa yang diajarkan orang tuanya sambil sesekali mendesah keenakan karena payudaranya dihisap hisap oleh Subarkah.
Tangan berminyaknya mulai menyentuh batang kelelakian Subarkah. Seperti tersengat aliran listrik Subarkah merasakan kenikmatan penisnya dipijat oleh Bu Marsih, tangan lembut Bu Marsih yang berminyak membuat Subarkah melayang merasa kenikmatan tiada tara.
Merasakan kenikmatan seperti itu mulut dan tangan Subarkah makin brutal menjilat, menghisap dan meremas payudara Bu Marsih. Sekujur payudara besar itu penuh dengan air liur subarkah, desahan Bu Marsih dan Subarkah saling bersahutan.
Merasa memeknya sudah makin basah akan hawa nafsu Bu Marsih tidak tahan lagi. Diapun bangkit menyibakan roknya dan langsung melepas celana dalamnya, rok panjangnya diikat dipinggang supaya tidak turun kebawah.
"Bar, aku udah napsu, tapi aku ndak isa nggenjot kamu, kamu jilatin tempik ku ae yo"
Bu Marsih langsung menaiki ranjang untuk tengkurap di atas tubuh Subarkah. Mereka membentuk posisi 69. Memek Bu Marsih yang berbulu tipis langsung disodorkan ke mulut Subarkah sambil digesek gesekan ke bibir Subarkah.
Meskipun tidak memiliki pengalaman menjilati memek wanita, insting Subarkah tau apa yang harus diperbuatnya, Subarkah mencium ganas bibir memek Bu Marsih. Aromanya wangi karena hari itu masih pagi dan Bu Marsih baru selesai mandi. Lidahnya berusaha masuk sambil merojok rojok kedalam liang memeknya.
Sementara dibawah Bu Marsih masih sibuk mendesah sambil komat kamit, dan terus memijit batang kelelakian Subarkah. Tak lama batang penis Subarkah lgsg muncrat cairan sperma dengan sangat banyak dan mengenai wajah Bu Marsih. Sebenarnya ritual nya sudah selesai saat itu. Akan tetapi hasrat birahi yang belum tuntas membuat Bu Marsih terus menggoyangkan pantat besarnya menggesek kan memek nya dimulut Subarkah sambil berusaha mencari orgasme dari lidah Subarkah. Subarkah yang menyadari kalo dia sudah ejakulasi dan tangan Bu Marsih yang hanya diam menggenggam erat batang penisnya tau kalau dia harus membalas budi akan kenikmatan yang dia terima.
Lidahnay terus menjilat jilat itil Bu Marsih, dua jari kanannya sibuk merojok rojok rongga memek Bu Marsih, tangan kanannya memeluk pantat dan meremas dengan gemas. Sampai akhirnya Bu Marsih melolong panjang dan membenamkan dalam dalam selakangan nya ke wajah Barkah, hal ini membuat Barkah gelagapan kesusahan bernafa.
Setelah mereda libido Bu Marsih, Bu Marsih segera turun dan kembali mengenakan celana dalamnya serta merapikan pakaiannya kembali. Kemejanya kembali digunakan, dan diapun berjalan ke arah dapur.
Setelah berapa lama Bu Marsih kembali sambil membawa secangkir minuman hangat.
"Duduk Bar....." Kata Bu Marsih melihat Subarkah yang masih tidur terlentang menikmati apa yang baru saja terjadi.
"Nyoh diminum sampe habis, minyak obat sama pijatan ku dari luar, dan ramuan ini dari dalam buat melancarkan aliran darahmu ke burungmu"
"Niscaya burungmu akan bangkit perkasa, asal kamu ingat pesanku. Jangan sampai kamu bohong sama aku ya Bar, karena bisa fatal kalo pengobatan ini putus ditengah jalan. Bisa terjadi aneh aneh dengan burungmu"
"Baik Bu, saya janji tidak akan mengecewakan kebaikan Bu Mar"
Subarkah pun makin mantap berjanji setelah kembali dia merasakan kenikmatan dari Bu Marsih. Rasa hangat akan sosok seorang ibu, kenikmatan pria dewasa, serta pengalaman berhubungan intim yang didapat membuat Barkah makin mantap dan yakin mengikuti semua instruksi dari Bu Marsih.
Setelah menghabiskan ramuan yang diberikan Subarkah pun berpakaian kembali dan pamit pulang. Hari itu dia tidak berencana berjualan di pasar, rasa kantuk dan lelah setelah dikocok oleh Bu Marsih membuat Barkah memutuskan langsung pulang saja. Apalgi hari itu dia sudah mendapatkan pemasukan dari diborongnya dagangan nya oleh Bu Marsih. Senyum lebar tersungging di bibir Subarkah, gembira dan tak sabar untuk bertemu lagi dengan Bu Marsih tiap dua hari.
Bersambung.
Pagi harinya Subarkah menepati janjinya dan berangkat ke rumah Bu Marsih sambil membawa barang dagangannya. Selama perjalanan Subarkah berdebar debar. Kenikmatan yang dia rasakan semalam dan rasa takut akan apa yang hendak diperbuat Bu Marsih berkecamuk dalam pikirannya. Sebersit harapan akan kembali mengulang rasa nikmat itu muncul di hati. Tapi rasa takut juga muncul bersamaan, maklum Subarkah pria lugu yang selama ini tidak pernah melakukan hal hal yang dilarang oleh norma agama dan masyarakat.
Kecamuk pikirannya pun terhenti manakala kakinya telah sampai di pintu rumah Bu Marsih.
"Tok tok tok......Bu Marsih..........Bu.......permisi....."
Subarkah mengetok dan memanggil dengan pelan di depan pintu kayu rumah yang lebih besar dari rumah nya. Daun pintu nya dari kayu jati yang diukir dengan halus. Bu Marsih termasuk orang yang cukup berada karena mendiang suaminya meninggalkan harta yang lumayan semasa hidupnya.
Tak lama pintu pun terbuka, nampak Bu Marsih sudah bersolek dan mengenakan baju sehari harinya. Nampak sopan dan anggun untuk wanita seusianya. Kemeja batik berlengan panjang yang tertutup rapat dan dipadukan dengan rok panjang lebar semata kaki. Rambutnya disanggul keatas khas wanita desa yang anggun menampilkan leher putihnya. Meskipun mengenakan pakaian yang tertutup rapat, kemolekan tubuh yang sudah pernah dinikmati oleh Barkah itu tak bisa disembunyikan.
"Ealah kamu Bar, ayo sini masuk, bawa daganganmu sekalian, aku mau pilih pilih"
"Baik Bu Mar, permisi ya" jawab Barkah singkat sambil masuk membawa barang dagangannya.
Setelah masuk dan duduk di ruang tamu Bu Marsih sibuk memilih milih tembikar yang akan dibelinya, sementara Barkah yang baru kali ini masuk ke rumah Bu Marsih melihat lihat kondisi rumah Bu Marsih sambil terpana. Atap nya tinggi tidak seperti rumahnya, temboknya dicar putih bersih, perabotan furniture dari kayu yang diasah halus dan dipelitur, beda dengan perabot rumahnya yang seadanya.
Dari ruang tamu Subarkah dapat langsung melihat ke ruang tengah. Di ruang tengah nampak kasur yang ditaruh di tengah ruangan dan dibelakangnya ada rak kayu tinggi yang di dalamnya tersusun guci guci obat. Kasur itu pun hanya dibatasi oleh tirai kain yang saat itu terbuka. Bu Marsih berprofesi sebagai penjual obat obatan di Desa Banjardowo sehingga Barkah membatin dalam hati, mungkin itu tempat Bu Marsih mengobati orang orang yang datang membeli obat kepadanya.
"Bar....Bar.....aku ambil guci guci dan ceret ini. Berapa? Malah ngalamun ae to Bar"
Suara Bu Marsih memecah lamunan Barkah
"Eh iya Bu, ini saya kasih harga khusus aja buat Bu Marsih.....e.....berapa ya.....semuanya 50ribu saja bu"
Jawab Barkah yang terkaget dan asal menjawab
"Yo wis tunggu sebentar, tak ambil uang dulu, dan kamu jangan kemana mana, habis ini aku mau langsung omong soal urusan kita berdua"
Hati Barkah lgsg mak deggggggg, teringat kejadian semalam, apakah dia akan dapat kesempatan lagi, atau malah lebih parah Bu Marsih akan minta Barkah untuk menikahinya?
Meskipun seorang bujangan dan tidak memiliki pacar, serta bukan seorang pria yang menjadi idola di desa tersebut. Barkah juga masih mau pilih pilih siapa yang akan jadi istrinya kelak. Masak iya dia akan menikahi janda berumur 58th.
Bu Marsih pun keluar sambil memberikan uang 100rb dan berkata "kembaliannya ambil aja Bar, buat kamu"
"Gini Bar, kamu semalam akhirnya lepas perjaka, itu pertama kali nya kamu berhubungan badan sama wanita?"
"I...iya Bu Mar, saya belum pernah sebelumnya"
Senyum tipis pun tersungging di bibir Bu Marsih
"Aku tak jujur yo sama kamu Bar, kamu itu masih muda, badanmu bagus dan setrong, tapi ada satu masalah Bar"
"Ukuran burungmu itu lo, kok yo cuma sak gitu to Bar"
"Dibilang kecil sih endak, tapi yo kurang josss lah, apalagi stamina burungmu, masak baru sebentar digenjot emak emak udah moncrot"
"Nek kamu digoyang perawan yang masih rapet opo ndak makin cepet moncrotmu"
Bu Marsih menyadari memek nya bukanlah memek paling rapet karena sejak menjanda dia kadang main gila dengan pemuda desa yang dia suka dan kebetulan datang berobat ke dia, sehingga sudah tidak terhitung jumlah pria yang ditidurinya
Mendengar perkataan Bu Marsih, Subarkah pun langsung merasa minder dan bingung. Dia tidak tahu harus menjawab apa perkataan Bu Marsih yang ceplas ceplos tersebut.
Bu Marsih yang memiliki jam terbang tinggi sudah paham akan kondisi dan isi hati Subarkah. Senyumnya makin mengembang dan dia tahu harus memecah kebisuan ini.
"Kamu tenang Bar, kamu kan tau kalo aku ini ahli pengobatan disini. Bukan cuma ngobatin salah urat, sakit demam dan batuk. Tapi sampe urusan stamina di ranjang, aku ini jagonya"
"Mbah buyutku dulu pernah belajar dari ahli urut syarat di Jawa Barat, dan ilmunya itu sudah diturunkan ke aku Bar"
"Kalo kamu mau Bar, aku bisa bantu kamu"
Barkah pun terkejut dengan tawaran dari Bu Marsih. "Tapi itu berapa biayanya Bu Mar? Saya takut nggak cukup uang simpanan saya untuk bayarnya Bu"
"Uwis to, ndak usah khawatir, wong tadi saja habis 50ribu aku isa bayar 100 kok. Duit ndak masalah Bar buat aku, aku cuma minta satu syarat"
"Apa itu Bu Mar" Barkah menjawab dengan antusias dan penuh harap.
"Syarat ku gampang, satu, kamu harus nurut semua proses terapi ku. Yang kedua semua yang aku minta harus kamu penuhi. Kamu boleh menjalani hubungan asmara dengan gadis manapun di desa ini. Tapi kalo aku minta kamu datang kamu harus datang"
"Kalo kamu bisa mengikuti semua syaratku tak jamin Bar, burungmu bakal jadi burung paling perkasa di desa ini, bagaimana?"
Barkah pun terdiam sambil berpikir. Otak lugunya tak mampu mengolah dengan cepat. Tapi perkataan akan kejantanan yang tidak sempurna dari Bu Marsih melintas di kepala Barkah.
"Baik Bu, saya bersedia, tapi boleh saya bertanya, kok Bu Marsih mau mengobati saya dengan cuma cuma kenapa Bu? Kan banyak pria lain di desa ini yang lebih gagah dari saya?"
"Kon itu bodo opo pie to Bar, la nek kamu udah gagah prakoso ya ngapain tak obati?" Seru Bu Mar sambil terkekeh, payudara besarnya berguncang guncang ketika dia tertawa, membuat Barkah makin menelan ludah.
"Kedua gini Bar, kamu itu kan sebatang kara, aku tau kamu tu anak baik, aku juga udah lama kenal almarhum orang tua mu. Aku cuma berpikir mesakno kamu kalo garis keturunan orang tua mu yang pembuat tembikar paling hebat di desa ini putus gara gara performa burungmu yang cuma seiprit"
"Ketiga Bar, jujur ae yo, aku juga masih butuh dipuaskan laki laki, cuma kalo sama sembarang orang, nggak selalu aku dapet kesempatan ngewe Bar, kaya semalem pas lagi kepingin, eh nggak ada yang nggenjot, nah kalo kamu menyanggupi syaratku, paling aku cuma minta seminggu 2-3 kali lah kamu main ke sini buat nggenjot aku Bar" jawab Bu Marsih panjang lebar menjelaskan ke Subarkah
Mendengar jawaban dari Bu Marsih, timbul rasa hangat dan percaya di hati Barkah. Teringat memang betul bahwa orang tuanya dan Bu Marsih sudah berkawan sejak lama. Bahkan ketika Subarkah masih kecil Bu Marsih sering bertandang mengunjungi rumah mereka. Bu Marsih sering menggendong gendong Barkah kecil karena dia sendiri tidak memiliki keturunan. Menatap kejujuran Bu Marsih, Subarkah bagaikan mendapat kehangatan dari ibunya yang telah lama tiada.
"Baik Bu Mar, kalo memang begitu, saya terima niat baik Bu Marsih, saya janji akan berusaha sebisanya tidak mengecewakan harapan Bu Marsih"
"Jadi mau dimulai kapan saya manut Bu"
Bu Marsih terkekeh terbahak bahak dengan keras. "Yowis nek gitu ayo jangan buang waktu, kita mulai sekarang, ayo masuk Bar, kita ke ruang pengobatan"
Mereka berdua pun melangkah ke ruang tengah menuju bilik kasur yang hanya dibatasi oleh tirai. Subarkah disuruh tidur terlentang di ranjang pengobatan tersebut dan diminta untuk menanggalkan semua bajunya hingga telanjang bulat.
Bu marsih sibuk memilih guci dari tanah liat dirak kayu belakang, setelah mengambil beberap guci dibawanya ke meja dekat kasur tempat Subarkah terbaring.
"Bar, ayo buat burungmu ngaceng dulu"
"Gimana caranya Bu Mar?" Jawab Barkah dengan polos dan kebingungan
"Dasar cah lanang jek polos, sek tak buka susuku biar kamu bisa terangsang"
Tanpa membuang waktu Bu Marsih membuka kemejanya dan menanggalkannya, kedua payudara berukuran jumbo tersebut tampak mecotot tertekan beha berwarna krem khas ibu ibu. Payudaranya tampak seperti mau meledak terhimpit cup behanya. Tanpa membuka tali beha, Bu Marsih menarik keluar kedua payudara besarnya.
"Nyoh Bar, kamu boleh pegang, mau diemut, dijilat jilat monggo, pokoknya buat burungmu ngaceng dulu"
Tak membuang waktu Subarkah langsung terduduk dan meraba payudara Bu Marsih. Kedua puting berwarna kecoklatan diraba pelan. Perlahan Subarkah mendekatkan wajahnya untuk mencium aroma payudara tersebut. "Hmmm wangi" batin Subarkah. Ciuman berubah menjadi jilatan, kedua tangannya berubah dari elusan menjadi remasan gemas.
Bu Marsih mulai mendesah pelan, dia melirik dan nampak burung Barkah mulai mengeras perlahan lahan.
"Bar pengobatan ku ini memakan waktu 10hari. Selama 10hari syarat ku kamu tidak boleh berhubungan badan dengan wanita manapun, karena minyak obatku tidak boleh bercampur dengan lendir wanita"
"Butuh waktu agar obat obatan ku ini diserap sempurna melalui kulit burungmu, dan selama 10hari itu kamu setiap dua hari mesti ke sini untuk tak pijit ulang Bar"
Udara di Desa Banjardowo sebenarnya termasuk dingin karena berada di kaki gunung. Itu pulalah yang membuat libido dam hasrat wanita di sana cukup tinggi karena untuk mengatasi rasa dingin tersebut mereka butuh dihangatkan dengan para pria. Namun udara dingin pagi itu kalah dengan hasrat yang memanas kedua insan.
Bu Marsih, mulai mengolesi tangannya dengan minyak obat obatan miliknya, kemudia dia mengambil minyak lain dan mencampurnya sambil komat kamit. Mulutnya terus merapal doa doa yang diajarkan orang tuanya sambil sesekali mendesah keenakan karena payudaranya dihisap hisap oleh Subarkah.
Tangan berminyaknya mulai menyentuh batang kelelakian Subarkah. Seperti tersengat aliran listrik Subarkah merasakan kenikmatan penisnya dipijat oleh Bu Marsih, tangan lembut Bu Marsih yang berminyak membuat Subarkah melayang merasa kenikmatan tiada tara.
Merasakan kenikmatan seperti itu mulut dan tangan Subarkah makin brutal menjilat, menghisap dan meremas payudara Bu Marsih. Sekujur payudara besar itu penuh dengan air liur subarkah, desahan Bu Marsih dan Subarkah saling bersahutan.
Merasa memeknya sudah makin basah akan hawa nafsu Bu Marsih tidak tahan lagi. Diapun bangkit menyibakan roknya dan langsung melepas celana dalamnya, rok panjangnya diikat dipinggang supaya tidak turun kebawah.
"Bar, aku udah napsu, tapi aku ndak isa nggenjot kamu, kamu jilatin tempik ku ae yo"
Bu Marsih langsung menaiki ranjang untuk tengkurap di atas tubuh Subarkah. Mereka membentuk posisi 69. Memek Bu Marsih yang berbulu tipis langsung disodorkan ke mulut Subarkah sambil digesek gesekan ke bibir Subarkah.
Meskipun tidak memiliki pengalaman menjilati memek wanita, insting Subarkah tau apa yang harus diperbuatnya, Subarkah mencium ganas bibir memek Bu Marsih. Aromanya wangi karena hari itu masih pagi dan Bu Marsih baru selesai mandi. Lidahnya berusaha masuk sambil merojok rojok kedalam liang memeknya.
Sementara dibawah Bu Marsih masih sibuk mendesah sambil komat kamit, dan terus memijit batang kelelakian Subarkah. Tak lama batang penis Subarkah lgsg muncrat cairan sperma dengan sangat banyak dan mengenai wajah Bu Marsih. Sebenarnya ritual nya sudah selesai saat itu. Akan tetapi hasrat birahi yang belum tuntas membuat Bu Marsih terus menggoyangkan pantat besarnya menggesek kan memek nya dimulut Subarkah sambil berusaha mencari orgasme dari lidah Subarkah. Subarkah yang menyadari kalo dia sudah ejakulasi dan tangan Bu Marsih yang hanya diam menggenggam erat batang penisnya tau kalau dia harus membalas budi akan kenikmatan yang dia terima.
Lidahnay terus menjilat jilat itil Bu Marsih, dua jari kanannya sibuk merojok rojok rongga memek Bu Marsih, tangan kanannya memeluk pantat dan meremas dengan gemas. Sampai akhirnya Bu Marsih melolong panjang dan membenamkan dalam dalam selakangan nya ke wajah Barkah, hal ini membuat Barkah gelagapan kesusahan bernafa.
Setelah mereda libido Bu Marsih, Bu Marsih segera turun dan kembali mengenakan celana dalamnya serta merapikan pakaiannya kembali. Kemejanya kembali digunakan, dan diapun berjalan ke arah dapur.
Setelah berapa lama Bu Marsih kembali sambil membawa secangkir minuman hangat.
"Duduk Bar....." Kata Bu Marsih melihat Subarkah yang masih tidur terlentang menikmati apa yang baru saja terjadi.
"Nyoh diminum sampe habis, minyak obat sama pijatan ku dari luar, dan ramuan ini dari dalam buat melancarkan aliran darahmu ke burungmu"
"Niscaya burungmu akan bangkit perkasa, asal kamu ingat pesanku. Jangan sampai kamu bohong sama aku ya Bar, karena bisa fatal kalo pengobatan ini putus ditengah jalan. Bisa terjadi aneh aneh dengan burungmu"
"Baik Bu, saya janji tidak akan mengecewakan kebaikan Bu Mar"
Subarkah pun makin mantap berjanji setelah kembali dia merasakan kenikmatan dari Bu Marsih. Rasa hangat akan sosok seorang ibu, kenikmatan pria dewasa, serta pengalaman berhubungan intim yang didapat membuat Barkah makin mantap dan yakin mengikuti semua instruksi dari Bu Marsih.
Setelah menghabiskan ramuan yang diberikan Subarkah pun berpakaian kembali dan pamit pulang. Hari itu dia tidak berencana berjualan di pasar, rasa kantuk dan lelah setelah dikocok oleh Bu Marsih membuat Barkah memutuskan langsung pulang saja. Apalgi hari itu dia sudah mendapatkan pemasukan dari diborongnya dagangan nya oleh Bu Marsih. Senyum lebar tersungging di bibir Subarkah, gembira dan tak sabar untuk bertemu lagi dengan Bu Marsih tiap dua hari.
Bersambung.