Fragmen 16
Requiem of The Broken Dream
Sesi
nude painting dilanjutkan setelah Pak De pulang dari rapat bersama para koleganya di Museum Le Mayeur. Pak De berkata bahwa, nantinya akan ada 12 lukisan baru yang akan menjadi
highlight dalam pameran Sang Maestro di Perancis, lukisan erotis Ava bersama Indira ini akan menjadi pembuka. Untuk karya berikutnya, Sang Maestro memerlukan model lain yang tak kalah liar dari si pemuda brewok.
"Saya saja, Jik!" Kata Kadek menawarkan diri dengan penuh pede. Pemuda itu nampaknya ikut meneteskan air liur menyaksikan pose mesra Ava dengan Indira dalam keaadaan tanpa busana.
"Hahahaha! Sayang sekali, Dek, kamu terlalu kurus! Lagipula saya mencari model perempuan! Yang liar! Tapi juga seksi! Tapi maskulin! Pokoknya yang.... RAWWWWR!" kata Pak De sambil terus melukis. "Tolong saya dicariken ya, Dek. Coba kamu hubungi Pak Nico di Seminyak, agensi modelnya biasanya punya model bagus-bagus."
Kadek mengangguk, meski dalam hati pemuda itu mulai gelisah. Liar? Seksi? Di mana harus mencari model seperti itu? Sang murid segera memutar otak. Banyak memang model cantik dan seksi yang sering menjadi model lukisan Sang Maestro. Tapi model yang seksi namun liar dan maskulin? Kadek bahkan tak tahu dari mana ia harus mulai mencari.
Benak Kadek berputar-putar, sebelum akhirnya memorinya tersangkut pada kejadian di
Pub Crossing Fate seminggu yang lalu. Hanya sekilas barangkali ia bisa mengingatnya, namun wajah vokalis cewek berambut pendek dan bertato yang tak segan-segan berkelahi dengan lelaki itu segera berkelebatan di dalam benaknya.
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Seorang wanita berambut pendek duduk resah di sebuah bar di tepi pantai. Tangan kirinya yang penuh tato memegang sebatang rokok mentol yang menyala, sementara pandangannya mengawang memandangi pesawat terbang yang melayang dari arah Bandara Ngurah Rai di kejauhan. Sheena tersenyum getir, membiarkan angin laut membelai rambut pendeknya.
Seorang pemuda ceking berkulit hitam dengan rambut gimbal asyik menggoyangkan kepalanya mengikuti alunan suara Bob Marley di depan Sheena. Kepalanya menggeleng-geleng asyik seolah hanya ada ada lagu itu saja di telinganya. Di bibirnya terselip sebatang rokok kretek, dadanya yang kurus dengan kalung dari tulang belulang tampak kembang-kempis menghisapi nikotin yang dirasakannya seperti nikmat surgawi, meski ia tahu ada asap yang lebih nikmat dari ini.
"
No woman, no cry... No, no woman, no woman, no cry... woyo... yo... yo..." mulutnya yang ditumbuhi kumis tipis monyong-monyong tidak jelas, sembari sibuk mencampur berbagai macam minuman di bar panjang yang dilapisi kayu mahoni.
"Udahan deh, Malah nyanyi-nyanyi nggak jelas! Sakit kuping gue."
"
Hey little sister, don't shed no tears... woyo... yo... yo..." Bob terus cuek bernyanyi, sambil menggaruk-garuk kemaluannya yang gatal, hingga Sheena semakin dongkol dibuatnya.
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Pantai Kelan. Sebuah pantai yang tersembunyi di antara Bandar Udara Internasional Ngurah Rai dan perkampungan nelayan di dusun Kedonganan. Terletak persis di sebelah Pasar Ikan Kedonganan, pantai Kelan nyaris tak terendus hiruk pikuk pariwisata Pulau Dewata yang semakin sesak tiap tahunnya. Hanya ada beberapa kedai ikan bakar, dan sebuah bar reggae suram yang masih mendentamkan musik meskipun jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat sepuluh.
Bar di pinggir pantai itu sudah sepi pengunjung, di pojokan ada beberapa bule kere yang teler setelah menenggak sebotol arak Bali yang dioplos dengan jus
magic mushroom. Sementara di sampingnya ada dua sejoli yang sedang asyik berbincang, seorang bule dan kekasihnya yang berkulit eksotis.
Sebenarnya bar ini meniru konsep bar-bar yang ada di Havana atau Jamaika, sebuah bar eksotis dengan dinding bambu di pinggir pantai, lengkap dengan lampu-lampu gantung yang berwarna-warni. Namun kenyataannya Bar itu demikian suram, sesuram bendera besar berwarna merah-kuning-hijau dengan gambar daun singkong di tengahnya, serta foto Bob Marley terpasang menggantikan foto SBY, dan foto Mbah Surip menggantikan Budiono. Melihat bartendernya yang berambut gimbal -Bob- sudah bisa menjelaskan bar ini benar-benar diperuntukkan untuk turis-turis
low budget.
"Gimana bisnis?" Sheena akhirnya membuka pembicaraan, basa basi barangkali.
"Yah, begini-begini aja. Makin sepi, namanya juga
Low Season," jawab Bob lesu. "Elu?"
"Bulan ini, kontrak kita habis. Setelah itu gue harus cari tempat baru," Sheena menyahut tak kalah lesu. "Nggak gampang ternyata kalau nggak punya bekingan kuat di sini."
"Dari awal kan gue udah bilang, langsung ngibarin bendera sendiri enggak gampang. Gue aja harus mengincar pasar pinggiran kaya gini. Gila aja kalau disuruh bersaing ngelawan bar-bar gede di Legian atau Seminyak. Apalagi elu ? Coba bayangin, Poppies II,
men! Diapit Jalan Legian dan Pantai Kuta, kurang keras apa coba persaingannya?"
Sheena memilih menanggapinya dengan melengos, menenggak sebotol arak dingin di tangannya.
"Lagian, kan dulu elu sendiri yang bilang, Studio itu cuma buat batu pijakan. Sekarang Tato-tato elu udah mulai terkenal, seenggaknya di lingkungan Poppies II. Mungkin habis ini elu bisa
join dulu sama orang lain... atau..."
"Nggak semudah itu, Bob," cepat Sheena memotong.
Sheena menjelaskan bahwa, diperlukan modal besar untuk menyewa tempat dan membeli peralatan tato. Bank tidak akan meminjamkan uang begitu saja tanpa jaminan, memaksa dirinya meminjam uang pada seorang pengusaha di Jakarta. Satu tahun sudah Sheena memulai bisnis tatonya, namun mencapai
Break Event Point pun sulit dirasa. Hingga masa sewa tempatnya habis dan penagih hutang mulai datang menerornya.
"
I'm fucked up," pungkas Sheena getir.
Bob menuangkan segelas arak ke gelas teman lamanya. "Tapi gue selalu yakin, Na. Semesta bakal kasih jalan. Kaya yang dibilang Bob Marley,
Everything is gonna be alright."
"
Everything is gonna be alright kalo ada arwahnya Bob Marley datang terus ngasih gue kerjaan buat ngelunasin hutang gue!" sambar Sheena sinis lalu menenggak arak hingga tandas.
Bob menghela nafas prihatin. "Lagian kenapa elu harus repot-repot balik ke Bali? Padahal gue denger elu udah ada kerjaan mapan di Jakarta."
"
So? Gue nggak boleh pulang ke Bali?"
"Ya, gue nggak nyangka aja, setelah apa yang terjadi elu bakal balik lagi ke tempat ini... padahal..."
Cepat, Sheena menukas ucapan Bob, "Gue nggak bisa lari terus-terusan, Bob."
Bob menyadari, perkataannya tadi mendadak membuat air muka lawan bicaranya berubah mendung. Pandangan Sheena perlahan mengawang, memandangi laut yang menghitam di kejauhan. Angin laut berhembus memenuhi Bar '
The Rastafarian Pilgrims'. Dingin menerobos masuk, mencuatkan aroma samudera dan arak Bali ke segala penjuru ruangan Bar yang terbuat dari bambu.
"10 tahun kita nggak ketemu. Elu berubah, Na," kata Bob sambil menggaruk-garuk rambut gimbalnya.
"
People changes..." Sheena menyalakan rokok kedua.
"
Man,
c'mon... Apa yang dibilang Awan kalau dia ngelihat kondisi elu sekarang?"
Tiba-tiba Sheena menggebrak meja sehingga membuat tamu-tamu lain terperanjat. Wanita berambut pendek itu menatap tajam ke arah Bob, kemudian berucap geram, "Bob! jangan sebut-sebut nama dia! Jangan rusak
mood gue!"
Sheena menenggak segelas arak lagi, namun rasa arak itu seperti melipatgandakan pahit di dadanya. "
Fuck," umpat Sheena pelan.
Awan. Mendadak nama itu kembali terngiang-ngiang di benaknya. Sheena mendengus dan membiarkan pahit arak memenuhi tenggorokannya. Betapa manusia itu begitu mudahnya bermimpi, begitu mudah bercita-cita. Namun apa yang tertinggal dari sebuah mimpi? Selain sebuah remah-remah ingatan yang tertinggal ketika engkau terbangun di pagi hari.
"
Oke, sekali lagi ya kutanya: apa mimpimu?"
"
Komikus!"
"
Komikus? Hmm boleh juga... Nggak pengin jadi model?"
"
Pengeen jugaa! Aku mau jadi model!"
"
Kalau gitu aku yang jadi fotogafer!"
"
Terus?"
"
Aku yang motret kamu buat Vogue!"
"
Asyik!"
"
Kita wujudin mimpi kita!"
"
Serius?"
"
Serius!"
"
Janji?"
"
Janji!"
(Dan mereka mengaitkan jari, saling mengikat janji.)
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
"Tapi dia nggak pernah nepatin janjinya kan, Bob?" Sheena menghembuskan rokoknya dengan hampa.
Bob terdiam, barnya sudah sepi. "tapi aku tahu, sampai akhir Awan berusaha nepatin janjinya."
Sheena menenggak arak. "nyatanya?"
"Itu bukan keinginan kita! Bukan keinginanmu, atau keinginan Awan kalau mimpinya nggak terwujud!"
"Makanya dari saat itu aku nggak mau lagi mimpi! Aku nggak mau lagi bercita-cita!"
Sheena mendengus, dan menenggak arak lagi. Betapa manusia itu demikian mudahnya bermimpi, demikian mudah bercita-cita. Apa yang tertinggal dari sebuah mimpi? Hanyalah sebuah bangun di pagi hari, hanyalah sebuah tiada dari asa yang memudar!
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Mimpi itu kini terbaring beku di Bale Daja. Rempah dan sebalut kain membaluri tubuhnya, menebarkan aroma wewangian yang membaur dengan asap dupa dan pekat tangis yang memenuhi udara. Juru kidung menembangkan kekidungan yang mengalun lirih untuk mengiringi seseorang yang akan menempuh sebuah perlawatan panjang. Seorang wanita terisak, menghaturkan sesaji untuk tubuh yang tak lagi bisa bermimpi itu.
Sheena kecil duduk di pojokan, lengan kiri dan dahinya masih dibebat perban. Dadanya dipenuhi dengan isak yang tak juga berhenti bergolak. Ia menutup mulutnya dengan tangan, sementara lara melelehi pipinya yang penuh lebam.
= = = = = = = = = = == = = = = = = = = = = =
Kehilangan telah mengevolusi seorang gadis mungil berambut poni menjadi seorang wanita berambut pendek yang merajah tubuhnya sendiri dengan kurva dan berbagai warna. Matanya menatap tajam pada ujung jarum yang merajam nyeri, namun tak juga ia meratap dan memejam. Ia mengabaikan perih dan ngilu yang seperti hantu.
Pandangan Sheena perlahan mengawang, memandangi laut yang menghitam di kejauhan. Angin laut berhembus memenuhi Bar '
The Rastafarian Pilgrims'. Dingin menerobos masuk, mencuatkan aroma samudera dan arak Bali ke segala penjuru ruangan Bar yang terbuat dari bambu.
Sheena itu memandangi tangan kirinya yang penuh tato. Tato itu sekilas berbentuk naga, namun sisik-sisiknya merupakan tumpukan manusia yang merangkak dibalut nyala api yang membentuk tulisan "
Inferno". Sheena meraba punggung Naga yang membentuk tulisan "
Purgatorio", ada bagian yang menonjol memanjang sampai tulisan inferno. Sebuah bekas luka bakar yang berusaha ditutupinya.
"
Wound heals, but scars wont," Sheena berkata lirih.
"Na, udah.... elu jangan minum kebanyakan..." Bob memperingatkan.
"Biar!" dengus Sheena dan menenggak untuk kesekian kali.
Gelas kesepuluh mengantarkan ingatan Sheena kembali ke lorong-lorong masa lalu... membawanya jauh bertualang ke dalam kisah Awan, Hujan, dan cinta yang tak sempat diucapkan....
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api
Yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada.
PLAYLIST
Sendiri | Chrisye
Aku Ingin | Sapardi Joko Damono