Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Quest

Kayaknya paling sulit yah.....

Oiya, soal Wira, Mike, & Michelle bisa dapet kemampuan itu bisa diulas gak....?
 
Kayak nya satria bakal ngabisin mike, dan exe-exe sama michele(pertalite)
 
========
QUEST#08
========​

“Bagaimana cara mengembalikan SHINY GEM kepada pemiliknya?” tanyaku pada Wira pagi itu. Ia sudah keluar rumah sakit dan sedang dalam rawat jalan dengan istirahat di rumah.

Wira
“SHINY GEM tidak bisa dikembalikan karena tidak mungkin memiliki dua jiwa di dalam satu tubuh, kan?” jawabnya tanpa melihatku sama sekali.
Ia sedang tiduran di samping kolam renangnya. Berjemur matahari pagi dengan kaca mata hitam. Beberapa perban masih menghiasi tubuhnya. Bekas luka yang sudah kering meninggalkan bekas lebih putih di kulitnya yang termasuk putih.
“Coba kau lihat SHINY GEM ini...” kataku memperlihatkan SHINY GEM tanpa menyerahkan benda itu padanya.
“Itu, SCORGH, kan?” tetap tidak melihatku. Ia tetap duduk di kursi pantai itu.
“Benar... Ini SCORGH dari seorang perempuan yang juga mempunyai ZODIAC CORE SCORPIO... Tetapi ada sesuatu yang salah... Katanya jiwanya tidak stabil... karena tinggal setengah...” jelasku.
“Caramu adalah mengopi jiwa pemilik SHINY GEM ke dalam permata-permata itu... dengan SHINY GEM COTIG itu... Tetapi mengapa SHINY GEM ini malah berisi setengah jiwa pemiliknya?” tanyaku.
“Itu karena yang mengambil SHINY GEM itu tidak mengopinya... ia hanya mengambilnya... Cara mengambilnya ada bermacam-macam...” jawabnya seenaknya.
“Yang mengambil SHINY GEM ini adalah orang-orang yang telah menyerangmu waktu itu...” kataku lagi.
Wira terdiam.
Apa yang dipikirkannya sekarang? Mungkin ia berpikir kenapa orang yang hanya memiliki setengah kekuatan SHINY GEM bisa mengalahkannya. Apa si Wira ini orang yang egonya terlalu tinggi seperti itu.
“Itu artinya mereka melakukan sesuatu yang sangat berbahaya...” kata Wira duduk tegak di kursi pantai itu dan membuka kaca mata hitamnya.
“Setengah jiwa yang tertinggal akan berusaha untuk mencari setengah bagiannya yang hilang... Kalau itu terjadi dan jiwa yang tertinggal lepas dari raganya untuk mencari bagian yang hilang itu... akan terjadi kematian...” jelas Wira.
“Apa?” kagetku setengah mati.
“Itu kemungkinan terburuk... Itu akan terjadi sekitar dua atau tiga hari setelah setengah jiwanya diambil...” lanjutnya.
Gawat! Ini sudah 4 hari sejak Mike dan Michelle mengambil SCORGH dari Nining. Ini bisa menjadi fatal kalau begitu. Gimana kalau saat ini juga jiwa yang tertinggal di tubuh Nining mulai mencari sisanya.
“Cara tercepat menyelamatkannya adalah membiarkan cewek itu memakai SHINY GEM itu sendiri... sebagai perhiasan... Itu yang terbaik...” kata Wira kembali memakai kaca mata hitamnya dan merebahkan tubuhnya kembali ke kursi pantai. Ia sepertinya mengerti kegundahanku dan memberikan solusi ini.
“Terima kasih, Wira!” seruku langsung saja terbang dengan cepat dengan sayap XOXAM dan MARVELOCITY tanpa banyak basa-basi. Wira tidak suka hal begitu. Terimakasih lebih banyak nanti akan kulakukan. Yang penting keselamatan Nining dulu! Langsung menuju rumahku!
--------​
“Nining di mana?” tanyaku pada Dewi.
“Mungkin di dapur...” jawabnya acuh tak acuh.
Setelah keluar kamar Putri dan Dewi, aku langsung menuju dapur yang berada di bagian belakang rumah ini.
Ternyata dia memang berada di dapur bersama bu Warni. Sepertinya ia sedang membantu wanita yang sering menemani kami makan itu untuk memasak.
“Masak apa, Ning?” tanyaku begitu aku sudah dekat. Sepertinya Nining baik-baik saja. Sukurlah tidak terjadi yang tidak-tidak.
“Eh... Satria... Ini lagi m’bantuin bu Warni masak semur ayam... Katanya Satria suka semur ayam, ya?” jawabnya ceria seperti biasa.
“Ng... Iya...” jawabku.
“Oo... kalau nak Satria sukanya semur ayamnya pake kecap asin... kalau kecap manis atau pakai gula jawa... dia gak mau...” sambar bu Warni. Ia memang sudah mengerti kebiasaanku.
“Ih... Aneh memang kamu...” kata Nining.
--------​
“Gimana tidurmu tadi malam? Enak?” tanyaku setelah makan siang. Kami duduk di taman belakang rumah.
“Ya... aku kaget tiba-tiba terbangun di kamar saudara kembarnya Satria... Putri dan Dewi sudah menceritakan apa yang sudah terjadi dengan keluargaku di kampung... Aku benar-benar minta maaf, Satria...” katanya.
“Kenapa harus minta maaf... Biar kujelaskan lebih rinci lagi... Ini mengenai kenapa semua kejadian ini terjadi... Tapi terlebih dahulu... aku mau menyerahkan milikmu ini...” kataku lalu menyerahkan SHINY GEM SCORGH itu ke tangannya.
“Permata? Besar banget? Pasti harganya sangat mahal... Satria memberikannya untukku?” kagetnya.
“Ng... Sebenarnya permata itu milik Nining sendiri... Namanya adalah SCORGH... Variasi dari ZODIAC CORE ... SCORPIO... SHINY GEM lebih tepatnya... Ada orang yang telah mengambilnya dari Nining sewaktu di Puncak dulu... Sewaktu kita mendaki bukit untuk mengambil bendera itu... Ingat?” kataku.
Nining berusaha mengingatnya lalu mengangguk. “Trus?”
“Aku berhasil merebutnya kembali... Inilah dia di dalam permata itu...” kataku lagi.
Ia terdiam berusaha mencerna.
“SHINY GEM adalah jiwa pemiliknya... Orang itu telah mengambil separuh jiwa Nining dan memasukkannya ke dalam permata ini... Memindahkannya!” lanjutku.
“Berbahayanya adalah karena ia mengambil separuh jiwa Nining... itu dapat mengancam jiwa Nining... Bisa mengakibatkan kematian... karena separuh jiwa yang tertinggal akan mencari separuh bagiannya yang hilang...” kataku terus menatap dalam-dalam pada Nining.
“Sebenarnya tujuan keluargamu baik dengan berusaha untuk memanggil kembali separuh jiwa Nining yang hilang itu... Tapi sayangnya kita semua jadi salah pengertian dan perseteruan di kampungmu... Tapa Gunung itu terjadi...” jelasku.
Kami terdiam untuk beberapa lama. Hanya ada desau angin yang menggesek dedaunan bunga milik Mamaku yang terdengar. Sesekali suara kicau burung terbawa angin juga dari sisi belakang rumah kembar lima yang kadang dibuat bersarang burung-burung liar di pepohonan.
“Kalau begitu... upacara pemanggilan itu... sebenarnya berhasil... karena separuh jiwaku memang datang... yang dibawa Satria sendiri...” kata Nining kemudian.
“Hmm... Benar juga... Secara tidak langsung separuh jiwa Nining yang hilang memang datang... Aku tidak memikirkan itu...” kataku sadar.
Sebenarnya mereka, penduduk desa Tapa Gunung sadar kalau orang yang mengambil separuh jiwa warganya bukan orang biasa dan mengerahkan seluruh kekuatan mereka untuk menghadapi orang tersebut tanpa mereka sadari bahwa mereka malah mengundang kami, pihak lainnya.
“Jadi separuh jiwaku yang hilang diambil... ada di dalam permata ini?” kata Nining memandang permata SHINY GEM yang berkilauan terkena cahaya matahari.
“Ya... Itu milik Nining...” kataku memastikannya.
“Kalau kupakai sebagai perhiasan... akan sangat mencolok dan norak sekali... Masa orang miskin dan jelek sepertiku... punya permata gede dan mahal seperti ini...” katanya mencoba melihat facet-facetnya yang berkilau.
“Lebih baik begini saja...” ia lalu memejamkan mata dan berkonsentrasi. Lalu perlahan ia menekankan permata itu ke dada kirinya. Dahinya mengernyit sebentar dan ia memutar-mutar perlahan tangannya.
“Sudah...” katanya lalu membuka matanya perlahan sambil menghembuskan nafas perlahan. Permata itu telah hilang! Masuk ke dalam dada kirinya?
“Wah... Nining jago juga masalah begituan rupanya...” kataku kagum. Aku baru sadar kalau ia juga warga desa Tapa Gunung yang rata-rata pendekar. Ini kali pertama kulihat Nining melakukan hal begitu.
“Aku sedikit-sedikit juga mengerti masalah seperti ini... kalau tidak... aku tidak akan mungkin diijinkan merantau... Untuk bekal jaga diri gitu, deh...” katanya menjelaskan.
Ini menjelaskan kenapa ia tidak kaget sewaktu kejadian dengan Masto, dukun santet atau pertarungan dengan Tinto.
“Ya, Sudah... berarti masalah dengan desaku sudah selesai... Jadi kita bisa fokus pada ZODIAC CORE SCORPIO-ku, kan?” katanya mengerling padaku.
“Hmm... Di rumah sebesar ini... kira-kira berapa lama aku bisa menemukan kamar Satria, ya?” ia berfikir.
“He... he... kalau itu... harus memakai peta bajak laut... tempatnya sangat tersembunyi... Cuma semut yang bisa masuk... Adanya di Raftel...” candaku.
 
SIDE QUEST FILE #02
Wednesday, 15 November
Case File : Sofi the Sniper


“Satria… Tolong bantuin…” seru seseorang. Dari suaranya, perempuan dan pernah kudengar. Aku melongok keluar dari jejeran mobil yang diparkir di depan toko ini.
“Siapa?” tanyaku karena kulihat hanya sebagian badannya yang terlihat, terhalang pintu belakang mobil sedannya yang terbuka. Ia seperti sedang berusaha untuk mengeluarkan atau memasukkan sesuatu ke mobilnya.
“Aku Sofi… Ingat aku, kan?” katanya masih berusaha. Suaranya menggema di dalam mobil.
Sofi? Teman Vita dan Shanti? Si Sniper itu?

Sofi the Sniper
“Ada apa?” tanyaku mendekat.
“Ini… bantu aku ngeluarin oven ini, dong?” katanya menoleh kebelakang. Ada apa dia di tempat ini saat jam kerja? Apa dia tidak masuk kerja? Kena PHK juga?
Aku meletakkan belanjaanku di atas atap mobilnya bersiap membantu.
“Minggir… Biar aku aja yang ngeluarin ovennya…” kataku agar ia menepi dan memberiku ruang gerak. Satu sisi oven itu tersangkut jahitan jok sandaran kursi belakang mobil ini. Sofi-pun minggir dan memberiku ruang. Ia berputar dan membuka pintu mobil sebelah kanan untuk membantu.
Kuangkat oven listrik yang berdimensi kurang lebih 40x30x40 cm. Lumayan berat. Eh?
“Tunggu… tunggu! Kabelnya nyangkut juga…” seru Sofi di sebelah sana. Ia berusaha melepaskan kabel stop kontak oven yang sepertinya tersangkut di bawah jok tempat duduk.
“Woo…” aku jadi kehilangan keseimbangan saat tiba-tiba kabel listrik oven itu terbebas dan aku limbung ke belakang. Punggungku membentur pintu lalu terduduk di aspal pelataran parkir dan tertekan oven itu.
“Aww…” kataku meringis. Pantatku terasa sakit. Lengan dan punggungku juga sakit.
“Aduh-duh-duh… Sori… sori, Satria…” seru Sofi memutari panjang mobil dan menghampiriku tergopoh-gopoh. Diambilnya oven dari tanganku dan meletakkannya di aspal dekat pintu mobil yang masih terbuka.
“Yah… yah…” keluhku dua kali.
“Kenapa? Sakit, ya?” bingungnya.
“Bukan… Itu…” tunjukku pada belanjaanku yang ikut jatuh dari atap mobil. Diinjak-injak Sofi lalu ditimpa oven pula. Apes…
“Sori lagi, Satria… Bunga mawarmu jadi rusak… Nanti kuganti, deh…” sesalnya. Dipungutnya buket bunga mawar merah yang sudah hancur itu.
Lemas aku melihatnya. Bunga yang akan kuhadiahkan pada Nining besok saat ulang tahunnya nanti hancur berantakan. Sudah jadi kebiasaanku untuk menghadiahkan bunga mawar merah sejumlah dengan umur yang berulang tahun. 21 kuntum bunga mawar merah untuk Nining contohnya.
Sofi bangkit dan bergerak dengan cepat dan menuju toko bunga yang ada di deretan ruko-ruko ini.
Tak lama ia kembali lagi dengan tangan kosong dan muka yang sangat bersalah.
“Toko itu sudah kehabisan mawar merah… Yang baru Satria beli tadi adalah stok terakhir mereka hari ini… Gimana, dong?” katanya sedih dan bersalah.
“Yah… Gimana lagi… Aku juga sudah keliling kota dan mendatangi semua toko bunga yang ada… Ke-21 mawar itu juga kukumpulkan dari 5 toko bunga…” jelasku memilih-milih semua tangkai bunga itu. Tidak ada yang utuh. Ada yang tangkainya remuk, daunnya rontok, kelopaknya gugur, kuntumnya sobek.
“Bunganya sangat penting, ya?” tanya Sofi merasa sangat bersalah. Wajahnya yang cantik terlihat hampir menangis.
“Ya, udah… Gak pa-pa… Besok kubeli lagi…” kataku karena sebenarnya ke-21 mawar itu akan kuberikan besok. Ulang tahun Nining tanggal 16 November besok.
“Aku yang harus menggantinya… Aku yang sudah merusak bunga-bunga ini… Aku janji aku akan menggantinya hari ini juga…” katanya memelas.
“Besok aja… Besok pagi pasti tidak sulit mencari bunga seperti ini… Sofi yang beli, deh…” kataku mengabulkan permintaannya. Bagian dari permintaan maafnya.
“Gak! Harus hari ini juga… Kalau nunggu besok… pasti Satria akan beli sendiri…” katanya serius. Sepertinya cewek ini keras kepala banget.
“Kalau harus beli hari ini… gak bakalan dapat juga, Sofi… Cuma dari 5 toko bunga aku baru bisa ngumpulin 21 mawar… Ukurannya-pun gak seragam... Sudah hampir semua toko bunga yang ada di buku telepon yang kudatangi…” jelasku tentang apa yang sudah kulakukan sejak pulang sekolah tadi siang. Begitu selesai sekolah, aku langsung berburu 21 tangkai mawar sebagai hadiah ulang tahun Nining. Aku merasa kalau kali ini harus bunga mawar agar terasa lebih istimewa di hari ulang tahunnya.
“Aku… aku akan cari di penanamnya langsung… Ya… ke petani bunganya…” kata Sofi masih keras kepala.
“Petani bunga? Dimana ada petani bunga di kota ini?” heranku.
“Tunggu…” katanya lalu membuka pintu mobil di samping supir dan mengeluarkan tasnya. Dengan sigap ia mengeluarkan sebuah netbook dan mengaktifkannya. Mau apa dia pake ngeluarin benda itu segala? Dia meletakkan netbook itu di kap depan mobil Nissan Juke-nya.
Tak lama ia sudah klik sana dan ketik sini. Dari yang kulihat, ia sedang mencari lokasi petani bunga atau distributor bunga potong yang ada di sekitar kota ini.
Ternyata ada banyak juga mereka di kota ini. Khususnya distributor bunga potong segar. Tetapi para petani bunga kebanyakan berada di luar kota karena biasanya bunga menyukai tempat yang sejuk dan dingin seperti pegunungan.
Terdekat yang ada disekitar sini, hanya beberapa ratus meter jauhnya dari tempat kami berada sekarang.
“Kita ke alamat ini… Mereka ini distributor bunga potong segar… Pasti mereka punya bunga untukmu…” kata Sofi senang sekali.
“Ng… Baiklah… Tapi… oven-mu ini mau diapakan?” ingatku pada benda yang telah memicu semua kekacauan ini. Oven itu masih tergeletak begitu saja di atas aspal.
“O iya… Aku mau mengembalikan oven ini ke toko itu… Baru dipake 2 hari udah rusak…” jelasnya lalu beranjak hendak mengangkat oven itu dan menuju toko peralatan rumah tangga yang ada di depan kami.
Yah… Orang itu? Pikirannya dimana, ya? Netbook-nya ditinggal begitu saja di atas kap mobil dan masuk ke toko itu. Pintu mobilnya juga masih terbuka dengan AC menyala karena kunci kontaknya masih di tempatnya. Gimana kalau ada pencuri?
Aku berbaik hati memasukkan netbook-nya ke dalam mobil dan mengunci mobilnya lalu menyusulnya ke dalam toko. Buket bunga 21 kuntum mawar itu kumasukkan tempat sampah.
“… tapi ini, kan baru kupakai 2 hari, pak?” sergah Sofi pada penjaga toko itu. Sepertinya ia minta perbaikan atau penggantian oven yang baru saja dibelinya.
“Tapi kerusakan seperti ini tidak termasuk dalam garansi toko kami, bu… Masa selimut dan handuk ibu masukkan ke dalam oven ini?… Ini, kan oven… bukan pengering pakaian…” kilah penjaga toko itu.
Wah… Orang ini sakit…
--------​
Sofi terus ngotot ingin minta penggantian tapi aku tidak mau ikut campur dan keluar dari toko itu sebelum dia melihatku lalu minta bantuan dariku.
Aku berdiri tidak jauh dari mobilnya dan menunggu ia keluar. Saat ia keluar ia masih menggerundel gak karuan dan menuding-nuding tempat itu. Tapi ia tidak membawa apa-apa alias tangan kosong.
Ia kebingungan meraba-raba seluruh kantong celananya mencari kunci mobilnya. Tentu saja kunci mobilnya ada padaku.
“Sofi… Nih…” kataku melempar kunci itu padanya. Ia masih kebingungan dan merogoh salah satu kantong celananya. Kedua tangannya sibuk bekerja. Wah! Kena, deh jidatnya!
Oo… Tepat pada waktunya… Ia menyambar—menangkap kunci itu yang beberapa cm lagi akan mengenai keningnya.
“Wah… Makasih, ya? Kukira jatuh dimana…” katanya tersenyum lebar dan membuka pintu mobil dengan remote control yang ada di kunci mobil itu. “Kita naik mobilku aja… Lebih mudah pergi dengan satu mobil…” katanya lalu masuk ke mobil dan duduk.
Aku masuk juga dan duduk di sampingnya. Sofi mengambil tas netbook yang ada di tempat duduk yang kududuki dan memindahkannya ke jok belakang.
“Netbook-ku!” serunya tiba-tiba teringat laptop mini-nya yang tadi ditinggalkannya di atas kap mobil. Ia memandangi jok dimana netbook itu terakhir kali dilihatnya dengan muka memelas, nelangsa.
“Sudah kumasukkan ke dalam tas itu, Sof…” kataku.
“Benarkah?” diambilnya kembali tas tadi dan memeriksa isinya. “Syukurlah… Kukira hilang… Rupanya sudah kau masukkan ke tas ini…Banyak data penting di dalamnya…” katanya lalu mengembalikan tas netbook itu kembali ke jok belakang.
“Apa kau sering begini? Netbook kau tinggal begitu aja di kap depan… Pintu mobil kau biarkan terbuka dengan kunci kontak nempel… Kau ceroboh sekali, ya?” kataku mengingatkannya.
“Iya… aku sering lupa… dan meninggalkan hal-hal penting seperti itu… Ibuku sering menasehatiku supaya aku berhati-hati… Tapi… aku tidak bisa…” katanya.
“Oven-mu mana? Diperbaiki, ya?” tanyaku tentang benda yang dibawanya masuk ke toko tadi. Apa ketinggalan juga di toko itu?
“Iya… Mereka bilang kalau kerusakan jenis begitu tidak tercakup dalam garansi… Jadi aku harus membayar biaya servis-nya sendiri…” jelasnya tanpa menyebutkan penyebab kerusakan oven itu karena kesalahan prosedur pakai yang wajar. Aku tidak mau tanya bahkan.
“Eh… Kita mo ngapain, ya?” tanyanya tiba-tiba.
Heeerrrgggg? Tiba-tiba kepalaku juga mendidih.
--------​
Tiba di distributor bunga potong segar dalam 15 menit kami langsung memasuki kantor kecil yang juga merangkap sebagai tempat sortir bunga.
“Pak… Ada bunga mawar?” tanya Sofi pada seorang bapak-bapak yang sedang menghitung tumpukan bunga yang sudah dibungkus plastik untuk menjaga kesegaran bunga.
“Perlu berapa ton?” tanya bapak itu hanya melirik saja pada Sofi karena ia tidak mau lupa hitungannya.
“Ng… Cuma 21 batang saja, pak…” katanya.
“Cuma 21 batang?” bapak-bapak itu berhenti menghitung dan beralih pada Sofi yang menunggu penuh harap. Dipandanginya Sofi dari ujung rambut sampai ujung kaki. Pandangannya gak enak kayak lagi sesak boker gitu jadinya.
“Kami hanya melayani penjualan minimal 2 ton per hari… Kalau hanya 21 batang lebih baik kalian cari di tempat lain saja… Lagipula mawar sedang langka akhir-akhir ini… Cuma petani dengan Green House gede yang bisa panen di cuaca begini…” jelas bapak itu lalu beralih kembali pada pekerjaannya.
“Jadi tidak ada, pak?” tanya Sofi lebih mirip desakan.
“Kosong…” jawabnya tak perduli lagi. Ia sama sekali mengacuhkan Sofi dan kembali ke pekerjaannya.
“Gak ada, Satria…” lemas Sofi mendapat jawaban akhir ini. “Tapi kita cari di tempat lain… Yuk?” ajaknya dan langsung keluar tempat ini. Semangatnya muncul kembali. Gampang jatuh… dan gampang pula bangkit kembali.
--------​
“Apa kau tau alamat ini? Sepertinya kita tersesat…” kataku menyadari keadaan kami sekarang. Tempat ini melulu perumahan warga, sepi tanpa tanda-tanda ada tempat usaha distributor bunga potong segar.
“Iya… Gak ada orang untuk dimintai informasi…’ katanya celingak-celinguk kanan kiri mencari orang yang bisa ditanya arah. Perumahan ini sepi karena sebagian besar penghuninya sedang bekerja atau setidaknya mengurung diri saja di dalam rumah karena cuaca panas.
Sofi memarkirkan mobilnya di belakang sebuah mobil boks yang juga parkir di tepi jalan. Ia bermaksud untuk memeriksa lagi alamat yang didapatnya dari internet.
DUNG!
Tiba-tiba pintu belakang mobil boks di depan kami terbuka dan berlompatan beberapa sosok tubuh bersenjata lengkap dan memakai penutup muka. Bergerak dengan cepat menuju sebuah bangunan rumah yang pagarnya terkunci. Beberapa kali sosok tubuh pasukan itu menendang bumper depan mobil Sofi yang memang menghalangi gerakan cepat mereka. Seorang polisi berseragam memberi tanda Sofi untuk memundurkan mobilnya.
Kejadian berlangsung dengan cepat karena terdengar beberapa kali tembakan dan teriakan kesakitan. Lalu yang lebih mengagetkan lagi adalah sebuah ledakan dari dalam rumah.
Sofi yang tidak terlalu jauh memundurkan mobilnya dari TKP menyaksikan jelas apa yang terjadi. Saat sebuah pecahan bangunan yang terdiri dari batu bata dan semen keras mendarat di kap depan mobilnya.
Suaranya cukup keras dan mobil berguncang karenanya. Cepat-cepat aku keluar dari mobil dan menyelamatkan diri. Tapi tidak dengan Sofi. Ia tetap di dalam mobilnya. Entah apa yang dilakukannya.
Kutarik dia keluar dari dalam mobil dan kuseret menjauh dari sana. Beberapa warga perumahan yang juga mendengar keributan ini juga keluar dari rumahnya untuk mencari tahu apa yang terjadi di lingkungan mereka.
Terdengar beberapa kali rentetan tembakan kembali lalu hening. Beberapa polisi bersenjata lengkap kemudian berlari masuk memberi bantuan pada regu sebelumnya.
“…semuanya memakai MP5 tanpa peredam suara dengan magasin berisi 12 peluru… rompi Kevlar dan radio komunikasi dua arah terenkripsi…” gumam Sofi sambil terus menyaksikan kejadian langka ini. Sepertinya ini penggerebekan sarang tindak kejahatan yang cukup berat hingga perlu penanganan bersenjata seperti ini.
Berikutnya beberapa orang digelandang keluar dari dalam rumah dengan tangan terborgol dan wajah ditutupi sabo. Mereka dimasukkan kedalam beberapa mobil lalu pergi dengan cepat. TKP disegel dengan garis polisi dan dijaga ketat. Hanya orang-orang berwenang yang diperbolehkan masuk.
Sofi mendekat ke TKP. Dibalik garis polisi yang melintang menghalangi orang luar. Polisi mencegah siapapun melewati garis itu. Sofi sepertinya bukan tertarik dengan kejadian dan kerusakan yang dihasilkannya sepertinya hancurnya bagian depan rumah yang harus diledakkan polisi karena diblokir sedemikian rupa oleh penjahat yang bersembunyi di dalam rumah. Tapi ia lebih tertarik pada peralatan para personil polisi itu, seperti senjata api dan berbagai alat penunjang tugas lainnya.
Matanya jelalatan melihat semua peralatan itu. Memperhatikan tiap detil dan lekuknya. Sepertinya ia sangat suka dengan senjata… Bentar-bentar lagi mungkin dia bakalan orgasme, tuh.
Padahal yang harusnya dikhawatirkannya saat ini adalah mobilnya yang kini rusak terkena pecahan bangunan…
“Ini mobilmu?” tanya seorang polisi yang mendekatiku.
“Bukan, pak… Punya teman saya… Itu orangnya…” tunjukku pada Sofi yang masih berdiri di belakang garis polisi. Ia memegangi pita kuning itu dan terus melihat aktifitas para petugas.
“Kasih tahu temanmu itu… kerusakan mobilnya bisa di-klaim ke kantor polisi dengan menunjukkan surat-surat kepemilikan mobil ini…” kata petugas itu dan menyerahkan selembar kertas Berita Acara serah terima ganti rugi.
Sofi sama sekali tidak memperdulikan kerusakan yang menimpa mobilnya. Ia terus berada di belakang garis polisi dan mengawasi pekerjaan mereka dengan penuh antusias.
Pecahan dinding bangunan yang menimpa kap depan mobil sedan ini ternyata tidak merusak mesin di bawahnya. Hanya menyebabkan penyok dalam dan cat yang terkelupas saja. Mesin bisa berfungsi dengan normal dan baik.
Hari-pun semakin sore…
--------​
“Sof… Ini dah sore, loh… Nanti semuanya pada tutup…” kataku mengajaknya untuk segera pergi. Kuhampiri dia yang masih asyik menonton TKP.
“Eh-eh… Tim dobrak masuk ke dalam rumah dengan lebih dulu meledakkan pintu rumah agar tim serbu bisa masuk dengan mudah… Persis dengan taktikmu waktu itu…” katanya dengan wajah yang berbinar-binar.
“Kau menikmati ini semua? Kalau begitu aku pergi sendiri saja… Ini kunci mobilmu… Dag…” kataku tak begitu ambil pusing lagi. Aku pergi saja. Tujuanku pulang…
Sofi kutinggalkan masih di depan bangunan itu dengan segala kekagumannya akan prosedur kerja kepolisian tadi. Aku meninggalkan perumahan ini dengan berjalan kaki dan bermaksud menyetop angkot atau taksi nantinya.
Aku bukannya merajuk, tetapi aku sama sekali malas mengurusi hal-hal yang tidak penting seperti ini. Aku punya urusan sendiri. Tidak masalah kalau 21 mawar itu rusak karena aku tinggal membeli lagi yang baru besok pagi. Pagi-pagi sekali aku akan menyatroni toko bunga terdekat dari rumahku kalau perlu.
Tapi aku melihat mobil Sofi yang bagian depannya penyok itu merapat padaku yang sedang menunggu angkutan di pinggir jalan.
“Sori… sori, Satria… Maafin aku, ya? Aku jadi malah melupakan beli mawar itu… Aku suka sekali melihat TKP penggerebekan seperti tadi… Kita cari mawar lagi, yah?” katanya turun dengan cepat dan mendekatiku.
Sialan! Beberapa warga yang ada di sekitar sini melihat pada kami. Pasti mereka mengira kami pasangan yang sedang bertengkar. Sang wanita sedang merayu pacarnya yang sedang ngambek. Gila aja… Dunia dah kebalik aja.
Tanpa berkata apa-apa, aku langsung masuk ke dalam mobil dan duduk diam. Sofi masuk menyusul dengan wajah sumringah.
“Itu… surat pengantar untuk kau klaim kerusakan mobilmu ini karena kejadian tadi… Jadi kau bisa minta ganti rugi sama kepolisian dengan membawa STNK atau BPKB mobil ini…” tunjukku pada gulungan kertas yang kutaruh di atas dashboard mobil. Mobil melaju menuju tujuan berikutnya, distributor bunga potong segar.
“Ya… Aku sudah liat… Di kompleks tadi distributor bunganya sudah tidak beroperasi lagi… Kata para tetangga sudah bangkrut… Orangnya juga udah pindah...” kata Sofi tentang tujuan kami sebelumnya.
Mencapai tujuan kami berikutnya, toko dan kantornya sudah tutup baru saja. Hanya beberapa pekerja sedang beres-beres toko hendak pulang.
Dari mereka juga dapat informasi kalau mereka hanya menjual bunga dalam partai besar. Minimal 2 ton perhari dengan PO disertai DP minimal 30% dari pesanan. Bila tidak, tidak akan dilayani karena mereka sudah punya pelanggan tetap yang rutin mengambil bunga dari mereka.
Tapi mereka berbaik hati memberikan alamat dan nomor telepon seorang tengkulak dimana mereka biasa mendapatkan suplai bunga segar. Mungkin orang itu bisa membantu.
Sofi menelepon orang itu dan didapat kabar kalau ia sedang berada di desa para petani untuk mengumpulkan bunga yang akan dibawa ke kota pagi nanti. Sofi mendapat informasi kalau semua distributor bunga potong segar rata-rata memang begitu sistem kerjanya. Beberapa bahkan menerapkan standar tinggi bunga yang berorientasi ekspor.
Dia menyarankan kalau memang sangat perlu mendesak, sebaiknya mereka datang langsung ke desa tempatnya berada sekarang karena stoknya masih cukup banyak tersedia. Sofi mencatat lokasi persis desa itu. Desanya ada di kaki gunung yang berhawa sejuk. Cukup jauh dari kota.
“Kita ke desa itu sekarang juga… OK?” kata Sofi bersemangat sekali.
“Kenapa harus jauh sekali kalau hanya mau beli 21 mawar? Aku lebih pilih beli besok saja di toko bunga…” tolakku.
“Tapi, kan ini sangat penting untuk Satria… Kita harus beli sekarang juga…” desak Sofi ngotot. Tau dari mana dia kalau ini sangat penting untukku? Sepenting-pentingnya aku juga gak sampe niat nyari bunga sampe ke gunung.
“Kalau kau mau beli ke desa itu… terserah padamu… Tapi kau pergi sendiri aja… Aku sudah capek… Mau istirahat…” kataku tidak tahan dengan kekeras-kepalaannya. Aku meraih pintu dan membukanya.
“Yah… Jangan pergi, dong? Masa Satria tega biarin aku pergi kesana sendirian aja… Kalau ada apa-apa? Siapa yang nolongin aku?” katanya mencegahku pergi dengan memegangi tanganku.
“Aku gak mau tau… Kau yang ambil keputusan sendiri… Aku tidak ikut campur… Terserah apa maumu… Kalau bunganya udah dapat... antar aja ke rumahku... Kalau gak dapat juga gak pa-pa...” kataku sengit. Ini sudah melewati batas kesabaranku.
“Hu hu hu… Satria tega… Hu hu hu… Gak disangka… keponakannya Elisa begini kejam… Aku kan niatnya baik… Ternyata perasaannya tidak serupa dengan waktu di kamar hotel dulu… Hu hu hu…” rengeknya mulai menangis manja.
“Eh… Jangan bawa-bawa tanteku… Aku, kan sudah bilang belinya besok saja… Tidak perlu harus ke gunung untuk beli bunga yang bisa dibeli… dibeli besok pagi…” kataku mencoba bertahan.
“Hu hu hu… Aku mau telpon tantemu dulu… kalau kau orangnya tegaan… Biar aku kenapa-kenapa di gunung sana sendirian…” katanya mengancam akan menelepon tante Elisa segala. Dia dan Vita kenal baik dengan adik terkecil orang tuaku. Ia mencari-cari nomor telepon tante Elisa.
“Ya, udah… Udah… Aku ikut…” ujarku menyerah.
--------​
Sepanjang jalan ia bernyanyi-nyanyi bergumam mengikuti alunan lagu dari sound system mobilnya. Aku duduk senyamannya di atas mobil ini. Padahal sudah tak rela. Tapi demi menghindari kena omelan tante Elisa… Terpaksa.
Skala prioritas Sofi memang sangat perlu dipertanyakan. Ia sempat-sempatnya singgah di pinggir jalan dan membeli souvenir. Lalu membeli jagung rebus. Bercanda ria dengan monyet-monyet yang turun sampai ke tepi jalan. Memberi kacang rebus pada hewan yang sangat menyebalkan sekali itu kurasa.
Hari sudah gelap ketika lampu-lampu jalan menerangi jalur jalan menuju pegunungan di depan sana. Beberapa tempat dikejauhan sudah mulai ditutupi kabut.
Pengen saja rasanya aku menggabungkan diri dengan tubuhku yang satunya dan otomatis menghilang dari mobil ini. Pasti akan lebih nyaman dan tentram di rumah saja. Bahkan bisa kelonan bareng Nining.
Dikejauhan sana terlihat antrian panjang mobil di kegelapan malam. Lampu-lampu rem terlihat memerahkan malam bercampur dengan suara klakson bersahut-sahutan.
“Ada apa?” heran Sofi celingak-celinguk mengeluarkan kepalanya dari kaca jendela.
“Razia! Razia!” seru seorang sopir mobil boks yang melaju kencang setelah melewati perangkap kemacetan di depan.
“Razia?” gumamku. Bakalan lama, nih. Semua kendaraan akan digeledah. Mungkin ini buntut penggerebekan tadi sore di perumahan tadi.
Ciiiittt!
Sofi dengan tangkas membanting setir dan berbalik arah dengan cepat. Lalu tancap gas ke arah balik ke kota. Untung aku dari tadi pake sabuk pengaman.
“Ada apa? Gak jadi ke desa itu?” tanyaku melihat aksinya barusan. Tetapi wajahnya tidak begitu jelas terlihat di suasana temaram mobil ini.
“Saat ini mobilku tidak boleh digeledah polisi… Aku membawa senapan sniper air soft gun-ku di bagasi belakang… Kita ambil jalan pintas…” katanya lalu berbelok mengambil jalan kecil yang kualitas jalannya masih berupa jalan batu yang dikeraskan.
“Ng… Sofi… Apa kau yakin dengan jalan ini? Kau pernah lewat sini sebelumnya?” tanyaku. Aku sampai berpegangan dengan pegangan disediakan di atas jendela. Jalannya tidak bisa dikatakan bagus karena sebagian berlumpur dan berlubang.
“Tentu… Kau jangan khawatir… Jelek-jelek begini aku pernah ikut reli… Rutenya, ya lewat sini… Tapi itu sudah 5 tahun lalu… jadi jalannya sudah mulai rusak kembali…” jelas Sofi terus berkonsentrasi dengan jalan yang ditempuhnya.
“Itu, kan pake mobil reli… Apa kau yakin dengan mobilmu yang sekarang ini?” kataku. Mobil terasa melayang karena melompati sebuah gundukan sebuah jembatan kecil. Lalu mendarat kasar dan terus melaju. Di kanan kiri kami merupakan perkebunan teh yang tidak terlihat keindahannya karena keadaannya yang gelap gulita. Hanya ada beberapa titik cahaya di kejauhan dari rumah petani desa.
“Ini mobil bagus… Aku tidak pernah membeli mobil yang tidak bisa kupakai seperti ini… Liat saja… Sebentar lagi kita akan melewati razia tadi… Aku tau betul daerah sini…” katanya begitu mobil mendarat kembali.
Ia terus dengan lincah melibas jalan-jalan perkebunan ini dengan gesit dan sigap. Tekniknya bagus sekali. Tidak salah kalau dia mengaku kalau pernah ikut reli. Tapi 5 tahun lalu…?
Aku hanya bisa mengencangkan sabuk pengamanku…
“O o?” tiba-tiba Sofi membanting stir ke kiri dan menarik rem tangan hingga mobilnya ngepot berputar 90° sebelum melewati sebuah jembatan. Nissan Juke ini berhenti di depan sebuah sungai kecil yang jembatannya sudah rusak.
Jembatan kini hanya berupa beberapa buah batang pohon kelapa besar sebagai titian. Jembatan darurat!
“Sial! Jembatannya rusak… Harus jalan pelan-pelan kalau mau lewat…” umpat Sofi menendang tanah di depannya.
“Jembatan ini cukup kuat… Kalau jalan pelan-pelan pasti bisa lewat…” kataku yang ikut turun dan memeriksa keadaan batang-batang kelapa ini. Aku berdiri di atasnya.
Jadinya kami meniti jembatan darurat ini perlahan-lahan saja. Sofi tetap menyetir dan aku yang mengarahkan kayak tukang parkir dadakan. Tak lama mobil Sofi ini sudah melewati sungai kecil ini dan melaju kembali. Melahap beberapa tikungan layaknya profesional dan memacu kencang kala trek lurus.
Dan akhirnya kami keluar kembali di jalan raya seperti yang dijanjikannya setelah melewati beberapa buah perkampungan. Tidak ada tanda-tanda razia di sekitar kami dan aku bisa melihat senyum Sofi samar-samar diterangi lampu jalan.
--------​
“Dari alamat yang dikasih… desanya yang ini…” kata Sofi berhenti di depan gapura desa. Sekarang sudah jam 20:12 malam. Hanya ada beberapa orang berkumpul di depan gapura, yaitu para ojek sepeda motor yang siap mengantar masuk ke dalam desa. Seluruhnya memakai pakaian hangat dan sarung.
Kami turun dan mencari informasi dari para tukang ojek ini tentang alamat yang kami cari. Mereka memberi arah agar kami tidak tersesat di desa ini. Kami berterima kasih pada mereka.
Desa ini sepi walau sudah dialiri listrik tetapi memang seperti itulah desa biasanya. Sederhana dan bersahaja.
Tanpa kesulitan kami berhasil menemukan tempat dimana sang tengkulak alias pengepul bunga-bunga potong segar hasil budidaya petani desa ini berada. Yaitu pada sebuah tempat semacam koperasi desa. Banyak petani yang sedang menyetorkan hasil kebun bunga-nya untuk disortir dan ditimbang atau dihitung.
“Sepertinya ada di sana…” kata Sofi menunjuk pada seorang bapak-bapak yang sedang mencatat hasil timbangan sebuah paket bunga yang dikemas dengan karung-karung plastik.
“Pak Imran?” sapa Sofi mencari perhatian orang tua separuh baya itu.
“Ya? Oh… Yang nelpon tadi sore itu, ya?” sahutnya langsung menyadari dengan tanggap. “Cari bunga apa tadi?” tanyanya.
“Mawar, pak…” jawab Sofi bersemangat.
“Mawar…. Sudiyo?... Ada mawar, gak?” tanya pak Imran pada salah satu petani bunga yang sedang menyusun hasil kebunnya.
“Kosong… Mawarnya gak berbunga minggu ini… Hasilnya lagi jelek…” jawab pak Sudiyo.
“Wah… Kosong, nak… Akhir-akhir ini mawar memang sedang susah… Petani di desa ini menanam mawar begitu saja tanpa peneduh… Paling banter cuma pake Paranet sebagai penapis sinar matahari… Yang pake Green House gak ada… Mahal…” jelas pak Imran lebih rinci.
“Yah… Kosong… Padahal sudah jauh-jauh kemari…” sesal Sofi.
Sudah jauh-jauh begini, bunga yang dicari tetap tidak dapat. Huh… Mau kesal… marah… sebal. Campur aduk semua jadi satu.
“… iya… Cuacanya sedang tidak menentu… Mawar itu paling seneng berbunga kalau matahari cukup dan tidak hujan… Air cukup disiramkan di bagian akarnya saja… Ini… Kadang hujan deras… mendung… gerimis… Mawar jadi malas berbunga…” jelas pak Sudiyo pada Sofi yang mendekati petani bunga itu. Cuaca sekarang memang tak menentu. Di kota kami sedang cuaca panas seterik-teriknya. Sedang di sini bisa hujan seharian.
“Sebatang dua batang-pun gak ada, pak?” desak Sofi tak mau menyerah.
“Kalau cuma sebatang dua batang ya… ada… Mau berapa banyak, nak?” tanya pak Sudiyo balik.
“Cuma 21 batang aja, pak…” jawab Sofi mendapat angin.
“Ya… Cobalah kita liat nanti… Mungkin ada… Kalau dikumpulin mungkin dapat 21 batang…” kata pak Sudiyo.
“Betul, pak? Wah… Terima kasih banyak, pak…” Sofi senang sekali mendengarnya. Kami harus menunggu sampai pak Sudiyo selesai bertransaksi dengan pihak koperasi bunga yang menampung sebagian besar produksi bunga krisan miliknya.
--------​
Di kegelapan malam, kami berempat ke kebun bunga milik pak Sudiyo. Pak Sudiyo dan seorang anak lelakinya, Sofi dan aku sendiri. Kebun bunga itu berada di belakang rumah petani bunga ini. Luasnya sekitar setengah hektar lebih dan ditanami berbagai jenis bunga. Dari mawar, krisan, anggrek dan lain-lain.
Dua buah lampu petromaks menjadi alat penerang kami saat mencari bunga mawar yang kami butuhkan. Luas lahan yang diperuntukkan untuk mawar sekitar 100 meter persegi lebih. Berjejer rapi dengan rumpun-rumpun besar.
Beberapa bunga mawar merah memang mekar malam ini tetapi jumlahnya tidak banyak. Setelah dikumpulkan paling cuma 10-12 batang saja. Selebihnya masih berupa kuntum yang akan mekar 2-3 hari mendatang. Memang jumlahnya banyak.
“Cuma segini… Tidak sampai 21 batang, Satria… Gimana, dong?” kata Sofi mendekatiku.
“Yah… Mau bilang apa… Ini sudah lumayan daripada tidak ada sama sekali… Kita sudah berusaha, kan?” kataku menghibur Sofi yang sepertinya sangat kecewa dengan perjuangannya.
Saat Sofi akan membayar bunga mawar itu, pak Sudiyo menolaknya karena ia hanya mau membantu saja karena ia kasihan pada kami yang sudah datang jauh-jauh dari kota dan ternyata tidak mendapat yang dicari.
Wah… Bapak petani ini baik sekali. Padahal Sofi menyodorinya uang yang cukup banyak…
“Pak’e… pak’e… Kembang’e mekar kabeh!” teriak anak lelaki pak Sudiyo di kejauhan.
“Wah… Cantik sekali…” kagum Sofi melihat kuntum-kuntum bunga mawar yang seharusnya belum mekar, tiba-tiba mengembang dan mekar sempurna. Gerakan mekar bunga seyogyanya akan berlangsung perlahan-lahan. Dari kuncup sampai mekar sempurna bisa berlangsung sampai 6-8 jam. Tetapi ini bergerak cepat seperti menonton rekaman fast forward di layar televisi.
“Wah… Ajaib ini… Belum waktunya mekar kok tiba-tiba mekar begini… Cepat banget lagi...” kaget pak Sudiyo menyaksikan kejadian luar biasa ini. Pasti selama hidup dan kariernya sebagai petani bunga belum pernah menyaksikan kejadian ajaib seperti ini.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Aku menggunakan ROSE DROP dan merangsang pertumbuhan mawar-mawar ini hingga mekar lebih dini dari waktu yang seharusnya. Secara ROSE DROP mempunyai elemen mawar di dalamnya. Ini bukan hal sulit bagi ROSE DROP.
--------​
“… Sofi memang selalu begitu… Sejak ia tidak bisa mengabulkan permintaan terakhir ayahnya agar segera lulus kuliah… Ayahnya keburu meninggal... Ia jadi terobsesi untuk menuntaskan apapun yang sedang dilakukannya walau sebagaimana sulitnya itu… Kau sudah mengalaminya sendiri, kan?” kata tante Elisa saat aku menepi dari kebun bunga ini saat kami ikut membantu pak Sudiyo dan anaknya memanen mawar-mawar itu untuk dijual ke koperasi lagi.
 
alhamdulilah slamet juga si nining
waktunya dh dkat neh ma c0re kalajengking... Sama seperti zodiak ku
 
========
QUEST#08
========​

Hari ini 16 November. Hari Ulang tahun Nining yang ke-21. Satu-satunya hari dalam setahun aku bisa mengambil ZODIAC CORE SCORPIO darinya. ZODIAC CORE ke-8.
Ini hari kedua Nining berada di rumahku. Sepertinya ia dengan mudah menyesuaikan dirinya. Ia juga cepat akrab dengan Putri dan Dewi. Malah malam kemarin mereka sampai shopping berjam-jam dan diakhiri dengan nonton film di bioskop.
Saat kami tidak ada di rumah sewaktu sekolah, ia membaurkan dirinya dengan para pekerja di rumah ini. Lebih sering memasak bersama bu Warni.
--------​
“Apa rencana Nining setelah ini?” tanyaku.
“Ya... Kembali bekerja... Aku akan mencari kerja lagi... Kan masih banyak pabrik di sana...” jawabnya.
“Kenapa tidak ke Boxindo lagi aja?” tanyaku.
“Kan udah dipecat...” jawabnya culun.
“Ya... masuk lagi aja... Gampang itu... Nanti aku bilangin ke Pak Yahya, deh... Nining langsung jadi manajer... He... he... he...” kataku disambut dengan gelaknya.
“Gimana kabarnya Sari dan Titik, ya?” ingatnya pada teman-teman senasibnya. Ia seperti kehilangan kontak.
“Nanti kita ke sana, deh...” sahutku.
“Bener, ya? Janji, loh...” senangnya.
--------​
Kali ini, aku memakai kamar Putri dan Dewi yang cukup luas ini sebagai tempatku mendapatkan ZODIAC CORE SCORPIO dari Nining.
Di samping lebih nyaman dari kamarku sendiri, tempat ini rasanya lebih pantas juga sepertinya ia lebih merasa nyaman di sini karena sudah dua malam tidur di sini.
Sedang sang pemilik kamar sudah kabur entah kemana.
“Selamat Ulang Tahun, ya, Ning...” ucapku sambil menyerahkan seikat bunga mawar. Bunga yang kuperoleh dengan susah payah. Biasanya aku memberikan bunga ros yang kupetik diam-diam dari kebun mamaku. Tapi sekarang tidak diperbolehkan lagi…
“Wah... cantik sekali...” terimanya dan menciumi kelopak bunganya yang berwarna merah segar.
“Jumlahnya 21 tangkai... sesuai umur Nining...” kataku. Ini sudah menjadi kegiatan standarku kalau menyambut ulang tahun pemilik ZODIAC CORE.
“Makasih, ya...” katanya mengecup pipiku.
“Semoga Nining selalu sehat dan bahagia selama-lamanya... Terkabul semua keinginan dan cita-citanya...” lanjutku.
Ia tersenyum.
“Keinginan dan cita-citaku...? OK... Semoga nanti tercapai...” katanya misterius dengan senyum yang sangat manis.
“Apa? Kasih tau, dong?” tanyaku penasaran. Apa keinginan dan cita-citanya.
“Ada aja... Satria gak boleh tau, dong... Ini kan cita-citaku sendiri... Hanya aku sendiri yang boleh tau...” jawabnya kekanakan.
“Ya... Nining... kasih tau, dong... Siapa tau aku bisa m’bantuin... Ya-ya... Kasih tau, dong?” desakku.
“He... he... he... Gak bakalan...” elaknya.
Kami sampai bergulingan di ranjang besar ini karena aku terus mendesaknya untuk memberitahu cita-citanya. Aku menggelitiki pinggangnya.
Ia tertawa-tawa menahan geli.
“OK... OK... Aku kasih sedikit petunjuk, ya?” hentinya membuat aku menghentikan gelitik di pinggangnya.
“Petunjuknya adalah... ”
Cup! Ia mengecup pipi kiriku.
“Satria...” lanjutnya.
“Hah? Petunjuk apaan itu?” aku tidak mengerti.
“Pikirin aja sendiri...” katanya tertawa-tawa.
“Ya... Nining... Ayo kasih tau lagi...” kataku masih penasaran. Aku kembali menggelitiki pinggangnya.
--------​
Dan entah bagaimana, kami sudah bertindihan di tengah ranjang. Mata kami saling beradu.
“Mau liat hadiah yang paling spesial?” tanyaku.
“Mau...” jawabnya singkat.
... Mengingat saat-saat aku dan Carrie tidur siang bersama di kamar kecilku... Susunan kamarku harus dirombak drastis saat itu. Kasur single bed-ku diganti kasur busa yang lebih lebar untuk bisa menampung dua orang...
CHARM...
“Satria... peluk aku... Satria...” desahnya. Nining merangkulku dengan erat. Seolah tak mau lepas lagi.
Ia mengulum bibirku dan mencumbuinya dengan ganas. Ia meremas-remas punggung CHARM ini gemas.
Dengan tergesa-gesa dan gemetar, ia menarik-narik pakaianku dan pakaiannya.
Tak lama kami sudah bertelanjang dada. Masih saling dekap berhimpitan. Nining masih mencumbui mulutku. Sesuatu yang sangat suka dilakukannya padaku.
Apalagi pesona CHARM ini semakin membuat dirinya bernafsu. Degup jantungnya berpacu kencang. Nafasnya berhembus cepat. Keringat menitik di sekujur tubuhnya.
Kala kusentuh dadanya, ia melenguh lirih. Apalagi saat kujilati putingnya. Tubuh padatnya bergelinjang kencang. Menyentak dan meledak.
Berkali-kali ia orgasme mendapat sentuhanku. CD-nya terasa basah dan lengket. Sangat panas...
Kuposisikan tubuh kami hingga membentuk posisi 69. Ia tanpa ragu langsung mengemut penis 30 sentiku. Vaginanya yang becek segera menjadi bulan-bulananku.
Kucucup setiap tetes cairan kental yang mengucur pelan itu. Lidahkupun mengorek-korek liang senggamanya yang masih sempit itu dengan rakus. Berharap mendapatkan cairan yang lebih deras.
Suara keluhan dan gumaman Nining sudah memenuhi kamar luas ini. Walau begitu ia masih bisa mengulum dan menjilati batang penis up-grade-ku itu. Kadang ia berusaha menelan semuanya dengan menahan nafasnya lalu dilepas kembali dengan jeda jilatan-jilatan pada urat besar di bagian bawahnya, ditingkahi dengan emutan kuat di bagian kepalanya.
Ia kemudia memohonku untuk memasukkan batangku ke vaginanya setelah untuk kesekian kalinya orgasme lagi.
Kuposisikan ia untuk rebah dan mengangkang lebar. Pahanya yang padat kuelus sebentar dengan kepala penisku.
Nining memperhatikan dengan tak sabar pergerakan penisku saat aku mulai mengangkangi kedua pahanya.
Tanpa diarahkan dengan tangan, kepala penisku sudah menyumbat bibir kemaluan Nining dan mencari-cari pintu kenikmatan itu.
“Uuuooohhh...” lenguhnya nikmat. Nining melengkungkan pungggungnya merasakan kenikmatan yang dirasakannya memenuhi sekujur tubuhnya yang berpangkal di kemaluannya. Setelah melenguh panjang itu, tak terdengar lagi suaranya walaupun mulutnya terbuka lebar. Matanya terpejam menikmati sepuas-puasnya sensasi kenikmatan CHARM ini.
Perlahan kutarik lagi penis upgrade luar biasa besarku ini sampai hanya tinggal kepalanya saja yang terbenam lalu kudorong lagi. Tubuh Nining kembali berkelojotan merasakan nikmat itu.
Begitu berulang-ulang aku merojokkan penisku pada wanita cantik eksotis menggairahkan ini. Ia mengapitkan kakinya pada pinggangku agar tidak terlepas sebentarpun. Pinggulku mengayun konstan pada selangkangannya. Katupan vagina Nining mengatup erat, memerangkap penisku di dalamnya.
Sebelah tanganku meremas dadanya bergantian kanan dan kiri. Putingnya kupilin-pilin menambahkan sensasi nikmat pada bagian atas tubuhnya ditambah lagi dengan gempuran mulutku pada bibirnya.
Dengan rakus Nining menyambut mulutku dan menghisap-hisap lidahku. Bibirku dikulumnya tanpa henti atas dan bawah. Ludahku diteguknya tanpa ragu seakan ingin menghisap diriku sepenuhnya.
Saat ia orgasme ia baru mau melepaskan mulutku untuk mengambil nafas sambil aku mengayunkan penisku perlahan. Kedutan-kedutan berupa remasan kuat mencengkram batang penisku. Saat ia mengulum mulutku lagi, kupacu kembali vaginanya. Licin jalan kemaluannya meluber sampai membasahi pangkal pahanya.
Lalu kubalik tubuh Nining hingga aku yang berada di bawah dan wanita cantik di atas tanpa melepaskan pertemuan kelamin kami. Nining menunggangiku dengan liar!
Dengan membungkukkan sedikit tubuhnya, ia tidak mau melepaskan mulutku. Pinggulnya diayunkan naik turun mengocok penisku di dalam liang senggamanya. Dua tanganku bisa meremas kedua dadanya dengan bebas.
“Aaahhh...” serunya lirih mencabut batang penisku dari lubang kenikmatannya. Sejumlah cairan bening meluncur dari vaginanya. Menyemprot kencang dan mendarat di perutku. “Enak... Enak sekali, Satria...”
Dimasukkannya kembali penisku ke dalam vaginannya dan kembali mengocoknya dengan menaik-turunkan pantatnya. Penisku terbenam lagi karena bukaan vagina Nining sudah terbiasa dengan besar ukuran kemaluanku.
Tak berapa lama aku menikmati genjotan Nining, sekitar 8-10 kocokan, Nining kembali mengejan dan mencabut penisku.
“Aaah... Satria...” desahnya seksi sekali. Cairan bening itu mendarat lagi di perutku dekat pusarku. Nining menghapus air itu yang bercampur dengan cairan sebelumnya.
Nining mengusap-usap permukaan vaginanya lalu meraih batang penisku kembali dan mengarahkannya ke dalam vaginanya. Bless... Masuk dengan lancar karena basahnya liang itu.
Tak lama setelah tiga kali kocokan, kembali Nining orgasme dengan pancuran cairan bening itu di perutku. Nining berhenti sebentar dan mengulum bibirku tetapi tangannya yang setelah mengusap-usap permukaan vaginanya sendiri kembali mengarahkan penisku masuk.
Tersentuh saja, sudah menyebabkan Nining orgasme lagi. Kepala penisku padahal hanya menggesek gerinjal-gerinjal klentitnya yang basah dan bengkak. Total sudah empat kali Nining menyemburkan cairan bening itu.
Dada Nining yang naik-turun mengatur nafasnya menjadi bulan-bulanan tanganku. Diangkatnya lagi pinggulnya untuk memudahkan penisku masuk kembali ke lubang kemaluannya. Penisku yang tegak menegang ke atas meluncur masuk dengan mudah dan segera menggesek dinding-dinding liang vaginanya begitu Nining segera menggoyangkan badannya naik turun. Ia menegakkan tubuhnya hingga guncangan tubuhnya membuat dadanya terguncang-guncang. Kedua tangannya di topangkannya di dadaku dan hanya pantatnya yang begerak.
Matanya terpejam menikmati dalam-dalam sensasi nikmat di vaginanya. Kali cukup lama sampai Nining mendapat lagi orgasme dengan pancaran cairan bening. “Ooohh... Oohh... Satria... Enak sekali... Ooh...”
Ditekankannya dadanya pada dadaku sambil menciumi mulutku kembali. Penisku yang masih menjulang di belahan pantatnya dan sedikit menempel di antara vaginanya, kugoyang-goyangkan untuk memancingnya kembali meneruskan aksinya lagi. Sepertinya menyenangkan membuatnya orgasme berkali-kali sampai menyemburkan cairan squirt bening itu seperti kencing.
Nining menaikkan badannya hingga mundur ke belakang dan menopangkan tubuhnya dengan sebelah tangan di samping lututku. Tangan kanannya mengarahkan penisku masuk hingga terbenam masuk ke dalam liang hangatnya. Dari posisi ini, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana penisku menggesek keluar masuk vaginanya. Bagaimana klentitnya menyembul tegang saat penisku tertarik keluar dari liangnya. Cairan yang berkilauan kental terkena terang lampu kamar.
Wanita ini meracau keenakan sambil menggoyang tubuh bawahnya mengendalikan seks di ulang tahunnya ini. Ia benar-benar menikmatnyai tanpa tanggung-tanggung. Penisku terkocok dengan sangat sempurna karena sering sekali ujungnya mentok menyentuh pintu rahimnya.
“Aaahh...” Nining mencabut penisku kembali. Cairan bening itu menyembur kembali dan membekas di pangkal paha kananku. Pahanya bergetar merasakan orgasme itu tapi kembali mengarahkan vaginannya dimasuki kembali oleh penisku. Bukaan vaginanya masih merekah hingga bisa dimasuki dengan mudah.
Ia menemukan sensasi baru di posisi ini apalagi aku menggosok-gosok klentitnya yang menyembul tegang. Kadang aku gemas dan menekannya lebih kuat atau menekannya keatas sampai Nining meringis antara perih dan enak.
Kali ini ia sampai orgasme sebanyak tiga kali di posisi kayang itu. Lalu sekali lagi dengan posisi Woman On Top (WOT) lagi. Total sembilan kali Nining orgasme dengan semburan cairan bening seperti kencing itu.
“Satria... Aku gak kuat lagi... Kakiku sudah gemetaran... Aku benar-benar sudah puas... Lakukan apapun yang kau mau sekarang... Aku pasrah...” katanya merebahkan tubuhnya yang berpeluh di ranjang empuk milik Putri ini.
“Nining nikmati aja, ya...” kataku lalu mengecup keningnya. Lalu lanjut ke pipinya, bibir, leher, kedua puting susunya, perut, lalu rambut kemaluannya. Vaginanya yang becek kusedot sampai Nining meraung-raung lemah. Dengan bibir, klentitnya kukulum dan kusedot. Lidahku menari-nari di dalam liangnya yang melebar. Sejumlah cairan meleleh perlahan keluar dari dalam sana.
Perlahan-lahan kumasukkan penisku dari belakang pantatnya. Kupeluk Nining dari belakang. Dadanya kuremas-remas perlahan. Kubiarkan penisku bercokol tanpa bergerak di dalam vaginanya yang hangat. Kuciumi tengkuk dan lehernya. Kusisiri tiap anak rambut yang tumbuh di pinggiran mahkota indah hitamnya. Lidahku melata di bagian belakang kupingnya sampai aku bisa merasakan Nining merinding kegelian hingga penisku teremas di dalam liangnya.
Kuulangi berkali-kali ditambah gempuranku pada dadanya di tanganku. Putingnya kupilin dan kupermainkan dengan lembut.Lalu saat semuanya sudah dalam irama yang tepat, kukocokkan penisku perlahan. Perlahan saja hingga gesekan penisku terasa senti per senti meter bersentuhan dengan dinding vaginanya.
Dorong masuk lagi dengan perlahan lalu tarik lagi dengan perlahan. Nining melenguh tak terperikan lagi. Tiap kali semua bagian tubuh sensitifnya kuserang, ia tak kuasa menahan suaranya untuk melepaskan rasa itu. Apapun yang kuberikan padanya, ia akan menerimanya dengan senang hati.
Apalagi janjinya untuk menjadikanku suaminya kelak... Walaupun menjadi istrinya yang ke nomor berapa.
“Agghhh…” keluhnya saat penisku terasa diremas-remas kuat kala Nining kembali orgasme untuk ke berapa kalinya. Pinggulnya berguncang-guncang untuk beberapa saat lalu diakhiri getaran tubuhnya.
Nining sudah sudah sangat lemas karena sudah terlalu banyak mengalami orgasme yang menggoncangkan seluruh ujung-ujung syarafnya. Ketegangan juga telah melelahkan sendi, tulang dan otot.
“Ning… Ini yang terakhir…” kataku lalu mencabut penisku dari vaginanya dan mengganti posisi yang paling standar dalam bercinta. Aku di atas dan Nining di bawah.
Kumasukkan penisku dengan mudah lalu dimulai dengan perlahan lalu semakin cepat kugenjot tubuh Nining. Aku akan mengakhiri ini dengan semburan sperma CHARM yang akan membuat ZODIAC CORE miliknya keluar.
Nining sudah terengah-engah dengan desahan kuat walau hanya bisa mengangkang di kekuasaan penisku yang membor vaginanya dengan ganas.
Carrie… Aku mengingatnya sebagai seseorang yang mengisi hari-hariku… Hari-hari terakhir kita bersama saat itu kita habiskan berdua saja di kamarku yang kecil…
Aku berkonsentrasi penuh untuk mengakhiri ini semua. Terasa gelitik geli di pelir dan ujung penisku. Penisku semakin menegang keras. Terasa sangat keras bahkan terasa mau pecah saja urat-uratnya dipenuhi tekanan darah.
“AAHH!” keluhku. Kusemprotkan sperma CHARM itu kuat-kuat ke dalam rahim Nining yang menjerit kuat menerima semburan kencang di dalam perutnya.
CROOTT! CROOOTTT! CROOOTTT! Semburan demi semburan deras banyak sekali memancar dari penisku lalu habis seiring dengan lemasnya Nining dan penisku. Tubuh Nining lalu lunglai lemas. Kakinya terkulai lemah membuka lebar seadanya.
Secercah cahaya terang meluncur keluar dari bukaan menganga vagina Nining tak lama kemudian. Segera kutangkap benda itu sebagai pemilik barunya. Setelah semua perjuangan dan kesulitan yang kualami.
Benda kecil yang berbentuk seperti dua buah kuku melengkung tajam berwarna ungu keputihan dengan simbol SCORPIO di dalamnya itu, segera kugenggam. Bentuk INITIATE FORM.

Scorpio
Segera berkelebat bentuk SUB-HUMAN FORM-nya di pikiranku. Wanita seksi berpakaian serba tertutup ketat berbahan kulit berwarna ungu gelap. Di kanan dan kirinya ada dua tangan tambahan dengan ujung tajam juga sebuah lagi benda mirip ekor dengan sengat bak kalajengking berwarna kuning.
Lalu CREATURE FORM-nya yang berbentuk seperti kalajengking besar yang mempunyai tiga ekor penyengat. Sampe harus punya tiga? Keren.
ZODIAC CORE ke-8 milikku sudah kudapatkan. SCORPIO!
Nining masih berbaring tidur dengan tenangnya. Tubuh telanjangnya lalu kututupi selimut agar tidak kedinginan di suhu kamar ini.
Setelah kupakai kembali pakaianku, kupandangi lekat-lekat lagi wajahnya yang teduh. Wajahnya yang sederhana sangat mengisi hariku selama hampir sebulan ini. Teringat pada keinginannya, mimpinya, cita-citanya... Semua curahan hatinya. Aku tidak bisa mengabulkan semua itu.
Ini juga mengingatkanku pada pencarianku yang sudah-sudah. Para perempuan ini sangat mempengaruhiku, baik secara langsung ataupun tidak. Bagaimanapun, bagian dari diri mereka kini sudah menjadi milikku.
Mereka ada di genggamanku. Selalu dekat denganku. Carrie? Aku juga mau kau selalu ada di dekatku...
 
tuntass tas tas scorpion suksesss
jadi penasaran crita selanjutnya..
:semangat:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd