“Serius? Beneran, A’?” ujar April sumringah di ujung telepon.
“Iya, beneran”
“Asyiiik! Eh, tapi nanti kalo ketemu sama Fey gimana?”
“Udahlah, kenapa harus bahas dia sih? Bukannya Fey sering nge-
bully kamu?”
“Iya sih... Ah, tapi masa bodo deh. Pokoknya April bakal seneeeng banget karena Aa’ seminggu di Jakarta. Eh, ngomong-ngomong istri Aa’ gimana?” tanya April sedikit khawatir.
“Teh Dya udah kasih izin. Santai aja. Aa’ bilangnya mau bantuin si Bob buka kedai, nanti Cups~en~Ciel biar Aa’ titipin ke temen.” Jawabku santai. Ngomong-ngomong Bob adalah salah satu karibku di Jakarta. Ia sering memberiku tumpangan jika aku ada urusan di Ibu Kota. Tak ada salahnya jika aku membalasnya dengan tenaga yang aku punya.
“Terus nanti Aa’ nginep di mana?”
“Di tempat si Bob paling, kenapa?”
“Enggak... enggak apa-apa... Mmmmh... Kalau ketemu Aa’ tiap hari boleh kan? Hehehe.”
“Ya boleh atuuuh.”
“Asyiiiik!” April tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Aku terpaksa menjauhkan handphoneku karena lengkingan suaranya sedikit memekakan telingaku.
“Ya udah, Aa’ mau pesan tiket travel dulu ya? Kalau enggak kebagian paling juga pake motor.”
“Hah? Pake motor? Serius? Jauh kali A’ Bandung – Jakarta!”
“Ya, gimana? Lagi musim macet di Tol. Lagi pula Aa’ enggak punya cukup uang. Harus banyak penghematan akhir-akhir ini.”
“Oh gitu ya? Ya udah deh. Neng mau ke Senayan dulu ya A’? Ada kegiatan gitu nanti malem.”
“Iya. Hati-hati ya? Jangan lupa makan biar enggak drop lagi kayak tempo hari.”
“Iya, A’... nuhun.”
Aku mencukupkan obrolanku dengan April. Ia sangat senang akan rencanaku ke Jakarta esok hari. Kedai tak begitu ramai hari ini, sedari pagi kepalaku sangat penat entah kenapa. Sepertinya aku butuh udara sejuk kota Bandung dan secangkir kopi agar aku bisa sedikit rileks. Aku pun mulai menggiling 12 gram biji kopi Toraja medium roast ke dalam
paper cup untuk pesanan
take away dan langsung menyeduhnya secara tradisional atau biasa disebut tubruk. “Son, gue titip kedai ya? Mau cari angin bentar, suntuk banget.” kataku setengah berteriak ke Soni, salah satu pegawaiku yang sedang bersantai di meja seberang, memainkan game kesukaannya, mengusir kebosanan karena sepinya kedai hari ini. Ia hanya mengacungkan ibu jarinya tanda setuju.
“Dan Bandung bagiku bukan Cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi.” Begitulah bunyi tulisan di bawah Jembatan Penyebrangan Orang yang terletak di Jalan Asia Afrika dekat Gedung Merdeka. Sebuah ungkapan yang dikutip dari seorang penulis buku laris yang juga imam besar grup musik veteran The Panas Dalam, Pidi Baiq. Aku merasa ada benarnya juga ungkapan itu. Suasana Bandung selalu membuatku merasa nyaman. Bangunan-bangunan klasik bergaya
Art Deco yang sedari tadi aku lewati, masih berdiri kokoh seakan siap bercerita tentang sejarah perkembangan kota Bandung sampai saat ini. Di Bandung aku tumbuh, di Bandung aku menemukan arti hidup dan di Bandung pula aku menemukan cinta. Aku tak segan untuk berteriak : “Aku Bangga Hidup di Bandung!” jika seseorang menanyakan alasanku menetap di kota ini. Tetapi, kadang aku masih merasa sepi di tengah keramaian Bandung. Apakah mungkin kepenatanku hari ini karena aku masih kesunyian dalam hati?
Motor 110 cc produksi pabrikan berlogo sayap membawaku ke Taman Cibeunying. Aku sedang menyusuri lintasan batu koral yang tersusun rapi. Bertelanjang kaki agar dapat merasakan tekstur bebatuan menyentuh telapak kakiku. Kata orang baik untuk mengobati rematik. Sesekali aku menyeruput kopi Toraja yang aku seduh di kedai tadi. Sambil mengepulkan asap kelabu rokok yang hampir habis setengahnya. Nikmat sekali sore ini...
Sialan! Aku lupa pesan tiket travel buat besok!”
Aku sedikit panik. Buru-buru aku memacu motorku menuju Jalan Dipati Ukur. Sial... sekencang-kencangnya aku menggeber motorku tadi tetap saja terlambat. Tiket travel ke Jakarta besok telah habis. Sebenarnya bisa saja tersedia jika ada orang lain membatalkan atau
Go Show. Tapi sepertinya aku tidak bisa mengandalkan itu. Gimana nih? Hmmm... Apa aku pakai motor aja kali ya? sekalian bisa aku gunakan untuk keseharian di Jakarta? Ahhh... baiklah. Lagi pula alasanku ke Jakarta selain urusan pekerjaan juga untuk meluruskan status-ku dengan salah satu gadisku, Feydora. Gadis yang juga satu
talent agency dengan April. Baiknya aku kabari dulu Fey sekarang. Aku mencari namanya di
phone book handphoneku. Segera aku menghubungi Fey...
“Halo...” sapaku singkat.
“Iya, Kang?”
“Fey lagi di mana?” sekali lagi aku berbasa-basi.
“Senayan, Kang. Kenapa?” Pantas saja agak terdengar keramaian terdengar di belakang suara Fey.
“Eh, Akang ganggu ya?”
“Ah, enggak kok. Aku baru aja dateng. Ada apa, Kang?”
“Besok Akang mau ke Jakarta.”
“Wah, beneran? Asyiiiik! Pake apa?”
“Kayaknya naik motor, Fey...”
“Waduh, jangan atuh, Kang... Nanti masuk angin. Bandung ke Jakarta kan jauh... Pake mobil aja ya?” Suara Fey terdengar sangat khawatir mendengar bahwa aku akan memakai motor.
“Akang enggak ada uang lebih, ini aja besok aku nginep di tempat si Bob.”
“Di tempat Mas Bob? Di kosan aku aja kenapa? Kayak siapa aja si Akang mah...”
“Hmmm... sebenernya mau ada yang aku omongin juga ke kamu.”
“Apa Kang?”
“Besok aja, nanti juga kamu bakal tahu kok.”
“Iya deh... Akang jaga kesehatan ya? Jangan pake motor pokoknya. Travel kek atau kereta gitu...” Fey setengah mewanti-wanti.
“Maunya... tapi tadi ga kebagian tiket.”
“Asal ada buat bensin sama tol, nanti di Jakarta biar aku yang urus.” Ujar Fey enteng.
“Enggak usahlah, akang malu dibayarin terus sama kamu.”
“Akang... Ini Fey lho, bukan orang lain.” Fey melembutkan suaranya. Sedikit memanja. Seperti biasa jika dia ada maunya.
“Huffft... Lihat besok aja. Kalo ada rezeki, aku bawa mobil.”
“Iya, akang...”
“Udah dulu ya, Fey. Akang mau ke kedai lagi.”
“Eh... eh... tunggu bentar.”
Fey memotong pembicaraanku tiba-tiba “Iya, ada apa?”
“Miss you, Kang...”
“Hmmmm... Iya. Miss you too.” Datar sekali aku menanggapinya.
Ku akhiri pembicaraanku dengan Fey. Lantas aku meninggalkan kantor travel dan kembali ke kedai. Aku belum punya rencana apa-apa untuk keberangkatanku ke esok hari. Biarlah esok menjadi misteri. Yang penting aku akan berbicara baik-baik dengan Fey soal keputusan untuk mengakhiri hubungan ini. Aku tidak ingin menghancurkan karirnya yang tengah gemilang demi ide gila bernama “Hidup Bersama”. Itu tidak akan mungkin terjadi, sama sekali tidak mungkin.
Aku telah mempunyai istri di Bandung. Belum lagi mantan istriku di Jakarta. Belakangan muncul April yang juga teman Fey. Memang aku mengenalnya secara tidak sengaja. Tapi aku adalah pribadi yang tidak mudah teralihkan perhatiannya begitu saja. Namun,bisa-bisanya April mengalihkan perhatianku padanya. Aku merasakan ada yang berbeda dari gadis ini. Ah... sudahlah, aku tidak ingin memikirkannya terlalu berat. Biarlah semuanya mengalir apa adanya. Kita lihat saja besok. Maafkan Akang, Fey...
Malam menjelang dan aku telah berada di lantai dua kedai kopi milikku 30 menit yang lalu. Menikmati kembali secangkir kopi yang kesekian kalinya. Bersantai dengan sebatang rokok dan diiringi album “Let it Be” milik The Beatles dari handphone-ku. “
Let it be, let it be, let it be, let it be... there will be an answer... let it be...”. Aku menghisap dalam-dalam rokok beraroma Mangga dan menghembuskan asapnya yang tebal ke arah langit-langit. Apa yang sebenarnya terjadi dengan hidupku ini? Terlalu banyak hati yang telah aku lukai selama ini dan mungkin akan datang. Ya, sudahlah... lepaskan semua seperti asap rokok yang aku hembuskan...
let it be... yang akan terjadi biarlah terjadi. Seperti judul lagu yang dilantunkan Lennon dan McCartney.
-o00o-
“Akang jadinya pake mobil, Neng...”
“Bagus atuh, mobil saha yang dibawa?”
“Mobil si Bob di Bandung tenyata. Di rumah ibunya. Ini Akang lagi di Setra Sari mau ambil mobilnya. Kalo udah deket Senayan, nanti Akang kontak Neng lagi.”
“Iya, Kang. Buat bensin sama tol ada kan?”
“Ada, tenang aja.”
“Hati-hati ya kang.”
“Iya, Neng. Hatur nuhun.”
Matahari baru saja merekah di ufuk timur saat aku menelepon Fey. Sengaja aku berangkat pagi-pagi demi menghindari macetnya Jakarta yang ajaib. Sebuah kebetulan Bob mengontakku tadi malam memintaku mampir ke rumah ibunya untuk membawakan mobilnya ke Jakarta. Untunglah, satu masalah terselesaikan mengingat aku tidak bsa menggunakan mobilku sendiri yang sepenuhnya telah menjadi hak milik Vio. Aku pun tidak bisa memakai AE92 yang ku beli dengan cara patungan bersama Dyaningsih. Takut curiga jika tiba-tiba aku membawanya ke Jakarta.
Mobil memasuki tol Pasteur dengan kecepatan biasa saja. Yah, mau gimana lagi... Aku hanya memakai LCGC buatan Toyota berkapasitas mesin 1000 cc. Aku tidak bisa berharap banyak dengan mobil yang didesain untuk menghemat bahan bakar. Tak apalah, yang penting aku bisa sampai ke Jakarta dengan sehat sentosa. Membantu Bob membuka warung kopi dan membereskan benang kusut yang “
Pabaliut” dengan Fey.
“Terima kasih, mas.”
“Sama-sama, mbak.”
Seakarang aku sedang berada di Rest Area Kilometer 97. Sengaja aku menepi sejenak untuk sekedar membeli kopi dan beberapa buah roti sobek di mini market Rest Area sekaligus mengisi bahan bakar. Sembari menikmati kopi, aku memeriksa handphone-ku. Ada beberapa panggilan tak terjawab... Lho, April? Bukannya ia ada kegiatan bersama Fey? Ku coba menghubunginya langsung namun nihil. Hanya nada sambung monoton yang terdengar selama beberapa detik. April idak mengangkat sambungan teleponku.
Kopi telah tandas masuk ke lambungku. Beberapa roti sobek sudah cukup mengenyangkan perutku untuk melanjutkan perjalananku. Di tengah perjalanan, handphoneku tiba-tiba bergetar. Ah, dari April rupanya. Aku ambil
headset dan mengurangi laju mobil dan mengambil laju kiri.
“Halo, A’...?”
“Ya, halo... sori tadi lagi di jalan.”
“Oh, pantesan. Aa’ di mana?”
“Udah deket-deket Cikampek nih, kenapa?”
“Wah! Kebetulan nih. Nebeng dong, A’...”
Tunggu... Nebeng? Berarti dia belum di Senayan dong untuk berkegiatan?
“Lho, kok? Masih di Bogor dong sekarang?”
“Iya A’... di rumah sodara. Tempatnya deket kok, kak. Tinggal keluar tol nanti aku tunggui di Infomart.”
“Emang mobil kamu di mana?”
“Di Jakarta... hehehe... Kemarin mendadak harus ke tempat sodara sama Mama. Terus sekarang Mama kudu ngantor. Jadinya sekarang aku enggak ada yang nganter deh. Please a’... tolong banget jemput aku sekarang juga” April mengiba padaku. Aku sendiri sekarang bingung, apa kah aku harus menjemputnya atau aku lewatkan saja dia. Aku tidak tega jika ada gadis yang merengek kepadaku untuk meminta bantuanku. “Hmmmm... Gimana ya, Pril?” ada perasaan tidak enak saat aku mengucap keraguanku pada April. Ya, perasaan takut apa bila Fey marah lalu bertindak semena-mena pada April. Aku tidak mau itu terjadi. Membayangkannya saja aku merasa miris.
“Aku janji enggak bakal bilang ke Fey, sumpah!”
“Oh, kamu udah tahu soal aku sama Fey?”
“Fey udah cerita semuanya waktu nginep di kosan aku.” Duh, si Fey ini. Kenapa sih dia enggak bawel untuk sekali ini saja?
“Hmmm... ya udah. Ditunggu ya.”
“Beneran mau?”
“Iya! Bawel ih...”
“Horeee!” April bersorak selayaknya anak kecil yang akan diajak berlibur bersama orang tuanya. “
Okay, see you in a while, A’... hati-hati nyetir mobilnya” Sambung April mewanti-wanti.
Hmmm... Aku tahu April dan Fey berada dalam satu team bentukan
Agency-nya. Namun, mereka berdua bisa dibilang bukan sahabat dekat. Apa lagi tabiat Fey yang keras belakangan ini membuatnya sedikit dibenci oleh lingkungannya. Tapi kenapa Fey menceritakan hubunganku dengannya pada April? Ah, sudahlah... Biar April sendiri yang akan memberitahuku nanti.
Jalanan lurus tol Jakarta-Cikampek belum begitu padat pagi ini. Aku jadi leluasa untuk memacu mobil kecil ini pada batas kecepatan tertingginya. Walau was-was mengingat mobil ini sejatinya bukan tipe
sprinter, tapi keinginanku untuk cepat-cepat bertemu dengan April begitu kuatnya, sampai-sampai aku menyalip truk besar dari sebelah kiri. Hasrat itu membuatku menghalalkan segara cara untuk segera bertemu April.
Gerbang tol yang dimaksud April sudah terlihat. Ku bayar biaya tol dengan uang tunai dan menyimpan bukti struknya di laci kecil tepat di bawah
audio player mobil ini. Aku mengikuti arahan April yang ia kirimkan via chat. Belokan pertama setelah lampu merah. Terlihat Infomart yang dimaksud April tepat di sebelah kiri jalan. Sosok April terlihat menunggu di sebuah meja. Mengenakan jaket berwarna kuning hitam yang terbuka retsletingnya, kaos hitam dan rok berbahan denim selutut. Meski ia menggunakan masker demi menghindari kejaran fans-fansnya, aku sangat mengenal bentuk wajah dan matanya yang belo bak bulan purnama di awal bulan. Sangat indah. Ku lambaikan tanganku lewat jendela mobil. April menyadari kehadiranku , ia beranjak dari tempat duduknya sambil menenteng tas kecil dan koper berukuran sedang. Ia duduk di kursi depan setelah memasukan bawaannya di kursi belakang.
“Hai, Aa’!”April menyapaku penuh keceriaan.
“Hai, udah lama nunggunya?”
“Uhmmm... enggak juga sih. Tadi kan aku hitung kira-kira berapa lama waktu tempuh dari dari tempat Aa’ nelpon tadi.”
“Wah, bisa gitu ya?” selorohku polos.
“Bisa dong, April gitu!” sombong sekali gadis ini. Dan kami pun segera melaju menuju pintu tol.
Entah berapa lama mobil ini menyusuri lurusnya jalan tol dan cukup lama kami tidak berbicara. Aku Cuma fokus menyetir dan April sibuk dengan handphonenya. Sekedar membalas chat dari teman-temannya, sesekali ber-
selfie dengan berbagai macam gaya atau memainkan game. Aku pun berinisiatif membuka obrolan agar suasana lebih cair.
“Udah makan belum kamu?”
“Belum. Laper nih A’. Makan dulu ya nanti. Tadi Cuma sempet minum teh manis aja.” Hmmm... Di mana ya? Aku sendiri kebingungan menentukan hendak makan di mana kami.
“Deket-deket Senayan gimana? Masih kuat?”
“Iiiih, itu mah kejauhan, Aa’!” protes April memanja.
“Ini udah masuk tol. Setau Aa’ di depan udah enggak ada
rest area. Makan roti dulu aja ya? Buat ganjel perut. Kebetulan Aa’ beli tadi di
rest area sebelumnya.”
“Boleh... boleh... mana A’?”
“Punten. Ada di kresek jok belakang.” Tunjukku ke belakang sambil berkonsentrasi pada jalanan di depan yang mulai dipadati kendaraan menuju Jakarta. April membalikan badanya mengambil kantong kresek yang aku maksud.
“Yang ini ya?”
“Iya yang itu.” Tanpa pikir panjang, April merogoh isi kresek putih itu mencari dan langsung melahap roti sobek yang baru ku makan sebagian. Ia tampak seperti orang yang belm makan berhari-hari jika melihat caranya menghabiskan roti itu. Tanpa sadar aku pun menelan ludah melihat April menikmati sarapannya hari itu.
“Kenyang?” Tanyaku penuh keheranan.
“Belum, A’... ehehehe.” Jawab April malu-malu. Bibirnya membentuk senyuman manis dan pipi gembilnya terlihat lucu di mataku.
“Gila, roti satu papan gitu dan kamu belum kenyang?”
“Hahaha... aduh jadi malu. Maaf ya A’ jadi ketahuan deh kalo laper makannya kayak kuli. Maklum, kegiatan aku sehari-hari di
Agency emang menguras fisik. Jadi aku butuh asupan energi yang besar juga.” Jelas April.
“Ya... Fey juga sih... Eh!” sial, bisa-bisanya aku keceplosan membahas Fey.
“Wah, apa lagi Fey, Kang. Pejuang banget dia mah. Salut buat kerja keras dia selama ini.”
Ternyata April mendengar kata-kata yang tidak aku sadari meluncur dari bibirku. Mungkin sudah saatnya aku bertanya pada April tentang hubunganku dan Fey. “Mmm... April, aku boleh tanya sesuatu?” aku berbasa-basi dulu untuk mengutarakan maksud sebenarnya.
“Iya, A’... mau tanya apa?”
“April... Udah tahu Aa’ sama Fey ngapain aja?” sebenarnya aku ragu menanyakannya. Terdengar sangat tidak sopan menanyakan hal yang bersifat pribadi pada orang lain terlebih pada seorang gadis seperti April.
“Iya, aku tahu kok. Kenapa gitu?”
“Kamu enggak risih gitu sekarang?”
“Kenapa harus risih? Justru aku iri A’ sama Fey...”
“Iri? Maksudnya gimana nih?”
“Iri lah! Siapa coba yang enggak iri. Fey bisa pacaran tanpa ketahuan
Agency dan pacanya sendiri bisa melindungi dia. Enggak ember ke fans. Aman gitu lho.”
Aku terkejut dengan pernyataan April. Kita hanya bertemu sekali dua kali saat aku menjemput Fey di tempat latihan atau ketika mereka nongkrong di sekitaran Senayan. Sisanya lebih banyak chatting atau telepon sekedar menyapa atau menanyakan keadaan. Ya, sesekali ada sesi curhat dan itu pun hanya pada level “biasa”. Sebenarnya pertemuan pertama kami memang tidak disengaja. Aku sengaja tidak ingin menampakkan diri pada teman-teman Fey di Agency sedari awal aku berhubungan dengan Fey, tapi saat itu aku terpaksa menampakkan diri karena satu dan lain hal. Menjadi “hantunya” Fey itu tidak menyenangkan. Aku harus berhati-hati jika tidak ingin membahayakan diriku, terlebih kair Fey yang tengah menanjak. Dan sekarang niatku ke Jakarta adalah untuk menyudahi hubungan yang mulai tidak sehat bagiku. Aku sudah jengah.
“A’... Aa’!” Teriakkan April memecah lamunan singkatku ditengah konsentrasiku menyetir mobil.
“Eh, Iya... kenapa Pril?”
“Malah ngelamun, diajak ngobrol juga... huft!” April mendengus manja. Wajah cantiknya dibuat seolah-olah marah dengan memanyunkan bibirnya. Aku gemas melihatnya.
“Maaf, maaf... tadi kepikiran sesuatu.”
“Apa itu, A’?”
“Hmmm... Kenapa kamu enggak cari pacar juga? Kan banyak cowok-cowok yang ganteng dan bisa ngerti kerjaan kamu sekarang ini di luar sana?”
“Pernah sih... Cuma ketahuan
Agency... Parah pokoknya, sampai-sampai karir aku terjun bebas setelahnya.”
“Hahaha. Dunia kalian ini penuh intrik ya? Terus, sekarang kapok dong?”
“Banget! Dan aku putuskan untuk jalanin karir dulu dan enggak mau pacaran dulu. Bikin repot doang.”
“Baguslah, utamakan karir dulu. Jangan kayak Fey. Dia...”
“Fey kenapa?” April memotong pembicaraanku tiba-tiba. Dari nadanya yang tinggi, ia sangat ingin tahu.
“Aku udah mati-matian jadi hantunya Fey. Sebisa mungkin aku tidak mau terlihat oleh siapapun. Aku pengen semuanya aman. Tapi, Fey sendiri terkadang suka ceroboh...”
“Ya, ya... Fey itu kayak pengen “
show off” kalo dia punya cowok yang bisa dikondisikan.”
“Nah,
see! Harusnya Fey menghargai usaha aku kan?”
“Hmmm... ya begitulah. Makanya aku iri A’ sama Fey... andai aku bisa tukar posisi sama Fey...”
Eh... aku melirik ke arah April. Mata kami saling bertemu. Terlihat tatapan penuh harap dari sorot matanya. Tatapan sayu dan mimik wajahnya sedikit menyiratkan perasaannya yang sedang tidak menentu. Buru-buru aku mengalihkan mataku ke arah jalanan tol yang lurus dan kembali berkonsentrasi menyetir. Tetapi ekor mataku masih bisa mencuri pandang April yang masih menatap ke arahku. Hmmm... tatapan tadi itu... siklus ini... tidak mungkin...
“Jangan jadi Fey... tetaplah jadi April yang yang sekarang saja.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. “Iya deh A’, tapi...” April menggantung ucapannya.
“Tapi apa?”
“Ah, enggak jadi... Enggak usah dipikirin.” April nampak salah tingkah.
“Hahaha kamu ini... bikin penasaran deh.”
“Eh, udah di tol kota lagi ya? nanti keluar di Cempaka Putih aja A’...”
Aku juga baru sadar kalau akan memasuki tol dalam kota. Tak terasa kami akan memasuki Jakarta sebentar lagi. “Lah, Senayan masih jauh kali.”
“Enggak apa-apa, sambil kita cari makan dulu.”
“Oh iya lupa, hmmm... makan apa ya?” sejenak aku berpikir tempat tujuan sarapan kami pagi ini.
“Masih pagi gini... apa ya?”
“Paling fast food sih, enggak kesiangan kan?” ujarku memastikan.
“Kegiatanku siang A’... masih 3 jam lagi. Pasti keburu lah” April bersikukuh meyakinkanku. “Oh, baiklah...” ku turuti saja kemauannya. Lagian aku juga sudah lapar. Tidak nyaman juga menyetir beberapa jam hanya kemasukan sepotong roti.
Hmmm... Jakarta memang selalu ajaib. Walau tertulis lancar, kenyataannya jalanan sudah padat merayap, kadang berhenti total. Butuh waktu sekitar 40 menit dari pintu tol untuk sampai ke restoran cepat saji terdekat dari Senayan. Aku memesan menu lewat drive-thru. 2 potong ayam ukuran besar, nasi dan minuman bersoda untuk kami berdua. Kami sempat bingung mencari tempat untuk menyantap makanan. Aku sengaja mencari meja yang tempatnya sedikit tersembunyi, tahu sendirilah... aku bersama dengan seorang April yang notabene adalah
public figure yang cukup dikenal orang. Sayangnya, restoran telah terisi penuh oleh orang-orang yang beristirahat dari perjalanan jauh atau memang sengaja mampir ke restoran tempat saji ini. Terpaksa aku menuju halaman parkir swalayan 24 jam tepat di samping restoran.
“Maaf, Pril kita makannya di mobil aja ya? Aa’ enggak mau kita jadi pusat perhatian orang. Apa lagi kalau tiba-tiba ada fans kamu yang mergokin kita... bisa bahaya nanti.” Ibaku untuk memaklumi keadaan pada April. “Iya A’... terima kasih banget mau mengerti posisi April sekarang ini.” Balas April. Senyum manis tersungging dan membuat mata besar nan indah itu membentuk sedikit garis di sudutnya, Tatapannya melekat terus padaku. Sejurus kemudian, ia mula menyantap makannanya. Ia sangat lahap memakan potongan sayap digenggamannya sambil sesekali menyuapkan nasi di tangan kirinya. Tidak ada anggun-anggunnya sama sekali, jauh dari kesan idola yang megah, menjaga sikap dan semua kesan baik yang menempel pada pemikiran orang tentang idola. Semua hilang begitu saja.
Sejenak aku berpikir, berat juga menjadi seorang April atau Fey. Ia harus memakai topeng tebal di hadapan banyak orang agar mereka terhibur dan terpuaskan. Dan sekali mereka menyendiri atau bersama orang terdekatnya, mungkin mereka merasa sangat lega melepas topeng itu dan kembali menjadi diri sendiri. Ya, aku pun berat memakai topeng di hadapan Fey belakangan ini. Dan aku harus segera melepasnya agar aku terbebas dari beban-beban yang aku pikul sendiri.
“Lahap bener kamu makannya...” ujarku sambil menggelengkan kepala karena takjub dengan cara makan April.
“Emmmmhh... Lapar banget... hmmm” gumam April dengan mulut yang terisi penuh dengan nasi dan ayam.
“Pelan-pelan, April...”
“Hmmmpt, iya... hmmm”
Beberapa menit kemudian, makanan kami telah tandas masuk ke lambung kami. Sesi makan pagi yang kilat karena lapar yang mendera. Mungkin tepatnya adalah sarapan yang terlambat. Kami bedua sangat kenyang meski hanya dengan sepotong ayam dan sebungkus nasi.
“Haaahhh... Kenyang! Ini A’ buat bersihin tangan...” Kata April sembari menyodorkan tisu basah dan botol kecil
hand sanitizer. Ku bersihkan tanganku yang penuh minyak dan saus dengan beberapa tetes
hand sanitizer lalu mengelapnya dengan tisu basah.
“Eh, itu di bibir kamu ada nasi.” Aku menunjuk sisa nasi di sudut bibir April.
“Eh, iya ya? mana?” April berusaha membersihkan bibirnya namun usahanya sia-sia, sebiji nasi masih setia menempel di sudut bibir karena itu tidak terjangkau oleh tangannya. “ Ini, nih...” Aku pun berinisiatif mengambilnya dengan tanganku sendiri. Tepat di sudut kiri bibirnya yang tipis merona.
“Eh...”
Tangan April menggengam tanganku. Aku kaget dengan tindakannya yang tiba-tiba ini. Tempo detak jantungku mulai meningkat, entah mengapa nafasku terasa sedikit tercekat di tenggorakanku.
“Udah nih... ngomong-ngomong, tangan Aa’ bisa dilepas dulu enggak?” ujarku memecah kekakuan yang terjadi. April tetap tidak mau melepasnya. Aku mencoba menariknya. Namun di luar dugaan, April menempelkan tanganku di pipinya.
“Hangat...” hanya kata itu yang terucap dari bibirnya. Sesekali ia mengusapkan tanganku ke permukaan pipinya. Terasa halus di telapak tanganku.
“Pril...”
“Maaf, A’...” ia masih terus mengusapkan tanganku di pipinya.
“Pril, aku masih sama Fey, lho...” ujarku kembali mengingatkan posisiku sekarang.
“Aku tahu... Maaf.” April pun melepaskan genggamannya. Sedetik kemudian, ia tertunduk seakan bersalah. Jemari April sedikit meremas ujung kaosnya. Ia sedikit menggigit bibirnya seakan menahan sesuatu untuk terucap. Aku sedikit menghela nafas. Sudah saatnya aku mengatakan maksud dan tujuanku hari ini.
“Boleh Aa’ jujur sama April?”
“Tentang?”
“Alasan aku ke Jakarta hari ini.”
“Boleh... cerita aja. Aku mau dengerin” April membetulkan posisi duduknya ke hadapanku penuh keingintahuan. Sejenak aku terdiam. Mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan kejujuranku.
“Aku mau putus sama Fey...”
“Serius A’?!” mata April seakan ingin melompat mendengar perkataanku tadi.
“Mukanya biasa aja dong hahaha kocak banget asli!” tawaku meledak melihat ekspresinya sambil mengacak-acak rambutnya. Ia hanya menyipitkan matanya sambil menyeringai lucu seakan tidak terima rambutnya ku acak-acak. Atau mungkin perkataanku tadi? Entahlah. Tapi serius, itu membuatku gemas. April segera melihat kaca spion tengah dan merapikan rambutnya.
“Tapi kenapa? Dari cerita Fey, Aa’ sangat sempurna di matanya meski Aa’ sudah beristri... Tapi itu salah. Ya, Aa’ salah, Fey juga salah!” seru April. Ia sedikit menggunakan emosi jika aku mendengar dari nada bicaranya. “Tapi... Mungkin karena itulah Aa’ enggak bisa sembarangan jalan sama Fey kan?”
“Hmmm... cerdas kamu.” Kembali aku mengacak rambutnya yang baru saja ia rapikan. Kali ini ia tidak peduli. Hanya tersenyum penuh maksud yang tidak bisa aku tebak.
“Tapi... justru karena itu yang bikin kalian aman dari segala “aturan” yang berlaku. Dilematis juga sih... Ngomong-ngomong, boleh tahu alasan Aa’ mau putus?” Tanya April serius. Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arahku seakan ingin menyimak dengan jelas jawaban dari pertanyaannya.
“Jengah. Aa’ rasa sudah jengah aja... Aku merasa posisi tawarku begitu rendah. Lagi pula... Fey sudah berubah sekarang. Hampir segala cara ia halalkan untuk memenuhi ambisi karirnya. Sampai ia sendiri lupa kalau dia masih punya Aa’. Secara posisi, dia sangat istimewa, bener kan? Kamu sebagai teman kerjanya tentu lebih tahulah.” Jawabku mencari pembenaran pada April.
“Hmmm... Aku tahu A’... Seandainya saja...” Kembali April menggantungkan ucapannya. “Andai apa?” aku menaikkan sebelah alisku menganalisa perkataannya barusan.
“Andai saja aku ada di posisi Fey sekarang. Maaf, A’... jujur aku sangat mengidolakan Fey sejak bergabung di
Agency. Tapi belakangan... Aku jadi kurang respek sama Fey...”
“Kalian beda angkatan, tentu saja punya tujuan dan mimpi yang berbeda, Cuma mau bagaimana lagi? Fey
leader di tim kamu kan?”
“Iya A’...” Kata April mengangguk pelan. “Tapi A’...” sambungnya lagi. Pandangannya lurus ke depan. “Andai Aa’ udah enggak lagi sama Fey... Aa’ masih mau menjalin hubungan yang serupa dengan Fey lagi?” ucapnya ragu. Matanya masih tetap memandang ke depan seakan enggan menatap mataku.
“ Serupa dengan Fey? Maksudnya?” ujarku mencari penjelasan lebih dari April.
“Iya... menjalin hubungan dengan seorang idola.” Tegasnya sambil menoleh ke arahku. Kini giliranku yang menatap ke depan. Aku tidak berani menatap matanya dengan suasana seperti ini. Suasana dengan siklus yang aku hafal benar arahnya ke mana.
“Hmmm... entahlah... Mungkin Aa’ sudah kapok menjalani hubungan serupa.”
“Oh...” hanya itu tanggapan April. Dari nadanya aku merasa ada sebuah kekecewaan yang teramat sangat dalam. Aku menoleh ke arah April dan mendapati raut wajahnya yang murung. Aku sudah yakin arah pembicaraan ini akan berakhir. Tapi aku masih memagari diriku dengan benteng kokoh seolah ada persekongkolan Fey dengan April. Bisa saja April sedang bermain “
poker face” di depanku? Atau bisa saja April diutus Fey untuk menggodaku? Hmmm... aku harus sedikit memberikan pelajaran untuk April.
Aku segera memegang tangannya lalu menatapnya dalam-dalam...
“Pril...”
“Iya, A’... A-ada apa?” jawabnya tergagap saat aku memegang tangannya.
“Meski Aa’ mau mengakhiri semua kisah denga Fey, Aa’ mau semuanya berjalan dengan alami, bukan karena gangguan dari orang lain. Jadi Aa’ harap April bisa mengerti ya?” ucapku penuh kelembutan.
“Eh... apa? Aku tadi Cuma...” Ucapannya terpotong karena aku memeluknya tiba-tiba. April seperti tersentak karena aksiku ini. 20 detik... hanya 20 detik untuk April membiasakan diri. Dan ia membalas pelukanku lebih erat lagi.
“Maaf, aku kelepasan...” kataku sambil melepas pelukan dari tubuhnya. Aku berpura-pura menyesal. “I-iya A’... Eng-nggak apa-apa” April nampak masih terkejut dengan apa yang aku lakukan tadi. Begitu tiba-tiba.
“Apapun keputusan Aa’ soal Fey nanti, Aa’ harap April mengerti. Semua demi kebaikan kita semua...”
“Maksudnya?”
“Sekarang Aa’ emang berniat mengakhiri semuanya, tapi Aa’ sendiri tidak yakin Fey terima begitu aja. Apa lagi kalau Fey sampai tahu kita ke Jakarta bareng gini. Aku enggak mau kamu kena getahnya. Aa’ enggak mau Fey menganggap April jadi alasan Aa’ meninggalkan Fey...”
“Lho... jadi Aa’ juga...”
Aku hanya mengangguk. April hanya tersenyum lalu kembali memelukku. Pelukkannya lebih erat dibanding sebelumnya. Wajah kami saling bertemu sesaat kemudian. Tanpa halangan perasaan canggung yang berarti, bibir kami saling bertemu. Saling mengecup satu sama lain...
Fey, maafkan akang, ini sebuah kesalahan...
Mata April terpejam dengan nafas yang berat meyapu sisi wajahku. Terlebih ketika tanganku mulai menyusup ke dalam kaos hitam berbahan katun. Aku meremas dada April yang terasa empuk. Berbeda dengan April yang cenderung kecil namun kencang.
“Hhhhh Aa’... Janganhh... di sini... Ahhh... Ini kan tempat umum...” April melepaskan ciumannya di bibirku. Menepis tanganku yang tengah merasakan kelembutan buah dadanya.
“Mmm-maaf, Pril... Ini...” Aku berpura-pura menyesal namun...
“Mmmh... Mmmmuach.... Ahhhhm...”
April memotong pembicaraanku dan langsung menghujani bibirku dengan ciuman penuh nafsu.
Aku mendorong sejenak tubuh mungilnya. “Pril... sejak kapan kamu...”
“Sejak ketemu di kedai Sate... Aku kira sosok Aa’ itu... Ih, malu aaaah...” April membuang pandangannya ke samping. “Hmmm... kenapa engga bilang dari kemarin-kemarin?” ujarku sambil kembali meremas kedua dadanya. Aku sepertinya mulai ketagihan dengan tekstur dan bentuk dadanya.
“Ssshhh...Ahhh... A-aku takut... mmmmh Fey...”
“Iya, Aa’ ngerti...”
Aku khilaf... Maafkan aku Fey...
“Aa’... Hhhh”
Tangan kananku mulai turun ke arah bawah. Menyusup ke dalam rok berbahan denim. Ku rasakan vagina April mulai basah. Cukup lama jariku bermain di permukaan vaginanya yang masih tertutup celana dalam. Suasana parkir mini market pagi ini tidak terlalu ramai, didukung dengan mobil milik Bob yang berkaca film gelap.
“Aa’... mmmphhfff... Peluk aku A’...” aku memeluk tubuh April dengan satu tangan sementara tangan kananku sibuk memainkan belahan vagina-nya perlahan dan kecepatan konstan.
“Aa’...! Aaaaah.... hhhh”
Fey... sekali lagi maafkan akangmu ini...
To be Continued...