Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TIARA... (No Sara)

Hyaaaaaahhhh

Aku di mention sama penulis...
Makasih udah baca ceritaku...

Semoga lancar nulis cerita ini...sampai tamat ga kaya aku...hahahaha

Wahhh penulsi Aslinya ELENA muncu. jadi gak enak nih. hahaha.

Btw, smoga cerita yg di adaptasi dari cerita suhu, tak mengecewakan ya. mengenai Tamat, itu sudah pasti hu.
Karena kerangkanya udah jadi sampai kelar. bahkan sampai sekarang setiap baca kerangkanya doank masih aja kebawa baper.

Btw, juga.... Salken ya hu
 
CHAPTER 2
Sebuah Maha Karya


Semua sejak awal tampak biasa-biasa saja. Aku yang keseharian mempunyai kesibukan bekerja, mengelola bisnis turunan, kemudian setelah pulang rumah, tentulah tak lupa mendapatkan pelayanan terbaik dari istri.

Bukan hanya itu, setiap weekend tiba, tentu ku sempatkan waktuku buat mengajak istri kemana saja yang ia inginkan. Berbelanja kebutuhannya, baik kebutuhan pribadi maupun kebutuhan jualannya, atau hanya untuk sekedar makan di luar di saat istri pun, sedang tak berselera untuk memasak di rumah. Tak jarang, kami liburan ke tempat yang jaraknya cukup jauhan dari ibu kota. Semua itu demi menjaga keutuhan keluargaku, menjaga agar aku dan istri masih tetap terjaga keharmonisannya, tetap sakinah, mawahdah dan warohmah.

Memang betul, semua sedari awal tampak biasa-biasa saja. Jika kalian masih tak yakin dan percaya dengan apa yang kukatakan itu, maka, mari kita sedikit memutar kejadian kali pertama aku pulang ke rumah, pun di hari yang bersamaan – penghuni pertama kos-kosan di rumah, tiba.

...

...

...

Aku masih mengingat jelas kejadian hari itu, hari dimana aku pulang kerumah, waktu ingin ku parkirkan mobilku di garasi. Salah satu koleksiku yang memang memiliki hobby mengoleksi mobil. Bukan mobil yang mahal-mahal banget, sih, karena memang belum berkemampuan mengoleksi mobil yang premium – aku langsung mengernyit dengan mobil yang parkir di depan rumah. Honda CRV turbo. Keluaran terbaru, malah baru banget kalo aku lihat modelnya yang sekarang.

Mobil berjenis SUV. Sebetulnya mobil yang ku kendarai juga berjenis SUV, Toyota Fortuner meski keluaran tahun lawas, tahun 2014 yang masih belum berganti bentuk, tapi masih nyaman ku gunakan – tapi, mobil yang ku lihat saat ini, tentu harganya tak sebanding dengan harga mobilku. Kalo ku taksir harganya kalo beli baru, setengah milyaran lebih, tolong koreksi jika aku salah menebak. Sedangkan harga mobilku saja yang termahal hanyalah tak sampai 300juta, karena memang, Toyota Fortuner putih yang ku gunakan sekarang ini, hanyalah barang second yang ku beli.

Penasaran jadinya, apakah mobil itu milik si penghuni pertama kosan dirumahku ini? Dan jawabannya langsung ku dapatkan, di saat aku mengucap salam di awal masuk ke dalam rumah.

“Assalamualaikum wr wb....” begitu ujarku saat masuk ke dalam rumah. Ku lihat, istri sedang duduk di ruang tamu, di temani sesosok gadis hmm, gadis muda dengan penampilan amat sangat abegeh sekali, yang juga duduk di sofa di hadapan Andini.

“Wa’alaikumsalam, ayah.” Itu Andini. Wanita cantik bak bidadari itu, yang masih berkerudung meski hanya sekedarnya saja, segera beranjak sejenak dari duduknya, untuk sekedar menyambutku, meraih tanganku, menempelkan dahinya pada punggung tangan ini.

“Wa’alaikumsalam, Pak” itu, gadis yang ku maksud. Nyaris bersamaan dengan Andini membalas salamku itu.

Aku sempatkan untuk menoleh padanya, di saat tanganku telah lepas dari kening Andini. Gadis mungil itu, tersenyum. Hmm lucu sih. Tapi tentu jika di bandingkan dengan senyum Andini, semesta pun tahu kok, siapa yang menjadi pemenangnya.



Tapi senyum gadis itu....

Ah sudahlah....




Aku menatap ke wajah cantik Andini untuk sekedar bertanya, siapa gadis itu, hanya dengan menggunakan tatapan ini. Hanya sekedar buat memastikan saja, meski tadi, sebelumnya saat di telfon, Andini sudah menyampaikan.

“Ah iya yah. Ini Tiara, dia yang tadi bunda ceritain” ujar istriku. “Tia, kenalan dulu sama ayah. Hehe, suami kak Dini”

“Iya kak Din.” Gadis itu pun ikutan beranjak, ku sempatkan mengulurkan tangan ini untuknya, dan ia meraihnya. Tak sampai di salim juga sih, kan baru berkenalan. Lagian dia juga hanya orang lain.

“Tiara, Pak...” gadis itu yang memulai menyebutkan namanya, di iringi senyum pada wajahnya yang.... yang apa yah. Jujur, gadis ini cantik. Mata yang menyipit itu, karena tengah tersenyum, memiliki bulu mata yang lentik. Tapi kecantikannya itu berbeda dengan Andini istriku. Cantiknya Andini bener-bener anugerah dari sang khaliq.

Tapi kecantikan gadis ini....

Ah, entahlah. Aku sulit buat mengungkapkannya dengan sebuah narasi pada kalian.

Oke forget it. Toh, aku tak mungkin berlama-lama untuk menjamah tanpa bersentuhan, wajah gadis ini, bukan? Hanya untuk sekedar menggambarkan secara rinci pada kalian apa yang sepasang mata ini capture saat ini.

“Rudi.” Begitu balasku, menyebutkan namaku juga tentunya.

“Suaranya....” gadis itu bergumam. Ada yang salah dengan suaraku?

Aku mengernyit. Dia semakin menunjukkan senyum lucunya di hadapanku.

Di saat berjabat tangan ini, perhatianku pun tanpa sengaja tertuju pada leher gadis itu, lebih tepatnya ke arah kalung yang ia kenakan di leher. Dan dari situlah langsung dengan mudah buat ku tebak, jika Tiara ini beragama Kristen. Karena mainan kalungnya berlambang salib.

Sore ini, penampilan Tiara seperti penampilan para gadis-gadis modis yang banyak kalian temukan baik itu di Mall maupun di foto-foto selebgram gitu. Tak ada yang special juga. Satu kesimpulan yang ku ambil, gadis lucu ini cukup memiliki selera yang tinggi.

Karena semua yang menempel pada tubuhnya, sepertinya semuanya barang branded. Apalagi ponsel yang ia letakkan di atas meja, dengan mudahnya ku tebak jika itu ponsel Iphone keluaran terbaru banget, karena hanya iphone keluaran terbarulah yang tak lagi memiliki layar berponi, serta mempunyai Always On Display.

Oh iya, Andini istriku, masih namplok bersandar manja di tubuhku. Dan itu semua, menjadi perhatian Tiara yang tetap mempertahankan senyuman di wajahnya.

Awalnya....

Semua biasa-biasa saja, bukan?

Kami saling melepaskan tangan. Karena tak mungkin, ku genggam tangan gadis ini berlama-lama.

“Tinggi banget....” gadis itu bergumam lagi, karena merasa keceplosan, dia menutup mulutnya dengan telapak tangan kanan. Centil yah? Tapi aku merasa itu hal wajar di umurnya yang sepertinya masih muda banget.

“Banget Tia. Hehe, Suamiku emang tinggi banget....” Andini menimpali. “Untungnya aku gak pendek-pendek banget. Jadi gak aneh keliatannya pas lagi jalan berduaan. Hihi”

Gadis itu menanggapi dengan gerakan kecil pada matanya. Sama sekali bukan kerlingan yang menggoda, tapi menurutku itu hanya spontan terjadi, dan mungkin memang seperti itulah dia. Memang sih, saat tadi aku berdiri bersalaman dengan gadis itu, jika ku tebak, tingginya tak lebih 155. Bahkan mungkin di bawahnya. Sedangkan Andini memiliki tinggi 160. Aku sendiri, yahh, 180. Pantas gadis itu nyeletuk, mengatakan aku tinggi.

Hingga setelah aku dan gadis itu selesai bersalaman, di saat ia ingin duduk kembali, rok yang ia kenakan yang memang lumayan pendek, agak tertarik ke atas di saat proses menjatuhkan tubuhnya pada sofa. Hanya sedikit saja, sepasang pahanya yang putih, mulus bak bengkoang sempat menjadi santapan sepasang mata ini. Tapi itu hanya sekilas, dan tak menimbulkan efek apa-apa terhadapku.

“Ehem...” segera ku alihkan pandangan ini, “berarti mobil di depan itu, mobil kamu ya Tiara?” aku langsung mengingat mobil yang ku lihat tadi.

“Iya Pak. Hehe” begitu balasnya.

“Oh baiklah, jika memang itu mobil kamu. Nanti salah satu mobil saya di garasi akan saya parkir di luar, biar mobil kamu bisa markir di dalam, kasian mobil semahal itu hanya markirnya di luar, akan kena panas dan hujan terus-terusan”

“Nah itu juga yang bunda pikirin tadi yah” timpal Andini.

“Sudah memindahkan semua barang-barang kamu? Sudah cek kamarnya juga?”

“Sudah dong pak. Dan Tia suka banget ama kamarnya pak. Apalagi sama suasana di rumah ini” balas Tiara.

“Syukurlah. Semoga kamu betah ya. Lagian saya juga jarang di rumah, kecuali malam. Jadi hitung-hitung, biar Andini ada teman selama di rumah” Gadis itu mengangguk. Senyuman pada wajahnya, yang lucu dan menggemaskan masih saja ia tampakkan padaku.

“Ya sudah kalo begitu, boleh kami tinggal bentar Tiara? Mau menjalankan sholat magrib berjamaah dulu” ujarku lagi, mengingat baru saja ku dengar adzan berkumandang di masjid dekat rumah.

“Iya Pak. Tiara juga mau lanjut beres-beres di kamar”

“Sudah pilih mau kamar yang mana kan?”

“Sudah ayah. Tia sukanya kamar yang di sudut itu. Hehe” Andini yang menjawab.

“Ya udah, silahkan lanjut ya Tiara.” Pungkasku secepatnya, karena tanpa ku sadari, mata ini masih sesekali menatap ke arah paha gadis itu. Untung saja, sang empunya tidak menyadari sama sekali.

Ah, sepertinya, aku akan mencoba berbicara baik-baik dengannya nanti saat situasi memungkinkan, untuk tidak mengenakan pakaian pendek seperti itu saat aku berada di rumah.

Karena tak ada lagi yang ingin di bahas, akhirnya ku ajak Andini untuk ikut bersamaku ke kamar. Andini tentu saja mengikuti, karena jika bukan aku yang mengingatkan jika waktu sudah memasuki waktu magrib, maka dia yang akan mengingatkan. Hanya saja aku lebih cepat tadi buat mengingatkan.

Well! Sudah sesuai yang ku ceritakan bukan? Jika semuanya tampak biasa-biasa saja.



===========================



Begitulah yang terjadi. Hari berganti minggu, minggu pun berganti bulan. Tiara ternyata bener-bener gadis yang periang. Sudah jarang bertemu, apalagi berinteraksi. Makanya, memang tak ada sesuatu yang special yang terjadi.

Aku dan Tiara selama sebulan ini, sangat jarang bertemu. Setiap pagi, kami berdua seperti sedang berlomba-lomba siapa yang lebih cepat keluar dari rumah. Kadang aku yang lebih dulu meninggalkan rumah buat beraktivitas, kadang Tiara yang lebih dulu pergi buat ngampus.

Hari sabtu, Tiara selalu berpamitan untuk pulang ke rumahnya di Bandung dengan mengendarai mobilnya sendiri. Dan akan kembali senin sorenya ke rumah, karena biasanya, menurut cerita dari istri, dari Bandung Tiara langsung ngampus.

Tiara berkuliah di kampus yang sama denganku dulu, meski aku tak sampai menyelesaikannya. Bedanya di fakultasnya saja. Aku dulunya di fakultas teknik, sedangkan Tiara mengambil kedokteran yang menurut cerita dari istri, pun adalah minat gadis itu sejak kecil. Yang telah menjadi cita-citanya juga. Jadi hal wajar, jika istriku menyukai Tiara, karena memang seorang mahasiswi kedokteran tentulah harus smart, bukan?

Tiara berasal dari keluarga yang kaya raya. Itu sudah jelas. Meski tak ku telusuri lebih jauh lagi, ketika istri bercerita tentangnya, sebagai bumbu pengantar tidur kami di malam hari, tapi aku juga sudah bisa menebak sejak awal kami bertemu.

Well! Aku tak perlu lagi menjelaskan panjang lebar tentang siapa gadis itu, aku rasa teman-teman bisa memahami, apabila aku menceritakan tentangnya secara detail, itu artinya, saya dengan sengaja mencari tahunya. Yang entah apa tujuannya.

So...

Sudah sesuaikan, beneran sedari awal semua masih tampak biasa-biasa saja? Of Course, karena selama sebulan ini memang aku jarang di pertemukan secara langsung dengan gadis itu.

...

...

...

Hinga sabtu berikutnya, di kala aku pun memutuskan untuk tidak ke toko di pagi harinya, karena tengah ingin bersantai di rumah sejenak – Pun, di sisi samping rumah, ku buat sebuah ruangan Gym kecil untuk tempatku berolahraga. Maklum, jangan menunggu sampai umur lanjut, sedari dini berolahragalah agar tubuh tetap segar, dan salah satu juga bertujuan untuk memperpanjang umur kita. Meski, memang takdir hanya sang khaliq yang tahu. Serta salah satu tujuan agar aku tetap bugar, agar aku tetap bisa memberikan nafkah sebagai suami buat istri di ranjang – selesai bergym ria di pagi hari, dalam kondisi baju yang sudah basah oleh keringat, ku raih handuk kecil yang memang ku letakkan tak jauh dari pintu, kemudian berjalan keluar dengan handuk yang menyeka di lengan, serta beberapa bagian tubuhku yang basah banget.

Di dapur sana, aku mendengar suara samar. Biasanya tak ada suara obrolan, karena memang hanya Andini yang sibuk sendiri di sana, menyiapkan makanan kesukaanku. Tapi tidak untuk sabtu sekarang.

Rupanya Andini tak sendiri, Tiara menemaninya.

Aku berjalan ke arah dapur sembari dalam benak agak bertanya-tanya, karena tumben, tidak seperti biasanya anak itu tidak pulang ke Bandung.

Begitu tiba di depan pintu berbahan kaca, kedua perempuan yang berbeda umur 9 tahunan itu, tak menyadari kehadiranku. Aku hanya berdiri menatap kesibukan mereka di sana. Andini tentu sibuk berhadapan dengan kompor, sedangkan Tiara sibuk membantu Andini untuk menyiapkan beberapa sayurmayur maupun bawang-bawangan. Aku tak begitu jelas melihat aktivitasnya, karena gadis itu berdiri membelakangi pintu masuk ke dapur. Membelakangiku tentunya.

Rupanya, bukan Andini yang menyadari kehadiranku.

Justru, Tiara-lah, yang menyadarinya....

Gadis itu menoleh....

Dia senyum.

“Kak....” dia memanggil Andini, “Pak Rudi tuh” begitu gumam Tiara melanjutkan.

Andini akhirnya ikutan menoleh ke arahku. Dia tak mengenakan hijab, karena memang tak ada pria lain di sini. “Ayah.... mandi dulu gih, keringatnya banyak banget tuh.”

Tiara menimpali dengan anggukan. Spontan, tangannya kanannya bergerak buat menutup hidung mungilnya itu. Aku hanya merespon dengan gelengan kepala.

Aku tak mengindahkan keinginan istri, hanya untuk sekedar mendapatkan jawaban atas pertanyaan dalam benak ini. Maka, ku tanyakan segera ke mereka, lebih tepatnya ke gadis itu. “Kenapa gak pulang, Ra? Ini kan hari sabtu?” dan untuk kali pertamanya, aku memanggil namanya dengan singkat. Cukup Ra saja. Yang rupanya, mendapatkan respon yang hmm, cukup menggemaskan juga sih.

“Eh Ra?” itu Tiara. Dia sampai menggidik bahu mungilnya, sembari matanya menyipit, menatap ke arahku.

Aku membalas menatapnya.

“Dia lagi malas pulang, ayah. Lagi pengen di kosan aja katanya sampai besok”

“Ohhh....” Aku menangkap secuil saja, perubahan ekspresi dari Tiara di saat aku hanya memberinya respon dengan kata ‘Ohh’, barusan. Bibirnya yang berwarna merah muda itu, sedikit mengerut lucu. Emangnya, gadis itu mengharapkan komentar apa dariku?

Tak ingin berlama-lama menatapnya, ku alihkan ke arah lain pandangan ini. Ke Andini yang masih membelakangiku, yang masih sibuk dengan kompor dan masakannya.

“Masak apa bun hari ini?” begitu tanyaku. Andini hanya sekedar menoleh.

“Ini... Tiara pengen di masakin capcay goreng seafood, katanya, pasti ayah juga suka....” hmm, dulu.... iya, hanya dulu kala aku menyukai makanan tersebut, karena almarhumah ibu dulunya paling suka memasak masakan capcay buatku. Tapi setelah beliau meninggal, dan setelah aku menikahi Andini, aku juga tak banyak menuntut padanya mau masak apa. Selama itu enak, maka aku pasti akan memakannya.

Andini juga sangat mahir memasak. Jadi, tak elok bagiku untuk memaksakan kehendak, aku mau makan apa. Hanya sesekali saja, ketika ingin, maka aku pun mencoba berbicara dengannya, lebih ke sharing, bukan sebuah perintah padanya buat memasakkan.

“Tapi bunda udah bilang ke Tia, kalo ayah jarang makan capcay”

Mendengar itu, aku tanpa sengaja kembali menoleh ke gadis itu. Dia kini, posisinya tak lagi membelakangiku. Karena dia tengah mengatur beberapa bahan masakan di meja kecil sana.

Dan tanpa sengaja lagi....

Kami berdua saling bersitatap.

Tatapannya yang lucu mendelik itu, seakan sejenak, menyihirku. Tubuhku agak membeku hanya sesaat saja.

“Auwww.... duhh.....”

Apa itu?

Tiara tiba-tiba meringis. Jenak berikutnya, aku menyadari jika tangannya baru saja teriris oleh pisau kecil yang ia gunakan buat memotong-motong bawang. Tanpa sadar, aku melangkah masuk untuk melihat kejadian yang sebenarnya.

“Loh, kamu kenapa Tia?” Andini menghentikan aktivitasnya, untuk sekedar ikutan melihat apa yang terjadi.

“Gak apa-apa kak, Cuma keiris doang” begitu ujar gadis itu.

Sedangkan aku?

Sekali lagi tanpa sadar, keluar dari ruangan dan segera mengambil kotak P3K yang ku letakkan di dalam lemari dekat ruangan keluarga. Semua kulakukan amat sangat cepat, bahkan aku sampai benar-benar belum menyadari kenapa aku bisa bertindak secepat ini. Setelah mendapatkan apa yang ku cari, aku sampai berlari kembali menuju ke dapur sana.

Setibanya di dapur, Andini yang masih berdiri, dan ingin menyeka dengan kain, membantu agar darah di jari manis Tiara - yang tengah duduk di kursi, agar berhenti keluar, aku bersuara. Anehnya suarahku cukup tegas.

“Jangan pake kain....”

Dengan sigap, aku mendekat.

“Iikh....” Tiara bahkan sampai terpekik atas tindakan tiba-tibaku barusan. Sedangkan Andini, entahlah. Apa yang ia pikirkan, karena aku tak lagi fokus padanya.

Dengan telaten segera ku tangani luka iris di jari Tiara. Sekali lagi, apa yang ku lakukan ini benar-benar belum ku sadari sepenuhnya.

Hingga di saat aku selesai meneteskan obat merah, kemudian menutupnya dengan plester, saat itulah, jantungku tiba-tiba bergerumuh, karena posisiku yang berdiri sambil sedikit membungkuk, tanpa sengaja melihat ke bagian lehernya. Dua atau tiga detik lamanya, aku tanpa sengaja melihat dari sela-sela t-shirtnya yang longgar, sepasang maha karya yang penuh keindahan dari sang khaliq - yang masih terbungkus bra merah muda dengan baik di dalam sana, begitu memukau.

Astagfirullah.... aku bahkan sampai beristigfar dalam hati, dan segera memalingkan wajah ini ke arah lain, serta menegakkan tubuhku kembali.



Tapi....



Ah sial....

Tiara, kenapa engkau malah menengadahkan wajahmu ke atas, dek? Menatap ke dalam mataku yang masih berusaha ku alihkan ini.




Bersambung Chapter 3
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd