Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans

Setujukah bikin sequel?

  • Gak setuju

    Votes: 2 3,6%
  • Setuju, di thread ini

    Votes: 17 30,4%
  • Setuju, di thread baru

    Votes: 37 66,1%

  • Total voters
    56
  • Poll closed .
Episode 36
Berbaikan dengan Hati


POV Jamet

Sabtu pagi ini kami makan pagi bersama kedua Mbahku. Setelahnya, kami akan berjalan kaki ke Kebun Raya Purwodadi. Wajah-wajah kelelahan yang terpampang tadi malam sudah sepenuhnya hilang. Usai makan, masing-masing anak mempersiapkan barang-barang mereka. Erna tampak paling mencolok karena ribet bersih-bersih kamera sendiri.

Aku kembali memberikan pesan pribadi via whatsapp kepada Hari soal rencana kami. Kuingatkan dia untuk memberikan spare waktu agar Eda bisa bicara empat mata sama Dani. Sisa anak yang lain, biarkan mereka bermain sepuasnya.

Tepat jam sembilan, kami siap berangkat. Perjalanan dari rumah ke pintu utama Kebun Raya hanya butuh waktu 10 menit berjalan kaki. Sepanjang perjalanan, aku agak canggung juga dengan sikap Jennifer yang selalu mencoba mendekatkan diri sama Janiar. Banyak sekali topik yang mereka bicarakan seakan gak habis-habis.

Sesampainya di depan pintu masuk, kami tak luput dari kegiatan selfie. Tika, Dani, Jennifer, dan Janiar silih berganti meminta Erna menjadi juru foto mereka. Jennifer dan Janiar entah bagaimana ceritanya, bisa menjadi sangat nempel. Eda terus bertanya heran soal itu, sedangkan aku sendiri pun tak tahu jawabannya.

“Uang, uang, ayo kumpulin.” Aku mengumpulkan uang untuk membeli tiket.
“Aduh, aku lupa bawa dompet.” Janiar merogoh seluruh kantongnya.
“Coba dicek lagi.” Saranku.

Aku dan Eda liat-liatan tanpa ekspresi.

“Beneran gak ada.” Janiar tetap panik.
“Yaudah aku bayarin dulu, daripada balik lagi.” Aku mengambil inisiatif.

Aku bisa meliat ekspresi Anwar dan Tika yang membentuk huruf O tanpa suara di bibirnya. Sebuah ekspresi kaget yang dibuat-buat tanpa suara. Di sudut mataku yang lain, Hari dan Eda cuma cengar-cengir.

“Met...” Jennifer memanggil.
“Yap, kenapa, Jen?”
“Dompet gue ketinggalan juga kayanya.” Jennifer sambil membongkar tas tenteng kecilnya.
“Nih dompet di kantong belakang lu.” Dani menepuk pantat Jennifer.

Terdengar suara tawa mendengus Anwar dan Tika.

Kami sudah berada di dalam kebun raya. Kegiatan paling pertama tentu saja menuju spot spot menarik untuk foto bersama. Setelahnya, gue membebaskan mereka keluyuran ke mana saja dan tentunya menjalankan rencana.

“Ke mana nih?” Tanya Tika.
“Bebas. Fotonya udahan?” Tanyaku balik.
“Foto sih sambil ngikut aja ntar.”
“Kalo gitu ke taman meksiko aja dulu kita, kemon.” Aku menggiring mereka.

Di taman meksiko, kami kembali berfoto ria. Erna sempat mencuri waktu menjepret banyak tumbuhan dari beberapa angle sembari melayani permintaan narsis Tika. Aku mulai mencari celah waktu untuk kami menghilang satu per satu, sementara Hari mengalihkan perhatian Dani.

“Da, ntar jalan lurus aja terus sampai taman bougenvilea.” Aku menyarankan.
“Bagus tempatnya?”
“Bagus, tapi lumayan rame. Jangan sampe mewek ntar.”

Kami kembali berjalan di jalan aspal besar, membiarkan Hari dan Dani berjalan paling depan. Sementara itu, Eda mengikuti sendirian di belakangnya dengan gugup. Saat jarak kami cukup jauh tertinggal, aku menepuk bahu Anwar untuk mengajaknya melakukan pelarian massal. Aku, Janiar, Jennifer, Anwar, Tika, dan Erna berbelok ke kiri tiba-tiba, meninggalkan Hari, Dani, dan Eda yang berjalan paling depan.

Aku menggiring anak-anak di jalan setapak di bawah rerimbunan pohon. Kuharap kami sudah menghilang dari pandangan Dani. Selanjutnya kukirimkan pesan wa kepada Hari untuk menyusul kami ke sebelah kiri, menuju tempat tanaman obat.

---

POV Dani

“Met, ini lumayan ram...” Gue menoleh ke belakang.

Semua orang menghilang, hanya menyisakan Eda yang terlalu asik bermain dengan gadgetnya. Hari dan Eda juga baru saja sadar dengan keadaan, mereka berdua ikut kebingungan.

“Eh, pada ke mana anak-anak?” Kutanya Hari.
“Waduh, gue juga gak tau.” Hari juga kebingungan.
“Gue telepon aja ya.”

Nada sambung terdengar, tapi Jamet sama sekali gak mengangkat panggilan gue. Begitu pula dengan kelakukan Tika, Jennifer, dan semua anak-anak yang lain. Mereka gak mengangkat panggilan gue yang sudah berkali-kali.

“Diangkat?” Tanya Hari.
“Nggak.” Gue menggeleng.
“Kayanya gue tau mereka ke mana. Gue susulin dulu ya.”

Kalau Hari menyusul anak-anak yang lain maka artinya gue akan berdua dengan Eda. No Way!

“Gue ikut.” Pinta gue.
“Gak usah.” Hari buru-buru memotong.

Bantahan Hari menciptakan keheningan di udara. Aku mulai curiga ada konspirasi dibalik kejadian ini. Entah apa yang mereka rencanakan.

“Jamet bilang kita mau ke taman bougenvilea. Gue ke sana duluan deh.” Eda angkat bicara.
“Tuh.” Hari menunjuk ke arah Eda dengan telunjuknya.

“Ogah.” Jawab gue.


Hari melotot padaku. Rasanya dibalik kejadian ini memang ada permainan yang direncanakan. Lebih parah lagi, semua orang bersekongkol. Gue gak suka kalau begini cara mainnya.


“Pada ada apaan sih. Gue gak suka begini ya.”
“Itu.. ehmm..” Hari jelas sekali sedang panik.
“Dani, jadi gini... gue mau ngomong sama lu empat mata.” Eda kembali bicara.

Tubuh gue berdesir, rasanya seperti hangat sesaat. Rupanya memang ada rencana masif yang dibuat bersama dengan Eda. Kulihat Hari membuka kedua telapak tangannya untuk menyerahkan keputusan kepada gue, antara menuruti mau Eda atau nggak.

Gue bimbang.

“Dan, ayo.” Eda menggenggam tangan gue.

Gue langsung menarik tangan gue sendiri secara paksa. Lidah gue membentur langit-langit mulut, menyebabkan suara berdecak. Mata terpejam sekilas dan gue menghela nafas.

“Oke. Tapi jangan pegang pegang.” Gue memberi syarat.
“Fine.” Jawab Eda.

Kami berdua berpisah jalan dengan Hari, melanjutkan kira-kira setengah jalan yang tersisa menuju taman bougenvillea. Eda bilang, cukup lurus saja mengikuti jalan besar. Kami berjalan berdua dengan canggungnya. Eda tampak berkali-kali seperti akan mulai bicara, tapi berkali-kali juga mulutnya kembali terkatup. Gue rasa dia jelas bingung mau berkata apa, karena dia tahu dia salah.

Eda salah. Harus.

Maka kubuka saja pembicaran untuk meminta cerita langsung dari sumbernya. Kuharap efek obat yang telah kuminum secara teratur membuatku lebih bijak menghadapi situasi baper ini.

“Ceritain waktu wisuda itu.” Pintaku tegas.
“Oke, gini...”

Eda bercerita lengkap soal tingkah laku Kak Rivin yang agresif, kesalahpahaman kedua orang tuanya, dan pernyataan cinta Kak Rivin di apartemen Eda.

Kalau Eda menerimanya, maka hampir kupastikan mereka telah melakukan seks sepuasnya hingga sekarang.

“And you did it?” Gue tanya lagi
“Nggak. Maksud gue, Iya. Eh, enggak.. Enggak pas malam itu.” Eda gugup.
“Sama aja.”

Gue menghela nafas dengan sinis. Mereka sudah ML. Sudah cukup. Gak ada yang yang perlu dijelaskan lagi oleh Eda. Gue udah paham, dia menerima cinta Kak Rivin karena terimingi sebuah status yang jelas.

Ada perbedaan yang jelas ketika Eda dan gue menjalani hubungan, karena gue tidak pernah secara harfiah menerima cinta Eda. Eda gak bisa memahami keinginan gue. Sejak dulu.

Kami sampai pada sebuah lokasi yang nyaman untuk duduk. Sambil menghela nafas untuk kesekian kalinya, sebaiknya memang kuceritakan lagi saja pada Eda.

“Eda, temen gue yang baik, tau kan kenapa gue gak pernah bisa ngejawab pernyataan cinta lu?”

Ada penekanan gue dalam pelafalan kata cinta.

“Tau. Karena trauma momen manis si Bowo, mantan SMA lu kan.” Eda menjawab datar.
“Nah.”

Gue mengingatkan kembali kepada Eda pada masa gue berpacaran dengan seorang senior bernama Bowo waktu kelas 1 SMA. Dia memberikan macam-macam, bahkan dia bisa akrab dengan keluarga gue yang sangat menjengkelkan. Oleh sebab itu, dengan sukarela, gue menyerahkan mahkota keperawanan kepada Bowo. Tapi, baru 3 bulan gue menjalani kuliah di provinsi berbeda, Bowo menghamili orang lain.

“...Gue berusaha menjalani hubungan dengan cara berbeda, Da.”
“Oke. tapi gue tetep gak bisa tanpa status. Di situ masalahnya.” Eda menanggapi.

Kami berdua menghela nafas bersama-sama. Menarik dan menghelas nafas adalah cara terbaik menurunkan tensi percakapan. Apalagi, di sini lumayan banyak orang.

Gue menyadari ini memanglah akhir dari segala kisah cinta kami berdua selama dua tahun lebih. Dimulai dari persahabatan yang konyol, lalu menjadi sepasang kekasih tanpa status, lalu harus hancur karena orang lain. Tapi untungnya, semoga, persahabatan kami kembali seperti awal meski pun tetap ada luka yang membekas.

“Kalo gitu kita temenan lagi kaya dulu?” Gue mengonfirmasi.
“Yap.”
“Jaga Rivin. Jangan diputusin lagi.”

Kami tertawa bersama-sama tanpa beban. Sebenarnya ada, tapi minor.

“Udah?” Tanya Eda.
“Ya udah.”
“Gak ada nangis-nangisan? baper?” Tanya Eda lagi.
“Obatnya manjur.” Gue berkelakar.

Aku lega, tidak sampai menangis selama cerita tadi. Rupanya obat dari S.H.I.E.L.D. memang ajaib. Kebaperan bisa hilang dalam sekejap bersama kristal terrigen yang bersih dari dalam tubuh. Begitu pula Eda, sepertinya dia juga mengonsumsi obatnya secara teratur.

“Obat?” Tanya Eda.
“Iya, obat yang dari Hari. Obatnya S.H.I.E.L.D.”

Eda meminta cerita dariku soal Hari dan S.H.I.E.L.D. Pembicaraan yang beralih ke hal riskan membuat gue kagok. Gue mendadak bingung memilah cerita agar Hari dan Erna tidak terungkap sebagai inhuman. Begitu pun gue yang juga harus menyembunyikan identitas sebagai agen pemula.

Hasilnya, gue hanya menceritakan bagian Hari yang telah menjadi agen lapangan aktif, bertugas mencari inhuman baru, dan bertanggung jawab mendeteksi ada kristal terrigen dalam tubuh kami akibat obat perangsang waktu itu.

“Kalo jadi agen lapangan gue tau. Sebelum ke Malang dia juga ngasih obat.” Kata Eda
“Nah, itu tau.” Gue mengerutkan alis.
“Ah, gila, jadi Sesil meninggal karena...” Eda melihat ke sembarang arah.

Gue mengangguk tanpa bisa menyembunyikan bagian yang itu.

“Kok tau?” Eda makin penasaran.
“Hari cerita.”
“Kok gue gak diceritain?”

Waduh, malah jadi bahaya. Bisa-bisa kebongkar semua cerita kami. Gue harus menghindar sebisa mungkin dari segala pertanyaan setelah ini.

“Itu juga baru-baru ini gue diceritain. Gak banyak. Kalo mau tau, tanya aja langsung sama orangnya.” Gue menutup cerita.

Gue menghindari pertanyaan bertubi-tubi dari Eda dengan menelepon Hari kembali. Gue mengatakan bahwa urusan kami sudah selesai dan akan menyusul ke lokasi mereka.

“Dan.” Eda memanggil.
“Please, gue gak tau apa-apa lagi.”
“Bukan itu. Gue punya cerita, soal Jamet.”

Gue menatap Eda serius, meminta dia melanjutkan ceritanya.

“Waktu gue cabut sama Jamet pergi ke luar rumah. Tau gak gue dibawa ke mana?” Eda antusias cerita.
“Ke mana?”
“Rumah Janiar! Gila gak!”

Gue lumayan kaget dengan cerita Eda yang satu ini. Apalagi saat Eda melanjutkan ceritanya bahwa antara keluarga Jamet dan Janiar sudah saling menyetujui hubungan mereka. Status mantan yang selalu diceritakan Jamet semasa kami kuliah rupanya sudah basi. Semuanya berubah setelah Jamet pulang kampung awal Desember lalu.

Itu jugalah alasan Jamet menulis kata Janiar saat di Papandayan. Dia ternyata waktu itu memang rindu. Untuk saat ini, mereka benar-benar sepasang kekasih yang canggung mengakui status mereka sendiri. Ditambah dengan kelakuan Jamet yang gak tegas dengan Jennifer.

“Kasihan Jennifer.” Gue mengiba.
“Banget.” Eda mengganggu.
“Gantian kita bantu dia.” Usul gue.
“Caranya?”
“Kita pikirin nanti.”

Kami berdua berkumpul lagi dengan anak-anak yang lain. Selanjutnya, kami lanjut berkeliling di lokasi yang tidak terlalu jauh dengan jalan besar. Tengah hari, kami memutuskan beristirahat di cafe kebun raya. Sayangnya, jalan-jalan hari ini harus terhenti karena hujan mengguyur deras.

Malam hari, gue antarkan Eda kepada Hari yang duduk di teras. Dia meminta cerita sejelas-jelasnya tentang Hari yang sudah menjadi agen S.H.I.E.L.D. dan siapa saja yang udah tau. Hari menjawab sekenanya dan sangat to the point.

Hari cukup rapi menyembunyikan segala informasi rahasia dibanding aku. Dia bisa menutupi keterlibatan Erna dan Sigit si penyihir. Hari menutupi penjelasannya dengan saran agar mengonsumsi obat yang diberikan hingga habis.

---

POV Jamet

Kami semua terbangun di Minggu pagi yang cerah. Masalah Eda sudah selesai dengan Dani, dan kami berempat menjadi 4 sekawan seperti dulu lagi. Kisah Eda dengan Rivin kuharap bisa berjalan tanpa galau-galauan lagi seperti saat semester 3.

“Kita pulang sore ya, biar gak macet.” Aku memberi pengumuman.
“Main ke kebun raya lagi boleh gak?” Tanya Tika.
“Asal baliknya jangan kesorean.”

Kami terbagi menjadi dua kubu. Erna, Anwar, dan Tika kembali akan bermain ke kebun raya. Aku tidak ikut menemani mereka karena Anwar meyakinkanku kalau mereka tidak mungkin hilang. Sementara itu, aku, Hari, Eda, Dani, Janiar, dan Jennifer memilih bermalas-malasan di rumah Mbahku.

“Met, katanya rumah lu ada yang deket Bromo?” Hari berguling malas di kasur lipat.
“Ada kok, tapi mau ngapain juga ke sana. Taman nasionalnya lagi ditutup.”

Aku menyalakan tivi.

“Gak ada tempat main apa lagi gitu?”
“Mau? Tapi besok kan kalian pulang.”

Malang memang punya banyak tempat wisata yang menarik. Tapi waktu yang mereka miliki terbatas untuk dinikmati di sini. Ditambah lagi kondisi cuaca yang gak menentu untuk wisata outdoor. Kami pun gak bisa mendaki ke Semeru karena tutup awal tahun.

Dani dan Eda sudah ngobrol dengan normal di sebelahku. Janiar dengan santainya bolak balik masuk ke dapur, membantu Mbah Putri memasak makan siang. Jennifer dengan konyolnya kini mencari-cari perhatianku saat Janiar sedang sibuk di dapur.

Perkataan Eda tempo hari sepertinya memang harus kulaksanakan. Aku harus tegas dengan sikapku dengan Jennifer.

“Aku ke dapur dulu ya.” Alasanku.

Jennifer justru terus mengikutiku. Akhirnya, di dapur penuh dengan orang menemani Mbah. Sementara itu, canda tawa Eda, Dani, dan Hari menggaung sampai di dapur. Liburan kali ini hampir tak terasa hampir berakhir.

Aku tak bisa membayangkan setelah ini akan sulit bertemu dengan mereka semua. Kehidupanku untuk mencari rupiah akan berjalan di Malang. Sementara mereka akan kembali ke Jakarta, atau tepatnya Depok. Kehidupan terus berjalan, benar kata Eda, orang datang dan pergi silih berganti.

Perpisahanku dengan mereka tinggal menghitung jam. Sebelum itu, aku juga harus menyelesaikan kebaperan Jennifer sebelum Janiar mulai cemburu buta. Apa yang bisa aku lakukan dalam waktu dekat ini?

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Di balik suhu ? Cerita dulu baru penampakan he..He..
 
Good dani menyelesaikan masalah tanpa emosi tinggal nanti eda yang baper saat tahu rivin "selingkuh" haha
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Hari sabtu lho om, jangan lupa update ya. :siul:

first comment langsung nagih. :hammer: ~ xD
:ampun:
 
sebenernya yg view banyak sih gan, ceritanya juga oke, cuma berasa kaku aja, ga ada interaksi antara yg TS dan pembacanya. coba lihat cerita2 lain. awal2nya juga sepi tapi membangun komunikasi dg pembacanya, lama2 rame sendiri :D
Ane sepakat sm agan ini, interaksi antara penulis dan pembaca lebih ditingkatkan supaya pembaca jd aktif.
 
Episode 37
Rodeo Jennifer


POV Dani

Minggu telah berganti Senin. Kami sudah berpindah lagi ke rumah Jamet di Karangploso sejak tadi malam. Rencananya, nanti sore kami akan kembali pulang ke Jakarta via kereta Matarmaja. Tapi kami dipaksa bangun lebih pagi untuk jalan-jalan ke pantai di hari terakhir hari ini.

Anak-anak sudah bergiliran mandi jam setengah 6. Pakle Sutrisno sudah menjemput jam 7. Kami agak kelimpungan menyiapkan barang-barang ke dalam tas. Kami harus langsung ke stasiun setelah jalan-jalan untuk efisiensi waktu. Kami satu persatu sungkem dengan kedua orang tua Jamet, berterima kasih telah bersedia menampung kami selama satu minggu ini.

Janiar ikut hari ini. Dia berpenampilan manis dengan jilbab segiempat dan rok bermotif kembang. Mari bandingkan dengan Jennifer dengan rambut coklat lurus dan jeans sobeknya. Jelas selera yang berbeda untuk seorang Jamet, seharusnya.

“Janiar, sini bareng di depan.” Ajak Jamet.
“Oke.” Jawab Janiar singkat dengan senyum malu-malunya.

Hari saling pandang dengan Eda, menyembunyikan senyum bangga kepada Jamet. Dia berani mengambil langkah tepat di hari terakhir. Sebaliknya, Jennifer yang baru saja menggendong tasnya langsung menoleh akibat suara Jamet, disusul ekspresi kagetnya yang setengah mampus.

“Heh, ayo angkatin barang.” Gue menepuk bahu kedua jejaka di depan gue.

Tas pelan-pelan tersusun rapi di tempat duduk paling belakang. Jennifer dengan mimik muka bete terpaksa duduk mojok bertiga di barisan kedua, bersama Tika dan Anwar, sedangkan Eda dan Hari duduk berdua di belakangnya. Gue menemani Erna duduk paling belakang.

Di belakang sini lebih leluasa berbicara soal S.H.I.E.L.D. dan info-info lain. Eda bukanlah masalah serius lagi buat gue, asal kata-kata inhuman bisa dihindari. Dan karena itu juga, Eda terus bertanya hal-hal yang belum dia ketahui.

“Kita ke pantai Balekambang ya.” Jamet memberi pengumuman.
“Bebas.” Jawab Anwar.

Semua setuju dengan pengumuman Jamet asalkan nanti sore gak terlambat mengejar kereta. Selama perjalanan, hanya Jennifer yang absen mengeluarkan suara-suara heboh. Kebaperannya melanda bagai badai di siang bolong.

“Janiar, emang gak kerja hari Senin gini?” Panggil Anwar kepada Janiar.
“Aku masih pengangguran kok.” Jawab Janiar dengan suara lembutnya.
“Kemarin ke Batu itu kok gak ikut?”
“Aku lagi bantuin bapak, jadi distributor Lelenya Mas Jamet.”

Ada jeda di udara sesaat.

"Mas Jamet! hahaha!” Eda gak bisa menahan tawa ngakaknya.

Hari, Tika, gue, bahkan Pakle Sutrisno satu persatu gak bisa menahan tawa mendengar gabungan kata 'Mas' dan 'Jamet'.

Dari semua tawa itu, Cuma Jennifer yang tawanya terdengar dipaksakan.

“Lagian, kalian manggilnya dari kemaren Jamet Jamet.” Janiar cemberut lucu.
“Panggilannya di kampus kan emang itu.” Sahut Anwar lagi.
“Emang biasanya apa?” Tika ikut penasaran.
“Biasanya ya nama asli, Mas Zakaria. Kadang Mas Zak.”

Jeda lagi.

“Mas Zak! HAHAHA!”

Semua tertawa lagi. Tak ada yang bisa menahan geli mendengar kata Mas Jamet, apalagi Mas Zak. Mas Zak terdengar terlalu liar, dan Mas Jamet terdengar lebih culun daripada orang aslinya. Kami beberapa kali meledek dan memaksa Janiar untuk cukup memanggil nama Zakaria atau Jamet. Tapi, Janiar tetep mantap dengan panggilan yang katanya sudah biasa itu.

“Eh, Jeruk, kok lu diem aja sih dari tadi?” Anwar menohok Jennifer.
“Bego.” Bisik Eda pelan sambil menoyor kepala Anwar dari belakang.

Dua jam perjalan tak terasa sudah dilalui. Kami baru saja sampai di pantai Balekambang. Pantainya tidak terlalu ramai karena ini bukan weekend. Artinya, kami bisa lebih alay tanpa perlu diperhatikan banyak orang. Jamet memang tau selera untuk hari terakhir yang sempurna.

Tika sudah pasti akan meminta Erna untuk foto-foto cantiknya, baik itus sendirian, berdua dengan Anwar, atau ramai-ramai. Setelah itu, dia tak tahan lari-larian menikmati pasir yang masuk ke sela-sela jari kakinya sendiri.

Setelah lepas dari cengkraman Tika, Erna dengan nalurinya memotret banyak foto landscape. Lalu, dia berjalan pelan dengan kepala melirik ke sana ke mari mencari bunga, burung, atau apapun yang sempurnya untuk jadi koleksi gambarnya.

Para cowok tampak lebih santai berjalan kaki. Janiar pun lebih kalem di samping Jamet, gue tebak dia sudah sering ke sini. Di sisi lain, Jennifer tampak ogah-ogahan menerima tarikan Tika untuk bermain ombak.

“Woi, jangan kejauhan! Inget ini pantai selatan!” Teriak Jamet.

Tika mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi.

“Itu pulau apa?” Gue penasaran.
“Itu pulau Ismoyo. Ada pura di tengahnya.” Jawab Janiar.

Memang gue lihat dari ada semacam bangunan pura tegak menjulang. Gak gue sangka itu pura asli. Kata Janiar, sering ada acara Suroan. Sayangnya kita datang di waktu yang gak pas untuk menyaksikan acara itu.

“Nikmati pantainya yo~.” Jamet mengeluarkan logat medoknya.
“Lek ke warung situ ya, Zak.” Lek Sutrisno pamit.

Gue mengambil topi, lalu mengikuti permainan Tika di bibir pantai. Janiar tak luput gue tarik agar ikut bermain bersama kami. Tapi, Erna urung gue tarik karena asik dengan mainannya sendiri. Dia hanya ikut tertawa dari jauh sambil mengambil foto candid kami. Para cowok membantu Jamet mengambil tikar untuk duduk-duduk di bawah pohon waru laut.

“Jen, udah sadar, Jen?” Panggil gue.

Jennifer terpaku melihat Jamet bersama Janiar dengan tatapan nanarnya. Tatapan seperti itu sangat multitafsir untuk orang seperti dia. Bisa saja itu tatapan putus asa, penuh harap, sedih, atau apa lah.

Gue teringat beberapa hari lalu saat bermain truth or dare, Jennifer punya suatu rencana kepada Janiar. Memori itu membuat gue terbawa rasa penasaran apa yang akan atau sudah dilakukannya terhadap Janiar. Gue cuma berharap bukan hal yang aneh aneh yang bisa mencelakakan orang.

“Hoi, halo?” Gue melambaikan tangan ke depan muka Jennifer.
“Eh, apaan, Dan?” Jennifer berkedip.
“Bengong mulu.”
“Gak usah ngarep. Jauh, Jen, Jauuuh.” Tika mencipratkan air laut.

Kata-kata Tika sangat menohok, tapi benar adanya. Jennifer gue rasa memang sangat jauh buat seorang Jamet. Beda keyakinan, beda budaya, dan beda selera. Kombinasi itu sudah lengkap untuk menciptakan seribu alasan Jamet gak memilih Jennifer.

Belum lagi, cerita soal hubungan lama Jamet dengan Janiar yang direstui kedua orang tua mereka. Mendengar soal orang tua Janiar yang bekerja sebagai distributor usaha lelenya Jamet, sangat kuat aroma kelanjutan hingga perrnikahan pada kasus ini. Mungkin perjodohan, mungkin juga memang cinta sejati.

Jennifer sangat jauh dari rangkaian skenario hidup Jamet. Dia hanya sekedar teman kuliah, gak beda dengan gue, Tika, atau pun Erna. Mungkin belakangan Jamet kurang tegas dan terlalu lembut sama cewek, tapi aksinya tadi pagi sudah menegaskan dia gak memilih Jennifer.

“Pantang pulang sebelum menang.” Kata Jennifer lantang.
“Heh, apaan maksudnya?” Tika kebingungan.

Jennifer berlalu pergi meninggalkan kami tersapu ombak kecil. Gue menjadi takut perkataan Jennifer tadi akan benar-benar dilaksanakan. Ditambah lagi pernyataannya tempo hari. Dengan begitu aja, cukup kuat dorongan gue untuk menghentikannya.

Gue berlari mengejar Jennifer

“Jennifer, mau ngapain lu? Jangan macem-macem.”
“Cuma satu macem kok.” Candanya garing.
“Seriusan.” Gue mulai khawatir.
“Tenang aja, Dan. Gak akan ada yang cedera kok.”

Jennifer terlanjur memanggil Janiar sebelum gue menanggapi balik pernyataannya. Memang gak akan ada yang cedera fisik, tapi cedera hati.

Gue gak boleh kehabisan akal.

Gue panggil Eda seorang diri dan gue ceritakan hal tadi. Kemudian, gue minta dia untuk cerita ke Hari. Gue ceritakan juga soal ini kepada Tika, yang kemudian diceritakan diam-diam kepada Anwar dan Erna.

Otomatis hanya Jamet yang gak tahu bisik-bisik kami. Kalau dia sampe tahu, bisa lebih ge-er diamerasa direbutin cewek-cewek. Selain itu, Jamet bisa aja mengacau dengan ekspresi saltingnya, sementara rencana kami mengawal ketat Jennifer agar jauh-jauh dari Jamet atau Janiar hanya berlaku sekian jam dari sekarang.

Rencana pertama, Erna menyusul mencari Jennifer dan Janiar. Tapi nyatanya mereka sudah kembali dengan es doger di tangan masing-masing. Rencana kedua, menjaga jarak antara Jennifer dari sang dua sejoli. Berkali-kali gue dan Tika bersusah payah mengajak Jennifer bermain jauh-jauh dari Jamet.

Hari, Eda, dan Anwar berinsiatif meninggalkan Jamet agar memberinya ruang berdua dengan Janiar. Erna dengan kamera dan Iphonenya banyak memotret Jamet bersama Janiar yang nanti akan diupload, agar deklarasi mereka diketahui anak-anak seangkatan. Dengan begitu, harusnya Jennifer bisa cepat sadar diri dan ruang geraknya akan lebih sempit.

Ide mendadak yang luar biasa. Mungkin nanti gue bisa menjadi juru taktik tim inhuman kecil kami.

“Kok mereka bisa berdua gitu?” Jennifer bete lagi.
“Biarin aja sih.” Tika menohok lagi.
“Resek lu semua ah.”

---

POV Kenia

Hampir seminggu Yogi gak pernah resek lagi. Imel agak penasaran, tapi dia merasa cukup lega bisa lepas dari kelakukan Yogi. Akhir pekannya kemarin bisa lebih nyaman setelah beberapa minggu lalu terus diteror.

Sebaliknya, Nur semakin gak banyak bicara padaku. Dia mencurigai aku adalah inhuman setelah kejadian di sekretariat pecinta alam pekan lalu. Aku pun gak bisa meyakinkan Nur dengan alasan yang tepat. Dia melihat jelas sosok bayangan hitam masuk ke dalam tubuhku, lalu aku menyerang Yogi dan Juple membabi buta dengan kekuatan di atas normal.

“Kamu, Inhuman...”

Aku tak bisa lupa kata-kata Nur waktu itu. Wajahnya pucat dan sangat shock sehingga terpaksa aku mengantar hingga ke rumahnya menggunakan taksi. Aku terpaksa bohong sama ibunya dengan alasan Nur pingsan karena dehidrasi di jalan. Bahkan itu pun gak cukup untuknya berbaik hati padaku.

“Seneng deh gue, Yogi gak neror lagi.” Kata Imel dengan cerianya.
“Gak usah nari-nari gitu juga kali.” Kataku sambil tertawa.

Nur tidak menanggapi.

Saat istirahat siang, kami makan di kantin dan berpapasan dengan Yogi. Kepala plontosnya diperban dan mukanya lebam. Dia tak bergairah melihat kami meski hanya sebentar. Bisa kukatakan dia takut, melihtaku seperti melihat macan liar berkeliaran di tengah kota.

Aku dengar, Yogi ditemukan menjelang maghrib oleh seorang anak ekskul lain yang ingin mengambil barang. Aku gak tahu detailnya, tapi pihak sekolah sepakat itu adalah kecelakaan karena ruang sekretariat pecinta alam yang gak keurus. Sepertinya Yogi dan Juple juga enggan bercerita kejadian sebenarnya.

“Bisa tenang gue ngadepin UN.” Imel bergurau.
“Aamiin.” Doaku.

Nur terus menyuap nasi ke mulutnya tanpa tanggapan apapun.

Imel belum menaruh curiga dengan diamnya Nur. Nur memang orang pendiam, tapi hari ini dia terlalu diam untuk ukuran kesehariannya. Aku harus mengambil langkah cepat sebelum dia meledak menceritakan segalanya di luar kendali.

“Gue beli minum dulu. Nitip gak?” Imel pergi ke tukang es.

Nur menggeleng, sedangkan aku meminta jus alpukat. Aku tahu mengantri di tempat jus butuh waktu cukup lama. Oleh karena itu, akan ada kesempatan untuk bicara berdua bersama Nur.

Imel perlahan menjauh dari tempat duduk kami.

“Nur, lu takut sama gue?” Aku membuka topik.
“...” Nur tetap menyuap nasi dalam diamnya.
“Nanti sore ikut ke rumah gue. Gue tunjukkin semuanya.”

Nur mendongakkan kepalanya menghadapku. Dia berhenti menyuap nasi. Kelopak matanya sayu tapi tak berkedip menatapku.

“Gak usah takut gitu. Gue temen lu.” Aku meyakinkan.
“Aku...”
“Gak ada alasan.”
“Besok deh, aku les hari ini.”

Nur mencoba menolak, tapi alasannya cukup logis karena jadwal Nur sebagai pelajar berprestasi sangat padat. Aku akhirnya membuat perjanjian ketat, besok dia harus masuk sekolah, lalu sorenya bermain ke rumahku tanpa alasan apapun lagi. Selain itu, dia harus bersikap normal sepanjang sisa hari ini sebelum Imel menaruh curiga.

“Janji ya?” Gue mengacungkan kelingking.
“Janji.” Nur menjabat kelingkingku.
“Gue jamin Yogi juga gak bakal ganggu lu lagi ntar.”

Masalah Nur untuk sekarang bisa kuakhiri. Kini, kami sama-sama berhutang untuk cerita satu sama lain. Bagiku, inilah arti sahabat sebenarnya. Aku akan membantu Nur dengan segala daya yang aku punya agar lepas dari hutang piutang keluarganya. Kemudian, dalam waktu dekat, kuharap Bang Hari mau mengerti pentingnya diriku menjadi inhuman.

“Kamu yakin mau cerita, Ken?” Mbak Puri bicara dalam batinku.
“Yakin, kak.”

Kak Puri mengajakku berbincang dalam batinku sendiri. Imel atau pun Nur gak akan tahu ini.

“Kamu harus pilih-pilih cerita. Jangan sampai...” Kak Puri mulai menasehati.
“Iya, kak.”
“Jangan ngebantah. Aku pacar kakakmu.”

Pacar? Apa aku salah dengar. Gak mungkin. Kak Puri udah putus sama Bang Hari tahun lalu. Mereka mustahil bertemu belakangan ini, Kak Puri jauh di markas S.H.I.E.L.D. dan Bang Hari lagi liburan di malang.

“Pacar? Bohong ah.” Aku membantah.
“Ada insiden tiga hari lalu...”
“Ntar lagi ceritanya kak. Udah bel masuk.”

Aku, Imel, dan Nur kembali ke kelas. Melanjutkan kelas di siang hari ini. Aku tak sabar menunggu besok dan menceritakan semuanya kepada Nur.

---

POV Jennifer

Sepuluh menit lagi kami sampai di stasiun. Usai sudah perjalanan kami di Malang satu minggu ini. Jam menunjukkan pukul empat, masih ada kurang lebih satu jam lagi sebelum kereta kami berangkat.

Rencana gue terhambat oleh ulah anak-anak. Untungnya, saat membeli es doger tadi. Gue sudah mengatakannya langsung kepada Janiar. Gue bilang bahwa gue suka sama Jamet, dan akan melakukan apapun untuk bisa bersama Jamet. Sesulit apapun halangannya, pasti nanti ada jalan keluarnya, sekali pun halangannya adalah Janiar.

Gue sadar, dia pasti sudah menceritakan itu kepada Jamet saat mereka berdua tadi. Tapi itu bukan masalah. Keakraban dengan Janiar yang sudah gue bangun sejak malam pertama tiba di Malang pasti akan membuatnya sentimentil. Terlebih, intimidasi gue yang kuat pasti akan membuatnya bali kanan dari Jamet cepat atau lambat.

“Sampai juga.” Kata Jamet.

Mereka berdua, Jamet dan Janiar, turun dari kursi terdepan mobil satu per satu. Lalu, para cowok kembali bergotong royong menurunkan barang. Jamet dan Janiar setia menunggu kami hingga waktu masuk ke peron, dan itu lah yang gue harapkan.

“Pakle lu dibiarin sendirian di parkiran gapapa?” Tanya Hari.
“Biarin aja hahaha.” Canda Jamet.
“Met, it's a goodbye, isn't it?.” Eda memotong.

Momen haru akhirnya terjadi. Perpisahan dengan Jamet sudah menunggu hitungan menit. Kesedihan tentu paling dirasakan Hari, Eda, dan Dani sebagai sahabatnya. Tapi, mereka semua gak akan tahu kalau sebenarnya gue yang paling sedih kalau belum sempat mengungkapkan perasaan gue.

Anak-anak terus mengganggu momen gue antara Jamet. Susah sekali mencari momen yang pas. Sampai suatu waktu, terdengar pengumuman kereta Matarmaja akan masuk stasiun. Itu artinya perpisahan sudah di depan mata. Kami satu per satu berpamitan dan berpelukan dengan Jamet dan Janiar. Dani menangis terisak seperti emak-emak, sementara aku mengambil antrian pamit paling belakang

“Goodbye ya, Janiar.” Aku bersalaman dengan Janiar terlebih dulu.

Dia menundukkan kepalanya. Intimidasiku sukses. Aku beralih ke Jamet.

“Goodbye, Jamet.” Aku bersalaman.

Ah, kenapa cuma bersalaman. Kenapa mentalku menjadi lemah di saat-saat begini, padahal rencananya sudah matang. Jabatan kami terlepas begitu saja, tapi aku enggan meninggalkannya. Anak-anak yang lain sudah menggendong tas dan satu per satu melewati pemeriksaan tiket.

“Jen, ayo.” Panggil Tika.

Gue menoleh, Tika dan Dani sudah melewati pemeriksaan tiket. Mereka sudah tidak mungkin merecoki gue. Di sisi yang lain, Janiar sudah gak berani menatap gue. Tapi... Mental ini, ah, persetan.

Kusambar mulut Jamet sekuat hati. Kulumat bibirnya habis-habisan seakan gak akan pernah bersentuhan lagi. Kupegang kedua pipinya supaya momen ini terjadi lebih lama. Gue abaikan keberadaan anak-anak, Janiar, bahkan keramaian sekitar.

“I love you.” Aku berkata tepat di depan mata Jamet.

Sebentar saja, izinkan dunia hanya untuk gue dan Jamet.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd