Fragmen 8
Resonansi
Para pendengar yang Budiman... bzzzzzt... bzzzzt.... Telah terjadi gempa tektonik berskala 5,9 Skala Richter.... bzzt... yang berpusat di 12 Kilometer dari Laut Selatan... Bzzt... untuk sementara, jumlah korban jiwa belum bisa dipastiken, karena... bzzzzzt.... piiiiiip....
Bssst... Penduduk Diharapken tenang, dan tidak terpicu isyu-isyu yang dapat meperkeruh suasana, termasuk isyu tsunami yang hanya bohong belaka... diulangi cuma bohong belaka...
Ngiiiing.... Yang Mulia Presiden, Pemimpin Besar Revolusi dalam konferensi persnya telah menyataken keadaan darurat nasional... Bzzzt...
Oom Jay manggut-manggut mendengar siaran radio yang dinyalakan dengan generator darurat. Gempa berkekuatan tinggi yang menghantam daerah selatan melumpuhkan instalasi listrik, membuat seisi kota gelap gulita. Penduduk yang terhasut isyu tsunami berbondong-bondong mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Chaos. Penjarahan di mana-mana.
Oom Jay tidak mengungsi? Sora bertanya sambil mengenakan mantel tebalnya.
Mau mengungsi ke mana lagi? Kiamat ya kiamat, ndak ada yang bisa lari dari hari akhir, jawabnya acuh tak acuh, lalu kembali menyibukkan diri dengan naskahnya. Di sebelahnya sudah berjajar 3 gelas kopi yang bersisa ampas, gelas keempat menyusul dihirupnya, mengalirkan ratusan miligram kafein ke dalam pembuluh darah.
Ya... tapi kan...
Oom Jay mengibas risih. Sora, sebaiknya kamu beristirahat. Selama beberapa hari ke depan, bakalan terjadi banyak hal. Apapun itu, kamu harus siap.
Sora mengangguk bingung. Isyarat dari sang penulis naskah kepada Awan menandakan bahwa keduanya harus lekas angkat kaki.
= = = = = = = = = = = = = =
Suasana kota nampak murung. Mendung hitam menggantung seperti tanda kabung. Jalanan dipenuhi ambulans yang berseliweran membawa korban dari Daerah Selatan -distrik terparah yang terkena dampak gempa. Suara sirine meraung-raung, seperti requiem yang mengiringi isak tangis keluarga korban yang menyayat hati.
Sora dan Awan berkendara melewati kota tua yang nampak seperti kota mati, toko-toko tutup, dan jalanan nampak nampak lenggang. Berkali-kali melintas mobil bak terbuka yang dijejali tubuh-tubuh berdarah yang bertumpuk-tumpuk, entah sekarat atau sudah tak bernyawa, namun jelas sekali Sora bisa mencium anyir darah yang menyeruak di udara.
Mengerikan, desau Sora. Pemandangan ini mengingatkan saya pada tragedi bulan Oktober.
Awan memilih tak menjawab. Dalam gelap pekat, diarahkannya kemudi menembusi tirai hujan yang makin rapat.
Malam sudah hampir tiba pada puncaknya ketika dua sahabat itu tiba di kediaman tua. Hujan turun semakin deras, membuat keduanya melangkah cepat ke dalam rumah peninggalan Belanda yang kini diliputi gulita.
Obatmu, kamu minum terus, kan?
Tidak pernah alpa, tapi...
Tapi apa?
Penyakit saya sepertinya kambuh lagi.
Langkah Awan mendadak terhenti. Oh, ya? Kapan?
Beberapa hari yang lalu, Sora menceritakan pengalaman gaibnya.
Senyum pahit membayang di wajah Awan.
Awan. Kadang saya tak bisa jelas tahu yang mana mimpi dan yang mana kenyataan. Kadang saya merasa mimpi saya lebih nyata daripada saat saya terjaga. Mungkin kalau tak ada kau, saya sudah dikirim ke sanatorium sejak dulu.
10 tahun sudah berlalu. Sampai kapan kau mau terus seperti ini?
Sora mengangkat bahu. Entahlah.
Aku tak bisa terus-menerus menemanimu... desis Awan getir.
Kenapa?
Siapa yang bisa memastikan jika kita bisa terus bersama-sama? Cepat atau lambat, kamu harus bisa menjalani semuanya tanpa aku.
Andaikata aku bisa memandang dunia seoptimis kau. Seandainya aku bisa menjadi sosok yang benaknya dipenuhi mimpi-mimpi seperti kau, Sora menghela nafas putus asa, ketika membuka pintu ruang samping.
Awan tersenyum lembut.
You already have, my friend. Hanya saja kau tak pernah menyadari.