Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Tawaran Kehangatan dari Istri Kakak Ipar

IX. Lapangan Terbang​

Karena jarum jam hampir menunjuk ke angka setengah empat, maka dengan terburu-buru aku melangkah menelusuri jerambah, titian jalan dari kayu yang menghubungkan antar rumah sebagai sarana jalan di daerah kami yang berada di daerah aliran sungai, menuju bagian belakang rumah sang kekasih. Aku ingat, tadi sore, aku sudah berjanji datang untuk menyatukan diri di atas tempat tidurnya, tapi keinginan tak sesuai dengan kenyataan.

Setiba di belakang rumahnya, seperti biasa, aku mendorong pintu itu dan terbuka. Dengan cepat aku menyelinap masuk dan menutup kembali pintu.

Belum sempat aku melangkah keluar dari dapur, lampu ruang belakang menyala terang. Kulihat istri kakak iparku berdiri di depan pintu kamarnya. Bibirnya manyun, tapi tetap cantik. Maka, aku dekati dia dan coba memeluknya, tapi dia bergerak menghindar. Tatkala aku raih tangannya, ditampiknya tanganku. Wajahnya cemberut, tapi tetap cantik.

"Eceu marah?”Aku coba membuka pembicaraan.

Tidak ada jawaban. Perempuan mungil itu masih berdiri bersidekap, menjaga jarak denganku. Wajahnya tanpa senyum, tapi tetap cantik.

“Maaf, Ceu. Aku ketiduran. Capek sekali.”

“Capek melayani Juju?”Ada nada cemburu di suaranya.

Juju adalah istriku, adik kedua dari suami Eceu, kekasihku, istri kakak iparku. Atas kebaikan hati suami Eceu, kami dipersilakan untuk membangun rumah di tanah milik mereka, sehingga akhirnya aku bertetangga dengan istri kakak iparku itu dan akhirnya menjadi sepasang kekasih.

“Si Cecep sakit. Dia minta ditemani tidur. Kalau tidak percaya, Eceu tanya langsung sama Juju,"yakinku.

Ada perubahan di wajah itu. Maka segera kulancarkan rayuan khas lelaki bila menginginkan sesuatu.“Yakinlah. Eceu tetap yang pertama untukku. Bagiku Eceu tuh perempuan terbaik di dunia ini. Lihat saja aku datang, kan?”

Ada kebimbangan di wajahnya. Maka secepatnya rayuan aku hamburkan, “Aku sayang Eceu.”

Dapat kurasakan kalimat sakti itu membawa perubahan. Kuulurkan tangan untuk meraih tangannya. Istri kakak iparku hanya diam menatap aku yang mencium lembut tangannya.

Lalu, kutarik ia dalam pelukan. Memeluknya erat-erat dan dengan pelan kubisikan,"Maafkan aku sudah membuat Eceu menunggu."

Maafkan pula aku membohongi Eceu, batinku. Bukan karena Cecep yang sakit. Bukan. Tapi, apa yang diduga istri kakak iparku itu memang benar adanya. Aku memang ketiduran. Aku ketiduran karena kecapekan setelah melayani Juju, istriku. Begini ceritanya: tadi, menjelang tutup warung, Cecep dan mimihnya alias istriku, datang ke warung. Kata istriku, Cecep mau tidur di warung. Meskipun keberatan, aku tidak bisa menolak. Apa kata istriku bila tahu aku melarang mereka tidur di warung gegara aku hendak mengunjungi kakak iparnya. Lagi pula Cecep sudah biasa tidur di sini.

Maka, aku segera menutup warung dengan harapan Cecep segera tidur. Biasanya, setelah Cecep tidur, aku akan membawanya kembali ke rumah. Tempat tidur di warung ini kecil, hanya cukup untuk aku sendiri. Bila Cecep tidur di sini, aku tidak mendapat ruang untuk berbaring, apalagi ditambah Mimihnya.

Segera aku menyuruh isteriku mengajak Cecep berbaring, biar dia cepat tidur, biar aku bisa menepati janjiku datang ke rumah istri kakak iparku untuk menikmati hangat tubuhnya. Membayangkan itu, si otong menggeliat. Maka, aku alihkan pikiranku tentang istri kakak iparku yang pasti sudah bersiap-siap menyambut kedatanganku dengan duduk di kursi di depan tempat uang untuk menghitung pemasukan uang hari ini. Isteriku bernyanyi kecil sembari mengipas-ipaskan koran untuk mengatasi panasnya warung. Dan aku terus menghitung uang. Lumayan pemasukan hari ini.

Selesai aku menyelesaikan menghitung uang, baru aku sadari kalau tidak terdengar lagi suara nyanyian istriku. Saat aku menoleh, kudapati istriku berbaring membelakangiku, memeluk anaknya yang sepertinya sama tertidur. Daster istriku naik meninggi, gagal menutupi pahanya, sehingga celana dalamnya mengintip seksi.

Keindahan yang membuat birahi yang sudah bangkit semakin melonjak. Jantung pun berdegub. Kontolku menggeliat. Jemari ini gatal untuk meremas pantat semok itu. Maka aku bangkit. Aku datangi istriku. Terbangun dia saat aku sentuh pipinya yang penuh. Seraya mengucek-ucek mata, istriku bertanya,"Ada apa, Bang?"

"Geser ke dalam dikit. Nanti jatuh,"alasanku.

Istriku mendorong pelan Cecep lebih ke dalam. Dia bergeser kala aku duduk dipinggir tempat tidur. Menelentang dia dan, dengan koran, dikipas-kipasnya wajahnya.

"Panas malam ini, ya?"Aku hapus keringat yang bertabur di pucuk hidungnya.

Tetap berkipas istriku walaupun tanganku mulai menjamah buah dadanya yang masih berada dibalik dasternya, masih bersembunyi didalam beha.

"Ada Cecep, Bang,"ucapnya tatkala tanganku berusaha masuk ke dalam daster untuk mencapai selangkangannya.

Aku batalkan niatku. Berdiri aku. Kuambil kain sarung yang tergantung di kepala tempat tidur. Dengan kain sarung di tangan, aku tuju bagian depan warung. Dibalik lemari kaca yang penuh berisi barang jualan, aku tebar sarung di lantai. Setelah kuanggap rapi, aku panggil istriku untuk mendekat.

Juju, setelah memasang bantal di sisi-sisi tempat tidur untuk mengantisipasi agar anak kami tidak terguling jatuh, segera mendatangi aku. Melotot matanya mendapati aku yang sudah berbaring polos tanpa pakaian. Kubuka dua tanganku untuk menyambut kedatangannya dalam pelukanku, tetapi, dengan senyum mengembang, istriku berlutut di disampingku, tepat didepan selangkanganku.

"Nakal."Ditepuknya pelan batang kontolku yang berdiri gagah itu.

"Buka dasternya, Ju,"perintahku pada Juju.

Daster pun terlepas. Mataku tertuju ke arah buah dadanya yang sesak memenuhi beha. Sambil tersenyum-senyum, Juju meneruskan membuka behanya dan dua pepaya itu menjatuh di depanku. Puting susunya besar dan panjang dengan lingkaran coklat tua hampir memenuhi buah dadanya. Dia membusungkan dadanya karena dia faham kalau aku, suaminya, menyukai buah dada-buah dada miliknya. Dia goyang-goyangkan buah dada-buah dadanya untuk mengundang tanganku menjamahnya. Tapi, aku mengabaikannya. Aku sentuh celana dalamnya, isyarat aku menginginkan dia cepat telanjang.

Di atas dengkulnya, istriku berdiri dan lalu menurunkan celana dalamnya. Membesar mataku melihat selangkangan yang hitam dipenuhi bulu-bulu jembut itu. Berbeda dengan istri kakak iparku yang rajin merapikan bulu-bulu di kemaluannya, istriku membiarkan bulu-bulu jembutnya memanjang sehingga sering aku tersedak bulu jembutnya saat aku mengoral kemaluannya.

Juju mendekati aku. Digenggamnya kontolku. Istriku mulai mengocoknya. Dielusnya kepala kontolku. Ingat aku dengan janjiku kepada istri kakak iparku untuk mendatanginya, tapi biarlah istri kakak iparku menunggu sebentar. Biar lubang yang ada dihadapanku ini dulu aku manfaatkan. Hihihi...

Ada kehangatan yang aku rasa ketika kontolku dimasukkannya ke dalam mulutnya. Sekujur tubuh aku merinding jadinya begitu mulutnya maju mundur menelan kontolku atau ketika mulai disedot-sedotnya.

Kontolku yang berada dalam mulut itu mulai berdenyut-denyut. Maka, kutahan laju mulutnya dan aku dorong kepalanya menjauh, sehingga kontolku lepas dari mulutnya. Istriku tegak bersimpuh. Dengan telapak tangannya, dia mengelap bibirnya yang basah akibat mengoral kontolku.

Bangun aku dan duduk. Aku beri isyarat pada istriku untuk menaiki aku. Memberat tubuhku saat tubuh semok istriku duduk dipangkuanku. Aku ambil dua pepaya itu dan meremasnya, memainkan puting susunya yang besar dan panjang. Istriku meletakkan dua tangannya ke pundakku, lalu dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Kusambut bibirnya yang mendekat. Seiring kian hangatnya ciuman kami, kepala kami yang menyatu bergerak seirama, begitu pula tangan-tangan kami yang saling meraba areal sensitif di tubuh kami.

Sambil tetap mengulum bibirnya, aku lingkarkan dua tanganku ke tubuh semok itu. Istriku pun melingkarkan tangannya di leherku dan tubuh kami merapat. Buah dadanya yang penuh membusung melekat hangat. Aku alihkan bibirku untuk menciumi lehernya. Terdengar lenguhan istriku.

Kuraih pantat montok istriku yang mendudukiku, menduduki kontolku, lalu aku gerakkan pantat itu maju mundur dan terkadang memutar. Aku lepaskan ciumanku di lehernya. Kudorong tubuhnya lepas dari pelukanku dan kupandang dia, kuremas buah dadanya. Istriku balas memandang aku, mulutnya membuka memperdengarkan lenguhannya, pantatnya tetap maju mundur, dan aku menikmatinya.

Istriku menghentikan gerakan maju mundur pantatnya. Dia ambil kontolku, lalu ditempelkannya di lubang kemaluannya. Terpejam matanya tatkala pantatnya maju untuk menelan kontolku. Tangan istriku berpegangan di pundakku ketika dia memajumundurkan pantatnya untuk terus menenggelamkan kontolku.

Selama istriku menggagahi aku, jari-jemariku terus bergerilya mengelus sisi-sisi sensitif tubuhnya, meremas buah dada-buah dadanya, membelai bibirnya yang mendesah, menggelitiki dua telinganya, atau meremas pantatnya yang seksi itu.

Kini aku berbaring. Istriku masih menunggangiku. Pantatnya tetap maju mundur menelan kontolku sementara dua tangannya bertumpu di dadaku. Menarik sekali dua buah pepaya miliknya yang bergoyang-goyang indah didepanku itu. Aku raih dan kumainkan puting-puting susunya.

Kontolku kembali berdenyut-denyut. Maka, aku hentikan gerakkan istriku. Berbaring dia dan memeluk aku erat. Detak jantungnya bermain di dadaku. Menempel keringatnya di tubuhku. Aku elus rambut ikalnya, aku elus pula punggungnya yang sama basah untuk terus turun menuju pantat semoknya dan mengelusnya, meremasnya.

Kemudian, kedua belahan pantat itu aku cengkeram. Lenguhan terdengar ketika pantat yang berada dalam genggamanku itu aku putar searah jarum jam dengan kontolku sebagai pusat perputaran. Ketika aku menusuk-nusukkan kontolku di lubang kemaluannya, tubuh istriku mengejang, pantatnya keras melawan tusukan kontolku. Lenguhan pun berganti desahan.

Dengan istriku masih menindihku, aku bangkit dan duduk. Kurebahkan dia di lantai warung yang berselimut sehelai kain sarung. Kubuka dua pahanya yang gemuk melebar. Mataku menatap kelaminnya yang menggunung, area kelamin yang penuh dengan bulu-bulu hitam ikal. Tersentak istriku ketika aku sentuh area sensitif itu. Aku kuakkan labia mayoranya sehingga lubang kemaluannya terlihat dan aku tempelkan kepala kontolku. Terangkat pantat itu, membuat kepala kontolku terperosok masuk. Melenguh istriku.

Pinggangnya aku pegang, lalu dengan pelan-pelan aku tusukkan lebih dalam kontolku. Sambil memajumundurkan kontolku, aku remas buah dada montoknya. Megap-megap istriku dan aku terus saja menyetubuhinya. Terbakar birahi ini melihat wajah memelas istriku karena sodokan kontolku di lubang kemaluannya. Wajah itu penuh dengan keringat.

Saat kontolku kembali berdenyut, aku tindih dua pahanya. Aku percepat seranganku pada lubang kemaluannya yang membuat istri bergerak liar. Karena denyutan di kontolku semakin cepat, gerakanku pun menjadi sama liar. Napasku bersaing dengan desahannya.

Tubuhku menegang. Kunikmati irama aliran sperma didalam batang kontolku. Akhirnya, beberapa kali spermaku menyemprot untuk mengisi lubang kemaluan istriku. Warung menjadi hening. Hanya terdengar deru nafas kami yang berlomba.

Setelah sperma berhenti memancar, kontolku aku cabut dan aku duduk bersimpuh di antara dua kakinya yang masih membuka lebar. Ada cairan putih keluar dari lubang kemaluannya. Istriku mengambil dasternya untuk mengelap tubuhnya yang basah. Aku pun membantunya untuk mengelap buah dadanya. Terkikik dia karena aku menggelitiki puting susunya.

Duduk istriku. Sekarang dia yang mengelapi tubuhku. Kumajukan kontolku agar dia juga mengeringkannya. Istriku hanya tertawa, tapi tidak menyentuhnya. Lalu, bibir kami kembali bertemu. Terputus-putus ciuman kami, tapi menggairahkan. Dileletkannya lidahnya dan aku sambut. Lidahnya aku sedot masuk ke dalam mulutku, bermain-main dengan lidahku dan kembali lidah kami saling mengulum. Berulang-ulang.

Istriku menarik lepas bibirku."Panas."

Aku ambil kardus kosong dari dalam lemari kaca dan aku kipas-kipas ke tubuh istriku. Istriku tertawa manakala aku kipas kemaluannya yang belum tertutup. Lalu, dengan jemarinya, dia menutupi kemaluannya, tapi aku tetap mengipasinya.

"Jangan dikipasi terus, Bang. Itu kan bukan sate,"candanya.

Istriku meminta air minum. Maka aku kembali berdiri. Dengan tubuh telanjang, aku berjalan mendekati tempat tidur karena tempat air minum berada di sana. Cecep masih tertidur. Untung ada kipas angin kecil yang membuatnya tidak kepanasan. Dia kini mengipasi tubuh telanjangnya. Masih ada keringat di beberapa lekuk tubuhnya. Istriku meneguk air dari gelas yang aku berikan. Setelah istriku selesai minum, gantian aku yang menghabiskannya.

"Juju mau tidur di sini atau pulang ke rumah?"tawarku.

"Jam berapa kini?"

Aku menengok jam tanganku."Jam dua belas lewat."

"Pulang saja, ya,"jawab Juju.

Tanpa memperlihatkan rasa gembira, aku berdiri. Tapi, terdengar istriku tawanya.

"Kenapa tertawa?"tanyaku heran."Ada yang lucu?"

"Itu. Burung Abang."Istriku menunjuk ke arah selangkanganku."Loyo."

Kontolku aku pegang dan kuacungkan ke arahnya. Lalu,"Kalau bangun terus, Juju nanti yang kewalahan."

Istriku kembali tertawa. Ditutupnya mulutnya agar tidak terdengar keras. Lalu, setelah tawanya reda, ia berkata,"Iya juga, sih. Kalau bangun terus, pasti Abang minta jatah terus."

Teringat kepada istri kakak iparku yang pasti sudah menunggu kedatanganku, maka kuambil pakaian yang berserak didekat kami. Kami berbagi pakaian dan mengenakannya.

"Behanya tidak usah dipakai, Ju,"cegahku saat istriku mulai menutupi buah dada-buah dada montoknya yang penuh bercak-bercak merah di sekelilingnya.

"Tidak enak, Bang. Risih,"jawabnya, tapi dia membatalkan memasang behanya.

"Kolor juga tidak usah,"kataku lagi manakala kaki kirinya mulai masuk ke celana dalamnya.

"Terus?"Dengan kesal dia menatap aku."Juju tidak boleh pakai baju juga?"

"Kalau baju, diperbolehkan, Sayang,"ucapku dengan nada merayu."Nanti kalau dilihat orang, beruntung sekali orang itu."

Tanpa beha dan celana dalam, Juju mengenakan dasternya. Buah dadanya yang jumbo melorot ke bawah, membentuk dibalik dasternya.

"Tuh, kan, seksi 'kan,"ujarku lagi."Ada pepaya di balik daster Juju."

Tertawa dia. Dadanya dibusungkannya, bangga dengan pujian dariku.

"Mau pulang tidak?"tanyaku.

"Iya."

"Aku bawa Cecep, Juju yang kunci warung,"perintahku sambil mendekati tempat tidur.

Setelah membopong Cecep, kami pun keluar dari warung. Istriku mengunci pintu warung. Lalu, kami berjalan menelusuri jerambah, jalan gantung yang terbuat dari kayu, untuk sampai di rumah.

"Aku didepan, Bang. Takut."Istriku mendahului aku.

"Ada aku, suamimu, kok, masih takut,"ujarku sambil menendang pelan pantat montoknya dengan dengkulku.

"Abang, i-ih..."Istriku mencubit mesra lenganku.

Sambil tertawa aku herucap,"Ayo jalan. Kapan sampai kalau main-main terus."

"Abang tuh yang nakal."Istriku kembali berjalan dan aku mengiringi langkahnya. Pantat montoknya bergoyang ke kiri dan ke kanan.

Akhirnya kami tiba didepan rumah. Rumah sudah gelap ketika istriku membuka pintu. Anak-anak pasti sudah tidur. Pelan kami berjalan menuju kamar tidur yang berada di belakang. Setelah menaruh Cecep di tempat tidur, aku berbaring disampingnya.

"Antar pipis, Bang."Istriku menarik kakiku.

Duduk aku dipinggir tempat tidur."Biasanya juga pipis sendiri."

"Mumpung ada suami di rumah, boleh dong bermanja-manja."Istriku memeluk lenganku. Kenyal buah dadanya menempel, membuat jantung bergetar keras. Si otong pun bangkit kembali, tapi aku mengabaikannya karena ada istri kakak iparku yang menunggu giliran di rumah sebelah. Kalau aku forsir untuk kedua kalinya dengan istriku, aku takut tidak sanggup lagi membangunkan kontolku dihadapan sang kekasih.

"Juju pipis sendirilah. Aku jaga Cecep di sini. Takut bangun dia,"itu alasanku sambil merebahkan diri di tempat tidur, disamping Cecep.

Istriku menghilang dan semua menjadi gelap.

Dimana aku? Bingung aku tatkala pandanganku menggelap. Sambil mengerjap-mengerjapkan mata untuk beradaptasi dengan remangnya suasana, aku coba mengingat-ingat. Ada seseorang berbaring disampingku. Siapa dia?

Akhirnya pikiranku kembali. Ternyata aku masih bersama istriku. Rupanya aku tertidur.

Hei! Bukankah aku harus mengunjungi sang kekasih, istri kakak iparku? Maka, kupaksakan diri ini bangkit. Pelan-pelan aku turun dan menghidupkan lampu.

"Aku harus ke warung, Ju,"ucapku pada istriku yang terbangun.

Juju mengangguk untuk kembali memejamkan mata.

Dan sekarang aku sudah berada di sini, dalam kehangatan pelukan sang kekasih. Aku cium pipinya. Belum sempat aku mengejar bibirnya, perempuan mungil itu mendorong aku menjauh.

“Hampir subuh,"ucap istri kakak iparku.

Kutatap wajahnya tidak mengerti.

“Sebentar lagi subuh,” ucapnya lagi.

Aku tahu kalau waktu subuh sebentar lagi masuk, tapi, masih ada waktu untuk sekedar membuang sperma ke lubang miliknya. Karena itu kutarik dia menuju kamar tidur, tapi istri kakak iparku menahan langkah kakinya.

"Hampir Subuh, Amir,"Dia menolak ajakanku.

Terdiam aku menatap dia yang berdiri di ruang belakang rumahnya. Tapi, tiba-tiba perempuan mungil itu menggelosor di lantai. Duduk dia di lantai kayu. Ditariknya tanganku. Meskipun bingung, akhirnya aku ikut lesehan di lantai.

“Cepat, Amir,”sambil berucap, perempuan mungil itu rebah di lantai dengan tanpa alas. Dasternya ditariknya ke atas sehingga celana dalamnya terlihat. Dua pahanya yang putih susu terlipat, mengangkang.

Mata ini meliar. Spontan mulut ini menuju ke selangkangan itu, hendak mencecapi lubang bersemak itu, seperti yang biasa kulakukan, tapi, tangan istri kakak iparku menahannya, membuat aku menegakkan kembali kepalaku menjauhi selangkangannya.

“Sebentar lagi subuh.”Dengan bergegas dia menarik turun celana dalam yang dia kenakan.

Aku bersimpuh bengong, tidak memahami apa maunya perempuan mungil itu.

"Amir! Hampir Subuh,"suara itu menyadarkan aku.

Begitu istri kakak iparku membuka lebar dua pahanya, sehingga memperlihatkan belahan memanjang yang tertutupi bulu-bulu halus itu, baru faham aku kalau dia ingin secepatnya aku setubuhi. Tidak mau mengecewakannya, maka aku keluarkan kontolku dari dalam celana dalam, lalu aku bergerak masuk di antara dua paha itu. Perempuan mungil itu menyambut kedatanganku. Jemari lentik itu meraih kontolku, mengarahkannya ke lubang miliknya.

Begitu senjataku menempel di lubang kemaluannya, aku pegang dua pahanya, melebarkannya. Pelan-pelan aku majukan pantatku sehingga senjataku masuk ke lubang itu.

"Cepat, Amir,"ujar istri kakak iparku setelah senjataku tertanam dalam.

Kulihat dia menggigit bibirnya, wajahnya meringis karena senjataku yang menusuki kemaluannya. Perlahan aku rasakan gerak kontolku melancar seiring basahnya lubang kemaluan itu. Dua mata itu tertutup. Bibirnya setengah membuka, memperdengarkan irama dengus birahinya, membuat aku tambah semangat menggerakkan kontolku maju mundur, hingga akhirnya sperma muncrat dari kontolku.

Gerakan pantatku melambat hingga akhirnya berhenti dan aku membaringkan diri di atas tubuhnya di antara dua paha yang masih mengangkang. Napas istri kakak iparku yang terengah-engah terasa indah di telingaku.

"Turun, Amir."Tubuhku terdorong turun dari atas tubuhnya.

Terbaring aku di lantai kayu, menatap heran istri kakak iparku yang duduk merapikan dasternya. Dimana kebersamaan kami yang maha singkat tadi?

“Cepat masukkan burungnya,”ujarnya sambil berdiri.“Nanti suamiku datang.”

”Belum puas, Ceu.”Kucengkeram tangannya.

Perempuan mungil itu menarik lepas tangannya.“Salah sendiri kenapa datang terlambat.”

Terburu-buru aku merapikan celanaku karena istri kakak iparku sudah menunggu di pintu keluar. Setiba disampingnya, karena suasana luar rumah masih gelap dan sepi, kubawa dia keluar dari dapurnya dan kubawa dalam dekapan.

Dengan menghindari bibirku yang berusaha mencari bibirnya, istri kakak iparku melepaskan diri dari pelukanku. Lalu,“Pulanglah. Nanti ada yang lihat.”

Aku pun mengalah. Kulepaskan dia, tapi, aku pegang tangannya dan kutatap dia.”Nanti siang jam sepuluh, kutunggu di tempat biasa."

“Cepat! Sudah pengajian,” ujarnya sebab dari kejauhan terdengar lantunan ayat Al Quran.

“Aku tunggu!”Tanpa menunggu persetujuannya, aku menembus gelapnya subuh.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd