Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT TETANGGA PERKASA

Medekati Akhir
_______________





Malam itu Zaid tidak hadir di Masjid. Tubuhnya kurang sehat. Begitu alasan yang dia berikan ketika Kyai Thoriq menelponnya. Anak anak yang terlanjur hadir untuk mengaji akhirnya di handle oleh Latifah.

Tentu bukanlah suatu masalah yang besar bagi Putri Kyai Thoriq itu. Karena jujur saja ilmu agamanya lebih mumpuni jika dibandingkan Zaid yang bukan santri dari pesantren, bukan pula keturunan alim ulama.

Hanya mental untuk berada di garis depan yang belum dimilikinya. Latifah selama ini lebih suka beraksi dibalik layar. Contohnya ketika ada acara acara besar yang digelar di Masjid, tak pernah ada nama Latifah dalam susunan panitia, akan tetapi justru otak dan kecerdasannya lah yang diperas untuk kelancaran acara.

Setelah mandi dan mengoleskan abat merah di beberapa bagian tubuhnya yang tergores, Zaid kemudian duduk termangu di depan sebuah cermin cukup besar yang barusan ditempel ke dinding.

Dengan seksama Zaid memperhatikan wajahnya dari pantulan cermin itu. Ada beberapa bagian yang seperti bergeser...?.

Terutama dibagian bibir yang membengkak. Seperti kulit tipis yang terkelupas. Tapi tidak ada darah yang keluar dari bagian terkelupas itu. Kumis hitam itu berantakan. Dengan sebuah sisir kecil kumis itu dia rapih kan kembali. Begitu juga bulu brewok si pipi, dibagian bawah telinga. Dan rambut gondrongnya seperti sedikit tertarik menceng ke kanan. Pasti karena hantaman Jarot tadi.

Zaid meraih sebuah tube kecil mirip wadah pasta gigi, menekan bagian bawah tutup yang terbuka, kemudian menyentuh isi wadah itu dengan ujung jari telunjuk. Lantas jari itu dielus elus kan dibagian bawah kulit yang seperti terkelupas.

Ajaib... Kulit itu menyatu kembali... Dan penampakan bibir itu kembali rapih, meski bengkak nya belum juga mengempes. Zaid mencoba menggerak gerakkan bibirnya, diperot perotkan kekiri dan kekanan, dan semua terlihat normal sebagaimana bibir pada umumnya.

Setelah dirasa semua aman, Zaid kemudian mengirim beberapa foto yang dia ambil tadi siang didermaga tua, ke sebuah nomor kontak di aplikasi WA nya. Tak lupa beberapa keterangan dia ketikkan dibagian bawah gambar.

Sebuah ikon besar berbentuk jempol sedang mengacung kemudian masuk ke WA nya. Zaid tersenyum lebar tapi kemudian menyeringai dan mendesis ketika merasakan perih di bibirnya.



_____________



Selepas Isya Zaid keluar rumah menuju Masjid. Setelah Menggendong Wildan dengan satu tangan menuntun Jihan, Zaid kemudian menuju rumah Pak Dahlan untuk mengantar kedua kakak beradik itu pulang.

Jarak Masjid dan rumah Pak Dahlan tidak terlalu jauh. Hanya sekitar lima ratus meter. Jalan desa yang di lalui pun cukup terang oleh keberadaan lampu lampu di sepanjang jalan.

Tak berselang lama langkah Zaid yang menggendong Wildan dan Jihan yang menggenggam erat tangan kirinya sudah memasuki halaman rumah Pak Dahlan. Sekilas mata Zaid mencari cari, tapi kemudian dia menghela nafas perih mendapati sepeda motor Amin tidak berada dihalaman rumah.

Mereka sudah keluar, entah kemana.... Hati kecil Zaid berkata.

"Sudah pulang Cu....? ". Tak sempat mengucap salam, Bu Utari sudah menyambut didepan pintu yang sejak tadi terbuka. Tangannya Bermaksud menyambut Wildan yang anteng dalam gendongan Zaid, tapi diurungkan ketika melihat Sang Bocah menggelengkan Kepala.

"Enak digendong Om Zaid...? ". Bu Utari menggoda cucu laki lakinya itu.

"Enak Mbah, kayak digendong Bapak... ". Wildan tertawa kecil dan semakin erat merangkul leher Zaid.

Mendengar itu tak urung Bu Utari tersenyum getir. Mata tuanya berair. Apapun itu, asal kau bahagia cucuku... Lirih nya dalam hati.

"Oh ya, masuk Nak... ". Bu Utari kemudian berucap begitu menyadari Zaid masih berdiri tegak diambang pintu. Sementara Jihan cucu satunya sudah menghilang masuk kerumah.

"Jihan, Om Zaid bikinin kopi, sekalian Mbah lanang mu, dari sore belum ngopi.. ".

"Iya, Mbah.... ". Jihan menyahut dari dalam kamar.

Mendengar suara ribut ribut, Pak Dahlan yang sedari tadi tidur tiduran di sebuah bangku panjang dekat pintu dapur, disamping sebuah lemari kayu tua segera bangkit. Dimatikannya pemutar musik yang melantunkan sebuah tembang pop lawas,

"Nak Zaid to... ".

"Iya Pak, maaf mengganggu... ". Zaid mengangguk hormat dan tersenyum kecil.

"Ooo.. Tentu tidak.. ". Pak Dahlan menirukan iklan di TV dan kemudian tertawa berderai. Mood lelaki tua ini selalu bagus jika bertemu Zaid.

"Oh ya, Ibunya Wildan kemana Pak...? ". Zaid tak tahan untuk tidak bertanya.

" Asty,.. ". Sejenak Pak Dahlan menghentikan ucapannya, sedikit terlihat murung wajahnya.

"Tadi keluar sama temannya, katanya kepasar. Ada yang mau dibeli... ". Pria Tua itu kemudian meneruskan kata, menutupi kenyataan sebenarnya.

"Oh.... ". Pendek saja respon Zaid karena hatinya gelisah sekali saat ini.

Keluar malam malam, sampai sekarang belum pulang, kemana Amin membawa Asty,..?. Apa yang mereka lakukan....?. Beribu pertanyaan memenuhi benak Zaid.

Galau dan Perih hati Zaid saat ini. Bahkan kehadiran Jihan yang menyuguhkan dua gelas kopi untuknya dan untuk Pak Dahlan luput dari perhatian.

"Kopi Om... ". Suara Jihan mengagetkan.

" Oh... Eh.. Iya.. Terimakasih Nak... ".

Menutupi keresahan yang dirasakan, Zaid kemudian mengeluarkan bungkus rokok dan menyalakan sebatang. Asap putih lantas saja membumbung memenuhi ruang tengah. Pak Dahlan beranjak dari bangku, berdiri dan berjalan berlahan mendekati Zaid. Setelah duduk didepan pemuda itu, tangan Pak Dahlan meraih bungkus rokok milik Zaid, dan menarik sebatang. Melihat itu Zaid meraih korek dan membantu menyalakan rokok di bibir keriput Sang Kakek tua.

"Rokokmu enak, gurih... ". Pak Dahlan terkekeh.

"Masih kuat Pak...? ". Zaid menggoda yang membuat tawa Pak Dahlan semakin pecah.

"Ini rokok kegemaran bapak diwaktu muda Nak.. Rindu sekali bapak dengan aroma rokok mahal ini.". Ucap Pak Dahlan sedikit mengenang masa lalu. Zaid hanya tersenyum mendengar itu. Dia tak mau tertawa lagi, bibirnya perih sekali.

Satu setengah jam kemudian, setelah dirasa malam Sudah cukup larut, Zaid berpamitan pulang. Jihan dan Wildan cucu Pak Dahlan pun sudah terlelap dialam mimpi.

Keesokan harinya, pukul delapan lebih Asty pulang kerumah diantar ojek. Tubuh mungilnya terlihat letih sekali. Amin perkasa sekali tadi malam. Semalam panjang Asty tidak bisa tidur sama sekali. Tubuhnya berulang kali ditunggangi Amin tanpa kenal bosan.

Tak terhitung berapa kali Asty mencapai puncak kenikmatan bercinta. Sampai seperti mau pingsan.

Mas Amin pasti minum obat kuat, pikir Asty ketika menyambut Orgasmenya yang terakhir, pukul lima subuh tadi.

"Dari mana saja semalaman gak pulang, Nak...? ". Sang Ibu menyambut dengan tanya. Asty cuma menoleh sekilas, tersenyum tanpa menjawab. Kemudian wanita muda itu melangkah masuk kedalam kamar, Dan tidur.

Bahkan Wildan yang termangu menatap Sang Ibu dari atas bangku panjang sambil tangan mungilnya memegang sebuah mobil mainan pun tak sempat diperdulikan. Tubuhnya terlalu letih bahkan untuk sekedar berbasa basi, karena staminanya telah terkuras habis malam tadi.



______________



Zaid bingung, dengan pengalamannya yang minim dalam hal selidik menyelidik,dia merasa buntu akal fikiran, bagaimana caranya mendapatkan bukti yang benar benar jelas kalau sebenarnya Pak Wijaya lah dalang dibalik merebaknya peredaran Shabu di wilayah ini.

Sebenarnya secara pribadi dia sudah yakin sekali, tapi untuk mengerahkan tim khusus dan menggerebek rumah Pak Wijoyo, tentu asumsi pribadi tidak cukup dijadikan alasan. Pak Hermanto belum bisa bergerak, beliau khawatir tidak ada barang bukti dirumah kepala desa itu. Bukannya berhasil menggulung komplotan pengedar, bisa bisa malah membuat komplotan itu bersikap lebih waspada lagi kedepannya. Dan itu tentu saja akan semakin menyulitkan upaya membongkar kebusukan sindikat itu. Karena jika terlanjur menggerebek, tapi ternyata tidak ada bukti keterlibatan Pak Wijoyo, justru Pak Hermanto lah yang akan kena getahnya, rusak reputasinya dan bisa jadi turun pangkat pula karena dianggap gegabah.

Backing Pak Wijoyo tidak main main. Sampai sampai kepolisian resort pun tidak bisa berbuat banyak. Apalagi setingkat Polsek. Pak Hermanto harus benar benar mematangkan rencananya sedetail mungkin.
Dan beliau mengharapkan Zaid bisa mendapatkan bukti yang otentik, agar semua rencana dan strategi nya berjalan mulus. Tentu saja itu yang membuat Zaid bingung setengah mati. Fokusnya yang terpecah antara tugas dan keadaan rumah tangga yang di ujung tanduk membuat lelaki itu sulit sekali untuk berfikir jernih.

Sementara itu di sebuah rumah yang paling megah di desa Rahayu.. Pak Wijoyo sedang duduk di sebuah kursi empuk diruang Tengah. Didepannya tampak Jarot dan Alek berdiri tegak seperti sedang menunggu perintah.

"Alek, kau temui pemuda bernama Zaid itu, undang dia kerumah.. Katakan saja Aku yang mengundang.. ".

"Baik Bos.... ". Tanpa menunggu lama, Alek segera keluar dan memacu motor nya menuju rumah Zaid.

"Aku akan mengajaknya bergabung... ". Ucap Pak Wijoyo setelah suara motor Alek tak lagi terdengar.

"Apa tidak berbahaya Bos...? ". Tanya Jarot.

"Kalau benar dia mata mata, itu sama saja bunuh diri namanya.. ".

"HA HA HA HA...... ". Pak Wijoyo tertawa keras.

"Aku tidak bodoh Jarot. Dengan bergabung nya dia, justru kita akan mudah memantau sejauh mana tindak tanduknya, kalau dia macam macam, tinggal di lenyapkan... ".

Jarot diam, dia belum bisa mencerna kata kata Sang Bos.

" Jarot, ini taktik namanya.. Jika benar dia mata mata, maka kita akan bisa memantau pergerakan dengan leluasa. Bukan begitu....? ". Ucap Pak Wijoyo menjelaskan. Sementara Jarot cuma mengangguk angguk, entah mengerti entah tidak.



________________




Singkat cerita Zaid menerima tawaran Pak Wijoyo untuk bergabung berkerja dengan kepala desa itu. Tentu saja atas sepengetahuan dan seizin Kyai Thoriq, juga setelah terlebih dahulu meminta pendapat Pak Hermanto. Polisi senior itu justru merasa senang karena dengan bergabungnya Zaid, maka akses untuk mengetahui apa rahasia didalam rumah Sang kepala desa akan lebih mudah dicari tahu oleh Zaid nantinya.

"Tapi ingat Zaid, kau harus ekstra hati hati. Karena jika ketahuan kau adalah mata mata, maka habis riwayatmu... ". Pak Hermanto mengingatkan.

" Kau tahu sendiri. Misi yang kau emban tidak pernah tercatat di kepolisian. Ini bukan tugas resmi. Aku sendiri tidak punya surat penugasan resmi untuk kasus ini... ". Beliau melanjutkan.

Zaid sudah tahu itu, karena sewaktu di lapas tempo hari Pak Hermanto sudah menjelaskan panjang lebar.

"Ini hanya permintaan lisan dari Kapolda lampung yang baru. Aku dibebaskan untuk menggunakan cara apapun, dan juga sudah disiapkan dana tak terbatas untuk menunjang operasi ini, tapi dengan resiko besar, jika aku salah tangkap, atau terlanjur menangkap tersangka tapi ternyata kekurangan bukti, maka reputasi dan jabatan ku yang dipertaruhkan.. ". Pak Hermanto berkata lagi menjelaskan agar Zaid tidak lupa tentang bagaimana status misi yang dia emban.

" Baik Pak, saya berjanji akan mengumpulkan cukup bukti... ".

"Aku percaya padamu Zaid. Kau lelaki bertanggung jawab dan bisa diandalkan. Darah Ayahmu yang pemberani mengalir deras di tubuhmu. Buat Dia bangga di alam sana... ". Suara Pak Hermanto sedikit bergetar.

Ada rasa sedih di hati Zaid ketika Pak Hermanto menyebutkan tentang Ayahnya. Sosok yang sangat dia rindukan . Sosok Polisi hebat yang harus gugur dalam tugas di tanah Aceh 22 tahun silam. Sebutir air mata menetes, dan Zaid sengaja membiarkan air mata itu turun ke pipi. Mengalir menghapus duka mendalam yang merasuk di relung jiwa.

"Ayah.... ". Zaid terisak. Pak Hermanto mendengar isakan tertahan itu. Beliau menghela nafas panjang.


______________


Berkerja dirumah Pak Wijoyo tidaklah dilakoni Zaid setiap hari. Hanya hari hari tertentu saja ketika ada barang masuk.

Awalnya Zaid terlihat canggung. Bagaimanapun rekan kerjanya sekarang adalah pemuda pemuda yang menghajarnya beramai ramai beberapa hari yang lalu. Apalagi baru pertama berkerja, Pria ini dikejutkan dengan jenis perkerjaan yang harus dia lakukan. Memindahkan serbuk putih didalam 5 bungkus plastik sekiloan, kedalam plastik plastik kecil ukuran beberapa gram. Tidak berat, tapi butuh ketelitian.

"Jangan sampai kelebihan takarannya, karena selisih 1 gram saja bisa bikin rugi.. ". Pesan Pak Wijoyo ketika pertama kali Zaid menyendok serbuk putih itu dan menakarnya di timbangan digital kecil yang biasa digunakan untuk menimbang Emas.

"Iya Bos.. ". Zaid menjawab pendek. Jantungnya berdebar kencang. Inikah yang disebut Shabu...?.

Jarot tadi yang menjemput barang ini di dermaga tua sekitar pukul sepuluh malam. Dan sekarang, belasan pria muda yang rata rata bertampang sangar telah disibukkan dengan tugasnya masing masing.

Ada beberapa dari pria pria itu yang tidak pernah dilihat Zaid sebelumnya. Mungkin bukan pemuda dari desa ini. Sekilas mata Zaid melihat sebuah mobil box telah terparkir dihalaman belakang yang berpagar tinggi. Mobil itu datang selepas maghrib tadi. Ketika Zaid berada di Masjid, mengajar anak anak mengaji.

Hari pertama atau malam pertama berkerja di rumah Pak Wijoyo dilalui Zaid dengan mulus. Pukul 3 dinihari mobil box itu berangkat ketempat tujuan setelah muatan kardus mie instant telah disisipi plastik plastik kecil berisi serbuk putih yang ditakar oleh Zaid bersama beberapa pemuda lain.

"Bagaimana Zaid, betah dengan perkerjaan ini...? ". Pak Wijoyo menepuk bahu Zaid sambil bertanya.

"Betah Bos.. Kerjanya gak berat... ". Lelaki gondrong brewokan itu menjawab seraya tersenyum hormat.

"Ini upahmu malam ini.. ". Zaid menyambut sebuah amplop putih tebal yang di ulurkan Pak Wijoyo.

"Wah... Langsung dibayar Bos...? ". Zaid terheran heran membuat Pak Wijoyo tertawa terpingkal.

"Ya sudah.. Kamu pulang sekarang. Sebentar lagi subuh... ".

Zaid mengangguk kemudian melangkah keluar rumah.

"Zaid.. Tunggu sebentar.. ". Belum jauh Zaid melangkah, terdengar Pak Wijoyo memanggilnya.

"Ada apa Bos...? ". Zaid menghentikan langkah dengan jantung berdebar.

"Di garasi ada sepeda motor nganggur, masih bagus. Pakai saja olehmu. Supaya tidak capek jalan kaki.. ". Ucap Pak Wijoyo kemudian.

"Wah.. Yang benar Bos....? ". Zaid seolah tak percaya. Baru saja berkerja semalam, sudah ditawari sepeda motor.

"Ambil saja sendiri. Kontaknya ada diatas lemari kecil dipojok.. ".

Tak lama kemudian Zaid sudah meluncur meninggalkan rumah Pak Wijoyo dengan mengendarai sebuah sepeda motor H*nda Blade 125 keluaran tahun 2016 tapi masih sangat mulus karena jarang sekali dipakai.


__________________


Hari berganti hari. Pagi, siang dan malam berlalu dengan sangat cepat. Tak terasa sudah 15 hari sejak pertama kali Zaid bergabung berkerja di rumah besar Pak Wijoyo.

Malam itu, seperti biasa selepas Isya Zaid menggendong Wildan mengantarkan bocah itu pulang kerumah. Sementara dibelakang Zaid, kaki kaki mungil Jihan mengikuti dengan langkah yang sedikit dipercepat mengimbangi langkah langkah lebar kaki Zaid.

"Jihan, nanti tolong bilang sama Ibumu, ada yang ingin Om Zaid bicarakan... ". Ucap Zaid ketika hampir sampai ke halaman rumah Pak Dahlan.

Jihan cuma menganggukkan kepala, dan setengah berlari mendahului masuk kedalam rumah setelah terlebih dahulu mengucap salam.

Zaid duduk diruang tamu sambil tetap memangku Wildan yang memejamkan mata seperti tertidur dalam gendongan. Sementara Jihan dan Asty ibunya terlibat pembicaraan di ruang dapur. Mungkin Jihan si bocah perempuan itu sedang menyampaikan apa yang guru ngajinya pesankan.

Berselang lima menit kemudian Asty keluar dari dapur, menuju ruang tamu dengan segelas kopi hangat. Ibu muda cantik itu duduk didepan Zaid, setelah meletakkan gelas kopi diatas meja.

"Silahkan diminum.. ". Asty menawarkan kopi sembari matanya menatap sang anak bungsu yang terlelap dipangkuan Zaid.

"Sudah lama tidurnya....? ". Wanita itu kemudian bertanya.

"Belum lama,.. ".

" Sekalian minta tolong antar kekamar ya...? ". Asty beranjak setelah berkata demikian, berjalan mendahului bermaksud menunjukkan kamar yang menjadi tempat tidur dia dan anaknya.

Dengan dada sedikit berdebar Zaid melangkah menuju kamar Asty, dilihat nya Pak Dahlan tertidur diatas bangku panjang, sementara Bu Utari sendiri mungkin berada didalam kamarnya.

Alunan suara lagu Dangdut Koplo yang dilantunkan seorang artis muda dari Jawa Timur terdengar mengalun merdu dari pemutar musik yang selalu dipegang oleh Pak Dahlan. Tak pernah jauh dari orang tua itu. Bahkan Jihan sendiri sebagai pemilik jarang menggunakan.

Zaid terenyuh. Itu adalah satu satunya sarana hiburan dirumah ini. Tak ada televisi, tak ada speaker aktif yang bisa memutar musik dengan suara yang lebih bagus terdengar.

"Kamar nya disini... ".

"Oh.. Iya... ". Zaid kaget. Hampir saja langkahnya bablas ke dapur karena melamun. Lelaki itupun kemudian berbalik dan masuk ke kamar yang redup oleh cahaya lampu berwarna biru. Suasana kamar yang sangat romantis sekali.

Bathin Zaid teriris pedih ketika mengingat sudah beberapa kali dalam bulan ini dia mengetahui Amin bertandang dan menginap di kamar ini. Kamar yang indah namun penuh aroma perzinahan.

Dada Sang Pria terasa sesak. Buru buru dia meletakkan tubuh Wildan diatas kasur, dan kemudian berbalik keluar dengan mata yang mulai basah berembun.

Setelah membenarkan kelambu tipis berwarna biru muda agar tak ada nyamuk yang masuk, Asty mengikuti Zaid keluar kamar. Sepintas dia merasa ada yang aneh dari sikap Zaid ketika tadi masuk kedalam kamar. Mata pria itu seperti memandang penjuru kamar itu dengan pandangan menerawang. Seperti ada kenangan yang melintas, atau apa.. Asty tak bisa memastikan.

Sebelum keluar, pandangan mata Asty tak sengaja membentur sebuah foto yang tergantung di dinding. Foto keluarga dengan bingkai hitam. Fotonya bersama suaminya Deni dan kedua anaknya. Saat foto itu diambil, Wildan baru berusia satu tahun setengah.

Apakah foto itu yang tadi diperhatikan Zaid....?.

Zaid telah kembali duduk diruang tamu. Kopi dalam gelas sudah tinggal separuh. Mungkin dia haus.

"Mau bicara apa..? ". Asty langsung saja bertanya setelah dia menghenyakkan pantatnya di kursi didepan Zaid. Terpisah oleh meja kayu kecil.

" Aku cuma ingin bertanya,.. "

"Tentang apa... ? ".

"Tentang Amin, sejauh mana hubungan kalian... ".

Asty mengerutkan kening. Heran..

"Apa urusan mu bertanya seperti itu...? ". Nada suara wanita cantik itu sedikit meninggi. Ada rasa tersinggung ditanya seperti itu.

"Hanya ingin tahu... ". Zaid menjawab pendek.

"Untuk apa...? ". Asty menyergah cepat.

"Kau bukan siapa siapa ku, bahkan baru kenal belum ada sebulan.. ". Lanjutnya.

"Kasihan Deni... ". Zaid berkata lagi dengan mata menatap gelas kopi diatas meja.

"Kau bahkan tak kenal Deni, jadi jangan ikut campur urusan orang.... ".

"Aku dan Deni sama sama lelaki. Sedikit banyak Aku bisa merasakan seperti apa pedih dan hancurnya hati suamimu kalau dia tau kau berselingkuh... ". Zaid sengaja menekankan kata selingkuh dengan suara yang lebih berat.

"Kau tak tau apa yang sebenarnya terjadi.. ". Asty masih mencoba berkilah. Jengkel sekali dia dengan Zaid, tapi Asty masih coba meredam gejolak amarah dihatinya. Lelaki kepo ini sangat menyebalkan.

"Cuma itu yang ingin aku bicarakan...? ". Asty menatap wajah lawan bicaranya dengan tatapan sinis.

"Masih banyak, tapi aku tak yakin kau mau mendengarkan.. ". Zaid tersenyum kecil, berusaha tetap tenang, meski hatinya sejak tadi meronta ronta ingin melepaskan segala amarah..

"Itu kau tahu, jadi berhentilah mencampuri urusan orang... ". Asty menjawab ketus. Dengan kedua tangan dilipat didada dan wajah yang dipalingkan kearah lain.

"Sebagai manusia, aku merasa wajib mengingatkanmu, jangan sampai kau menyesal dikemudian hari.. ". Zaid berkata lagi setelah terdiam beberapa saat.



"HMMM.. ". Wanita didepannya cuma merespon dengan deheman pendek. Acuh tak acuh.

Zaid menghela nafas. Dia paham sekali wanita ini sangat keras hati dan susah dinasehati.

" Sebelum terlambat, Dek.. ". Zaid berucap lirih..

Asty menatap wajah pucat itu sekilas. Dadanya berdesir mendengar kata kata Zaid yang terakhir.
Kalimat itu mengandung pengharapan yang sangat dalam.

Kata kata itu pelan, tapi mampu menyentuh bagian hatinya yang terdalam. Asty luluh.. Batinnya menangis. Wanita itu mulai menyadari dia telah terlalu jauh melangkah, telah terlalu jauh tersesat. Tapi bagian hati yang lain malah memunculkan jawaban lain, alasan lain kenapa dia tersesat. Sisi hati yang justru menyalahkan suaminya. Dia jadi begini karena suaminya. Kenapa harus dipenjara..?. Bahkan lebih buruk lagi, sisi hati yang dikuasai iblis itu menyalahkan Deni, kenapa harus muncul waktu itu, kenapa harus mengamuk dan menembak Jarot...?. Kenapa tidak mendiamkan saja....?.

Asty menunduk dalam dalam.. Sementara Zaid menatap wanita didepannya itu dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Pikirkan matang matang, Dek... Apapun yang terjadi disini, nun disana seseorang masih sangat mendamba mu, suamimu tak pernah berkurang sedikit pun rasa cintanya padamu.. ".

"Aku tahu... ". Asty masih menunduk. Matanya memerah.

"Tapi coba kau fikir, bagaimana aku menghidupi kedua anakku jika tetap mengandalkan Mas Deni...? ". Asty menengadahkan wajahnya menatap langit langit, berusaha sebisa mungkin menahan agar air matanya tidak tumpah.

Zaid menghela nafas, dugaannya benar. Kebutuhan hidup lah yang membuat Asty terpaksa melangkah keluar jalur. Tak terperikan betapa kesedihan merasuk dihati Sang Pria. Demi anak anak, Asty rela mempertaruhkan harga diri. Dan semuanya ini karena....... ?.

Zaid menundukkan kepala sambil meremas remas rambut gondrongnya.

"Semua ada padamu, masa depan kalian kau yang memegang kendali sekarang... ". Akhirnya setelah sama berdiam diri dengan fikiran masing-masing, Zaid kembali berucap, pelan.

"Masalah ekonomi, kita bisa usahakan bersama sama... ".

Asty menatap Zaid dengan mata menyipit mendengar kalimat barusan.

"Hei.... Jangan bilang kau juga mengincarku... ". Ucapnya terdengar dengan nada sedikit meninggi dan agak sumbang.

Zaid gelagapan.. Otaknya berputar cepat mencari dalih yang bisa dijadikan alasan.

"Bu.. Bukan begitu maksudku.... ". Agak tergagap juga Zaid jadinya dengan tembakan langsung dari Sang Wanita.

"Lantas.... Apa maksud kata bersama sama tadi...? ". Asty tersenyum sinis.

"Laki laki sama saja... ". Katanya lagi.

"Kau salah paham... ". Zaid terus mencoba berkilah.

" Lagipula, andaikan aku memang jatuh hati padamu, setidaknya aku tidak terlebih dahulu mengajak mu bercinta tanpa ada ikatan,.. ".

"Siapa yang tau isi hatimu... ". Balas Asty membuat lagi lagi Zaid kehabisan kata kata.

"Aku hanya menawarkan kebaikan, kalau kau tak berkenan, ya sudah.... ". Akhirnya Zaid menyerah, menghirup kopinya sampai tinggal tersisa ampas, kemudian pamit pulang.

Asty hanya diam menatap belakang badan Zaid yang berjalan gontai keluar rumahnya..

Sejujurnya kata kata Guru mengaji anaknya itu telah mengena telak dihati Sang Wanita. Kata kata yang tidak terbantahkan kebenarannya. Dia berkata seperti tadi hanya bermaksud agar Zaid tidak terlalu memandang rendah dirinya.

Kekerasan hati perempuan itu memang belum lah hilang. Hanya pada Amin saat ini dia terpaksa takluk, itupun bukan karena cinta, tapi karena materi dan juga hutang budi.



________________



Bukti sudah cukup. Pak Hermanto sedang mematangkan langkah selanjutnya. Polisi setengah baya itu ingin semua berjalan mulus dan tidak merembet kemana mana. Sekali sergap, selesai.

Zaid sudah bercerita tentang semuanya kepada Kyai Thoriq. Dan Kyai tua itu mendukung penuh segala rencana yang disusun oleh Zaid dan Pak Hermanto itu. Sebagai seorang ulama di desa Rahayu, Kyai Thoriq juga tak ingin wilayah Desa Rahayu menjadi basis peredaran barang haram itu.

Satu hal yang masih membuat Kyai Thoriq seperti tidak percaya adalah keterlibatan Pak Wijoyo dibalik ini semua. Kepala Desa Rahayu itu yang sepintas adalah sosok pemimpin yang baik dan jujur, ternyata tak lebih dari seorang Bandar narkoba.

Dengan semangat tua yang menyala, Kyai Thoriq pun melibatkan diri dalam menyusun skenario terbaik.

Jembatan kayu yang melintang diatas kanal seluas 35 meter yang menghubungkan Desa Rahayu bagian Timur dan bagian Barat sudah agak bergoyang jika dilalui sepeda motor. Salah satu jembatan lama yang berumur cukup tua, satu satunya jembatan kayu yang tersisa, karena tiga jembatan lain sudah dibangun dengan beton cor yang lebih kuat.

Kyai Thoriq sebagai tokoh masyarakat yang disegani, bersama dengan KAUR pembangunan desa, juga perangkat BPD, sepakat untuk merehabilitasi jembatan kayu itu, tentu saja atas sepengetahuan Kepala Desa.

Masyarakat Desa pun antusias dan dengan senang hati mengumpulkan dana Swadaya,. Ada sekitar Tiga ratus batang kayu gelam dan Dua puluh batang nibung yang dibutuhkan. Dengan dana dari Warga ditambah sedikit Kas Desa, masalah kayu sudah teratasi. Bahkan dana yang terkumpul masih tersisa banyak, sehingga setelah urun rembuk, akhirnya diputuskan tenaga kerja dari luar yang bakal mengerjakan perehaban jembatan itu. Biar tak merepotkan warga Desa, begitu alasan Kyai Thoriq sebagai yang punya usul.

Tiga hari kemudian pekerja dari luar itu sudah berkumpul di rumah Kyai Thoriq. Ada sebelas orang. Hampir semuanya berbadan tegap dan berotot. Cuma satu yang perutnya sudah mulai buncit. Dan sepertinya yang perut agak buncit itu adalah pemimpin rombongan. Dia yang paling tua, dan dia pula yang terlihat paling dipatuhi. Setiap kata katanya pasti dituruti dengan ucapan "siap bos, siap bos" Oleh pekerja yang lain.

Keesokan harinya, para pekerja sudah mulai mempersiapkan segala sesuatunya. Mengupas gelam, memotong dengan ukuran tertentu, kemudian sebagian yang lain juga mulai menancapkan batang batang nibung sebesar paha orang dewasa itu untuk mengganti tiang jembatan yang sudah rapuh.

Suara mereka ramai sekali, apalagi ketika tiga empat orang menggenjot batang nibung supaya tertancap lebih dalam. Dengan sebatang gelam yang diikatkan ke batang Nibung yang sudah tertancap sedikit, , empat orang kemudian naik menginjak batang gelam dan menggenjot kebawah dengan beramai ramai menghitung sebagai aba aba agar genjotan bisa Serempak.

Kesepuluh pekerja itu berkerja dengan riang gembira, mereka bernyanyi nyanyi dengan suara lantang dan tak kenal lelah. Sementara pemimpin mereka yang berperut buncit cuma melihat dari kejauhan, sesekali terlihat pria itu terlibat pembicaraan serius dengan Zaid dan juga Kyai Thoriq.

Para remaja putri pun ikut menyibukkan diri. Menyiapkan air minum dan aneka macam kue sebagai cemilan. Tentu saja keberadaan para gadis itu menjadi pemicu semangat tersendiri bagi para pekerja yang semuanya masih berusia muda.

Jika salah satu gadis mendekati, maka siulan siulan genit terdengar silih berganti. Hanya sebatas siulan, ditambah celetukan celetukan pendek yang masih terkategorikan sopan, sehingga para gadis cuma tersenyum dengan muka memerah malu sebagai reaksi balasan.

Sebagai perempuan muda yang tengah berada dimasa puber, digoda seperti itu mereka malah senang. Apalagi yang menggoda adalah pemuda pemuda ganteng seperti para pekerja itu.

Latifah dan Nirmala pun berada diantara para gadis itu. Wajah Nirmala terlihat ceria, suasana ramai itu mampu menjadi penghibur hati dan pelipur lara baginya. Sesekali terdengar Nirmala tertawa lepas menanggapi godaan iseng yang dia Terima. Gadis itu memang menjadi yang tercantik diantara para gadis yang ada disitu, bahkan Latifah pun kalah satu level. Otomatis dialah yang paling sering di isengi para pekerja.

Jilbab biru muda yang dipadukan baju kaos lengan panjang berwarna senada dan kulot krem membuat sosok Nirmala mudah sekali menjadi pusat perhatian.
Sebutan sebagai gadis tercantik di desa Rahayu memang pantas disandang oleh gadis ini, itu setelah Asty tak lagi gadis, karena kalau saja mamaknya Wildan itu masih gadis sekarang, maka kecantikan Nirmala Masih sedikit dibawah Asty.

Keramaian di jembatan kayu itu berakhir ketika sore menjelang. Para pekerja membereskan peralatan kemudian berjalan beriringan pulang kerumah Kyai Thoriq. Meski telah berkerja seharian, langkah para pekerja itu masih ringan dan cekatan. Seperti sama sekali tidak merasa capek. Empat orang termasuk pimpinan yang berperut agak buncit singgah kerumah Zaid. Mereka akan bermalam disitu, supaya rumah Kyai Thoriq tidak terlalu sumpek.

Sebagian pekerja merasa tidak enak juga kalau terlalu ramai dirumah Sang Kyai, karena ada anak perawan dirumah itu. Tentu akan sedikit risih sang anak gadis pak Kyai nantinya.

Malam hari nya, Nirmala yang mengantarkan makan malam Kerumah Zaid, gadis itu sengaja diperbantukan karena Latifah sendiri sangat sibuk di rumahnya, dari memasak, bersih bersih rumah, membuat bergelas gelas kopi dan kesibukan lain yang kadang kadang tak terpegang tangannya lagi.

Nirmala menuju rumah Zaid ditemani Nurul, anak bungsu Pak Kyai. Kedua tangan Nirmala dan Nurul mencangking rantang wadah makanan di kiri dan kanan. Untung saja jalanan tidak terlalu gelap sehingga kaki mereka tidak terantuk batu atau terperosok masuk kelubang lubang jalan. Bisa tumpah berhamburan itu makanan didalam rantang.

Selesai makan, Zaid menemui Nirmala yang masih duduk di bangku teras. Bersenda gurau bersama para pekerja yang ada disitu. Sedangkan Nurul sendiri sibuk dengan game di handphone sedari tadi.

Zaid tahu tentang peristiwa yang menimpa Nirmala, Latifah yang tempo hari bercerita. Dalam hati kecilnya Zaid terenyuh. Menatap wajah Sang Gadis yang masih terlihat berusaha untuk ceria, hati Sang Pria teriris iris. Korban kebejatan Jarot tak hanya Asty, tapi juga Nirmala. Gadis yang baru saja beranjak mekar.

Jarot pandai sekali memilih mangsa, setelah menikmati tubuh Asty yang merupakan mantan gadis tercantik kembang desa Rahayu, bangsat itu juga telah menghisap sari bunga pemegang gelar kembang Desa selanjutnya, Nirmala.

"Kang Zaid,.. ". Nirmala tersenyum manis sekali melihat Zaid datang mendekati.

"Sudah makan, Kang...? ". Tanya Sang Gadis dengan suara yang lembut dan merdu.

" Baru saja.. Enak sekali makanannya. Kamu yang masak ya...? ". Kata kata Zaid disambut tawa renyah Nirmala. Hatinya berbunga karena masakan itu memang dia yang memasak. Nirmala memang pandai memasak, Asty yang dulu sempat mengajari ketika istrinya Deni itu belum ikut boyongan masuk ke tambak.

Dulu, ketika Deni masih merintis, baru mulai belajar mengurus tambak milik Pak Mukhlis, Asty memang belum ikut ke tambak. Jadilah hampir setiap hari Nirmala berkunjung kerumah Pak Dahlan Ayah Asty, sembari bantu bantu momong Wildan yang waktu itu belum genap berusia dua tahun. Jarak rumah Nirmala memang tidak terlalu jauh. Hanya terpisah satu gang saja. Lagipula, kalau mau sedikit ditelusuri, masih ada kaitan saudara antara Pak Mardikun ayah Nirmala dengan Pak Dahlan ayah Asty. Meski sudah jauh. Mungkin mbah mbah mereka yang bersaudara.

Zaid duduk disamping Nirmala. Sementara para pekerja yang tadi mengerubungi, sudah menyingkir memilih tempat nongkrong masing masing. Ada yang dibawah pohon jambu air, ada yang dibangku kecil disamping rumah, ada juga yang memilih masuk kamar dan rebahan sambil tangan memainkan hape.

Nurul sendiri masih tenggelam dengan game nya, anak perempuan yang empat tahun lebih tua dari Jihan Anak sulung Asty itu tak perduli dengan sekitar. Bahkan dia tak memperhatikan sama sekali ketika Nirmala sedikit menggeser duduknya merapat ke tubuh Zaid..

"Kenapa.. Dingin...? ". Zaid berkata pelan, menggoda Nirmala yang tersipu malu. Sempat terfikir dihati Zaid untuk merangkul pundak Nirmala, tapi menyadari keberadaan Nurul membuat Zaid mengurungkan niatnya.

"Kenapa, malu...? ". Nirmala yang kini balas menggoda. Gadis ini sengaja membangunkan macan yang tertidur. Membuat Zaid gemes sekali dan tangannya bergerak nakal menggelitik pinggang Nirmala. Tak ayal Sang Gadis terpekik geli membuat Nurul terganggu.

"Apaan sih.. Berisik...!! ". Sang gadis kecil merengut kesal. Kemudian kembali tenggelam dengan handphone ditangan.

"Ehm ehm.... ". Terdengar suara batuk yang dibuat buat dari bawah pohon jambu air. Zaid pun tertawa tergelak.

"Iri bilang Bos.... ". Teriaknya yang dibalas sebuah timpukan buah jambu air kecil seukuran kelereng yang jatuh ke tanah akibat ulah kelelawar.

Tawa Zaid semakin keras berderai..

Setelah puas bercengkerama dengan membicarakan apa saja yang terlintas di dalam benak masing masing, tepat pukul sepuluh Latifah datang kerumah Zaid bermaksud menjemput Nurul yang tak pulang pulang. Matanya menyipit, dadanya sesak ketika melihat Zaid dan Nirmala terlihat duduk berdekatan dan bercanda ria. Ada rasa cemburu yang terselip dihati. Menorehkan perih dan melepaskan dengkul tentu saja.

Tapi Latifah berusaha menutupi rasa itu dengan senyum yang terkembang, meski tak sempurna.

"Asyik sekali Ngobrolnya.. Gak ngajak ngajak.. ". Latifah berusaha bercanda. Meski siapapun yang mendengar, akan menyadari suara itu sumbang.

Ada jengah yang tersemburat diwajah Nirmala, meski tak begitu kentara karena lampu teras yang temaram. Tak urung sang gadis salah tingkah karenanya.

Zaid yang duduk disampingnya, menyadari hal itu, sehingga kemudian sang pria berucap pada Latifah untuk mengubah topik pembicaraan.

"Tumben bukan kamu yang nganterin rantang, Dek...? ".

"Kan udah ada Nirmala, apa kurang cantik...? ". Jawaban Latifah masih tajam. Tapi Zaid cuma tertawa mendengar nya.

"Yang di antar itu makanan, apa hubungannya dengan wajah cantik...? ". Ucapnya berkilah.

" Mau yang ngantar itu gadis cantik, ataupun kambing dibedakin juga yang dimakan tetap makanannya, bukan yang nganter.... ".tambahnya lagi dengan tertawa, membuat Latifah semakin cemberut, sedangkan Nirmala tersenyum kecil kemudian bangkit berdiri untuk segera pulang. Kedua gadis yang diam diam mulai terlibat persaingan itu kemudian berjalan Beriringan menuju rumah Kyai Thoriq diikuti Nurul dibelakang dengan kedua tangan masih memainkan hape.

"Awas, kesandung jatoh, hancur pula hapemu... ". Latifah menegur adiknya yang cuma dibalas Nurul dengan Cengiran lebar.


Sepeninggal mereka, Zaid masuk kedalam rumah diikuti sosok pekerja yang dari tadi duduk asyik dia bawah pohon jambu air.

Sekarang, didalam rumah itu duduk berjejer lima orang pria membentuk lingkaran diatas tikar. Pria yang paling tua yang perutnya mulai buncit membuka suara terlebih dahulu.

"Mengikuti laporan laporanmu selama ini, dan juga setelah siang tadi sempat bertukar pikiran dengan Kyai Thoriq, kita harus cepat bergerak.. ". Ucapan itu tertuju kepada Zaid.

"Iya Pak, kita tunggu barang masuk, baru adakan sergapan.. Sementara ini, biarlah mereka tetap berpura-pura berkerja memperbaiki jembatan.. ". Balas Zaid sembari melirik tiga pria muda didepannya.

Ternyata para pekerja itu adalah Pak Hermanto beserta anak buahnya. Mereka sengaja berpura-pura menjadi pekerja jembatan, sembari menunggu waktu yang tepat untuk menyergap.

Kyai Thoriq dan Zaid sengaja membuat proyek perbaikan jembatan, agar ada kesempatan bagi Pak Hermanto dan para anak buahnya datang menyamar..

Akhir petualangan Pak Wijoyo sepertinya semakin dekat. Mampukah Pak Hermanto cs menggulung komplotan itu...?. Atau usaha mereka akan gagal karena rencana itu bocor....?.




Bersambung..
 
Terakhir diubah:
Medekati Akhir
_______________





Malam itu Zaid tidak hadir di Masjid. Tubuhnya kurang sehat. Begitu alasan yang dia berikan ketika Kyai Thoriq menelponnya. Anak anak yang terlanjur hadir untuk mengaji akhirnya di handle oleh Latifah.

Tentu bukanlah suatu masalah yang besar bagi Putri Kyai Thoriq itu. Karena jujur saja ilmu agamanya lebih mumpuni jika dibandingkan Zaid yang bukan santri dari pesantren, bukan pula keturunan alim ulama.

Hanya mental untuk berada di garis depan yang belum dimilikinya. Latifah selama ini lebih suka beraksi dibalik layar. Contohnya ketika ada acara acara besar yang digelar di Masjid, tak pernah ada nama Latifah dalam susunan panitia, akan tetapi justru otak dan kecerdasannya lah yang diperas untuk kelancaran acara.

Setelah mandi dan mengoleskan abat merah di beberapa bagian tubuhnya yang tergores, Zaid kemudian duduk termangu di depan sebuah cermin cukup besar yang barusan ditempel ke dinding.

Dengan seksama Zaid memperhatikan wajahnya dari pantulan cermin itu. Ada beberapa bagian yang seperti bergeser...?.

Terutama dibagian bibir yang membengkak. Seperti kulit tipis yang terkelupas. Tapi tidak ada darah yang keluar dari bagian terkelupas itu. Kumis hitam itu berantakan. Dengan sebuah sisir kecil kumis itu dia rapih kan kembali. Begitu juga bulu brewok si pipi, dibagian bawah telinga. Dan rambut gondrongnya seperti sedikit tertarik menceng ke kanan. Pasti karena hantaman Jarot tadi.

Zaid meraih sebuah tube kecil mirip wadah pasta gigi, menekan bagian bawah tutup yang terbuka, kemudian menyentuh isi wadah itu dengan ujung jari telunjuk. Lantas jari itu dielus elus kan dibagian bawah kulit yang seperti terkelupas.

Ajaib... Kulit itu menyatu kembali... Dan penampakan bibir itu kembali rapih, meski bengkak nya belum juga mengempes. Zaid mencoba menggerak gerakkan bibirnya, diperot perotkan kekiri dan kekanan, dan semua terlihat normal sebagaimana bibir pada umumnya.

Setelah dirasa semua aman, Zaid kemudian mengirim beberapa foto yang dia ambil tadi siang didermaga tua, ke sebuah nomor kontak di aplikasi WA nya. Tak lupa beberapa keterangan dia ketikkan dibagian bawah gambar.

Sebuah ikon besar berbentuk jempol sedang mengacung kemudian masuk ke WA nya. Zaid tersenyum lebar tapi kemudian menyeringai dan mendesis ketika merasakan perih di bibirnya.



_____________



Selepas Isya Zaid keluar rumah menuju Masjid. Setelah Menggendong Wildan dengan satu tangan menuntun Jihan, Zaid kemudian menuju rumah Pak Dahlan untuk mengantar kedua kakak beradik itu pulang.

Jarak Masjid dan rumah Pak Dahlan tidak terlalu jauh. Hanya sekitar lima ratus meter. Jalan desa yang di lalui pun cukup terang oleh keberadaan lampu lampu di sepanjang jalan.

Tak berselang lama langkah Zaid yang menggendong Wildan dan Jihan yang menggenggam erat tangan kirinya sudah memasuki halaman rumah Pak Dahlan. Sekilas mata Zaid mencari cari, tapi kemudian dia menghela nafas perih mendapati sepeda motor Amin tidak berada dihalaman rumah.

Mereka sudah keluar, entah kemana.... Hati kecil Zaid berkata.

"Sudah pulang Cu....? ". Tak sempat mengucap salam, Bu Utari sudah menyambut didepan pintu yang sejak tadi terbuka. Tangannya Bermaksud menyambut Wildan yang anteng dalam gendongan Zaid, tapi diurungkan ketika melihat Sang Bocah menggelengkan Kepala.

"Enak digendong Om Zaid...? ". Bu Utari menggoda cucu laki lakinya itu.

"Enak Mbah, kayak digendong Bapak... ". Wildan tertawa kecil dan semakin erat merangkul leher Zaid.

Mendengar itu tak urung Bu Utari tersenyum getir. Mata tuanya berair. Apapun itu, asal kau bahagia cucuku... Lirih nya dalam hati.

"Oh ya, masuk Nak... ". Bu Utari kemudian berucap begitu menyadari Zaid masih berdiri tegak diambang pintu. Sementara Jihan cucu satunya sudah menghilang masuk kerumah.

"Jihan, Om Zaid bikinin kopi, sekalian Mbah lanang mu, dari sore belum ngopi.. ".

"Iya, Mbah.... ". Jihan menyahut dari dalam kamar.

Mendengar suara ribut ribut, Pak Dahlan yang sedari tadi tidur tiduran di sebuah bangku panjang dekat pintu dapur, disamping sebuah lemari kayu tua segera bangkit. Dimatikannya pemutar musik yang melantunkan sebuah tembang pop lawas,

"Nak Zaid to... ".

"Iya Pak, maaf mengganggu... ". Zaid mengangguk hormat dan tersenyum kecil.

"Ooo.. Tentu tidak.. ". Pak Dahlan menirukan iklan di TV dan kemudian tertawa berderai. Mood lelaki tua ini selalu bagus jika bertemu Zaid.

"Oh ya, Ibunya Wildan kemana Pak...? ". Zaid tak tahan untuk tidak bertanya.

" Asty,.. ". Sejenak Pak Dahlan menghentikan ucapannya, sedikit terlihat murung wajahnya.

"Tadi keluar sama temannya, katanya kepasar. Ada yang mau dibeli... ". Pria Tua itu kemudian meneruskan kata, menutupi kenyataan sebenarnya.

"Oh.... ". Pendek saja respon Zaid karena hatinya gelisah sekali saat ini.

Keluar malam malam, sampai sekarang belum pulang, kemana Amin membawa Asty,..?. Apa yang mereka lakukan....?. Beribu pertanyaan memenuhi benak Zaid.

Galau dan Perih hati Zaid saat ini. Bahkan kehadiran Jihan yang menyuguhkan dua gelas kopi untuknya dan untuk Pak Dahlan luput dari perhatian.

"Kopi Om... ". Suara Jihan mengagetkan.

" Oh... Eh.. Iya.. Terimakasih Nak... ".

Menutupi keresahan yang dirasakan, Zaid kemudian mengeluarkan bungkus rokok dan menyalakan sebatang. Asap putih lantas saja membumbung memenuhi ruang tengah. Pak Dahlan beranjak dari bangku, berdiri dan berjalan berlahan mendekati Zaid. Setelah duduk didepan pemuda itu, tangan Pak Dahlan meraih bungkus rokok milik Zaid, dan menarik sebatang. Melihat itu Zaid meraih korek dan membantu menyalakan rokok di bibir keriput Sang Kakek tua.

"Rokokmu enak, gurih... ". Pak Dahlan terkekeh.

"Masih kuat Pak...? ". Zaid menggoda yang membuat tawa Pak Dahlan semakin pecah.

"Ini rokok kegemaran bapak diwaktu muda Nak.. Rindu sekali bapak dengan aroma rokok mahal ini.". Ucap Pak Dahlan sedikit mengenang masa lalu. Zaid hanya tersenyum mendengar itu. Dia tak mau tertawa lagi, bibirnya perih sekali.

Satu setengah jam kemudian, setelah dirasa malam Sudah cukup larut, Zaid berpamitan pulang. Jihan dan Wildan cucu Pak Dahlan pun sudah terlelap dialam mimpi.

Keesokan harinya, pukul delapan lebih Asty pulang kerumah diantar ojek. Tubuh mungilnya terlihat letih sekali. Amin perkasa sekali tadi malam. Semalam panjang Asty tidak bisa tidur sama sekali. Tubuhnya berulang kali ditunggangi Amin tanpa kenal bosan.

Tak terhitung berapa kali Asty mencapai puncak kenikmatan bercinta. Sampai seperti mau pingsan.

Mas Amin pasti minum obat kuat, pikir Asty ketika menyambut Orgasmenya yang terakhir, pukul lima subuh tadi.

"Dari mana saja semalaman gak pulang, Nak...? ". Sang Ibu menyambut dengan tanya. Asty cuma menoleh sekilas, tersenyum tanpa menjawab. Kemudian wanita muda itu melangkah masuk kedalam kamar, Dan tidur.

Bahkan Wildan yang termangu menatap Sang Ibu dari atas bangku panjang sambil tangan mungilnya memegang sebuah mobil mainan pun tak sempat diperdulikan. Tubuhnya terlalu letih bahkan untuk sekedar berbasa basi, karena staminanya telah terkuras habis malam tadi.



______________



Zaid bingung, dengan pengalamannya yang minim dalam hal selidik menyelidik,dia merasa buntu akal fikiran, bagaimana caranya mendapatkan bukti yang benar benar jelas kalau sebenarnya Pak Wijaya lah dalang dibalik merebaknya peredaran Shabu di wilayah ini.

Sebenarnya secara pribadi dia sudah yakin sekali, tapi untuk mengerahkan tim khusus dan menggerebek rumah Pak Wijoyo, tentu asumsi pribadi tidak cukup dijadikan alasan. Pak Hermanto belum bisa bergerak, beliau khawatir tidak ada barang bukti dirumah kepala desa itu. Bukannya berhasil menggulung komplotan pengedar, bisa bisa malah membuat komplotan itu bersikap lebih waspada lagi kedepannya. Dan itu tentu saja akan semakin menyulitkan upaya membongkar kebusukan sindikat itu. Karena jika terlanjur menggerebek, tapi ternyata tidak ada bukti keterlibatan Pak Wijoyo, justru Pak Hermanto lah yang akan kena getahnya, rusak reputasinya dan bisa jadi turun pangkat pula karena dianggap gegabah.

Backing Pak Wijoyo tidak main main. Sampai sampai kepolisian resort pun tidak bisa berbuat banyak. Apalagi setingkat Polsek. Pak Hermanto harus benar benar mematangkan rencananya sedetail mungkin.
Dan beliau mengharapkan Zaid bisa mendapatkan bukti yang otentik, agar semua rencana dan strategi nya berjalan mulus. Tentu saja itu yang membuat Zaid bingung setengah mati. Fokusnya yang terpecah antara tugas dan keadaan rumah tangga yang di ujung tanduk membuat lelaki itu sulit sekali untuk berfikir jernih.

Sementara itu di sebuah rumah yang paling megah di desa Rahayu.. Pak Wijoyo sedang duduk di sebuah kursi empuk diruang Tengah. Didepannya tampak Jarot dan Alek berdiri tegak seperti sedang menunggu perintah.

"Alek, kau temui pemuda bernama Zaid itu, undang dia kerumah.. Katakan saja Aku yang mengundang.. ".

"Baik Bos.... ". Tanpa menunggu lama, Alek segera keluar dan memacu motor nya menuju rumah Zaid.

"Aku akan mengajaknya bergabung... ". Ucap Pak Wijoyo setelah suara motor Alek tak lagi terdengar.

"Apa tidak berbahaya Bos...? ". Tanya Jarot.

"Kalau benar dia mata mata, itu sama saja bunuh diri namanya.. ".

"HA HA HA HA...... ". Pak Wijoyo tertawa keras.

"Aku tidak bodoh Jarot. Dengan bergabung nya dia, justru kita akan mudah memantau sejauh mana tindak tanduknya, kalau dia macam macam, tinggal di lenyapkan... ".

Jarot diam, dia belum bisa mencerna kata kata Sang Bos.

" Jarot, ini taktik namanya.. Jika benar dia mata mata, maka kita akan bisa memantau pergerakan dengan leluasa. Bukan begitu....? ". Ucap Pak Wijoyo menjelaskan. Sementara Jarot cuma mengangguk angguk, entah mengerti entah tidak.



________________




Singkat cerita Zaid menerima tawaran Pak Wijoyo untuk bergabung berkerja dengan kepala desa itu. Tentu saja atas sepengetahuan dan seizin Kyai Thoriq, juga setelah terlebih dahulu meminta pendapat Pak Hermanto. Polisi senior itu justru merasa senang karena dengan bergabungnya Zaid, maka akses untuk mengetahui apa rahasia didalam rumah Sang kepala desa akan lebih mudah dicari tahu oleh Zaid nantinya.

"Tapi ingat Zaid, kau harus ekstra hati hati. Karena jika ketahuan kau adalah mata mata, maka habis riwayatmu... ". Pak Hermanto mengingatkan.

" Kau tahu sendiri. Misi yang kau emban tidak pernah tercatat di kepolisian. Ini bukan tugas resmi. Aku sendiri tidak punya surat penugasan resmi untuk kasus ini... ". Beliau melanjutkan.

Zaid sudah tahu itu, karena sewaktu di lapas tempo hari Pak Hermanto sudah menjelaskan panjang lebar.

"Ini hanya permintaan lisan dari Kapolda lampung yang baru. Aku dibebaskan untuk menggunakan cara apapun, dan juga sudah disiapkan dana tak terbatas untuk menunjang operasi ini, tapi dengan resiko besar, jika aku salah tangkap, atau terlanjur menangkap tersangka tapi ternyata kekurangan bukti, maka reputasi dan jabatan ku yang dipertaruhkan.. ". Pak Hermanto berkata lagi menjelaskan agar Zaid tidak lupa tentang bagaimana status misi yang dia emban.

" Baik Pak, saya berjanji akan mengumpulkan cukup bukti... ".

"Aku percaya padamu Zaid. Kau lelaki bertanggung jawab dan bisa diandalkan. Darah Ayahmu yang pemberani mengalir deras di tubuhmu. Buat Dia bangga di alam sana... ". Suara Pak Hermanto sedikit bergetar.

Ada rasa sedih di hati Zaid ketika Pak Hermanto menyebutkan tentang Ayahnya. Sosok yang sangat dia rindukan . Sosok Polisi hebat yang harus gugur dalam tugas di tanah Aceh 22 tahun silam. Sebutir air mata menetes, dan Zaid sengaja membiarkan air mata itu turun ke pipi. Mengalir menghapus duka mendalam yang merasuk di relung jiwa.

"Ayah.... ". Zaid terisak. Pak Hermanto mendengar isakan tertahan itu. Beliau menghela nafas panjang.


______________


Berkerja dirumah Pak Wijoyo tidaklah dilakoni Zaid setiap hari. Hanya hari hari tertentu saja ketika ada barang masuk.

Awalnya Zaid terlihat canggung. Bagaimanapun rekan kerjanya sekarang adalah pemuda pemuda yang menghajarnya beramai ramai beberapa hari yang lalu. Apalagi baru pertama berkerja, Pria ini dikejutkan dengan jenis perkerjaan yang harus dia lakukan. Memindahkan serbuk putih didalam 5 bungkus plastik sekiloan, kedalam plastik plastik kecil ukuran beberapa gram. Tidak berat, tapi butuh ketelitian.

"Jangan sampai kelebihan takarannya, karena selisih 1 gram saja bisa bikin rugi.. ". Pesan Pak Wijoyo ketika pertama kali Zaid menyendok serbuk putih itu dan menakarnya di timbangan digital kecil yang biasa digunakan untuk menimbang Emas.

"Iya Bos.. ". Zaid menjawab pendek. Jantungnya berdebar kencang. Inikah yang disebut Shabu...?.

Jarot tadi yang menjemput barang ini di dermaga tua sekitar pukul sepuluh malam. Dan sekarang, belasan pria muda yang rata rata bertampang sangar telah disibukkan dengan tugasnya masing masing.

Ada beberapa dari pria pria itu yang tidak pernah dilihat Zaid sebelumnya. Mungkin bukan pemuda dari desa ini. Sekilas mata Zaid melihat sebuah mobil box telah terparkir dihalaman belakang yang berpagar tinggi. Mobil itu datang selepas maghrib tadi. Ketika Zaid berada di Masjid, mengajar anak anak mengaji.

Hari pertama atau malam pertama berkerja di rumah Pak Wijoyo dilalui Zaid dengan mulus. Pukul 3 dinihari mobil box itu berangkat ketempat tujuan setelah muatan kardus mie instant telah disisipi plastik plastik kecil berisi serbuk putih yang ditakar oleh Zaid bersama beberapa pemuda lain.

"Bagaimana Zaid, betah dengan perkerjaan ini...? ". Pak Wijoyo menepuk bahu Zaid sambil bertanya.

"Betah Bos.. Kerjanya gak berat... ". Lelaki gondrong brewokan itu menjawab seraya tersenyum hormat.

"Ini upahmu malam ini.. ". Zaid menyambut sebuah amplop putih tebal yang di ulurkan Pak Wijoyo.

"Wah... Langsung dibayar Bos...? ". Zaid terheran heran membuat Pak Wijoyo tertawa terpingkal.

"Ya sudah.. Kamu pulang sekarang. Sebentar lagi subuh... ".

Zaid mengangguk kemudian melangkah keluar rumah.

"Zaid.. Tunggu sebentar.. ". Belum jauh Zaid melangkah, terdengar Pak Wijoyo memanggilnya.

"Ada apa Bos...? ". Zaid menghentikan langkah dengan jantung berdebar.

"Di garasi ada sepeda motor nganggur, masih bagus. Pakai saja olehmu. Supaya tidak capek jalan kaki.. ". Ucap Pak Wijoyo kemudian.

"Wah.. Yang benar Bos....? ". Zaid seolah tak percaya. Baru saja berkerja semalam, sudah ditawari sepeda motor.

"Ambil saja sendiri. Kontaknya ada diatas lemari kecil dipojok.. ".

Tak lama kemudian Zaid sudah meluncur meninggalkan rumah Pak Wijoyo dengan mengendarai sebuah sepeda motor H*nda Blade 125 keluaran tahun 2016 tapi masih sangat mulus karena jarang sekali dipakai.


__________________


Hari berganti hari. Pagi, siang dan malam berlalu dengan sangat cepat. Tak terasa sudah 15 hari sejak pertama kali Zaid bergabung berkerja di rumah besar Pak Wijoyo.

Malam itu, seperti biasa selepas Isya Zaid menggendong Wildan mengantarkan bocah itu pulang kerumah. Sementara dibelakang Zaid, kaki kaki mungil Jihan mengikuti dengan langkah yang sedikit dipercepat mengimbangi langkah langkah lebar kaki Zaid.

"Jihan, nanti tolong bilang sama Ibumu, ada yang ingin Om Zaid bicarakan... ". Ucap Zaid ketika hampir sampai ke halaman rumah Pak Dahlan.

Jihan cuma menganggukkan kepala, dan setengah berlari mendahului masuk kedalam rumah setelah terlebih dahulu mengucap salam.

Zaid duduk diruang tamu sambil tetap memangku Wildan yang memejamkan mata seperti tertidur dalam gendongan. Sementara Jihan dan Asty ibunya terlibat pembicaraan di ruang dapur. Mungkin Jihan si bocah perempuan itu sedang menyampaikan apa yang guru ngajinya pesankan.

Berselang lima menit kemudian Asty keluar dari dapur, menuju ruang tamu dengan segelas kopi hangat. Ibu muda cantik itu duduk didepan Zaid, setelah meletakkan gelas kopi diatas meja.

"Silahkan diminum.. ". Asty menawarkan kopi sembari matanya menatap sang anak bungsu yang terlelap dipangkuan Zaid.

"Sudah lama tidurnya....? ". Wanita itu kemudian bertanya.

"Belum lama,.. ".

" Sekalian minta tolong antar kekamar ya...? ". Asty beranjak setelah berkata demikian, berjalan mendahului bermaksud menunjukkan kamar yang menjadi tempat tidur dia dan anaknya.

Dengan dada sedikit berdebar Zaid melangkah menuju kamar Asty, dilihat nya Pak Dahlan tertidur diatas bangku panjang, sementara Bu Utari sendiri mungkin berada didalam kamarnya.

Alunan suara lagu Dangdut Koplo yang dilantunkan seorang artis muda dari Jawa Timur terdengar mengalun merdu dari pemutar musik yang selalu dipegang oleh Pak Dahlan. Tak pernah jauh dari orang tua itu. Bahkan Jihan sendiri sebagai pemilik jarang menggunakan.

Zaid terenyuh. Itu adalah satu satunya sarana hiburan dirumah ini. Tak ada televisi, tak ada speaker aktif yang bisa memutar musik dengan suara yang lebih bagus terdengar.

"Kamar nya disini... ".

"Oh.. Iya... ". Zaid kaget. Hampir saja langkahnya bablas ke dapur karena melamun. Lelaki itupun kemudian berbalik dan masuk ke kamar yang redup oleh cahaya lampu berwarna biru. Suasana kamar yang sangat romantis sekali.

Bathin Zaid teriris pedih ketika mengingat sudah beberapa kali dalam bulan ini dia mengetahui Amin bertandang dan menginap di kamar ini. Kamar yang indah namun penuh aroma perzinahan.

Dada Sang Pria terasa sesak. Buru buru dia meletakkan tubuh Wildan diatas kasur, dan kemudian berbalik keluar dengan mata yang mulai basah berembun.

Setelah membenarkan kelambu tipis berwarna biru muda agar tak ada nyamuk yang masuk, Asty mengikuti Zaid keluar kamar. Sepintas dia merasa ada yang aneh dari sikap Zaid ketika tadi masuk kedalam kamar. Mata pria itu seperti memandang penjuru kamar itu dengan pandangan menerawang. Seperti ada kenangan yang melintas, atau apa.. Asty tak bisa memastikan.

Sebelum keluar, pandangan mata Asty tak sengaja membentur sebuah foto yang tergantung di dinding. Foto keluarga dengan bingkai hitam. Fotonya bersama suaminya Deni dan kedua anaknya. Saat foto itu diambil, Wildan baru berusia satu tahun setengah.

Apakah foto itu yang tadi diperhatikan Zaid....?.

Zaid telah kembali duduk diruang tamu. Kopi dalam gelas sudah tinggal separuh. Mungkin dia haus.

"Mau bicara apa..? ". Asty langsung saja bertanya setelah dia menghenyakkan pantatnya di kursi didepan Zaid. Terpisah oleh meja kayu kecil.

" Aku cuma ingin bertanya,.. "

"Tentang apa... ? ".

"Tentang Amin, sejauh mana hubungan kalian... ".

Asty mengerutkan kening. Heran..

"Apa urusan mu bertanya seperti itu...? ". Nada suara wanita cantik itu sedikit meninggi. Ada rasa tersinggung ditanya seperti itu.

"Hanya ingin tahu... ". Zaid menjawab pendek.

"Untuk apa...? ". Asty menyergah cepat.

"Kau bukan siapa siapa ku, bahkan baru kenal belum ada sebulan.. ". Lanjutnya.

"Kasihan Deni... ". Zaid berkata lagi dengan mata menatap gelas kopi diatas meja.

"Kau bahkan tak kenal Deni, jadi jangan ikut campur urusan orang.... ".

"Aku dan Deni sama sama lelaki. Sedikit banyak Aku bisa merasakan seperti apa pedih dan hancurnya hati suamimu kalau dia tau kau berselingkuh... ". Zaid sengaja menekankan kata selingkuh dengan suara yang lebih berat.

"Kau tak tau apa yang sebenarnya terjadi.. ". Asty masih mencoba berkilah. Jengkel sekali dia dengan Zaid, tapi Asty masih coba meredam gejolak amarah dihatinya. Lelaki kepo ini sangat menyebalkan.

"Cuma itu yang ingin aku bicarakan...? ". Asty menatap wajah lawan bicaranya dengan tatapan sinis.

"Masih banyak, tapi aku tak yakin kau mau mendengarkan.. ". Zaid tersenyum kecil, berusaha tetap tenang, meski hatinya sejak tadi meronta ronta ingin melepaskan segala amarah..

"Itu kau tahu, jadi berhentilah mencampuri urusan orang... ". Asty menjawab ketus. Dengan kedua tangan dilipat didada dan wajah yang dipalingkan kearah lain.

"Sebagai manusia, aku merasa wajib mengingatkanmu, jangan sampai kau menyesal dikemudian hari.. ". Zaid berkata lagi setelah terdiam beberapa saat.



"HMMM.. ". Wanita didepannya cuma merespon dengan deheman pendek. Acuh tak acuh.

Zaid menghela nafas. Dia paham sekali wanita ini sangat keras hati dan susah dinasehati.

" Sebelum terlambat, Dek.. ". Zaid berucap lirih..

Asty menatap wajah pucat itu sekilas. Dadanya berdesir mendengar kata kata Zaid yang terakhir.
Kalimat itu mengandung pengharapan yang sangat dalam.

Kata kata itu pelan, tapi mampu menyentuh bagian hatinya yang terdalam. Asty luluh.. Batinnya menangis. Wanita itu mulai menyadari dia telah terlalu jauh melangkah, telah terlalu jauh tersesat. Tapi bagian hati yang lain malah memunculkan jawaban lain, alasan lain kenapa dia tersesat. Sisi hati yang justru menyalahkan suaminya. Dia jadi begini karena suaminya. Kenapa harus dipenjara..?. Bahkan lebih buruk lagi, sisi hati yang dikuasai iblis itu menyalahkan Deni, kenapa harus muncul waktu itu, kenapa harus mengamuk dan menembak Jarot...?. Kenapa tidak mendiamkan saja....?.

Asty menunduk dalam dalam.. Sementara Zaid menatap wanita didepannya itu dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Pikirkan matang matang, Dek... Apapun yang terjadi disini, nun disana seseorang masih sangat mendamba mu, suamimu tak pernah berkurang sedikit pun rasa cintanya padamu.. ".

"Aku tahu... ". Asty masih menunduk. Matanya memerah.

"Tapi coba kau fikir, bagaimana aku menghidupi kedua anakku jika tetap mengandalkan Mas Deni...? ". Asty menengadahkan wajahnya menatap langit langit, berusaha sebisa mungkin menahan agar air matanya tidak tumpah.

Zaid menghela nafas, dugaannya benar. Kebutuhan hidup lah yang membuat Asty terpaksa melangkah keluar jalur. Tak terperikan betapa kesedihan merasuk dihati Sang Pria. Demi anak anak, Asty rela mempertaruhkan harga diri. Dan semuanya ini karena....... ?.

Zaid menundukkan kepala sambil meremas remas rambut gondrongnya.

"Semua ada padamu, masa depan kalian kau yang memegang kendali sekarang... ". Akhirnya setelah sama berdiam diri dengan fikiran masing-masing, Zaid kembali berucap, pelan.

"Masalah ekonomi, kita bisa usahakan bersama sama... ".

Asty menatap Zaid dengan mata menyipit mendengar kalimat barusan.

"Hei.... Jangan bilang kau juga mengincarku... ". Ucapnya terdengar dengan nada sedikit meninggi dan agak sumbang.

Zaid gelagapan.. Otaknya berputar cepat mencari dalih yang bisa dijadikan alasan.

"Bu.. Bukan begitu maksudku.... ". Agak tergagap juga Zaid jadinya dengan tembakan langsung dari Sang Wanita.

"Lantas.... Apa maksud kata bersama sama tadi...? ". Asty tersenyum sinis.

"Laki laki sama saja... ". Katanya lagi.

"Kau salah paham... ". Zaid terus mencoba berkilah.

" Lagipula, andaikan aku memang jatuh hati padamu, setidaknya aku tidak terlebih dahulu mengajak mu bercinta tanpa ada ikatan,.. ".

"Siapa yang tau isi hatimu... ". Balas Asty membuat lagi lagi Zaid kehabisan kata kata.

"Aku hanya menawarkan kebaikan, kalau kau tak berkenan, ya sudah.... ". Akhirnya Zaid menyerah, menghirup kopinya sampai tinggal tersisa ampas, kemudian pamit pulang.

Asty hanya diam menatap belakang badan Zaid yang berjalan gontai keluar rumahnya..

Sejujurnya kata kata Guru mengaji anaknya itu telah mengena telak dihati Sang Wanita. Kata kata yang tidak terbantahkan kebenarannya. Dia berkata seperti tadi hanya bermaksud agar Zaid tidak terlalu memandang rendah dirinya.

Kekerasan hati perempuan itu memang belum lah hilang. Hanya pada Amin saat ini dia terpaksa takluk, itupun bukan karena cinta, tapi karena materi dan juga hutang budi.



________________



Bukti sudah cukup. Pak Hermanto sedang mematangkan langkah selanjutnya. Polisi setengah baya itu ingin semua berjalan mulus dan tidak merembet kemana mana. Sekali sergap, selesai.

Zaid sudah bercerita tentang semuanya kepada Kyai Thoriq. Dan Kyai tua itu mendukung penuh segala rencana yang disusun oleh Zaid dan Pak Hermanto itu. Sebagai seorang ulama di desa Rahayu, Kyai Thoriq juga tak ingin wilayah Desa Rahayu menjadi basis peredaran barang haram itu.

Satu hal yang masih membuat Kyai Thoriq seperti tidak percaya adalah keterlibatan Pak Wijoyo dibalik ini semua. Kepala Desa Rahayu itu yang sepintas adalah sosok pemimpin yang baik dan jujur, ternyata tak lebih dari seorang Bandar narkoba.

Dengan semangat tua yang menyala, Kyai Thoriq pun melibatkan diri dalam menyusun skenario terbaik.

Jembatan kayu yang melintang diatas kanal seluas 35 meter yang menghubungkan Desa Rahayu bagian Timur dan bagian Barat sudah agak bergoyang jika dilalui sepeda motor. Salah satu jembatan lama yang berumur cukup tua, satu satunya jembatan kayu yang tersisa, karena tiga jembatan lain sudah dibangun dengan beton cor yang lebih kuat.

Kyai Thoriq sebagai tokoh masyarakat yang disegani, bersama dengan KAUR pembangunan desa, juga perangkat BPD, sepakat untuk merehabilitasi jembatan kayu itu, tentu saja atas sepengetahuan Kepala Desa.

Masyarakat Desa pun antusias dan dengan senang hati mengumpulkan dana Swadaya,. Ada sekitar Tiga ratus batang kayu gelam dan Dua puluh batang nibung yang dibutuhkan. Dengan dana dari Warga ditambah sedikit Kas Desa, masalah kayu sudah teratasi. Bahkan dana yang terkumpul masih tersisa banyak, sehingga setelah urun rembuk, akhirnya diputuskan tenaga kerja dari luar yang bakal mengerjakan perehaban jembatan itu. Biar tak merepotkan warga Desa, begitu alasan Kyai Thoriq sebagai yang punya usul.

Tiga hari kemudian pekerja dari luar itu sudah berkumpul di rumah Kyai Thoriq. Ada sebelas orang. Hampir semuanya berbadan tegap dan berotot. Cuma satu yang perutnya sudah mulai buncit. Dan sepertinya yang perut agak buncit itu adalah pemimpin rombongan. Dia yang paling tua, dan dia pula yang terlihat paling dipatuhi. Setiap kata katanya pasti dituruti dengan ucapan "siap bos, siap bos" Oleh pekerja yang lain.

Keesokan harinya, para pekerja sudah mulai mempersiapkan segala sesuatunya. Mengupas gelam, memotong dengan ukuran tertentu, kemudian sebagian yang lain juga mulai menancapkan batang batang nibung sebesar paha orang dewasa itu untuk mengganti tiang jembatan yang sudah rapuh.

Suara mereka ramai sekali, apalagi ketika tiga empat orang menggenjot batang nibung supaya tertancap lebih dalam. Dengan sebatang gelam yang diikatkan ke batang Nibung yang sudah tertancap sedikit, , empat orang kemudian naik menginjak batang gelam dan menggenjot kebawah dengan beramai ramai menghitung sebagai aba aba agar genjotan bisa Serempak.

Kesepuluh pekerja itu berkerja dengan riang gembira, mereka bernyanyi nyanyi dengan suara lantang dan tak kenal lelah. Sementara pemimpin mereka yang berperut buncit cuma melihat dari kejauhan, sesekali terlihat pria itu terlibat pembicaraan serius dengan Zaid dan juga Kyai Thoriq.

Para remaja putri pun ikut menyibukkan diri. Menyiapkan air minum dan aneka macam kue sebagai cemilan. Tentu saja keberadaan para gadis itu menjadi pemicu semangat tersendiri bagi para pekerja yang semuanya masih berusia muda.

Jika salah satu gadis mendekati, maka siulan siulan genit terdengar silih berganti. Hanya sebatas siulan, ditambah celetukan celetukan pendek yang masih terkategorikan sopan, sehingga para gadis cuma tersenyum dengan muka memerah malu sebagai reaksi balasan.

Sebagai perempuan muda yang tengah berada dimasa puber, digoda seperti itu mereka malah senang. Apalagi yang menggoda adalah pemuda pemuda ganteng seperti para pekerja itu.

Latifah dan Nirmala pun berada diantara para gadis itu. Wajah Nirmala terlihat ceria, suasana ramai itu mampu menjadi penghibur hati dan pelipur lara baginya. Sesekali terdengar Nirmala tertawa lepas menanggapi godaan iseng yang dia Terima. Gadis itu memang menjadi yang tercantik diantara para gadis yang ada disitu, bahkan Latifah pun kalah satu level. Otomatis dialah yang paling sering di isengi para pekerja.

Jilbab biru muda yang dipadukan baju kaos lengan panjang berwarna senada dan kulot krem membuat sosok Nirmala mudah sekali menjadi pusat perhatian.
Sebutan sebagai gadis tercantik di desa Rahayu memang pantas disandang oleh gadis ini, itu setelah Asty tak lagi gadis, karena kalau saja mamaknya Wildan itu masih gadis sekarang, maka kecantikan Nirmala Masih sedikit dibawah Asty.

Keramaian di jembatan kayu itu berakhir ketika sore menjelang. Para pekerja membereskan peralatan kemudian berjalan beriringan pulang kerumah Kyai Thoriq. Meski telah berkerja seharian, langkah para pekerja itu masih ringan dan cekatan. Seperti sama sekali tidak merasa capek. Empat orang termasuk pimpinan yang berperut agak buncit singgah kerumah Zaid. Mereka akan bermalam disitu, supaya rumah Kyai Thoriq tidak terlalu sumpek.

Sebagian pekerja merasa tidak enak juga kalau terlalu ramai dirumah Sang Kyai, karena ada anak perawan dirumah itu. Tentu akan sedikit risih sang anak gadis pak Kyai nantinya.

Malam hari nya, Nirmala yang mengantarkan makan malam Kerumah Zaid, gadis itu sengaja diperbantukan karena Latifah sendiri sangat sibuk di rumahnya, dari memasak, bersih bersih rumah, membuat bergelas gelas kopi dan kesibukan lain yang kadang kadang tak terpegang tangannya lagi.

Nirmala menuju rumah Zaid ditemani Nurul, anak bungsu Pak Kyai. Kedua tangan Nirmala dan Nurul mencangking rantang wadah makanan di kiri dan kanan. Untung saja jalanan tidak terlalu gelap sehingga kaki mereka tidak terantuk batu atau terperosok masuk kelubang lubang jalan. Bisa tumpah berhamburan itu makanan didalam rantang.

Selesai makan, Zaid menemui Nirmala yang masih duduk di bangku teras. Bersenda gurau bersama para pekerja yang ada disitu. Sedangkan Nurul sendiri sibuk dengan game di handphone sedari tadi.

Zaid tahu tentang peristiwa yang menimpa Nirmala, Latifah yang tempo hari bercerita. Dalam hati kecilnya Zaid terenyuh. Menatap wajah Sang Gadis yang masih terlihat berusaha untuk ceria, hati Sang Pria teriris iris. Korban kebejatan Jarot tak hanya Asty, tapi juga Nirmala. Gadis yang baru saja beranjak mekar.

Jarot pandai sekali memilih mangsa, setelah menikmati tubuh Asty yang merupakan mantan gadis tercantik kembang desa Rahayu, bangsat itu juga telah menghisap sari bunga pemegang gelar kembang Desa selanjutnya, Nirmala.

"Kang Zaid,.. ". Nirmala tersenyum manis sekali melihat Zaid datang mendekati.

"Sudah makan, Kang...? ". Tanya Sang Gadis dengan suara yang lembut dan merdu.

" Baru saja.. Enak sekali makanannya. Kamu yang masak ya...? ". Kata kata Zaid disambut tawa renyah Nirmala. Hatinya berbunga karena masakan itu memang dia yang memasak. Nirmala memang pandai memasak, Asty yang dulu sempat mengajari ketika istrinya Deni itu belum ikut boyongan masuk ke tambak.

Dulu, ketika Deni masih merintis, baru mulai belajar mengurus tambak milik Pak Mukhlis, Asty memang belum ikut ke tambak. Jadilah hampir setiap hari Nirmala berkunjung kerumah Pak Dahlan Ayah Asty, sembari bantu bantu momong Wildan yang waktu itu belum genap berusia dua tahun. Jarak rumah Nirmala memang tidak terlalu jauh. Hanya terpisah satu gang saja. Lagipula, kalau mau sedikit ditelusuri, masih ada kaitan saudara antara Pak Mardikun ayah Nirmala dengan Pak Dahlan ayah Asty. Meski sudah jauh. Mungkin mbah mbah mereka yang bersaudara.

Zaid duduk disamping Nirmala. Sementara para pekerja yang tadi mengerubungi, sudah menyingkir memilih tempat nongkrong masing masing. Ada yang dibawah pohon jambu air, ada yang dibangku kecil disamping rumah, ada juga yang memilih masuk kamar dan rebahan sambil tangan memainkan hape.

Nurul sendiri masih tenggelam dengan game nya, anak perempuan yang empat tahun lebih tua dari Jihan Anak sulung Asty itu tak perduli dengan sekitar. Bahkan dia tak memperhatikan sama sekali ketika Nirmala sedikit menggeser duduknya merapat ke tubuh Zaid..

"Kenapa.. Dingin...? ". Zaid berkata pelan, menggoda Nirmala yang tersipu malu. Sempat terfikir dihati Zaid untuk merangkul pundak Nirmala, tapi menyadari keberadaan Nurul membuat Zaid mengurungkan niatnya.

"Kenapa, malu...? ". Nirmala yang kini balas menggoda. Gadis ini sengaja membangunkan macan yang tertidur. Membuat Zaid gemes sekali dan tangannya bergerak nakal menggelitik pinggang Nirmala. Tak ayal Sang Gadis terpekik geli membuat Nurul terganggu.

"Apaan sih.. Berisik...!! ". Sang gadis kecil merengut kesal. Kemudian kembali tenggelam dengan handphone ditangan.

"Ehm ehm.... ". Terdengar suara batuk yang dibuat buat dari bawah pohon jambu air. Zaid pun tertawa tergelak.

"Iri bilang Bos.... ". Teriaknya yang dibalas sebuah timpukan buah jambu air kecil seukuran kelereng yang jatuh ke tanah akibat ulah kelelawar.

Tawa Zaid semakin keras berderai..

Setelah puas bercengkerama dengan membicarakan apa saja yang terlintas di dalam benak masing masing, tepat pukul sepuluh Latifah datang kerumah Zaid bermaksud menjemput Nurul yang tak pulang pulang. Matanya menyipit, dadanya sesak ketika melihat Zaid dan Nirmala terlihat duduk berdekatan dan bercanda ria. Ada rasa cemburu yang terselip dihati. Menorehkan perih dan melepaskan dengkul tentu saja.

Tapi Latifah berusaha menutupi rasa itu dengan senyum yang terkembang, meski tak sempurna.

"Asyik sekali Ngobrolnya.. Gak ngajak ngajak.. ". Latifah berusaha bercanda. Meski siapapun yang mendengar, akan menyadari suara itu sumbang.

Ada jengah yang tersemburat diwajah Nirmala, meski tak begitu kentara karena lampu teras yang temaram. Tak urung sang gadis salah tingkah karenanya.

Zaid yang duduk disampingnya, menyadari hal itu, sehingga kemudian sang pria berucap pada Latifah untuk mengubah topik pembicaraan.

"Tumben bukan kamu yang nganterin rantang, Dek...? ".

"Kan udah ada Nirmala, apa kurang cantik...? ". Jawaban Latifah masih tajam. Tapi Zaid cuma tertawa mendengar nya.

"Yang di antar itu makanan, apa hubungannya dengan wajah cantik...? ". Ucapnya berkilah.

" Mau yang ngantar itu gadis cantik, ataupun kambing dibedakin juga yang dimakan tetap makanannya, bukan yang nganter.... ".tambahnya lagi dengan tertawa, membuat Latifah semakin cemberut, sedangkan Nirmala tersenyum kecil kemudian bangkit berdiri untuk segera pulang. Kedua gadis yang diam diam mulai terlibat persaingan itu kemudian berjalan Beriringan menuju rumah Kyai Thoriq diikuti Nurul dibelakang dengan kedua tangan masih memainkan hape.

"Awas, kesandung jatoh, hancur pula hapemu... ". Latifah menegur adiknya yang cuma dibalas Nurul dengan Cengiran lebar.


Sepeninggal mereka, Zaid masuk kedalam rumah diikuti sosok pekerja yang dari tadi duduk asyik dia bawah pohon jambu air.

Sekarang, didalam rumah itu duduk berjejer lima orang pria membentuk lingkaran diatas tikar. Pria yang paling tua yang perutnya mulai buncit membuka suara terlebih dahulu.

"Mengikuti laporan laporanmu selama ini, dan juga setelah siang tadi sempat bertukar pikiran dengan Kyai Thoriq, kita harus cepat bergerak.. ". Ucapan itu tertuju kepada Zaid.

"Iya Pak, kita tunggu barang masuk, baru adakan sergapan.. Sementara ini, biarlah mereka tetap berpura-pura berkerja memperbaiki jembatan.. ". Balas Zaid sembari melirik tiga pria muda didepannya.

Ternyata para pekerja itu adalah Pak Hermanto beserta anak buahnya. Mereka sengaja berpura-pura menjadi pekerja jembatan, sembari menunggu waktu yang tepat untuk menyergap.

Kyai Thoriq dan Zaid sengaja membuat proyek perbaikan jembatan, agar ada kesempatan bagi Pak Hermanto dan para anak buahnya datang menyamar..

Akhir petualangan Pak Wijoyo sepertinya semakin dekat. Mampukah Pak Hermanto cs menggulung komplotan itu...?. Atau usaha mereka akan gagal karena rencana itu bocor....?.




Bersambung..
Mantaaff.... Makasih apdetnya @Lidause ... 👍🏿👍🏿👍🏿
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd