Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Trix!

Bimabet
kena tipu dari awal sama twist, apalagi "udah banyak clue kalo jo bukan lakik." makin sakit hati dah

tapi salut, cakep banget ceritanya. kagak sabar nunggu 2 last chapternya
iya, kak... banyak ada petunjuknya dari awal sampai akhir kalau Jo itu cewe
 
Nyelem aja om di kedalaman SF cerbung ini... banyak kok, dan sudah TAMAT.
soalnya aku udah nggak punya pasukan penyundul, kak...
temen-temen aku udah pada pensiun,
biar cerbung tetep muncul harus di sundul biar di page one terus
 
bakalan ada 14 part yang diunggah, harap sabar jangan keburu komen, yaaaa... habis lihat tulisan THE END baru dikomen, takutnya halamannya nggak cukup hehehehe
 
Disclaimer

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Segala kesamaan nama, tempat dan kejadian hanyalah kebetulan semata. Penulis tidak bertanggungjawab terhadap perbedaan penafsiran mengenai cerita ini.




Part 74
Placebo (Part 1)
By: Trickst∆r



Kamar mandi itu berlantai granit dengan dua bidang dinding tembus pandang. Satu menghadap ruang tengah. Satu menghadap ke arah lanskap kota yang terbentang dari ketinggian. saya bisa melihat langit yang beranjak jingga dari kejauhan. Juga uap-uap panas yang mengembun pada permukaan kaca tempered.

Ada rumpun-rumpun tanaman sintetis dalam ruang. Ada batu-batu kecil yang bertebaran di lantai sebagai ornamen bersama lukisan sensual bergaya Bali. Bath tub berukuran besar tertanam pada lantai beton dan sudah terisi sepenuhnya. Tubuh mungilmu terbenam dalam pangkuannya. Saya sudah puas digumuli. Jadi kali ini saya biarkan kamu yang menikmati otot-ototnya yang liat. Karena saya tahu, kamu juga ingin diciuminya. Kali ini, penuh kasih...

Tangannya melingkar di atas perutmu, dan kamu merasakan rambut-rambut dadanya menempel di punggungmu yang telanjang. Bibirnya terbenam di atas pundakmu dan mendaratkan kecupan-kecupan erotis yang membuatmu menggelinjang kecil dan menimbulkan riak-riak keruh di permukaan air hangat yang merendam tubuh kita.

Ada keintiman yang terpancar dari caranya memeluk tubuhmu. Saya tak tahu apa. Yang pasti bukan cinta. Karena orang-orang sepertinya ─seperti kita─ hanya bisa mencintai diri sendiri. Mungkin afeksi. Mirip seperti cara Babe Piscok memperhatikanmu selama ini.

Kamu mendesah pelan. Membiarkan orang itu bermain-bermain dengan buah dada mungil dan belahan lembut yang meremang di bawah sana. Kamu mengerang manja, balik menggoda dengan menggesekkan bongkahan pantat ke atas kejantanannya yang mulai mengeras. Nakalnya.

Ia tersenyum, lalu mengecupmu pada pipi. Digamitnya tanganmu mesra lalu diciuminya ujung jarimu. Lalu kalian pun berciuman. ─kurang baik apa saya? saya biarkan kamu yang menikmati ciuman itu. Karena saya lebih menyukai A-J yang kasar ketimbang Piscok yang lembut.

─mungkin suatu saat kita harus merencanakan kencan ganda berempat.

"Dan ending apa yang kamu rencanakan, sayang?" bisikmu ketika ciuman yang bergairah itu terlepas dan menyisakan seutas benang saliva tipis.

"Lihatlah sendiri" Ia menggamit tanganmu. Tangannya kembali melingkar di pinggang dan membimbingmu keluar dari dalam bath tub. Dikeringkannya bulir-bulir air dengan selembar handuk kering sambil sesekali dikecupnya keningmu. Lembut. Kamu bahkan tak merasa sebagai sandera. Diperlakukannya dirimu bagai seorang puteri.

Ada sebuah gaun berwarna merah darah dari bahan satin yang tergeletak di atas ranjang. Satu kotak alat rias. Beserta beberapa pasang sepatu dan perhiasan. Ia berjalan ke belakangmu, dan mengalungkan sebuah kalung emas bertahtakan ruby di atas dadamu yang telanjang.

Jantungmu berdegup tanpa bisa menyembunyikan rona-rona merah muda yang bermunculan pada kedua pipi.

"Kamu mau apa?" bisikmu, nyaris tak bersuara.

"Malam ini, darling," dikecupnya pundakmu. "Kamu harus terlihat cantik."

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​

Wajahmu sedikit merona mendapati pantulan tubuhmu sendiri dalam balutan gaun selutut. Rambutmu digelung ke atas dan menampakkan tengkukmu yang putih. Kalung indah di leher, sepasang anting berbentuk giwang yang manis. Wajahmu dipulas bedak tipis dan perona pipi, dan matamu yang indah dipertegas dengan celak dan pensil alis. Gincu berwarna senada dan sepasang lensa kontak yang menggantikan kacamata menyembunyikan kenyataan bahwa pernah ada seorang kutu buku di balik fasad yang menipu.

Kamu terlihat dewasa kali ini. Orang itu sendiri yang meriasmu, karena saya tahu kamu tidak pandai mempercantik diri. Saya tidak tahu mana yang lebih lucu ketika melihatnya berubah menjadi lelaki setengah banci ataukah kamu yang tidak menyadari tubuhmu berubah kaku ketika dia memulas bibirmu dengan gincu....

Dan saya tidak percaya kamu menatapnya dengan tatapan itu, ─tatapan orang yang sedang jatuh cinta.

'Diam!' hardikmu dengan wajah tersipu.

Jangan kau tertipu. Karena apapun yang dia rencanakan pasti melibatkan kita sebagai salah satu kartunya. Saya hanya berharap kita bukan selembar kartu Jack yang bisa dihabiskan dalam satu kali taruhan.

Maafkan. Tapi saya belum bisa percaya kepada orang itu. Saya adalah dorongan dasar dari dalam alam bawah sadarmu yang hanya punya satu tujuan: bertahan hidup. Dan saya tetap berpegang pada misi yang kamu berikan, melarikan diri dari tempat ini.

Orang ini tampan, saya akui. Dia juga sinting, ─saya menyukai personanya sebagai A-J yang psikopat. Dan yang paling penting orang ini bisa menggantikan sosok ayah yang tidak pernah kau miliki. Berbeda dengan Jo yang dingin dan acuh tak acuh, orang itu selalu meladeni sampah hatimu dalam chat-chat tak penting itu tiap malam. Ketimbang si cantik, saya lebih mendukung kalian berdua. Lagipula dia bisa diajak berkembang biak.

Tapi, Starla Sayang, prioritas saya kali ini adalah menyelamatkanmu, menyelamatkan nyawa kita berdua. Saya tentu tidak akan cerewet seperti ini jika kita tidak berada dalam bahaya. Jangan hanya karena disetubuhi dan sedikit drama stockholm syndrome membuatmu lupa bahwa kita sedang diculik.

Jadi tolonglah. Karena kita berbagi kepala, saya tidak ingin berbagi fantasi roman penculikan yang biasa kau baca. Bagus. Fokus. Karena satu-satunya alasan yang saya pikirkan kenapa dia sampai repot-repot mendandanimu seperti ini adalah dia berencana menggorokmu pelan-pelan di depan kamera dan rekaman video tubuhmu yang dimutilasi diposting di deepweb atau dikirimkan kepada ayahmu.

Orang itu berada di ujung ruang yang satunya, memakai krim pelembab dan mematut-matut diri di depan cermin sambil mengagumi wajahnya sendiri. Kalau mau, kamu bisa menghantamkan lampu duduk besar di dekatnya, atau kamu bisa menusuknya dengan pisau dapur dan menggorok tepat pada pembuluh karotis, tapi saya kira kamu tidak akan tega, lagipula orang itu bertubuh kekar layaknya anggota pasukan khusus seperti kakakmu. Saya tidak akan mengambil resiko berakhir sebagai potongan-potongan daging segar yang disimpan dalam lemari pendingin.

Lalu saya pun memikirkan opsi kedua.

Ponselmu berada di dalam ransel yang kau letakkan di ruang tamu. Kamu matikan sejak dua hari yang lalu ketika kamu bertengkar hebat dengan si cantik. Sekarang barulah kamu merasa menyesal, bukan? Kalau saja ponsel itu aktif, kakakmu, kasat Intel Detasemen Sandiyuda pasti bisa dengan mudah melacak sinyalnya.

Matamu lalu bergerak ke sekeliling. Komputer jinjingmu masih di posisinya ketika kamu tinggalkan semalam, tertutup dan terhubung dengan pengisi daya di atas meja makan. Semalam saya sengaja menggunakannya untuk meninggalkan pesan tersembunyi di postingan Gathering Nasional untuk berjaga-jaga. Kamu tahu moderator bisa melacak alamat IP, bukan? Dan kamu punya teman-teman si Kanjeng Distro dan Redho si moderator yang bisa melihat lokasi log in terakhir.

Jo. Sekarang nyawamu berada pada selapis kulit tipis orang yang kau harapkan mati. Ironis. Kalian pernah saling mencintai, tapi juga saling mengkhianati. Jangan pernah kau menyesali. Lagipula seharusnya kamu sudah tahu, sejak awal kalian tidak akan bisa jadi satu....

Tiba-tiba kamu terdiam. Suara langkahnya yang mendekat memupusmu dari melankoli. Lelaki maskulin itu tersenyum hangat sambil melingkarkan tangannya pada perutmu. Bisikannya terdengar menyusul bersama pelukannya yang posesif.

"The time has come...."

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​

Awan hitam dan garis-garis cahaya kilat keunguan bergerak di kejauhan ketika lift dalam dinding transparan itu bergerak menuju lantai dasar. Hujan belum juga selesai, dan tetes-tetes air terlihat saling kejar-mengejar di atas permukaan kaca tebal yang berembun.

Pantulannya terlihat dalam balutan jins dan kemeja lengan panjang ketat yang digulung dan dibuka dua kancing atasnya, terpantul di sampingmu yang mengenakan dress indah selutut.

Ponselnya bergetar untuk kesekian kalinya sore ini. Kamu tak tahu dari siapa. Tapi melihat bahwa ia sedikit terburu-buru memindahkan lokasi persembunyian, kamu tahu ada slip dalam rencananya. Perannya sebagai 'Sang Mastermind' tak mengizinkan terjadinya satu galat sekalipun. Ia memang berusaha bersembunyi di balik kata-katanya yang penuh Enigma, tapi kali ini, Sang Penjudi mulai kehabisan kartu bagus di tangannya.

Terdengar suara berdenting ketika di lift tiba lantai satu. Beberapa orang tegap dengan setelan hitam-hitam bergerak menyambut, mengawal kalian ke dalam mobil Rover hitam metalik yang berhenti di depan lobby.

Kamu hanya membiarkan lenganmu digamit memasuki mobil yang segera melaju membelah kabut tirai hujan yang meliputi jalan kota.

"Sorry, kalau membuat kamu tidak nyaman. But i have to do this," bisiknya mesra sambil mengecup bibirmu. Tangan kekarnya melingkar di pundak dan menutupkan syal hitam di kedua matamu.

Kamu tersenyum kecil untuk menyembunyikan rasa takut, dan membiarkan saja bibirmu dipagut.

"Kita mau ke mana?" kamu berkata, sebisa mungkin mengulur waktu.

"Untuk menutup sebuah cerita, darling.... kamu harus tahu bagaimana cara membereskan loose end...." bisiknya di telingamu.

─nada suaranya seakan ikut membekukan udara.

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​

Saya tidak tahu yang mana lebih membutakan, syal hitam yang melingkar di matamu, ataukah cinta. Seharusnya kamu merasa terancam, tapi saya tidak mengerti kenapa kamu membiarkan saja pundakmu dirangkul dan kepalamu dibelai mesra, bahkan kau tak menolak ketika bibirmu dipagut lembut di sepanjang perjalanan.

Satu jam saya kira. Kamu merasakan laju mobil yang belum juga melambat. Rintik hujan masih terdengar diselingi suara musik Acid Jazz yang diputar perlahan. Kamu tidak tahu ke mana dirimu dibawa. Sepasang matamu yang dibebat kain hitam membuatmu kehilangan persepsi akan arah dan waktu. Kamu hanya merasakan bahwa mobil si kampret bergerak dalam kecepatan tinggi. Jalan antar kota saya kira, karena lebar jalanan seperti ini hanya mengarah ke Solo atau Purworejo, tapi saya tidak tahu pasti, karena beberapa kali bajingan itu memutar, sebelum melambat, lalu tiba-tiba mempercepat laju kendaraannya seolah ingin mengecoh siapapun yang berniat membuntuti.

Orang ini, ─Starla sayang, menyimpan satu tipuan lagi di balik lengannya, tapi saya belum tahu apa. Sama seperti seorang ilusionis yang mengelabui penontonnya, kamu harus melihat lebih dekat untuk mengetahui rahasia di balik tipuan sulapnya, ─tapi tentu saja─ semakin dekat kamu melihat, ─semakin sedikit yang kamu ketahui.

"Kita mau kemana? Bukan mau membuang mayat saya, kan?"

"Ahahaha, kamu lucu sekali cinta."

"Saya cuma mengingatkan, kalau saya sampai menghilang, kalian akan kesulitan. Kamu tidak tahu dengan siapa kamu berurusan." ─maafkan, tapi saya terpaksa menyabotase bibir dan pita suaramu, dorongan hormon berkembang biak agaknya menumpulkan nalarmu kali ini.

"Kamu terlalu banyak berpikir sayang. Just relax, and enjoy the show," bisiknya sambil dengan bibir yang terbenam di pangkal lehermu.

"Kenapa harus saya? Kenapa tidak dari dulu? Saya tidak akan berhenti bertanya sebelum mengetahui semua koefisiennya."

"Kamu pintar, saya tahu itu. Tapi kenyataaannya jauh lebih sederhana dari yang kamu kira. Serius ini. Saya bahkan tidak tahu kamu anaknya si jendral kampret kalau Flo tidak memposting foto kalian bersama Meiji."

Cuping telingamu bergerak menajam.

"Kamu mungkin lupa, tapi kita pernah bertemu. Lama sekali."

"Kapan?"

"Di acara pernikahan Arga."

"Kamu kenal kakak saya?"

Dia terdiam sejenak.

"Benar. Kamu kenal kakak saya," saya mengambil kesimpulan.

"Hanya kenal nama, tapi saya kenal baik si jendral kampret."

"Bohong."

"Bisa jadi. Tapi saya pun tidak meminta kamu untuk percaya."

Mobil yang kalian tumpangi sedikit melambat. Kereta api yang melintas membuat kalian harus berhenti sesaat. Kamu bisa mendengar suara sirine peringatan. Kamu bisa mendengar suara lokomotif dan gemeretak roda pada bantalan besi yang mendekat dari kejauhan.

"Kamu tahu? Kalau tidak ada ayahmu, 1000 Kertas™ sudah diberangus sejak lama. Iko sendiri yang meminta saya secara pribadi untuk melobi sang iblis."

Rangkaian gerbong kereta terdengar melintas. Hujan di luar turun semakin deras. Perlahan kamu mulai mengetahui satu persatu sisi gelap dari orang yang selama ini kita panggil dengan sebutan bapak. Dan orang ini, menceritakan semuanya tanpa terkecuali....

Ada imbalan yang harus kau bayarkan jika kau hendak bersekutu dengan iblis, Piscok berkata. 1000 Kertas™ adalah komunitas yang digagas Iko dan teman-teman nongkrongnya, tak ada yang salah kecuali sebuah komunitas virtual yang diimpi-impikannya suatu hari bisa menjadi sebesar Kaskus.

2008. Kaskus menutup subforum khusus dewasa, dan satu tahun berselang Menkominfo yang baru menggulung situs-situs bawah tanah, membuat eksodus besar-besaran anggotanya menuju 1000 Kertas™. Anggota kami bertambah dalam deret eksponensial, terutama subforum cerita panas yang menjadikan 1000 Kertas™ sebagai portal cerita erotis terbesar di Asia tenggara. But you know, tak ada berkah yang datang tanpa imbalan. Menjadi peng-hosting material pornografi membuatmu memerlukan perlindungan dari petinggi-petinggi negara hanya agar situsmu tidak digulung dengan UU ITE.

and thus. Sang Iblis menampakkan diri di depan mereka.

Kalian tahu, tak ada yang cuma-cuma ketika kalian memutuskan untuk bersekutu dengan penguasa Dunia Hitam. Cepat atau lambat, the bill comes due.

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​
 
Part 75
Placebo (Part 2)
by: _______????????_______



"It's nothing personal, Ko... it's just a bussines...."

"Apaan, nih?" tanya Iko tegang.

"Sorry, Ko. Ini semua juga bukan kemauan kita," kata Mamet. "Sekarang elu pindah ke mobil di belakang. Meiji dan Flo biar kami yang 'urus'."

Hujan masih deras mengguyur, dan kabut tebal menyelimuti perkebunan salak di lereng gunung Merapi ketika Mamet mematikan mesin mobilnya tepat di depan pintu gerbang pekuburan tua.

Iko mengernyitkan dahi karena mobil bukannya mengarah kembali ke jalan besar melainkan berbelok memasuki jalan tanah di antara kebun salak. Jalanan makin sepi hingga yang terlihat hanyalah rumpun-rumpun pohon salak dan kabut tebal gunung Merapi. Suara mesin mobil di tenggelamkan oleh deru hujan dan geledek yang saling bersambaran. Guncangan hebat terasa ketika mobil berhenti di depan sebuah pekuburan tua, disusul anak buah Mamet yang berlompatan keluar dari mobil di belakang mereka.

Sepi. Yang terdengar hanya suara gemuruh dan napas kami yang mulai memburu.

"Pengkhianat, berapa elu dibayar?" desis Iko, mencoba mengulur waktu.

"Jangan salah sangka. Ini semua elu yang memulai."

"Gue nggak ngerti maksud kalian."

"Elu nggak tahu dengan siapa elu berurusan, Ko. You're fucked up with the wrong person."

"Gue nggak nger─"

Iko tiba-tiba terdiam. Pupil matanya bergerak membesar.

"Jangan bilang,─"

"Ya."

"Elu ngelakuin semua ini, karena,─"

Hanya guruh panjang yang terdengar sebagai jawaban.

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​
 
Part 76
Placebo Part 3

By: Trickst∆r



"Hanya karena itu?" kamu terlongo tak pecaya. Saya pun tak percaya ketika dia mengatakan bahwa kasus Biang Kerok pertama sejak awal memang ditujukan untuk memfitnah Iko. Tega betul, meski saya pun tidak menyukai orang itu.

"Ya dan tidak. Karena masing-masing orang punya motif sendiri-sendiri. Siapa sih saya selain Mimi Peri yang mengabulkan permintaan mereka? Termasuk keinginanmu.. Jangan pura-pura merasa berdosa, sayang. Saya tahu kalau kamu juga menikmati menjadi pusat perhatian ketika mendapatkan peran sebagai orang yang teraniaya."

Kamu mendengus kesal, melipat tanganmu di depan dada, dan memasang raut cemberutmu yang lucu dan selalu berhasil membuat semua pria ─dan beberapa wanita─ tergoda untuk terus menggoda.

"Seharusnya ini semua selesai ketika Iko dikeluarkan dari komunitas... but..."

Kamu menunggu kalimat berikutnya.

"Sampai Flo memposting fotomu. Saya tidak tahu kamu anaknya si kampret sampai ketika fotomu muncul di akun Instagram Flo."

"Bajingan betul. Dan kamu merencanakan semuanya. Memprovokasi Flo untuk memusuhi saya. Mempermalukan saya dalam acara Summit War. Menghasut Nanas dan Ratu untuk menyebarkan identitas asli saya. Sampai akhirnya saya putus asa dan muncul di hadapanmu. Am I correct, no?"

"Tak ada motif tunggal, hanya satu kartu domino untuk menjatuhkan kartu domino berikutnya."

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​
 
Part 77
Placebo Part 4

by: Floral_Fleur



Hujan masih deras mengguyur, dan kabut tebal menyelimuti perkebunan salak di lereng gunung Merapi ketika Mamet mematikan mesin mobilnya tepat di depan pintu gerbang pekuburan tua.

Seharusnya gue sadar dari awal kalo Meiji dan gue adalah kartu mati yang paling diinginkan oleh Piscok. Dua simpul longgar yang harus dirapihkan sebelum memberi satu adegan encore untuk menutup mahakaryanya yang paling brilian.

Dari kaca spion, gue bisa melihat belasaan orang bertubuh tegap mendekat dari mobil di belakang kami.

Seorang yang berkulit hitam menggedor jendela dengan parang di tangan. Untuk sesaat gue merasa benar-benar insigfikan. Bagaimana rasanya menyadari bahwa sejak awal kalian tidak pernah eksis? Bagaimana rasanya menyadari bahwa kalian hanyalah tokoh-tokoh fiktif yang bisa dimatikan dalam satu jentikan jari?

Pintu mobil terbuka. Dan gue hanya merasakan lengan gue yang dicekal paksa. Hujan deras. Gemuruh terdengar sayup. Air mata gue menggenang bersama air hujan yang jatuh di pelupuk mata, tapi gue bahkan nggak bisa menangis karena pita suara gue menolak mengeluarkan suara.

'Elu harus coba nulis, darling. Cuma dengan nulis, elu bisa merasakan sensasinya menjadi Tuhan....'

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​
 
Part 78
Placebo (Part 5)
by: ______???????_________




Kamu menatap pantulan wajahmu sendiri di layar monitor. Jari-jarimu terhenti pada akhir paragraf bab terakhir. Lalu kamu bertanya pada dirimu sendiri, bagaimana cerita ini akan diakhiri? Siapa yang akan kau biarkan hidup? Siapa yang akan kau matikan di akhir cerita? Lama kamu terdiam, tapi tak juga menemukan jawaban. Hanya sepasang matamu yang balik menatap dari sisi yang satunya dengan tatapan yang sama dinginnya. Rasanya mengerikan, menyadari bahwa dirimu memiliki kekuasaan sebesar ini terhadap homo fictus dalam ceritamu.

Ending sejatinya adalah kristalisasi segala perjuangan tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya. Titik bifurkasi di mana tokoh-tokohnya berada dalam posisi paling kritis yang menentukan akhir cerita. Hidup? Mati? Dan yang paling mengerikan adalah kamu bisa memutuskan nasib orang-orang malang itu dalam satu jentikan jari...

Hujan deras. Gemuruh terdengar sesekali. Flo mendapati dirinya diikat di tengah pekuburan tua. Tubuh mungilnya menggigil tak berdaya. Pelacur itu bahkan tidak bisa menggerakkan satupun serabut otot ketika badan mungilnya diseret keluar dari mobil.

Dari balik kelopak matanya yang berair, Flo menangkap bayangan Iko dan Meiji yang dipegangi dalam posisi berlutut di bawah pohon beringin besar. Mamet dan Rejos berdiri mengawal dengan sebilah parang dan kapak masing-masing di tangan.

Iko meringis kesakitan, hataman keras tinju Mamet membungkam kalimatnya.

"Jos... jawab gue... ini yang kalian cari...?" Iko berpaling pada Rejos yang hanya mampu saling melempar pandang dengan semua orang yang ada di tempat itu. "Piscok, A-J, atau siapapun yang berada 'di atas sana' nggak bakalan tersentuh. Tapi kalian akan diburu sampai habis,─"

Matanya lebam dan bibirnya berdarah, tapi senyum lebar yang mengembang di bibir Iko menunjukkan bahwa dirinyalah yang kini berada di atas gelombang. "Slamet... Reza...," Iko menyebut nama asli Mamet dan Rejos.

"DIEM!" hardik Mamet sambil menjambak rambut Iko.

Tapi pemuda belum ingin berhenti memancing emosi lawan bicaranya. Dipandanginya satu persatu wajah orang-orang yang mengelilinginya, tajam dan mengancam.

"Kalian nggak bakal lolos. Jo tahu identitas semua orang yang ada di sini."

"DIEM, ANJING!!!" bogem mentah kembali mendarat di atas wajah Iko sehingga membuat darah segar mengucur dari hidungnya, tapi laki-laki itu tak berniat berhenti meski dada dan kepalanya dihujani tendangan oleh Mamet. Disebutnya identitas asli semua orang yang ada di tempat itu satu persatu. Iko baru berhenti ketika orang-orang memegangi tangan Mamet yang kalap beramai-ramai.

Iko tersenyum penuh kemenangan meski yang dirasakannya hanyalah rasa sakit yang mendera pada tulang rusuknya. Napasnya mulai tersengal, dan Iko termegap berusaha memenuhi paru-parunya dengan udara yang dirasanya semakin tipis. Tapi yang ada kepalanya yang terasa semakin terasa ringan. Kemudian yang ada hanyalah gelap. Gelap, seperti sebelum Tuhan menciptakan cahaya pada hari pertama.

Raut-raut gentar. Tubuh-tubuh yang gemetar. Wajah Iko tak berbentuk, tergeletak tak bergerak di atas tanah yang berlumpur, tapi entah kenapa anak itu sepertinya yang tampil sebagai pemenang.

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​
 
Part 79
Grotesque (Part 1)

by: Floral_Fleur



Gue kira gue udah mati. Karena yang terakhir gue ingat adalah waktu Iko digebukin dan mulut gue dibekep pakai sapu tangan (yang gue duga dibubuhi obat bius) sama anak buahnya Rejos. Buktinya, habis itu gue nggak inget apa-apa lagi. Kepala gue berasa ringan kaya habis minum Sprite campur Insto.

Waktu bangun. Tahu-tahu aja gue udah ada di dalam ruangan serba gelap. Tangan kaki gue diiiket di atas meja besi dan di sekeliling gue ada potongan-potongan daging.

Pergelangan tangan dan kaki diiket pakai tali. Selangkangan gue perih dan gue nggak merasakan apa-apa lagi di atas kulit gue selain meja besi dingin di punggung gue. Gue telanjang bulat. Kalo gue nggak inget lagi diculik, pasti gue mikir gue lagi ada di klub BDSM waktu gue liburan di Pattaya.

─Gue berusaha mengumpulkan kesadaran gue dan mencari tahu di mana gue sekarang.─

Cahaya remang, tapi gue bisa melihat dinding-dinding keramik dengan bercak-bercak kumal kecoklatan diikuti aroma amis yang menyerbu paru-paru setiap kali gue menarik napas. Vangkeh. Kenapa yang kebayang di pikiran gue malah tempat penyembelihan di film HOSTEL!!!

Gimana kalau ternyata A-J ternyata psikopat kaya di film American Psycho?!! Terus gue disembelih, organ gue dijual keluar negeri, dan daging-daging gue yang montok dipotong-potong dan dijadiin rawon kaya di film Rumah Dara!!! DEMI DEWA, GUE BELUM MAU MATI!!! GUE BAHKAN MASIH PENASARAN SAMA ENDINGNYA UTTARAN!!!

Gue udah nangis bombay saking takutnya waktu gue ngedenger pintu besi di deket gue terbuka diikuti dengan suara belasan langkah kaki yang bergerak mendekat. Mati gue. Gue langsung pura-pura pingsan sambil tetep ngintip dari sela-sela kelopak mata.

Orang berkepala botak langsung gue kenali sebagai Mamet. Rejos yang bercambang hipster berdiri di sampingnya, mengarahkan sekelompok pria berbadan kekar yang membopong dua sosok tubuh tak sadarkan diri yang dibaringkan di atas meja besi di ujung ruang satunya. Satu orang berbadan montok dan satu orang tinggi langsing yang langsung ditelanjangi dan diikat di atas meja besi.

Rejos yang sejak awal emang ngebet banget sama Nanas langsung aja ngewein janda beranak satu itu. Nanas yang sepertinya masih berada dalam pengaruh obat bius cuma bisa melengguh-lengguh nggak jelas waktu tubuh montoknya dijamah dan dicabuli beramai-ramai. Sementara, Jo. Ya salam, gue nggak sampai hati ngebayangin cowok cantik itu disodomi sama Mamet kaya anime Boku no Pico!!!

Jangan sentuh pangerankuuuh!!!! gue mau ngejerit gitu waktu gue menyadari bahwa ada yang nggak beres dari Jo. Gue nggak bisa ngelihat begitu jelas karena penerangan yang nggak seberapa, tapi sayup-sayup gue bisa ngelihat payudara mungil yang mencuat dari atas dada Jo, dan memiaw Jo yang mulus nggak berbulu dan segera diseruput-seruput kurang ajar oleh si gundul Mamet.

Gue bahkan nggak sempet lagi mikir kalo ternyata Jo itu cewek, karena tubuh gue sekarang kembali dijamah sama bajingan-bajingan yang bahkan gue nggak tahu namanya. Seorang tersenyum girang mendapati liang gue yang udah licin, dan menurunkan reitsleitingnya. Napasnya yang bau mengembus di telinga gue ketika dia merangkak di atas tubuh telanjang gue dan mulai menciumi bibir gue. Gue menggeliat jijik, ujung tumpulnya mulai bergerak memenuhi tubuh gue.

"Nikmatin aja kontol abang, neng," bisiknya mesum.

Ini bukan pertama kalinya gue diperkosa. Dan satu-satunya yang gue pelajari dari penis asing yang memaksa menyetubuhimu adalah nggak ada gunanya ngelawan....

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​
 
Part 80
Grotesque (Part 2
By: Trickst∆r



Satu jam berkendara, tutup mata yang membutakan orientasimu akan arah akhirnya dibuka. Langit masih menyisakan hujan intik-rintik. Kamu berusaha mengenali lanskap yang berada di sekelilingmu dan menyimpulkan bahwa kita sedang berada di kota tetangga.

"Kita mau kemana? Bukan mau membuang mayat saya, kan?"

"Ahahahaha... kamu lucu sekali, cinta."

Pukul 8 atau sembilan malam saya kira, dan mobil berbelok memasuki halaman sebuah gedung pertemuan besar. Janur kuning melengkung di depan gerbang dan tempat parkir dipenuhi mobil-mobil mewah. Berhenti di depan pendopo, telingamu segera disambut suara gamelan merdu yang terdengar bertalu-talu.

"Saya tahu kamu gila. Tapi seriously, acara mantenan?" kamu melongo tak percaya.

"Kenapa? Kamu mengharapkan tempat semacam gudang tua atau pelabuhan yang sudah tidak terpakai? Kamu terlalu banyak membaca cerpan gangster sepertinya. Kamu kira kenapa kita repot-repot berdandan seperti ini?" A-J menggamit tanganmu mesra, berjalan memasuki gedung pertemuan dan melewati barisan pagar bagus dan among tamu.

Pernikahan seorang puteri pejabat negara dengan seorang putera konglomerat kaya. Kamu bisa melihat tokoh-tokoh penting di antara deretan buffet mewah dan pahatan es bertulis inisial mempelai. Beberapa mengangguk ramah begitu mengenali wajahmu. Beberapa lagi asyik bercakap dengan tokoh dari partai koalisi. Seorang kerabat mengenalimu, dan ia memperkenalkan diri sebagai tunanganmu. Kurang ajar betul. Tanganmu digandeng mesra, berjalan di samping laki-laki gagah seperti dia orang mungkin akan salah mengira kalian adalah sepasang suami istri. Pasangan hetero. Sesuatu yang tidak pernah kamu bayangkan selama ini, bukan?

Lalu kalian memberikan selamat kepada mempelai, bahkan dia mengambil semangkuk pencuci mulut, diambilkannya satu untukmu, dan wajahmu sedikit tersipu, karena saya tahu, sejak lama kamu mengimpi-impikan hal itu.

Kalian melangkah pada selasar panjang yang berujung pada sebuah pintu kayu kaca yang mengarah pada sebuah ruang besar. Dua orang berjaga di depannya. Beberapa penjaga VVIP mengangguk hormat melihat kedatangan kalian. Otot tubuhmu menegang kamu tahu siapa yang menanti di balik pintu.

"And thus, my darling, here is the final act. Sama seperti Dante dan Virgil yang menjelajahi neraka dalam Inferno. Seharusnya kamu tahu apa yang menanti di lantai paling dasar neraka."

"Lucifer," desismu tanpa bisa menahan senyum dingin yang melengkung di sudut bibir. "Benar. Sejak awal kamu mengincar sang raja."

Senyum dingin yang sama melengkung di bibirnya, dan tanganmu digandengnya erat.

"Kamu kira saya punya cukup kuasa untuk menggerakkan preman-preman seperti Mamet dan Rejos? Saya ini cuma perantara, sayang. Perintah pembunuhan Ratu. Penculikan Flo dan Iko... semata-mata dititahkan oleh satu orang... satu dalang yang mengatur semuanya dari balik layar."

Kamu membiarkan tanganmu digamit.

"Saya mungkin psikopat. Tapi saya tidak pernah ingkar janji.... hari ini, darling. Kita akan menurunkan Sang Raja dari singasananya."

Lalu pintu di hadapanmu itu terbuka.

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​

Kamu berharap dia mati. Kamu benar-benar berharap orang ini mati. Kamu ingin meracuni kopinya dengan portas atau sianida. Atau kamu ingin membuatnya seolah-olah mati keracunan karbon monoksida dalam mobil yang dibiarkan menyala. Tapi kamu rasa itu terlalu mudah, setelah apa yang dilakukan olehnya kepadamu, kamu ingin orang ini mati, secara pelahan-lahan...

Bajingan itu bahkan tidak menduga kepalanya menggelinding malam ini. Wajah tampannya tersembunyi di balik kacamata tipis dengan frame gading. Badan tegap dibungkus satu setel jas mahal untuk usia lima puluhan. Rambut kelabu yang membingkai raut wajah berwibawa sekaligus lembut yang membuat konstituennya tidak mengira sama sekali kalau beliaulah dalang di balik semua ini.

Pandangan ayahmu segera tertuju ke arah kalian berdua yang melangkah memasuki pintu kaca. Tersenyum sinis begitu melihat kehadiranmu.

"Asu buntung. Saya pasti dikutuk hingga anak saya sampai bergaul dengan bajingan seperti kamu."

A-J mengangkat bahunya, terkekeh tanpa rasa gentar. "Apa boleh buat, oom. Dunia memang sempit. Saya bahkan tidak tahu Trisna anak Oom sampai akhirnya dia muncul di depan pintu apartemen saya."

"Bajingan kamu, kamu sudah apakan saja anak saya, heh?" dia terkekeh-kekeh. "Duduk. Enjoy the meal. Trisna, kamu juga. Saya tahu kamu belum makan sejak siang."

Seorang pelayan masuk dan menghidangkan sepiring steak sirloin dengan potongan kentang dan truflle di atasnya. Segelas white wine dituangkan pada gelas kristal di dekatmu. Kamu mungkin masih kesal, tapi saya benar-benar lapar. Mengisi kembali gula darahmu yang menipis adalah hal pertama yang ada di otak saya ketika indera penciuman kita diserbu dengan harum saus yang menguar dari daging yang dipanggang medium rare itu. Saya menyuap sepotong, meski saya tahu bibirmu sudah tak sabar ingin menyerbu dengan omelan.

"Laki-laki munafik. Di rumah paling sok paling bermoral, sok paling Pancasilas. tapi ujung-ujungnya?"

Ayahmu melirik ke arah kompatriotmu. Tersenyum penuh arti. "Well... Everyone has their secret, aren't they?"

Piscok merespon dengan senyum yang sama. "Are we?"

Matamu melirik curiga, mulai tak nyaman dengan cara Piscok menatap ayahmu.

"Bagaimana Trisna menurutmu?"

"Berbahaya. Sinting. Persis seperti Oom."

Suara terkekeh terdengar dari bibir ayahmu.

"Saya benar-benar dikutuk. Anak sulung saya tidak mau mengikuti jejak ayahnya, tapi malah si bungsu yang paling tidak berguna justru yang memilih jalan iblis."

"Jangan bilang begitu. Justru berlian mentah yang akan memberikan kilau paling menakjubkan jika diasah. Anak ini memiliki potensi. Hanya dibutuhkan satu dorongan kecil untuk mengeluarkan sisi gelapnya dari dalam cangkang."

Ayahmu terkekeh dalam, senyum melebar di atas wajahnya yang tampan, dan ditatapnya kamu dengan tatapan yang tak pernah kau dapatkan selama ini.

Tapi kamu terlanjur kehilangan selera. Lidahmu mendadak mati rasa. Ada rasa muak yang hadir bersamaan dengan cara keduanya berbincang. Ada keakraban dalam gerak tubuh mereka. Ada rasa intim yang terlampau kentara untuk bisa disembunyikan. Kamu langsung tahu dalam satu tebakan hubungan keduanya.

"What do you say, eh, Trisna? Saya tidak bisa bilang jalan ini mudah, tapi kamu tahu, semua perjalanan dimulai dari kilometer nol."

Kamu menjawab dengan senyum dingin dan pisau yang disayatkan perlahan di atas potongan dagingmu.

"Jangan banyak omong. Di mana, Jo?!"

"Ah, lesbian nista itu. Di sedang menggeliat di dalam mulutmu, sayang."

"Tidak lucu!"

"Saya memotongnya kecil-kecil. Daging paha yang kenyal. Dipanggang medium rare dengan saus truffle. Kamu tahu, tak ada yang lebih lezat dari itu."

"DIAM!"

"Saya serius. Satu-satunya yang ada dalam otak saya begitu tahu kamu berhubungan dengan lesbian itu adalah melenyapkannya. Buat apa kamu kuliah dan membuang-buang uang saya, jika hanya untuk menjalin cinta dengan sesama jenis dan membuat malu keluarga?!"

Kunyahanmu tiba-tiba terhenti.

Ayahmu tergelak-gelak penuh histeria. Sekarang kamu tahu dari mana sifat psikopatik kita berasal.

"Tapi kalau begitu, terlalu banyak remah-remah yang harus dibereskan. Bukan begitu, say?" ia berkata, lelaki paruh baya itu membiarkan A-J yang berdiri di belakangnya melingkarkan tangan di pundaknya mesra. Rasanya kamu ingin muntah.

"Jangan berpikiran yang aneh-aneh, Tris sayang," berkata A-J. "Anggaplah tangan ayahmu terlalu suci untuk dikotori darah, maka saya menjadi tangan kirinya untuk melakukan semua pekerjaan kotor itu."

"Seperti kalian menyingkirkan RATU?"

"Siapa?" kepala ayahmu meneleng.

"Informan itu," A-J merasa perlu menambahkan.

"Ah, saya lupa. Ahahahaha!"

"Bajingan," desismu geram.

"Kenapa?"

"Trisna mengira dia disingkirkan karena tahu identitas anak Oom di forum," berkata A-J.

"Bah. Buat apa saya melakukan hal remeh seperti itu? Tak ada tempat untuk perasaan sentimentil dalam bidang ini. Ther is nothing personal. Just bussines."

A-J merasa harus memberikan penjelasan. "Ratu tertangkap tangan dalam sebuah penggerebekan. Dia dibebaskan, dengan syarat menjadi informan. That stupid whore."

"Lalu kalian menyingkirkannya..."

"Yep. As simple as that."

"Sinting. Dan semua orang yang telah kalian culik?"

"Tergantung...," ayahmu menyeringai keji. "Tergantung apa yang akan kamu katakan berikutnya."

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​
 
Part 81
Grotesque (Part 3)

by: Floral_Fleur




Gue nggak tahu berapa lama gue diperkosa, dan berapa batang kontol yang udah ngewein memek gue. Seluruh tubuh gue dipenuhi dengan peju. Memek dan lubang anal gue melar. Saking lemasnya, gue bahkan nggak punya tenaga lagi buat gerakin tubuh gue lagi. Gue dibopong layaknya hewan ternak dan ditelentangkan di sebuah ruangan kecil seperti kamar mandi. Seorang yang berambut keriting menyemprot tubuh gue yang dipenuhi lelehan sperma dengan selang air.

Gue megap-megap dikit sebelum mereka ninggalin kami bertiga di ruangan 3x5 itu. Nanas meringkuk menggigil memeluk lututnya. Tubuhnya basah kuyup, sama kaya Jo yang kayanya masih shock berat diperkosa. Tubuh Jo tidak tertutup satu helai benangpun kaya gue dan Nanas. Gue bisa melihat toketnya yang mungil. Demi Dewa. Ternyata Jo beneran cewek. Jadi selama ini gue udah lesbiaaaaaan... huhuhuhu....

"Jo... bangun, Jo....," kata gue sambil menggoyang-goyang tubuh Jo yang masih shock. Anak itu cuma bisa menatap kosong, seperti kehilangan kesadaran.

"Floooo... hueeee....," tangis Nanas langsung pecah begitu melihat kehadiran gue.

"Nanaaaas.... Hiks... hiks...."

"Flo... gue diperkosa..."

"Gue jugaaa... hiks... hiks...."

"Gue belum mau mati... hiks..."

Mata gue bergerak ke sekeliling. Ada lampu neon di langit-langit. Ada bak mandi dan kloset model kuno. Kami dikurung di dalam kamar mandi yang udah nggak dipakai. Ada sebuah lubang ventilasi di atasnya. Dengan sisa-sia tenaga gue, gue memanjat ke atas bak mandi dan menjerit dengan seluruh udara di paru-paru gue.

Gue coba menggedor-gedor pintu dan menjerit sekuatnya meminta pertolongan. Tapi sia-siap. Sampai pita suara gue serak karena berteriak, pintu besi itu tetap tak bergerak. Gue ambruk ke lantai, sepasang lutut gue bahkan nggak bisa bergerak lagi saking lemasnya. Suara Nanas yang tersedan di belakang gue. Putus asa meringkuk di sudut ruangan. Nanas benar, kali ini gue benar-benar mati.

Sekujur tubuh gue terasa dingin. Gimana rasanya menyadari bahwa sejak awal gue sudah ditakdirkan berakhir sebagai cewek blonde-binal yang dibantai di tiap film slasher?. Untuk sesaat gue merasa benar-benar insigfikan. Gue ngerasa nggak lebih dari taburan seledri di atas kuah bakso.

Gue sudah nggak inget lagi ini jam berapa. Gue bahkan hampir nggak sadar saking lemesnya. Waktu pintu kembali dibuka dan kami bertiga diseret keluar menuju ruangan dengan kait Besi. Daging-daging yang digantung di ujung ruang. Genangan darah di lantai. Positif. Kami bakal dijagal malam ini. Nanas menangis tersedan-sedan, sedang gue bahkan sama sekali sudah nggak punya tenaga lagi buat ngelawan. Kepala gue ditempeleng, diperintahkan merangkak dengan keempat tangan dan kaki layaknya seekor anjing.

Lalu gue dipegangi rame-rame. Mulut gue dimasukin selang sampai ke kerongkongan. Lalu lubang anal gue pun mengalami nasib yang sama. Sakit. Perih. Gue mencoba meronta sekuat tenaga tapi orang-orang itu memiting gue ke lantai. Sampai akhirya gue cuma bisa megap-megap nggak berdaya waktu selang itu masuk sampai lambung gue.

Seorang menyalahkan keran, dan rongga perut gue segera dipenuhi oleh air. Lambung dan usus besar gue. Gue megap-megap nggak bisa napas, tapi orang-orang itu menjambak gue dan menahan gue, sampai isi perut gue yang telanjang mengembung besar seperti orang hamil muda, mereka mencabut selang di mulut dan anus gue.

Gue langsung muntah-muntah mengeluarkan isi perut gue yang menyembur dari hidung dan mulut gue yang terbatuk-batuk. Perih. Sakit sekali. Kotoran gue menyembur bersama cairan enema dari dalam lubang dubur gue, meleleh di atas paha dan menggenang dalam lantai. Sampai akhirnya isi perut gue terkuras seluruhnya gue terbaring lemah di atas muntahan dan feses gue sendiri.

Rejos dan Mamet sendiri membakar semua baju-baju kami untuk menghilangkan barang bukti. Sementara uang, perhiasan, ponsel kami berada dalam jarahannya. Rejos sedang membuka-buka ponsel Jo, melihat-lihat foto lesbian cantik itu ketika seseorang menendang vagina gue.

Seorang menyeret gue pada kaki, dan menyemprotkan air ke seluruh tubuh gue yang belepotan tai. Kulit gue dicucinya baik-baik seolah gue adalah seekor binatang ternak yang dibersihkan isi perutnya sebelumnya disembelih.

Gue udah bener-bener pasrah. Gue bahkan sudah nggak punya tenaga lagi buat nangis. Gue hanya bisa menatap kosong waktu badan gue yang telanjang ditelungkupkan di atas meja besi. Rambut gue dijambak dari belakang, sehingga gue mendongak kesakitan. Seorang meletakkan baskom di bawah leher gue. Seorang mengeluarkan sebilah parang. Gue bisa merasakan ujungnya yang tajam di kulit gue...

Orang bilang sebelum mati kenangan hidup lu diputar ulang. Gue keinget gimana senengnya waktu pertama kali gue nemuin cerita karangan Trix di 1000 Kertas™. Gue keinget gimana senengnya gue waktu komenan gue dibales sama Trix. Waktu itu hampir tiap malam kami bales-balesan komen di lounge. Gue keinget waktu gue jatuh cinta sama Trix. Gue keinget gimana waktu gue curhat-curhat sama Iko gara-gara patah hati sama Trix. Gue keinget gimana malah akhirnya gue yang jadian sama Iko...

Seandainya waktu itu gue nggak pernah baca ceritanya Trix sama sekali. Seandainya gue nggak bergaul di internet sama orang-orang sesat. Seandainya gue nggak menuruti ego gue buat bales dendam sama Trix. Seandainya gue menerima ajakan Iko buat jadi istrinya...

Gue bahkan nggak bisa merasakan apa-apa lagi. Karena saat ini yang gue inginkan hanyalah minta maaf ke Iko....

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​
 
Part 82
Grotesque (Part 4)

By: Trickst∆r



"Inikah akhirnya?"

"Yep."

"Just like that?"

"Just like that."

Kalian meninggalkan pesta lebih awal. Kolega-kolega ayahmu terlalu banyak dan terlalu untuk ditinggalkan. Maka ia menyerahkan semua pekerjaan kotornya kepada Piscok, seperti yang dilakukannya selama ini.

Sebuah mobil menunggu di depan lobby, dan langsung melesat menuju jurusan timur begitu kalian menutup pintu.

Matamu tidak ditutup kali ini. Kamu bisa melihat lampu jalan yang bergerak cepat di tengah rinai gerimis. Mobil Fortuner hitam itu melesat cepat di jalanan antar kota dengan kecepatan tinggi. Telingamu tidak bisa mendengar apapun selain deru mobil. Lo-fi jazz yang diputar perlahan. Percakapan terdengar sayup. Titik-titik air bergerak di sisi kanan mengikuti kecepatan.

Kamu melihat papan penunjuk jalan yang menunjukkan arah ke kota tempat tinggalmu. Kamu pun menerka-nerka tujuanmu. Benar, mobil berbelok di sebuah komplek industri, ada beberapa pabrik gula dan rokok di sana, tapi kalian memasuki gerbang pabrik pengalengan daging milik keluargamu.

Melewati gerbang belakang, kalian berhenti tepat di dalam sebuah garasi besar yang tersembunyi di balik peti kemas berpendingin. Kamu pernah diajak sesekali ke tempat ini. Kantor ayahmu terletak di lantai dua, dan kamu berjalan memasuki ruangan berpendingin dengan daging-daging beku yang tergantung pada kait besi. Gaun merah darah dan sepatu stilleto tajam yang kau kenakan tampak kontras dengan bunga es yang mengeras pada lantai dan langit-langit. Kabut tipis terlihat dari cuping hidungmu setiap napasmu mengembus, dan kamu melipat kedua tangan di depan dada untuk meratakan panas tubuh.

"Mau apa kita di sini?"

"Seperti yang saya bilang. Membereskan loose end."

"Ingat. Kamu sudah berjanji."

"Dan saya harap kamu juga tidak ingkar. Your body is mine."

Wajahmu sedikit tersipu mendapati seringainya yang posesif.

"Terserah. Kamu akan menyesal jika terjadi sesuatu dengan mereka."

"Jangan terlalu attached pada karakter-karakter fiktif. Sayang."

"Sinting."

"Saya serius. Siapa yang bisa memastikan bahwa kita tidak lebih dari tokoh-tokoh rekaan penulis yang lebih tinggi? Siapa yang memastikan bahwa akhir hidup kita sudah ditentukan jauh sebelum cerita ini ditulis. Satu-satunya cara agar kamu tidak menjadi sinting adalah menerima kenyataan bahwa kamu sama sekali tidak pernah memegang kendali."

Pintu itu akhirnya terbuka. Piscok menggamit tanganmu. Diarahkannya dirimu menuju ujung lorong. Lantai dipenuhi bekas lumpur yang mengarah pada kamar mandi besar di ujung satunya. Lalu ia berjalan mengiringi. Seolah ingin kamu melihat sendiri apa yang berada di balik pintu...

Cahaya remang. Genangan darah. ─gemuruh panjang terdengar dari kejauhan disertai guguran hujan yang terdengar kian rapat. Selain itu hening. Hingga kamu bisa mendengar suara detak jantungmu sendiri...

Tak ada satupun di ruangan pemotongan daging itu selain sesosok tubuh kaku yang diselimuti dengan plastik hitam...

Kamu tak tahu siapa...

Dan kamu tak akan tahu sampai membukanya...


●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​
 
Frequently Asked Question
Q: "Oom 'AKU' ini siapa lagi?"
A: "Aku" di sini adalah narator orang ketiga yang memiliki jalan pikiran.​





Part 83
The God Complex
_______???????????__________




Kamu menatap pantulan wajahmu sendiri di layar monitor. Jari-jarimu terhenti pada awal paragraf bab terakhir. Lalu kamu bertanya pada dirimu sendiri, bagaimana cerita ini akan diakhiri? Siapa yang akan kau biarkan hidup? Siapa yang akan kau matikan di akhir cerita? Lama kamu terdiam, tapi tak juga menemukan jawaban. Hanya sepasang matamu yang balik menatap dari sisi yang satunya dengan tatapan yang sama dinginnya. Rasanya mengerikan, menyadari bahwa dirimu memiliki kekuasaan sebesar ini terhadap homo fictus dalam ceritamu.

Ending sejatinya adalah kristalisasi segala perjuangan tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya. Titik bifurkasi di mana tokoh-tokohnya berada dalam posisi paling kritis yang menentukan akhir cerita. Hidup? Mati? Dan yang paling mengerikan adalah kamu bisa memutuskan nasib orang-orang malang itu dalam satu jentikan jari.

Sebenarnya mudah saja bagi kita untuk mengakhirinya. A-J boleh menang kali ini, dan mengalihkan semua kesalahan pada Trix dan ayahnya. Meiji, Iko, Flo, dan Jo boleh dijadikan tumbal. Lagipula, aku belum menemukan cara bagaimana menyelamatkan mereka semua tanpa melalui Deus ex Machina.

Nanas dan Jo bisa dibunuh setelah diperkosa beramai-ramai. Meiji, Flo, dan Iko, mereka bertiga bisa digorok dan langsung dikuburkan di tempat itu juga. Atau dijerat tali tambang agar tidak menyisakan banyak darah dan jejak DNA. Tapi bagaimana dengan Ki Van Joel? Orang itu melihat Flo dan Iko datang bersama Mamet, kalau mereka sampai menghilang, semua orang akan tahu kalau mereka terlibat.

─Kecuali Ki Van Joel juga berkhianat, kamu mau bilang begitu? Kamu tahu, pola twist-mu sudah mulai bisa terbaca.

Akui saja, kamu tak akan bisa mengakhirnya kecuali meninggalkan banyak plot hole....

...Except, it's not.

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​

Tris merespon dingin. Represi bertahun-tahun tidak menghasilkan sesuatu yang sia-sia selain kepribadian kedua, The Mirage of Deceit yang menatap acuh tak acuh pada jasad beku di hadapannya.

Siapa? Mereka pun sekarang bertanya-tanya. Flo dan Iko yang digorok Mamet di pekuburan? Ataukah Jo dan Nanas yang disembelih setelah diperkosa?

Sama seperti orang sinting yang melakukan percobaan yang melibatkan seekor kucing dalam kotak. Untuk membuatnya lebih menarik, mereka menambahkan seperangkat racun yang bisa terpicu oleh serangkaian kemungkinan. Sekarang mereka tidak tahu, apakah kucing itu hidup? Ataukah mati? Merkea hanya bisa mengetahuinya jika membuka kotak tersebut. Selama kotak itu belum terbuka, kucing itu berada dalam kondisi yang saling bersuperposisi. Hidup. Sekaligus mati di saat yang sama.

Bagaimana bisa? Mereka pun bertanya-tanya.

Maka biarkan aku yang mengakhirinya...

Iko adalah orang yang paling mungkin berada di dalamnya. Keputusan Iko memulai semua. Tidak semua menyukai perubahan status quo. Terutama para pemasang iklan dan pejabat-pejabat hitam yang akan berlubang kantung-kantungnya bila 1000 Kertas™ memilih taat kepada undang-undang.

Ada harga mahal yang harus kau bayar ketika memutuskan bersekutu dengan iblis. Harga yang harus kau bayar cepat atau lambat. Mau tak mau. Termasuk Meiji yang menggadaikan jiwanya pada iblis, hanya karena ─ah bodoh sekali─ perasaan sentimentil terhadap Tris yang bahkan ia tak tahu wujudnya. Meiji bahkan rela diperalat oleh Piscok dan menjadi pion. Dan pion, sayangku, tak akan bisa melampaui nasibnya dalam sebuah permainan catur: expendables.

Lalu Flo dan Nanas. Sampah-sampah itu. Mereka hanyalah satu dari orang-orang yang melarikan diri ke dunia maya. Orang-orang yang tak diakui di dunia nyata dan mendapat pengakuan semu yang tak kasat. Sama menyedihkannya dengan ibu-ibu kurang kasih sayang, bapak-bapak depresi dengan cicilan, remaja alay salah pergaulan yang melampiaskan segala kekesalannya pada artis yang terlibat jaringan prositusi.

Kamu tahu? Dunia Maya memungkinkan itu semua. Anonimitas melindungi identitas asli yang kau jaga baik-baik, dunia kecil serba sempurna di mana kau, anak, dan istrimu bisa memposting foto keluarga bahagia di Instagram demi menunjukkan betapa sempurna kehidupanmu di dunia nyata. Sebelum di detik berikutnya berganti rupa menjadi laskar penyebar kebencian.

Greed, Envy, katakanlah, para penghamba adsense dan popularitas itu. Produk terkutuk dunia cyber. Ampas laknat kotoran pantat. Kamu tahu? Di antara segala kemungkinan, saya palling berharap Flo dan Nanas yang digorok setelah diperkosa beramai-ramai hingga lubang kelamin mereka melar dan tak berbentuk. Dimutilasi menjadi serpihan-serpihan terkecil adalah satu-satunya hukuman bagi para Keyboard Warior yang hanya bisa mencela dalam kolom komentar. Ditusuk dengan batang kayu dari kelamin hingga tembus mulut adalah hukuman bagi orang-orang yang terlalu ingin tahu identitas orang yang tak ingin diketahui namanya.

Tris terdiam. Nanas dan Flo adalah dua orang yang paling layak berada di balik plastik hitam itu. Tapi…. bagaimana jika orang itu yang ternyata yang terbaring di baliknya…?.

Di ujung ruang ada drum dengan bekas terbakar. Abu sisa-sisa pembakaran masih teronggok di dalamnya. Mata Tris memicing mencoba mengenali. Bekas-bekas kain itu memang sudah tak utuh, tapi dengan jelas Tris mengenali sablon kaus yang dibelikannya untuk Jo di ulang tahunnya yang ke-27 tahun lalu. Tris melangkah gemetar, kakinya tersandung sebuah benda yang teronggok di bawah kakinya. Layarnya retak tapi masih menyala.

Ada foto Jo dan dirinya di halaman muka.

Seluruh tulang Tris terasa seperti dilolosi dari tubuh, tapi sedapatnya ia tak ingin menunjukkan rasa gentar di hadapan A-J. Betapapun saat ini ia benar-benar ingin menangis membayangkan Jo yang terbaring kaku di dalam sana. Betapapun ia pernah menginginkan Jo mati. Tetap saja. Tris mencintai wanita itu.

"Ingat perjanjian kita," Tris berkata dingin. "Jika Jo lecet seujung jari saja. Perjanjian kita batal."

"Perjanjian? Dan di pengadilan mana kamu hendak menuntut perjanjian itu, my darling. Bahkan nyawamu saat ini berada dalam genggaman saya."

"Silahkan. Bunuh saya. Dan kepalamu akan menjadi incaran seluruh dunia hitam."

"Ow. Creepy," A-J tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan kuduknya yang merinding. Sepasang mata Tris yang menatapnya dengan penuh intensi membunuh membuat seluruh tubuhnya tidak nyaman.

Siapa yang menjadi dalang? Siapa yang menjadi Tuhan? Tiba-tiba saja A-J merasa bimbang. Bahkan A-J tidak menyadari bahwa dia hanyalah homo fictus dalam cerita ini. Manusia-manusia fiktif yang bisa aku akhiri riwayatnya dalam satu jentikan jari. Tapi, kali ini saya masih berbaik hati, karena aku masih memerlukan tangan orang itu.

"Sinting. Dan kamu sekarang sudah menghasilkan dua mayat. Kamu tahu polisi tidak akan diam saja jika mereka menghilang?" Tris balik mengintimidasi.

"Pasti," A-J tersenyum. "Bertahun-tahun saya melakukan pekerjaan kotor ayahmu. Menghilangkan orang dengan cara yang paling rapi seolah kanker dan kecelakaan. Tapi kali ini saya menggunakan cecunguk-cecunguk itu. Kamu kira kenapa saya pakai amatiran seperti Mamet dan Rejps?"

Sebelah alis Tris terangkat pertanda tertarik.

"Rejos itu asisten saya yang otaknya cuma berisi uang. Mamet itu bekas bouncer klab malam. Anggota lain yang saya rekrut kebanyakan cabutan dari debt collector partikelir atau bekas satpam. Saya berani bertaruh. Rejos dan Mamet tidak akan pusing-pusing untuk memeriksa isi ponsel atau menghilangkan jejak seluler... Sekalipun mereka hati-hati. Mereka sudah terlalu banyak meninggalkan bukti dan saksi... Ki Van Joel... anak-anak Valhalla....

"Ah. Jahanam betul," Tris ikut tertawa ketika melihat pesan terakhir yang dikirimkan Jo.

"Mereka tidak akan bisa lolos."

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​

Aku harus memundurkan waktu ketika Si Kanjeng Distro kembali ke 'markas meski ia telah menaruh kecurigaan kepada Mamet dan Rejos.

Iko mengatakan si biang kerok ternyata mengendalikan tiga faksi sekaligus dalam papan caturnya. Valhalla dengan Piscok. LXW dengan Jeng Eliz. Conformist dengan A-J yang menjadi ahli strategi Flo. Siapa yang bisa menjamin kalau Sang Mastermind tidak menyusup ke dalam kelompok itu?

Jo tidak sebodoh itu untuk menyerahkan kepalanya kepada Sang Mastermind untuk dipancung.

Rasanya mengerikan. Mereka seperti bermain poker dengan nyawa-nyawa manusia sebagai taruhannya. Mamet, Meiji, Flo, Iko, Nanas, bahkan nyawa Jo sendiri dipertaruhkan bagai keping-keping chip di atas meja judi. Tak ada pilihan lain selain menjadi pemenang, karena satu galat saja dapat membuat nyamamu melayang.

Dan Jo tidak akan bertaruh jika tidak memiliki kartu bagus di tangannya.

Di mana dipertaruhkannya semua nyawanya pada satu kartu itu.

Jangan kira gue nggak punya rencana,” Jo berkata kepada Mamet, tapi tentu saja ia mengira Jo hanya menggertak.

─kalian ingat momen-momen di mana Jo menerima berkas foto yang dikirim Bang Arga? (Part 43 Apertura).

Karena secepat Jo menyadari keterlibatan Rejos, secepat itu pula ia mengirimkan satu pesan rahasia kepada Bang Arga.

"Rejos dan ayahmu terlibat. Tolong."

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​

"Kamu kira kalau ditemukan dua mayat di sini, siapa yang paling dulu dicurigai?" A-J memainkan tangannya di atas kepala salah satu mayat.

"Kamu?"

"Saya? Sejak awal saya bahkan tidak pernah eksis sama sekali."

A-J menyibak plastik hitam di ruangan pemotongan daging. Dua sosok jenazah dengan leher tergorok terbaring di bawahnya....

Dua simpul terakhir yang harus dilenyapkan A-J sebelum mengakhiri mahakaryanya yang brilian....

Mamet dan Rejos....

Tris tertawa kecil. “Siapa yang melakukan semua ini?”

“Kamu pikir? Siapa lagi yang bisa melakukan pekerjaan ini?”

A-J melirik ke salah satu sudut gelap. Ada sosok orang ketiga yang mengamati dari tempat yang tak terkena cahaya. Sepasang matanya menyala menyiratkan naluri pembunuh. Gelap gulita. Tapi Tris mengenali jam Rolex yang melingkar di pergelangan tangannya dan pisau komando yang berlumuran darah.

A-J tersenyum dan berkata. “Terima kasih, partner.”

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​
 
Part 84
Carpe DiemPart 1


by: R.M Distrodiningrat




Inikah akhirnya? Aku terbangun dan mendapati diriku berada di ruangan serba putih. Selang infus di lengan kiri. Selang transfusi di lengan kanan. Aroma obat. Udara berpendingin. Aku bahkan tidak bisa menggerakkan tubuhku sama sekali. Gips membebat di beberapa bagian tubuh membuatku hanya bisa menggerakkan bola mata. Dokter mengatakan setidaknya ada 10 ruas tulangku yang patah, beberapa luka tusukan, dan gegar otak ringan.

Flo terbaring di ranjang di sebelahku, bersama Nanas yang sudah duduk di sampingnya. Air meleleh di sudut matanya begitu melihatku siuman.

Flo mengatakan tidak mengingat apa-apa. Parang tajam sudah siap memutus urat lehernya ketika ia mendengar keributan di luar ruangan. Lalu terdengar suara letusan senjata api bersamaan dengan aliran listrik yang dipadamkan. Bukan aparat keamanan, kata Flo. Karena mereka membantai Rejos dan komplotannya di tempat. Tak ada rekaman CCTV, semua tampak terlalu rapi untuk dilakukan oleh orang biasa.

Ketika tersadar, Flo sudah berada di sebuah rumah sakit Internasional di Ring Road utara. Beberapa petugas berjaga di luar. Seorang dokter kepolisian menemani kami, mengatakan kami adalah saksi kunci.

Kepalaku terlalu pusing. Semua seperti benang kusut yang tidak bisa dijelaskan. Mayat Mamet dan Rejos yang ditemukan di Pabrik Pengalengan Daging ayah Star. Orang-orang yang menghilang. Pembunuhan berencana. Semua mengarah pada satu petunjuk masif mengenai 'orang besar' yang mengatur dunia kriminal di balik layar.

Televisi menayangkan berita pagi tentang seorang politisi yang memberikan klarifikasi bahwa itu hanyalah fitnah lawan politik untuk menjegal langkahnya yang akan maju sebagai Caleg DPR-RI, tapi aku kira itu hanyalah sia-sia belaka. Polisi menemukan tumpukan daging manusia dalam Pabrik Pengalengan Daging itu, sisa-sisa tubuh musuh-musuhnya yang dilenyapkan dengan rapi dalam sebuah seni mutilasi.

Aku menjelaskan sebisaku. Tentang Piscok dan A-J. Tentang Star. Tapi ketika aku menceritakan tentang komunitas bawah tanah di dunia maya, dokter kepolisian itu hanya tersenyum.

"Kenapa, ada yang salah?"

"Terima kasih atas kerja samanya. Tapi ada beberapa informasi yang sebaiknya tetap off the record. Ini untuk kebaikan anda sendiri, mbak Joanna... atau... bisa saya panggil... ehm... maaf.... Kanjeng Distro?"

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​
 
Bimabet
Part 85
Carpe Diem Part 2

By: Trickst∆r



Jaring laba-laba itu ternyata lebih besar dari yang kami tahu. Polisi, pengacara, pilot, arsitek, dokter. Mereka menyembunyikan jati diri di balik topeng-topeng anonimitas yang melindungi kehidupan nyata mereka. Anonimitas membuatmu imun terhadap segala macam prasangka. Anonimitas membuatmu bisa menunjukkan siapa jati dirimu sebenarnya, yang selama ini kau pendam dalam-dalam, atas nama norma dan etika. Dan sebuah rimba bernama World Wide Web mengizinkan itu semua.

Semuanya terhubung. Kau tidak bisa membongkar identitas orang lain, tanpa resiko identitasmu ikut tersebar. Begitulah cara kegelapan bekerja.

Sang Politisi Hitam ditemukan tak bernyawa di kamar kerjanya, seminggu setelah peristiwa itu ─demi Tuhan, aku bahkan tidak merasa sedih sama sekali, polisi mengatakan penyebab kematiannya karena overdosis obat penenang, meski patut dicurigai karena menghindari penyidikan pihak berwajib atas skandal yang menimpanya.

Tapi aku yakin ada yang lebih besar dari ini. Ayahku hanyalah pion kecil. Dalam jaring laba-laba itu ada banyak lagi 'Dalang-dalang' yang lebih tinggi yang tak ingin belang di hidungnya tampak hanya gara-gara ayahku buka mulut. Begitulah, pembaca yang budiman, cara kegelapan bekerja.

Kamu tidak akan tahu siapa yang tergabung dalam jejaring laba-laba Ordo Rahasia itu, termasuk kakakku yang berdiri di sudut gelap dengan pisau komando di tangannya. Orang itu terlibat tapi aku belum tahu motifnya. A-J hanya menyerahkanku ke tangan kakakku sebelum menghilang di balik kegelapan. Seperti layaknya hantu yang tak pernah eksis.

Sepeninggal ayah, Bang Arga yang menjadi tampuk pimpinan keluarga, dan yang paling pertama dilakukannya adalah membabat sisa-sisa antek Jenderal Tua yang menggerogoti keluarga kami. Kenapa? Aku bertanya. Ini adalah satu-satunya cara, Bang Arga menjawab. Demi keluarga kita. Karena sekali kamu melangkah di jalan Iblis, malaikat atau setan yang menghalangi jalanmu, harus berani kau tebas.

Sang Iblis. Lagi-lagi nama itu muncul. Sama seperti ketika ia menghilang bagai hantu. Orang itu tiba-tiba muncul di acara pemakaman ayahku. Membaur di antara tamu-tamu yang memberikan ucapan belasungkawa. Lalu, ketika semua orang sudah tidak lagi mempedulikanku, ia tiba-tiba muncul di belakangku.

"Mau apa kau?"

"Fufufu... mengambil bayaranku, tentu saja."

Aku bahkan masih bisa mendengar suara bisikannya yang terdengar jelas di telingaku.

"Jangan lupa, sayang. Your body is mine."

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd