Episode 22
Wisuda
POV Eda
Jumat, 3 Februari 2017. Pagi ini, jurusan sedang mengadakan wisuda. Nanti siangnya, setelah soljum, akan dilanjutkan dengan wisuda universitas.
Kami sedang menikmati persembahan tiap angkatan. Lalu, sampailah pada penampilan Bryophyte. Anwar, Tika, Jennifer, dan Erna berjalan naik ke panggung yang berukuran kecil. Mereka semua kompak pakai pakaian casual, berbanding terbalik dengan wisudawan lain yang formal banget. Baju kaos putih dengan kemeja flanel yang gak dikancing, sedangkan bawahnya mereka kompak pakai jeans belel. Tentunya dengan tambahan hijab buat Erna.
Satu persatu mereka menuju alat musiknya masing-masing yang sudah ditaruh terlebih dulu. Ini dia! Ini dia yang bikin gue penasaran dari kemarin, di mana posisi main mereka sebenarnya.
Jennifer mengambil lead guitar dan menuju standing mic di posisi tengah.
Anwar mengambil bass, lalu menuju standing mic di sebelah kanan Jennifer.
Tika mengambil rythm guitar, lalu menuju standing mic di sebelah Jennfier.
Erna langsung duduk di belakang drum.
“Wuoooh!” Gue dan banyak anak-anak yang lain kagum.
Gue mendengar banyak cengan anak-anak kalau Anwar banyak selirnya. Ya, gak salah juga sih hahaha.
“Met, gila! Liat!” Gue nepok Jamet.
“Iya, aku liat kok.”
“Mereka megang alat semua. Yang nyanyi siapa ya?”
“Aku udah tau.”
“Tau dari mana lo?”
“Ada deh, liat aja bentar lagi.” Jamet cengar cengir.
Tepat sebelum mereka main, Dani datang bersamaan dengan Hari dan keluarganya. Mereka telat. Di sebelah gue, Jamet gak bisa pindah matanya dari kata-kata pembuka yang diucapkan Jennifer.
“Dari mana aja lu?” Tanya gue ke Hari
“Nih Kenia dandan lama amat. Yang wisuda siapa, yang ribet siapa.”
“Halo, Bang Eda.” Kenia cium tangan.
“Kok lu bisa barengan Hari, Dan?” Gue nanya Dani
“Tadi cuma ketemu mereka di depan.”
Obrolan kami terputus karena suara musik mulai dimainkan.
---
POV Jennifer
“Enjoy yaaaa!” Gue menutup kalimat pengenalan band ini.
Erna spontan memulai jamming. Dia menggebuk drumnya dengan tempo santai. Wajahnya tersenyum kecil. Selang beberapa saat, bass dari Anwar masuk. Dia memainkan kunci-kunci yang dibuatnya sendiri dengan begitu kreatif. Gerakan jarinya lentur sekali.
Setelah agak lama Erna dan Anwar pamer, masuklah gue dengan nada-nada rendah terlebih dulu. Gue memainkan tempo, yang lambat laut menjadi tinggi. Lalu masuklah suara lead Tika yang sangat tinggi melengking. Permainan melodinya membuat semua penonton bertepuk tangan, tak terkecuali para dosen yang ikut menonton.
Jamming selesai dengan tempo yang diturunkan lagi dan ditutup dengan gebukan drum Erna. Selanjutnya kami memulai lagu pertama dengan mash up dan aransemen ulang We Don’t Talk Anymore-nya Charlie Puth featuring Selena Gomez, digabung dengan Don’t Wanna Know-nya Maroon 5. Vokal perempuan bernada tinggi dinyanyikan Tika, dan vocal cowok dinyanyikan Anwar.
Ini salah satu ide gilanya Anwar lagi, yang kemudian diaransemen oleh kami berempat. Ernalah selalu paling berisik kalo ada nada yang gak pas, sehingga jadi lah musik yang menurut gue perfect ini.
We Don't Talk Anymore Mash Up Don't Wanna Know
Lagu pertama sukses menarik perhatian banyak anak-anak sampai mahasiswa yang baru kuliah satu semester untuk merapat ke depan panggung. Panggung sudah kami kuasai. Kemudian, kami akan membawakan lagu kami sendiri untuk lagu kedua.
“Bawain lagu sendiri boleh yaa???” Gue nanya penonton.
“Boleeeeh~”
“Okeee. Jadi, ini lagu biologis banget. Dibuat sama kami berempat setelah 4 tahun selalu wisata alam, masuk keluar hutan, nyebur ke laut, riset, proyek, interaksi sama indigenous people...” Gue berhenti sejenak. Mikir
“Indigenous people apa sih indonesianya?” Gue berbisik ke Tika.
“Masyarakat lokal.”
“Oh iya... Masyarakat lokal.”
Lalala~ gue melanjutkan basa basi.
“Nah, di sini kami mau nyeritain gimana bagusnya berwisata alam dari sudut pandang kami, judulnya, Pria Dengan Mahkota Daun!” Gue berbicara lagi ke penonton.
Musik dimainkan. Genre pop-rock diusulkan Anwar saat membuat lagu ini, dan lagi-lagi disempurnakan Erna. Di lagu ini, gue yang bernyanyi dengan suara rendah gue.
“Woooo!!!” Semua penonton berteriak semangat. Tidak terasa ini adalah acara wisuda.
“Tantri!! Tantri!!” Eda bersorak.
“Aiu Ratna!!” Jamet ikutan.
Gue jadi sedikit tertawa, membuat suara jadi agak lepas sedikit. Kata anak-anak memang suara gue mirip kedua vokalis itu, ada serak-seraknya dikit. Atas dasar itu juga Anwar ngusulin kalo yang nyanyi gue, maka genrenya harus pop-rock, atau funk sekalian.
10 menit yang dijatahkan panitia selesai. Tapi penonton justru minta satu lagu lagi. Dosen pun ikut bertepuk tangan karena karya kami ini. Anwar nengok ke panitia di samping panggung.
“Gimana?” Gue nanya.
“Boleh satu lagu katanya.” Jawab Anwar.
“Apaan nih?” Tika nengok ke Anwar.
“The Beginning aja ya.” Anwar ngusulin.
“Yaudah.” Jawab Tika.
Gue yang selalu jadi jubir Bryophyte, kembali bersuara. Gue bercerita sedikit kalo formasi Bryophyte mirip band jepang yang namanya Scandal. Semua megang alat musik sekaligus kebagian nyanyi. Tapi, kali ini kami mau nyanyiin lagunya One Ok Rock.
“Terakhir dari kita, The Beginning by One Ok Rock!”
Musik dimulai. Lagu kali ini lebih keras lagi. Gue kembali menjadi suara utama dan Tika sebagai suara dua. Kami semua jejingkrakan dengan lagu ini, membuat suasana memuncak.
The Beginning - One Ok Rock
Penampilan selesai 5 menit kemudian. Kami turun panggung dan diberikan minum oleh panitia. Setelah itu, gue pamit ke anak-anak untuk menghampiri jamet dan kawan-kawan.
“Eh, gue ke belakang dulu ya, nyamperin anak-anak.”
“Gue ikut deh.” Kata Erna
“Oh, yaudah. Gue mau nemenin Anwar aja ke ortunya.” Kata Tika.
Di wisuda jurusan ini, ortu gak wajib dateng. Jadi, beberapa orang tua wisudawan akan hadir hanya saat wisuda universitas nanti siang. Ortu gue dan Erna termasuk yang akan datang nanti siang.
“Hai.” Gue menyapa mereka.
“Kereeen!” Eda mengangkat dua jempol.
“Keren, Je, Na. Jadi artis dong nih ntar.” Ledek Hari.
“Eh, ini adiknya Hari ya?” Erna beralih ke keluarganya Hari.
Keasikan deh Erna sama keluarganya Hari. Gue kumpul-kumpul bareng geng tanpa ortu pagi ini. Gue, Jamet, Eda, dan Dani banyak menghabiskan waktu dengan selfie bareng. Kadang Erna dan Hari ikutan sesekali karena posisinya gak terlalu jauh dari kami.
“Erna akrab banget sama keluarganya Hari.” Kata Jamet
“Iya, kok bisa sih?” Gue membalas
“Wajar lah, kan sama-sama...” Dani gak selesai ngomong.
“Sama-sama apa, Dan?” Jamet nanya lagi
“nggak, bukan apa-apa. Lupain aja, gue ngelantur hahaha.”
Dani ngomong ngelantur. Tumbenan.
“Eh, liat tuh, Erna akrab banget sama keluarganya Hari.” Eda nyeletuk.
“...”
Di tengah obrolan kami, tiba-tiba datang Kak Rivin dengan baju turtle neck favoritnya. Dia menghampiri Eda dengan riang gembira.
“Edaaa! Selamat ya!” Kak Rivin memberi sebucket bunga mawar.
“Huachiii!!! Wangi amat bunganya sih, aduuuh.” Jamet minggir menjauh.
Gue ikut bergeser menjauh bareng Jamet menuju tempat Hari. Kami semua menatap tanpa dapat berkata-kata ke arah tiga orang yang berdiri di sana. Eda, Dani, dan Kak Rivin. Kak Rivin tampak ramah kepada Dani, tapi dia terus mengajak ngobrol Eda hingga suatu saat dia merangkul tangannya dan pergi menjauh meninggalkan Dani sendiri.
“Mereka ada apa sih? Kok kaya gitu?” Gue heran.
“Wah gawat ini.” Hari garuk-garuk kepala.
“Dani. siniiii.” Erna mengayun-ayunkan tangannya.
“Kenapa sih? Ada apa?” Gue masih belum dapat jawaban.
Erna menginjak kaki gue. Oke, gue harus diam.
---
POV Eda
Kami semua sedang duduk dalam gedung yang besar, bersiap menjalani prosesi wisuda. Wisudawan duduk tiga-tiga di setiap barisan fakultas. Gue duduk paling pinggir, Hari di tengah, dan di sebelahnya ada Erna. Jamet duduk di depan gue bareng Jennifer dan seorang lagi. Anwar dan Tika duduk di belakang gue.
“Pas banget ya duduknya kita barengan.” Hari berbisik
“Yoi, kan sesuai tanggal sidang kita.” Jawab gue.
Dari belakang, Tika nendang bangku gue.
“Resek lu. Apaan?” Gue nengok ke belakang
“Dani dateng gak?”
“Dateng kok. Dia nunggu di kantin.”
“Ribut amat sih. Ngomongin gue ya.” Jamet nimbrung.
“Yee, kegeeran.” Tika nimpuk gulungan tissu.
Hari tumben gak berisik hari ini. Dia sesekali hanya ngobrol bareng Erna yang duduk di sebelahnya dengan suara pelan. Entah apa yang bikin dia dan Erna jadi diam, apa karena kelakukan Kak Rivin tadi, atau kejadian minggu lalu yang bikin geger sefakultas.
Tidak lama kemudian, rombongan rektor masuk ke dalam gedung dan upacara dimulai. Lagu-lagu seremonial dibawakan oleh paduan suara, membuat suasana wisuda menjadi sakral. Bagi kami para wisudawan, seremoni seperti ini pasti membuat dada serasa mau meledak.
Sampailah kami pada pidato bapak rektor. Ucapan selamat, pesan, dan cerita dituturkan satu per satu. Lalu, masuklah pada ucapan duka cita terhadap meninggalnya kepada salah satu wisudawan bernama Cecilia Dyna Pelengkahu minggu lalu.
Gue nyenggol Hari.
“Har.”
“Iya, gue denger.” katanya.
“Beneran overdosis?”
“Sssst..”
Gue kembali mendengarkan pidato bapak rektor. Beliau kemudian berpesan kepada kami agar tetap menjaga pergaulan. Beliau juga berpesan kepada orang tua untuk terus menjaga anak-anaknya meskipun sudah dewasa, terlebih bagi para perantau.
“Kaya anak SMA aja dikasih pesen gitu.” Bisik Anwar dari belakang.
“SSSTTT!!” Erna langsung bete.
Gue memang belum denger detailnya. Tapi, dari kabar burung di antara mahasiswa, malam itu Dani dan Erna ceritana lagi beli obat ke apotik di pinggir jalan raya. Terus ketemu Hari, lalu mereka bertiga jadi nongkrong di angkringan. Saat itu lah mereka melihat mobil mirip punya Sesil.
Selanjutnya, gue gak begitu ngerti kelanjutannya gimana. Sampai sekarang Hari, Dani, dan Erna gak ada satu pun yang mau cerita kejadian malam itu. Kabar burung terus beredar, mulai dari kelakuan Sesil yang suka ngedrugs sampai overdosis malam itu, hingga desas desus adanya faktor inhuman.
Dua jam kemudian acara wisuda berakhir. Gue keluar aula gedung untuk menemui nyokap bokap gue. Gue awalnya menunggu Dani, tapi nyatanya yang dateng adalah Rivin.
“Halo, om, tante.” Rivin datang.
“Halooo. Siapa namanya ini?” Nyokap gue menyapa balik.
“Rivina tante hehe.”
“Da, kita duluan ya.” Hari pergi rame-rame sama yang lain.
Jamet sempat memberikan kode untuk menemui Dani. Tapi apa mau dikata, bokap nyokap gue langsung nyangkut sama Rivin di sini.
“Eda, ayo foto studio dulu.” Bokap ngajakin kami.
“Ayo, Rivin ikut yuk.” Kata nyokap.
“Eh?” Gue kebingungan.
“Udah, ngapain bingung sih, Da. Mama juga pernah muda kali hahaha.”
Gue gak pernah bisa ngebantah nyokap sama bokap dari kecil. Pun, gak pernah ada beda pendapat apapun antara gue dan mereka. Hal itu juga yang membuat gue selalu dihadiahin sesuatu yang mewah setiap ulang tahun, kaya mobil gue yang selalu dipakai sekarang ini.
Akhirnya, gue, bokap, sama nyokap melakukan pemotretan studio di salah satu tempat foto yang disediakan. Selanjutnya, sesuai janji nyokap, Rivin ikut ke dalam barisan foto. Jauh di sana, gue melihat Hari, Jamet, dan yang lainnya sedang ngobrol bersama Dani.
"Harus ya berakhir di sini?" Pikiran gue melayang jauh.
---
POV Hari
“Dan, udah gak usah diliatin terus.” Kata gue.
“Iya, yaudah yuk.”
“Foto?” Ajak gue.
“Boleh.”
Gue gak ikut foto studio karena harganya mahal. Untungnya, Kenia punya kamera DSLR pribadi untuk dokumentasi kami. Dani mengajukan diri untuk memotret kami bertiga untuk foto keluarga. Banyak foto yang Dani ambil, dan gak lupa Kenia gantian ngejepret gue bareng Jamet dan Dani, minus Eda.
Setelah foto-foto juga dengan anak-anak yang lain. Kami berpisah ke keluarga masing-masing. Dani yang sendirian karena cuma seorang tamu, jadi bergabung sama keluarga gue yang udah biasa ngobrol. Di kejauhan, gue ngeliat Jennifer narik-narik ibu bapaknya untuk ketemu sama Jamet dan keluarganya.
Banyak kejadian lucu sekaligus miris hari ini.
“Bang Eda mana, Bang?” Kenia nanya.
“Ada tuh jauh di situ.” Gue nunjuk ke kerumunan orang.
“Kok gak bareng Kak Dani di sini?”
Gue nginjek kaki Kenia dan menyuruhnya diam. Tapi tetep aja, Dani pasti udah denger kata Kenia tadi. Raut mukanya kelihatan jelas makin sedih.
“Gue main ke rumah lu aja ya malem ini.” Kata Dani.
“Takut bunuh diri ntar ya lu sendirian.”
“Serius ih.”
“Yaudah ntar sekalian pulang bareng kita aja.”
“Gue belom bawa baju.”
Gubrak. Gue berpikir mencoba cari jalan keluar sambil mengupas satu buah jeruk dari tas nyokap. Akhirnya, diputuskan nyokap balik duluan bareng Kenia. Gue nemenin Dani dulu ambil pakaiannya yang ada di kosan.
Selang setengah jam, satu per satu anak-anak pamit pulang dengan keluarganya masing-masing. Sementara itu, Jennifer terus ngobrol terus sama Jamet, padahal udah diklakson sama orang tuanya dari dalem mobil.
“Itu Bang Jamet punya pacar baru ya?” Kenia nanya lagi.
“Nggak tau tuh.”
“Itu Kak Jennifer yang nyanyi tadi bukan sih?"
“Yoi.”
“Terus, Janiar-janiar yang sering diceritain Bang Jamet dikemanain?”
“Nanya melulu lu kaya wartawan.” Gue menyuapi mulut Kenia pake potongan jeruk.
Setelah nyokap dan Kenia dapat taksi, gue berpisah dengan Dani untuk menuju kosannya. Di sana, kami sempat melewati bekas kamar Sesil yang sudah kosong. Barang-barangnya sudah dibawa orang tuanya.
Gue teringat cerita yang dipublikasikan S.H.I.E.L.D. Mereka bekerja sama dengan kepolisian untuk menutupi kasus ini dari media. Tentu saja atas persetujuan orang tua Sesil. Berita yang dilaporkan adalah Sesil overdosis suatu obat alergi, bukan narkoba yang didesasdesuskan banyak orang.
Sebagai gantinya, kepolisian meminta kerja sama kepada S.H.I.E.L.D. untuk mencari pengedar dan produsen obat yang mengandung kristal terrigen itu. Kami berempat sebagai agen lapangan di Indonesia diminta menjadi ujung tombaknya. Artinya, kami harus bekerja lebih keras mulai besok. Bahkan, kami bisa mendapatkan bantuan polisi sekarang.
Pikiran gue kembali ke kostan Dani.
Di sini, gue hanya menunggu di depan kamarnya. Gue bisa melihat Dani menghempaskan badan ke kasur, mengetik sesuatu di layar handphone, lalu membenamkan kepalanya dalam-dalam ke bantal.
Lama Dani tak bergerak, hanya badannya yang bergerak-gerak dengan nafas tidak teratur. Gue berinisiatif masuk ke kamarnya.
“Dan, masih mau nangis apa mau packing, nih?”
“...”
“Gue packingin ya. Pake tas merah ini aja ya.” Gue mengambil tas kuliahnya.
“...”
“Ambil berapa baju? Tiga? Empat?”
“...”
“Dan, gapapa nih? Itu.. celana dalem... ???”
Gue kebingungan karena Dani gak jawab apa-apa, sementara gue gak tau barang apalagi yang harus gue packingin. Barang-barang cewek banyak bener. Gue terus bolak-balik dari lemari ke meja riasnya.
Tiba-tiba Dani memeluk gue dari belakang.
“Hari, jangan tinggalin gue yaaaa. Sekarang cuma tinggal elu.”
Dani terisak-isak. Kalo gue pikir-pikir, iya juga sih. Sesil yang temen deketnya dari SMA udah pergi jauh, Jamet mau balik ke Malang, Eda berpaling. Bisa jadi emang iya orang terdekatnya Dani tinggal gue. Keluarganya? Ah biarlah, itu cerita sedihnya Dani yang lain.
"Hari... Janji.... Please...." Dani makin terisak, baju gue basah karena air matanya.
BERSAMBUNG