Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans

Setujukah bikin sequel?

  • Gak setuju

    Votes: 2 3,6%
  • Setuju, di thread ini

    Votes: 17 30,4%
  • Setuju, di thread baru

    Votes: 37 66,1%

  • Total voters
    56
  • Poll closed .
Episode 20
Akting


POV Dani

Usai gue menyampaikan progress penguasaan alat, mulai dari gadget milik S.H.I.E.L.D., kamera lebah, dan beberapa alat lainnya, laporan pun ditutup. Gue merangkum semua laporan dari awal dan membacakannya sekali lagi. Kemudian, gue kirimkan laporan itu ke markas besar via email rahasia.

Waktu sudah menunjukkan jam lima sore.

“Saya anterin ya pulangnya, mas, mbak.” Kata Sigit.
“Sendiri aja, Git. Biar aman dari watchdog dulu kita.” Kata Hari.
“Oke deh, saya duluan kalo gitu, mas, mbak. Permisi.”

Sigit membuka portalnya, lalu dia masuk ke dalam sana. Sekarang tinggal kami bertiga.

“Eh, gue mau telepon laboran nih.” Hari memberi tahu kami.

Kemudian, Hari memencet tombol di jam tangannya. Muncullah seorang wajah laboran dari markas besar. Hari panjang lebar menceritakan kemungkinan kristal terrigen yang menumpuk di darah gue.

“Big bad news, guys. There’s something missing based on your hypothesis.” Katanya
“Which part ?” Tanya Erna

Orang itu menjelaskan kalau seafood umum yang kami makan sehari-hari tidak mungkin dapat menumpuk kristal sebanyak itu dalam tubuh. Harusnya, ada asupan masif melalui campuran dalam suntikan atau cara lain sebelumnya.

“Dani, had you ever take a medicine by injection in recent days? Cause, if you exposed by this terrigen in same moment with Kenia, she must be changed into inhuman.” tanyanya

Apa Dani pernah nyuntik?

“Nope.” Jawab Dani.
“Or, breathe? eat? Something made you insane.. or kind like that?” Tanya si laboran lagi.
“Let me think...” Dani mikir.
“Dani! Makan malem waktu itu!” Erna melotot.

Ternyata makan malem waktu! Pantes aja semuanya pada tiba-tiba sange. Kejadiannya sama waktu gue sama Kenia juga.

“Sorry?” Kata si laboran
“Two weeks ago.. I.. took dinner with my friends. After that, we.... had sex all night.” Gue menjelaskan terbata-bata. Aib.

Satu masalah terpecahkan. Tapi muncul pertanyaan baru, dalam bentuk apa terrigen itu masuk dalam badan gue? Sesuatu gas? Makanannya kak Rivin?

“Okey, I’ll try to make a medicine that can excrete terrigen in your body. Include to netralize something that made you insane."

Gue mengangguk.

Now, stay safe from everything that contain terrigen.” Kata laboran.
“Why?” Tanya Hari
“If you exposed in same dose once again, you’ll change into stone and instantly die!”

Situasi mendadak tegang. Bulukuduk gue berdiri. Kata-kata itu menyiratkan gue saat ini dalam keadaan sekarat. Tiba-tiba layar kamera di seberang sana bergerak dari menampilkan wajah si laboran menjadi wajah seorang agen level tinggi bernama Jemma Simmons.

“Stay safe, Dani!” Katanya dengan suara tegas.
“I will.” Jawab gue.
“And you two... uh, where’s Sigit? Whatever. You all, break the case as soon as possible!”
“You can count on us.” Kata Hari

Jemma Simmons

Komunikasi selesai. Hari kembali menelepon Sigit untuk kembali ke penthouse. Tidak lama kemudian, Sigit kembali dengan pakaian baru yang sama tidak modisnya seperti biasa.

“Habis mandi?” Tanya Hari
“Iya, mas, hehehe.” Sigit nyengir
“Cepet amat mandinya.”

Kami berkumpul menyusun strategi. Hasilnya, langkah pertama adalah cari tahu informasi dari Eda, Kak Rivin, atau pun Sesil sebagai orang pertama yang sama-sama menikmati makanan itu.

“Gue yakin, salah satu dari mereka ada hubungannya.” Kata Hari
“Kalau bukti mengarah ke pihak lain, misalnya ke pedagang atau sampai ke petani yang namem sayurannya gimana?” Gue nanya

Hari berpikir sebentar.

“Mau gak mau kita harus gali sedalam mungkin. Tapi gue rasa gak mungkin, sih. Kita ada Sigit yang bisa baca pikiran kan.”

Sigit malu-malu kucing. Dia salting.

“Bener. Tapi pertama-tama kita harus cari mereka dulu.” Kata Erna, ngelirik gue.
“Silahkan, Na.” Hari menjulurkan tangan tanda mengizinkan.
“Gak perlu, Dani udah tau kok.”
“Maksudnya?” Hari sama Sigit ngeliat gue.
“Mau gue atau lu yang jelasin, Dan?” Kata Erna sambil melipat tangan di dadanya

Mampus. Ketahuan. Gue cuma bisa menghela nafas.

“Emang ye manusia penyadap gak bisa dibohongin. Jadi gini, gue udah ngawasin Eda seminggu ini.” Gue menjelaskan.

Gue membuka laptop lagi, lalu menyalakan kamera lebah yang inaktif tapi tetap pada GPS sensor muka Eda. Gue gak mau kecolongan lagi setelah kehilangan jejak Eda tadi siang. Kemudian, kami semua mengamati Eda yang sekarang sedang mengantar Kak Rivin pulang ke kostan dengan mobilnya.

Mereka semua ngeliatin gue dengan mimik 'sumpeh lu'nya.

“Kita cegat?” Tanya Sigit.
“Terlalu mencolok. Tunggu di kostannya aja.” Jawab Erna
“Yang jalan siapa aja?” Tanya Sigit lagi.
“Gue aja sama Erna. lebih aman.”
“Jangan lah! Inget kata agen Simmons? Stay safe!” Hari marah.

Kami berdebat berdua. Tapi akhirnya, kami sepakat yang pergi tetap Dani dan Erna karena itu kostan cewek, meski pun cowok bebas masuk. Apalagi, kalau gue kelihatan berdua sama cowok, Eda pasti langsung marah karena gue yakin emosinya sama labilnya kaya gue.

“Stay safe, Dan.” Pesan Hari.

Gue dan Erna bersiap dengan barang kami masing-masing. Alat-alat agensi praktis sudah gue masukkan ke tas, lalu kami berdua masuk portal yang dibuat Sigit. Kami secepat kilat berpindah tepat ke satu sudut jalan yang sepi di dekat kostan. Saat itu pula gue melihat Kak Rivin keluar dari mobil milik Eda.

Kami berdua sembunyi di balik pagar rumah orang dan mendengar percakapan mereka.

“Yakin gak mau mampir?” Kata Kak Rivin.
“Gak deh, jangan di kostan kamu. Nanti ada Dani.”
“Kalo gitu kapan-kapan aku ke tempat kamu deh ya. Biar bisa masakin lebih sering.”
“Eh?” Eda kaget
“Udah jawab aja iya.”
“Iya, Rivina.” Eda jawab dengan suara memanja.

Aku-kamu. Masakin. Suara manja. Mesra banget ya Eda sama Kak Rivin. Nafas gue gak teratur melihat mereka berdua sedekat itu lagi.

“Sabar, Dan. Sabar. Kita lagi tugas.”
“Iya.”

Mereka berdua berpisah di sana. Eda pergi dengan mobilnya dan Kak Rivin berjalan pelan menuju kostan. Kami masih bersembunyi hingga merasa aman.

“Halo, Har, Git? Liat juga kan? Ikutin yang mana nih?” Erna menghubungi dengan jam tangannya.
“Kalian ikutin Kak Rivin aja. Sigit udah siap ngikutin Eda.” Kata Hari.
“Roger.” Erna membalas.
“Rojar rojer.” Hari ngeledek.

Komunikasi selesai.

Begitu Kak Rivin masuk ke pagar kostan, kami berdua bergerak masuk ke dalam kostan. Kemudian, kami bertingkah berjalan kelelahan seolah habis melakukan kegiatan seharian. Gue berakting mengajak Erna masuk ke dalam kamar untuk beristirahat.

“Eh, Dani, baru pulang? Ada Erna juga.” Kak Rivin menoleh.
“Iya kak, nemenin Erna bolak-balik ngurusin sisa berkasnya.”
“Buat wisuda?”
“Iya.” Erna gantian menjawab singkat.
“Oh, kirain lagi bareng Eda. Gak pulang-pulang sih.” Kata Kak Rivin dengan senyumnya.

Wah udah mulai main licik Kak Rivin rupanya. Baru aja pulang jalan sama Eda, pakai pura-pura gak tau segala. Kak Rivin yang sangat baik bisa cepet banget berubah ya sejak berhasil deket lagi sama Eda.

“Kak Rivin dari mana? Kayanya baru pulang juga?” Gantin gue nanya.
“Abis jalan sama temen-temen ini.” Gue bohong lagi
“Loh? Gak kerja?” Gue tembak loh.
“Sekarang kan Sabtu, Dan.”

Oh iya, sekarang Sabtu. Gue sampe gak sempet mikir lagi karena saking geregetannya dengan orang ini. Gue cengar-cengir sendiri karena bingung mau ngomong apa lagi. Erna juga diem doang, kayanya lagi fokus sama kemampuan sadapnya.

“Kak, masakin lagi dooong.” Gue bicara lagi
“Boleh, boleh. Ada bahan kok di kulkas. Ntar ya, aku mandi dulu.” Jawab Kak Ririn.

Kak Rivin beranjak masuk ke dalam kamarnya. Erna langsung nengok ke gue dengan gaya khas melototnya. Gue merespon juga dengan menarik Erna menuju kamar gue. Gue merogoh kantong untuk mengambil kunci, lalu kami masuk ke dalam kamar.

“Gila! Inget dong! Stay Safe, Dan.” Kata Erna
“Iya, iya, gampang ntar. Yang penting kita tahu dulu apa yang direncanain Kak Rivin.” Kata gue.
“Jangan gampangin. Pokoknya lu gak boleh ikut makan ya.”
“Gue kepikiran rencana, Na. Gini...”

Gue menjelaskan. Abis ini gue mau ngabarin anak-anak yang lagi ada di setiap kamar untuk makan bareng ntar malem. Sambil nunggu Kak Rivin mandi dan masak, Erna melakukan penyadapannya ke seluruh area kostan dari kamar gue. Target utama sih sebenernya Kak Rivin, jadi semua kata-kata dari mulutnya, chatnya, hingga telepon harus bisa diketahui sebelum makan malam.

Kalau benar, gue bisa pindai kandungan terrigen dari masakan matangnya sebelum dimakan anak-anak. Gue menunjukkan sebuah alat berbentuk stick dari dalam tas yang berfungsi khusus memindai kadar terrigen dalam konsentrasi minimal tertentu. Alat ini akan berbunyi nyaring dan berpendar begitu dinyalakan dan ada di dekat Terrigen.

Kelar. Anak-anak gak jadi makan racunnya. Kak Rivin ditangkap.

“Oke, gue koreksi ya.” Erna menyahut.

Gue mengangguk.

“Pertama, kenapa gak lu scan sekarang isi kulkasnya? Kedua, kalau alatnya lu yang pake, pasti bunyi terus kan.”
“Iya sih.” Gue baru kepikiran.
“Ketiga, gimana kalo gue gak nemu apa-apa sampai makan malem? Keempat, misalnya di makannya gak kedeteksi terrigen, gimana acara makan-makannya? Tetep jadi?”

Aduh, banyak banget pertanyaan Erna. Rencana gue kedengarannya mentah banget.

“Santai, Dan. Bagusnya gini aja. Tugas lu, scan sekarang tuh isi kulkas sebelum Kak Rivin selesai mandi. Abis itu panggil anak-anak buat makan malem bareng. Tugas gue, nyadap semaksimal mungkin seluruh keadaan di sini.” Erna memberi strategi.

Gue ngangguk-ngagguk.

“Oke. Kalau berhasil, kita tangkap Kak Rivin dan bawa ke penthouse untuk interogasi.” Gue bersemangat.
“Sip. Kalo terrigen gak kedeteksi dan gue gak nemu bukti. Pokoknya lu jangan ikut makan. Bilang aja sakit perut atau apa kek.” Erna nambahin.

Selesai sudah rencana buru-buru ini. Kami berdua mulai bergerak masing-masing untuk melakukan tugas.

---

POV Sigit.

“Berangkat, mas.” Aku pamit ke Mas Hari.

Aku pergi masuk ke portal, lalu berpindah ke salah satu gang kecil dekat apartemen Mas Eda. Selanjutnya, aku masuk ke salah satu warteg terlebih dulu untuk membeli seporsi makanan.

“Bu, dibungkus satu. Pakai babat, labu, sama terong.”

Setelah bungkusan makanan diberikan, aku berjalan pelan menuju pintu apartemen. Tepat setelah aku sampai di depan pintu lift, Mas Eda datang dan memarkirkan mobilnya.

Begitu Mas Eda berjalan ke arahku, aku mulai berakting merogoh saku dengan raut wajah kebingungan.

“Kenapa, mas?” tanyanya.
“Gak tau nih, kayanya kartu pass saya ketinggalan di kamar.” Kataku.
“Kamarnya nomor berapa, mas?” Tanyanya lagi.
“2104.”
“Yaudah bareng saya aja masuk liftnya.” Kata dia sambil menempelkan kartu pada sensor.

Kami berdua menuggu lift yang baru bergerak turun.

“Maaf ya mas ngerepotin, saya abis beli makan tadi.” Aku mulai berdiplomasi
“Iya. Gapapa kok.” jawab mas Eda.
“Udah lama di sini, mas?”
“Saya dah empat tahun. Kalo Mas sendiri?”
“Saya baru masuk tengah bulan ini. Nama saya Rahman."

Gue menjulurkan tangan untuk bersalaman, dan tentunya bohong soal nama. Rencana berjalan mulus.

“Oh, saya Hendra. Panggil aja Eda.” Dia menyambut tanganku.
“Tetanggaan kita kan, harus saling kenal.” Aku bergurau.

Kami berangsur masuk ke dalam lift, kemudian menekan tombol lantai masing-masing. Selama beberapa saat kami bercengkrama layaknya tetangga baru kenal. Tapi, perbincangan itu hanya sebentar karena lift telah sampai lantai 21.

“Duluan, Mas. Makasih banget lho ya.” Aku pamit.
“Iya, santai aja.” Jawabnya

Lift tertutup, bergerak lagi ke atas menuju lantai 29. Misi sukses! Pikiran terbaca! Aku memencet tombol lift lagi untuk turun keluar apartemen. Sesampainya di bawah, aku berjalan keluar kembali ke dalam gang sepi, lalu membuka portal menuju penthouse.

“Misi terlaksana, Mas Hari.” Kataku.
“Oke. Jadi gimana, Eda? Dia terlibat?”
“Nggak.” Jawabku singkat.
“Yaelah.”
“Saya ceritain lengkapnya nih ya...”

Aku menceritakan hasil pikiran Eda. Kepribadiannya belakangan ini lagi labil. Dia punya kekhawatiran Kak Rivin hamil gara-gara pesta itu. Di sisi lain, dia juga gak sadar mulai jatuh cinta, tapi masih inget Dani sedikit-sedikit.

"Terrigennya gimana?" Mas Hari nanya lagi.
"Dia gak tau apa-apa soal kristal terrigen. Bersih."
“Ya ampun, Eda, temen gue.” Mas Hari garuk-garuk kepala.
“Kenapa, Mas?”

Perutku mulai keroncongan.

“Oke lah ya, gue tau penyebab labilnya sama kaya Dani. Tapi kalo udah bawa-bawa perasaan bisa berabe.” Jelas Mas Hari.
“Cinta rumit ya, Mas.” Aku iseng bicara.
“Iya lah. 3 anak labil, si Eda, Dani, sama Kak Rivin rebutan cinta.”
“Saling jambak-jambakan bisa kali.”

Kami berdua kembali menatap layar lebah yang terus mengikuti Eda sampai kamarnya. Dengan mode siluman, kamera kaya gini tetap gak akan kelihatan meski di ruangan kecil. Tapi sesuatu yang dilihat membuat mas Hari menutup laptop itu cepat-cepat.

“Anjir. Coli. Nyebut-nyebut nama Kak Rivin pula.” Kata Mas Hari ketawa
“Hahaha.” Aku ikut ketawa.
“Geblek lah.”

Perutku bunyi lagi.

“Saya makan dulu ya, Mas. Laper.” Aku membuka nasi bungkus yang tadi dibeli.

---

POV Dani

Gue berjalan menuju kulkas, lalu memindai semua kandungan makanan yang ada di sana. Gue memindai sambil merentangkan satu tangan yang memegang stick jauh-jauh. Hal ini gue lakukan supaya tidak bias dengan terrigen yang ada di tubuh gue.

Kalau dilihat, pasti posisi gue lagi aneh banget sekarang. Gue berganti-ganti dari berdiri hingga setengah jongkok dengan posisi satu tangan yang direntangkan. Persis seperti orang yang jijik karena megang anak kucing habis kecebur got.

Berkali-kali gue pindai, hasilnya nihil. Gak ada sama sekali kristal terrigen dari bahan di kulkas. Gue kemudian kembali ke kamar untuk menaruh stick. Di atas kasur, Erna duduk bersila kaya patung. Dia gak bergerak sama sekali, sehingga mengundang gue menyalakan kamera handphone untuk merekam Mannequin Challenge.

“Kulkas nihil, Na. Semoga lu sukses deh.” Gue ngelapor.
“Semoga.” Jawabnya pelan.

Selanjutnya, gue mengetuk kamar anak-anak. Ada 6 orang yang lagi ada di kostan. Semuanya gue ajak makan malem bareng. Kalo dilihat dari jumlah bahan makanan di kulkas kayanya sih cukup buat semua orang.

Semoga malam ini ada hasil.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Persadani Putri


Ernawati



Kak Rivin



Agen Simmons (Jemma Simmons)
 
Terakhir diubah:
Updatennya jos kisanak :jempol:

Because tasted can not be lied :cendol:
 
Episode 21
Menangis Sejadi-jadinya


POV Erna

Gue coba mendengar dan membaca semua sinyal yang lewat di dekat sini. Tapi, sepanjang ini hanya ada chat lagi pacaran, lagi becanda sama temen-temennya di medsos, sama pesan-pesan broadcast gak jelas.

Kata-kata yang gue dengat pun gak ada yang mencurigakan. Di sisi lain, tadi Dani udah bilang makanan di kulkas aman. Jadi setidaknya gue harus menemukan beberapa hal yang janggal.

Sepuluh menit. Tiga puluh menit. Satu jam setengah. Gak ada komunikasi yang mencurigakan sama sekali.

“Na, makanan udah jadi nih. Gimana hasilnya?” Dani masuk ke kamar.

Gue menggeleng pasrah. Gak terasa makan malam yang dibuat Kak Rivin udah jadi. Anak-anak udah kumpul juga di ruang tengah.

“Gimana dong?” Tanya Dani.
“Lu di sini aja. Ntar gue bilang sakit perut bulanan.” Jawab gue.
“Lu sendiri gimana?”
“Santai. Gue kan udah inhuman.”
“Sip deh kalo gitu.”

Gue melangkah keluar kamar. Tapi pas di depan pintu, tiba-tiba suara berisik kedengeran lagi di kuping gue dari lima belas menit belakangan.

“Eh, Dan, sebelah itu kamar siapa?” Gue nunjuk satu kamar.
“Kamarnya Sesil. Kenal kan? Kenapa emang?”
“Gak, gapapa. Bangunin gih tuh anak. Ada telepon dari tadi.”
“Tidur? Tuh anak lagi keluar dari kemaren kok kata anak-anak.”
“Hapenya ketinggalan kali ya.”

Dani mengamini kata-kata gue. Sekarang, gue keluar dari kamar menuju ruang tengah untuk makan malam bareng. Setelah sampai di sana, Kak Rivin nanyain Dani. Gue jawab sesuai skenario tadi, sekaligus bilang mau bawain aja ntar jatahnya Dani ke kamar.

Kami makan dengan santai. Gak ada kejadian aneh. Gue gak luput juga kenalan dengan 6 orang penghuni kos lainnya. Rata-rata yang ikut makan malam ini adalah mahasiswa perantauan, sedangkan sisanya malam minggu begini kalo gak pulang ke rumah, ya lagi hangout.

Gue menyocokkan nama-nama mereka dengan sinyal yang gue baca dan dengar selama di kamar Dani tadi. Alhasil, gue senyam-senyum sendiri menatap wajah-wajah mereka yang penuh aib.

---

POV Dani

Gue bosen di kamar. Di sisi lain, gue penasaran apa yang dibilang Erna tadi. Gak biasanya Sesil pergi gak bawa handphone. Seburu-buru apapun, dia akan tetap ingat sama seluruh alat-alat elektroniknya, apalagi cuma handphone.

Gue keluar kamar pelan-pelan, mencari letak Sesil biasanya menaruh kunci serep. Gue angkat keset, ngeraba bagian atas pintu, rak sepatu, sampai akhirnya ketemu di dalam salah satu sneakersnya.

Gue buka kamar Sesil. Kesan pertama adalah gelap. Setelah gue nyalakan saklar, ternyata kamarnya memang kosong. Tapi banyak kejanggalan di sana sini. Kamarnya berantakan banget. Spreinya tergeletak di lantai. Laptop masih terbuka di atas kasurnya dengan posisi masih dicharge.

Gue berjalan pelan ke sisi lain kasur. Ternyata lebih jorok lagi. Ada piring bekas makanan sisa yang tumpah. Keadaannya udah lembek berair dan disemutin. Di dekatnya, ada handphone yang tergeletak.

Gue buru-buru balik lagi ke kamar untuk mengambil handphone. Gue dokumentasikan seluruh sudut kamar Sesil dan mengirimnya ke aplikasi chat rahasia kami berempat.

MENCURIGAKAN. Gue tulis dengan capslock semua.

Tidak lama berselang, ada balasan dari Erna, “gue ke sana sekarang.”

Erna pun datang dengan sepiring makanan dengan alibi ‘buat Dani’. Kami melanjutkan kegiatan menyisir seluruh kamar Sesil untuk mencari bukti.

“Sesil malem itu ikut ‘pesta’ bareng lu kan ya, Dan?” Erna nanya
“Iya.” Gue jawab sekenanya.
“Hmmm. Layak diwaspadai sih.”
“Bisa jadi.”

Gue pelan-pelan naik ke kasur, mencari-cari sesuatu yang mungkin aneh buat Sesil. Barang pertama yang gue temukan di balik bantal adalah dildo. Sejenak pikiran gue melayang ke momen waktu bermain dildo dengan Kenia. Memori itu kemudian diakhiri dengan kata-kata Lina yang menyuruh gue buang dildo.

Gue mengangkat bantal, lalu menemukan sebungkus bubuk putih yang terbuka sedikit. Dari bukaan tersebut bubuk itu tumpah-tumpahan ke kasur.

“Erna, sini.”
“Dan! Jangan dipegang!” Erna teriak
“Sabu?”

“Bisa iya, bisa bukan. Ambil ziplock di tas gue gih.”

Gue kembali ke kamar sendiri, membuka tas Erna, lalu mengobrak-abrik isinya. Setelah itu, gue balik lagi menuju kamar Sesil. Erna ternyata menemukan bukti lagi. Dia memanggil gue, menunjukkan suatu batu hitam kecil yang tergeletak di lantai dekat kamar mandi. Batu itu tampak rapuh dan ada remah-remah yang lebih kecil di sekitarnya.

“Kaya jari?” Gue bingung.
“Emang jari.”
“MASAA??”
“Begini jadinya kalo kena kristal terrigen kalau bukan inhuman.”
“Oke, Na. Lu yang ngerjain deh.”

Gue memberikan barang-barang keperluan Erna. Kemudian, gue keluar kamar supaya gak ikutan jadi batu. Sesil, temen gue, apa kabarnya? Perasaan gue jadi gak enak setelah liat batu ini. Gimana kalo itu bener jarinya Sesil?

Agak lama nunggu dengan perasaan panik di kamar gue sendiri. Kemudian, tiba-tiba Hari nelepon.

“Halo, Dan. Kondisi gimana?”
“Siaga. Erna nemu jari yang udah jadi batu.”
“Jari siapa?”
“Belom tau, tapi nemunya di kamar Sesil.”
“Waduh. Kita ke sana ya.”
“Yaudah. Tapi ntar kalo udah gue suruh ya.”
“Oke. Hati-hati, Dan.”

Telepon diputus bersamaan Erna masuk ke kamar gue.

“Beres.” Katanya
“Ada yang liat gak?”
“Aman.”
“Sekarang gimana?”
“Sampel kita kasih ke markas.”
“Perasaan gue gak enak, Na. Kita cari Sesil malem ini ya.”

Gue menelepon Hari untuk segera datang. Mereka gue suruh nunggu di belokan yang agak jauh dan sepi. Lalu, gue sama Erna pergi keluar. Kak Rivin yang nanya kami mau kemana, dijawab dengan alasan cari obat ke warung.

Di sebuah jalanan yang agak gelap, Hari dan Sigit udah nunggu.

“Nih sampelnya. Git, kasih ke markas sekarang.” Erna ngasih beberapa bungkus ziplock.

Sigit tanpa banyak nanya, langsung pergi membuka portal. Tinggalah kami bertiga di tempat remang-remang ini.

---

POV Hari

“Tadi itu apa aja yang lu kasih?” Gue nanya.
“Benda kaya sabu, Batu jari, sama potongan rambut-rambutnya Sesil.” Jawab Erna.
“Oke. Sekarang gimana?”
“Cari Sesil malem ini juga, ya, please.” Dani ngejawab.
“Iya, tapi mulai dari mana?”

Sigit kembali dengan cepat dari markas besar. Kami memulai pencarian dengan berjalan kaki, tentunya dengan Sigit sebagai pembuka portal ke mana saja, dan Erna sebagai mesin pencari.

Kami mencari dari jarak yang tidak terlalu jauh dari kostan, hingga sekarang mencapai radius sekitar 5 kilometer.

Gue dan Dani cuma bisa mencari secara visual dan bertanya ke orang-orang di pinggir jalan. Kami berdua masing-masing selalu menunjukkan foto Sesil kepada semua orang. Kami juga kadang menunjukkan foto mobil yang sering dibawa Sesil, karena mobilnya sekarang juga tidak terparkir di kostan.

“Jam berapa sekarang, Mas?” Sigit nanya.
“Jam 12 lebih, Git. Tengah malem.” Gue ngelihat jam tangan.
“Istirahat dulu, ya, Mas, Mbak. Saya haus.”
“Yaudah, cari angkringan dulu yuk.” Erna mengusulkan.

Kami semua beristirahat di salah satu angkringan pinggir jalan yang masih buka. Sembari istirahat, Dani sempat bertanya ke pedagang dan semua orang yang lagi nongkrong di sini. Di sisi lain, kami bertiga ngobrol biasa sambil minum sebotol minuman ringan.

“Kenapa gak pake kamera lebah aja sih?” Erna nanya.
“Kamera lebah lama. Bisa seharian lebih nunggunya. Lagian kan...”
“Lagian apa?” Sigit nyahut
“Kamera cuma bisa scanning orang yang masih hidup.”

Suasanya mendadak kaku. Gak ada satu pun dari Erna atau Sigit yang menanggapi pernyataan gue. Gue dan Erna sudah cukup mengerti bahaya dari kristal terrigen asli dari cerita-cerita selama latihan penguasaan kemampuan. Jadi, siapa pun yang kita cari, jika orang itu sudah terkena kristal, bersiap aja nerima kenyataan terburuk.

Dani kembali.

“Ada orang yang lihat mobilnya Sesil.” Dani memberi info.
“Yakin?” Gue memastikan.
“Yakin. Platnya sama. Ayo buruan!” Dani menarik kami semua berdiri.

Sigit buru-buru menghabiskan es jeruknya. Lalu, kami semua terburu-buru berjalan ke arah yang ditunjukkan seseorang yang ditanya Dani tadi. Lokasinya gak terlalu jauh dari angkringan.

Benar ada mobilnya Sesil di sini. Sebuah avanza berwarna silver terparkir dengan mesin menyala. Mobil itu di lahan kosong samping sebuah percetakan. Di saat yang sama, gue mendapat telepon dari markas besar. Gue mengajak Erna untuk menerima telepon, sedangkan Sigit membantu Dani menyelidiki mobil itu.

“Halo?” Gue menyapa
“Hari! It’s big bad news. The drug was confirm contain terrigen crystal in massive amount. And...”
“And?” Gue nanya
“There’s your friend’s finger print on the plastic.”
“Sesil?” Tanya Erna.
“Yes. Matched with illustrated model by the finger you collected.”

Astaga.

“HARI!! ERNA!!” Dani teriak.

Sebuah portal terbuka menghubungkan ke ruangan di dalam mobil. Di dalam sana, dengan kondisi mesin menyala, AC berhembus dingin sekali. Di kursi mobil, Sesil duduk lengkap dengan sabuk pengamannya. Nafasnya tersengal-sengal dan sebagian besar tubuhnya telah membatu.

“Prepare an examination room. Hurry up!!” Teriak gue ke laboran itu.

Tak lama berselang, gue dan Erna berhasil mengeluarkan Sesil dari dalam mobil. Dani dan Sigit gue suruh menyingkir. Hanya gue dan Erna yang aman untuk memapah Sesil.

Dani menangis sejadi-jadinya. Sigit dengan diamnya membuat portal menuju markas besar.

---

Beberapa jam kemudian, kami dialihkan entah ke markas yang mana. Lokasi selalu dirahasiakan oleh S.H.I.E.L.D.

“Gue udah boleh jenguk?” Dani masih menangis.

Gue menengok sebentar ke arah laboran. Dia mengangguk. Lalu, Dani diizinkan masuk ke dalam ruangan dengan pakaian laboratorium safety level 4. Pakaian keamanan yang wajib dikenakan sangat lengkap dan ketat sehingga mirip seperti astronot.

Begitu Dani masuk ruangan, gue dan Erna berdiskusi dengan seorang dokter.

“Her condition getting worse. We have no cure for this.” Katanya.
“Yeah, I get it.” Gue membalas.
“We should tell Dani earlier.” Erna nyahut.

Kondisinya Sesil terus memburuk. Badan Sesil seperti digerogoti perlahan hingga menjadi batu sedikit demi sedikit. S.H.I.E.L.D. sama sekali gak punya obat untuk nyembuhin atau ngebalik proses terrigenesis ini. Sayangnya, proses pembatuan yang satu ini sangat lambat sehingga menyiksa korbannya.

Sekilas gue teringat cerita dua tahun lalu sebelum kristal terrigen tersebar ke. Ibunya Daisy Johnson waktu itu ngebunuh puluhan agen dengan sekali hembusan kristal terrigen. Begitu mematikannya kristal itu buat manusia yang gak punya gen inhuman.

“I wanna see her.” Gue menyusul Dani ke dalam.
“I need some rest, then. Join with Sigit.” Erna pergi.

Sigit sudah tidur di ruang lain. Dia kecapekan karena sering buka-tutup portal, katanya. Tapi, buka-tutup portal yang dibilang Sigit justru kedengeran kaya kegiatan satpam kompleks di bayangan gue.

Di dalam ruangan, Dani terus-terusan menangis. Dia hanya bisa menatap Sesil dari balik kaca. Ruangan berlapis di sini membuat Dani tak bisa dekat-dekat dengan Sesil. Padahal, di kasur sana, seluruh bagian bawah, kedua tangan, dan pipi kiri Sesil sudah membatu.

“Dan.” Gue ikut melihat Sesil.
“Hari..” Dani refleks memegang tangan gue kuat-kuat.
“S.H.I.E.L.D. gak punya obatnya. Kita harus relain.”
“Har... Plis. Gak gini caranya.”
“Emang gak harus gini, tapi udah kejadian.”
“Gue harus gimana? Pasti ada cara lain kan.”

Gue diam sejenak menarik nafas dalam-dalam.

“Dan.. kita harus relain.”
“Nggak, Har! Nggak!”

Sesaat kemudian, badan Sesil bergetar. Proses terrigenesisnya berjalan menjadi begitu cepat. Kami hanya dapat menyaksikan bagaimana dirinya berubah menjadi batu. Kemudian, batu itu retak dan terbelah-belah di atas kasur menjadi potongan-potongan kecil.

Dua orang yang terus mengontrol keadaan Sesil di sana tidak bisa berbuat apa-apa. Di sini, tangis Dani pecah. Kedua tangannya menggedor-gedor kaca dengan kuat. Gue pun harus menariknya menjauh ke luar ruangan.

“HUUAAAAAHHHH!! HARIIIIIIIII!!!!” Tangis Dani menggema di seluruh ruangan.
“Udah, ya, Dani... Udah......”

Dani spontan memeluk gue. Kami berdua berpelukan dengan pakaian astronot ini, tapi gak sedikit pun Dani merasa risih dengan keadaan. Terpaksa gue dorong badannya dulu, lalu gue lepas helm astronotnya dan helm astronot gue sendiri.

Dani kembali menangis dan memeluk gue. Dani terus tenggelam dalam pelukan kesedihannya. Dalam pelukan itu, gue membuka handphone dan mengetik pesan di grup rahasia kami.

“Sesil udah gak ada.”

---

POV Jamet

Tanggal 29 Januari. Pagi-pagi banget, jam 6.

Ngapain sih Jennifer udah di sini? Mana mukaku masih kusut, mata masih belekan, mulut juga masih ileran. Bahkan, waktu buka pintu pun nyawaku masih belom ngumpul. Aku coba inget-inget. Apa kemarin aku bikin janji sama Jennifer ya? Kayanya enggak deh.

Tanya langsung lah.

“Eh, Jen. Gue ada janji sama lu gak sih?”
“Hayoo lupa.” Jawabnya.
“Nyawa belom ngumpul nih.”
“Tamu gak dikasih masuk nih?”
“Eh. Yuk deh masuk.”

Aduh, malah ngasih masuk. Aku dijebak ini kayanya. Susah deh ngomong sama anak diplomat. Jago banget persuasinya.

“Maaf ya, Jen, kamarnya masih berantakan.”
“Santai aja, Met. Nih gue bawa bubur ayam buat kita berdua.”
“Oh, iya, makasih.”

Lumayan, sarapan gratis.

“Gue bikin teh ya. Lu mau?”
“Bikin deh, boleh. Tuh dispenser di situ.”

Hasil kunjungan Jennifer yang dadakan ini bikin aku kenyang pagi-pagi. Gak rugi juga ternyata. Tapi, aku tetep belom tau apa niatnya Jennifer ke sini. Aku cek wa, gak ada chat apa-apa yang isinya janjian. Aku inget-inget obrolan di telepon, kayanya gak ada janjian juga sih.

Jennifer ngapain ya?

“Siap kita?” Kata Jennifer
“Hah? Siap ngapain?”
“Siap ngapain, siap ngapain.” Dia ngeledek. Mulutnya dimonyongin
“Aku gak tau seriusan.”
“Packing lah. Kan gue bilang mau bantuin.”
“Waduh. Masih lama kali Jen. Hahaha.”

Oalah, ternyata packing. Kata-kata ngibul yang aku pake kemarin buat berhentiin teleponnya dia, ternyata dianggap serius. Kok Jennifer jadi ngeri gini sih.

“Kan masih ada wisudaan. Ntar aku pake apaan.” Jawab gue santai
“Terus kemaren packing ngapain aja?”
“Eh.. itu, beres-beres barang yang gak kepake. Iya itu hahaha.” Mulai grogi.
“Mana barangnya sekarang?”
“Udah aku buang dong.”

Aduh. Jennifer jadi gak jelas gini.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
koq rasanya pendek banget ya updatenya ini :bingung:
tambahin lgi dong om :pandajahat:
 
Waaahhhh..
Teman sudah jadi korban lagi nich, kaya e pelakunya gak jauh² amat..
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Episode 22
Wisuda


POV Eda

Jumat, 3 Februari 2017. Pagi ini, jurusan sedang mengadakan wisuda. Nanti siangnya, setelah soljum, akan dilanjutkan dengan wisuda universitas.

Kami sedang menikmati persembahan tiap angkatan. Lalu, sampailah pada penampilan Bryophyte. Anwar, Tika, Jennifer, dan Erna berjalan naik ke panggung yang berukuran kecil. Mereka semua kompak pakai pakaian casual, berbanding terbalik dengan wisudawan lain yang formal banget. Baju kaos putih dengan kemeja flanel yang gak dikancing, sedangkan bawahnya mereka kompak pakai jeans belel. Tentunya dengan tambahan hijab buat Erna.

Satu persatu mereka menuju alat musiknya masing-masing yang sudah ditaruh terlebih dulu. Ini dia! Ini dia yang bikin gue penasaran dari kemarin, di mana posisi main mereka sebenarnya.

Jennifer mengambil lead guitar dan menuju standing mic di posisi tengah.
Anwar mengambil bass, lalu menuju standing mic di sebelah kanan Jennifer.
Tika mengambil rythm guitar, lalu menuju standing mic di sebelah Jennfier.
Erna langsung duduk di belakang drum.

“Wuoooh!” Gue dan banyak anak-anak yang lain kagum.

Gue mendengar banyak cengan anak-anak kalau Anwar banyak selirnya. Ya, gak salah juga sih hahaha.

“Met, gila! Liat!” Gue nepok Jamet.
“Iya, aku liat kok.”
“Mereka megang alat semua. Yang nyanyi siapa ya?”
“Aku udah tau.”
“Tau dari mana lo?”
“Ada deh, liat aja bentar lagi.” Jamet cengar cengir.

Tepat sebelum mereka main, Dani datang bersamaan dengan Hari dan keluarganya. Mereka telat. Di sebelah gue, Jamet gak bisa pindah matanya dari kata-kata pembuka yang diucapkan Jennifer.

“Dari mana aja lu?” Tanya gue ke Hari
“Nih Kenia dandan lama amat. Yang wisuda siapa, yang ribet siapa.”
“Halo, Bang Eda.” Kenia cium tangan.
“Kok lu bisa barengan Hari, Dan?” Gue nanya Dani
“Tadi cuma ketemu mereka di depan.”

Obrolan kami terputus karena suara musik mulai dimainkan.

---

POV Jennifer

“Enjoy yaaaa!” Gue menutup kalimat pengenalan band ini.

Erna spontan memulai jamming. Dia menggebuk drumnya dengan tempo santai. Wajahnya tersenyum kecil. Selang beberapa saat, bass dari Anwar masuk. Dia memainkan kunci-kunci yang dibuatnya sendiri dengan begitu kreatif. Gerakan jarinya lentur sekali.

Setelah agak lama Erna dan Anwar pamer, masuklah gue dengan nada-nada rendah terlebih dulu. Gue memainkan tempo, yang lambat laut menjadi tinggi. Lalu masuklah suara lead Tika yang sangat tinggi melengking. Permainan melodinya membuat semua penonton bertepuk tangan, tak terkecuali para dosen yang ikut menonton.

Jamming selesai dengan tempo yang diturunkan lagi dan ditutup dengan gebukan drum Erna. Selanjutnya kami memulai lagu pertama dengan mash up dan aransemen ulang We Don’t Talk Anymore-nya Charlie Puth featuring Selena Gomez, digabung dengan Don’t Wanna Know-nya Maroon 5. Vokal perempuan bernada tinggi dinyanyikan Tika, dan vocal cowok dinyanyikan Anwar.

Ini salah satu ide gilanya Anwar lagi, yang kemudian diaransemen oleh kami berempat. Ernalah selalu paling berisik kalo ada nada yang gak pas, sehingga jadi lah musik yang menurut gue perfect ini.

We Don't Talk Anymore Mash Up Don't Wanna Know


Lagu pertama sukses menarik perhatian banyak anak-anak sampai mahasiswa yang baru kuliah satu semester untuk merapat ke depan panggung. Panggung sudah kami kuasai. Kemudian, kami akan membawakan lagu kami sendiri untuk lagu kedua.

“Bawain lagu sendiri boleh yaa???” Gue nanya penonton.
“Boleeeeh~”

“Okeee. Jadi, ini lagu biologis banget. Dibuat sama kami berempat setelah 4 tahun selalu wisata alam, masuk keluar hutan, nyebur ke laut, riset, proyek, interaksi sama indigenous people...” Gue berhenti sejenak. Mikir

“Indigenous people apa sih indonesianya?” Gue berbisik ke Tika.
“Masyarakat lokal.”
“Oh iya... Masyarakat lokal.”

Lalala~ gue melanjutkan basa basi.

“Nah, di sini kami mau nyeritain gimana bagusnya berwisata alam dari sudut pandang kami, judulnya, Pria Dengan Mahkota Daun!” Gue berbicara lagi ke penonton.

Musik dimainkan. Genre pop-rock diusulkan Anwar saat membuat lagu ini, dan lagi-lagi disempurnakan Erna. Di lagu ini, gue yang bernyanyi dengan suara rendah gue.

“Woooo!!!” Semua penonton berteriak semangat. Tidak terasa ini adalah acara wisuda.
“Tantri!! Tantri!!” Eda bersorak.
“Aiu Ratna!!” Jamet ikutan.

Gue jadi sedikit tertawa, membuat suara jadi agak lepas sedikit. Kata anak-anak memang suara gue mirip kedua vokalis itu, ada serak-seraknya dikit. Atas dasar itu juga Anwar ngusulin kalo yang nyanyi gue, maka genrenya harus pop-rock, atau funk sekalian.

10 menit yang dijatahkan panitia selesai. Tapi penonton justru minta satu lagu lagi. Dosen pun ikut bertepuk tangan karena karya kami ini. Anwar nengok ke panitia di samping panggung.

“Gimana?” Gue nanya.
“Boleh satu lagu katanya.” Jawab Anwar.
“Apaan nih?” Tika nengok ke Anwar.
“The Beginning aja ya.” Anwar ngusulin.
“Yaudah.” Jawab Tika.

Gue yang selalu jadi jubir Bryophyte, kembali bersuara. Gue bercerita sedikit kalo formasi Bryophyte mirip band jepang yang namanya Scandal. Semua megang alat musik sekaligus kebagian nyanyi. Tapi, kali ini kami mau nyanyiin lagunya One Ok Rock.

“Terakhir dari kita, The Beginning by One Ok Rock!”

Musik dimulai. Lagu kali ini lebih keras lagi. Gue kembali menjadi suara utama dan Tika sebagai suara dua. Kami semua jejingkrakan dengan lagu ini, membuat suasana memuncak.

The Beginning - One Ok Rock


Penampilan selesai 5 menit kemudian. Kami turun panggung dan diberikan minum oleh panitia. Setelah itu, gue pamit ke anak-anak untuk menghampiri jamet dan kawan-kawan.

“Eh, gue ke belakang dulu ya, nyamperin anak-anak.”
“Gue ikut deh.” Kata Erna
“Oh, yaudah. Gue mau nemenin Anwar aja ke ortunya.” Kata Tika.

Di wisuda jurusan ini, ortu gak wajib dateng. Jadi, beberapa orang tua wisudawan akan hadir hanya saat wisuda universitas nanti siang. Ortu gue dan Erna termasuk yang akan datang nanti siang.

“Hai.” Gue menyapa mereka.
“Kereeen!” Eda mengangkat dua jempol.
“Keren, Je, Na. Jadi artis dong nih ntar.” Ledek Hari.
“Eh, ini adiknya Hari ya?” Erna beralih ke keluarganya Hari.

Keasikan deh Erna sama keluarganya Hari. Gue kumpul-kumpul bareng geng tanpa ortu pagi ini. Gue, Jamet, Eda, dan Dani banyak menghabiskan waktu dengan selfie bareng. Kadang Erna dan Hari ikutan sesekali karena posisinya gak terlalu jauh dari kami.

“Erna akrab banget sama keluarganya Hari.” Kata Jamet
“Iya, kok bisa sih?” Gue membalas
“Wajar lah, kan sama-sama...” Dani gak selesai ngomong.
“Sama-sama apa, Dan?” Jamet nanya lagi
“nggak, bukan apa-apa. Lupain aja, gue ngelantur hahaha.”

Dani ngomong ngelantur. Tumbenan.

“Eh, liat tuh, Erna akrab banget sama keluarganya Hari.” Eda nyeletuk.
“...”

Di tengah obrolan kami, tiba-tiba datang Kak Rivin dengan baju turtle neck favoritnya. Dia menghampiri Eda dengan riang gembira.

“Edaaa! Selamat ya!” Kak Rivin memberi sebucket bunga mawar.
“Huachiii!!! Wangi amat bunganya sih, aduuuh.” Jamet minggir menjauh.

Gue ikut bergeser menjauh bareng Jamet menuju tempat Hari. Kami semua menatap tanpa dapat berkata-kata ke arah tiga orang yang berdiri di sana. Eda, Dani, dan Kak Rivin. Kak Rivin tampak ramah kepada Dani, tapi dia terus mengajak ngobrol Eda hingga suatu saat dia merangkul tangannya dan pergi menjauh meninggalkan Dani sendiri.

“Mereka ada apa sih? Kok kaya gitu?” Gue heran.
“Wah gawat ini.” Hari garuk-garuk kepala.
“Dani. siniiii.” Erna mengayun-ayunkan tangannya.
“Kenapa sih? Ada apa?” Gue masih belum dapat jawaban.

Erna menginjak kaki gue. Oke, gue harus diam.

---

POV Eda

Kami semua sedang duduk dalam gedung yang besar, bersiap menjalani prosesi wisuda. Wisudawan duduk tiga-tiga di setiap barisan fakultas. Gue duduk paling pinggir, Hari di tengah, dan di sebelahnya ada Erna. Jamet duduk di depan gue bareng Jennifer dan seorang lagi. Anwar dan Tika duduk di belakang gue.

“Pas banget ya duduknya kita barengan.” Hari berbisik
“Yoi, kan sesuai tanggal sidang kita.” Jawab gue.

Dari belakang, Tika nendang bangku gue.

“Resek lu. Apaan?” Gue nengok ke belakang
“Dani dateng gak?”
“Dateng kok. Dia nunggu di kantin.”
“Ribut amat sih. Ngomongin gue ya.” Jamet nimbrung.
“Yee, kegeeran.” Tika nimpuk gulungan tissu.

Hari tumben gak berisik hari ini. Dia sesekali hanya ngobrol bareng Erna yang duduk di sebelahnya dengan suara pelan. Entah apa yang bikin dia dan Erna jadi diam, apa karena kelakukan Kak Rivin tadi, atau kejadian minggu lalu yang bikin geger sefakultas.

Tidak lama kemudian, rombongan rektor masuk ke dalam gedung dan upacara dimulai. Lagu-lagu seremonial dibawakan oleh paduan suara, membuat suasana wisuda menjadi sakral. Bagi kami para wisudawan, seremoni seperti ini pasti membuat dada serasa mau meledak.

Sampailah kami pada pidato bapak rektor. Ucapan selamat, pesan, dan cerita dituturkan satu per satu. Lalu, masuklah pada ucapan duka cita terhadap meninggalnya kepada salah satu wisudawan bernama Cecilia Dyna Pelengkahu minggu lalu.

Gue nyenggol Hari.

“Har.”
“Iya, gue denger.” katanya.
“Beneran overdosis?”
“Sssst..”

Gue kembali mendengarkan pidato bapak rektor. Beliau kemudian berpesan kepada kami agar tetap menjaga pergaulan. Beliau juga berpesan kepada orang tua untuk terus menjaga anak-anaknya meskipun sudah dewasa, terlebih bagi para perantau.

“Kaya anak SMA aja dikasih pesen gitu.” Bisik Anwar dari belakang.
“SSSTTT!!” Erna langsung bete.

Gue memang belum denger detailnya. Tapi, dari kabar burung di antara mahasiswa, malam itu Dani dan Erna ceritana lagi beli obat ke apotik di pinggir jalan raya. Terus ketemu Hari, lalu mereka bertiga jadi nongkrong di angkringan. Saat itu lah mereka melihat mobil mirip punya Sesil.

Selanjutnya, gue gak begitu ngerti kelanjutannya gimana. Sampai sekarang Hari, Dani, dan Erna gak ada satu pun yang mau cerita kejadian malam itu. Kabar burung terus beredar, mulai dari kelakuan Sesil yang suka ngedrugs sampai overdosis malam itu, hingga desas desus adanya faktor inhuman.

Dua jam kemudian acara wisuda berakhir. Gue keluar aula gedung untuk menemui nyokap bokap gue. Gue awalnya menunggu Dani, tapi nyatanya yang dateng adalah Rivin.

“Halo, om, tante.” Rivin datang.
“Halooo. Siapa namanya ini?” Nyokap gue menyapa balik.
“Rivina tante hehe.”
“Da, kita duluan ya.” Hari pergi rame-rame sama yang lain.

Jamet sempat memberikan kode untuk menemui Dani. Tapi apa mau dikata, bokap nyokap gue langsung nyangkut sama Rivin di sini.

“Eda, ayo foto studio dulu.” Bokap ngajakin kami.
“Ayo, Rivin ikut yuk.” Kata nyokap.
“Eh?” Gue kebingungan.
“Udah, ngapain bingung sih, Da. Mama juga pernah muda kali hahaha.”

Gue gak pernah bisa ngebantah nyokap sama bokap dari kecil. Pun, gak pernah ada beda pendapat apapun antara gue dan mereka. Hal itu juga yang membuat gue selalu dihadiahin sesuatu yang mewah setiap ulang tahun, kaya mobil gue yang selalu dipakai sekarang ini.

Akhirnya, gue, bokap, sama nyokap melakukan pemotretan studio di salah satu tempat foto yang disediakan. Selanjutnya, sesuai janji nyokap, Rivin ikut ke dalam barisan foto. Jauh di sana, gue melihat Hari, Jamet, dan yang lainnya sedang ngobrol bersama Dani.

"Harus ya berakhir di sini?" Pikiran gue melayang jauh.

---

POV Hari

“Dan, udah gak usah diliatin terus.” Kata gue.
“Iya, yaudah yuk.”
“Foto?” Ajak gue.
“Boleh.”

Gue gak ikut foto studio karena harganya mahal. Untungnya, Kenia punya kamera DSLR pribadi untuk dokumentasi kami. Dani mengajukan diri untuk memotret kami bertiga untuk foto keluarga. Banyak foto yang Dani ambil, dan gak lupa Kenia gantian ngejepret gue bareng Jamet dan Dani, minus Eda.

Setelah foto-foto juga dengan anak-anak yang lain. Kami berpisah ke keluarga masing-masing. Dani yang sendirian karena cuma seorang tamu, jadi bergabung sama keluarga gue yang udah biasa ngobrol. Di kejauhan, gue ngeliat Jennifer narik-narik ibu bapaknya untuk ketemu sama Jamet dan keluarganya.

Banyak kejadian lucu sekaligus miris hari ini.

“Bang Eda mana, Bang?” Kenia nanya.
“Ada tuh jauh di situ.” Gue nunjuk ke kerumunan orang.
“Kok gak bareng Kak Dani di sini?”

Gue nginjek kaki Kenia dan menyuruhnya diam. Tapi tetep aja, Dani pasti udah denger kata Kenia tadi. Raut mukanya kelihatan jelas makin sedih.

“Gue main ke rumah lu aja ya malem ini.” Kata Dani.
“Takut bunuh diri ntar ya lu sendirian.”
“Serius ih.”
“Yaudah ntar sekalian pulang bareng kita aja.”
“Gue belom bawa baju.”

Gubrak. Gue berpikir mencoba cari jalan keluar sambil mengupas satu buah jeruk dari tas nyokap. Akhirnya, diputuskan nyokap balik duluan bareng Kenia. Gue nemenin Dani dulu ambil pakaiannya yang ada di kosan.

Selang setengah jam, satu per satu anak-anak pamit pulang dengan keluarganya masing-masing. Sementara itu, Jennifer terus ngobrol terus sama Jamet, padahal udah diklakson sama orang tuanya dari dalem mobil.

“Itu Bang Jamet punya pacar baru ya?” Kenia nanya lagi.
“Nggak tau tuh.”
“Itu Kak Jennifer yang nyanyi tadi bukan sih?"
“Yoi.”
“Terus, Janiar-janiar yang sering diceritain Bang Jamet dikemanain?”
“Nanya melulu lu kaya wartawan.” Gue menyuapi mulut Kenia pake potongan jeruk.

Setelah nyokap dan Kenia dapat taksi, gue berpisah dengan Dani untuk menuju kosannya. Di sana, kami sempat melewati bekas kamar Sesil yang sudah kosong. Barang-barangnya sudah dibawa orang tuanya.

Gue teringat cerita yang dipublikasikan S.H.I.E.L.D. Mereka bekerja sama dengan kepolisian untuk menutupi kasus ini dari media. Tentu saja atas persetujuan orang tua Sesil. Berita yang dilaporkan adalah Sesil overdosis suatu obat alergi, bukan narkoba yang didesasdesuskan banyak orang.

Sebagai gantinya, kepolisian meminta kerja sama kepada S.H.I.E.L.D. untuk mencari pengedar dan produsen obat yang mengandung kristal terrigen itu. Kami berempat sebagai agen lapangan di Indonesia diminta menjadi ujung tombaknya. Artinya, kami harus bekerja lebih keras mulai besok. Bahkan, kami bisa mendapatkan bantuan polisi sekarang.

Pikiran gue kembali ke kostan Dani.

Di sini, gue hanya menunggu di depan kamarnya. Gue bisa melihat Dani menghempaskan badan ke kasur, mengetik sesuatu di layar handphone, lalu membenamkan kepalanya dalam-dalam ke bantal.

Lama Dani tak bergerak, hanya badannya yang bergerak-gerak dengan nafas tidak teratur. Gue berinisiatif masuk ke kamarnya.

“Dan, masih mau nangis apa mau packing, nih?”
“...”
“Gue packingin ya. Pake tas merah ini aja ya.” Gue mengambil tas kuliahnya.
“...”
“Ambil berapa baju? Tiga? Empat?”
“...”
“Dan, gapapa nih? Itu.. celana dalem... ???”

Gue kebingungan karena Dani gak jawab apa-apa, sementara gue gak tau barang apalagi yang harus gue packingin. Barang-barang cewek banyak bener. Gue terus bolak-balik dari lemari ke meja riasnya.

Tiba-tiba Dani memeluk gue dari belakang.

“Hari, jangan tinggalin gue yaaaa. Sekarang cuma tinggal elu.”

Dani terisak-isak. Kalo gue pikir-pikir, iya juga sih. Sesil yang temen deketnya dari SMA udah pergi jauh, Jamet mau balik ke Malang, Eda berpaling. Bisa jadi emang iya orang terdekatnya Dani tinggal gue. Keluarganya? Ah biarlah, itu cerita sedihnya Dani yang lain.

"Hari... Janji.... Please...." Dani makin terisak, baju gue basah karena air matanya.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Persadani Putri


Ernawati


Kartika Rahayu



Jennifer



Kak Rivin


Kenia Dwi Lasya

 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd