Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG That's Why I Love the Moon.

Status
Please reply by conversation.

INSYFCL

Senpai Semprot
UG-FR
Daftar
25 Mar 2011
Post
981
Like diterima
144
Bimabet
Selamat sore menjelang malam, semoga semua diberi kesehatan dan rezeki yang berlimpah.
Setelah lama bersembunyi di gua sub-for fiksi dan sempat menulis karya pertama berjudul "My Fiery Fireworks", izinkan saya seorang nubie yang hina ini untuk berbagi karya kedua saya :




Kisah yang kisahkan, lalu diceritakan dan kemudian dituliskan ini bercerita tentang kehidupan seorang Angga, seorang Barista yang mempunya kedai kecil bernama "Cups~n~Ciel" di salah satu sudut kota Bandung. Seorang pribadi sederhana yang masih mencari makna akan "cinta" yang sebenarnya. Sampai akhirnya ia bertemu seorang gadis lincah penuh pesona yang sangat menyukai rembulan di malam hari, April namanya. Apakah ia akan menemukan "cinta" yang ia cari dari April?
Well, happy reading.

-o00o-


Cast
(In Order of Appearance)









DISCLAIMER:

1. ILUSTRASI HANYA SEBAGAI PENDUKUNG CERITA, JIKA ADA YANG TIDAK BERKENAN, SILAHKAN PM.

2. JIKA ADA KESAMAAN TEMPAT, WAKTU DAN PENOKOHAN, HAL ITU MURNI KETIDAKSENGAJAAN.

3. RAWAN MACET, HARAP MAKLUM.

 

“All is fair in love and war...” begitulah kata pepatah dari barat yang aku baca dari sebuah novel. Karena cinta dapat membuat batas logika benar dan salah seakan memudar. Tatanan norma yang berlaku baku pun terasa hanya sebuah omong kosong. Dan karena cinta juga, manusia mati-matian berkorban waktu, tenaga bahkan perasaan... semua demi seseorang yang dicintai... tidak peduli bagaimana caranya...

Meski harus berperang dan akhirnya mengorbankan orang lain. Atau bahkan diri sendiri. And it’s fair enough.

Cinta... tersusun dari lima huruf namun gagal dimaknai oleh manusia. Dan buatku, seorang Angga yang telah malang melintang di “dua dunia”, masih belum bisa menemukan apa artinya cinta. Aku lupa berapa banyak wanita yang telah aku cium bibirnya, memeluk tubuhnya lalu menidurinya. Dari kalangan biasa hingga idola ternama... tetap saja aku masih gagal mengartikan cinta. Meski aku kini sudah milik seseorang... Tidak... Dua orang yang katanya mencintaiku saat aku meneguhkan janji suci di depan penghulu dan saksi... juga buah hatiku yang menunggu kehadiranku, menanti diriku membawa boneka karakter robot kucing gendut dari masa depan asal Jepang di hari ulang tahunnya.

Apakah aku senang menjalaninya? Tidak juga. Mungkin aku lebih suka menyebutnya dengan “kutukan”. Kadang aku merasa lelah menjalani semua ini. Memakai topeng tebal dan menganggap semuanya biasa saja. Dan menikmati semua beban di pundak dengan mencecap segelas kopi yang aku racik sendiri. Kopi-kopi yang aku kumpulkan dari berbagai daerah dengan berbagai macam karakter, proses dan cerita di baliknya lalu aku sajikan pada pelangganku. Dengan biji-biji hitam berharga ini, aku dapat mengisi pundi-pundi Rupiahku. Lumayanlah buat hidup hari lepas hari... meski pas-pasan juga sih hahaha.

Ya, aku suka sekali kopi. Kopi membuatku mengerti akan pentingnya sebuah proses. Hitam pekatnya kopi mengingatkanku pada kelamnya hidupku beberapa tahun ke belakang. Namun, dengan proses yang panjang, kesabaran tingkat tinggi saat penanaman dan pasca panen, serta penyajian yang tepat... Hitamnya kopi akan memunculkan rasa yang berbeda dari anggapan orang kebanyakan... Yaitu pahit.

Dan proses itu membawaku pada perkenalanku dengan seorang gadis. Gadis yang sangat menyukai rembulan di malam hari. Gadis yang membuat logikaku makin tersamar oleh pesonanya hingga berani mengorbankan diriku sendiri untuk melindunginya. Dan mungkinkah ia akan membuatku mengerti arti cinta yang aku cari? Jadi, Izinkan aku mengisahkan sebuah kisah yang dikisahkan, lalu diceritakan dan kemudian tertulis dengan tinta penuh kenangan.

-o00o-​

Di sebuah kedai kopi, sekitaran Tol Gunung Putri, Bogor...

2 gelas kopi tersaji di depan kami. Uap masih sedikit mengepul di permukaan. Aku sengaja memesankan kopi terbaik yang di miliki cafe ini. Aku meminta sang barista untuk menyajikannya dengan metode V60 untuk memunculkan citarasa dan aroma khas beans-nya. Kopi terbaik harus disajikan dengan metode yang tepat. Aku ingin mengenalkan sensasi ngopi yang berbeda pada gadisku ini.

Sluuurp

“Gimana?” Lirikku pada gadis di sebelahku. Ia nampak mengerenyitkan dahi tepat setelah cecapan pertamanya “Kok asem ya? jangan-jangan basi nih!” protesnya. Ya, ampun... aku hanya menggeleng dan mengurut dahiku menanggapi kesan pertama yang ia ungkapkan.

“Emang asem, kok!”

“Ini kopi terbaik yang diakui dunia lho! Enggak sedikit Q-Grader yang menilainya dengan predikat terbaik. Masa dibilang basi!”

“Ah, enggak ngerti.”

“Hadeuuuh... dasar wanita.”

“Iya... iya... Aa’ kan barista, aku kan awam soal kopi. Mana tahu rasa kopi yang terbaik itu gimana?”

“Makanya, belajar biar ngerti. Kalau enggak mau belajar gimana bisa bedain mana kopi enak dan kopi yang biasa aja” ketusku padanya.

“Enggak ah, aku enggak terlalu suka ngopi soalnya.”

“Ya gimana mau ngerti aku kalau kamunya enggak mau belajar?”

“Tunggu dulu... Apa hubungannya kopi sama ngertiin kamu?”

“Semuanya, dong! Kamu kan tahu kalo kerjaanku bergantung sama kopi”

“Aa’!” Ia meninggikan nadanya padaku. Ia menatapku dengan tatapan sedikit emosi padaku. “Kok kamu jadi sewot begini sih? I just want to hangout with you! Aku pengen santai kenapa jadi serius begini sih?”

“Abisnya...”

“Apa?”

“Enggak... Enggak ada.” balasku seraya membuang muka ke arah berlawanan dengan tatapannya. Seketika mentalku jatuh ke titik terendah. Ku rasakan emosinya mulai memuncak.

“Nikmatin aja kopinya sendiri, aku mau pulang” ia meraih tasnya dan beranjak meninggalkan meja kami.

“April! Tunggu...” ucapku berniat untuk menahan niatnya untuk pergi.

April. Begitulah aku memanggil gadis itu. Dan ia telah beranjak keluar dari kedai kopi. Meninggalkan aku sendiri dengan gelas-gelas kopi yang masih penuh. Terlintas untuk mengejarnya namun kaki ini rasanya enggan untuk melangkah. Ku teguk gelas kopiku dan menyalakan sebatang rokok filter kegemaranku. Ku hisap asap nikotin memenuhi relung paru-paruku. Ada apa denganmu ini, Angga? Apa salah April? Apa egomu sebagai barista mulai mempengaruhi hubunganmu dengan April? Aku hanya bisa bertanya-tanya dalam hati.

Ya... rasanya aku terlalu egois jika harus membuatnya terseret ke dalam duniaku lebih jauh. Padahal ia punya dunia sendiri. Seorang gadis yang gemar menghibur banyak orang dengan bernyanyi dan menari di bawah payung agency ternama. Dan penghasilannya pun sudah mencukupi penghidupannya. Entahlah... akhir-akhir ini emosiku mudah tersulut. Di bulan ke-6 hubunganku sebagai “pacar hantu” April. “Pacar hantu”? ya, kami diam-diam menjalin hubungan di belakang gemerlap panggung dan riuh rendah teriakan para penggemarnya. Tentunya tanpa sepengetahuan agency-nya yang melarang semua anak asuhnya untuk berpacaran lebih dulu.

Entahlah, mungkin mereka takut sentuhan “magic” mereka menghilang? Sa bodo teuinglah!

Gerimis menyambutku sekeluarnya dari kedai kopi. Ku pacu kuda besi buatan Jepang berlogo sayap buatan tahun 2012 menyusuri jalanan Kota Hujan penuh kebimbangan. Rokok masih setia terselip di antara bibirku meski sedikit terciprat air hujan yang menghantam bumi.

Gerimis mulai berubah menjadi hujan deras. Terpaksa aku menepi di halte terakhir di ujung kota. Sedang apa ya April sekarang? Dengan tangan yang sedikit basah karena hujan, ku ambil handphone di kantongku dan mengirimkan pesan pada April.

“Neng, Aa’ pulang dulu ya... Maaf soal kejadian di kedai kopi tadi”

Beberapa saat kemudian, terlihat status online.

“Iya, A’... Hati-hati... Maafin April yang belum bisa ngertiin Aa’... Love you A’... Terima kasih untuk hari ini” begitu balasnya. Aku tersenyum membaca balasannya. Membuatku sedikit bersemangat untuk kembali ke kota yang sangat aku banggakan. Bandung, here I come!

-o00o-​

Di suatu komplek perumahan, dalam kamar...

Sang gadis tak sengaja membanting pintu kamarnya, sisa amarahnya akibat sikapnya pada kekasihnya, Angga beberapa jam yang lalu. Sebuah kamar dengan dinding yang bercat putih. Terdapat beberapa pernak-pernik khas wanita di beberapa sudut kamar, koleksi buku bacaan karya Murakami hingga Harper Lee tersusun rapi pada rak di atas tempat tidurnya. Foto-foto serta fanart hadiah dari penggemarnya tergantung menghias dinding kamarnya. Sang Gadis melempar tasnya ke sembarang tempat lalu menjatuhkan diri pada kasurnya yang empuk.

“Aku kan emang enggak suka kopi, ya maaf...” gumam April menerawang kosong langit-langit kamarnya. “Apa yang dipikirkan A’ Angga sampai kelihatan kalut gitu? Kurang tidur kah? Maafkan aku A’... Aku memang manja dan aku selalu memaksa Aa’ untuk bertemu di sela kegiatanya dan kegiatanku yang super padat di dunia entertainment dan enggak kenal waktu... Aku Cuma kangen, itu aja” ucapnya. “Huft... lebih baik aku tulis di notes biasa aja deh”. Sang Gadis pun mengambil tas yang ia lemparkan tadi, mencari-cari notes yang ia maksud lalu beranjak menuju meja belajarnya. Ia ambil pulpen yang tersedia dalam kotak stationery di depannya lalu mulai menuliskan perasaannya hari itu...

Notes : Bogor , @ my room

Dear cici, hari ini aku ketemu Aa’ di kedai kopi kecil deket gerbang tol sekitaran Gunung Putri
Aku sih niatnya cuman mau pesan Matcha Latte? cici tahu kan? dulu belum ngehits kali ya matcha hehe... canda, ci


Tapi entah kenapa Aa’ sedikit memaksa aku untuk mencicipi kopi yang di saring oleh benda yang mirip corong minyak tanah itu
Aku iyakan saja deh kan namanya juga demi
Tapi Aa’ kok jadi senewen, dulu dia suka kaya gini ga ci ?


Aku bete beneran

Aa’ malah marah-marah pas aku bilang kopinya basi
Ya gimana ci, emang asem kok kopinya
Walau aku pernah baca di halaman depan kalau Aa’ itu sama kaya cici , sama2 penggemar kopi
Tapi kan aku awam
Apa aku harus langsung jadi “snob”?
Ga kan ?


Aa’ ih makin bikin aku salting tau kadang Aa’ itu manis ga ketulungan kadang juga nyebelin ga karuan

Tapi...

Karena hal itu hidupku jadi lebih berwarna ,
Seperti sekarang
Walau aku kesel sama Aa’
Tapi aku langsung kangen lagi
Aku harap waktu kita berdua lebih banyak A’...
Aku suka ada disamping Aa’...
Denger celotehan Aa’...
Cuman sama Aa’ aku bisa tertawa lepas


Menangis tanpa batas

Dikasihi

Dicintai

Dan

Menjadi wanita dewasa seutuhnya

With love, Aprilmoon.

Sejujurnya, April sedikit malu karena mencurahkan isi hatinya ke dalam notes usang itu. Namun, notes itu sangat berharga bagi dirinya. Notes berisi cerita-cerita yang membuai hatinya. Hampir setiap saat ia membawa serta notes itu di setiap kesempatan. Baik saat bepergian atau berkegiatan bersama talent agency-nya. Tiba-tiba handphone berlogo buah Apel tergigit miliknya begetar. Sebuah panggilan masuk dari Supreme Leader-nya di agency.

“Halo, teh... ada apa?” ucap April dengan suara bernada menengah khasnya.

“Di mana lo?” balas si Supreme Leader singkat nan tegas.

“Di Bogor, teh... kenapa?”

“Lo ke Jakarta sekarang juga.”

“Buseeet, gila aja! Jam berapa nih sekarang? Enggak bisa besok pagi aja gitu?” jawab April setengah tidak terima. Mengingat jam sudah menunjukkan waktunya untuk dirinya beristirahat. “Emang kenapa sih sampai gue harus ke Jakarta sekarang?” sambung April ingin tahu.

“Besok siang kita ada perform di TV Rajawali. Dan itu Live on air.”

“Hah? Masa?” April segera membuka email pribadinya lewat handphone dinasnya. Ia mencari-cari jadwal yang di maksud namun tidak menemukannya. “... Kok enggak ada di jadwal gue ya, teh?”

“Emang dadakan kali... Gue aja baru di kasih tau sama management barusan.”

“Wah, parah asli... Eh, besok bawain lagu apa?”

“Single baru kita.”

“Eh, serius? Bukannya gue enggak masuk 16 besar talent pilihan single baru ya? Gue kan Under-Talent urutan ke-23.”

“Lo besok gantiin Fey, dia enggak bisa perform besok, auk deh kenapa.”

“Lah? Beneran? Oke, gue berangkat sekarang kalo gitu”

“Mau nyetir sendiri lo ke Jakarta?”

“Enggaklah! Minta anter adik gue dong. Gila aja gue nyetir malem-malem gini sendirian. Ngeri kenapa-kenapa di perjalanan.”

“Ya udah, hati-hati ya. Nuhuuun...”

“Siap, teh! Sami-sami.”

April menutup sambungan telepon sang Supreme Leader. Pikirannya menerawang akibat kabar yang ia terima barusan. “Gue gantiin Fey? Hmmm... kayaknya bakal ada kejadian menarik.” Batin April seraya tersenyum kecil. Tanpa basa-basi ia pun segera bersiap-siap menuju Jakarta. April mengambil beberapa potong pakaian dan barang-barang yang ia butuhkan. April memasukan barang-barangnya ke dalam koper berukuran sedang. Menata seadanya saja karena tidak ingin membuang-buang waktu lagi.

Setelah memastikan barang-barang yang dibutuhkan sudah masuk ke dalam koper, April segera menuju kamar adiknya. Ia sedikit kerepotan mendorong koper dengan handbag Ted Baker Glitter Bow Icon tergantung di lengannya. “Deeeeek...” Panggil April di depan kamar adik laki-lakinya, Refan. Beberapa kali April mengetuk pintu kamarnya namun belum ada respon berarti dari sang pemilik kamar. April mengetuk pintu kamar adiknya sekali lagi dan kenop pintu terputar. Refan nampak sangat berantakan. Rambut ikalnya terlihat kusut, mata yang sedikit menyipit beradaptasi dengan cahaya sekitar dan menguap lebar-lebar.

“Duh, apaan sih teh malem-malem ngetok kamar gue? Lagi enak-enak tidur juga!” protes Refan pada April karena tidurnya terganggu. April menatap Refan yang tidak bisa menyembunyikan muka kantuknya. Di satu sisi April merasa kasihan karena merepotkan Refan, namun panggilan tugas memaksanya. April memang sangat dekat dengan Refan. Tetapi kesibukannya sebagai talent agency yang membesarkan namanya beberapa tahun ke belakang membuat kebersamaan mereka berdua berkurang. Akan selalu ada dikorbankan untuk mewujudkan mimpi.

“Tolong anterin gue ke Jakarta sekarang.”

“Malem-malem gini? Ngapain?”

“Gue ada perform dadakan di TV Rajawali besok siang...”

“Enggak bisa nunggu pagi apa? Ngantuk nih gue seharian di kampus.”

“Enggak bisa. Harus sekarang! Nanti gue traktir makanan favorit lo sepuasnya.”

“Hadeuuuh... ya udah deh. Tapi bener ya? Jangan bo’ong lu.”

“Iyeeee... bawel! Sana cuci muka dulu biar segeran. Gue tunggu di ruang tamu.” Refan selanjutnya bersiap-siap meski bahasa tubuhnya menunjukkan keenggannanya, sementara April menjinjing kopernya menuju ruang tamu. 15 menit kemudian, mobil Terios hasil jerih payah April meninggalkan rumahnya. Membelah jalanan Bogor yang lengang di tengah malam untuk menuju Jakarta.

-o00o-​

Bandung, 8 bulan sebelumnya...

“Ahhhh... Sha, jangan disitu...”

“Maaf, Kak...”

“Nafsu bener sih kamu?”

“Abis gemes sih... Heheee.”

“Ya udah cepetan, di bawah udah mulai rame nih.”

“Iya... iya... mmmhhh....”

Lantai dua bangunan tua ini sangat kontras dengan suasana lantai bawah di malam minggu ini. Ramai, penuh gelak tawa dan canda, obrolan sambil lalu dari para pelanggan kedai kopi kecilku yang aku beri nama “Cups~En~Ciel”. Tidak asing ya? Memang, kedaiku ini ku beri nama dengan sedikit memplesetkan nama band rock Jepang kenamaan kesukaanku. Bahkan sejak aku masih bersama Caroline dan Vio. Sedang di tempatku saat ini berada, suasana tadi sangat berkebalikan. Sedikit gelap namun tidak terlalu pengap, namun cukup membuatku berkeringat.

“Ah... Kaaak... mmmmh...”

“Sssssst...”

Eh, apa yang aku lakukan di sini ya? hehehehe. Hanya sedikit “bermain-main” sebentar dengan my lovely Alesha. Siapa Alesha ini? Seorang mahasiswi tingkat akhir kampus swasta di Bandung yang entah dari mana mengenalku. Rambut panjang sedikit melebihi bahu, wajahnya cantik polos, tubuh agak sintal dengan ukuran dada yang membuat laki-laki di luar sana bisa berubah jadi seperti Serigala kelaparan. Ia sering sekali mampir ke kedaiku dan kejadian di lantai dua ini sudah beberapa kali beberapa kali terulang.

“Kak, aku mau ke... aaaaah!”

Nafas Alesha tertahaan sesaat. Tubuhnya mengejang tidak karuan. Beruntung posisi standing doggie ini dapat menahan tubuhnya yang tiba-tiba lunglai seperti tak bertulang. Aku merangkulnya dari belakang sembari meremas payudaranya yang berukuran luar biasa. Hmmm... Aku biarkan Alesha menikmati sensasi orgasmenya sejenak. Setelah itu, aku kembali memompa tubuhnya tanpa permisi dengan tempo tinggi. Ku rasakan sensasi kedutan mulai menjalar di seluruh batang penisku tanda aku harus mengakhiri kenikmatan surga duniawi ini. Cepat-cepat ku cabut penisku dari lubang vaginanya.

Maksud hati aku ingin membuang spermaku ke arah samping, namun dengan sigap Alesha berjongkok dan melahap penisku. Dikulumnya dengan lembut dan menghisapnya perlahan dan “Arrrggghhh!! Ah... ah... ah... Ngggghhhh!”. Aku mengejan beberapa kali, menembakkan cukup banyak air mani di dalam mulutnya. Sepertinya Alesha telah menelannya karena saat aku orgasme, ia menahan bibirnya tepat di ujung penisku. Seakan tidak puas, Alesha menjilati kepala penisku, berharap ada sisa-sisa sperma yang tertinggal di sana. Sungguh telaten ia memanjakan penisku yang perlahan mulai menyusut dari ketegangannya. Ahhh... sensasi seks singkat yang luar biasa sementara rekan-rekanku sibuk meracik kopi di lantai satu. Sedang aku di sini enak-enakan menghajar perempuan yang usianya terpaut tidak terlalu jauh di bawahku. Sungguh menyenangkan. Terima kasih, Alesha.

Alesha segera mengenakan celana jeans ketatnya yang tersangkut di lututnya. Sengaja kami tidak bertelanjang bulat karena waktu yang sangat sempit. “Kak, aku ke bawah duluan ya...” ujar Alesha sembari merapikan pakaiannya.

Aku mengambil sebatang rokok dari kotaknya “Iya, sha. Aku di sini sebentar. Mau sebats dulu.” Balasku lalu menyelipkan rokok di antara bibirku.

“Jangan lama-lama, Kak. Nanti ada yang curiga lho.”

“Iya, iya... tenang aja.”

Ku nyalakan rokok berperisa caramel favoritku. Fffiiiuuuh... Asap terhembus lurus dari dalam rongga mulutku. Membentuk kepulan layaknya kumpulan awan di remang ruangan yang tidak terlalu luas ini. Beban pikiranku seakan sirna bersama asap yang ku hembuskan. Dari literatur online yang ku baca, zat Nikotin dalam rokok membuat si perokok terstimulasi untuk berpikiran bahwa pikirannya hilang seiring dengan hembusan asap rokok yang ia keluarkan. Entah benar atau tidak, begitulah yang aku rasakan saat ini. Semua gambaran dalam pikiranku seakan terproyeksi terbang bersama kepulan kelabu itu.

Gambaran aku menantang bahaya untuk kesekian kalinya mengingat ini adalah kedaiku dan banyak pegawai di bawah sana. Belum lagi risiko jika tiba-tiba ada istriku saat ini, Dyaningsih datang... Ya, aku sekarang berstatus milik Dyaningsih. Sah menurut agama dan saksi-saksi yang hadir pada akad nikahku. Sebuah akad nikah sederhana dan jauh dari kesan mewah. Tidak ada pesta hingar bingar. Hanya syukuran kecil-kecilan saja dengan saudara-saudara dari pihak Dyaningsih. Duh... Aku tidak bisa membayangkan jika itu terjadi. Aku takut tidak bisa menahan emosi Dyaningsih yang jika terpicu bisa sangat berbahaya. Perang Dunia ke-3 bisa saja terjadi jika Dyaningsih meledak emosinya.

Tapi Alesha... Ia datang sendiri ke kedaiku. Wanita yang entah kenal diriku dari mana yang tiba-tiba... ia menyatakan perasaan nyamannya saat berada di dekatku. Dengan “aset” yang memukau pada daerah dadanya, aku yakin semua pria di seantero Bandung pun tidak akan tidak berdecak kagum memandang “aset” Alesha. Sudah naluri pria akan terpana dengan keindahan dada Alesha yang menggunung penuh isi, begitu juga aku. Tunggu, sudah berapa kali aku memuji dada Alesha di sini? Hahaha. Dan hal ini sudah pasti Dyaningsih tidak menyukainya. Alesha sendiri memilih menghindar jika ada Dyaningsih di kedaiku.

Setelah aku merapikan diri, satu per satu langkah kakiku menapaki anak tangga dari kayu. Masih cukup kuat menahan bobot tubuhku yang kian hari kian subur belakangan ini. Aku berjalan santai dengan rokok yang masih terselip di bibirku menuju meja barista, tempatku berjibaku menyajikan kopi. Sekilas ku lihat keramaian pelangganku menikmati racikan kopi houseblend hasil roasting-anku yang tersaji di depan mereka. Racikan yang sengaja aku sajikan khusus untuk malam minggu saja. Biji-biji kopi terbaik dari Gunung Puntang yang mempunyai rasa manis nan menggoda. Aku mencampurnya dengan 4 jenis biji kopi Arabica dari dataran tinggi lainnya dan kemudian campuran itu masuk ke dalam roaster untuk disangrai hingga tingkatan medium. Tingkatan yang dianjurkan agar para coffee snob bisa merasakan aftertaste khas dari campuran biji kopi tadi.

Sayup-sayup lagu Plastic Love milik Mariya Takeuchi berkumandang di antara riuh rendah obrolan-obrolan pelangganku. Aliran City Pop / Future Funk musisi-musisi Jepang 80-an yang santai namun mengasyikan seperti ini membuatku bersemangat. Aku merasa sedang mengayuh santai sepedaku di daerah pemukiman urban kota Tokyo, menikmati hembusan angin musim semi pada sore hari dengan pemandangan matahari terbenam di antara gedung-gedung pencakar langit.

Aku suka dengan musik era 60-an hingga 90-an. Apapun genrenya, Asal enak didengar, pasti aku akan mengulik sampai ke akar-akarnya. Bagiku, lagu-lagu yang dirilis pada tahun-tahun keemasan tersebut adalah lagu-lagu yang tidak akan lekang termakan oleh zaman sampai kapan pun. Tapi aku kurang suka dengan musik kekinian yang terasa “artificial”, semua terasa dibuat oleh mesin bukan oleh manusianya sendiri. Mengandalkan bebunyian MIDI dengan notasi-notasi sederhana, progresi chord yang monoton serta pola aransemen yang tidak dinamis. Pantas saja lagu-lagu itu tidak bertahan lama hingga akhirnya usang dan tidak diingat lagi oleh orang-orang. Aku merasa tidak cocok saja, meski beberapa kawan-kawanku di era GOR Saparua sukses berkarir di genre musik itu. Namun aku masih sering bertegur sapa dengan mereka dan kadang mereka datang ke kedaiku sekedar mampir atau memang ada janji denganku.

Aku teringat seorang kawan jauhku berkata “Lo kenapa pensiun dari musik sih? Bakat lo itu bisa datengin duit. Lo bisa jadi produser yang orbitin band atau penyanyi.” Aku hanya menjawab : “Enggak, gue bosen jadi anak band. Udah bukan zamannya lagi gue di sini. Mending gue jualan kopi, duitnya jelas, enggak mumet mikirin royalti yang kadang dibayar, kadang juga enggak.” Ya, aku sudah bosan jadi musisi, sekarang aku hanya menjadi penikmat. Menjadi musisi di Indonesia jika tidak tahu soal aturan mainnya, hanya akan menjadi Sapi perah lable-lable besar.

“Hai, Kak Angga...” Sapa Alesha sesampainya aku di meja barista. “Halo... hehehe.” Balasku cengar-cengir. Alesha selalu duduk di meja barista, berhadapan langsung dengan tempatku meracik kopi. Ia selalu memesan coklat panas dan betah berlama-lama di tempat favoritnya, sambil bercerita tentang apa saja. Mulai dari dirinya, kehidupan percintaan dengan pacarnya saat bahagia, sakit hingga konsultasi soal seks. Gila bukan? Menurutnya, aku adalah orang yang layak menjadi tempatnya berkeluh kesah dan meminta saran. Mengingat usiaku yang jauh lebih senior dari dirinya dan jauh lebih berpengalaman. What the fuck?

“Kok lemes gitu sih kelihatannya, kak?” Tanya Alesha berbasa-basi, memulai obrolannya denganku. “Hmmm...” gumamku menanggapinya. “Abis pipis enak sih tadi hehehe...” Ledek Alesha menyinggung seks kilat kami tadi. “Heh! Sssst... jangan kenceng-kenceng. Nanti yang lain denger!” Hardikku setengah berbisik.

“Iya, maaf... maaf... hihihi.”

Langit di luar terlihat kelabu. Awan-awan Kumulonimbus berkumpul dan menggulung satu sama lain karena hembusan angin Muson. “Eh, di luar hujan ya?” sadarku ketika rintik gerimis berubah menjadi rinai hujan yang lebat.

“Iya nih, jadi susah pulang deh...”

“Halah, alasan. Bilang aja kamu masih betah lihat ketampanan kakakmu ini hahaha.” Candaku penuh percaya diri. Ya... biar muka pas-pasan, percaya diri mah kudu!.

“Iiih... Kakak mah gitu deh, ya udah aku pulang aja.” sungut Alesha berpura-pura kesal dengan membereskan tas dan barang bawaannya. Ia pun memanyunkan bibirnya dan membuatnya terlihat lucu dan menggemaskan. Ah! Rasanya aku ingin melompat dari meja bar ini dan menerjangnya lalu menciumnya habis-habisan.

“Masih hujan...”

“Biarin, hujan air ini. Paling juga sakit nanti...”

“Eh, jangan atuh... tunggu reda dulu baru boleh pulang.”

“Abisnya...” Alesha masih kukuh dengan gestur protesnya yang menggemaskan.

“Udah... diem di sini, bandel ya kalo dibilangin.”

“Iya! Bawel...” Alesha melipat kedua tangannya dan membuat kedua buah dadanya yang berukuran tidak biasa itu terhimpit. Ugh! Tahan Angga... Tahan!.

“Kang, ini pesanan meja nomor 4” obrolanku terhenti saat pegawaiku datang membawa pesanan dari pelanggan yang baru saja datang. Hmmm... Let me see... Oke, Single Origin Minanga... V60 light... Tidak ada permintaan khusus... Sepertinya mereka ingin tahu rasa yang aku tawarkan sebagai barista dan roaster kedai ini. Challenge accepted!

Kubuka perlahan toples kaca berisi single origin beans Minanga. Semerbak aromanya yang masih segar terhirup olehku. Hmmm... momen ini yang tidak akan pernah tergantikan oleh apapun ketika biji kopi terbaik yang di proses natural dan roast yang kurasa cukup sepadan dengan jerih payah petani kopi di daerah Sapan-Minanga, Sulawesi Utara ini punya karakter fruity dan sedikit rasa coklat karena tumbuh di antara tanaman buah-buahan tropis dan rempah-rempah. Selalu ada getaran menyenangkan di setiap desir darah dan semua indra perasaku pada saat hirupan ini menusuk hidung dan otakmu. Dan menyeduhnya dengan alat V60 adalah cara yang tepat untuk memunculkan karakter-karakter tersebut.

Takaran 16 gram kurasa cukup, grinder 600 LN ku atur di posisi 3 rpm. Pengaturan yang biasa aku gunakan setiap menyajikan kopi filter dengan karakter ringan. Sebenarnya setiap grinder mempunyai hitungan yang berbeda di tiap pengaturannya, kadang tingkatan gilingan fine grind-ku berbeda dengan hasil gilingan kompetisi manual brew, maka dari itu aku selalu membiasakan melihat tekstur bentuk after grind-nya. Jika dirasa cukup sesuai perkiraan, baru aku memanaskan air sampai 100 derajat celcius dan menurunkan suhunya sekitar 15-20 derajat.

Perlahan aku menuangkan air panas dalam ketel dengan putaran melawan arah jarum jam. Ku tunggu beberapa saat untuk memulai proses Blooming atau pelepasan gas karbon dioksida yang terperangkap di tahap sangrai setelah diseduh air panas demi menghasilkan hasil konstan saat seduhan pertama. Disebut Blooming karena saat kita mempertemukan kopi dengan air panas, karbon dioksida yang terkandung dalam kopi terdorong keluar. Gas yang keluar dari biji kopi ini menimbulkan buih dan dan partikel air mengisi ruang kosong kemudian membuat kopi ini blooming atau mengembang.

Proses ini sangat penting untuk menghilangkan gas karbon dioksida yang menghalangi air untuk melarutkan kopi, jika terlalu banyak air, karakter dan citarasa kopi bisa hilang dan terasa hambar. Setelah kurang lebih 45 detik, aku kembali melakukan seduhan yang kedua sampai aku bisa menemukan titik yang pas sebagai tanda aku mengakhiri proses menyeduh. Aku menggoyang-goyangkan wadah kaca Hario yang menampung hasil seduhan kopi tadi lalu menuangkannya pada gelas kaca. Akhirnya segelas kopi Minanga siap disajikan untuk pelanggan di meja nomor 4.

Mungkin bagi orang lain kegiatan seperti ini selayaknya proses penelitian di laboratorium kimia. Tapi bagiku, meminjam kata-kata karakter rekaan penulis wanita terkenal di buku kumpulan cerpennya : “Gue enggak pernah bercanda soal kopi”.

“Kak...” tiba-tiba Alesha memegang lenganku. Aku pun refleks menepisnya pelan. “Eh, jangan pegang-pegang! Banyak orang nih.” Ketusku.

“Ih, galak amat sih! Aku kan mau nanya sesuatu...” sungut Alesha.

“Iya, sebentar ya...” ucapku sambil membunyikan bel tanda pesanan sudah siap disajikan. Dengan sigap, pegawaiku mengambil pesanan dan meletakannya di meja nomor 4. Aku pandangi sejenak si pelanggan yang tengah mencium wangi kopi yang tersaji. Ia mencecapnya sedikit dan mengangguk pelan. Nampaknya ia puas dengan hasil seduhanku. Ya, tidak ada yang lebih menyenangkan ketika pelanggan puas dengan pelayananku. Seperti aku memuaskan wanita-wanitaku selama ini... eh, gimana? Hahaha.

“Oke, kamu mau nanya apa, Sha?” Alesha terlihat berpikir sejenak merangkai kata.

“Mmmm... Kak, emang bener ya kalau mood barista itu ngaruh ke rasa kopi yang dibuatnya?”

“Lho, tumben kamu tanya soal kopi? Bukannya kamu chocolate addict ya? makanya badan kamu gede. Apa lagi itunya hehehe.” Candaku sedikit mengarah mesum seraya mengkode bagian dadanya yang padat dan menggoda.

“Heh! Kalo ini sih aset, kak.” Jawabnya sambil meremas dada kirinya.

“Eh... eh... sembarangan kamu pegang-pegang itu kamu di tempat umum. Kalo ada yang ngiler, bahaya nanti!”

“Siapa emang?”

“Aku lah! Siapa lagi?”

“Yaelah, tinggal pegang ini. Nih kalau mau pegang.” Kata Alesha sambil membusungkan dadanya tanpa berpikir panjang. Kelakuannya barusan membuatku ingin menyentuhnya segera. Tapi aku masih sadar ini ruang publik, sehingga ku urungkan niatku itu. Coba kalau sepi, sudah ku bolak-balik dia di meja barista ini hahaha.

“Duh, becanda kaleee... Tapi yang kamu bilang emang bener kok, Sha. Mood itu berpengaruh. Misal kalau aku lagi ribut sama Teh Dya, rasanya kacau waktu bikin kopi. Dan hasil seduhannya pasti busuk banget. Malu lah kalau disajikan ke pelanggan.” Ujarku.

“Sampai segitunya ya? Hmmm... berarti rasa sayang dan cinta juga bisa ngaruh juga dong?” sambung Alesha penuh rasa ingin tahu.

“Bisa aja... yang penting mah kita harus bahagia waktu nyeduh.”

“Kalau gitu, kira-kira kopi yang Aa’ bikin tadi enak enggak?”

“Yang tadi ya? sebentar.” Lantas aku mengambil wadah Hario yang aku gunakan untuk menyeduh kopi pelanggan tadi. Masih ada sedikit sisa seduhan di dalamnya. Aku mencecapnya dengan tegas.

Sluuurp!

“Enak, kak?”

“Hmmm... enak kok. Pas. Rasanya ringan, aku suka”

“Karena Kakak lagi happy, habis keluar satu dua crot tadi hahah.” Seloroh Alesha sambil tertawa.

“Eh? Bisa juga sih. Tapi bukan happy yang begitu juga. Maksudnya pas seduhan pertama, biasanya aku inget hal-hal indah aja.”

“Misalnya?” Alesha mulai mencondongkan tubuhnya mendekat ke arahku. Ia makin serius menyimak penjelasanku.

“Seseorang yang aku sayangi.”

“Aku?”

“Mmmm... maybe?”

“Lho, kok? Berarti tadi bukan aku ya yang dibayangin? Jujur deh, Kak. Sekarang tutup mata Kakak dan bayangin seseorang. Bilang wajah siapa yang terbayang di benak Kakak...” Alesha nampak kurang puas dengan jawabanku. Sepertinya ia berharap dirinyalah yang aku bayangkan saat menyeduh kopi.

“Kalau merem doang enggak bisa, Sha. Harus sambil bikin kopi.” Aku berkilah.

“Ya udah, bikinin satu buat aku sekarang.”

Aku menaikkan sebelah alisku. “Beneran mau minum kopi? Biasanya juga enggak.”

“Beneran, Kak! Bikinin aku kopi terbaik.”

“Okelah kalau begitu.”

Hmmm... Apakah ini tantangan atau sekedar pembuktian? Dari semua jenis manusia yang datang ke kedai kecilku, baru sekarang ada wanita memesan kopi bukan karena rasa tapi dari feel si barista saat proses pembuatan kopi yang berpengaruh pada hasil akhirnya. Sebuah tanda tanya besar muncul dalam pikiranku. Namun aku masih berpegang teguh pada standart yang aku lakukan selama ini. “Baiklah Alesha, kopi ini ku persembahkan untukmu.” Ucapku dalam hati.

Seduhan pertama aku belum mendapatkan perasaan apapun. Aku menunggu proses blooming pertama dengan keraguan. Apakah aku harus menunggu 15 detik? 25 detik? Sekelebat bayangan seseorang melintas dan menggangguku konsentrasiku. Tapi kenapa bukan wajah Alesha?

Seduhan kedua ku tuangkan dengan cara memutar berlawan arah jarum untuk, memberikan tekstur pada kopi untuk mengurangi acidity atau tingkat keasaman racikan kopi houseblend-ku. Enggak lucu juga nanti kalau kopi ini dibilang terlalu asam oleh pemula seperti Alesha.

“Silahkan di minum...” ucapku sambil meletakan gelas yang berisi kopi seduhanku. “Panas enggak nih, Kak? Tanya Alesha memastikan. “Enggak terlalu, kok. Biasanya aku pakai suhu air di bawah 90 derajat. Tapi tunggu agak dingin dulu biar rasa kopinya makin muncul.” Saranku pada Alesha.

“Mmmmh... Wangi banget! Ini kopi pertamaku lho. Dan dibuatin sama orang yang aku sukaaa banget!” Puji Alesha. Aku Cuma tersenyum kecil menanggapi kata-katanya. Biasa saja. Tidak ada yang istimewa.

Beberapa kali Alesha menghirup aroma kopinya. Matanya terpejam dengan bahasa tubuh yang menggemaskan. Aku segera menyuruhnya untuk mencicipi kopi pertamanya dan...

“Pffft! Hueeeek! Pahit! Ada rasa asem-asemnya gitu. Duh, kok bisa ya orang minum ini? Enggak ada enaknya sama sekali!”

Sudah ku duga. Ia pasti tidak akan suka dengan rasa asli kopi. Dahinya mengerenyit, lidahnya terjulur entah karena pahit atau asam. Tapi buatku ini sangat menghibur.

“Tuh, kan? Apa aku bilang. Sok-sokan minum kopi. Rasain! Hahaha.”

“Tapi... Mmmmh...” Alesha terlihat merasakan sesuatu. “Eh, iya lho, kak... ada rasa enggak biasa nih. Enak sih... ada manis, pahit, asem... lumer jadi satu di lidah aku.” Sambung Alesha mendeskripsikan sensasi yang terasa di lidahnya.

“Mungkin ini yang dirasakan para pecinta kopi kali ya? jujur aku awam soal kopi... atau mungkin karena...” Alesha memotong perkataannya sejenak. “... karena kakak yang aku sayangi ini peraciknya... ya... meski aku bukan pasangan resmi kakak...” Lanjut Alesha lemah. Ia sedikit menunduk seperti menyesali sesuatu. Tapi tiba-tiba ia menatapku kembali dengan senyuma polosnya. Matanya sedikit menyipit. Menambah rasa gemasku padanya.

“Maaf, Sha... sementara kita hanya bisa seperti ini dulu. Kamu tahu kan gimana marahnya Teh Dya kalau tahu kamu masih sering mampir?” aku kembali menegaskan statusku dengan Alesha.

“Iya, enggak apa-apa. Aku bisa terima, Kak... Oh, iya... aku boleh nanya lagi?”

“Iya, boleh. Mau tanya apa?”

“Tadi waktu bikin kopi buat aku, perasaan apa yang Kakak rasakan?”

Aku sedikit gelagapan mendengar pertanyaan Alesha. “Ah, itu... Uhmmm... bukan perasaan sih... Tapi... sebuah bayangan.”

“Siapa? Pasti aku kan, Kak?” Gadis berwajah cantik putih berseri dengan mata yang indah itu kini menatapku penuh harap. Aku hanya menjawab dengan senyum tertulus yang bisa aku berikan padanya. Namun bagi Alesha itu sudah cukup membuatnya kembali ceria. Ia tetap berusaha memaksakan diri untuk menghabiskan kopi yang aku sajikan.

Akan tetapi, jauh di sudut hatiku, aku merasakan sedikit penyesalan. Satu lagi kebohongan ku ucapkan demi membuat gadis yang baru saja aku setubuhi ini kembali tersenyum. Senyum tulus itu hanyalah topeng yang menutupi kebenaran yang ada. Bayangan yang muncul dan tersenyum saat aku menyeduh kopi tadi adalah bayangan seorang gadis yang belum lama aku kenal belakangan ini. Kami juga belum terlalu akrab. Gadis dengan rambut sebahu, senyum khas mojang Sunda dengan barisan giginya yang rapi. Berkulit putih dengan fisik yang prima. Ia berumur 22 tahun dan gadis itu bernama... April.
 
Terakhir diubah:

“Serius? Beneran, A’?” ujar April sumringah di ujung telepon.

“Iya, beneran”

“Asyiiik! Eh, tapi nanti kalo ketemu sama Fey gimana?”

“Udahlah, kenapa harus bahas dia sih? Bukannya Fey sering nge-bully kamu?”

“Iya sih... Ah, tapi masa bodo deh. Pokoknya April bakal seneeeng banget karena Aa’ seminggu di Jakarta. Eh, ngomong-ngomong istri Aa’ gimana?” tanya April sedikit khawatir.

“Teh Dya udah kasih izin. Santai aja. Aa’ bilangnya mau bantuin si Bob buka kedai, nanti Cups~en~Ciel biar Aa’ titipin ke temen.” Jawabku santai. Ngomong-ngomong Bob adalah salah satu karibku di Jakarta. Ia sering memberiku tumpangan jika aku ada urusan di Ibu Kota. Tak ada salahnya jika aku membalasnya dengan tenaga yang aku punya.

“Terus nanti Aa’ nginep di mana?”

“Di tempat si Bob paling, kenapa?”

“Enggak... enggak apa-apa... Mmmmh... Kalau ketemu Aa’ tiap hari boleh kan? Hehehe.”

“Ya boleh atuuuh.”

“Asyiiiik!” April tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Aku terpaksa menjauhkan handphoneku karena lengkingan suaranya sedikit memekakan telingaku.

“Ya udah, Aa’ mau pesan tiket travel dulu ya? Kalau enggak kebagian paling juga pake motor.”

“Hah? Pake motor? Serius? Jauh kali A’ Bandung – Jakarta!”

“Ya, gimana? Lagi musim macet di Tol. Lagi pula Aa’ enggak punya cukup uang. Harus banyak penghematan akhir-akhir ini.”

“Oh gitu ya? Ya udah deh. Neng mau ke Senayan dulu ya A’? Ada kegiatan gitu nanti malem.”

“Iya. Hati-hati ya? Jangan lupa makan biar enggak drop lagi kayak tempo hari.”

“Iya, A’... nuhun.”

Aku mencukupkan obrolanku dengan April. Ia sangat senang akan rencanaku ke Jakarta esok hari. Kedai tak begitu ramai hari ini, sedari pagi kepalaku sangat penat entah kenapa. Sepertinya aku butuh udara sejuk kota Bandung dan secangkir kopi agar aku bisa sedikit rileks. Aku pun mulai menggiling 12 gram biji kopi Toraja medium roast ke dalam paper cup untuk pesanan take away dan langsung menyeduhnya secara tradisional atau biasa disebut tubruk. “Son, gue titip kedai ya? Mau cari angin bentar, suntuk banget.” kataku setengah berteriak ke Soni, salah satu pegawaiku yang sedang bersantai di meja seberang, memainkan game kesukaannya, mengusir kebosanan karena sepinya kedai hari ini. Ia hanya mengacungkan ibu jarinya tanda setuju.

“Dan Bandung bagiku bukan Cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi.” Begitulah bunyi tulisan di bawah Jembatan Penyebrangan Orang yang terletak di Jalan Asia Afrika dekat Gedung Merdeka. Sebuah ungkapan yang dikutip dari seorang penulis buku laris yang juga imam besar grup musik veteran The Panas Dalam, Pidi Baiq. Aku merasa ada benarnya juga ungkapan itu. Suasana Bandung selalu membuatku merasa nyaman. Bangunan-bangunan klasik bergaya Art Deco yang sedari tadi aku lewati, masih berdiri kokoh seakan siap bercerita tentang sejarah perkembangan kota Bandung sampai saat ini. Di Bandung aku tumbuh, di Bandung aku menemukan arti hidup dan di Bandung pula aku menemukan cinta. Aku tak segan untuk berteriak : “Aku Bangga Hidup di Bandung!” jika seseorang menanyakan alasanku menetap di kota ini. Tetapi, kadang aku masih merasa sepi di tengah keramaian Bandung. Apakah mungkin kepenatanku hari ini karena aku masih kesunyian dalam hati?

Motor 110 cc produksi pabrikan berlogo sayap membawaku ke Taman Cibeunying. Aku sedang menyusuri lintasan batu koral yang tersusun rapi. Bertelanjang kaki agar dapat merasakan tekstur bebatuan menyentuh telapak kakiku. Kata orang baik untuk mengobati rematik. Sesekali aku menyeruput kopi Toraja yang aku seduh di kedai tadi. Sambil mengepulkan asap kelabu rokok yang hampir habis setengahnya. Nikmat sekali sore ini...

Sialan! Aku lupa pesan tiket travel buat besok!”

Aku sedikit panik. Buru-buru aku memacu motorku menuju Jalan Dipati Ukur. Sial... sekencang-kencangnya aku menggeber motorku tadi tetap saja terlambat. Tiket travel ke Jakarta besok telah habis. Sebenarnya bisa saja tersedia jika ada orang lain membatalkan atau Go Show. Tapi sepertinya aku tidak bisa mengandalkan itu. Gimana nih? Hmmm... Apa aku pakai motor aja kali ya? sekalian bisa aku gunakan untuk keseharian di Jakarta? Ahhh... baiklah. Lagi pula alasanku ke Jakarta selain urusan pekerjaan juga untuk meluruskan status-ku dengan salah satu gadisku, Feydora. Gadis yang juga satu talent agency dengan April. Baiknya aku kabari dulu Fey sekarang. Aku mencari namanya di phone book handphoneku. Segera aku menghubungi Fey...

“Halo...” sapaku singkat.

“Iya, Kang?”

“Fey lagi di mana?” sekali lagi aku berbasa-basi.

“Senayan, Kang. Kenapa?” Pantas saja agak terdengar keramaian terdengar di belakang suara Fey.

“Eh, Akang ganggu ya?”

“Ah, enggak kok. Aku baru aja dateng. Ada apa, Kang?”

“Besok Akang mau ke Jakarta.”

“Wah, beneran? Asyiiiik! Pake apa?”

“Kayaknya naik motor, Fey...”

“Waduh, jangan atuh, Kang... Nanti masuk angin. Bandung ke Jakarta kan jauh... Pake mobil aja ya?” Suara Fey terdengar sangat khawatir mendengar bahwa aku akan memakai motor.

“Akang enggak ada uang lebih, ini aja besok aku nginep di tempat si Bob.”

“Di tempat Mas Bob? Di kosan aku aja kenapa? Kayak siapa aja si Akang mah...”

“Hmmm... sebenernya mau ada yang aku omongin juga ke kamu.”

“Apa Kang?”

“Besok aja, nanti juga kamu bakal tahu kok.”

“Iya deh... Akang jaga kesehatan ya? Jangan pake motor pokoknya. Travel kek atau kereta gitu...” Fey setengah mewanti-wanti.

“Maunya... tapi tadi ga kebagian tiket.”

“Asal ada buat bensin sama tol, nanti di Jakarta biar aku yang urus.” Ujar Fey enteng.

“Enggak usahlah, akang malu dibayarin terus sama kamu.”

“Akang... Ini Fey lho, bukan orang lain.” Fey melembutkan suaranya. Sedikit memanja. Seperti biasa jika dia ada maunya.

“Huffft... Lihat besok aja. Kalo ada rezeki, aku bawa mobil.”

“Iya, akang...”

“Udah dulu ya, Fey. Akang mau ke kedai lagi.”

“Eh... eh... tunggu bentar.”

Fey memotong pembicaraanku tiba-tiba “Iya, ada apa?”

“Miss you, Kang...”

“Hmmmm... Iya. Miss you too.” Datar sekali aku menanggapinya.

Ku akhiri pembicaraanku dengan Fey. Lantas aku meninggalkan kantor travel dan kembali ke kedai. Aku belum punya rencana apa-apa untuk keberangkatanku ke esok hari. Biarlah esok menjadi misteri. Yang penting aku akan berbicara baik-baik dengan Fey soal keputusan untuk mengakhiri hubungan ini. Aku tidak ingin menghancurkan karirnya yang tengah gemilang demi ide gila bernama “Hidup Bersama”. Itu tidak akan mungkin terjadi, sama sekali tidak mungkin.

Aku telah mempunyai istri di Bandung. Belum lagi mantan istriku di Jakarta. Belakangan muncul April yang juga teman Fey. Memang aku mengenalnya secara tidak sengaja. Tapi aku adalah pribadi yang tidak mudah teralihkan perhatiannya begitu saja. Namun,bisa-bisanya April mengalihkan perhatianku padanya. Aku merasakan ada yang berbeda dari gadis ini. Ah... sudahlah, aku tidak ingin memikirkannya terlalu berat. Biarlah semuanya mengalir apa adanya. Kita lihat saja besok. Maafkan Akang, Fey...

Malam menjelang dan aku telah berada di lantai dua kedai kopi milikku 30 menit yang lalu. Menikmati kembali secangkir kopi yang kesekian kalinya. Bersantai dengan sebatang rokok dan diiringi album “Let it Be” milik The Beatles dari handphone-ku. “Let it be, let it be, let it be, let it be... there will be an answer... let it be...”. Aku menghisap dalam-dalam rokok beraroma Mangga dan menghembuskan asapnya yang tebal ke arah langit-langit. Apa yang sebenarnya terjadi dengan hidupku ini? Terlalu banyak hati yang telah aku lukai selama ini dan mungkin akan datang. Ya, sudahlah... lepaskan semua seperti asap rokok yang aku hembuskan... let it be... yang akan terjadi biarlah terjadi. Seperti judul lagu yang dilantunkan Lennon dan McCartney.

-o00o-​

“Akang jadinya pake mobil, Neng...”

“Bagus atuh, mobil saha yang dibawa?”

“Mobil si Bob di Bandung tenyata. Di rumah ibunya. Ini Akang lagi di Setra Sari mau ambil mobilnya. Kalo udah deket Senayan, nanti Akang kontak Neng lagi.”

“Iya, Kang. Buat bensin sama tol ada kan?”

“Ada, tenang aja.”

“Hati-hati ya kang.”

“Iya, Neng. Hatur nuhun.”

Matahari baru saja merekah di ufuk timur saat aku menelepon Fey. Sengaja aku berangkat pagi-pagi demi menghindari macetnya Jakarta yang ajaib. Sebuah kebetulan Bob mengontakku tadi malam memintaku mampir ke rumah ibunya untuk membawakan mobilnya ke Jakarta. Untunglah, satu masalah terselesaikan mengingat aku tidak bsa menggunakan mobilku sendiri yang sepenuhnya telah menjadi hak milik Vio. Aku pun tidak bisa memakai AE92 yang ku beli dengan cara patungan bersama Dyaningsih. Takut curiga jika tiba-tiba aku membawanya ke Jakarta.

Mobil memasuki tol Pasteur dengan kecepatan biasa saja. Yah, mau gimana lagi... Aku hanya memakai LCGC buatan Toyota berkapasitas mesin 1000 cc. Aku tidak bisa berharap banyak dengan mobil yang didesain untuk menghemat bahan bakar. Tak apalah, yang penting aku bisa sampai ke Jakarta dengan sehat sentosa. Membantu Bob membuka warung kopi dan membereskan benang kusut yang “Pabaliut” dengan Fey.

“Terima kasih, mas.”

“Sama-sama, mbak.”

Seakarang aku sedang berada di Rest Area Kilometer 97. Sengaja aku menepi sejenak untuk sekedar membeli kopi dan beberapa buah roti sobek di mini market Rest Area sekaligus mengisi bahan bakar. Sembari menikmati kopi, aku memeriksa handphone-ku. Ada beberapa panggilan tak terjawab... Lho, April? Bukannya ia ada kegiatan bersama Fey? Ku coba menghubunginya langsung namun nihil. Hanya nada sambung monoton yang terdengar selama beberapa detik. April idak mengangkat sambungan teleponku.

Kopi telah tandas masuk ke lambungku. Beberapa roti sobek sudah cukup mengenyangkan perutku untuk melanjutkan perjalananku. Di tengah perjalanan, handphoneku tiba-tiba bergetar. Ah, dari April rupanya. Aku ambil headset dan mengurangi laju mobil dan mengambil laju kiri.

“Halo, A’...?”

“Ya, halo... sori tadi lagi di jalan.”

“Oh, pantesan. Aa’ di mana?”

“Udah deket-deket Cikampek nih, kenapa?”

“Wah! Kebetulan nih. Nebeng dong, A’...”

Tunggu... Nebeng? Berarti dia belum di Senayan dong untuk berkegiatan?

“Lho, kok? Masih di Bogor dong sekarang?”

“Iya A’... di rumah sodara. Tempatnya deket kok, kak. Tinggal keluar tol nanti aku tunggui di Infomart.”

“Emang mobil kamu di mana?”

“Di Jakarta... hehehe... Kemarin mendadak harus ke tempat sodara sama Mama. Terus sekarang Mama kudu ngantor. Jadinya sekarang aku enggak ada yang nganter deh. Please a’... tolong banget jemput aku sekarang juga” April mengiba padaku. Aku sendiri sekarang bingung, apa kah aku harus menjemputnya atau aku lewatkan saja dia. Aku tidak tega jika ada gadis yang merengek kepadaku untuk meminta bantuanku. “Hmmmm... Gimana ya, Pril?” ada perasaan tidak enak saat aku mengucap keraguanku pada April. Ya, perasaan takut apa bila Fey marah lalu bertindak semena-mena pada April. Aku tidak mau itu terjadi. Membayangkannya saja aku merasa miris.

“Aku janji enggak bakal bilang ke Fey, sumpah!”

“Oh, kamu udah tahu soal aku sama Fey?”

“Fey udah cerita semuanya waktu nginep di kosan aku.” Duh, si Fey ini. Kenapa sih dia enggak bawel untuk sekali ini saja?

“Hmmm... ya udah. Ditunggu ya.”

“Beneran mau?”

“Iya! Bawel ih...”

“Horeee!” April bersorak selayaknya anak kecil yang akan diajak berlibur bersama orang tuanya. “Okay, see you in a while, A’... hati-hati nyetir mobilnya” Sambung April mewanti-wanti.

Hmmm... Aku tahu April dan Fey berada dalam satu team bentukan Agency-nya. Namun, mereka berdua bisa dibilang bukan sahabat dekat. Apa lagi tabiat Fey yang keras belakangan ini membuatnya sedikit dibenci oleh lingkungannya. Tapi kenapa Fey menceritakan hubunganku dengannya pada April? Ah, sudahlah... Biar April sendiri yang akan memberitahuku nanti.

Jalanan lurus tol Jakarta-Cikampek belum begitu padat pagi ini. Aku jadi leluasa untuk memacu mobil kecil ini pada batas kecepatan tertingginya. Walau was-was mengingat mobil ini sejatinya bukan tipe sprinter, tapi keinginanku untuk cepat-cepat bertemu dengan April begitu kuatnya, sampai-sampai aku menyalip truk besar dari sebelah kiri. Hasrat itu membuatku menghalalkan segara cara untuk segera bertemu April.

Gerbang tol yang dimaksud April sudah terlihat. Ku bayar biaya tol dengan uang tunai dan menyimpan bukti struknya di laci kecil tepat di bawah audio player mobil ini. Aku mengikuti arahan April yang ia kirimkan via chat. Belokan pertama setelah lampu merah. Terlihat Infomart yang dimaksud April tepat di sebelah kiri jalan. Sosok April terlihat menunggu di sebuah meja. Mengenakan jaket berwarna kuning hitam yang terbuka retsletingnya, kaos hitam dan rok berbahan denim selutut. Meski ia menggunakan masker demi menghindari kejaran fans-fansnya, aku sangat mengenal bentuk wajah dan matanya yang belo bak bulan purnama di awal bulan. Sangat indah. Ku lambaikan tanganku lewat jendela mobil. April menyadari kehadiranku , ia beranjak dari tempat duduknya sambil menenteng tas kecil dan koper berukuran sedang. Ia duduk di kursi depan setelah memasukan bawaannya di kursi belakang.

“Hai, Aa’!”April menyapaku penuh keceriaan.

“Hai, udah lama nunggunya?”

“Uhmmm... enggak juga sih. Tadi kan aku hitung kira-kira berapa lama waktu tempuh dari dari tempat Aa’ nelpon tadi.”

“Wah, bisa gitu ya?” selorohku polos.

“Bisa dong, April gitu!” sombong sekali gadis ini. Dan kami pun segera melaju menuju pintu tol.

Entah berapa lama mobil ini menyusuri lurusnya jalan tol dan cukup lama kami tidak berbicara. Aku Cuma fokus menyetir dan April sibuk dengan handphonenya. Sekedar membalas chat dari teman-temannya, sesekali ber-selfie dengan berbagai macam gaya atau memainkan game. Aku pun berinisiatif membuka obrolan agar suasana lebih cair.

“Udah makan belum kamu?”

“Belum. Laper nih A’. Makan dulu ya nanti. Tadi Cuma sempet minum teh manis aja.” Hmmm... Di mana ya? Aku sendiri kebingungan menentukan hendak makan di mana kami.

“Deket-deket Senayan gimana? Masih kuat?”

“Iiiih, itu mah kejauhan, Aa’!” protes April memanja.

“Ini udah masuk tol. Setau Aa’ di depan udah enggak ada rest area. Makan roti dulu aja ya? Buat ganjel perut. Kebetulan Aa’ beli tadi di rest area sebelumnya.”

“Boleh... boleh... mana A’?”

“Punten. Ada di kresek jok belakang.” Tunjukku ke belakang sambil berkonsentrasi pada jalanan di depan yang mulai dipadati kendaraan menuju Jakarta. April membalikan badanya mengambil kantong kresek yang aku maksud.

“Yang ini ya?”

“Iya yang itu.” Tanpa pikir panjang, April merogoh isi kresek putih itu mencari dan langsung melahap roti sobek yang baru ku makan sebagian. Ia tampak seperti orang yang belm makan berhari-hari jika melihat caranya menghabiskan roti itu. Tanpa sadar aku pun menelan ludah melihat April menikmati sarapannya hari itu.

“Kenyang?” Tanyaku penuh keheranan.

“Belum, A’... ehehehe.” Jawab April malu-malu. Bibirnya membentuk senyuman manis dan pipi gembilnya terlihat lucu di mataku.

“Gila, roti satu papan gitu dan kamu belum kenyang?”

“Hahaha... aduh jadi malu. Maaf ya A’ jadi ketahuan deh kalo laper makannya kayak kuli. Maklum, kegiatan aku sehari-hari di Agency emang menguras fisik. Jadi aku butuh asupan energi yang besar juga.” Jelas April.

“Ya... Fey juga sih... Eh!” sial, bisa-bisanya aku keceplosan membahas Fey.

“Wah, apa lagi Fey, Kang. Pejuang banget dia mah. Salut buat kerja keras dia selama ini.”

Ternyata April mendengar kata-kata yang tidak aku sadari meluncur dari bibirku. Mungkin sudah saatnya aku bertanya pada April tentang hubunganku dan Fey. “Mmm... April, aku boleh tanya sesuatu?” aku berbasa-basi dulu untuk mengutarakan maksud sebenarnya.

“Iya, A’... mau tanya apa?”

“April... Udah tahu Aa’ sama Fey ngapain aja?” sebenarnya aku ragu menanyakannya. Terdengar sangat tidak sopan menanyakan hal yang bersifat pribadi pada orang lain terlebih pada seorang gadis seperti April.

“Iya, aku tahu kok. Kenapa gitu?”

“Kamu enggak risih gitu sekarang?”

“Kenapa harus risih? Justru aku iri A’ sama Fey...”

“Iri? Maksudnya gimana nih?”

“Iri lah! Siapa coba yang enggak iri. Fey bisa pacaran tanpa ketahuan Agency dan pacanya sendiri bisa melindungi dia. Enggak ember ke fans. Aman gitu lho.”

Aku terkejut dengan pernyataan April. Kita hanya bertemu sekali dua kali saat aku menjemput Fey di tempat latihan atau ketika mereka nongkrong di sekitaran Senayan. Sisanya lebih banyak chatting atau telepon sekedar menyapa atau menanyakan keadaan. Ya, sesekali ada sesi curhat dan itu pun hanya pada level “biasa”. Sebenarnya pertemuan pertama kami memang tidak disengaja. Aku sengaja tidak ingin menampakkan diri pada teman-teman Fey di Agency sedari awal aku berhubungan dengan Fey, tapi saat itu aku terpaksa menampakkan diri karena satu dan lain hal. Menjadi “hantunya” Fey itu tidak menyenangkan. Aku harus berhati-hati jika tidak ingin membahayakan diriku, terlebih kair Fey yang tengah menanjak. Dan sekarang niatku ke Jakarta adalah untuk menyudahi hubungan yang mulai tidak sehat bagiku. Aku sudah jengah.

“A’... Aa’!” Teriakkan April memecah lamunan singkatku ditengah konsentrasiku menyetir mobil.

“Eh, Iya... kenapa Pril?”

“Malah ngelamun, diajak ngobrol juga... huft!” April mendengus manja. Wajah cantiknya dibuat seolah-olah marah dengan memanyunkan bibirnya. Aku gemas melihatnya.

“Maaf, maaf... tadi kepikiran sesuatu.”

“Apa itu, A’?”

“Hmmm... Kenapa kamu enggak cari pacar juga? Kan banyak cowok-cowok yang ganteng dan bisa ngerti kerjaan kamu sekarang ini di luar sana?”

“Pernah sih... Cuma ketahuan Agency... Parah pokoknya, sampai-sampai karir aku terjun bebas setelahnya.”

“Hahaha. Dunia kalian ini penuh intrik ya? Terus, sekarang kapok dong?”

“Banget! Dan aku putuskan untuk jalanin karir dulu dan enggak mau pacaran dulu. Bikin repot doang.”

“Baguslah, utamakan karir dulu. Jangan kayak Fey. Dia...”

“Fey kenapa?” April memotong pembicaraanku tiba-tiba. Dari nadanya yang tinggi, ia sangat ingin tahu.

“Aku udah mati-matian jadi hantunya Fey. Sebisa mungkin aku tidak mau terlihat oleh siapapun. Aku pengen semuanya aman. Tapi, Fey sendiri terkadang suka ceroboh...”

“Ya, ya... Fey itu kayak pengen “show off” kalo dia punya cowok yang bisa dikondisikan.”

“Nah, see! Harusnya Fey menghargai usaha aku kan?”

“Hmmm... ya begitulah. Makanya aku iri A’ sama Fey... andai aku bisa tukar posisi sama Fey...”

Eh... aku melirik ke arah April. Mata kami saling bertemu. Terlihat tatapan penuh harap dari sorot matanya. Tatapan sayu dan mimik wajahnya sedikit menyiratkan perasaannya yang sedang tidak menentu. Buru-buru aku mengalihkan mataku ke arah jalanan tol yang lurus dan kembali berkonsentrasi menyetir. Tetapi ekor mataku masih bisa mencuri pandang April yang masih menatap ke arahku. Hmmm... tatapan tadi itu... siklus ini... tidak mungkin...

“Jangan jadi Fey... tetaplah jadi April yang yang sekarang saja.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. “Iya deh A’, tapi...” April menggantung ucapannya.

“Tapi apa?”

“Ah, enggak jadi... Enggak usah dipikirin.” April nampak salah tingkah.

“Hahaha kamu ini... bikin penasaran deh.”

“Eh, udah di tol kota lagi ya? nanti keluar di Cempaka Putih aja A’...”

Aku juga baru sadar kalau akan memasuki tol dalam kota. Tak terasa kami akan memasuki Jakarta sebentar lagi. “Lah, Senayan masih jauh kali.”

“Enggak apa-apa, sambil kita cari makan dulu.”

“Oh iya lupa, hmmm... makan apa ya?” sejenak aku berpikir tempat tujuan sarapan kami pagi ini.

“Masih pagi gini... apa ya?”

“Paling fast food sih, enggak kesiangan kan?” ujarku memastikan.

“Kegiatanku siang A’... masih 3 jam lagi. Pasti keburu lah” April bersikukuh meyakinkanku. “Oh, baiklah...” ku turuti saja kemauannya. Lagian aku juga sudah lapar. Tidak nyaman juga menyetir beberapa jam hanya kemasukan sepotong roti.

Hmmm... Jakarta memang selalu ajaib. Walau tertulis lancar, kenyataannya jalanan sudah padat merayap, kadang berhenti total. Butuh waktu sekitar 40 menit dari pintu tol untuk sampai ke restoran cepat saji terdekat dari Senayan. Aku memesan menu lewat drive-thru. 2 potong ayam ukuran besar, nasi dan minuman bersoda untuk kami berdua. Kami sempat bingung mencari tempat untuk menyantap makanan. Aku sengaja mencari meja yang tempatnya sedikit tersembunyi, tahu sendirilah... aku bersama dengan seorang April yang notabene adalah public figure yang cukup dikenal orang. Sayangnya, restoran telah terisi penuh oleh orang-orang yang beristirahat dari perjalanan jauh atau memang sengaja mampir ke restoran tempat saji ini. Terpaksa aku menuju halaman parkir swalayan 24 jam tepat di samping restoran.

“Maaf, Pril kita makannya di mobil aja ya? Aa’ enggak mau kita jadi pusat perhatian orang. Apa lagi kalau tiba-tiba ada fans kamu yang mergokin kita... bisa bahaya nanti.” Ibaku untuk memaklumi keadaan pada April. “Iya A’... terima kasih banget mau mengerti posisi April sekarang ini.” Balas April. Senyum manis tersungging dan membuat mata besar nan indah itu membentuk sedikit garis di sudutnya, Tatapannya melekat terus padaku. Sejurus kemudian, ia mula menyantap makannanya. Ia sangat lahap memakan potongan sayap digenggamannya sambil sesekali menyuapkan nasi di tangan kirinya. Tidak ada anggun-anggunnya sama sekali, jauh dari kesan idola yang megah, menjaga sikap dan semua kesan baik yang menempel pada pemikiran orang tentang idola. Semua hilang begitu saja.

Sejenak aku berpikir, berat juga menjadi seorang April atau Fey. Ia harus memakai topeng tebal di hadapan banyak orang agar mereka terhibur dan terpuaskan. Dan sekali mereka menyendiri atau bersama orang terdekatnya, mungkin mereka merasa sangat lega melepas topeng itu dan kembali menjadi diri sendiri. Ya, aku pun berat memakai topeng di hadapan Fey belakangan ini. Dan aku harus segera melepasnya agar aku terbebas dari beban-beban yang aku pikul sendiri.

“Lahap bener kamu makannya...” ujarku sambil menggelengkan kepala karena takjub dengan cara makan April.

“Emmmmhh... Lapar banget... hmmm” gumam April dengan mulut yang terisi penuh dengan nasi dan ayam.

“Pelan-pelan, April...”

“Hmmmpt, iya... hmmm”

Beberapa menit kemudian, makanan kami telah tandas masuk ke lambung kami. Sesi makan pagi yang kilat karena lapar yang mendera. Mungkin tepatnya adalah sarapan yang terlambat. Kami bedua sangat kenyang meski hanya dengan sepotong ayam dan sebungkus nasi.

“Haaahhh... Kenyang! Ini A’ buat bersihin tangan...” Kata April sembari menyodorkan tisu basah dan botol kecil hand sanitizer. Ku bersihkan tanganku yang penuh minyak dan saus dengan beberapa tetes hand sanitizer lalu mengelapnya dengan tisu basah.

“Eh, itu di bibir kamu ada nasi.” Aku menunjuk sisa nasi di sudut bibir April.

“Eh, iya ya? mana?” April berusaha membersihkan bibirnya namun usahanya sia-sia, sebiji nasi masih setia menempel di sudut bibir karena itu tidak terjangkau oleh tangannya. “ Ini, nih...” Aku pun berinisiatif mengambilnya dengan tanganku sendiri. Tepat di sudut kiri bibirnya yang tipis merona.

“Eh...”

Tangan April menggengam tanganku. Aku kaget dengan tindakannya yang tiba-tiba ini. Tempo detak jantungku mulai meningkat, entah mengapa nafasku terasa sedikit tercekat di tenggorakanku.

“Udah nih... ngomong-ngomong, tangan Aa’ bisa dilepas dulu enggak?” ujarku memecah kekakuan yang terjadi. April tetap tidak mau melepasnya. Aku mencoba menariknya. Namun di luar dugaan, April menempelkan tanganku di pipinya.

“Hangat...” hanya kata itu yang terucap dari bibirnya. Sesekali ia mengusapkan tanganku ke permukaan pipinya. Terasa halus di telapak tanganku.

“Pril...”

“Maaf, A’...” ia masih terus mengusapkan tanganku di pipinya.

“Pril, aku masih sama Fey, lho...” ujarku kembali mengingatkan posisiku sekarang.

“Aku tahu... Maaf.” April pun melepaskan genggamannya. Sedetik kemudian, ia tertunduk seakan bersalah. Jemari April sedikit meremas ujung kaosnya. Ia sedikit menggigit bibirnya seakan menahan sesuatu untuk terucap. Aku sedikit menghela nafas. Sudah saatnya aku mengatakan maksud dan tujuanku hari ini.

“Boleh Aa’ jujur sama April?”

“Tentang?”

“Alasan aku ke Jakarta hari ini.”

“Boleh... cerita aja. Aku mau dengerin” April membetulkan posisi duduknya ke hadapanku penuh keingintahuan. Sejenak aku terdiam. Mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan kejujuranku.

“Aku mau putus sama Fey...”

“Serius A’?!” mata April seakan ingin melompat mendengar perkataanku tadi.

“Mukanya biasa aja dong hahaha kocak banget asli!” tawaku meledak melihat ekspresinya sambil mengacak-acak rambutnya. Ia hanya menyipitkan matanya sambil menyeringai lucu seakan tidak terima rambutnya ku acak-acak. Atau mungkin perkataanku tadi? Entahlah. Tapi serius, itu membuatku gemas. April segera melihat kaca spion tengah dan merapikan rambutnya.

“Tapi kenapa? Dari cerita Fey, Aa’ sangat sempurna di matanya meski Aa’ sudah beristri... Tapi itu salah. Ya, Aa’ salah, Fey juga salah!” seru April. Ia sedikit menggunakan emosi jika aku mendengar dari nada bicaranya. “Tapi... Mungkin karena itulah Aa’ enggak bisa sembarangan jalan sama Fey kan?”

“Hmmm... cerdas kamu.” Kembali aku mengacak rambutnya yang baru saja ia rapikan. Kali ini ia tidak peduli. Hanya tersenyum penuh maksud yang tidak bisa aku tebak.

“Tapi... justru karena itu yang bikin kalian aman dari segala “aturan” yang berlaku. Dilematis juga sih... Ngomong-ngomong, boleh tahu alasan Aa’ mau putus?” Tanya April serius. Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arahku seakan ingin menyimak dengan jelas jawaban dari pertanyaannya.

“Jengah. Aa’ rasa sudah jengah aja... Aku merasa posisi tawarku begitu rendah. Lagi pula... Fey sudah berubah sekarang. Hampir segala cara ia halalkan untuk memenuhi ambisi karirnya. Sampai ia sendiri lupa kalau dia masih punya Aa’. Secara posisi, dia sangat istimewa, bener kan? Kamu sebagai teman kerjanya tentu lebih tahulah.” Jawabku mencari pembenaran pada April.

“Hmmm... Aku tahu A’... Seandainya saja...” Kembali April menggantungkan ucapannya. “Andai apa?” aku menaikkan sebelah alisku menganalisa perkataannya barusan.

“Andai saja aku ada di posisi Fey sekarang. Maaf, A’... jujur aku sangat mengidolakan Fey sejak bergabung di Agency. Tapi belakangan... Aku jadi kurang respek sama Fey...”

“Kalian beda angkatan, tentu saja punya tujuan dan mimpi yang berbeda, Cuma mau bagaimana lagi? Fey leader di tim kamu kan?”

“Iya A’...” Kata April mengangguk pelan. “Tapi A’...” sambungnya lagi. Pandangannya lurus ke depan. “Andai Aa’ udah enggak lagi sama Fey... Aa’ masih mau menjalin hubungan yang serupa dengan Fey lagi?” ucapnya ragu. Matanya masih tetap memandang ke depan seakan enggan menatap mataku.

“ Serupa dengan Fey? Maksudnya?” ujarku mencari penjelasan lebih dari April.

“Iya... menjalin hubungan dengan seorang idola.” Tegasnya sambil menoleh ke arahku. Kini giliranku yang menatap ke depan. Aku tidak berani menatap matanya dengan suasana seperti ini. Suasana dengan siklus yang aku hafal benar arahnya ke mana.

“Hmmm... entahlah... Mungkin Aa’ sudah kapok menjalani hubungan serupa.”

“Oh...” hanya itu tanggapan April. Dari nadanya aku merasa ada sebuah kekecewaan yang teramat sangat dalam. Aku menoleh ke arah April dan mendapati raut wajahnya yang murung. Aku sudah yakin arah pembicaraan ini akan berakhir. Tapi aku masih memagari diriku dengan benteng kokoh seolah ada persekongkolan Fey dengan April. Bisa saja April sedang bermain “poker face” di depanku? Atau bisa saja April diutus Fey untuk menggodaku? Hmmm... aku harus sedikit memberikan pelajaran untuk April.

Aku segera memegang tangannya lalu menatapnya dalam-dalam...

“Pril...”

“Iya, A’... A-ada apa?” jawabnya tergagap saat aku memegang tangannya.

“Meski Aa’ mau mengakhiri semua kisah denga Fey, Aa’ mau semuanya berjalan dengan alami, bukan karena gangguan dari orang lain. Jadi Aa’ harap April bisa mengerti ya?” ucapku penuh kelembutan.

“Eh... apa? Aku tadi Cuma...” Ucapannya terpotong karena aku memeluknya tiba-tiba. April seperti tersentak karena aksiku ini. 20 detik... hanya 20 detik untuk April membiasakan diri. Dan ia membalas pelukanku lebih erat lagi.

“Maaf, aku kelepasan...” kataku sambil melepas pelukan dari tubuhnya. Aku berpura-pura menyesal. “I-iya A’... Eng-nggak apa-apa” April nampak masih terkejut dengan apa yang aku lakukan tadi. Begitu tiba-tiba.

“Apapun keputusan Aa’ soal Fey nanti, Aa’ harap April mengerti. Semua demi kebaikan kita semua...”

“Maksudnya?”

“Sekarang Aa’ emang berniat mengakhiri semuanya, tapi Aa’ sendiri tidak yakin Fey terima begitu aja. Apa lagi kalau Fey sampai tahu kita ke Jakarta bareng gini. Aku enggak mau kamu kena getahnya. Aa’ enggak mau Fey menganggap April jadi alasan Aa’ meninggalkan Fey...”

“Lho... jadi Aa’ juga...”

Aku hanya mengangguk. April hanya tersenyum lalu kembali memelukku. Pelukkannya lebih erat dibanding sebelumnya. Wajah kami saling bertemu sesaat kemudian. Tanpa halangan perasaan canggung yang berarti, bibir kami saling bertemu. Saling mengecup satu sama lain...

Fey, maafkan akang, ini sebuah kesalahan...

Mata April terpejam dengan nafas yang berat meyapu sisi wajahku. Terlebih ketika tanganku mulai menyusup ke dalam kaos hitam berbahan katun. Aku meremas dada April yang terasa empuk. Berbeda dengan April yang cenderung kecil namun kencang.

“Hhhhh Aa’... Janganhh... di sini... Ahhh... Ini kan tempat umum...” April melepaskan ciumannya di bibirku. Menepis tanganku yang tengah merasakan kelembutan buah dadanya.

“Mmm-maaf, Pril... Ini...” Aku berpura-pura menyesal namun...

“Mmmh... Mmmmuach.... Ahhhhm...”

April memotong pembicaraanku dan langsung menghujani bibirku dengan ciuman penuh nafsu.

Aku mendorong sejenak tubuh mungilnya. “Pril... sejak kapan kamu...”

“Sejak ketemu di kedai Sate... Aku kira sosok Aa’ itu... Ih, malu aaaah...” April membuang pandangannya ke samping. “Hmmm... kenapa engga bilang dari kemarin-kemarin?” ujarku sambil kembali meremas kedua dadanya. Aku sepertinya mulai ketagihan dengan tekstur dan bentuk dadanya.

“Ssshhh...Ahhh... A-aku takut... mmmmh Fey...”

“Iya, Aa’ ngerti...”

Aku khilaf... Maafkan aku Fey...

“Aa’... Hhhh”

Tangan kananku mulai turun ke arah bawah. Menyusup ke dalam rok berbahan denim. Ku rasakan vagina April mulai basah. Cukup lama jariku bermain di permukaan vaginanya yang masih tertutup celana dalam. Suasana parkir mini market pagi ini tidak terlalu ramai, didukung dengan mobil milik Bob yang berkaca film gelap.

“Aa’... mmmphhfff... Peluk aku A’...” aku memeluk tubuh April dengan satu tangan sementara tangan kananku sibuk memainkan belahan vagina-nya perlahan dan kecepatan konstan.

“Aa’...! Aaaaah.... hhhh”

Fey... sekali lagi maafkan akangmu ini...


To be Continued...
 
Terakhir diubah:
Pojok Penulis
Ah... Akhirnya beres juga. Maaf jika ada kekurangan, baru nyoba2 nulis hehehe.
Oh iya, setiap selesai post, saya bakal kasih pojok penulis kayak gini. Isinya hanya lagu-lagu yang saya masukan untuk dinikmati saat membaca dan beberapa istilah-istilah sulit yang saya pakai (khusus ini kalo ga males ya hahah).

Dan di episode pertama, saya memakai lagu dari :

1. Mariya Takeuchi - Plastic Love


2. The Beatles - Let it Be

Glosarium :

1. Pour Over : Teknik / cara menyeduh kopi.
2. V60 : Alat seduh kopi berbentuk seperti corong. Brand yang umum dipakai adalah Hario.
3. Blooming : Fase ekstraksi yang terjadi pada saat air melakukan kontak dengan bubuk kopi.
4. Single Origin : Istilah untuk kopi yang bersumber dari satu produsen tunggal, tanaman, atau wilayah di satu negara serta pertanian tunggal. bisa juga berarti bahwa kopi yang bersumber dari satu peternakan, pabrik, atau koperasi. (Sumber : sadakoffie(dot)com).
5. Grind : Giling. Grinder : Alat Penggiling. Fine Grind : Salah satu tingkatan gilingan kopi. Biasanya digunakan untuk membuat Espresso.
 
Terakhir diubah:
Nice story. Ceritanya mengalir apa adanya, apalagi tentang filosofi kopinya. ngena banget. Ditunggu kelanjutan ceritanya om...
Terima kasih sudah mampir. Episode 2 baru mulai minggu lalu bedah draftnya. Agak macet juga krn harus imbangi kerjaan sama persiapan hijrah ke ibu kota haha. Ya, sabar aja ya gan... Kayaknya bakal macet. Untuk menghibur, ane gas dua post haha
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
wah, glosarium. I'll need that in the future.

Hahaha. Kalo emang perlu sih kasih aja om, kalo buat gue soalnya pada asing sama istilah kopi. Dan pengen ngenalin juga budaya ngopi dari sisi lain, tentunya yang gue tau aja ya ehehe

All of them! Love the layout ! Ejaan asing jg sudah konsisten di italic..nice!

Sekilas panjang juga prolog dan episode 1..impresif opening :)

Utk cerita ikut dulu deh.

Oia..utk glosarium sebaiknya d taruh langsung d bawah paragraf yg mengandung istilah asing pke QUOTE. Jadi reader yg gak paham, lgsung bs tahu tanpa harus kelar baca sampai pojok pembaca.

Misal nih


“Kang, ini pesanan meja nomor 4” obrolanku terhenti saat pegawaiku datang membawa pesanan dari pelanggan yang baru saja datang. Hmmm... Let me see... Oke, Single Origin Minanga... V60 light... Tidak ada permintaan khusus... Sepertinya mereka ingin tahu rasa yang aku tawarkan sebagai barista dan roaster kedai ini. Challenge accepted!




Hanya saran saja sih


Ijin mulai baca yah, eh bentar..nyeduh kopi hitam dulu

:)

Wasiaaaap! Kedepannya akan dicoba seperti itu. Terima kasih buat sarannya. Waduh ternyata ada yang kelupaan masuk ke glosarium.

Seru ketemu dengan Barista sesungguhnya, bukan hanya dalam cerita.
Tapi mengetahui, dari segi teknik dan rasa.
Om @INSYFCL, :semangat::mantap:

Waduh, saya cuma penikmat kopi biasa kok. Ini juga masih belajar. Thank you udah mampir.

kenapa maha guru kalau buat cerita selalu bagussss ya :( hahaha :D ayo hajarrr @BHDB

Halah, biasa aja... Masih butuh belajar dan perbaikan sana sini kok...

kok merasa aneh ya bukannya ini cerita dictionnya BHDB ?

Ahaha... akhirnya pertanyaan ini muncul juga. Yeap, bener banget. Memang cerita ini asalnya dari suhu @BHDB. Dan cerita ini merupakan spin-off dari cerita diction. Dengan seizin beliau, ane pengen ngembangin karakter bernama April ini. Tapi syaratnya kudu pake karakter yang beliau buat. Awalnya ane mau pake mulustrasi idol ibu kota, dengan penamaan sendiri juga tapi sama beliau dilarang, ya sudah... Tapi ane jamin cerita ini original dari ane sendiri, sudah di-proof reading sama BHDB. Semoga clear ya kedepannya hehehe
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd