Chapter XXXIII
Moon in the Sky
Aku berusaha menghubungi Inggrid, tapi dia tidak juga mengangkat telponku, dan akhirnya aku mendatangi rumahnya. Pintunya tertutup rapat, walau mobilnya telah terparkir di depan rumahnya. Berkali-kali ku ketuk pintu itu, berkali kali aku berusaha menelponnya tidak ada juga reaksinya, hingga satpam perumahan itu mendatangiku dan memintaku meninggalkan rumah Inggrid.
Aku hanya bisa berjalan gontai kembali ke apartementku, tapi rasanya aku tidak ingin pulang. Aku mengalihkan motorku menuju dojo. Mencari ketenangan di sana dengan berlatih.
***
Terasa berat mataku terbuka, tubuhku juga terasa berat karena ku gunakan untuk latihan kemarin sepenuh tenaga. Kalau tidak mungkin aku tidak akan bisa tidur memikirkan Inggrid. Aku tidak mampu mengusir banyang Inggrid dari pikiranku, perasaan bersalah ini, rasa sakit melihat dia menangis, rasa perih saat dia marah marahku, rasa yang bercampur aduk melihatnya meninggalkanku.
Aku harus bersiap menuju kantor, hanya di sana kesempatanku bertemu dengan Inggrid, hanya di sana aku mungkin bisa berbicara dengannya. Tapi aku sendiri tidak tahu apakah aku bisa terlihat normal di hadapan rekan-rekan lain.
Seperti biasanya Nita datang ke apartementku pagi ini, dia terlihat sangat ceria, dia mengecup bibirku dengan semangatnya, dan aku hanya membalasnya alakadarnya. Nita dengan cepat menyadarinya.
“Kenapa Ted? Kok tidak bergairah?”, sambil sedikit membuka kancing kemejanya, memperlihatkan dadanya yang putih padaku, Nita mungkin sengaja menggodaku.
“Maaf ya sayang, kemarin kamu nanggung ya pasti, makanya sekarnag ngak mood gitu”, katanya sambil memeluk lenganku, bermanja-manja padu, entah kenapa pikiranku tidak pada wanita canti di sisiku ini, tapi pada Inggrid.
“Iya, habis olahraga juga kurang tersalurkan”, jawabku bohong pada Nita, tapi benar juga aku memang belum tuntas sejak sabtu kemarin hingga senin ini, tapi aku sudah tidak memikirkan syahwatku, aku lebih memikirkan Inggrid sekarang.
“Ayo berangkat sayang, nanti malah ngak jadi kekantor kalau kamu lama-lama di sini”, kataku balik menggoda Nita, yang tentunya membuat kami langsung bergerak dari apartementku menuju kantor.
***
Inggrid tampak dingin padaku, dan pada semua orang hari ini, jelas terlihat dia sedang tidak mood pada siapun juga hari ini. Inggrid terlihat diam saja dari pagi tiba di kantor.
“Ada apa mei-mei ku yang cantik?”, tiba-tiba saja Nita yang bertanya pada Inggrid dari bothnya. Belakangan ini di kantor Inggrid dan Nita sudah cukup mengakrabkan dari satu dan lainnya, membuat mereka terkesan lebih dekat, tapi entah lah, wanita memang kadang terlihat dekat tapi sebenarnya tidak.
“Ngak papa kok Ce…”, jawabnya sedikit ketus, tapi berusaha untuk tidak ketus pada Nita. Nita sepertinya tidak ingin memperburuk mood dari Inggrid, dia membiarkannya lebih dulu, tapi saat Inggrid beranjak dari kursinya, seperti akan ke toilet, Nita mengikutinya dari belakang. Mereka menghilang sekitar 20 menitan, dan saat kembali, sepertinya Inggrid baru saja merapikan make-up, mungkin mereka dandan di toilet makanya lama, atau mungkin mereka sempat bercerita.
Saat makan siang, Inggrid tidak meninggalkan mejanya untuk makan siang, aku berusaha untuk mencari kesempatan agar bisa berbicara berdua dengannya, tapi tentunya Nita memanggilku naik untuk makan bersama. Sedangkan rekan-rekan lain makan di sekitar kantor saja. Aku juga tidak tega meninggalkan Inggird sendiri di ruangan. Akhirnya malah Nita yang menemani Inggrid, mereka sekarang malah menjadi lebih dekat dari sebelumnya.
Akhirnya aku makan siang di atas, dan setengah melamun memikirkan kapan dan apa yang harus ku katakan pada Inggrid. Dalam lamunanku aku malah sulit makan, dan lama makannya, tidak seperti biasanya aku selalu cepat menghabiskan makananku. Saat aku turun, Nita dan Inggrid sudah tidak ada di ruangan. Aku melihat sebuah memo di menjaku, Nita menemani Inggrid makan di luar katanya.
Aku hanya bisa menunggu mereka kembali kalau seperti ini. Rekan-rekan yang lain sudah kembali karena memang hanya makan di sekitaran kantor, biasanya hanya bakso atau lalapan dekat kawasan perkantoran ini. Tapi Nita dan Inggrid belum juga kembali, mungkin mereka ketempat yang lebih jauh. Tidak lama juga akhirnya mereka kembali, paling tidak aku agak tenang mereka sudah kembali dengan selamat ke kantor. Entah mengapa pikiranku memang tidak konsentrasi sejak kemarin, aku terus memikirkan Inggrid.
***
Waktu kini menunjukkan pukul 1700, sudah waktunya rekan-rekan lain yang menyelesiakan pekerjaannya untuk pulang. Aku sendiri hari ini agak lelet, dan alhasil pekerjaanku belum selesai. Begitu juga dengan Inggrid yang memang dari tadi juga tidak konsentrasi mengerjakan pekerjaannya. Nita sendiri sudah menyelesaikan pekerjaanya, tapi dia masih menemani Inggrid untuk membantunya menyelesaikan pekerjaannya, tapi diapun tidak bisa lama, karena sudah berjanji pada ibunya untuk menemaninya ke ondangan.
Hingga pukul 1810 pekerjaanku dan pekerjaan Inggrid belum ada yang selesai, sedangkan Mbak Claudia dan Pak Stanly sepertinya baru saja menyelesaikan pekerjaan mereka. Mereka berdua sekarnag sedang berkemas, Mbak Claudia menyempatkan diri mengecek pekerjaan Inggrid, dan Pak Stanly mampir di belakangku memperhatikan pekerjaanku.
“Eh kalian berdua ini kok hari ini lamban kali kerjanya?”, tanya Pak Stanly nyeletuk. Aku hanya bisa tersemum masam padanya dan tetap berusaha menyelesaikan pekerjaanku.
“Kalau sudah, ingat kunci ruanga ya, kamu saja yang pegang Ted, tapi ingat besok cepat datangnya”, sambil pak Stanly menepuk pundakku dan berlalu bersama mbak Claudia.
Aku perhatikan Inggrid sepertinya berusaha juga segera menyelesaikan pekerjaannya ini, aku bisa melihat dia masih tidak nyaman berdua bersamaku.inggrid menghindari tatapan mata denganku, dia masih marah padku sepertinya, aku juga tidak bisa menyalahkannya untuk itu. Perbuatanku kemarin tidak seharusnya, aku harusnya menjaganya menyayanginya bukan melukai dan menyakitinya.
Setelah 15 menit akhirnya aku berhasil menyelesaikan dokumen terakhirku, dan ku perhatikan Inggrid dia masih belum juga selesai sepertinya. Aku mulai merapikan berkas-berkasku dan meletakkannya di filing cabinet. Aku melihat Inggrid sedang memperhatikanku, tapi dia segera mengalihkan pandangannya keperkerjaannya kembali.
Aku menghampiri Inggrid, melihat apa yang sedang dia kerjakan, aku hanya berdiri di belakangnya tidak berkata-kata. Aku tidak tahu harus berkata apa, aku hanya membantunya merapikan beberapa file yang sudah dia tidak gunakan, dalam diam.
“Ling, apa yang bisa ku bantu?”, sambil aku menepuk pundaknya, tapi dia segera menggerakkan pundaknya menepis tanganku. Akupun hanya bisa menarik kembali tanganku, aku tidak ingin membuatnya lebih marah lagi.
“Elly sudah hampir selesai”, jawabannya sedikit ketus padaku, aku masih merasakan itu dalam suaranya. Rasanya sakit ketika Inggrid ketus padaku, rasanya terluka, hatiku sepertinya bergetar. Aku hanya duduk di sampingnya, memperhatikan dia bekerja. Inggrid tetap berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaannya. Walaupun aku sadar beberapa kali ekor matanya melirik kepadaku, entah dia tidak nyaman atau memang mencuri pandang padaku.
Pukul 1900, akrhinya pekerjaan terakhirnya selesai, aku membantunya beberes, mengangkat dokumen-dokumen kembali ke tempatnya dan merapikan mejanya. Kami masih berada dalam keheningan kami. Rasanya menyiknya, rasanya tidak tahu harus berbuat apa. Setelah semuanya beres, Inggrid mengangkat tasnya dan berjalan meninggalkan ruangan kami. Aku segera mengunci pintu di belakang kami dan berusaha mengejarnya ke lift.
“Ling!”, aku meraih pergelangan tangannya, dan menggenggamnya. Tapi dengan sigap Inggrid kembali menepis tanganku.
“Aku ingin bicara Ling”, kataku padanya ketika pandangan kami bertemu. Tapi dia memalingkan wajahnya, membelakangiku.
“Your action speak for you!”, sambil dia berlalu, dia turun menggunakan tangga. Rasanya sakit ketika Inggrid melakukan itu. Tapi aku tidak bisa berkata lagi, aku memang telah menyakitinya, aku tahu ini pasti mengorek kejadian yang lalu, kejadian waktu itu. Aku tidak ada apapun untuk membela diriku. Aku hanya terpatung dalam sunyi melihat Inggrid pergi.
***
Aku berada di atap kompleks apartementku, di atap ini aku bisa melihat langit dengan jelas. Rasa dingin dari beton yang menutupi seluruh permukaan Atap ini terasa dingin di punggungku. Walau langin malam ini tak berawan, tidak ada satu bintangpun yang dapat ku lihat. Bulan malam ini terlihat indah, walau belum purnama. Mungkin itulah yang membuatnya indah, bukan karena kesempurnaan tapi karena kekurangan itu sendiri yang membuatnya istimewa.
Aku tersentak bangun! Aku akan ke rumah Inggrid lagi. Aku sadar aku telah melakukan kesalahan, aku tidak akan pernah menjadi seorang yang sempurna, tapi aku akan selalu berusaha memberikan yang terbaik. Aku akan selalu berusaha melindungi Inggrid, berusaha menjadi penjaganya bahkan jika itu dari diriku sendiri. Bagaimanapun aku harus bertemu dengannya malam ini.
***
Aku telah berdiri di pelataran rumah Inggrid, lagi tidak ada yang membukakanku pintu. Selama apapun aku mengetuk, tak ada yang keluar. Kembali si security telah berkeliaran memperhatikanku.
“Ling, aku tahu kamu di dalam…”, seruku dari pintu yang tertutup rapat itu. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku hanya bisa menunggunya, aku hanya bisa berusaha.
“Pak, sebaiknya anda berhenti, karena Anda mengganggu penguni lain”, security itu kembali menghampirku, sambil dia mengusap pundakku. Mungkin dia mengerti bahwa ini masalah kami berdua, dia hanya menjalankan tugasnya juga.
Akupun berhenti mengetuk dan berteriak, aku hanya duduk menunggu di teras rumah Inggrid.
“Bapak mau tetap menunggu di sini?”, tanya si security padaku, sambil menemaniku duduk di teras itu.
“Ya…”, aku hanya tertunduk lesu, dan aku sudah membulatkan tekad kalau aku akan menunggu Inggrid di sini. Menunggu disini tidak akan seberapa jika dibandingkan dengan perjuangan Inggrid, pengorbanan perasaannya dan semua yang telah dia berikan padaku. Aku akan menunggu di sini.
“Saya tinggal dulu ya pak, mesti patroli”, kemudian si securty berjalan meninggalkanku, menghilang dalam remangnya lampu kompleks. Aku pun bersandar pada tiang teras ini, menunggu dan berharap agar Inggrid mau menemuiku. Aku tidak lagi mengetuk, aku tidak lagi berteriak, aku tidak lagi menelpon, aku hanya menunggu dalam malam, bersama suara jangkrik di kejauhan.
***
Entah sudah berapa lama aku duduk, suara deru kendaraan tidak terdengar lagi, suara anginpun seolah tak terdengar, malam ini terasa lebih sunyi. Hanya ada suara jangkrik yang menemaniku. Deru udara dingin ini terasa di kulitku, walau tidak seberapa menyerang tubuhku, tapi hatiku yang merasa dingin. Mataku mulai terasa sayu, dan berat, tapi aku tidak boleh menyerah, aku tetap harus menunggunya.
***
Mataku terbuka, aku telah terlelap dalam tidurku. Ada sebuah selimut tebal yang telah melingkar di tubuhku, selimut yang menjagaku hangat dalam malam ini. Tercium aroma dari selimut itu, aroma tubuh Inggrid, ini selimutnya, dia keluar memberikanku ini, dan aku terlelap. Selain itu, punggung tangank, kini telah ada plester luka yang melekat. Mungkin karena latihan kemarin di dojo, atau aku terlalu berkali-kali menggedor pintu itu hingga akupun tidak sadar ada lecet di tanganku itu.
Aku tidak tahu harus berbuat apa, pintu di hadapanku telah tertutup rapat. Walau aku tahu Inggrid masih peduli padaku, masih memperhatikanku, tapi aku tetap kecewa pada diriku mengapa aku terlelap.
***
bersambung