Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Tabir Perpisahan

Status
Please reply by conversation.

Flindskjold

Adik Semprot
Daftar
8 Aug 2014
Post
111
Like diterima
490
Bimabet
Hai, mohon maaf sepertinya kisah The Chronicles of A Fallen Love nggak akan ada kelanjutan dan gua akan mindahin cerita itu ke cerita lepas, dan untuk cerita ini, gua menemukan feel untuk menuliskan cerita yang panjang. Beberapa chapter sudah tertulis tapi tetap butuh kritik dan komentar, maklum newbie, hihi. Asli, gue sangat - sangat butuh bimbingan para suhu disini, karna gue masih agak plinplan untuk menentukan alur cerita dan bahasa nya itu sendiri.

Tapi, cerita ini akan tetap update ada atau nggak adanya tanggapan, jadi, untuk yang menanggapi, selamat menikmati! Hehe. :Peace::p
 
Filosofi Perpisahan

1. Debar Awal

Di sebuah bangku taman yang berletak di selatan ibukota, terlihat seorang gadis manis dengan muka yang murung. Gadis itu sengaja memilih sisi taman yang sepi, agar ia bisa menenangkan gemuruh lara yang meletup - letup di hatinya. Langit sudah menunjukan dua pertemuan sakral namun damai di atas sana, Matahari yang redup perlahan mendesiskan salam pamit kepada temaram bulan diatas sana. 'Jaga baik - baik daratanku, Bulan.' pamit sang matahari.

Kumandang maghrib sebentar lagi disuarakan toa - toa volume besar, beberapa menit lagi setelah lafalan - lafalan dzikir yang terlebih dulu berkumandang.

Namun sang gadis enggan beranjak, walau kini semua sisi taman semakin sepi, beberapa manusia melangkah pergi. Hanya menyisakan daun - daun tua yang berserak sembarang dan semilir udara yang menghembus pelan, melempar lemas rambut panjang lurus sang gadis.

Sementara



Teduhlah hatiku



Tidak lagi jauh



Belum saatnya kau jatuh



Lelehan air mata sudah semakin mengering, namun sembab di kedua matanya belum juga surut.

Saat akan memasuki kumandang adzan Isya, sang gadis berparas manis dengan hidung mancung dan mata yang teduh itu bangkit dari bangkunya, menuju sebuah pohon yang tak jauh dari bangku nya tadi.

Hilwa



&



Leo



Tampak gurat ukiran di batang pohon itu, memandang itu matanya kembali basah, namun tak lagi menggelincirkan butir - butir air seperti beberapa jam yang lalu. Memorinya terpental jauh ke masa lalu.

Katamu dulu



Kita akan tetap menjadi 'kita'



Katamu dulu



Tak akan melibatkan kata pisah



Katamu dulu



Akulah satu - satunya



Katamu dulu



Bahagiaku adalah prioritasmu



Namun kini



Diantara lebarnya jarak



Dengan lantang kau serukan



Bahwa bukan padakulah tulang rusukmu ditanamkan.



Setidaknya ajari aku bagaimana meredakan tangis
Setidaknya tunjukan aku bagaimana aku bisa dengan mudah melupakan
Sebagaimana dengan mudah kau meninggalkan, menanggalkan segala janji dan cinta.

*****

Namaku Hilwa, usiaku saat ini masih enam belas tahun, aku bersekolah di sebuah SMA yang tak terlalu populer, SMA swasta di timur ibukota. Dan laki - laki di samping bangku tempatku di dalam kelas ini adalah Leo, murid bengal yang lebih tua setahun dariku. Yang paling melekat di dalam dirinya adalah sebuah kata 'veteran' karena ia tidak naik kelas setahun dan harus mengulangi setahun lagi kelas dua SMAnya. Wajahnya gagah khas lelaki ambon campuran, tidak legam namun hitam manis, wajah yang dihiasi kumis - kumis tipis.

Wajahku? 'Si Arab Primadona Sekolah' sudah setahun lebih disematkan mereka kepadaku. Hidungku yang mancung, rambut ikal panjang yang melewati bahu, alis yang tak terlalu tebal namun terlihat penuh, kedua bola mata yang terbuka lebar dan bibir yang sering mereka fantasikan sebagai 'Bibir Sepongan' itu sudah menjadi pelengkap bagaimana cantiknya aku, bukan narsis, namun kenyataan terkadang memang sulit di hindari. Banyak cowok - cowok yang mengincarku, baik adik kelas maupun kakak kelas, malah beberapa cowok dari sekolah lain sudah beberapa kali menggangguku dengan sapaan sapaan tak pentingnya melalui chat ataupun panggilan gratis di sebuah aplikasi sampai - sampai aku bertaya pada diriku sendiri, sebegitu menariknya kah aku dimata mereka? Walau memang ada beberapa cowok yang aku tanggapi chatnya, itupun karna pertemuan sebuah kompetisi cerdas cermat yang saat itu ku ikuti dan bertempatan di sekolah lain. Namun tak ada yang spesial, hanya kutanggapi sekenannya saja melalui chat, yaa biar nggak dikira sombong aja, sih, tapi hanya beberapa saja dari mereka yang kutanggapi chatnya masih dengan bebal mendekatiku. Namun ada satu, yang sangat akrab denganku di luar sekolahku ini, tetapi bukan dia yang akan kuceritakan saat ini.

Aku masih menutup pintu hatiku rapat - rapat, mengingat mendiang Abi-ku berpesan agar aku fokus pada pelajaran di sekolahku dan menjadi orang yang sukses nantinya. Akupun mengiyakan, bukan sekedar melegakan hati Abi saja, namun memang dari dulu aku selalu menuruti apa yang diamanahkannya.

Ya setidaknya sebelum aku dekat dengan cowok yang sedang menggaruk - garuk kepalanya dan membolak balik buku pelajaran di depannya. Setidaknya sebelum aku merasakan bagaimana rasanya kembali terlindungi, bagaimana rasanya selalu ditenangkan dan di nyamankan oleh sebuah rengkuhan, selain rengkuhan Ayahku.

Setidaknya sebelum aku mengenal bagaimana indahnya jatuh cinta dan dicintai teramat sangat.

Percayalah hati



Lebih dari ini



Pernah kita lalui



Jangan henti disini



Semua berawal ketika Leo meminta sebuah pertolongan kepada Hilwa, awalnya Leo gugup dan kikuk sebelum meminta bantuan kepada Hilwa, disamping Leo memang orang yang selalu di cap pemalas dan bengal itu tak pernah sekalipun meminta bantuan seperti ini, bantuan agar Hilwa bisa membimbingnya mempelajari beberapa mata pelajatan yang sangat tidak ia pahami. Katakanlah Matematika, Ilmu Fisika dan Bahasa. Maka ketika ia mengutarakan permohonannya itu kepada Hilwa, Hilwa kaget dibuatnya pun beberapa teman sekelasnya yang akhirnya mengetahui bahwa Leo ingin belajar. "Tumben.", "Paling mau modus doang." dan gunjingan - gunjingan lainnya. Namun Leo tak peduli, mau sampai kapan ia begini? Masak harus tinggal kelas lagi? pikirnya dewasa kala itu. Hilwapun sempat terkejut, dan awalnya enggan menuruti kemauan Leo itu, namun keengganan itu surut seketika kala ia menatap mata Leo yang nampak serius dan bersungguh - sungguh. Walaupun Hilwa termasuk murid paling cerdas dengan nilai nilai pelajaran yang diatas rata - rata, Hilwa tak pernah sekalipun membimbing atau mengajari orang lain seperti itu. Kalau hanya sekedar minta di bimbing di dalam kelas saat prosesi belajar mengajar berlangsung, dia sudah sering. Namun bimbingan semi privat seperti permintaan Leo yang akan datang kerumahnya untuk bimbingan itu? Tak pernah sama sekali. Hilwa bukan orang yang pelit ilmu, ia pun akan senang memberikan pengetahuan - pengetahuannya kepada orang lain. Namun jika dengan hanya berdua Leo saja? Hilwa hanya tidak ingin dipandang seperti menggurui atau sok pintar.

"Plis. Lo tega kalo gue gak naik lagi?" mohon Leo kala itu.
"Gue bayar deh, tapi gak banyak. Ya dua lembar tiga lembar lah. Plis. Mau ya? Yayaya?" lanjut Leo

Setelah menimbang - nimbang dan berpikir sesaat, akhirnya Hilwa mengangguk mengiyakan. "Gak usah dibayar juga ah. Gakpapa kok." ucap Hilwa

"Tapi anter jemput aja kayaknya enak tuh. Hihi." lanjut Hilwa terkekeh.

"Siap, bos!" Leo kegirangan, akhirnya ada juga yang bersedia membantunya, dengan predikat bengal dan suka berbuat onar, sudah barang pasti sangat sulit untuk meminta pertolongan kepada orang lain, apalagi ada asumsi "Ah dia kan bandel, jangankan belajar, ke sekolah bawa buku aja enggak.", maka ketika Hilwa menyanggupi, betapa girangnya Leo kala itu.

"Mau kapan?" tanya Hilwa.

"Besok deh, soalnya gak bawa buku nih." ucap Leo tersenyum kecut dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Sekarang aja. Pake buku gue dulu." balas Hilwa lalu bangkit menuju kantin, dan di intili Leo.

"Mau ngapain?"

"Ke kantin."

"Yaudah yuk, bareng."

"Siap Bu Guru, yuk! Haha." canda Leo yang lalu menerima sikutan lembut di lengannya.

****

"Nah gitu, paham kan?" tanyaku

"Hmmm... Paham sih, dikit." jawab Leo agak kebingungan

"Yaudah, gue ulang ya. Soalnya kalo materi ini nggak dikuasain, materi ke depannya udah pasti gak akan bisa dikuasain juga. Nah kalo materi yang ini udah dikuasain, materi kedepannya nggak akan begitu rumit lagi, soalnya rumus di materi ini bakal kepake di materi selanjutnya walaupun ga sepenuhnya." terangku lalu kembali membimbingnya

"Oh gitu, eh iya, ini gue sruput ya. Aus, hehe." izin Leo menyeruput teh hangatnya

"Ya silakan, kan emang dibikinin buat elo."

Akhirnya sore datang, dan itu berarti aku harus menyudahi bimbinganku ini,

"Leo, segitu dulu aja ya. Lusa dilanjut lagi. Ok?" ucapku lalu menumpuk beberapa buku tebal dan beranjak ke rak buku lalu menyusun buku - buku itu serapih mungkin.

"Eh yaudah deh, lusa ya? Eh tapi jadwalnya gimana? Berapa kali seminggu?" tanya nya yang kemudian bangkit dari sofa, meraih ranselnya.

"Tiga kali? Gimana?" tanyaku

"Okedeh kalau gitu, gue balik ya."

***

Hari - hari selanjutnya berjalan seperti biasa, prosesi bimbingan belajar kami lakukan tiga kali dalam seminggu, dan Leo pun sudah santai dan nggak canggung lagi. Baguslah, itu memang salah satu syarat agar materi bisa masuk ke dalam otak secara utuh.

Hingga seminggu sebelum ujian kenaikan kelas, aku dan Leo masih sering belajar bareng, dan sejauh itu, semua biasa saja.

Iya, biasa saja. Sebelum akhirnya sesuatu terjadi...

Hari itu tepat dua hari menjelang un, hari jumat kira - kira. Karena jam belajar mengajar di sekolah lebih cepat pada hari jumat, Leo izin untuk pulang terlebih dahulu, sekedar mengganti pakaian dan makan siang

Pukul dua siang, Leo sampai dirumahku. Ia sudah mengganti baju seragamnya dengan kaus yang dibalut bomber, juga celana jeans. Akupun hanya mengenakan kaus ketat dan celana pendek bahan sejengkal diatas lutut, pakaian sehari - hariku dirumah.

Dan disitulah kesalahanku.

Aku yang memang terlalu naif, bahwa proses belajar kami akan berlangsung biasa saja, aku kecolongan. Biar bagaimanapun manusia tetaplah manusia, dan Leo tidak sepenuhnya berubah, hal yang saat itu terlambat kusadari adalah bahwa Leo pandai merangkai kata, pandai bermain drama.

Rumahku yang sepi karena Kakakku masih kuliah dan akan pulang pukul tujuh malam, Ibuku pun mengurusi butiknya, tinggalah aku sendiri.

Aku yang asyik menerangkan beberapa materi bahasa indonesia, tidak menyadari bahwa Leo selalu mencuri kesempatan memandangi pahaku. Karena meja yang tidak terlalu tinggi, maka kami belajar sambil lesehan. Dan saat itu juga aku menyadari bahwa ukuran dadaku adalah ukuran yang diatas rata - rata siswi SMA pada umumnya, entahlah mungkin ini gen dari Ibuku yang memang memiliki payudara yang besar.

Aku belum mengerti apa itu ciuman, baru merasakannya saat sedang asyik menjelaskan materi, tiba - tiba Leo menarik daguku ke arah nya, lalu dengan cepat memagutku, mengecup lembut bibirku, aku yang terlambat sadar berusaha meronta sekuatku, namun apa dayaku dibanding Leo yang berbadan tegap, "Leo... Lepasin, ah! Jangan... Jangan kayak gin... Hmphh!" belum selesai kalimatku, Leo kembali menciumku, "Maaf, Wa. Gue gatahan." gumamnya lalu mendaratkan kecupannya di leherku, sensasi geli - geli nikmat menjalari tubuhku, kedua lenganku di cengkram oleh satu telapaknya, "Stop! Atau gue teriak?!" desisku menahan serangan - serangannya di bibir-leher-telingaku. Sesaat kemudian aku merasakan desiran aneh di tubuhku ketika Leo dengan anarkisnya menjilati telingaku.

"Hk... Hk... Jang-jangan Leo..." isak tangisku menderai, bukan karena perlakuan Leo, tetapi karena tubuhku menghianatiku. Mengapa? Ah! Rontaanku melemah. Alih - alih meronta, aku malah menaikan badanku demi memperlancar aksi Leo membuka kait braku. Nggak. Ini nggak mungkin. Airmataku membeludak.

"Huhuhu..."

Aku meronta, berusaha melepaskan kedua tanganku yang di cengkramnya, namun beda niat, beda aksi. Seketika lenganku terbebas, bukannya mendorong, aku justru menarik kepalanya menuju leherku, ah, sial! Nikmat sekali! Lalu tangan yang tadi ia gunakan mencengkramku, ia gunakan untuk meraba, meremas serta memuntir puting payudaraku. Aku hanya bisa terisak sambil menggelinjang. Tolong aku... Tapi siapa yang akan datang lalu menolong? Sebab bahkan tubuhku sendiri seperti bersekongkol dengan aliran - aliran nikmat yang menjalar. Kedua mataku memejam, kepalaku menggeleng berusaha mengusir nikmat, namun sukar. Dan entah sejak kapan Leo melepas celananya dan menyisakan celana dalamnya saja? Sedikit kesadaranku menyeruak, tanganku memukul - mukul dada Leo, namun memang benar adanya bahwa nafsu terkadang bisa menjadi momok yang sangat menakutkan. Tak dia indahkan segala rontaanku. Bahkan kini Leo berusaha melepas celana pendekku, sekuat tenaga kupertahankan kain itu. Namun Leo dengan cerdik kembali menjilati telingaku, membuat tanganku melemas pasrah dalam deru nikmat-geli yang ditimbulkan.

"Leo jahat! Gua diapain iniii... Sssh... Ahh! Huhu!" desahku diantara isak tangisku

Kedua pelindung terakhir di area selangkanganku sudah melayang entah kemana, kini satu satunya kain yang tersisa hanyalah bra hitam yang juga sudah tidak beraturan posisinya, yang menampakkan kedua payudara besar berputing coklat mudaku, cumbuan Leo beralih dari telingaku, sasarannya sudah tentu putingku, dan itu sangat nikmat.

"Uhh!" tak sadar suara lenguhanku keluar

Jari Leo kini mencuil - cuil daging kecil diantara vaginaku, membuatku menggelinjang nikmat diantara derai tangisku, jadilah vagina mungil dengan bulu jarang milikku dijadikan bulan - bulannya, apalagi kini cumbuan Leo bergerak turun, hinggap di pusarku, mencuil bolongan di perutku itu dengan lidahnya. "Auw! U-udah... Gamauuu! Leooo! Udahannn! Geli... Ngghhh!" Leo terkekeh, menjuarai tubuh sintalku. Perlahan cumbuan itu bergerak turun dan hinggap di vaginaku, dikais-coloknya kelaminku itu dengan lidahnya, dijilati olehnya paha bagian dalamku tepat di sisi - sisi vaginaku.

Ah, aku menyerah!

Kukendurkan rontaanku, lalu kurasakan sebuah benda memasuki lorong vaginaku, jari tengahnya. "Aduh! Sakit!" kurasa ia menyentuh selaput daraku.

Lalu tiba - tiba ia menghentikan aksinya.

"Lo... Masih..." tanyanya diantara nafas memburu penuh nafsu
Aku hanya mengangguk lalu membuang muka ke arah lain.

Lalu iapun bangkit, mengenakan kembali pakaiannya, meninggalkanku yang masih didera nafsu.

"Maaf. Maaf banget." ucapnya lalu Leo beranjak pergi.

Entah mengapa perasaanku saat ini begitu kontradiktif. Senang karena kelaminku tetap berselaput, teramat kecewa karena kenikmatan yang baru saja kualami terhenti.

Namun yang pasti adalah, dia sudah sedikit membuka tabir di dalam jiwaku, bahwa aku memiliki nafsu yang besar, namun entahlah, apa semua cewek juga begitu atau hanya aku dan segelintir saja? Dan justru aku nggak yakin bahwa aku akan menolak jika kejadian tadi terulang kembali. Ah sudahlah, mungkin itu hanya euforia kenikmatan yang baru pertama kali kurasakan, dan aku yakin lambat laun euforia itu pasti surut.

Semoga saja.

Bersambung.
 
Cerita baru!
 
ijin baca hu walau cerita suhu yang lama belom saya baca
 
1.2 Love Will Found The Way


e5beeb917886924

http://www.imagebam.com/image/e5beeb917886924 (Hilwa)

Seorang cowok memandangi foto di profil di aplikasi whatsappnya, sesaat terlihat senyum terlukis di wajahnya. Tak lama ia memasukan ponsel pintarnya dan bergerak melangkah menuju kantin sekolahnya,

"Ka, Adam! Ka!" terdengar suara siswi yang memanggil namanya dari belakang ketika ia berjalan menuju kantin, sang cowok yang di panggil 'Adam' pun menoleh ke belakang, belum sempat bertanya, gadis itu setengah berteriak panik, "Mifta di uks ka, tadi tiba - tiba ngeluh pusing terus mukanya pucet banget, Ka,"

"Serius?" Adam pun mengurungkan niatnya menuju kantin dan berbalik arah menuju uks tempat Mifta untuk melihat keadaan adik kandungnya itu.

****

"Dedek, pulang aja ya? Abang izin sama Bu Lisna nanti," ucapku lalu membelai rambut adik kandungku itu, Mifta cuma ngangguk lemah dengan pandangannya yang sayu dan muka yang pucat. Sudah beberapa kali Adikku ini keluar masuk uks, walau ngga bisa di bilang sering juga, sih. Tapi tetap saja, itu membuatku khawatir. Semenjak awal kelas tiga SMP, adikku selalu seperti ini, sampai saat ini awal dia masuk ke sekolahku dan memulai awal tahun ajaran barunya di sekolahku. Aku yang setengah memaksa kedua orangtuaku agar setelah lulus dia di pindahkan kesini supaya kalau dia seperti ini lagi, aku bisa menjaganya. Adikku kini kelas 10 SMA, dua tahun dibawahku yang sudah kelas 12. Dulu dia selalu riang, ceria, sangat - sangat manja, apalagi padaku, karna memang orangtua kami jarang berada dirumah, maka ia lebih dekat denganku daripada Ayah atau Ibuku, perawakannya yang mungil, wajah imut dengan dua lesung pipi di kedua pipi gembilnya, barisan gigi dengan kawat gigi berwarna biru muda, seringkali ia dianggap masih duduk di bangku sekolah dasar ketika kita berjalan berdua di mall atau dimanapun dan dengan tidak sengaja bertemu dengan temanku. Namun satu - satunya hal yang 'mengeksekusi' anggapan mereka bahwa Mifta, Adikku yang lucu ini, masih duduk di bangku sekolah dasar adalah dua bongkah payudara yang sudah terbentuk dan membusung anarkis di dadanya, badannya yang berisi namun tidak gemuk walau mungil dan... Eh tunggu dulu, kalian jangan berpikiran bahwa aku akan menceritakan sebuah adegan incest, jangan ngarep ya, walau kemanjaan - kemanjaannya dia terkadang membuatku sedikit heran, aku tidak akan melakukan sesuatu yang buruk terhadapnya.

Dan cerita ini adalah tentang gadis di sekolah lain yang belum lama sedang ber chat ria di whatsapp denganku, gadis yang saat aku masih di kelas satu sma, mengikuti acara cerdas cermat yang di gelar di sekolahku.

Kala itu, dua tahun yang lalu kira - kira, sekolahku menggelar sebuah acara cerdas cermat yang mengundang beberapa SMA dan SMK swasta dan negeri di Jakarta, dan kebetulan sekolahnya turut diundang untuk berpartisipasi.

Per sekolah harus mengutus maksimal dan minimal lima orang murid untuk ikut serta dalam kegiatan cerdas cermat, dan ketika itu kira - kira total dari peserta dari berbagai sekolah yang diundang adalah 50 siswa. Acara itu digelar seharian dari pagi hingga sore, acara pertama di gelar di aula, sebuah acara kuis dengan materi fisika, bahasa inggris, sejarah dan matematika. Acara kedua dilakukan di sebuah kelas, dengan lembaran soal di kertas, seluruh soal berjumlah 50 soal, dengan mencampur semua materi di dalam selembar kertas, dan kegiatan itu dilakukan per kelompok.

Tepat pada hari menjelang sore, acara selesai dan menempati sekolahnya sebagai juara satu sekaligus juara umum di acara cerdas cermat yang sudah lama digelar ini, sekolahku menempati urutan ketiga.

Dan awal pertemuanku dengannya adalah saat sekolah sudah sepi ini, aku yang kala itu masih mengurusi beberapa hal yang menyangkut acara yang barusan digelar, masih berada di sekolah, memang selain menjadi peserta, akupun turut serta membantu mengurusi kegiatan sebelum dan setelahnya.

Dan kala itu, dia, gadis yang sudah mencuri segenap hati dan pikiranku, sedang duduk di bangku dekat pelataran parkir yang diteduhi pohon - pohon rindang di dekatnya. Aku yang sudah selesai dengan kegiatan - kegiatanku, sebenarnya ingin langsung pulang karna adikku sudah lebih dulu di rumah bersama salah satu pembantuku yang hanya setengah hari bekerja, aku bergegas pulang karna ingin menjaga adikku.

Baru saja memasukan kunci motorku dan hendak menyalakannya, pandanganku teralih kepada sosok gadis yang duduk di bangku yang tak jauh dari letak motorku yang terparkir.

Akupun menghampirinya,

"Kok belom balik sih?" tanyaku yang sedikit membuatnya terkejut, mungkin dia nggak nyadar kedatanganku, wajahnya lalu terlihat resah, cemas, sedikit rasa takut seperti tergambar disana.

"Hmm, itu... Dompet gue ilang... Mau balik, takut diomelin Umi..." ucapnya lirih

"Serius? Ilang dimana? Kapan?" tanyaku lalu duduk disampingnya, dia yang menyadari aku sudah berada disampingnya sedikit memberi jarak.

"Nggak tau, tapi tadi siang pas break acara itu masih ada, buat bayar makan di kantin, huh. Duitnya sih nggak penting, tapi disitu... Hk... Hkk...." dia ngegantungin kalimatnya lalu mulai terisak - isak, matanya berkaca - kaca.

"Ada apa emang di dompet? Ktp? Apa gimana?" tanyaku penasaran

"Hk-hk, bukan, ada foto almarhum Ayah, almarhum Abi... Huhuhu, maafin Kakak, Abiiii..." lalu sengguknya terdengar kemudian menopang wajahnya di kedua telapak tangannya yang bertupu di pahanya.

"Hmm... Maaf, maaf gue gak tau... Tapi, hmmm, emang gak ada foto lain gitu?" entah apa yang membuatku melontarkan pertanyaan itu yang entah kurasa mengusik hatinya, karna setelah itu Hilwa lalu menatapku tajam.

Sorot mata itu...

Tajam, namun menghangatkan. Menusuk, tapi menyembuhkan. Entah apa yang dihangatkan dan disembuhkan itu.

"Banyak... Banyak fot-foto Abi, tapi cuma yang di dalem dompet itu yang spesial! Karna cuma itu satu - satunya foto dia, yang ada guenya! Huhuhu!" teriaknya diantara sengguk dan isaknya, lalu kembali tersedu. Seketika aku bingung harus berucap apa, beberapa menit nggak ada sepatah kata yang terucap, inisiatif buat nganter dia, seenggaknya sebagai permintaan maaf atas 'kesalahan' yang udah bikin dia teriak kayak gitu, entah apa kesalahanku itu.

"Gini, gue rasa itu nggak hilang sih, kalo emang udah lo cari dan gak ketemu, mungkin udh ada yang nemuin, dan semoga aja yang nemuin itu masih guru atau pengurus sekolah gue dan semoga aja dia mau berbaik hati untuk lapor ke koperasi, dan lusa gue bakal coba buat tanya ke bagian koperasi, gue kabarin kalo emang ketemu. Hape lo nggak ilang kan?" Dia cuma ngegeleng sambil tetep nangis sesenggukan.

"Yaudah, sini nomernya. Kabarin lewat whatsap ya?"

Dia ngangguk dan ngasih nomer whatsappnya.

"Oh ya, gue Adam. Sekarang, ayok pulang. Gue anter, rumah lo dimana? Gak ikutan ilang kan?" ucapku menawarkan diri mengantarnya dan nyoba sedikit berkelakar. Dia ngga ketawa. Gak apa - apa.

Sejenak aku melihat sebuah keraguan sebelum dia menaiki motorku, aku menyadari itu.

"Naik. Dihalangin tas kok, tas gue ada bukunya. Tenang aja." lalu Hilwapun naik ke atas motor dan tetap memberi jarak. Hmmm...

Sesampainya dirumahnya yang lumayan jauh itu jaraknya, aku bergegas pulang setelah Hilwa mengucapkan terima kasihnya.

Hmm, Hilwa... What are u doing to me?

***

Lusa pun tiba, bertepatan pada hari Rabu. Karena setelah acara yang digelar sekolahnya, siswa siswi di sekolah Adam di izinkan libur satu hari, dan masuk pada hari berikutnya. Dan benar saja, saat Adam bertanya perihal dompet hilang di bagian koperasi, salah satu petugas koperasi mengiyakan bahwa memang benar ada dompet yang hilang dan beratasnamakan Hilwa, Adampun meminta izin untuk mengecheck dompet itu bersama petugas tersebut, "Yang nemuin Pak Juned, kata dia pas ditemuin udah nggak ada uangnya," kata ibu - ibu petugas Koperasi itu, namun Adam tidak terlalu memikirkan itu, dia ingin melihat kartu pelajar Hilwa, memastikan foto di kartu pelajarnya. Dan memang benar, itu milik Hilwa.

"Yaudah, Bu Eli, kalau gitu dompetnya boleh saya pegang? Itu punya saudari saya yang kemarin lusa ikut cerdas cermat disini, dia dari SMA ******* Jakarta Timur, yang juara umum itu, Bu. Bisa?" tanya Adam

"Yaudah nih kamu pegang aja." jawab Bu Eli

"Okey, makasih, Bu."

Adampun merogoh sakunya meraih ponsel pintarnya, memfoto dompet itu lalu dikirimkan ke seseorang bernama Hilwa. Tak ada balasan hingga pulang sekolah tiba, terdengar notifikasi chat Whatsapp, dibukanya chat itu, sebuah voice note,

'Yeaaay! Makasih, Adam! Lo emang pahlawan gua, asli! Oke gue kesana sekarang, lo udah pulang kan? Masih di sekolah kan?' suara voicenote itu ketika di play

'Gue yang kesana. Tunggu.' balas Adam juga melalui voice note.

Dan semenjak itu, hubungan mereka semakin akrab walau lebih sering berkomunikasi lewat chat, namun sesekali Adam menyambangi sekolah Hilwa atau mereka bertemu di sebuah cafe atau tempat - tempat nongkrong yang tak jauh dari sekolah maupun rumah Hilwa. Walau begitu, Adam masih menunjukan reaksi pertemanan biasa, belum ada reaksi - reaksi yang menunjukan sebuah ketertarikan lawan jenis.

All I can taste is this moment



All I can breathe is your life



Cause sooner or later it's over



I just wont you to know who I am



******



"Nah, masukin bawang yang udah di iris - iris dulu, apinya jangan terlalu gede ya, nih segini aja,"

Dua orang gadis terlihat sibuk di dapur, mempersiapkan makan sore di sebuah rumah yang megah namun tak bertingkat, akan tetapi lebar dan memanjang ke belakang, di bagian depan tersedia sebuah garasi yang muat terisi dua mobil dan satu motor, halaman dengan berbagai macam tanaman pun tersedia tak jauh dari sana.

"Terus Ayamnya kapan dimasukinnya barengan sama wijen nya juga?" tanya salah seorang gadis gembil berkawat gigi yang menambah kesan imut di wajahnya

"Nih, saus teriyakinya tuang, terus masukin deh ayamnya, di aduk terus biar nggak lengket yaa," terang gadis disampingnya yang mengenakan celemek namun tak menutup kebusungan payudaranya

"Wuih! Harum bener nih! Masak apa sih?" teriakan seorang cowok tiba - tiba saja mengagetkan kedua gadis tersebut

"Ih, Bang Adam, ngagetin aja! Mifta lagi serius merhatiin Ka Hilwa tau! Ngeselin banget sih!"

*****

1.3 Senandung Sesal

Sebutlah aku cowok bengal, nakal dan lain sebagainya. Namun kondisinya berbeda. Mungkin jika itu bukan Hilwa dan sorot mata nya, sudah kubantai kelamin mungil merah merekah berbulu jarang itu. Namun entah, nafsuku seketika surut begitu saja ketika aku tahu dia masih perawan, padahal saat itu aku yakin, sangat yakin, dia sudah pasrah dan rela kusetubuhi.

Salah satu alasan kenapa aku disebut murid nakal ya karena ketidakberprikemanusiaanku jika sudah berhubungan dengan seks. Persetan label perawan, nafsuku lebih penting. Bahkan sudah beberapa wanita yang kurenggut keperawanannya, dari adik kelas hingga kakak kelas. Dan alasan kenapa mereka tidak mengadukan aksiku adalah, mereka terpuaskan, keahlianku dalam melontarkan rayuan, tentu saja, wajah yang gagah tanpa di topang keahlian berucap kata - kata manis, pastilah sia - sia, yaa setidaknya seperti itu menurutku. Dan satu lagi, latar belakangku yang memang bisa dibilang anak orang kaya, membungkam mereka, money power, dude! Ayahku sangat menyayangiku. Seburuk dan senakal apapun kelakuanku, aku selalu dimanjakannya, melalui uang dan beberapa ajudan yang ia suruh untuk menjagaku, namun aku menolak untuk yang satu itu, aku bisa menjaga diriku sendiri. Kegemaranku yang selalu menonton aksi gulat UFC di layar televisi membuatku tertarik untuk belajar beladiri, dan Muay Thai adalah pilihanku, dan mungkin dalam waktu dekat, aku akan mempelajari silat atau mungkin Krav Maga, ah sudahlah, nanti saja kuceritakan itu.

Biar bagaimanapun, aku seorang lelaki, dan harus bersikap dewasa. Aku ingin berubah. Maka satu persatu kegiatan negatifku, ku tanggalkan jauh - jauh di belakangku. Tawuran, minum - minum, dan lain sebagainya.
Aku ingin keluar dari jerat yang dinamakan 'Sekolah' ini, secepatnya. Dan satu - satunya hal yang bisa memuluskan niatku adalah, giat belajar. Les di tempat bimbel? Aku malas bertatap muka dengan orang lain, aku ingin belajarku lebih nyaman dengan tidak menerima kebisingan - kebisingan. Jadi kuputuskan untuk mencari seseorang untuk membimbingku. Sudah beberapa siswa dan siswi yang kuminta untuk membimbingku, dimulai dari adik kelasku yang cerdas - cerdas itu, juga kakak - kakak kelasku. Namun dengan predikat murid bengal yang sudah lama mereka sematkan kepadaku, aku sukar mendapat bantuan itu. Dan tujuan terakhirku adalah gadis cantik berwajah arab disampingku ini.

Dia baik. Sangat - sangat baik. Supel. Enak diajak ngobrol, selalu nyambung, juga teramat sangat cerdas. Mungkin tidak ada satu pelajaranpun yang tidak ia kuasai.

Awalnya aku ragu karena dilihat dari banyaknya orang yang enggan membimbingku, tapi, apa salahnya mencoba? Lagian setiap di dalam kelas dan aku menemukan beberapa kesulitan di dalam mata pelajaran yang sedang di pelajari, Hilwa selalu membantuku. Akhirnya aku meminta bantuan Hilwa, dan senyumku mengembang ketika akhirnya Hilwa menyanggupinya, walau dengan sedikit pemaksaan, sih.

Hari - hari berikutnya berjalan normal, seminggu tiga kali jadwalku untuk bertandang kerumahnya untuk bimbingan, awalnya memang terasa jenuh karena biar bagaimanapun egoku yang pemalas masih tersisa, tapi untunglah niatku meredam egoku itu.

Lambat laun aku semakin rajin untuk bimbingan bersama Hilwa, disamping ketelatenan dan kesabarannya dalam membimbingku, juga karna semakin lama kurasa aku menyukainya, namun biarlah dulu kupendam yang satu itu, karna bagaimanapun juga aku tak mau mengganggu kegiatan belajarku dengannya, dengan melibatkan sebuah perasaan.

Alih - alih memendam itu sendiri, justru berbagai perasaan - perasaan silih berganti timbul di dalam hatiku. Sebab selama kegiatanku bersamanya, dia bukan hanya sekedar mengajariku, tapi sikapnya begitu perhatian. Menegur penampilanku yang urakan, memasakan sesuatu untuk kami makan siang, "Cerdas itu berasal dari badan yang sehat, kalau sakit, bakal susah buat mikir, jadi kalo bisa nggak usah makan di luar, makan disini aja, gue yang masak. Dijamin steril, haha." ucapnya kala itu, dan salah satu hal yang membuatku tertarik adalah, tak pernah absennya menunaikan ibadah lima waktunya itu. Dan Hilwapun seringkali mengingatkanku agar selalu sembahyang secara langsung maupun melalui chat di whatsapp. Mungkin dari luar dia seperti bukan cewek yang sebegitu rajinnya dengan hal - hal yang bersifat ritualis, namun itulah hebatnya dia, bergaul bebas namun tidak melewati batas.

"Jangan lupa gereja, sebesar apapun niat baik, tanpa ngelibatin tuhan, gak bakal berjalan mulus. Percaya sama gua." ucapnya kala kutanyakan kenapa ia selalu mengingatkanku untuk sembahyang.

Akan tetapi, kesalahanku saat itu membuat sebuah jarak diantara aku dan Hilwa, setelah kulangkahkan kakiku pergi dari rumahnya setelah apa yang aku lakukan padanya, menimbulkan kecanggungan diantara kami. Sejak saat itu, aku dan dia terlihat seperti dua orang yang berusaha menghindari, satu hal yang membuktikan itu adalah ketika di kelas Hilwa menukar tempat duduknya di ujung sana, beberapa baris dari barisan tempat duduknya semula. Awalnya aku tak mempermasalahkan itu karena memang kesalahanku sudah sangat fatal, perempuan mana yang masih mau berhubungan dengan lelaki yang membalas niat baiknya dengan sebuah tindakan yang membuatnya kecewa? Aku memaklumi itu. Namun lambat laun, aku merasa tak enak. Tujuanku agar kami tidak lagi canggung, tetapi Hilwa selalu menghindar. Aku tau dia takut, atau apapun segala bentuk rasa kecewa, tetapi setidaknya, beri aku kesempatan untuk memperbaiki hubungan kami seperti dulu, aku tak ingin memiliki musuh lagi.

Perlahan, penyesalan menderaku.

Betapa bodohnya aku ketika orang lain apatis terhadapku, hanya dialah yang masih mempercayaiku, dialah yang dengan tulus mau membantuku agar aku menjadi orang yang lebih baik. Dan disamping rasa sesalku atas itu, aku menyadari satu hal.

Bahwa aku,

Merindukannya.

Merindukan segala jenis perhatiannya. Merindukan paras manis yang tak henti membimbingku. Merindukan makan siang yang selalu ia hidangkan untukku. Dan itu sempat membuat banyak perubahan untukku. Rajin belajar, tidak lagi membuat keonaran, selalu kesekolah tepat waktu. Untuk yang itu, entahlah, aku ke sekolah tepat waktu karna ingin belajar, atau... Melihat wajah cantiknya pada pagi hari di dalam kelas. Entah yang mana hal yang membuatku terus menerus semangat menuju sekolahku dan giat belajar.

Ujian kenaikan kelas pun sudah kulalui, dan semua itu kulalui tanpa hambatan berbekal ilmu pengetahuan yang kudapat dari bimbinganku dengan Hilwa kala itu. Dan akupun naik ke kelas tiga.

Aku dan Hilwa masih diam tak menyapa, hal itu membuatku semakin dipenuhi rasa sesal. Ingin sekali kusampaikan rasa terima kasihku atas jasanya hingga aku bisa naik kelas. Namun lidahku begitu kelu, jempolku tak bertenaga walau hanya mengetik baris kata melalui chat pribadi.

Tiga bulan kulalui menjadi siswa kelas tiga. Satu persatu seisi sekolahku kembali menanamkan kepercayaan mereka terhadapku lewat perubahan yang signifikan terjadi padaku. Persetan dengan itu. Aku tak peduli kepercayaan mereka, aku ingin kepercayaan Hilwa!

Dua hari sebelum menginjak bulan ke empat, aku memberanikan diri. Dia berada di kelas yang berbeda, tapi letak kelasnya tepat di samping kelasku, saat bel tanda istirahat berbunyi, aku cepat cepat menuju ke depan kelasnya, menunggunya keluar. Dan saat ia melangkah keluar kelas dan melihatku, ia mempercepat langkahnya menjauhiku, akupun berjalan cepat guna mensejajarkanku disampingnya,

"Wa! Hilwa! Tunggu!" Hilwa melangkahkan kakinya lebih cepat, berusaha menjauhiku, akupun berusaha tetap bersejajar sambil menahannya untuk mau mendengarkanku

Lalu dia berhenti. Aku bergerak ke hadapannya,

"Masih marah?" tanyaku

"...."

"Maafin gua. Plis. Gua tau gua salah, tapi tolong maafin gue."

"...."

"Dimaafin nggak?"

"..."

Hilwa tak bergeming, tetap menunduk menatap lantai.

Kurasakan deru nafas yang memburu, seperti nafas orang yang menahan amarah.

"Jawab hilwa," ucapku pelan memelas sebuah maaf.

"...."

"Yaudah kalau gak dimaafin. Tapi, makasih udah buat gue berubah." ucapku

"....Udah?" Hilwa menggumam singkat, kini aku yang dibuat bingung

"Kalau udah, bisa minggir? Gue mau lewat." tanya Hilwa lalu menatapku, tatapan yang tajam, tepat menatap mataku. Seketika lidahku kelu, tak lagi mengeluarkan apa - apa hanya memandangnya, kualihkan pandanganku ke arah lain, tak kuasa menatap matanya yang sebegitu menusuknya hingga ke otak dan... Hatiku. Entah bagaimana hatiku seperti tersayat tipis - tipis.

Kemudian Hilwa berjalan kesamping dan melewatiku, mataku mengekor tubuhnya yang berjalan disampingku, tetapi tiba - tiba dia berhenti dan mengucapkan kata sambil tetap memunggungiku, sebuah kata yang membuatku menyunggingkan senyumku. Senyum kelegaan. Senyum bahagia, mungkin?

"Nanti mau masak Rawon, kalo mau nyobain... Ke rumah aja." gumamnya pelan namun terdengar olehku.

"Pasti." kataku pelan namun mungkin tak terdengar karna setelah Hilwa mengucapkan itu, dia cepat - cepat pergi berlalu meninggalkanku dengan senyum yang kurasa semakin mengembang.

Saya rasa



Saya jatuh cinta



Dan



Saya rasa



Cinta itu tertuju



Ke arahmu.


bersambung.
 
Pertamax kah?

Hilwa sudah memaafkan nih ceritanya?
Gak ngasih syarat apa-apa?
BTW Thx updatenya om
 
ikutan baca ceritanya om
thx ya
 
enaknya gunain kata "aku-kamu" atau "gue-elo" dalam point of view karakter? aduh gue bingung dan plinplan nih haha
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Part 2; "Not Give Up" Is My Middle Name

Leo


"Oi, Bang, duluan yak!" teriakku kepada salah satu temanku di tempatku berlatih Muay Thai ini di parkiran lalu menjalankan motorku menuju ke Indomaret Point di daerah Kemang untuk menemui seseorang, tadinya mau izin pulang dulu, cuma karna jarak rumah dan IDM Point yang lumayan jauh, kuurungkan niatku, untungnya sih deket dari tempat latihan Muay Thaiku ini. Sesampainya disana, aku membeli sebotol minuman rasa jeruk dan menuju ke lantai dua, tidak ramai, tidak sepi, ya biasa - biasa saja lah, mataku celingak - celinguk mencari sosok wanita yang janjian denganku

"Mbon!" suara wanita setengah berteriak memanggil sapaan masa kecil nya untukku ke arahku

Aku menolehkan ke arah suara di ujung sana, tersenyum ramah dan menuju kesana.

"Teteh!"

Wanita yang kupanggil Teteh itu berdiri dari kursinya, merentangkan tangannya, aku menghambur ke dalam peluknya.

"Teh Ara udah dari tadi ya? Maaf ya lama, hehe," maafku lalu menarik salah satu kursi di dekatnya setelah mencium tangan nya dan ia mencium pipi kiri dan kananku, seperti yang selalu kami lakukan ketika bertemu.

Teh Ara atau nama lengkapnya Mekarila Clara Widyanti, ini anak dari Kakak Kandung Ibuku, usianya dua tahun diatasku. Kami sangat dekat sejak dulu karena rumah Tante Marni, Ibu Teh Ara, persis berada di samping rumahku, mereka berada disana semenjak aku belum lahir. Namun ketika aku kelas sepuluh sma, Tante Marni bercerai dengan suaminya dan pindah ke kota asal, Bandung, karena rumah itu memang atas nama suaminya.

Dulu, saat kami masih anak - anak, dia sama nakalnya sepertiku, tomboy, sangat tomboy, berbeda dengan gayanya yang sekarang. Akupun baru menyadarinya belum lama ini, menyadari bahwa kakak sepupuku ini begitu cantik dengan perawakan khas wanita sunda yang diturunkan oleh tanteku itu.

"Baru lima menitan kok, hehe apa kabar Mbon? Rapihan ya sekarang, haha." tanya Teh Ara, lalu membuka bungkus snack dan menyemilnya hingga terdengar 'Kriuk-kriuk' suara kunyahannya.

Sejak dulu Teh Ara memang selalu memanggilku dengan sebutan Ambon atau Mbon saja, itu karena dulu tampangku persis seperti orang Ambon walau kulitku tak legam, padahal aku asli sumatera. Memang kurang ajar sepupuku yang satu ini.

"Baik, Teh. Teh Ara gimana? Bandung masih dingin? Dari dulu juga rapih, woi!"

Kamipun meluapkan rindu sekian tahun tak bertemu melalui candaan - candaan dan obrolan mengenai masa - masa semenjak kami masih tinggal berdekatan,

"Pacar lu mana, btw? Nggak diajak?" tanya Teh Ara saat aku tiba dari lantai satu dan membeli beberapa minuman dan dua buah spaghetti instant yang dijual.

Logat sunda kini kental terdengar dari suaranya, berbeda dengan dulu. Ya walau ciri khas wajah cewek sundanya sudah terlihat sejak kecil.

"Gak punya, jangan ngeledek napa!" jawabku merengut,

"Yakali? Ganteng doang tapi ga punya pacar mah buat apa~" ledeknya lalu meraih seluruh rambut panjangnya ke atas dan mengikatnya, menampakan tato - tato berwarna di lengan kirinya, berbanding terbalik dengan lengan kanan nya yang polos dan tetap menampakan kulit putih bersih khas mojang priangan, satu tato berukuran kecil juga terlihat di leher bagian kanan nya, logo mawar berwarna merah kecil yang dibuat dengan gaya geometris terlihat sangat pas di leher nya yang jenjang dan bentuk rahang yang tirus itu.

'Untung Sodara,' batinku bersungut mendengar ledekannya

"Ya elu, emang udah punya pacar?" tanyaku

Dia tersenyum lalu menunjukan jari manis di tangan kanannya.

"Widiiiihh! Sama siapa?" tanyaku antusias

"Baru tunangan kok, tapi niatnya sih awal tahun depan nikah ehehehe." ucapnya dengan logat sunda yang khas.

Aku hanya tersenyum - senyum memandangnya,

"Ih eta kunaon senyum - senyum?" gumamnya dengan pandangan penuh selidik dan menudingku dengan menunjuku dengan telunjuknya dengan gaya yang lucu

"Ya kan keingetan gitu aja, ga salah dong?" tanyaku sambil terkekeh

"Kan, pasti deh. Males ah!" sungutnya berpura - pura, namun ia tetap tak bisa menyembunyikan rona merah yang muncul di kedua pipinya.

"Lagian, cowok mana yang bisa lupa sama siapa keperjak-" kata - kataku terputus

"Stooop!" kata nya setengah berteriak lalu menutup mulutku, mencegahku meneruskan kata - kataku.

Bukannya diam, aku hanya menjulurkan lidahku, menjilat jemarinya yang menutupi mulutku.

"Ih-ih! Jorok! Huh,"

***

"Kejar, Mbon! Keburu diambil bocah laen!" suara bocah perempuan berambut bondol yang mengenakan celana panjang dan baju berlengan panjang, topi yang dikenakan terbalik,

"Iyaaaa!" jawab anak laki - laki disampingnya yang juga mengayuh sepedanya dengan kecepatan penuh

'Sreeet' decit ban yang di hasilkan kedua sepeda itu saat berbelok ke gang di sebelah kiri mereka bak adegan balapan motor di televisi.

"Dikit lagi, Mbon! Tuh disitu" kata anak gadis berusia 11 tahun itu, dandanan seperti bocah lelakinya tak menutupi wajah manisnya

"Iya, Teh!" jawab anak lelaki yang dipanggil Mbon itu

Tak lama, layangan yang mereka kejar menuntun mereka ke sebuah pohon yang tak terlalu tinggi namun memiliki dedaunan dan ranting yang banyak.

Dua bocah lain tak lama juga sampai disana, sebelum gadis tomboy dan temannya itu memanjat pohon dimana layangan yang dikejarnya tersangkut disana.

Gadis tomboy dan anak laki - laki yang sepertinya adalah saudaranya itu berpandangan sesaat lalu melempar pandangan mereka ke arah dua bocah laki - laki di depannya, tatapan sinis kedua bocah laki - laki di depannya itu dibalas tak kalah sinis oleh anak gadis tomboy dan saudaranya

"Gimana nih Teh?" bisik anak laki - laki itu

"Tunggu aba - aba gua yak," balas gadis tomboy itu juga berbisik namun tak melepaskan pandangan kesiagaan nya terhadap dua bocah lelaki di depannya

1

2

3

"Panjat! Ambil layangannya!" ucap Ara yang lalu berlari kedepan, menghadang dua bocah laki - laki di depannya

Leo kecil begitu lincah berlari ke arah pohon mendengar aba - aba saudarinya yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri, Ara dengan susah payah menghadang kedua bocah di depannya ini, namun apalah daya seorang anak gadis melawan dua anak laki - laki yang seusianya. Maka salah satu bocah lelaki yang dihadangnya pun lolos dan secepat kilat berlari menuju pohon itu untuk juga memanjatnya

Leo dan bocah yang lolos dari hadangan Ara itu sampai bersamaan di pohon itu, Leo menatap mata bocah itu penuh kesinisan, bocah itupun menatapnya tak kalah sinis, lalu dengan gerakan cepat mereka berdua bergerak memanjat pohon itu hampir bersamaan. Seperti perlombaan dengan hadiah puluhan juta, mereka mengerahkan segenap tenaga. Namun, begitulah anak kecil, persaingan adalah kompetisi, dan kompetisi adalah tantangan. Dan itu adalah hal yang mereka suka. Setidaknya, itulah Ara dan Leo saat itu.

*****

"Huhuhu, adu-duh aduhhh, sakit Teh!" Leo kecil tersedu - sedu menerima kapas yang sudah dilumuri obat merah di lututnya, di dekapannya sebuah layangan yang sedikit robek di bagian sisi atas nya

"Tahan, elah. Cowok lemah amat!" ucap Ara, "Lagian kenapa pake loncat segala, kalo udah dapet layangannya ya turun aja lagi, tapi kan gak usah loncat juga!" coletahnya memarahi Leo

"Hehehe, reflek Teh, reflek." kekeh Leo menyadari kebodohannya,

*****



Namun lambat laun penampilan Ara berubah, apalagi saat dia memasuki masa SMP, Leo yang kala itu masih SD menyadari perubahan Tetehnya itu. Namun sikap nya tak banyak berubah, kebiasaan tomboy sepertinya agak sulit untuk dihilangkan. Namun walau begitu, tetap tak bisa menutupi bahwa sebenarnya Ara adalah gadis yang sangat - sangat cantik. Dan Leo menyadari itu. Leo yang sudah 'dicekoki' pergaulan - pergaulan yang tak sepantasnya ia terima di sekolahnya pun, baru menyadari bahwa Tetehnya ini sebenarnya sangat - sangat nafsuin. Maka tak ayal, urutan pertama fantasinya saat mengocok kini adalah Tetehnya itu, tentu saja tanpa diketahui oleh Ara.

Sejauh ini yang dilakukan Leo hanya sebatas membayangkan saja dikala ia sedang meloco, namun yang namanya bocah, dicekoki hal - hal dewasa, dan rasa penasaran, membuatnya tak puas jika hanya bersenggama dengan jemarinya sendiri. Apalagi yang menjadi fantasinya saat ini, tepat terlelap disampingnya.

Ya, salah satu kebiasaan yang tak pernah berubah adalah tidur bareng mereka. Sejak kecil mereka selalu tidur bersama, entah itu di kamar dan dirumah Ara yang tepat disamping rumah Leo, atau sebaliknya. Dan orang tua Ara maupun orang tua Leo tentu tak berpikiran aneh - aneh karena memang saat itu Leo dan Ara masih anak - anak, hingga sudah beranjak remaja pun mereka tetap dibiarkan bebas.

Saat itu Ara tengah terlelap setelah sejam yang lalu sampai di rumah sepulangnya dari sekolahnya, dilihatnya Leo sudah terbaring di kamarnya. Setelah mengganti pakaian dengan kaus ketat dan celana pendek berbahan kain yang biasa ia kenakan jika ingin tidur, ia menghempaskan tubuhnya ke atas kasur memeluk Leo yang membelakanginya menjadikan tubuh anak lelaki itu sebagai guling. Lelah karena kegiatan ekskul yang cukup menguras tenaga, membuatnya terlelap dengan cepat, berbanding terbalik dengan Leo yang perlahan menyadari seseorang tengah memeluknya

"Anjrot..." gumam Leo pelan lalu membalik tubuhnya ke arah Ara

*****

"Tapi suwer, lo beda banget sekarang, Mbon." kata Teh Ara memanggilku dengan sebutan yang dulu sering ia gunakan kepadaku sambil nyecap espreso yang baru aja dibeli di Point Cafe dilantai satu.

"Ya masa mau gitu - gitu terus?" tanyaku

"Iya tau, tapi dulu itu lo bebal. Siapa sih yang udah bikin lo gini?" tanya nya dengan mata sedikit menyelidik, menatap mataku.

"Nggg..." seketika akupun dibuat bingung

"Lo tau kan, lo gak akan pernah bisa bohong sama gue. Hahaha... Cantik? Anak mana? Satu sekolah?" tanya nya berentet

Akupun menarik nafas dan menghembusnya perlahan

Dia itu...

*****



Beberapa Saat Yang Lalu



Bel tanda berakhirnya kegiatan belajar mengajar sudah berbunyi nyaring, aku yang memang sudah menunggunya, secepat kilat membereskan beberapa buku yang tergeletak diatas meja, memasukannya satu per satu ke dalam ranselku.

Aku masih bertanya - tanya, apa Hilwa sudah memaafkanku? Tadi siang dia mengajakku ke rumahnya, menawariku rawon yang akan dibuatnya, tapi bukan itu, bukan apa yang akan ia masak dan ia tawarkan padaku, dalam benakku, jika dia belum memaafkanku, tentu Hilwa tidak akan menyuruhku ke rumahnya, kan? Segudang tanya membeludak di kepalaku.

Bergegas aku menuju ke kelasnya, dari jendela yang ada di kelasnya terlihat ia sedang bercakap dengan wali kelasnya, lalu pamit menyalami guru setengah baya itu, kemudian melangkah ke pintu keluar kelas, saat melihatku sudah bertengger di depan kelas langkahnya memelan, membuang pandangannya ke arah lain, akupun melangkah ke arahnya,

"Yuk?" kataku pelan

"Hm?" gumamnya bertanya - tanya

"Jadi masakin rawon, kan?" tanyaku, akupun lalu melangkah mendahuluinya tanpa mendengarkan jawabannya, namun sempat sekilas kulihat senyumnya samar berkembang tipis. Dan aku tahu, ia mengikutiku. Entah, kurasa baru kali ini aku merasakan perasaan ini. Bahagia? Padahal aku belum memilikinya, ah, memilikinya? Sejauh itukah keinginanku? Entahlah, namun sesuatu di dalam diriku berkata, aku tak akan rela, 'kehilangannya' lagi.

"Dah siap? Yuk?" tanyaku setelah Hilwa memposisikan duduknya di boncenganku

"Hmm." gumamnya datar seperti mengiyakan, akupun menjalankan motorku, namun sesaat setelah keluar pintu gerbang, seseorang memanggil Hilwa.

"Wa!" seorang cowok memanggilnya, dari seragamnya kutahu orang ini dari sekolah lain

"Leo, bentar, stop dulu, minggir bentar." suruh Hilwa, akupun menepikan motormu tak jauh setelah pintu gerbang sekolah, melewati bocah laki - laki yang kurasa sepantaran kami.

Hilawa lalu turun, dan menuju bocah itu,

"Kenapa, Dam?" tanya Hilwa

"Ini..."

Aku tak mendengar lagi percakapan mereka karena agak privasi, namun dapat kulihat Hilwa tersenyum - senyum menanggapi kata - kata cowok yang tadi dipanggilnya 'Dam' itu.

'Does He gonna be my rival?' batinku

"Yaudah, bye, Adam!" Hilwa pamit lalu bergerak berlari kecil menaiki boncengan motorku,

"Udah?" tanyaku

"Udah, yuk." jawabnya singkat

"Ke Super Indo dulu ya, nggak jadi masak rawon, mau bikin Maccaroni Bolognaise aja."

Aku hanya mendehem menjawabnya, mengarahkan motorku ke arah sebuah pasar swalayan yang tak jauh dari sekolahku.

Dalam perjalanan setelah mengantarnya ke pasar swalayan itu dan menuju rumahnya saat ini, pikiranku dipenuhi perasaan aneh. Penasaran dan sedikit rasa... Cemburu? Ah, yang benar saja? Menatapnya melempar senyum ke cowok lain membuatku, cemburu? Seakut inikah perasaanku?

*****

Maccaroni Bolognaise buatannya enak, sebenarnya. Sangat enak. Namun entah, semua yang masuk ke dalam mulutku terasa hambar, seperti rokok dan segelas kopi yang sedang kucecap saat ini.

"Enak Bolognaise-nya?" tanya nya di sofa seberang sana.

"Enak kok." jawabku datar seraya melempar senyum

"Btw, gue udah dimaafin, nih?" tanyaku kemudian

"Udah belum ya..." ucapnya seperti orang bingung lalu memutar bola matanya.

Kamu kenapa bisa imut gitu sih, Hilwa?

"Serius, ah elah!" ucapku

"Huh, iya - iya!" jawabnya ketus

"Jangan diulang ya," ucapnya lalu mengangkat wajahnya memandangku. Menatapku... Dengan senyumnya.

Seketika itu pula duniaku berputar pelan, seperti sedang di mode slow motion, aku merasa berkali - kali dibuatnya merasa jatuh cinta, lagi dan lagi dan lagi.

Dan lagi lagi, reaksiku hanya melempar pandanganku ke arah lain, sungguh, aku tak sanggup menahan kegugupan itu, kurasa mukaku seperti memerah terbakar. Dan, sungguh, aku baru kali ini merasakannya.

Hey, kemana Leo si pemain kelamin wanita?

Gadis ini, gadis dihadapanku ini, melibas habis tabiat burukku, Leo si bocah bandel, Leo si anu, Leo si ini. Sudah sekian lama tak lagi kudengar cemoohan negatif itu. Karena siapa? Dia! Gadis cantik dengan sorot mata teduh namun tajam ini. Gadis dengan wajah kearab-araban ini. Iya, karena dia!

"Ma-makasih..." ucapku terbata.

"Oh ya, boleh nanya?" lanjutku lalu meminum habis kopiku

"Tanya apa, Leo?" tanya nya, mata bulatnya memperhatikan gerak tanganku yang memegang cangkirku, bukan dengan pandangan yang was - was, namun dengan pandangan yang seperti bertanya "Mau dibikinin kopi lagi?"

"Itu... Cowok yang tadi di depan gerbang, siapa?" tanyaku lalu memandangnya

Ia mengalihkan pandangannya ke arahku, menatap mataku, "Hmm, emang kenapa?" Hilwa balik bertanya

"Ya... Hmm... Ya, gapapa. Cuma nanya aja, kok." jawabku

"Yakin cuma nanya?" ia bertanya dengan pandangan yang ia buat - buat seperti menyelidik

"E-eh, i-iya cuma nanya a-aja, suwer!" jawabku terbata, kenapa jadi aku yang tergugup begini...

"Haha, temen kok... Temen deket." jawabnya pelan

Temen deket?

"Sedeket apa?" tanyaku tiba - tiba.

"Gak deket - deket banget kok..." lalu ia menceritakan bagaimana Hilwa bisa bertemu dengannya mulai dari acara cerdas cermat, dompet hilang dan... berkenalan dengan orangtua dan adik si cowok itu.

"Jadi, lo udah kerumah dia?" tanyaku, ada sedikit sayatan yang kurasakan di dasar hatiku

"Hmm, iya. Hehe." jawabnya

"Adiknya seneng banget kalo gue kesitu," lanjutnya

"Hmm, gitu..." gumamku

Seketika suasana menjadi kikuk....

"Ngg, gue gak bisa lama, Wa... Mau ada muay thai terus jemput kakak sepupu." pamitku lalu meraih ranselku

******

Part 2.1; Tsecni

http://www.imagebam.com/image/3b4262923581574
(Teh Ara)

"Terus kalo nyatanya dia udah deket sama cowok lain, lo mau gimana, Mbon?" tanya Teh Ara

"Deket bukan berarti pacaran kan?" tanyaku balik

"Iya sih, tapi kan langkah dia udah jelas di depan lo, si Hilwa - Hilwa itu udah kenal keluarganya, bahkan deket sama adeknya, dan lo, lo udah sampe mana?"

"Kalo cuma sebatas mengagumi, menyayangi dan takut kehilangan ya jangan marah kalau gue bilang kalian cuma cinta monyet yang justru nggak akan ada kesan nya sama sekali nantinya.." lanjut Teh Ara

Sebelum aku bertanya maksutnya, Teh Ara sudah melanjutkan kembali kata - kata nya

"Cinta itu bukan cuma pertautan dua isi hati dan isi kepala satu sama lain, Mbon. Si Adam itu udah selangkah lebih maju dengan ngajak Hilwa ke rumahnya dan kenal keluarganya, bukan selangkah, seratus langkah mungkin; kalau nyatanya Hilwa nyaman berada di lingkungan keluarga Adam - Adam itu, lo bisa apa? Apalagi tadi lo bilang, Adiknya si Adam - Adam itu suka kalo Hilwa ada dirumahnya, dan adeknya selalu minta diajarin masak, itu tandanya gak cuma Adam yang 'ingin' kehadiran Hilwa, tapi juga keluarganya. Dan sebagai perempuan gue tau, keberadaan yang di inginkan itu salah satu dari beberapa alasan kenapa gue harus sama si ini atau si itu. Mungkin lo pikir itu sepele, tapi justru dari situ cewek merasa sangat di sayang, nggak cuma sama Adam, tapi sama keluarganya juga...."

"Dan kalau Hilwa udah merasa ada di tempat yang 'cocok', dia nggak akan nyari tempat lagi, gue pun akan kayak gitu. Paham kan, maksut gue?" tanya Teh Ara

"Merasa di inginkan kehadiran nya itu salah satu alaaan kenapa cewek bisa gampang luluh, apalagi, yang menginginkan keberadaan dia bukan cuma Adam itu, tapi keluarganya juga. Nah, kalo udah kayak gitu, ngga ada alasan dia buat pindah ke zona lain..."

"Hilwa, dari foto dia yang tadi gue luat dari hape lo, cantik banget, dan dia jago masak, padahal masih sekolah. Keluarga mana yang bakal nolak kehadiran cewek kayak gitu?"

Aku hanya mengangguk, menelaah setiap kata - kata yang keluar barusan dari mulut Teh Ara

"Tapi ya gue mau bawa Hilwa kerumah juga kan gak akan pernah bisa ketemu Papa sama Mama, lo taulah sibuknya kayak apa tuh dua orang itu?" ucapku

Teh Ara terkekeh lalu mengacak - acak rambutku

"Nggak gitu juga, Mbon!" ucap Teh Ara gemas

"Lo nggak perlu juga deketin keluarga lo ke dia dengan bawa dia ke rumah, ada saatnya..."

"Sekarang anggaplah dia udah kenal sama keluarga lo, sama kita, sama gue, Om Rikson dan Tante Murni..."

"Emang dia bakal cocok? Bakal nyaman? Kita kan gak tau?"

"Apalagi Om Rikson, bokap lu, mana bisa dia langsung ramah sama orang asing, sama nyokap gua aja kadang masih kurang ramah kan?"

"Bakal ada perbandingan, Mbon."

"Dihindari atau enggak, sadar atau enggak, pasti dia ngebandingin"

"Manusia."

"Sama seperti lo membandingkan tongkrongan yang ini, dan yang itu..."

"Atau misalnya baju, lo akan membandingkan yang udah ada, dan yang baru..."

"Cari hal yang dia suka, masuk dari situ, sayangku..." ucap Teh Ara lalu membelai halus rambutku, kemudian mengacak - acaknya lagi

"Dah ah, udah sore bangt nih, Kangen sama bokap sama nyokap lu, yuk balik!" ajaknya lalu merapihkan beberapa barangnya yang tergeletak di atas meja, memasukannya ke dalam tas jinjingnya.

Apa yang Hilwa suka?

Memasak? Tentu aku tidak akan berencana untuk ujug - ujug memintanya dimasaki ini atau itu, atau tiba - tiba menjadi tertarik untuk diajari memasak? Menghadapi dapur dan segala tetek bengeknya? Tidak - tidak.

Ah ya, Rere, teman dekat Hilwa sedari awal masuk ke sekolah.

Hahaha.

This gonna be fun!

*******



"Terus lo kapan balik ke Bandung lagi, Teh?"

"Gaktau, Farhan kepinginnya gue tinggal di Jakarta aja, capek bolak balik Jakarta - Bandung katany." kemudian Teh Ara menghempaskan badannya ke atas kasur kamar tidurku dan Farhan adalah nama tunangannya

"Kagak bisa ganti baju dulu apa nih anak," ucapku

"Yaelah, kayak kuman gua banyak aja tai." balas Teh Ara

"Bodo ah, ganti baju dulu kek."

"Mager. Dulu - dulu juga balik sekolah kalo ke kamar lu kaga pernah ganti baju dulu segala."

"Yee kan beda. Au ah. Serah."

"Idih ngambek. Haha. Yaudah iya bentar ganti baju nih. Lo keluar dulu lah."

Akupun keluar kamar. Heran, padahal dulu justru aku sering menggumulinya, tapi masih aja disuruh keluar kalau dia mau ganti baju.

Lalu menuju ke arah dapur, menyeduh dua cangkir kopi. Satu kopi hitam, satu kopi susu.

"Dah belom?" ucapku setengah berteriak dari luar kamar.

"Dah." jawab Teh Ara dari dalam.

Akupun masuk dengan membuka knop pintu menggunakan siku, karena kedua telapak tanganku sibuk memegang dua cangkir kopi.

"Wih, tumben lu bikinin gua kopi!" kata Teh Ara lalu menyambut kopi susu yang kusodorkan

"Makasih yaa Ambonku sayang, btw, gitar mana, mainin dong..."

"Diruang tamu," jawabku datar

"Ambil, bawa sini, mainin, hehe"

"Yailah, baru juga dari bawah, ambil ndiri sana."

"Haha, iya iya, ambekan dasar." ucapnya setelah menyecap kopi lalu menaruh cangkirnya di atas meja disamping kasur tidurku."

Tak lama Teh Ara kembali ke kamarku dengan menenteng gitar klasik berwarna hitam legam, dan menyodorkan gitar itu kearahku

"Udah lama gak denger lo nyanyi,"

Aku tak menanggapi ucapannya dan tetap fokus menyetem gitarku,

Setelah tersetem, akupun mulai memetik senar - senar gitarku, lantunan lagu yang diciptakan sebuah band yang tenar pada periode tahun sembilan puluhan berjudul Don't Go Away pun keluar dari mulutku.

Setelah Iris nya Goo Goo Dolls, Teh Ara selalu suka bila aku menyanyikan lagu ini.

"Gue heran Mbon, ama elu..."

"Suara lu bagus. Khas orang ambon banget lah. Tapi dari dulu kayaknya males banget ikut ajang - ajang pencarian bakat di tv - tv itu..."

"Bagus dari mana nya sih anjir." ucapku, lalu Teh Ara beringsut duduk di atas karpet disampingku

"Gausah sok ngerendah tai. Asbak mana," aku hanya menunjuk ke atas meja disamping kasurku menggunakan mataku sambil terus bernyanyi

"Tar malem jalan yuk."

"Kemana?" tanyaku lalu membakar sebatang rokok

"Kemana kek, yuk."

"Mager ah, besok kan gua sekolah Teh."

"Sejak kapan lu mikirin sekolah?"

Aku hanya terkekeh,

"Yaudah saliman ama orang tua aja, yuk. Lo ga suka kan kalo mabok botolan gitu." saliman sama orang tua adalah istilah yang selalu ia gunakan untuk minum anggur merah, ngamer lah bahasa gaulnya.

"Itumah sama aja begadang namanya. Lo kan tau gue ga cukup seplastik."

"Yaudah, ngapain ya?"

"...."

"Malah diem."

"Ya terus?"

"Hmm, ngentot aja yuk."

Ucapan itu seketika membuatku melongo selama beberapa detik, tanpa menjawab ajakannya, aku menyenderkan gitarku di depan pintu lemari pakaianku, lalu bangkit secepat kilat menuju pintu kamarku, menutupnya dan...

'Cklek.'

Menguncinya.

"Auw!" pekiknya pelan saat ku terkam dan kuangkat tubuh ramping sepupuku itu.

"Giliran ngentot aja cepet lu..." gumamnya saat kudaratkan tubuh rampinf sepupuku itu

Lalu dengan semangat 45, kupagut bibir Teh Ara lembut setelah kutindih tubuhnya.

"Hh... Jangan disitu... Aaah... Geli." desah Teh Ara saat bibirku menyapu leher bagian sampingnya, ku kecup-jilat leher putih itu dengan sangat bernafsu.

Kemudian Teh Ara menarik ujung bawah kaosku, menariknya ke atas dan melempar bajuku itu entah kemana

Akupun berinisiatif untuk melakukan hal yang sama, kutarik ke atas tanktopnya, namun hanya sampai ke bagian atas dadanya, karena ia buru - buru memagutku kembali.

Namun tak lama kemudian, aku segera menarik lepas celana pendek dan celana dalam yang ia kenakan

Perlahan tapi pasti, kecupan dan jilatanku bergerak turun, menuju buah dada sekal sepupuku itu, lidahku bergerak bebas mengitari puting mungil coklat mudanya, tangan kananku kuarahkan menuju lembah nikmat merekah yang berada diantara dua batang paha mulusnya

"Ngh..."

Pertama aku hanya mencuil - cuil klitorisnya, sambil tangan kiriku bergerak meremas payudara kirinya dengan ritme stabil namun anarkis. Nah, loh.

Tak lama kemudian, jari telunjuk dan tengahku, kumasukan ke dalam vagina berbulu tipis nan unyu itu, awalnya kugerakan perlahan namun semakin lama - semakin cepat.

"Aah... Mbon..."

Eeangan dan desahan Tetehlu itu terdengar semakin lama semakin memburu seiring irama maju mundur jemariku yang terdampar di dalam liang nikmatnya, tak habis akal, wajahku kuarahkan kebawah sana, berhenti sebentar di pusarnya, lalu melanjutkan perjalanan antar kota ke klitoris mungilnya, wangi khas vaginanya yang sedikit banyak masih tersimpan di memoriku kini kembali mengusik sedap di hidungku. Aku rindu bau ini.

"Yaah... Terus... Haduh ini kenapa enak banget sih... Ahh..." Tetehku meracau keenakan tatkala bucatnya hampir kesampaian.

Maka kunaikan tempo kocokan jariku, jilatan lidahku, dan remasan tangan kiriku di payudaranya

"Aaaah!"

Badan ramping Teh Ara mengejang lucu beberapa saat, lalu kaku.

"Aah... Gila..."

"Hnn?" gumamku yang masih menyeruput air mancur cinta yang keluar dari kelamin Tetehku itu.

"Gila ya... Coba Aan mainya kayak elo."

Oke, Aan mungkin panggilan dari pacarnya yang bernama Farhan itu.

"Gantian Teh, hehe..." akupun beringsut terlentang di sampingnya, Tetehku yang tanggap dan cerdas memuaskan birahiku itu lantas menarik turun celanaku hingga kini kita berdua lengkap berbugil ria.

"Duh, Robert kangen ya sama akuu..." celotehnya berbicara dengan kontolku

"Sejak kapan peler gue lu namain Robert?"

"Bacot."

Lalu perlahan Teh Ara mengocok penisku yang sudah sedari tadi menegang dengan gagah.

Shit. Enak banget.

Dijilatinya lubang mini diujung kontolku itu, lalu jilatannya memutari kepala kontolku, lalu hinggap lagi di lubangnya, lalu memutar lagi, dan tak lama... Hap!

Setengah kontol berukuran standarku itu dilumatnya.

"An... Jinghh..." umpat dan desahku bersamaan.

Ia lakukan dengan sambil menatapku, perlahan gerakan maju mundur kepalanya mulai kurasakan. Dengan ritme 212; dua kali maju mundur, satu kali hisap, dua kali maju mundur. Kemudian dengan gemas, Teh Ara menjilati buah zakarku dengan lidahnya, mengulum sedikit dan menggigit lucu kantong maniku itu.

"Dah... Udaah... Nanti keluar..." ucapku memohon agar ia tidak melanjutkan aksinya itu, kemudian ia bergerak akan menunggangi kontolku.

Kini diatasku, dengan penisku yang masih di genggamnya, ia arahkan tongkat saktiku itu ke dalam kemaluannya, perlahan - lahan.

"Enghhh..."

"Haaah..."

Lenguh dan desah pelan kami bersahutan lucu.

Setelah keseluruhan batang penisku dilahap memeknya, perlahan namun pasti, ia gerakan pinggulnya

"Ahh..." desahnya

Entahlah mungkin ini hanya perasaanku, tapi kurasa kelamin Tetehku ini lebih mencengkram dibanding dulu. Atau memang Teh Ara udah mempelajari tehnik yang bisa mencekik - cekik gitu, kali ya? Tapi persetan lah, ini enak banget. Nggak bohong.

'Plok! Plok!' suara tumbukan yang dihasilkan oleh selangkangannya dan selangkanganku terdengar semakin nyaring seiring tempo kecepatannya menaik dengan drastis.

Akupun menarik tubuhnya ke arahku, lagi dan lagi, sasaran utamaku adalah lehernya yang bertato itu. Kujilati leher itu dengan bernafsu, telingakupun tak luput dari sasaran pagutannya

"Aih! Aah... Ahs..." desah-desisnya terdengar semakin memburu, kurasa orgasme keduanya sudah mendekat, akupun berinisiatif juga menggerakan pinggulku ke atas ketika pinggulnya bergerak turun,

"Plok! Plok!" bunyi pertumbukan itu semakin cepat, dan cepat, dan....

"AHHH!" desahnya ketika orgasme datang kembali menyapa, dan hasilnya adalah cengkraman vaginanya mengerat, yang membuatku tak dapat menahan lagi.

"Isep, gua mau keluar!" gumamku

Iapun secepat kilat beringsut turun, melahap kembali kontolku sambil mengocoknya,

"Arghh!" desahku seiring mani - mani unyu yang meluncur deras masuk ke dalam mulutnya...

*****
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd