Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Work is work, sex is sex [Tamat]

Saya ingin meng-explore cerita tentang rekan-rekan kerja Ted dan Nita, apakah tertarik?

  • Ya

  • Tidak


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Mohon maaf suhu sekalian masih blm smpat update krn kesibukan RL...
Semoga tidak di gembok ye..
 
Kabar gembira untuk kita semua...
Kulit Manggis kini ada extraknya...

MonyetPerak hadir untuk kita...
Besok updatenya bisa dibaca...
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Chapter XXXVIII

Duty Call



Setelah beralih dari dojo, kami makan tengah malam dulu di salah satu warung sate dekat dojo. Jie Yanin tampak sedang asik bercerita dengan Inggrid, sampai aku sedikit terlupakan. Dia dari dulu sudah bersama keluargaku. Katanya dulu dia besar di jalanan, dengan kehidupan yang keras, hingga keluarga kami mengambilnya. Jie Yanin lebih tua beberapa tahun dari Jie Crystal, dia yang menjaga jie Crys saat masih kecil. Jie Yanin adalah keluarga kami, walau tidak ada darah yang mengikat kami.

“Eh Ted, katanya mobil Crys ada sama kamu ya?” tiba-tiba Jie Yanin menegurku yang sedang asik menikmati sateku.

“Iya, di apartement…” jawabku sambil melanjutkan makanku, aku tidak suka jika makananku sudah dingin, jadi aku cenderung menghabiskan makananku dengan cepat.

“ngak di pake?” tanyanya lagi sambil mulai makan juga, dari tadi dia hanya bercerita dengan Inggrid sampai tidak makan.

“Ngak sanggup aku isi bensinnya”, jawabku ringan padanya.

“Bah… Tjahjadi tidak sanggup isi bensi”, katanya dengan ekspresi wajah yang meledek.

“Ya sekarangkan jadi pegawai…” jawabku sambil tertawa padanya, dan mengangkat bahuku. Dengan pendapatan sekarang mobil itu tidak akan sanggup ku rawat dan ku isi bahan bakarnya.

“Gimana kalau ikut underground ring saja? Banyak tuh”, saran gila itu keluar dari mulut Jie Yanin. Dulu memang dia pernah ikut beberapa kali underground ring dan lumayan besar pendapatannya, tapi karena ketahuan oleh Ayah, jie Yanin tidak bisa lagi ikutan. Kalau aku tidak salah ingat Bang Andre juga kena batunya, entah karena dia juga ikutan atau karena tidak mengawasi Jie Yanin.

“Aku, underground Ring, bisa habis aku kalau ketahuan papa”, jawabku dengan mata melotot pada Jie Yanin.

“lagipula kemampuanku yang sekarang, aku pasti babak belur”, sambungku lagi padanya dan lanjut lagi makan.

“Kalau masalah kemampuan, di kota ini sih sepertinya tidak ada yang bisa menang darimu, kalau Jakarta mungkin ada…”, jawabnya ringan.

“Kemampuan ko Tedy pasti bisa sih…” timpal Inggrid.

“Lawan Jie Crys saja aku babak belur…” jawabku lagi walau agak malu mengatakannya.

“Crys itu kerjanya latihan, sehari latihannya 10 jam, kerjanya 8 jam, lebih banyak latihan dari kerjanya…” celetuk Jie Yanin. Pantas Saja Jie Crys makin tangguh, latihannya makin intensif dan keras tentunya.

“Terus kalau ko Alex sekarang apa saja kerjanya?”, tanya Inggrid tentang ko Alex, ia benar juga, ko Alex harusnya sibuk dengan kerjaannya sekarang.

“Kalau Alex, itu antara waktu kerja dan latihan sih tidak jelas, karena sejak menjabat presdir, gedung kantor di Jakarta itu jadi ada ruang gymnya dan dojo kecilnya…” kata Jie Yanin, dengan wajah yang sedik bingung juga menjelaskan.

Ko Alex masih latihan dengan jadwal yang tidak jelaspun dia masih mampu menjaga bentuk tubuhnya dan sepertinya masih berbahaya seperti dulu, dan tentunya dia tidak mungkin kalah dari Jie Crys.

“Dia punya hak untuk mengubah ruangan di kantor?”, tanyaku lagi, karena seenaknya saja dia bisa mengubah design kantor seperti itu, termasuk penyalah gunaan kekuasaan.

“Dia mengubah ruang kerjanya, dia memperkecil ruang kantornya dan meletakkan beberapa alat di sana dengan sekat-sekat, sesekali Kamu harus ke Jakarta melihat kantor kita di sana!”, jawab Jie Yanin dengan mengacungkan jempolnya padaku.

“Keren loh kantor disana sejak dikuasai Ko Alex, jadi lebih Youth!”, lalu dia kembali melanjutkan makannya dengan lahap.

“Eh yang masalah mobil, biar aku saja yang ambil alih, nanti aku yang urus deh…”, kata Jie Yanin sambil makan dan tidak menatapku. Syukurlah ada yang mengambil mobil itu, tapi sudah ku duga akan di ambil oleh orang kepercaan Jie Crys, walau sepertinya tidak perlu juga Jie Yanin yang turun tangan.

“sebenarnya ini mobil Jie Crys atau mobil mu sih?”, apakah tebakanku benar, atau salah kali ini.

“Hahaha… Aku mah tidak pakai mobil seperti itu… kurang macho…” sabil mengepalkan tangannya padaku, iya juga sih, Jie Yanin suka kendaraan yang lebih gahar. Dulu saja dia selalu berkendara dengan motor sport kelas streetfighters, dan dia sering balapan dengan jie Crys.

“Nanti bareng saja balik ke apartement, sekalian ngambil…”, kataku padanya sambil melanjutkan makanku juga. Sepertinya Inggrid tampak diam, hanya memperhatikan gurunya ini menikmati makanannya. Inggrid memang sangat mengagumi Yanin dari dulu, akupun sangat mengagumi wanita tangguh satu ini. Bahkan jika urusan beladiri dia lebih unggul dari Jie Crys, kalau tidak mana mungkin jadi pelindungnya.

“Mang… Satenya sepuluh lagi…”, sahut Jie Yanin. Waduh apa uang yang ku bawa cukup tidak ya.

Malam ini terasa masih panjang untuk kami. Masih menikmati sate kami dimalam ini, rasanya gelak tawa yang sudah lama tidak kurasakan, tidak pernah lagi berkumpul seperti ini, padahal dulu. Aku, Ko Alex, Jie Crys, Jie Yanin, Bang Andre sering seperti ini, ketika semuanya belum terikat kesibukan, ketika aku belum meninggalkan rumah. Terasa rasa rindu ini, rasa ingin berkumpul lagi seperti dulu.

Dalam gelak tawa itu, terdengar bunyi handphone yang memecah tawa kami, suara itu berasal dari handphone jie Yanin.

“Ya…Ada apa menelpone malam-malam?” jawan Jie Yanin.

“Aku lagi di Kota XXX, bareng Ted nih sekarnag”, sambil memandangku, dan tetap mengobrol di telpone, dan dengan gerakan bibirnya aku tahu dia menyebut nama ‘Alex’, dia sedang berbicara dengan ko Alex, urusan apa lagi semalam ini. Pekerjaan itu tidak pernah ada hentinya kalau seperti ini.

Wajah Jie Yanin, tiba-tiba berubah serius, senyuman yang tadi menghiasi bibirnya berubah menjadi sorot mata yang serius.

“Baik, akan segera berangkat!”, kemdian Jie Yanin menutup telponenya, lalu dia kembali tersenyum padaku.

“Salam dari Ko Alex”, kata Jie Yanin sambil kembali menyantap satenya dan segera menghabiskannya.

“Duty call, kita ketemu lagi kapan-kapan!”, sambil berdiri dan segera beranjak dari kursinya. Rupanya mobil yang dari tadi parkir di samping kedai sate ini sedang menunggu Jie Yanin, aku sudah curiga dari tadi, sebenarnya dia menggunakan apa datang kemari. Dan seperti kebiasannya, dia bahkan pergi tanpa membayar, sialan.

***

Akhirnya aku telah bersandar di ranjangku, tidak terasa sudah larut malam juga. Untung besok hari minggu, aku bisa sedikit bersantai untuk tidur lebih lama. Sebuah pesan tingkat tiba-tiba masuk di telpon genggamku, dari Bang Andre.

Andre : Ada tugas penting, sementara jaga diri sendiri baik-baik.

Eh pesan ini, jangan-jangan Bang Andre juga dipanggil ko Alex. Ada urusan apa sampai mereka berdua harus menghadap ke Ko Alex, pasti ada yang tidak beres. Sesatu yang besar, tapi apa aku harus mencari tahu, atau ini malah jebakan dari Ko Alex agar aku mau mengurusi urusan ‘keluarga’. Tidak biasanya juga Bang Andre melapor padaku, membuatku curiga saja. Biar ku tahan dulu diriku, nanti akan ku cari tahu lebih jelasnya.

***

Pagi sudah menyingsing, walaupun niat hati ingin tidur lebih lama, tapi mataku sudah terbuka pukul 5 pagi. Walau tidurku tidak banyak, rasanya tubuh ini cukup pulih dari latihan semalam. Mungkin aku akan ke gym pagi ini, dan mencari tahu apa alasan Bang Andre kepada pegawai di gym mengenai keberangkatannya.

Sambil ngegym aku berusaha mencari tahu keberangkatan bang Andre, ternyata tidak ada yang tahu kemana dia, karena dia juga tidak selalu datang ke gym, dan tidak tahu kapan dia akan datang, jadi tidak perlu memberitahu kepada mereka jika memang dia sedang keluar kota. Yang ku khawatirkan jika memang terjadi masalah di sana, pasti sesuatu yang besar hingga mereka di panggil, tapi kalau memang besar aku juga harusnya di paksakan untuk hadir, mungkin tidak sebesar yang ku khawatirkan, semoga saja.

***

Pukul 1000, aku sudah selsai gym dan bersiap untuk pulang ke apartmentku dan mandi, saat ku cek tasku. Rasanya muncuk rasa khawatir di dadaku, sepertinya yang ku takutnya benar. Ada beberapa telpone yang masuk ke handphoneku, dari Ko Alex. Aku harus segera menghubunginya.

“Ko… Ada apa?”, tanyaku kawatir saat telpone ku diangkat olehnya.

“Ted, watch your self, someone are targeting our family…” (Ted, jaga dirimu, ada yang mengincar ‘keluarga’ kita), jawabnya di sisi lain dengan datar dan tegas, ini bukan guyonan dan bukan sesuatu yang biasa. Bukan hal yang kecil jika berusaha berurusan dengan keluarga kami, seseorang pasti merencanakan sesuatu yang besar.

“Who?” (siapa?), jawabku dengan serius.

“We still didn’t know, but some of our men in braches had been attacked… not life threatening, but coordinated…” (kami masih belum tahu, tapi beberapa orang kita di cabang telah diserang… tidak membahayakan nyawa, tapi terkoordinasi) , kata ko Alex, sangat serius.

“You better come back, it’s dangerous…” (kamu sebaiknya kembali, sekarang berbahaya) sambungnya lagi, aku tahu dia kawatir padaku, tapi yang terbesit di bayanganku pertama adalah Inggrid, dan Nita, aku harus segera mengamankan Inggird dan Nita terlebih dulu, bisa saja jika mereka mengincarku, mereka juga akan mengincar Inggrid dan Nita.

“how about here?” (bagaimana di sini?), aku harus tahu, apakah wilayah ini masih aman, atau sudah ada serangan pada anggota kami, aku harus melindungi mereka.

“For now, there is notthing happen there…” (untuk sekarang, tidak ada yang terjadi di sana), syukurlah tidak ada apapun terjadi disini, tapi aku tetap harus waspada.

“Thank god, I will take care brother…” (Syukurlah, aku akan menjaga diriku), jawabku sedikit lega, aku harap dia juga percaya padaku, dan tidak kawatir.

“Yanin, Andre and some of my men will go there, Yanin will take care for Ling, and Andre will wachting you, but I know you will send him to watch Anita, so why bother…”, (Yanin, Andre, dan beberapa orangku akan ke sana, Yanin akan menjaga Ling, dan Andre akan memantau mu, tapi aku tahu kamu akan mengirimnya untuk mengawasi Anita, jadi kenapa repot…) ya benar juga kata ko Alex, aku akan meminta bang Andre untuk menjaga Keluarga Nita daripada menjagaku.

“Hahaha… you know me best brother…”, aku hanya bisa tersenyum lega mendengarkan itu dari Ko Alex.

“for know keep you eyes open, and stay safe…” (untuk sekarang waspada, dan tetap aman), kata terakhir ko Alex sebelum mengakhiri pembicaraan kami. Orang gila macam apa yang mencari gara-gara dengan keluarga kami, yang pasti juga bukan orang sembarangan, bukan orang kecil yang ingin menyerang kami, tentunya orang besar di belakang semua ini. Aku harus segera menghubungi Inggrid dan Nita.

***

Belum sempat aku menelpon Inggrid, dia sudah ada di gym, sambil latihan. Dia terlihat cantik dengan tanktopnya dan wajah polos tanpa make up, dia terlihat tangguh juga ketika latihan, sambil ber-chat ria dengan Nita, aku menunggu Inggrid selesai latihan, akhirnya aku tidak jadi mandi rumah.

Inggrid masih sibuk dengan alatnya dan tentunya dengan semua latihan, Nita dan keluarganya sedang berkumpul jalan bersama, layaknya keluarga pada umumnya, yang membuatku lebih kawatir pada Nita karena mereka semua adalah wanita. Walaupun aku tahu Nita mampu menjaga dirinya dengan baik, tapi bagaimana dengan keluarganya.

“Ko, melamun saja, terpesona dengan tubuh Ling ya?” sambil Ling mengagetkanku dan melengokkan tubuhnya di hadapanku, sambil tersenyum.

“Hahaha, tubuhmu memang mepesona Ling”, sambil ku cubit pinggulnya.

“Pasti lagi mikirin Jie Anita kan?”, rupanya Inggrid memang bisa membaca pikiranku, aku memang sedang mengkawatirkan Nita dan keluarganya.

“Nitanya sih mungkin tidak, tapi aku kawatir pada keluarganya…”, sambil ku helah nafas panjang saat ku katakan pada Inggrid.

“Iya sih, Jie Anita pasti bisa jaga diri, keluarganya gimana itu yang tidak kita tahu ya…”, sepertinya Inggird juga kawatir dengan hal itu.

“Kalau gitu, Ling beberes dulu, kita cari mereka…”, sambil langsung melenggang pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dan persetujuan dariku. Apa lagi dalam pikiran si Inggrid, tapi memang lebih aman jika kami berdua ada di dekat mereka, yang pasti Aku, Inggrid, dan Nita bisa beladiri, jika terjadi sesuatu paling tidak kami bertiga.

Tidak lama, Inggridpun kembali, dia sudah mandi dan berganti pakaian, dengan baju casual dia tampak simple dan cantik.

“Ayo, kita ke tempat Jie Anita…”, kata Inggrid, langsung menggandeng tanganku dan menarikku.

“Berdua kesana?” kalau langsung berdua ke sana apa respon Nita, bisa-bisa dia malah mengamuk.

“Kita pikirkan nanti di jalan, yang pastikan kita harus memastikan keluarga Jie Anita aman”, sambung Inggrid. Benar juga itu prioritas utamanya, keamanan Nita dan keluarganya. Akhirnya kami berangkat menggunakan mobil Inggrid, menuju pusat perbelanjaan yang cukup ramai untuk mencari keberadaan Nita.

Semoga semuanya aman dan baik-baik saja.

***

Pukul 1430 Pusat Perbelanjaan

Akhirnya kami sampai di pusat perbelanjaan itu, aku dan Inggrid mulai mencari Nita, dari chatku dengan Nita sedang menemani adiknya berbelanja di salah satu toko baju terkenal. Belum lama bergerak dalam mall, Inggrid menarikku masuk ke salah toko yang menjual pakaian pria.

“Kita butuh sedikit penyamaran”, sambil dia mulai mengambil jaket, topi dan kacamata untukku, mungkin kacamata hitam agak berlebihan untuk mall ini.

“Sepertinya kacamatanya tidak perlu deh…”, aku lalu mencoba jaket itu dan topinya.

“Pakai saja ko, biar tidak terlihat, modelnya juga tidak mencolok kok”, sambil Inggrid kembali menyodorkannya padaku. Dari pada kami berlama-lama di sini sebaiknya segera kami mencair Nita saja, jadi segera ku coba juga sekalian. Semuanya terlihat pas padaku, tinggal membayar saja.

Ku keluarkan dompetku, berjalan ke kasir sambil membawa belanjaanku itu. Tiba-tiba Inggrid menyambar dompetku, dan mengambil belanjaanku dari tanganku.

“eh…” aku heran saja dengan yang dilakukannya.

“Biar Ling saja ko…”, sambil meletakkan semuanya di meja kasir dan meletakkan kartu debitnya di atas meja kasir itu.

“Eh, kenapa malah kamu yang bayar”, sambil aku berusaha meraih dompetku darinya, dan menarik kartunya dari meja kasir. Tapi Inggrid terus berusaha mengalangiku meraih dompetku, dan akhirnya aku malah jadinya memeluknya, karena dia menyembunyikan dompetku dibelakang tubuhnya.

“Jangan di sini ko, malu…”, terdengar bisikan halus dari bibir Inggrid ketika tubuhku benar-benar merapat padanya. Akupun terkejut dan langsung mengambil jarak dan memperbaiki posisi kami. Inggrid lalu tersenyum sambil menjulurkan lidahnya, dan menarik kartunya dari tanganku dan memberikannya pada kasir. Aku hanya bisa membiarkannya kali ini, karena ini ditempat umum tidak enak jika di perhatikan orang.

“Kenapa malah kamu sih yang bayar?” sambil aku mengenakkan jaket dan topi yang baru saja kami beli itu.

“Emangnya kenapa? Bolehkan Ling yang belikan koko barang…” sambil tersenyum kepadaku dan dia juga mengakkan sebuah topi di kepalanya.

“Lagipula, apa yang kumiliki sekarang ini karena ko Ted, kalau bukan ko Tedy aku tidak akan ada sekarang”, sambil dia merangkulku dan matanya menatapku.

“Kamu yang sekarang adalah usahamu dan perjuangan keluargamu, aku tidak melakukan apapun…”, jawabku padanya sambil mencubit hidungnya.

“Ling berhutang nyawa padamu ko, maka seluruh hidupku ini ada di tanganmu, raga, materi, jiwa dan hati semua adalah hakmu ko…”, sambil merangkul lebih erat dan menundukkan kepalanya. Aku tidak bisa lagi berkata, aku terharu atas ucapan Inggrid ini. Tapi tanpa kejadian itupun aku bukanlah aku yang sekarang, Aku mengubah hidup Inggrid, begitupun Inggrid telah mengubah hidupku. Tapi Inggrid memiliki hidupnya sendiri tidak seharusnya dia memujaku seperti ini, dia harusnya bebas tanpa harus terikat hutang budinya padaku.

***

Setelah berkeliling sejenak, akhirnya aku dan Inggrid berhasil menemukan Nita dan keluarganya. Mereka tengah berbelanja kebutuhan sehari-hari, kebutuhan bulanan sepertinya karena selain Nita, Lysa tampak juga sedang mendorong trolie di belakang Ibu mereka, belanjaan mereka cukup banyak.

Aku dan Inggrid hanya mengawasi dari jauh, dan harus tetap waspada karena Tasya berkeliaran sendiri terpisah dari yang lain. Bisa saja kami berpapasan dengannya jika tidak sengaja, makanya Aku dan Inggrid memutuskan untuk berpecar tapi tetap mengawasi mereka. Selain itu kami juga harus memperhatikan orang-orang disekitar apakah ada juga yang mengawasi Nita dan keluarganya.

Suasananya terasa sangat ramai terlebih ini merupakan jam berbuka puasa, jadi semua gerai makanan di sini terisi penuh sesak, membuat kami lebih mudah tersamarkan, dan berbaur. Tapi itu juga yang membuatku kawatir, aku takut kami melewatkan orang yang mungkin berbahaya.

Lumayan lama juga mereka berbelanja sekarang sudah menunjukkan pukul 1800, cukup lama juga mereka. Setelah mereka selesai mengantri, mereka menuju sebuah gerai makan cepat saji di dalam pusat perbelanjaan itu. Tentunya kami tidak masuk ke sana, kami malah duduk di rumah makan yang berseberangan dengan tempat Nita dan keluarganya makan, sambil mengawasi pintu masuk, dan lalu lalang pengunjung yang masuk dan keluar. Sepertinya semua aman-aman saja, dan tentunya aku berusaha terus berkomunikasi bersama Nita melalui chat.

Membuyarkan perhatianku, handphoneku bergetar, ada telpon yang masuk dari Bang Andre.

“Ted, kami baru saja landing, Kamu di mana?”, suara bang Ted terdengar jelas dan tegas dari sana.

“Aku lagi di Mall XXX, sama Nita dan Inggrid bang”, jawabku singkat karena nada serius dari Bang Andre.

“wah… sudah jalan bertiga kalian, sudah open relationship ya.. cie…cie…” tiba-tiba nada Bang Andre berubah jadi bercanda seperti itu, ah bang Andre ini emang susah serius kadang-kadang saja bisa serius.

“aduh… apaan sih Yan!”, suara bang Andre sepertinya dia dipukul Jie Yanin di sana, dan tentunya mereka sudah tiba se-armada di kota ini.

“Engak lah… Aku dan Inggrid lagi ngawasi Nita dan keluarganya dari jauh bang…” jawabku berusaha menjelaskan situasinya kepada Bang Andre.

“EH Awasnya Ted kalau bikin Inggrid ku sedih”, tiba-tiba suara Jie Yanin terdengar dari telpon ini.

“Ah udah…”, terdengar lagi suara bang Andre, mereka seperti rebutan telpon, ada-ada saja kalau mereka berdua bertemu, mereka paling suka bercanda tapi mereka juga adalah duet maut yang sebenarnya.

“Udah sekarang habis ngambil barang, Aku dan Yanin akan kesana, kabari kalau ada pergerakan…” jawab bang Andre lagi dengan tegas.

“Siap bang”, jawabku singkat. Syukurlah mereka berdua sudah ada disini, paling tidak Inggrid dan Nita sudah ada yang menjaga.

“Bang Andre sudah tiba?”, tanya Inggrid yang masih memperhatikan pintu gerai cepat saji itu.

“Iya, bareng Jie Yanin, mereka berdua…” aku tidak melanjutkan kata-kataku lagi, karena aku tahu jika mereka berdua yang diturunkan bukan masalah kecil yang kami hadapi, tapi Ko Alex sepertinya berusaha menjagaku tetap tenang, atau menjagaku dengan segala cara.

“Masalahnya serius ya, sampai mereka berdua yang kemari…”, sambung Inggrid, dia tahu banyak tentang keluarga kami, dan tahu banyak tentang kemampuan Jie Yanin yang sudah menjaganya selama ini. Aku hanya mengangguk, dan menatapnya, tapi matanya tidak lepas dari pandangannya.

Kurang lebih butuh 45 menit dari bandara kemari, tapi jika salah satu dari mereka yang membawa kendaraan, waktunya bisa kurang setengah. Mungkin mereka akan segera bergerak karena gerai cepat saji itu dipenuh banyak orang dan ada juga yang mengantri.

15 menit kemudian aku melihat Nita dan keluarganya sepertinya sudah akan selesai makan, dan tidak lama lagi mereka akan bersiap untuk meninggalkan tempat itu, dan dengan belanjaan sebanyak itu pastinya mereka akan langsung menuju parkiran dan pulang.

“Ling, aku akan mengambil mobil dan menunggu di luar parkiran, sepertinya mereka sudah akan meninggalkan tempat ini…” kataku pada Inggrid, karena jika mereka keluar terlebih dulu, bisa saja kami terjebak kemacetan dari pintu keluar pusat perbelanjaan ini.

“Siap, aku akan mengawasi di sini, hati-hati…” katanya dan melepasku pergi terlebih dulu.

***

Parkiran pusat perbelanjaan ini cukup besar karena kami sulit mendapatkan parkiran akhirnya kami parkir di rooftop, walaupun terjemur matahari, paling tidak bisa parkir. Senja ini tidak banyak kendaraan terparkir di rooftop, mentari sudah tidak terlihat, langit ini terlihat antara gelap dan terang yang mulai memudar, twilight.

Aku melangkah menjauh dari lift dan mendekat kearah mobil Inggrid yang terparkir sendiri di sisi parkiran. Tapi ada derap kaki yang mengarah padaku, sedangkan selain mobil Inggrid tidak ada lagi mobil siapapun di sana. Orang itu mengekutiku, aku berjalan perlahan, aku mendengarkan derap kaki itu, ada 4 pasang derap kaki itu. Aku memperlambat langkahku, jarak mereka mengecil mereka semakin dekat, cukup dekat.

Ku balikkan badanku, sontak mereka terlihat terkejut. Kaki kiriku ke buang ke samping, memberikan posisi yang bagus, dan tangan kiriku sudah siap melindungi tubuhku dan tangan kananku terkepal setinggi dada.

Mereka berjalan beriring dua – dua orang, menggunakan baju kaos dan jins serta sepatu kats casual. Melihat mereka yang mulai mengambil posisi kuda-kuda, aku tahu mereka mengincarku, bukan orang yang sekedar lewat. Kulontarkan tubuhku dengan dorongan kuat dari kaki kananku, meluncur ke pria yang berdiri paling depan di antara mereka, sebelah kananku. Pria itu mengangkat kedua tangannya berusaha melindungi wajahnya dari pukulan tangan kananku. Walau dia berhasil mengkisnya tubuhnya terdorong kebelakang, dan membuat rekan di belakangnya sedikit kehilangan keseimbangan berusaha menahannya.

Masih dalam kondisi terkejut karena serangan kejutanku, ku lontarkan tangan kiriku yang juga telah bersiap ku ayunkan telapak tanganku ke lehernya membuat dia kehilangan nafasnya seketika dan tertunduk berusaha menahan sakit di tenggorokannya. Aku sendiri melontarkan tubuhku mundur mengambil jarak dari mereka.

“Siapa kalian?”, sambil ku buka topi yang sedari tadi ku kenakkan, rasanya rambutku sudah gerah dengan topi ini.

“Sialan, tidak perlu tahu siapa kami, KAU akan mati hari ini Cayadi!!!”, seru pria yang masih berdiri tegak di antar 4 orang yang tadi. Tidak perlu ada pertanyaan lagi, mereka mengincarku, mengincar Tjahyadi. Mengincarku secara terbuka seperti ini, tidak akan ku biarkan mereka lolos.

“Haa…”, teriakan pria itu mengaung di parkiran ini, mungkin karena rooftop tidak terlalu nyaring kedengarannya. Dia berlari kearahku dengan mengepalakan kedua tangannya, tidak ada form yang ku kenal dari posisinya, apakah mereka hanya pereman sewaan yang tidak tahu beladiri? Berani sekali mereka, atau bodoh sekali? Kita liat saja nanti jika ku tanyai kalian sebentar.

Tangan kanan pria itu mengayun dengan kencang mengarah ke wajahku, aku melangkah ke kiri, ku belokkan pukulannya dengan menahan sikutnya dengan tangan kananku, menariknya sedikit membuatnya kehilangan keseimbangannya dan kini rusuk kananya terbuka.

“BAM!”, satu pukulan dari tangan kiriku masuk ke rusuknya, aku yakin dia kini kesulitan bernafas. Dia hanya bisa tertatih, menahan dadanya berusaha bernafas. Melihat rekannya seperti itu, ketiga rekannya berusaha menyerangku bersamaan. Si pria yang ku pukul lehernya tadi berusaha menangkapku dengan tangannya, dia berusaha meraihku dari sisikiriku, tentunya tidak akan mudah baginya.

Aku melangkah mundur, dan ku ayunkan tendangan dari kaki kanan tepat mengenai tulang kering kaki kanannya, membuatnya terjatuh. Si pria yang menahan rekan yang ku pukul pertama kali melompat dengan tendangan di udara, gerakan yang sangat bodoh. Ku tangkap kakinya di udara dengan tangan kiriku dan tangan kananku meraih tungkainya dan membanting tubuhnya turun.

“BUK!”, dia hanya bisa meringis ketika wajahnya menghantam beton. Si pria yang tadi ku pukul pertama sepertinya tangannya masih gemetar saat dia mengangkat kepalannya melindungi wajahnya, dia tidak mendekatiku, hanya berdiri di tempatnya. Si pria yang baru saja ku sandung kakinya kini berusaha berdiri, belum sempat dia berdiri, ku tendang lagi kakinya tepat di tempat yang sama, kali ini lebih keras, membuatnya meringis dan kembali terjatuh.

“Siapa yang menyuruh kalian?”, aku bertanya sekali lagi pada mereka, mengharapkan jawaban tentunya. Tidak ada dari mereka yang menjawab, dan mereka hanya memandangiku, tidak ada dari 3 orang yang ku jatuhkan tadi berani berdiri.

“Kita ulang ya, Siapa yang menyuruh kalian?”, tanyaku sedikit dengan nada meledek. Mereka masih tidak menjawab, sepertinya harus dengan cara kasar. Mungkin terlihat dari wajahku yang sudah tidak sabar dengan mereka membuat mereka sedikit was-was. Sepertinya si pria yang masih berdiri sudah bersiap melarikan diri, karena melihat posisi kakinya, dia sudah bersiap untuk berbalik dan lari. Kalau satu itu lari, dia bisa melapor, tapi paling tidak ada 3 yang bisa ku introgasi, pilihan yang sulit.

Sebuah mobil mini van, Suz*i APV melesat masuk keparikran, apakah itu teman mereka, cukup cepat mengarah ke arah kami yang berada di tengah jalan parkiran ini. Tiba-tiba langsung mengambil posisi menyamping tepat di belakang si pria yang berdiri tadi. Nampaknya mereka sama terkejutnya denganku, tidak tahu apa yang datang, kawan atau lawan.

Pintu slide mobil itu terbuka, dan untunglah itu kawan ku yang tiba, jadi tidak ada yang lolos malam ini. Jie Yanin turun dari mobil dengan wajah sumringah, seperti anak kecil yang dapat mainan baru. Melihat sepertinya ancaman di depan matanya, si pria itu berusaha melarikan diri. Belum sempat berlari beberapa langkah Jie Yanin sudah memburunya.

Tangan jie Yanin langsung meraih rambut pria itu dan membantingnya turun ke betol parkiran, dan jelas itu sangat menyakitkan. Kemungkinan besar orang itu pingsan, karena dia tidak bergerak sama sekali setelah Jie Yanin membantingnya turun. Tiga orang lainnya semakin ketakukan setelah tiga orang lagi turun dari mobil, termasuk bang Andre.

“wah sudah langsung dapat ya…” kata bang Andre sambil cengengesan. Mereka bertiga tidak melawan ketika orang Bang Andre mulai mengikat tangan mereka. Sedangkan Jie Yanin membalik tubuh pria yang dia jatuhkan tadi dan menyeretnya di mobil untuk diangkut, wajahnya sudah belepotan darah, bad for him.

“Sisanya urusan bang Andre ya…” kataku pada bang Andre.

“Ah tidak perlu Aku nih yang urus, biar saja yang muda yang ngurusin…”, sambil dia memberikan kode kepada dua pria yang turun bersama nya dari mobil tadi. Mereka berdua lalu memasukkan 4 empat orang yang sudah terikat itu kedalam mobil dan mereka pun pergi.

Aku, Jie Yanin, dan Bang Andre berada di mobil Inggrid keluar dari parkiran. Mereka berdua duduk di belakang, dan menyisakan tempat di depan untuk Inggrid. Aku juga sudah menjelaskan kondisinya dna mereka juga menjelaskan apa yang mereka tahu padaku di mobil itu. Tidak lama Inggridpun tiba dan terkejut melihat mereka berdua juga sudah berada di mobil. Diluar juga sudah ada satu mobil lagi berisi 4 orang yang sudah menunggu dan bersiap, dan ada dua orang lagi yang sedang menuju rumah Inggrid untuk menjaga kedua orangtuanya, jadi total yang siap siaga ada 8 orang diluar Jie Yanin dan Bang Andre. Akhirnya kami membuntuti Nita pulang kerumahnya.

Tidak lama Bang Andre memberitahu kalau sudah ada hasil dari gerombolan yang menyerangku tadi, sehabis dari rumah Nita, kami akan menuju safe house terlebih dulu, biar Nita di jaga oleh 6 orang tadi.

Siapa sebenarnya yang menyuruh mereka menyerangku, dan tentu saja mereka mengetahui wajahku, dan dari tadi aku bersama dengan Inggrid, tentunya Inggrid juga sudah dikenali oleh mereka. Aku harus semakin waspada dan tentunya Inggrid juga. Keadaan ini bisa semakin runyam kalau tidak segera di tangani.

***

Safe house, pukul 2040

Inggrid sudah kami antar pulang terlebih dulu, dan sisa kru tadi telah berjaga di sekitar rumah Inggrid, memastikan dia aman. Aku, Bang Andre dan Jie Yanin membawa kendaraan dari kru tadi ke safe house. Katanya untuk kru nanti akan ada kendaraan tambahan lagi.

Dari luar rumah ini terlihat seperti rumah biasa di kompleks perumahan yang cukup sepi, tidak banyak orang yang lalu lalang disini, dan jarak antara rumah cukup jauh. Perlahan mobil kami parkir di pinggr jalan, dan turun berjalan melewati taman kecil di depan rumah ini, terlihat terawat.

“Knok…Knok…Knok…” Jie Yanin mengetuk dengan irama tertentu, dan radi dalam muncul salah satu dari dua orang tadi yang mempersilahkan kami masuk. Di dalam terasa jauh berbeda dari sisi luar rumah ini, tempat ini tidak terlihat seperti ‘house’, tapi lebih seperti gudang yang dibuat sedemikian rupa, hanya ada satu jalan masuk, dan satu jalan keluar, beberapa jendela yang ada di rumah ini semuanya tertutup dengan tralis yang dibuat tidak bisa di buka dari luar tapi dengan mudah bisa didorong dari dalam, agar penghuninya mudah melarikan diri.

Saat kami berjalan ke arah ruang tengah, pria yang membukakan pintu tadi, mengangkat karpet di ruangan itu dan terdapat sebuah pintu di lantai itu. Dia mengkatnya dan ada sebuah tangga kayu untuk turun ke bawah. Rumah ini juga memiliki rubanah (basement) yang dibuat sendiri, terlihat dari temboknya yang hanya terdiri dari coran semen yang masih kasar, dibuat alakadarnya.

Ini seperti sarang teroris menurutku, itulah sebabnya aku tidak pernah ingin berurusan dengan bisnis keluarga, tapi kondisi kali ini membuatku harus ikut terlibat dengan ancaman yang mengancam orang di sekitarku juga. Keempat pria tadi tergantung pada sebuah palang besi yang melintang di ruangan itu, dengan tali tambang yang mengikat tangan mereka ke atas, kaki mereka bahkan tidak menyentuh tanah, membuat tubuh mereka berputar. Mereka berderet saling bersebelah-sebelahan, mereka sepertinya sudah habis juga di hajar.

“Bagimana Jo?”, bisik Jie Yanin kepada pria yang mengantar kami masuk tadi, pria tinggi ini hanya menghela nafas lalu menjawab jie Yanin.

“Mereka tidak mengenal langsung orang yang menyuruh mereka, karena ini perintah dari atasan mereka saja… Mereka hanya di beri foto, jadwal dan alamat…”, jawab si Jo kepada Jie Yanin.

“Jadwal?” suara Jie Yanin sedikit jelas terdengar. Jo hanya mengangguk membenarkan pertanyaan jie Yanin. Lalu Jie Yanin pun bergerak mendekati keempat pria yang tergantung itu.

“Siapa Bos kalian?”, tanya Jie Yanin dengan lantang, terdengar bergemah di ruangan yang hanya berukuran 4 x 4 ini.

“Bos kami Rama, jawara di kota ini”, jawab salah satu dari mereka, sepertinya pria yang pukul lehernya pertama tadi. Sambil menjawab tubuhnya masih berputar-putar, membuat jie Yanin kesulitan melihat wajahnya, sepertinya itu membuat Jie Yanin sedikit kesal.

“Mau jawara kek, mau jawiri kek… Aku tidak peduli, di mana dia!?”, kembali Jie Yanin melayangkan pertanyaannya. Pria tadi lagi kembali sepertinya akan menjawab, tapi tubuhnya tetap saja terputar, mungkin dia sedikit meronta makanya putarannya tidak berhenti.

“Kalian tidak akan bisa mengalahkannya… Dia paling…” belum selesai dia berbicara, Jie Yanin sudah sebal karena dari tadi tubuhnya terus berputar-putar.

“BERHENTI BERPUTAR ANJING!!!”, Jie Yanin kesal, melayangkan pukulan tangan kirinya ke rusuk pria malang itu, dan meraih kerah bajunya, agar dia berhenti berputar. Pria itu langsung kesulitan bernafas, dan matanya melotot seperti akan keluar, dan Jie Yanin juga melotot memandanginya.

“Bukan salahnya dia terus berputar…gantungannya tuh…”, Bang Andre berusaha menenangkan Jie Yanin sambil memegang bahu kanannya.

“Bicara!”, bentak Jie Yanin lagi, pria itu masik terbatuk-batuk akibat pukulan Jie Yanin tadi. Ketiga rekannya yang lain sepertinya sudah meringis kesakitan melihat teman mereka baru saja di pukul lagi, terutama pria yang bonyok wajahnya di hantam Jie Yanin sewaktu di parkiran tadi.

“Di Jalan XXX, Bar XXX…”, jawab pria itu terbatah-batah, berusaha menarik nafasnya tapi terlihat sangat tersiksa. Alamat yang dia berikan adalah daerah lokalisasi di kota ini, dan tentunya selama bulan puasa tempat itu tutup. Tapi jika informasi yang dia berikan benar, pasti di dalam masih ada aktifitas.

“Jo, bereskan mereka…”, mendengar kata itu dari mulut Jie Yanin, tubuhku langsung merinding. Aku menatap Jo, dan Bang Andre, dan kembali melihat mereka berempat, mereka pasti mendengar perkataan barusan. Wajah mereka berempat langsung pucatpasih dan tatapan mereka langsung kosong.

Belum sempat aku buka mulut, bang Andre sudah merangkulku dan menarikku ke atas. Kulihat Jo mengambil penutup kepala dan mulai memakaikannya kepada mereka satu persatu. Sialan, kata Ayah semuanya sudah berubah, kata Yanin, selama di Ko Alex semuanya sudah lebih baik, APA SEPERTI INI LEBIH BAIK!

Pintu rubanah itu di tutup oleh Jie Yanin, tidak terdengar suara dari dalam sana, tidak ada apapun, hanya sunyi di rumah itu.

***

Selama perjalanan ke apartementku, pikiranku melayang, aku tidak bisa terima jika bisnis keluargaku segelap itu, aku tidak bisa menerimanya sama sekali. Jika terus seperti ini suatu hari aku akan berdiri dan berhadapan dengan mereka semua, tapi apa aku bisa berdiri menghadapi mereka semua.

“Ted, kami antar kamu pulang dulu, hati-hati, untuk sekarang tidak ada yang akan menjagamu, kami berdua akan langsung ke lokasi yang tadi…”, kata Bang Andre padaku.

“Apa yang akan kalian lakukan?”, tanyaku pada mereka, aku juga kawatir akan keselamatan mereka, apa mereka berdua cukup, tidak tahu apa yang akan mereka hadapi di sana.

“Tentunya bertanya…” jawab Jie Yanin singkat sambil matanya terus lurus ke jalan, dan tangannya telap sigap memegang kemudi.

“Aku ikut bersama kalian!”, jawabku tegas, bagaimanapun jika aku ada aku bisa menjadi tangan tambahan untuk mereka.

“Tidak ini tugas kami!”, jawab Bang Andre membantahku. Sambil terlihat bang Andre sudah mulai menyiapkan kerambitnya yang dia selipkan di antara sabuk pinggangnya. Dia adalah petarusng Silat yang handal, dan juga mematikan, tanpa senjata saja dia adalah maut apalagi dengan senjata. Perasaanku semakin tidak karuan melihat mereka seolah akan bersiap menghabisi setiap orang yang mereka temui di sana.

“Aku HARUS IKUT!”, nadaku meninggi pada mereka dan aku ingin memastikan tidak ada yang mereka ‘sikat’ di sana.

“You not our boss, so shut the f*ck up…!” jawaban lurus dari Jie Yanin membuat suasana dalam mobil menjadi sepi, dan semua terdia setelah itu.

Akhirnya aku di turunkan di depan apatementku, tentunya mereka tahu aku tidak akan tinggal diam kan, aku akan menyusul. Aku bergegas mencari motorku, dan sialnya motorku masih di gym karena tadi berangkat dari gym bersama Inggrid. Terpaksa aku mencari security dulu untuk meminjam motornya.

Aku segera melaju menuju alamat yang di terangkan tadi, tentunya aku bisa tiba di sana lebih cepat karena menggunakan motor dan melewati jalan kecil. Ku parkirkan motor itu agak jauh, dan sedikit berjalan kaki hingga aku berada di seberang bar yang dimaksud, dan aku mencari tempat untuk bersembunyi. Daerah lokalisasi ini sepi, mungkin karena bulan puasa.

Tidak lama berselang aku melihat Jie Yanin dan Bang Andre sudah muncul di sana. Mereka memperhatikan bangunan itu, sepertinya mereka mempelajari jalan masuk dan keluar dari tempat itu dengan seksama. Sepertinya mereka tidak akan masuk dari depan, mereka berjalan melewati gang sempit yang berada tidak jauh dari bar itu, mungkin mereka mencari jalan belakang. Akupun segera mengikuti mereka walau mengendap-endap.

Rupanya benar, dari gang itu ada sebuah jalan kecil lagi yang menuju kebelakang bar itu. Aku melihat Jie Yanin dan Bang Andre berbelok masuk kesana. Saat ku intip, mereka sudah melumpukan dua penjaga yang berjaga di pintu belakang Bar itu.

“Klik…klik…klik…” terdengar Jie Yanin menjentikkan jarinya, tapi aku masih bersembunyi.

“Ted…” sampai terdengar suara setengah berbisik dan berteriak, apalah namanya itu. Aku akhirnya mengeluarkan wajahku dan melihat mereka berdua. Jie Yanin melambai dan memanggilku kesana. Tentu saja mereka sudah tahu aku akan ikut menyelinap kesini. Saat cukup dekat, jie Yanin langsung menyentil keningku dengan jarinya. Terasa sakit keningku karena sentilan itu, tapi aku hanya bisa menahan suaraku.

“Be ready…” suara jie Yanin berbisik, sambil bang Andre mulai membuka pintu itu dengan perlahan, dan di intipnya duluan. Kamipun menyelinap masuk, tidak ada penjagaan di dalam, kami bergerak sambil mengendap-endap. Terdengar suara dari ruangan utama tempat itu, sebuah dance floor yang tidak terlalu besar,mungkin 10 kali 10 meter. Aku dan Bang Andre menunggu di pojok ruangan itu, memperhatikan mereka, dan menghitung jumlah mereka, sedangkan Jie Yanin menyelinap ke atas, memastikan di atas tidak ada lagi orang.

Ruangan ini tidak terlalu terang, tapi tidak terlalu gelap, lantai dan meja yang berwarna-warni tentunya ini club malam, pastinya penuh dengan warna yang kontras. Beberapa sofa dan high chair juga terususun di sudut ruangan. Memang mereka sedang tutup dan tidak operasional makanya menumpuk di pinggir.

“18”, aku menyebutkan angka yang ku hitung sambil berbisik kepada bang Andre. Bang Andre hanya mengangguk mendakan hitungannya juga sama denganku. Dari penilaian kami, pimpinan mereka adalah yang sedang duduk di sofa, sedangkangkan yang lain berdiri. Sepertinya mereka tidak lebih dari empat orang yang kami tangkap sebelumnya, yang harus di waspadai hanya 3 orang yang berada di belakang pimpinan mereka.

“Bagaimana orang kita yang ku suruh tadi? Mana mereka?” tanya pria di sofa itu kepada yang lain.

“Belum kembali bos…” jawab salah satu dari mereka.

“Masa ngurusin anak orang kaya saja lama banget...”, kata si pria itu lagi, sepertinya dia juga tidak tahu sedang berurusan dengan keluargaku, dia hanya menjalankan pesanan orang. Tapi kita liat saja nanti.

Jie Yanin sudah turun, dia sangat jago menyelinap seperti itu. Aku bahkan hampir tidak sadar dia sudah berada di belakangku. Dia menggerakkan bibirnya, ‘delapan belas’, kemudian aku dan Bang Andre mengangguk bersamaan. Jelas mereka hanya delapan belas orang, tidak ada lagi yang lain.

Jie Yanin lalu menunjuk bang Andre dan aku, dan mengarahkan kedepan secara langsung, dan dia menunjuk dirinya sendiri dan memberikan isyarat tangan bahwa dia akan memutar, dan mengangkat tiga jarinya dan menunjuk ke dirinya lagi sambil tersenyum. Dia ingin melawan tiga orang itu sendiri sepertinya dan kami akan membereskan 14 orang yang lain. Untuk si boss sepertinya biar nasib yang menentukan.

Jie Yanin lalu bergebas menyelinap memuar, menunggu beberapa saat kemudian kami berdua pun berdiri.

“Mencari teman kalian?”, aku kemudian berteriak, membuat mereka semua berbalik padaku. Lalu pria di sofa itu lalu berdiri dan memperhatikanku.

“Wah, besar juga nyali kalain ke sini?”, kata si Pria itu, dia terlihat kekar saat berdiri, tingginya juga lumayan, tapi terlihat perutnya yang sedikit buncit dari belakang kaosnya.

“Sepertinya anak buahku sudah kalian hajar ya?”, sambungnya lagi, sambil mengusap brewoknya.

“Mereka itu…” kata bang Andre sambil menyentilkan kukunya, hal itu membuat mereka semua geram.

“SERANG!!!”teriak pria besar itu, dan semua anak buah mereka bergerak maju mendekati kami. Benar dugaan jie Yanin, tiga orang di belakang pria itu tidak bergerak.

Terdengar teriakan mereka semua bergemah, berlari menuju arah kami, mataku tertuju kedepan ke arah mereka, tapi dalam riuh teriakan mereka aku masih sempat mendengar ‘he’ tawa halus dari bibir Bang Andre, sebelum semuanya berubah menjadi bunyi dentuman.

Bang Andre sudah melesat maju, dia dengan cepat menangkis pukulan lawannya melebarkan tanganya dan membuat dada pria itu terbuka di hadapannya, tapi bukan dada yang di incar Bang Andre, leher. ‘BUK’, lawannya langsung tumbang seketika, saat pukulan bang Andre mendarat dan di tarik dengan cepat, menjatuhkan tubuh itu kencang ke lantai.

Aku juga sudah di sibukkan dengan mereka yang datang padaku, aku memalingkan tubuhku kekiri menghindari sebuah pukulan bawah yang datang padaku, ku dorong sikutnya, membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan, dan kaki kananku melayang menghatamkan lututku tepat di rusuk kanannya. Ku putar tubuhku dengan segera dengan bertumpu pada kaki kiriku yang masih berpijak.

Kaki kanaku ku buang jauh kedalam lingkar dalam pria yang sudah berdiri di dekatku, tangannya sudah tidak sempat untuk menangkisku, sikutku mendarat dengan cepat tepat rahangnya membuatnya terdorong mundur, dan ku sambung dengan pukulan tangan kiriku ke dadanya melontarkannya lebih jauh.

Tempat ini penuh sesak, belum sesaat sudah ada lagi yang bersiap menyerangku dari kanan, dia berusaha menangkapku dengan kedua tangannya. Ku tekuk lututku, ku tarik kedua tanganku ke dadaku, dan ku ayunkan tubuhku ke arahnya. Aku berada setinggi perutnya sekarang, ku lontarkan kepalan tangan kananku dengan kencang mengenai dagunya, membuatnya tumbang, dan aku kembali menarik tubuhku ke belakang.

“BRAK!!!”, sebuah bunyi keras terdengar dari sisi lain ruangan, semua mata tertuju ke sana. Satu dari tiga pria yang berdiri di belakang pimpinan mereka telah terbujur kaku di lantai, dan Jie Yanin sudah dalam kuda-kuda bersiapnya di sudut sana dengan wajah yang tersenyum, dasar adrenalin junky.

Kondisi ini harus segera ku manfaatkan saat para curut ini terfokus pada Jie Yanin, Aku lalu melangkah maju dengan cepat, ku ayun tangan kananku jab kencang ke dagu pria yang berdiri di kiriku, dan sebuah jab kiri lagi kepada pria yang berada di kananku, dan sebuah straight lurus ke kening pria yang hanya melongo melihatku sudah mendekatinya. Sekaligus tiga tumbang.

Eh tunggu dulu, kenapa sudah tidak ada yang berdiri, aku hitung dulu, aku baru menjatuhkan 6, harusnya aku menjatuhkan tujuh, tapi aku melihat dan menghitung yang terkapar sudah 14, berarti Bang Andre mengambil satu jatahku. Aku perhatikan Bang Andre sudah berdiri santai sambil melihat Jie Yanin baru saja menjatuhkan orang terakhir dari 3 orang tadi.

Yang tersisa hanya si pimpinan, dia hanya berdiri melihat kami membereskan anak buahnya. Apakah dia ketakutan sampai tidak bisa bergerak, tapi terlihat dari wajahnya dia masih tenang-tenang saja. Apakah dia tangguh atau dia sombong, sebentar lagi kita kan tahu.

Jie Yanin kembali bergabung bersama kami berdua, sambil melangkah dengan sombongnya melewati anak buah si preman yang sudah tumbang semua. Hanya tinggal pimpinannya, apakah akan kami sikat sekarang atau bicara?

“Kamu mau cara kasar atau langsung bicara?” tanya Jie Yanin dengan santai kepada si Pimpinan itu.

“Hahahaha…” dia hanya tertawa, sepertinya dia cukup sombong dengan kemampuannya, dan merasa bisa melawan kami bertiga.

“Buat aku bicara kalau kalian bisa… hahahaha…” si pria itu kembali tertawa dan mentang kami, tapi Jie Yanin hanya tersenyum, tumben dia tidak terpancing, dia pasti punya taktik lain. Si pria telah memasang kuda-kudanya, tubuh bagian atasnya yang kekar dan wajah sangarnya membuat dia cukup mengintimidasi.

“Arg….” tiba-tiba si Pria sudah meringis kesakitan, Jie Yanin dan Bang Andre masih berdiri di tempatnya. Aku melihat ke arah pria itu, sebuah belati kecil telah menacap di paha kanannya, cukup dalam sepertinya.

“Aku masih punya 4, mau bicara sekarang atau setelah pisauku habis”, kata Jie Yanin menyindir pria itu, ternyata ini rencananya, segera menyelesaikan tanpa basa-basi dan buang energi lagi. Aku tidak akan mencari masalah dengannya, kalaupun harus, dia yang terlebih dahulu harus kulumpuhkan.

“WANITA JALANG!!”, sambil dia berusaha mencabut belati itu dari pahanya, tapi belum sempat tercabut, belati berikutnya sudah menancap di bicep kirinya, dia kembali meringis kesakitan. Darah mulai mengucur dari tubuhnya, tapi sepertinya dia belum akan menyerah. Dia hanya bisa memplototi Jie Yanin dan kami, tanpa bisa berkata-kata, akupun kehilangan kata-kataku melihat jie Yanin melakukan itu.

“Siapa yang menyuruhmu!?”, tanya Jie Yanin dengan jelas dan lantang, sambil tangannya masih memainkan belatinya di kedua tangannya dengan sangat lincah. Si Pimpinan sepertinya masih tidak ingin bicara, atau tidak sanggup bicara karena menahan sakit.

“Sekali lagi ya… Siapa yang menyuruhmu!?”, Jie Yanin kembali bertanya, dengan nada yang sedikit dia tinggikan dan lebih mengintimidasi, aku bahkan merinding berdiri di dekatnya, dia sudah mengeluarkan hawa membunuhnya. Dia sudah tidak segan lagi kalau seperti ini, kalau dia masih tidak berbicara mungkin dia ketakutan. Pria itu masih tidak berbicara, terdengar hilah nafas dari Jie Yanin, dan di sambung teriakan dari pria itu, belati selanjutnya telah menancap di paha kirinya.

Tubuh pria itu ambruk berlutut di hadapan kami, dia masih meringis dan berusaha menahan tubuhnya yang gemetar. Sialan jie Yanin sudah kelewatan, dia akan mati kehabisan darah jika seperti ini terus.

“Kami tidak akan pergi sebelum mendapatkan nama, kalau ada alamat lebih bagus lagi…” kata Bang Andre. Bang Andre melangkah maju mendekati pria itu, dan berjongkok kurang lebih setengah meter dihadapannya Bang Andre menutupi arah lembaran Jie Yanin, sepertinya bang Andre juga sengaja melakukan itu agar Yanin tidak menyerangnya lagi.

“BERENGSEK!”ruapanya walau sudah pucat seperti itu dia masih bisa berteriak memaki. Rupanya aku salah jika Bang Andre lebih tidak tega daripada Jie Yanin. Bang Andre memegang belati yang menacap di bicep kiri pria itu dan memutarnya. Teriakan pria itu kembali meraung di ruangan, aku melihat sepertinya beberapa dari anak buah yang kami hajar tadi harusnya sudah pulih, tapi memilih tetap merapat ke lantai. Sebuah pukulan menghantam wajah pria itu, teriakannya pun terhenti.

“Berisik”, kata bang Andre pada pria itu.

“Cepat jawab!”, kata bang Andre lagi, sambil menggenggam leher pria itu dengan tangan kanannya. Ini adalah adegan introgasi yang biadab, tidak ada bad cop good cop, keduanya bad cop. Sebaiknya dia segera menjawab jika tidak ingin di siksa oleh dua monster ini.

Terdengar samar-samar sepertinya dia sudah memberikan jawabannya kepada Bang Andre, karena terlihat bang Andre merapatka tubuhnya pada pria itu dan melepaskan cengkramannya.

“Gitu dong…” bang Andrepun berdiri, tapi sebelumnya dia menarik ketiga pisau itu keluar dari tubuh pria malang itu, sambil mendekap mulutnya, pria itu hanya bisa berusaha meronta, sebuah pukulan kencang kembali mendarat di wajah pria itu membuatnya pingsan dan terjatuh bersimbah darah ke lantai.

Kami berjalan keluar dari jalan kami masuk tadi, saat kami membuka pintu aku terkejut sudah ada polis yang berdiri diluar.

“Sudah beres, tinggal angkut pak”, kata Jie Yanin sambil menjabat tangan polisi itu. Rupanya mereka berdua sudah merencakan untuk meringkus para preman ini dengan melibatkan polisi. Tapi preman yang penuh darah itu, ah pasti akan dibereskan juga oleh polisi. Mereka dari awal sudah merencanakannya, dasar mareka, apa mungkin empat orang tadi yang dia maksud bereskan adalah di serahkan ke polisi?

***
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd