Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans

Setujukah bikin sequel?

  • Gak setuju

    Votes: 2 3,6%
  • Setuju, di thread ini

    Votes: 17 30,4%
  • Setuju, di thread baru

    Votes: 37 66,1%

  • Total voters
    56
  • Poll closed .
Bimabet
ane sih punya rencana nulis di wattpad biar bisa dibaca lebih umum. Tapi episode episode awal mesti dibenerin dulu penulisannya hehehe.
 
Episode 28
Yang Eksotis Memang Menarik


POV Kenia

Sekolah hari Selasa gak ada bedanya sama hari-hari lainnya. Bahkan bel istirahat siang gak terasa udah berbunyi. Bapak guru Fisika pun tak terasa menyudahi kelasnya.

“Makan gak, Ken?” Kata Imel.
“Ayuk deh, Mel. Laper gue.” Jawabku.
“Ikut gak, Nur?” ajak Imel ke teman yang lain.
“Boleh.” Katanya singkat.

Imelda Hapsah

Gemerincing gelang Imel berbunyi saat dia menaruh handphone ke saku bajunya. Imelda Hapsah, temanku yang satu ini memang suka memakai gelang bermanik-manik. Kulitnya yang halus dan sawo matang terkesan eksotik dan cocok dengan gelangnya. Alih-alih jelek, warna kulitnya jutsru membuat kagum para cowok-cowok, sehingga suka cari-cari perhatian Imel.

Temenku yang satu lagi namanya Nurina Kusumaningrum, lebih sering dipanggil Nur atau Ibu Perpus. Sumber julukannya berawal karena rajin banget nulis semua yang dari papan tulis atau pun yang dibicarakan gurunya. Hasilnya, dia sering hafal materi di luar kepala, tanggal berapa materinya dibahas, dan ingat detail setiap perkataan guru yang pernah didengarnya.

Nurina Kusumaningrum

Kami semua pergi untuk makan nasi goreng di salah satu toko di kantin. Dengan ciri khas kantin yang ramai, muncul kebiasaan harus menunggu pesanan hingga jadi. Akan tetapi, saat baru saja satu pesanan jadi, seorang laki-laki berbadan tinggi menyelak antrian dan mengambil nasi goreng pesanan kami.

“Eh, antri napa, Yogi!” Imel sewot.

Yogi si anak kelas 3 ips, berkepala plontos dan ada bekas pitak bekas dicukur guru. Bajunya selalu dikeluarin dan kaos dalemnya terlihat jelas berwarna hitam. Intinya, semua aturan sekolah dia langgar. Dia pun sudah dicap anak paling bandel seangkatan, dan sekarang lagi caper juga sama Imel.

“Biarin sih.” Jawab Yogi ketus.
“Eh gak bisa gitu, kita udah antri dari tadi!” Imel marah beneran.

Udah kesekian kalinya Yogi bertingkah gak karuan sama Imel. Senin pagi kemarin, Yogi sok-sok nyerempet Imel pake motornya di gerbang. Minggu kemaren, Imel kena gebok bola futsal tepat di muka pas jam istirahat. Bukannya minta maaf, Yogi malah ngeledek Imel sampe nangis. Pokoknya banyak kelakuan gak wajarnya si Yogi cuma buat caper. Mental cinta-cintaan anak SD belum lepas dari otaknya.

Hari ini, dia jelas caper lagi. Kali ini dengan modus nyerobot antrian. Pastinya buat ngedapetin perhatian Imel.

“Bawel. Tinggal pesen lagi kan apa susahnya.” Ledek Yogi.
“Eh itu nasinya Kenia! Bukan punya gue! Jelas gue bawel!” Kata Imel.
“Oh, jadi kalo ini nasi lo, lo gak bawel?”
“Bacot!” Imel meledak deh.

Yogi dengan santai dan senyum tengilnya kulihat mencoba merauk muka Imel. Aku refleks menahan tangan si Yogi. Akibatnya, dia tiba-tiba langsung menatapku. Mukanya yang sangar dan tatapan matanya yang tajam membuatku panik. Spontan aku menarik tanganku lagi, lalu menyambar sepiring nasi goreng dari satu tangannya yang lain.

“Apaan sih, Ken. Orang gue mau nyubit doang. Kan gemes~” Dalihnya.
“Siniin nasi gue.” Aku mengambil nasi gorengku.
“Dasar orang gila! Yuk cabut.” Ajak Imel.
“Gila gila, tapi suka kan.” Celetuk Yogi.

PAAK! Tamparan mendarat di pipi kiri Yogi. Imel benar-benar murka. Tak terasa kami malah terlibat perdebatan yang sebenernya gak perlu terjadi. Kami pun jadi tontonan anak-anak sekantin. Di sebelahku, Nur sama sekali gak berani ngomong apa-apa.

Aku menaruh lagi nasi goreng di meja pesanan. Kami membayar nasi goreng yang gak jadi diambil walau sudah jadi. Tapi, setelahnya, aku pergi sebentar ke toko yang lain untuk membeli beberapa snack.

Sesampainya di kelas, Imel mulai menggerutu.

“Makin resek deh tuh anak. Kesel gue.”
“Sabar, Mel. Minum nih.” Aku menyodorkan sebotol minuman.
“Mana laper lagi kan gue jadinya.”
“Cemilan nih. Elu sih langsung pergi aja.”

Aku menghamburkan makanan ringan di meja.

Pikiranku melayang jauh. Melayang dan berandai-andai aku jadi inhuman, supaya dengan mudah aku bisa nolongin temen-temenku dari orang jahat dan aneh kaya Yogi. Dengan badan kecilku sekarang ini, nyaliku paling jauh ya hanya bisa seperti tadi.

“Coba gue inhuman. Gue tolongin lu dari kapan tau, Mel.” Kataku.
“Ih, apaan sih, Ken. Inhuman kan jahat.” Nur tiba-tiba buka suara.
“Bener tuh, jahat.” Timpal Imel.
“Ha? Tau dari mana?” Kata gue.
“Banyak yang bilang kok.” Jawab Nur
“Iya tuh, temen-temen di fb, twit**ter, instagram juga ngeshare gitu.” Imel nambahin.

Di facebook teman-temanku, mereka juga sering ngeshare inhuman jahat. Entah teori dari mana. Padahal sumber sharenya juga gak jelas gitu. Tapi tetep aja anak seumuran kami memang terbiasa gak mikir panjang. Ada yang seru dikit langsung dishare.

Bang Hari pernah bilang jangan suka kepancing, karena postingan provokatif kaya gitu biasanya akun robot. Mereka cuma ngeshare buat ningkatin traffic kunjungan. Habis itu akunnya bisa dijual atau memperbanyak iklan.

Balik ke perbincangan kami di kelas, aku baru kali ini ngomongin inhuman sama mereka. Itu pun karena keceplosan barusan. Tapi reaksi mereka berdua sama, berpendapat inhuman itu gak baik. Tadinya aku mau tepok jidat, tapi aku sadar akan terjadi respon yang lebih aneh lagi dari mereka.

Kelas dimulai lagi jam setengah 1, lalu akhirnya bubar setengah empat. Saat di gerbang sekolah, kami bertiga berjalan berbondong-bondong dengan siswa lainnya untuk keluar. Tiba-tiba terdengar bunyi klakson motor nyaring dari arah belakang kami. Spontan kami loncat ke samping.

Ternyata Yogi lagi. Dia membuka kaca helmnya.

“Minggir! minggir!” Teriaknya.
“Santai woi!” Imel kesal.
“Eh ada Imel, gue anterin mau nggak?” modus murahan.
“Iih, ogah gue.” Kata Imel

Yogi ini kayanya emang psikopat deh. Mana ada yang mau dianter kalo sapaan aja kaya gitu tadi. Perlu dihajar ini sih. Liat aja.

“Sok jual mahal deh.” Katanya lagi.
“Apaan sih, yuk cabut, Ken, Nur.” Imel menuntun kami melangkah lagi.

Tapi Yogi gak mau kalah, dia malah memajukan motornya dan menghalangi jalan kami keluar. Tak hanya jalan kami, bahkan jalan anak-anak di belakang kami juga ikut terhenti.

“Eh, nyadar gak lu?! Anak-anak gak bisa keluar!” Kata Imel.
“Sadar. Makanya ayo lah gue anter biar mereka bisa cepet jalan lagi.”

Kata-kata Yogi lagi lagi gak masuk di otak.

“Eh gue hajar tau rasa lu Yogi!” Aku ikutan marah.
“Bacot. Diem kek, gak ada urusan gue sama lo.”

Satpam yang menegur Yogi pun tak diindahkan. Anak satu ini super nantangin. Aku dalam hati lagi-lagi berandai-andai menjadi inhuman. Tiba-tiba, terdengar suara bisikan Kak Puri. Kami berbincang dalam batinku.

“Ken, kakak bantuin kali ini mau? Kita kasih pelajaran dia.”
“Tapi, kak? Aku ngeri.”
“Gapapa, sebentar aja. Kakak jamin badan kamu gak kenapa-napa.”
“Hmm.. Oke deh.”

Seketika badanku panas dingin dan mataku mendadak hanya bisa melihat warna hitam dan putih. Aku tahu salah satu bayangan milik Kak Puri baru saja merasuk dalam tubuhku. Entah bayangan yang mana, karena selama ini aku diikuti dan dijaga oleh dua bayangannya Kak Puri.

Dengan kendali tubuh yang masih ada padaku, aku lantas menutup kaca helm Yogi secara mendadak. Kemudian, aku geprak kedua sisi samping helmnya hingga terbelah dua dan jatuh terlepas dari kepalanya. Tak sampai disitu, muka Yogi yang tampak kaget, kugeprak lagi di bagian pipi dekat telinganya. Akibatnya, dia tersungkur jatuh bersama motornya karena ehilangan keseimbangan.

Selesai.

Bayangan Kak Puri keluar dari tubuhku dan menghilang tanpa diketahui orang-orang. Mereka terlalu kaget dengan tersungkurnya Yogi ke tanah. Sementara itu, mataku jadi agak berkunang-kunang.

“Rasain lu.” Umpat gue.
“Ken??” Imel kaget juga rupanya.
“Udah biarin aja. Yuk cabut.”

Nur tetap diam gak banyak bicara.

Aku meminta pak satpam untuk menggeser motor Yogi agar kami semua bisa keluar. Yogi sendiri berusaha bangun dengan susah payah. Dia gak ngomong apa-apa lagi.

---

POV Sigit

“Inhuman, you said? What is your problem?” Tanya Wong.
“Uh.. I think Alan works with anti-inhuman organization, and... what then.. uh..” Bahasa inggrisku kayanya masih kacau.

Wong diam sejenak.

“Follow me.” Katanya.

Master Hamir meninggalkanku berdua bersama Wong. Kami berdua sekarang menyusuri lorong rak buku. Dia mengajakku mengembalikan buku Proyeksi Astral ke raknya terlebih dulu.

Sambil berjalan, Wong sedikit menceritakan soal inhuman kepadaku dalam bahasa Inggris. Untuk orang seperti Wong, dia cukup sabar berbicara padaku yang bahasa inggrisnya masih pemula ini. Bicaranya sangat pelan dan boleh diulang-ulang kalau aku belum mengerti.

Dahulu kala pernah datang makhluk luar angkasa ke bumi dalam jumlah banyak. Semua legenda tiap suku hampir menggambarkan wujud mereka dengan kata serupa, yaitu malaikat biru. Tapi kelakuan mereka bukan seperti malaikat. Mereka menculik orang-orang untuk diubah tentara super. Beberapa tetap berwujud manusia, tapi selebihnya menjadi berubah wujud. Lambat laun pasukan ini malah memberontak. Beberapa malaikat biru itu mati di bumi dan sisanya pergi.

Begitu kira-kira kalau aku gak salah dengar.

“The soldiers? They are Inhumans?” Tanya gue.
“Yes, and they were live in peace among the people...”

Mereka hidup bersama dengan masyarakat biasa pada masa itu. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat dengan peradabannya yang masih berupa suku-suku dan hukum adat. Bertahun-tahun mereka punya keturunan manusia normal. Inhuman yang masih ada pun akhirnya satu per satu meninggal karena sudah tua. Saat ini, Inhuman yang bermunculan merupakan keturunan dari inhuman terdahulu, yang diakibatkan gennya diaktifkan karena suatu pemicu.

“Terrigen crystal.” Kataku.
“Where do you know that?” tanyanya.
“Well, my friends are inhuman..” Temen gue inhuman, Pak.

Kami sampai pada rak buku yang dituju. Beberapa buku diserahkan Wong kepadaku. Aku membaca judulnya satu-satu, Malaikat biru, Inhuman, dan Samudra Pasifik.

“Pacific Ocean?” Aku heran.
“Just read it, and you will find the answer.” Jawabnya.

Aku memilih membaca sendiri di perpustakaan ini sebelum kembali ke Surabaya. Kubuka buku Malaikat Biru, ternyata isinya sama persis seperti cerita Wong, serta dengan banyak bagian yang lebih detail. Seperti nama asli dari malaikat biru, perubahan manusia ke inhuman yang tidak bisa dibalik, dan macam-macam.

“Kree..” Aku bergumam sendiri.

Aku terus mebolak-balik halaman. Lalu suatu saat aku kepikiran satu hal. Apa mungkin Alan udah baca buku ini juga?

Di buku Inhuman, banyak sekali cerita tentang perjalanan inhuman saat dijadikan tentara serta masa-masa setelahnya. Pada satu halaman, diceritakan bahwa inhuman generasi pertama yang diciptakan Kree disebut sebagai Inhuman Kuno. Banyak sekali Inhuman Kuno yang tersebar di muka bumi. Banyak pula dari mereka yang menjadi jahat. Salah satunya pria bermuka gurita. Muncul pula sketsa wajahnya di halaman selanjutnya.

“Hive? Buset, ini gak kalah serem dari si Jeepers Creepers.” Gumamku lagi.

Muncul pula sketsa-sketsa inhuman lainnya hingga sampailah aku pada satu sketsa yang mirip sekali dengan si Jeepers Creepers. Wajahnya, kerut pipinya, bahkan kulit lehernya yang mengembang mirip kadal. Badan gue merinding seketika.


Wong bilang inhuman generasi pertama harusnya udah pada meninggal. Tapi kenapa yang makhluk yang aku lihat kemarin mirip sama yang ada di buku ini? Bahkan, kekuatannya juga dijelaskan serupa dengan apa yang aku lihat kemarin.

“Sigiiiiit!!” terdengar suara perempuan melengking.
“Suaranya..” gumamku.
“Keep quiet, Eva Tuahine!” Wong berseru tak kalah keras dari meja jaganya.

Seorang perempuan seumuranku baru saja masuk ke perpustakaan. Sendal selop kayunya ikut berbunyi nyaring di kesunyian perpustakaan. Kalung kerangnya berdencing. Tak heran kalau Wong mengomel kepada wanita itu. Seperti sebelum-sebelumnya dia hanya lewat begitu saja.

Eva Tuahine

Eva Tuahine. Cewek keturunan Samoa ini sama anehnya kaya Wong. Dia adalah salah satu penyihir muda yang memilih menetap di Kamar Taj setelah Ancient One meninggal.

“You came a few days ago and didn’t see me!” intonasinya cepat sekali.
“Uh?”
“Today, you even do not intend to see me!” mukanya sudah di depanku.
“...” aku bengong.
“Sorry, wait a second.”

Dia merapalkan sebuah segel mantra dan menelannya. Aku tahu segel itu, sebuah cara instan untuk bicara bahasa asing. Segel itu aku akui berguna sekali, tapi sayangnya gak permanen. Selain itu, efeknya bisa menyebabkan sakit radang. Jelas aku malas ambil resiko itu cuma untuk ngobrol. Lebih baik belajar sendiri pelan-pelan.

“Sigit! Kamu kemarin ke datang gak bilang! Sekarang datang gak bilang lagi!” katanya.
“Hai Eva, apa kabar? Hehehe.” Aku menjilat.
“Diem kamu!”
“Oke... Maaf?”

Permintaan maaf dengan nada bertanya. Sangat tepat untuknya.

“Harus lah!”
“Harus? Minta maaf gitu?” Tanyaku
“Ini buku samudra pasifik?”

Eva gak mengacuhkanku.

“Eh, Iya. Ini..” aku bingung mau jawab apa.
“Kenapa gak tanya aku aja. Kamu kan tau aku lahir di Pasifik.”
“Oh, boleh deh..”
“Kamu tau aturan main kita, kan.”

Ini dia, setiap pembicaraan dengannya selalu berakhir tawar menawar.

“Talk outside this room. Sigit, you can bring that books and Eva far away from here.” Wong menyela pembicaraan.

Eva secepatnya menuntunku keluar perpustakaan, padahal harusnya aku yang menariknya. Sekian banyak belokan di lorong telah kami lalui dan sampailah kami di dalam Kamar Eva. Sedikit pembicaraan kami lakukan, yang sebenarnya lebih mirip negosiasi.

“Sekarang belajar Inhuman? Cupp...” leherku dikecupnya.
“Va, kamu tau hubungan antara samudra pasifik sama inhuman?”
“Kamu tau aturannya.. cupp.. cupp..”

Aku menghela nafas.

“Sampai matahari terbenam. Oke?” Tawarku.
“No! Satu malam penuh. Deal?” Tawarnya.
“Tengah malam.”
“Satu malam!”
“Yah, oke lah..”

Kami saling pandang, lalu bibir kami perlahan saling berpagutan. Kedua tanganku melingkar di pinggangnya, dan Eva membalas memegang erat pipiku. Aku tekan bibirku dalam-dalam ke bibirnya. Kami berdua pun jatuh terbaring ke pembaringannya.

“Kamu selalu seksi.” Kata Eva.
“Tau dari mana?”
“Karena seumur-umur kamu cuma pernah sama aku kan??” Godanya.

Mau bagaimana lagi, keperjakaanku hilang pun gara-gara tawar menawar sama cewek satu ini. Gara-gara itu juga, aku pun merasakan bahwa ternyata seks enak juga kalau dilakukan dengan orang yang dicintai. Jadi, ya, aku mungkin sedang jatuh cinta diam-diam dengan perempuan manis satu ini.

Tanganku sudah menggerayangi bagian depan tubuhnya.

“Selalu ya, jutek di depan. Ganas di kasur.” Godanya lagi.
“Diem.” kataku.

Pelan-pelan aku angkat kedua kain bajunya. Kemudian, aku mulai remas payudara sebelah kirinya sambil kuhisap puting payudara kanannya. Tidak ada satu bagian dari tubuhnya yang pernah aku lewatkan. Aku selalu dibuat jatuh cinta dengan tubuh ini.

Kususuri pusarnya dengan lidahku, lalu turun lagi ke bawah bersama dengan tarikanku terhadap penutup tubuh bawah Eva. Kukecup kedua pangkal paha Eva silih berganti, yang diresponnya dengan rintihan lemah.

“Sigiit.. aahh...” Rintihnya.

Alih-alih menuju area sensitifnya, wajahku justru kembali melumat bibirnya dalam-dalam. Kumasukkan lidahku untuk menjelajah seluruh rongga mulutnya. Kini tanganku yang mulai bermain di area selangkangannya.

“Sigit.. ahh.. Sigit...” Rintihnya lagi.
“Udah basah.” Kulepas lumatanku.
“Karena kamu!”

Eva berbalik membalas lumatanku. Kini posisi kami berbalik. Eva mendorongku hingga terbaring, lalu dia wajahnya sudah berada tepat di bagian tonjolan penisku yang masih bercelana.

“Ronde pertama jangan lama-lama. Aku mau ini.” Eva meremas-remas penisku.
“Kalo gitu bukain.” Pintaku asal.

Dengan telaten Eva membuka baju dan celanaku. Entah pakaianku dibuangnya ke lantai sebelah mana. Aku tak sempat melihatnya. Genggaman tangan Eva di kepala penisku sudah membuatku melayang.

Selang berapa lama, Eva menggenggam pangkal penisku kuat-kuat. Penisku sekejap masuk ke dalam kedapnya mulut Eva. Kepalanya bergerak naik turun membahasi setiap sisi batang penisku tanpa henti. Setelah dirasanya cukup basah, dia lalu mendiamkan mulutnya hanya di bagian kepala penisku. Tangannya sekarang yang bermain mengocok dengan tempo cepat, bergerak maju dan mundur terus menerus.

“Aaaahh, Evaa.. katanya ronde pertama jangan lama-lama...”
“Hihihi.” dia cekikikan.

Eva bangkit. Dia mendudukiku. Diarahkannya penisku agar tepat mengarah ke liang senggamanya. Lalu Eva bergerak turun.

Blesss... begitu batangku masuk sempurna, Eva langsung bergerak cepat. Dia menggerakkan pinggulnya sesuka hati tanpa henti. Eva tampak jelas ingin mengejar puncak birahi secepat-cepatnya.

“Sayaang.. Ahh.. Ini enak banget.” Katanya.
“Kamu juga.. Ahh.. Enaaakhh...” Balasku.

Kami dapat saling merasakan hasrat mengejar orgasme secepat-cepatnya. Kami seperti saling ingin memberikan bukti rasa kangen selain dari kata-kata. Goyangan Eva detik demi detiknya membuatku semakin mabuk dalam nikmatnya percintaan ini.

Aku mulai merasakan orgasmeku sudah dekat. Pinggulku naik dengan sendirinya, berusaha menekan lebih kuat ke dalam vagina Eva. Aku rasa Eva juga mengetahuinya.

“Evaa.. Ahh.. aku mau keluaaarrhh..”
“Aku jugaaaaaa...”
“Di manaa??”
“Di dalem aja sayang... ahhh..”

Rasa nikmat itu akhirnya menerjang. Cairan cintanya menyelimuti penisku seiring spermaku menyembur hangat ke dalam rahimnya. Tubuhnya seketika ambruk di atas tubuhku. Peluh kami menyatu.

“Kamu selalu seksi..” bisiknya.
“Kamu terlalu bernafsu. Malam masih panjang.” Balasku.
“Yap, malam masih panjang. Lagi?” Eva selalu sempat menggoda.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Kenia Dwi Lasya


Imelda Hapsah



Nurina Kusumaningrum



Eva Tuahine

 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Episode 29
Museum Angkot


POV Hari

Masih di hari Selasa, 21 Februari. Setelah Isya, kami diajak berjalan-jalan mengelilingi Kota Malang. Paklenya Jamet masih setia mengantar kami berkeliling, dari melihat universitas negeri yang ada di Malang dari depan jalanan, hingga ke alun-alun.

“Foto gaeees!” Ajak Tika.
“Ayoo!.” Seru Dani.

Kami semua berpadat-padatan agar muat dalam ruang kamera smartphonennya Tika. Background tulisan ‘Alun Alun Malang’ adalah hal wajib malam ini. Begitu juga dengan wajibnya kecanggungan Dani sama Eda.

Lelah dengan berfoto ria dan kaki yang pegal mengitari alun-laun, kami memutuskan untuk makan-makan di salah satu angkringan.

“Met, jam berapa sekarang?” Tanyaku.
“Jam 10 kurang. Kenapa? Udah mau balik?” Tanyanya balik.
“Bukan...”
“Terus kenapa?”
“Ah elu, Met. Itu liat sebelah lu.” Eda menginterupsi sambil menunjuk ke seorang wanita.

Eda menunjuk ke arah Janiar. Tadi sore Jamet mengajak Janiar untuk ikut main bersama kami. Dengan santainya, dia mengajak Janiar seolah bukan masalah yang besar. Dengan santainya juga, sekarang Janiar mengobrol banyak dengan Jennifer.

“Tenang aja, gak bakal dicariin dia mah.” Kata Jamet.
“Masa sih?” Alisku kunaikkan.
“Mau nginep di rumahku kok malem ini.”
“What the hell??!” Reaksinya Eda.

Hubungan macam apa mereka itu. Mantan-mantanan macam apa si Jamet sama Janiar ini. Apa reaksinya Jennifer nanti kalo tau Janiar akan nginep.

Satu per satu pesanan makanan diantarkan. Kami bercanda ria di tengah dinginnya kota Malang malam hari bersama segelas jeruk panas, kecuali bagi Anwar, Tika dan Dani. Mereka bertiga lebih memilih minuman ESTMJ ketimbang jeruk panas.

“Temen-temen, besok kita ke Kota Batu ya.” Jamet memberi pengumuman.
“Aseeeek.” Sorak Anwar.
“Gue mau ke Museum Angkot, dong.” Kata Tika.
“Wih, gila ya yang udah prepare info.” Eda geleng-geleng.

Tika memang paling prepare. Setiap jalan ke tempat baru, dia selalu browsing dulu segala macam infromasi sampai ke bagian yang paling detail. Dalam situasi kaya gini sebenernya sih gak perlu, karena Jamet udah jadi tourguide paling ampuh. Apalagi ada Janiar. Tapi, oke lah buat pelajaran gue nanti-nanti kalo mau jalan sendiri.

“Aku gak ikut ya. Kalian have fun aja.” Janiar menanggapi.
“Gapapa kok, Janiar. Jamet bisa jaga diri hahaha.” Anwar becanda.

Becandaan Anwar gue tau bukan buat Janiar, tapi buat Jennifer. Tapi Jennifer sendiri kayanya tetep santai-santai aja. Hanya saja, dia jadi gak banyak berkespresi. Entah Jennifer memikirkan apa sekarang.

“Batu itu searah sama ke Kebun Raya Purwodadi gak?” Erna bertanya.
“Beda arah sih. Mau ke sana, Na?” Jamet nanya balik.
“Ya kalo sempet aja waktunya.”
“Gampang, bisa diatur.” Jamet memberikan jempolnya.

Jam sebelas lebih sedikit akhirnya kami sampai kembali ke rumah Jamet. Setelah beberapa saat berisik di ruang tamu, kami masuk ke kamar masing-masing. Kami semua kebagian kasur lipat. Sambil nunggu ngantuk, Eda sama gue saling bertanya-tanya, “tidur di manakah Janiar dan Jamet?”

Tiba-tiba Jamet mengetuk pintu. Anwar bangun dari tempatnya untuk bukain pintu.

“Aku tidur sama kalian bertiga ya. ” Kata Jamet
“Waaah, gue tau nih...” Anwar senyum-senyum sendiri.
“Udaah, diem.” Jamet malu.

Janiar ternyata tidur di kamarnya Jamet sendirian.

“Parah lu, kasian Jennifer~” ledek Eda.
“Kok Jennifer yang kasihan?” tanya Jamet.
“Sumpah ya, Met. Masa lu gak tau sih?” Gantian gue yang ngomong.
“Ya, aku ngerasa ada yang aneh dikit sih.” Tanggapnya.
“Begitu lu bilang dikit??” kata gue lagi.

Gue akhirnya menceritakan hasil pengamatan gue sejak momen wisuda hingga di kereta kemarin. Cerita gue pun diaminkan oleh dua cowok di sebelah gue. Tapi, Jamet lagi-lagi melakukan pembantahan.

“Aku sama Jennifer ya cuma temen, sama kaya ke Dani, Erna, sama Tika.” Bantah Jamet.
“Met, met.” Eda geleng-geleng.
“Kayanya gue tau nih akar ceritanya.” Anwar bernada sepeti motivator.

Anwar bercerita soal beberapa waktu lalu, waktu Jamet ikut gengnya mereka jalan ke GI. Kalo gak salah itu hari yang sama waktu Erna nunjukkin identitas inhumannya ke gue. Menurut Anwar, waktu itu Jamet keliatan canggung banget jalan di mall elit. Lalu, masuklah Jennifer dengan cerita idealisnya soal konservasi dan perubahan iklim. Jamet menanggapi ceritanya terlampau serius sampai akhirnya mereka terpisah jauh dari jarak jalannya Anwar dan Tika.

“Lu pada tau kan, geng kita seriusnya kaya apa soal tumbuhan. Soal konservasi?” Anwar berbicara dengan posisi kepala yang lebih maju dari badannya. Sebuah sikap yang mencirikan antusiasme saat bercerita.

“He-eh..” Eda ikutan antusias.
“Nah, yang paling idealis itu ya Jennifer. Makanya dia susah dapet pacar.”
“Oooh.” Gue ngerti.

Gue ngerti. Jennifer gue rasa cuma mau mencairkan suasana sama Jamet selama di mall. Eh, akhirnya dia sendiri yang kebaperan. Jamet bener-bener dah, suka nasehatin gue supaya move on dari Puri, eh dia sendiri malah bikin baper anak orang.

“Lu, Met. Pokoknya salah lu dah semuanya.” Klimaks ceritanya Anwar, salahkan Jamet.
“Waaah Jamet~” gue sama Eda jadi kompor.
“Udah dong.” Jamet salah tingkah
“Jadi, nikah sama siapa maunya, Met?” ledek gue.
“Tidur woy, tidur. Besok jadi mau jalan ke Batu gak nih?” Ancam Jamet.

Satu rasa penasaran terpecahkan, kenapa Jennifer bisa nempel sama Jamet. Satu lagi yang harus sebisa mungkin gue korek adalah cerita tentang Janiar. Diam-diam aku membuka handphone dan mengetik pesan wa ke Dani.

Gue: Dan, Jennifer apa kabar?

---

POV Dani

Hari ngechat gue. Lalu gue balas singkat, "Baper."

Jennifer terus menerus curhat soal kedekatannya sama Jamet. Ceritanya dibuat seakan-akan pilu dan Jamet berkali-kali dibilang gak peka. Bagian yang gak peka itu gue setuju sih.

“Aku kira dia udah ngelupain mantannya.” Curhat Jennifer.
“Lu gak nanya gue dulu sih kesehariannya Jamet.” Gue menanggapi.
“Emang lu tau?”
"Nggak. Hahaha." tawa gue garing.

Jennifer ngambek lagi.

"Serius banget emang lu mau sama Jamet?” Tika ikut bicara.
“Gue gak pernah seserius ini lah, Tik. Lu tau kan...”
“Iya, iya. lu susah dapet pacar.” Selak Tika.

Curhatan demi curhatan Jennifer terus keluar.

“Jen, tapi lu paham kan.” Erna juga ikut bersuara.
“Paham apa? Ngomong jangan setengah-setengah napa, Na.” Gue sewot.
“Jennifer sama Jamet kan, yah, beda keyakinan.” Jelas Erna.

Gue dalam hari membenarkan apa kata Erna. Jamet itu muslim tulen, sedangkan Jennifer jelas bukan.

“Hmmm...” Tika bergumam.
“Mau diterusin beneran?” Erna menekankan lagi.
“Tapi, baru kali ini gue ngerasa nyambung kalo cerita.” Katanya.

Jennifer terdiam sebentar, terus dia lanjut bercerita lagi seolah itu bukan masalah besar.

Yah, sudahlah. Tika mungkin lebih ngerti cara ngasih logika yang bener ke Jennifer. Janiar sama Jennifer jelas adalah sebuah kontradiksi. Selain beda keyakinan, penampilan sehari-seharinya Janiar itu juga berbanding tebalik dengan dia. Janiar berjilbab dan manis. Dari ceritanya Jamet, Janiar juga gak pernah bermake-up ala-ala untuk sekedar main atau ke kampusnya.

Kalo dibandingin sama kesehariannya Jennifer, jelas berbeda jauh. Jennifer selalu tampil casual dan tetep modis. Kacamatanya aja bahkan bermerk.

Ditengah curhatannya Jennifer. Tiba-tiba pintu diketuk.

“Siapa?” tanya Tika.
“Aku. Janiar.” Suara dari luar.
“Mampus deh lu.” Gue melotot ke Jennifer.

Tika membuka pintu.

“Aku tidur di sini ya. Sepi sendirian di kamarnya Jamet.” Janiar membawa bantal.
“Silahkan, silahkan.” Ajak Tika.
“Aku samping Jennifer ya.” pinta Janiar tanpa merasa risih.
“Mampus kuadrat.” Gumamku dalam hati.

Mungkin buat Jennifer ini adalah awal malam yang gak diduga-duga. Malam yang akan sangat panjang walaupun ditinggal tidur. Pasti rasanya miris banget, dan terasa cuma buat Jennifer seorang.

Keesokan harinya, kami semua sudah bersiap-siap. Setelah semuanya kebagian mandi, kami berkumpul untuk makan pagi di ruang tamu. Tepat jam sepuluh, mobil elfnya Pakle sudah datang menjemput. Kami berpamitan dengan orang rumahnya Jamet untuk menuju Kota Batu. Janiar sekaligus pamit pulang.

Jamet langsung ditempel Eda untuk duduk di depan, di samping sopir. Inisiatif itu diputuskan mendadak supaya gak ada insiden aneh-aneh. Di belakangnya, gue, Erna, sama Hari duduk bertiga. Di barisan ketiga, ada Anwar, Tika, sama Jennifer.

“Met, gak kesiangan kita berangkat jam segini?” tanya Hari.
“Nggak lah, paling jam dua belas kurang udah sampai.” Jawabnya.
“Weekdays juga sekarang, gak macet.” Sambung Paklenya Jamet dengan suara ngebass.

Mobil perlahan meninggalkan jalanan di lingkungan rumah Jamet. Kota Batu, kami akan jajah kamu hari ini.

---

POV Sigit

“Sigiiithh...” desah Eva.
“Evaaa.. sshhh..”
“Sigiiit.. aku mau keluar lagiiih...”

Badan Eva melengkung di bawah tindihanku. Selangkangannya di tekan kuat-kuat hingga penisku terasa seperti diremas. Aku pun juga tak kuasa membendung orgasme. Spermaku menerjang deras ke dalam rahim Eva.

Sesaat kemudian aku berbaring ke samping Eva. Kami berdua berusaha mengatur nafas setelah permainan singkat pagi ini. Kami berdua sungguh bisa menikmatinya.

“Udah pagi.” Kataku.
“Iya udah pagi, tapi kamu tadi tidur lima jam.” Ledek Eva.
“Tetep aja udah pagi~” aku melet.
“Dasar.”
“Sekarang ajarin Samudra Pasifik.” Pintaku.

Kami berdua bangun dari kasur untuk mandi pagi sendiri sendiri. Lalu, kami pergi keluar untuk sarapan. Akhirnya, belajar sejarah yang dijanjikan Eva jadi ngaret jauh dari rencana.

“Kapan ceritanya? Aku terpaksa bolos kuliah pagi nih.” Aku mendadak malas.
“Oh, sekarang kuliah?” Eva mengunyah makanannya.
“Iya, disuruh bapak.”

Usai makan, barulah Eva mulai cerita.

“Dulu banget, puluhan ribu tahun lalu orang-orang Mikronesia dan Melanesia mulai berlayar ke timur. Ada juga mereka yang asalnya dari Sulawesi, Maluku, sama Papua. Bangsa kamu.”

Aku belum sempat mencerna kata-kata Eva. Dia ngomong banyak dan cepet banget.

“Tunggu dulu, Melanesia? Mikronesia? Itu apa?” aku memotong.
“Buka bukunya dong, Git.”

Aku mengambil cincinku dari saku. Kemudian, aku buka portal kecil seukuran tangan untuk mengambil ketiga buku pinjamanku dari kamar Eva. Aku mulai membalik-balik halaman dari buku Samudra Pasifik. Tertera sebuah peta pada halaman awal dengan tulisan latin yang lebih modern.


“Ini Mikronesia. ini Melanesia.” Tunjuknya ke peta itu.
“Ini bukannya Oceania?” tanyaku.
“Oceania itu benua, kalo Mikronesia semacam wilayah geografis lainnya.”

Eva lanjut bercerita. “Orang-orang itu terus berlayar ke timur hingga menemukan banyak pulau baru. Lalu, sampai lah mereka ke Polinesia bagian barat. Fiji, Tonga, dan Samoa. Setelah itu, terjadi kasus ‘The Long Pause’. Pelayaran terhenti selama dua ribu tahun hingga akhirnya mereka mulai berlayar lagi. Hawaii di utara, Pulau Paskah di timur, dan Selandia Baru di selatan akhirnya mereka kolonisasi sekitar seribu tahun lalu.”

Aku punya pertanyaan yang muncul di benakku.

“Selama dua ribu tahun itu memang ada apa?”
“Nah, ini yang menarik...”

Eva menerangkan bahwa teori ilmu pengetahuan saat ini menjelaskan tiga kemungkinan. Pertama, ada fenomena El Nino yang berkelanjutan hingga menyebabkan perubahan arah angin. Kedua, ada bintang yang meledak jauh di langit sana hingga menyebabkan navigasi mereka terganggu. Ketiga, ada ledakan populasi alga yang menyebabkan keracunan.

Tapi, katanya, ada catatan unik tersembunyi di suku-suku tersebut. Semuanya bercerita tentang malaikat biru yang turun dari langit. Selama beberapa waktu, masyarakat mereka dikacaukan oleh para malaikat biru. Lalu muncul kelompok inhuman yang memberontak, menyebabkan kekacuan di laut pasifik dalam waktu lama.

“Oke..” aku mulai paham.
“Inhuman kuno itu udah pada mati. Tapi, beberapa punya waktu hidup yang lama.”
“Oke..” aku makin paham.

Eva menjelaskan kejadian inhuman bernama Hive. Dia mendapatkan informasi kalau Hive dikirim ke planet yang jauh pada abad pertengahan saat perang dengan Kree. Tapi tahun kemarin dia baru saja kembali ke bumi. Sayangnya, itu tidak berlangsung lama. Hive mati diluar angkasa di dalam sebuah pesawat yang terbang vertikal.

Aku lanjut membuka buku Inhuman. Kutunjukkan gambar si Jeepers Creepers.

“Kalo yang ini gimana?” tanyaku.
“Inhuman yang itu, kayanya aku pernah lihat gambarnya di tempat lain.”
“Di mana?”
“Aku lupa, nanti aku cari.” Eva lanjut minum.

Eva beralih cerita.

“Aku dengar soal Alan.” Katanya.
“Ya, dia itu...”
“Kita hadapi dia bareng-bareng.” Eva menggenggam tanganku.

Beberapa waktu kemudian aku pamit dan membuka portal. Aku memilih kembali ke Penthouse untuk mandi di sana, lalu pergi lagi ke Surabaya untuk ngampus. Kukirimkan teks ke Mas Hari di aplikasi rahasia.

Sigit: Mas Hari, aku dapat info inhuman
Hari: Apa?
Sigit: Nanti sore atau malam aja cerita di Penthouse bisa?
Hari: Tengah malam ya
Sigit: Oke
Dani: Wey, gue sama Erna ikut lah

Aku membuka portal di belakang gedung. Kunikmati siang ini seperti biasa. Kuliah, bla bla bla...

---

POV Hari

Kami tiba di Kota Batu jam dua belas siang. Banyak sekali pilihan wisata di sini. Atas saran Jamet, kami memutuskan terlebih dulu main ke Museum Angkot. Ini sekaligus permintaannya si Tika juga sih.

Begitu masuk, suasanya dan mobil-mobil yang dipajang membuat gue terbengong-bengong.

“Bagus gila.” Gue takjub
“Bagus dong.” Kata Jamet.
“Gue kira museum angkut isinya angkot gitu.”
“Kamu kira isinya kopaja semua gitu? hahaha”

Gue mengangguk, diikuti dengan tawa panjang Jamet. Selanjutnya, kami mengunjungi banyak zona, mulai dari zona Sunda Kelapa, edukasi, hingga Eropa dan Hollywood. Dari berbagai zona yang kami lewati, Zona Hollywood paling menyita waktu kami. Lebih tepatnya menyita waktu Tika, Dani, sama Erna. Mereka heboh foto-foto sendiri.

“Met, abis ini...”

Gue mau nanya ke Jamet, tapi ternyata dia ngilang.

“Jamet mana?” Tanya gue ke Eda.
“Eh bukannya sama lu terus tadi?” jawabnya
“Eh, masa Jeruk juga ilang.” Anwar nimbrung.
“Aduh.” Eda tepok jidat

Tika, Dani, sama Erna yang sibuk foto mulai melihat gelagat kami yang kebingungan. Sesaat kemudian mereka ikut bergabung dengan obrolan kami.

“Ada apa sih?” Tanya Tika.
“Jamet ngilang sama Jeruk.” Kata Anwar.
“Gue telepon deh ya.” Solusi dari Tika.

Tika menyetting loud speker. Suara nada sambung terdengar. Kami semua menunggu Jennifer mengangkat teleponnya.

“Dih direject.” Tika.
“Yaudah gue yang telepon Jamet deh.” Kata Eda.

Kami kembali menunggu. Tapi baru sebentar, ternyata suara mbak-mbak kartu seluler yang menjawab panggilan. Handphonenya Jamet mati.

“Gimana sekarang?” Tanya Eda
“Ada yang punya nomor Paklenya Jamet gak?” gue nanya balik.

Semua menggeleng. Kami berpikir keras karena semuanya baru pertama kali ke sini. Semuanya, termasuk gue, masih buta arah.

“Keliling random aja yuk. Palingan Jennifer lagi modus.” Ajak Tika.
“Kasih tau ntar kita nunggu di mana gitu.” Anwar ngasih solusi lainnya.
“Ketemu di depan pintu masuk Pasar Apung Nusantara ntar jam 4. Mau?” Kata Tika.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Persadani Putri


Ernawati



Kartika Rahayu


Jennifer



Janiar Wulandari



Eva Tuahine
 
Terakhir diubah:
Dari awal banyak yang nanya kenapa ane sering posting foto duluan, dan ceritanya lambat muncul.

Jadi gini, ane harus ngedit ceritanya dulu setelah dipindah dari word ke reply thread. Ane ngecek ulang mulai dari spasi, typo, sampe kalimat yang gak kedengeran enak. Semacam revisi terakhir gitu lah, dan itu butuh waktu rata-rata 20 menitan. Itu pun ternyata masih ada yang kecolongan hehehe.

So, lebih baik masukin foto dulu. Sekaligus bisa menambah rasa penasaran om-om, kenapa bisa ada karakter si cewek dalam episode yang bersangkutan. Begitu om-om semua.

Punten. Enjoy cerita saya yak.
 
om @Robbie Reyes udh pernah ke museum angkut ?
koq bumble bee ga dimasukin ya :bingung:
biasanya bumble bee salah satu hal wajib yg diveritain klo ke musem angkut
zona holywood jg biasanya yg jd tmpat singgah palding lama buat foti
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd