Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA The Measure Of Happiness

Status
Please reply by conversation.
Lanjutkan terus update nya hu..


CHAPTER 3-A :
On Your Command, My Queen





Sebelum memulai hari ini, aku ingin membuat sebuah pengakuan; beberapa saat lalu aku baru saja melakukan suatu tindakan yang bodoh yang hanya pantas dilakukan oleh penjahat kelamin.

Maksudnya?

Jadi… intinya begini. Semua dimulai di kala pagi nan dingin ketika aku baru selesai mandi. Yah, awalnya sih semua berjalan normal. Aku telanjang, membasahi diri dengan shower, menyabuni badan, membilas bersih, lalu setelah selesai langsung mengeringkan tubuh memakai handuk. Betul-betul rutinitas biasa, tiada sesuatu pun yang aneh.

Nah, alih-alih bergegas berpakaian, tepat di saat itulah setan cabul iseng menyambar.

Aku… melihat celana dalam kotor Icha yang menggantung lucu di belakang pintu. Si ‘Kobra Jantan’ tiba-tiba menegang.

Well, aku tahu pasti kalau kain mungil pink berhias renda-renda itu adalah celana dalam yang bekas adik tiriku pakai tadi malam sepanjang tidur, karena dia baru beres keluar mandi tepat ketika aku hendak masuk. Dan, bukan untuk cari alasan jika kubilang di saat itu aku beneran khilaf. Aku serius hilang akal. Cobalah pikir… jujurlah… kalian penasaran gak, sih, bau memeknya Icha tuh kaya gimana?

Oke, bisa ditebak selanjutnya. Aku lantas mengambli pantsu seksi adiku itu lalu menempelkannya ke hidung—tepat di bagian kain pusat selangkangan. Kuhirup habis beriring jantung berdebar sekujur aromanya. Sungguh, betul-betul menajubkan pesona semerbak organ kewanitaan itu, seperti khusus diciptakan untuk laki-laki agar mereka terhipnotis. Aroma kemaluan perempuan belia yang khas, terasa amat pekat di hidungku. Aku tak peduli jenis lendir atau cairan apa yang keluar dari vagina perawan Icha, yang jelas wanginya membuatku mabuk. Aku pun kian lupa diri. Aku mulai beronani. Sambil terpejam, menghayati hawa ‘surga’ kecil milik Icha yang kain celana dalamnya membekap hangat di hidungku.

Ooouh, yesss… Alicia Sayanghhh… b-bau memek kamuh enak bhaannng—” crot crot crot!

Yes, i'm a degenerate disgusting human being, and im not really proud about it.


Dan, disinilah aku sekarang, duduk di meja makan menyeruput secangkir kopi di hadpan Icha tanpa perasaan dosa secuil pun.

“Cha?”

Yup?”

“Itu di microwave lagi masak apaan?”

“Daging buat roti isi.”

“Bekel untuk ke sekolah?”

“Iya.”

Bacon slice?”

“Iya.”

Bibirku terkekeh heran. “Kok jadi suka pake daging piggy? Biasanya kamu suka keju ama kornet sapi aja?”

Alicia tak menjawab. Gadis yang sudah lengkap berseragam SMU DNS itu hanya menggembungkan pipi sambil memainkan ponselnya.

“Pasti gara-gara sering aku ‘pajak’-in ya rotinya sepotong?” tanyaku lagi belagak tak mengerti.

Ehmm, pikir aja sendiri.”

“Ya maafin Kakak, atuh. Aku janji, deh, gak akan nyomotin bekel kamu lagi.” Aku mengulurkan tangan mencubit pipi gembil Icha, membuat raut cemberut adik manjaku itu hilang.

Ting!

Mendengar alarm microwave berbunyi, mulutku pun lekas menghabiskan kopi dalam beberapa teguk. Sementara Icha bangkit dan menyiapkan roti, tetiba aku teringat ada hal yang penting yang ingin kutanyakan pada dia.

Betewe, aku mo nanya sesuatu nih, Cha. Kemaren-kemaren ada orang aneh yang dateng ke sekolah kamu, nggak, ngasih kamu Okonomiyaki?”

Kening Icha tampak berkerut sekilas, sebelum ia berkata, “Mmmm, Kak Juki, maksud kakak?”

Anjrit, jadi beneran dong si Maniak itu ngedatengin adek gue?

“Iya. si Juki. Dia beneran dateng?”

“Ho oh.” jawab Alicia datar.

Entah harus bereaksi apa aku menanggapinya. Bukannya egois, tapi agak ngeri juga kalau membayangkan adiku yang galak-galak ngegemesin ini jadi bahan coli-nya si Juki. Masalahnya, si Otaku kronis itu fantasinya suka aneh-aneh. Pasti dia sering membayangkan tubuh telanjang polos Alicia bergeliat panik dililit tentakel gurita di mana salah satunya menancap jalang ke liang vagina. “KYAAAAAH~” Terdengar suara jeritan Alicia yang pilu ketika selaput dara kegadisannya dirobek si Monster Laut Cabul. Satu tentakel lagi merangsek ke mulut, membungkam paksa. Dua batang lainnya meremas-remas dada, sedang sisanya melilit erat kaki dan paha. Alicia hanya bisa terbelalak kaku ketika relung rahimnya dibuahi sperma sang Gurita. Adiku yang mungil nan imut itu harus menerima kenyataan dengan pasrah bahwa tubuhnya kini dijadikan media untuk bertelur serta berkembang biak bagi spesies asing tersebut…..

Wait, tunggu, kenapa malah aku yang jadi gila?

“Kakak! Ayo ih berangkat! Ngelamunin apa sih? Mantan?”

Seketika, aku tersentak. Alicia berdiri merengut di dekatku sudah siap dengan tote bag Totoro serta jepit rambut kupu-kupu kesayangannya. Baru aku hendak berdiri, tiba-tiba ponsel Sams A21-ku malah bergetar.

“Cha, tunggu, mama nelpon nih.” ujarku menyuruh Icha menunggu di depan garasi, dekat motor. “Ya halo, ma?”

“Rifan, kamu masih di rumah?”

“Yo’a, baru mau berangkat nganterin Icha.”

“Hari ini kamu bebas, kan?”

“Iya, gak ada kuliah. Kenapa, Mam?”

“Nggak, flashdisk Mama ketinggalan di rumah, kayanya ada di meja kerja yang di kamar. Nanti abis anterin Icha, tolong bawain yah ke kampus Mama? Penting buat materi kuliah nanti.”

“Beres, Mam.”

“Oh, iya, sama obat sakit kepala Mama juga, Fan, tolong bawain yah. Ada di meja situ juga.”

“Sip.”

Aku menghela napas begitu sambungan usai. Yah, beginilah kondisi rumah kami sehari-harinya. Tiga hari pasca keberangkatan Papa ke luar negeri, semua terasa sepi. Mama sudah pergi kerja lebih dulu disusul aku dan Icha jalani kegiatan. Karena hari ini aku tak ada kuliah, aku lumayan nyantai, so—

EH? What the fuck?

Lubang mulutku menganga lebar begitu aku masuk kamar Mama lalu menghampiri meja kerja beliau. Hal pertama yang kulihat di atas sana bukannya flashdisk atau obat, melainkan sebuah ‘alat rekreasi’ kaum wanita yang pasti kalian semua para penikmat bokep sudah tahu!

G-Gila, besar amat pentunganya? batinku membandingkan dengan penis sendiri. Anehnya, Mama yang ceroboh kenapa malah mukaku sendiri yang malu merona melihatnya?

Aku menelan ludah seraya lanjut memeriksa meja. Kuangkat serta kugeser kertas-kertas plus buku-buku berserakan mencari si flashdisk nestapa berikut obat-obatan yang sudah pasti ukurannya kecil tersebut. Jangan… Rifan, jangan… jangan dinganu…, aku berusaha meneguhkan diri sekeras mungkin dalam hati. Dan, gagal.

Hmmmmmhaaakh, lezatnyaah…,”

Layaknya orang kesurupan, diriku pun langsung seketika meraup dildo itu oleh kedua tangan lalu menghirupnya kuat-kuat. Kedua bola mataku terpejam, berusaha konsentrasi mengaisi sisa-sisa ‘aroma’ keintiman Mama yang tersisa di sana. Andai benda cabul ini milik ibu kandungku, tentu aku tak mungkin punya hasrat. Tapi, Tante Clara? Ahhghghgk





===========================






Bukan maksud untuk tebar pesona atau sok gaya, tapi hari itu aku sengaja mendatangi kampus Mama mengenakan pakaian terbaiku demi keperluan adaptasi alias menyesuaikan diri dengan ‘ekosistem’. Sebelumnya, Alicia sempat heran kenapa aku pergi mengantarkannya sekolah bermode dandanan super ganteng plus badan semerbak wangi bak hendak ke night club. Namun, setelah kujelaskan ceritanya, ia pun akhirnya paham.

Well, tiap kali mengunjungi kampus ini, Universitas Digya Bhakti (UDB), selalu atmosfirnya tak pernah gagal membuat bulu kuduku merinding serta memberikanku semacam PTSD kala ku sekolah di SMU DNS dulu. Ini adalah kampus high rank nan mahal dimana lorong-lorong gedungnya terasa seperti catwalk, dipenuhi oleh para mahasiswi yang seliweran mengenakan busana classy up to date serta aksesoris branded. Persis seperti di SMU DNS saat tiba di ‘hari seragam bebas’—hari Sabtu. Jujur, meski aku betah karena bisa cuci mata menikmati pemandangan cewek-cewek mulus nan bening, agak risih juga sih kalau ‘diliatin’ hanya karena kita pake celana belel plus kaus oblong. Pernah satu kali aku mendatangi kampus ini dengan busana dimaksud, dan rasanya seperti gembel masuk istana sarang bidadari. So, berangkat dari pengalaman, tampilah kini diriku bak bintang film Drakor di area lobi depan bangunan berasitektur kontemporer tersebut, gedung Fakultas Psikologi tempat di mana Mamaku bekerja.

“Pagi, Mbak, lagi ada kuliah?”

Aku tersenyum sok cool sembari melepas kacamata hitamku kala ku melintasi kumpulan tiga Amoy cantik yang berbisik-bisik mencuri pandang. Mereka hanya kikuk mengangguk saat ramah kusapa. Over percaya diri? Ya jelas dong, wong Mamaku menjabat wakil dekan di kampus ini, hahaha. Sekali-kali, boleh lah bersikap ngehek.

Akhirnya, aku sampai ke tempat dituju. Setelah melewati meeting room dosen yang saat itu tampak sedikit renggang dan sunyi, ragaku kini berdiri di depan sebuah pintu bertuliskan nama Clara Isabelle MA, Ph.D.

Tok Tok Tok

“Mam, ini aku.”

“Ya, masuk aja, Fan, gak dikunci.”

Aku pun segera masuk kemudian kembali menutup pintu.

Flashdisk yang in…,” Hghgkhgkhg

Pita suaraku kusut mendadak. Kedua Bola mataku membeliak terpana. Di ruangan kantornya saat itu, Mama rupanya tengah melepas blazer kerjanya dan tampil mengenakan blouse putih tipis yang cukup transparan, hingga memperlihatkan bra penutup payudaranya yang tembus menerawang berwarna hitam.

Aaaaaa…,”

B-Beginikah ‘gaya’ mama menerima tamu? A-Atau… hanya khusus padaku karena aku anaknya saja?

Seakan paham yang ingin kukatakan, Mama sontak bangkit dari mejanya lalu menyuruhku duduk di sofa tamu. “Iya, flashdisk yang ini. Kamu kenapa, sih?” ucapnya meraih flashdisk yang teracung di tangan. Dan, bukan hanya BH tembusnya saja, lekukan seksi pantatnya pun sontak mendebarkan jantungku. Rok kerja mama begitu ketat ‘membulat’, perlihatkan montoknya aset kewanitaan yang aku yakin membuat para mahasiswa dan dosen batangan ngaceng melihatnya.

“Kamu obatnya bawa juga, kan?” tanya Mama membuyarkan lamunanku.

“Eh? I-Iya, Ma. Nih…,”

Sambil turut duduk merapat di sampingku, Mama lantas mengambil rangkaian kapsul berwarna-warni tersebut lalu meneguknya dibantu segelas air hangat.

“I-Itu obat apa, Ma?”

“Ada deh, mo tau aja.” jawab Mama tersenyum padaku.

“….”

“….”

Hening. Bisu sejenak.

Entah kenapa, di balik keceriaannya aku seperti melihat sekelebat raut kegelisahan di wajah Mama ketika kutanyakan hal tersebut. Wanita cantik itu lantas mengalihkan pandangan, seakan enggan berkontak mata denganku. Ia menggigit pelan bibirnya seperti anak kepergok ‘nakal’.

Why?

Layaknya muncul sesuatu yang berat menimpa kepala, aku tercenung menundukan leher. Sebetulnya aku sudah lama tahu soal ‘rutinitas’ Mama bersama pil-pil tersebut. Namun, satu hal penting yang baru kusadari detik ini bak kilat menyambar dari langit adalah, mama selalu ‘sakit’ dan mengkonsumi obat-obatan itu ketika Papa pergi!

Hell shit, what kind of drugs that she takes?
Obat apa sebenarnya itu? Tapi aku yakin Papa tahu kok, orang barangnya biasa disimpen di kotak lemari deket meja makan.

Jujur, aku sedikit kurang suka ini. Kayaknya cuma aku yang ‘dikambing-congein’.

You know, kamu pasti khawatir, kan, bila orang yang kamu sayang kedapatan ‘ngobat’ tapi sama sekali tidak pernah cerita mengenai penyakit apa yang dideritanya? No, aku nggak mau kejutan. Aku nggak mau drama. Aku harus tau kenapa Mama merasa perlu dengan pil dan kapsul tersebut.

Pelan, aku kembali melirik ke arah Mama, Mama pun balas menatapku oleh sorot kaku di balik kacamatanya. Jelas ada yang aneh dengan gestur tubuh serta mimik reaksinya. Kentara Mama tampak gelisah tunjukan wajah bersemu merah plus mulut tak henti resah menggigit-gigit bibir. Nafasnya memburu berat. Dan, ia mulai menyentuh pahaku.

“Rifan…,”

“Ya, Mam?”

Kudengar Mamaku berbicara pelan—hampir berbisik. Aku pun menanggapinya.

“Sebenernya, Mama dari kemaren pengen bicarain ini sama Kamu, tapi…,”

“T-Tapi kenapa, Ma?”

Mama berdehem, “Kamu jangan marah atau kecewa, ya, please? Dengerin cerita mama baik-baik, karena ini, uhmmm, betul-betul kenyataan sulit yang Mama hadapi,”

“Siap, Ma,” jawabku menegakan duduk, pasang telinga sepenuhnya. Dari rautnya yang terpejam menarik nafas, sepertinya omongan Mama bakal panjang dan serius.

“Sebelum menikah dengan Papamu, Mama itu selalu terbuka, Rifan. Mama gak pernah merahasiakan hal sekecil apa pun sama Papa. Kami selalu saling berbagi, bahkan untuk hal-hal yang paling rahasia diantara kita. Intinya, kita berusaha saling mengenal secara utuh, dan telanjang…,”

Aku menelan ludah ketika Mama mengeluarkan kata ‘telanjang’. Prasangkaku berkata jika ayahku dan Tante Clara sudah lumayan sering bersebadan sebelum mereka menikah.

“Dan, Mama juga tau kalau disamping segala keromantsannya, Papamu itu orang sibuk. Sering ninggalin rumah. Tapi… tentu saja Mama bisa mengerti karena dari sanalah Papa ngehidupin keluarga, laksanain tanggung jawabnya sebagai ayah dan suami.”

“….”

“Terus, mengenai obat-obatan Mama ini, Papa kamu pun sudah tahu, Rifan, perihal ‘penyakit’ yang diderita Mama.”

“Eh, penyakit? E-Emang Mama sakit apa?” tanyaku gugup bercampur hati penasaran.

“Bukan penyakit yang bakal kamu bayangin, sih, sebetulnya, tapi…,” Aku sejenak melihat Mama sekilas membuang muka hindari telisikan mataku. Namun anehnya, wajah wanita cantik itu berubah merona malu, “ini sebenernya penyakit mental, Rifan. Obat-obatan ini pun cuma prozac, anti-depressan, sama painkiller. Intinya, hhhhh, Mama ini doktor Psikologi yang butuh bantuan psikolog.” lanjutnya sambil memijat kening.

Hoah?” Aku melongo tak mengerti, memandang Mama tak ubahnya bocah ketemu Batman.

“….”

“J-Jadi?”

“Mama ini punya ketergantungan… emmm, pengidap kecanduan…,”

Sinar tatapku tak henti memusat pada wajah Mama yang tetiba bicara agak tersendat. Ketegantungan apa? Drugs? Obat-obatan medis? Sepengetahuanku, Mama gak keliatan kayak junkies? Sehat-sehat saja, malah, rajin banget fitness. Judi? Punya banyak utang terus jadi stress?

“….”

“Kecanduan apa, Ma?” tanyaku pelan penuh perhatian. Sungguh, apa pun itu, aku nggak marah dan sangat ingin menolong Mama.

Emm, mungkin ini aneh buat kamu, Sayang, tapi…,”

“Kecanduan ap—”

“Seks, Rifan. Mama kecanduan seks.”

Hueh?”

Kembali, aku melongo. Dengan ekspresi yang lebih tolol dari sebelumnya. M-Mama bilang apa, tadi? Gak s-salah denger?

“Kamu… ngerti, kan, Sayang? Itu sebabnya berat banget buat Mama kalo Papa pergi. Mama suka stress, gelisah, plus susah tidur kalau nggak dapet…. yah, begitulah,”

Takjub, kepalaku menggeleng. Jemariku menggaruk-garuk rambut yang tak gatal. Aku tak tahu harus berkomentar apa. Hanya pertanyaan yang refleks muncul di otak saja yang mampu terlontar.

“S-Seks? Maksud Mama… euhmm… S-Separah apa, Mam, kecanduannya?”

“Pokoknya, kamu tenang aja, Sayang. Karena mama udah berumur, kecanduannya nggak separah dulu. Kamu tau kenapa Mama cerai ama suami lama Mama?” tutur Mama seketika bertanya mengenai hal-hal pribadi yang sama sekali ku belum tahu.

Kontan, bulu ronaku berdiri! Aku memang bukan orang kepo, tapi kisah mengenai pernikahan lama Mama, siapa yang gak ingin tahu?

“M-Maksud Mama, Om Tony?” Basa-basi, aku menyebut nama bekas suami Mama yang juga ayah kandung Alicia tersebut. Mama pun mengangguk.

“Iya, siapa lagi?” balasnya, “dan kamu pasti pernah denger kalau Tony itu penjahat, mafia, punya jaringan ama triad Hong Kong atau apalah. Kamu pasti beranggapan kalau kesalahan mantan suami Mama lah penyebab perceraian Mama. Yah, itu memang bener, sih, tapi… setengah bener,”

“T-Terus?”

Mama kembali dengan wajah tersipunya. Rasa malu yang sejujurnya menular juga padaku. Mukaku jadi ikut-ikutan merah. Sambil menggigit bibir, wanita yang kukenal amat cerdas dan elegan itu lalu berkata, “Sebenernya, Mama cerai gara-gara ‘penyakit’ Mama ini. Mama… ehmm, selingkuh, Sayang. Mama kepergok berintiman sama tukang kebun Mama.”

“APA?!”

“Y-Ya… itu yang ketauan. Sebetulnya, M-Mama juga ada ‘skandal’ sama sopir plus satpam shift siang rumah Mama. J-Jadi… itu jawaban dari pertanyaan kamu, Sayang. Separah itu,”

“S-SERIUS MA?”

Belum hilang rasa kekagetanku soal tukang kebun tadi, organ jantungku seakan hampir dibuat copot oleh pengakuan Mama selanjutnya. What the fuck? Sopir? Petugas satpam?

Jujur, dengan kecantikan, kelas, serta kecerdasan yang Mama miliki, aku tak begitu heran jika Mama pernah selingkuh dengan artis atau mahasiswa muda nan tampan, tapi ini? it is kind of joke?

“T-Tapi, itu dulu, Sayang! Itu waktu Mama lagi parah-parahnya kegilaan seks!” seru Mama beringsut rapat meremas pahaku. Aku tahu maksudnya ingin menenangkan mentalku yang mungkin tergoncang. Namun sial, sentuhan lembut itu malah membuat ‘Phyton’-ku terbangun. “Sekarang Mama udah tobat. Gak mau kaya gitu lagi. Tapi... berat... Papamu sering pergi….,”

Serta merta, batinku tersentak. Iya, bener juga, ya? Aku jadi menyadari satu hal, semenjak kemarin Papa ke luar negeri, Mama jadi sering sakit kepala. Kerap begadang dan susah tidur. Bahkan di pukul 12 malam pun sering aku mendengar Mama di ruang tengah masih nonton TV. Aku pikir cuma kangen atau kesepian biasa, nyatanya...

Dan, satu hal yang perlu kalian tahu, seusai pengakuan tadi aku sama sekali tak memandang Mamaku ini binal atau jalang. Justru… aku kasihan. Hati kecilku mulai menyalahkan Papa yang ‘tak sanggup’ menafkahi batin Mama secara sempurna.

“Rifan…,”

“Ya, Ma?” Uh, oh? Ehhggk

Aku yang baru saja meneguk secicip air sontak tersedak! Sekujur neuron syarafku beku tak berdaya ketika Mama tiba-tiba merekatkan tubuh lalu menatapku sayu. Jari-jemari lentiknya bergerak lembut membuka kancing blouse teratasnya, hingga garis himpit belah buah dadanya tersingkap. Praktis, aku beringsut mundur sejengkal. Namun kentara palsu karena kedua bola mataku tak sanggup lepas dari gundukan payudara montok itu.

“Rifan... kamu mau nurut sama Mama, kan?” bisik Mamaku lagi dengan nada yang berubah nakal. Batang penisku mulai berontak. “Kamu bisa tolongin Mama, kan, Sayang? Mau?”

“T-Tolongin… g-g-gimana, Mam?”

Hening. Sunyi sepersekian menit. Hanya bisa kurasakan halusnya belaian tangan Mama yang menyentuh pipiku.

“Untuk sekarang, ini rahasia kita berdua aja. Papa sama Icha jangan sampe tau, oke?” Lorong telingaku bisa mendengar begitu jelas desahan penuh goda itu. Wajahku dan Mama kian begitu dekat. Tinggal selangkah lagi rasanya kita bersentuhan bibir. “Nanti malem, kamu tidur di kamar Mama ya, Sayang?”

“….”

Aku mengangguk, tanpa kata-kata. Hampir tak percaya rasanya otaku dengan kejadian absurd detik ini. Seperjaka-perjakanya diriku, aku tidak tolol. Tentu saja ajakan ‘tidur di kamar Mama’ tersebut bukan tidur pules atau ngorok seperti kala aku bocah dulu, bersama mama kandungku.

“Selama Papa pergi, Mama pengen kamu ngejantanin Mama, Sayang. Mama butuh banget disenggamain laki-laki. Kamu paham, kan, penderitaan Mama, Sayang?” Gelitikan jemari Mama mulai menjelajah ke arah bawah, meremas-remas mesra selangkanganku. Serius, pengen muncrat rasanya!

Damn fuckin shit. Aku tak peduli. Aku tak peduli apapun lagi selain ingin ‘menolong’ Mama. Aku akan sangat bahagia sepenuh hati jika keperjakaan polosku direnggut habis oleh wanita anggun berparas oriental ini.





===========================​





Jam istirahat adalah waktu yang paling disukai oleh siswa-siswi manapun di dunia ini. Tentu saja termasuk Alicia yang kini sekolah di SMU DNS di tahun terakhirnya. Begitu bel alarm berbunyi, gadis cantik yang selalu tampil innocent dengan jepit rambut kupu-kupunya itu pun langsung melangkah keluar kelas tanpa berbicara dengan siapapun murid-murid lainnya di sana. Perangainya yang pendiam, memang sudah dipahami oleh teman-temannya. Beruntung, mayoritas anak DNS adalah anak-anak yang seperti dibesarkan untuk jadi individualis oleh lingkungan serta keluarga mereka, hal yang umum terjadi di sekolah internasional. Maka, sama sekali tak ada satu orang pun yang mengganggap Alicia sombong. She’s only just likes doing her shit alone, begitulah pendapat teman—teman Alicia mengenai dirinya.

Groook~

Melangkah datar menyusuri koridor, Alicia merasakan perutnya sudah mulai lapar, namun sepertinya panggilan alam ke WC lebih mendesak. Tak jauh dari sana, ia pun berbelok menuju ruang toilet wanita yang tentunya wangi dan bersih akibat maintenance rapi terjadwal bak hotel bintang.

Haduh, mudah-mudahan gak ada yang mesum lagi deh, batin Alicia sebal mengingat kejadian kemarin. Yep, hari sial. Saat gadis itu pipis di pagi hari, ia mendengar suara-suara desahan nakal gak jelas diiringi jeritan seksi tertahan di bilik sebelah. Rupanya, itu suara temannya yang bernama Sherry bersama murid bandel bernama Faruk yang sedang ngentot tanpa malu.

Ufffh…. Kontol lo gede banget, Faruukhenak b-bangeeeth, bangsat!

Alicia menggetok-getok kepala, berusaha menghapus racauan Sherry yang sepertinya bakal terekam abadi di kepalanya tersebut.

Cepat-cepat, Alicia langsung menempati satu bilik paling pojok lalu mengangkat rok. Ia turunkan celana dalam putih berenda-rendanya bebaskan bibir kemaluan gundul perawannya yang berwarna cherry kemerahan. Ia duduk tegak di atas closet, menarik nafas sejenak, hingga… pssshhhh, keluarlah air bening itu menyembur deras membelah garis belahan memeknya.

Hmmmmmh

Tubuh Alicia bergetar geli. Jarang-jarang ia merasakan pipis senikmat ini.

“S-Sherry… assshh~ pelan-pelan isepnya, Sayang! Tar aku keburu kelu—”

“Diem! Aku gemes tau ama kontol kamu. Slrrrph hmmph srrrph… bikin memek aku muncrat terus, Bajinganhh.”


BRAKKK!!

Alicia meninju tembok bilik toilet dengan murka. Ia menyesal telah secara tak sengaja mendengar ocehan-ocehan mesum Sherry dan Faruk. Emang seenak apa sih NGENTOT itu? Kenapa Sherry yang sehari-harinya tampil sok classy, belagu, dan high standard dan itu bisa tiba-tiba jadi lacur gara-gara burungnya Faruk?

Bahkan, Mama

Mama

Mama yang begitu cerdas berpikiran rasional….

Oh, tidak. Please. Jangan trauma itu! Aku gak mau inget lagiiiii!

Alicia terpejam keras layaknya robot yang berusaha memformat habis isi memory-nya. Tentu saja ia gagal, seperti biasa.



“Papa! Papa jangan marah-marah teru—”

“MAMA KAMU ITU LONTE, ALICIA! LIAT KELAKUAN DIA! NGENTOT AMA TUKANG KEBUN!”

“TONY! JAGA OMONGAN KAMU! JANGAN DI DEPAN ICHA!”

“Kenapa? Hahaha, kamu malu kalo anak kamu tau kamu suka nyepong si Eko? Doyan dikontolin ama si Tonggos itu?”

“TONY!”




Medesah pelan, Alicia bangkit lalu membersihkan mulut vaginanya hingga kering. Sinar matanya meredup kosong seakan tak mengerti dengan semua keabsurdan tersebut. Yang ada di otak gadis cantik itu sekarang, hanyalah gejolak hormon masa puber yang berontak ingin tahu. Jujur, ia tergoda ingin merasakan apa yang temannyaSherryrasakan. Kenikmatan apa yang membuat Mama tergila-gila hingga rela menjatuhkan kehormatannya.












===========================​
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd