Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TIARA... (No Sara)

CHAPTER 8 - A


Sejujurnya ingin ku skip saja kejadian malam ini, yang begitu panjang ku ceritakan pada kalian. Karena semua yang terjadi, sungguh amat sangat menyiksa. Namun nyatanya, aku tak mampu. Karena kejadian malam inilah menjadi pencetus atas segala yang terjadi setelahnya.

Well! Mari kita lanjutkan kejadian – masih bersama gadis ini, masih di hari yang sama....

Sekarang...

Tanyakan padaku, kawan, apa yang terjadi setelah Tiara memelukku sembari meluapkan rasa sedihnya yang entah karena apa? Maka kan ku jawab, tak ada hal aneh yang terjadi.

Karena yang hanya ku lakukan, sekedar mengusap di kepala, pun menandakan bahwa aku cukup peduli padanya. Meski, yah, tak perlu di tanyakan lagi bagaimana perasaanku saat ini, bagaimana kerja jantung dan paru-paruku mendapatkan pelukan erat seperti ini. Serta, bagaimana lembutnya dua buah dada yang menempel itu di antara dada dan perutku, karena sang empunya saat ini, berdiri memeluk dengan posisi kepala hanya sebatas di leherku saja. Karena memang gadis kecil ini tidak begitu tinggi, sepertinya sempat ku jelaskan pada kalian di chapter-chapter awal mengenai berapa tinggi gadis ini. Koreksi jika aku salah.

Jangan kawan.

Bahkan aku sulit buat menormalkan tarikan nafasku saat ini. Belum lagi udara dingin yang menyelimuti kami, meski hujan pun mulai mereda, tapi tetap saja, kehangatan saat tubuhku menempel dengan tubuh gadis ini masih belum mampu menghilangkan udara dingin yang menerpa. Selain ada kegugupan, ada kekhawatiran dalam sana jika aku nekad berbuat lebih.

Aku sejauh ini tak ingin terlalu percaya diri, jika sedihnya di sebabkan olehku. Masa iya, hanya karena sebuah lagu yang ku nyanyikan membuat gadis ini sebegitu sedihnya, hingga nekad untuk berdiam diri di sini di temani guyuran hujan yang begitu deras? Timbul pertanyaan baru, apakah ia benar-benar sebodoh itu, tidak menghindar diri saat hujan menerjang ibu kota? Dan ini, mengapa ia masih berada di sini sejak tadi? Padahal jika ku hitung, ada kali 2 jam-an lebih dari ku turunkan ia tak jauh dari tempat ini. Lebih tepatnya di halte sana.

“Pak ayaaahhh....” gadis itu bergumam. Sepertinya ia baru menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Berada dalam pelukanku, di bawah rintik hujan, menambah syahdunya suasana.

Ku kendurkan pelukanku, kemudian menarik sedikit diri ini ke belakang buat sekedar melihat ke wajahnya. Anehnya, gadis ini malah seakan enggan untuk menjauhkan kedua lengannya yang melingkar. Masih erat kedua lengannya melingkar di tubuh ini.

“Kamu kenapa hujan-hujanan di sini?” tanyaku pelan, masih mencoba mencari tahu jawaban sejujurnya dari sepasang mata itu.

Dia menggeleng.

“Apa kamu sedang ada masalah?”

Sekali lagi dia menggeleng.

“Lalu?”

Wajah imutnya itu, yang super menggemaskan, secara tiba-tiba membentuk sebuah senyuman. “Tiara Cuma.... Cuma... hummm, Tiara baper tadi ama lagu yang pak ayah nyanyiin.”

“He?” segitunya kah? Atau justru ada hal lain, yang sejujurnya gadis itu masih belum ingin mengungkapkan padaku?

Dia mengangguk, buat memberikan kebenaran pasti. Meski aku masih belum yakin dengan pasti, alasan tersebut.

“Bodoh.”

“Memang Tiara bodoh...” balasnya, masih menunjukkan senyumnya padaku.

“Sudah. Kalo memang kamu masih belum bisa mengatakan pada saya apa yang sebenarnya terjadi, setidaknya, mari kita pulang sekarang. Karena tak baik, jika kita berlama-lama di sini, selain nanti apa yang di katakan orang lain, kamu juga, nanti takutnya malah sakit karena bajumu basah semua kayak gini”

“Ta... tapi Tiara ma... malas pulang ke kosan, pak ayah”

Ahhh....

Andai aku punya kemampuan untuk mengeluarkan kalimat, jika begitu, maka ikutlah bersamaku ke sebuah hotel. Kan ku berikan segalanya untukmu Tiara. Tapi menurutku, bukankah itu terlalu berlebihan? Maka, hal itu hanya ku pendam saja dalam hati.

Yang justru ku ucapkan padanya, hanyalah, “Hmm. Andini mengkhawatirkanmu.”

Secuil saja, dari ekspresinya tampak berubah. Entah apa makna dari perubahannya itu, lalu setelahnya, ia kembali menatapku. Sedikit ia tarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman tipis.

“Andini tidak mengetahui jika saya sengaja mencarimu” barulah, setelah aku mengatakan itu, senyumnya kembali seperti semula. Real senyum yang begitu ingin ku lihat lagi malam ini. Eh iya, senyum itu.... senyum yang menunjukkan betapa ia sebegitu leganya setelah aku mengatakan kalimat tersebut.

Ah tidak.... tidak.

Ini tidak benar. Aku tak mungkin memancingnya ke arah yang negatif. Dan aku harus segera memungkasi acara pelukan ini, karena perlahan, amat sangat perlahan, di bawah sana tiba-tiba terkena efek dari penyatuan tubuh kami yang tengah basah ini.

Aku harus, dan sesegera mungkin memungkasi tubuh kami yang menempel. Maka aku pun dengan lembut melepaskan diri dari gadis ini. Meski sedikit saja, bibir mungil bermerah jambu yang sedikit agak membiru faktor dingin, mengerut lucu, tapi aku tak menghiraukannya. Aku takut, malah aku yang lebih dulu bertindak karena kekhilafan.

“Bajunya Tiara basah banget pak ayah.... Tia gak enak kalo masuk ke mobilnya pak ayah dalam kondisi basahan gini.”

Aku tersenyum.

Spontan malah menyentuh kepalanya yang membasah itu. Ku usap lembut, sembari berucap, “Sudah. Yuk... gak mungkin kan kamu saya tinggal lagi disini”

“Tiara yang udah gak mau. Hehehehe,” duh, ketawanya itu loh.

“Terus kenapa justru kamu malah kayak orang bodoh berdiam diri disini, mana ponsel kamu? Kenapa kamu tidak menelfon Andini atau memesan ojek online?”

Dia mengambil ponselnya dari dalam tas yang sepertinya tas branded yang memang anti air. “Udah lowbat sejak tadi, pak ayah” oalah, pantesan.

“Ckckckck. Terus kamu menunggu apa sampai jam segini, sendirian di sini?”

Dia menggidik bahunya. “Mungkin sebuah keajaiban....”

Aku sesaat terdiam, membeku. Cuma hanya sesaat saja, setelahnya, aku berusaha untuk tetap tenang, meski sulit. “Ya udah ah, malah kebanyakan ngobrol. Ayo.... kita pulang sekarang.”

Dia mengangguk.

Setelah itu, aku pun lebih dulu melangkah dan ku sadari gadis itu pada akhirnya mengikuti langkahku dari belakang. Aku sama sekali tak ingin berpaling saat ini, takut justru akan mengurungkan niat buat mengantarnya kembali ke rumah, ke kosan tempat ia tinggal selama di sini.



BERSAMBUNG CHAPTER 8 - B
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd