Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Quest

Quest paling mengena dan inspiratif buat saya itu dari quest Cancer dan trutama quest terakhir ini...Salut suhu, lanjut terus sampe tamat ya :beer:

makasih karya saya berhasil memberi anda inspirasi untuk mulai mencari zodiac core juga. nanti saingan sama Satria. seru tarung sama dia loh. asal dia ga curang dan mulai make crave aja. *canda loh gan*
 
scorpio dah d dapet, keren. lanjut penjelasanny sama kisah nining ny udahan apa msh ada 1 part lg,mpe nining bs move on dulu suhu?

nining pd dasarnya udah bisa move on kok. momok menakutkan yg selama menakuti hidupnya sdh tdk ada lg. dia maunya cm sm Satria aja.
 
QUEST # 09
SAGITTARIUS

Terjadi kesibukan yang luar biasa di rumahku. Beberapa petugas kepolisian hilir mudik dengan kesibukan yang tidak kumengerti. Beberapa petugas juga sibuk memasang penjagaan di depan gerbang rumah kami.
Beberapa ekor anjing pelacak juga mengendusi tiap sudut rumah. Mencari barang-barang yang mencurigakan seperti bom dan benda berbahaya lainnya.
Alat-alat pengintai juga dipasang untuk berjaga-jaga di berbagai sudut strategis. Seperti kamera CCTV, pendeteksi gerakan dan detektor metal.
Seluruh penghuni rumah yang bukan anggota keluarga didata dan dimintai keterangan. Dikumpulkan pada sebuah ruangan.
Apa yang terjadi?
--------​
Yang terjadi adalah ketika aku dan Papa sedang duduk santai di sebuah cafe pinggir jalan pada suatu sore hari Selasa 23 November ini.
“Bagaimana kelanjutan pabrik karton itu, Pa?” tanyaku.
“Sudah mulai jalan normal... Memang... ada sedikit masalah dengan para customer... Mereka sedikit ragu-ragu pada kinerja perusahaan pasca Take Over ini... Tapi untungnya... para manajer yang dianggap bersih... yang masih dipertahankan berhasil meyakinkan mereka kalau tidak akan ada masalah...” jelas Papa.
“Banyak, Pa... manajer dan staf yang diberhentikan?” tanyaku.
“Ya... Yang pasti orang-orang yang dekat dengan Direktur Utama tidak bisa lagi dipercaya... Seperti Managing Director, General Manager dan juga Account Manager...” jawab Papa sambil menghirup teh hangatnya.
“Ng... jadi... Siapa sekarang yang memimpin pabrik, Pa?” tanyaku lagi.
“Sementara ini... Karena sudah lama berada di sana... dipimpin Pak Yahya dan wakilnya Ibu Vita...” jawabnya.
“O... Mereka...” gumamku.
“Pasti Satria khawatir tentang karyawan yang sudah dipecat itu, ya?” tanya Papa balik.
“Ng... Mereka bisa masuk lagi, kan, Pa?” tebakku.
“Tentu... Surat PHK mereka dianggap tidak pernah ada dan mereka bisa masuk kembali kerja seperti sedia kala... Tidak ada masalah...” jawab Papa.
“Bagus...” gumamku lagi. Berarti Nining, Sari dan Titik bisa kembali bekerja seperti biasa.
“Awas!” kata Papa tiba-tiba.
Terasa hawa kental mengitari kami. Terdengar suara berdesing dan suara benda kecil jatuh di atas paving block.
“Ada yang menembak kita dari jauh... Sniper!” kata Papa tetap tenang.
Lalu terdengar beberapa kali lagi suara tumbukan pada medan energi yang diciptakan Papa di sekeliling kami.
Terlihat 4 buah proyektil peluru berukuran besar berceceran di depan kami.
“Di sana, Pa!” seruku langsung akan menghambur sebelum dicegahnya. Dia pasti berada di atas gedung tinggi itu. Gedung yang merupakan sebuah mal yang berlantai 8.
“Jangan... dia sudah lari... Dia profesional... saat Satria sampai sana dia sudah jauh...” jelas Papa.
“Tapi coba Satria lacak dengan Coremeter itu... Mungkin masih dalam jangkauannya...” usulnya. Ia lalu menelepon seseorang.
Kuaktifkan Coremeter-ku. Jangkauannya yang masih 500 meter kuharap cukup untuk melacak orang itu kalau-kalau core miliknya istimewa.
BEEP!
Sinyal yang lemah tertangkap sekali dengan bacaan 1664 Hz. Lalu menghilang lewat dari jangkauan 500 meter.
Core istimewa!
“Jangan kemana-mana! Duduk saja dulu...” perintah Papa.
Papa masih tenang saja duduk di kursinya. Tapi dari balik kacamata hitamnya ia sepertinya sedang menganalisa sesuatu. Seperti berpikir keras.
Siapa orang yang berani-berani menyerang Papaku di tempat umum seperti ini? Musuh bisnis atau musuh lamanya?
Papa sepertinya tidak mau mengambil resiko membiarkanku pergi darinya sementara orang yang baru saja menembaknya dari jauh itu masih berkeliaran di luar sana.
Tapi ini sedikit menggembirakanku karena dengan kejadian ini aku malah menemukan cewek dengan core istimewa dengan panjang gelombang 1664Hz! Ya benar! Ini core milik cewek. Aku kebiasaan selalu menyetel Coremeter-ku hanya dipencarian untuk cewek saja. Indikatornya menunjukkan begitu karena targetku melulu cewek, kan?
Dan pada hari pertama pencarianku untuk menemukan ZODIAC CORE SAGITTARIUS. ZODIAC CORE ke-9, aku menemukan jejaknya.
Dari hari ini, 23 November sampai 21 Desember nanti adalah rentang waktunya.
Tapi apakah cewek itu yang telah menembak Papaku?
--------​
Begitulah kejadiannya. Setelah itu polisi datang dan lalu mengamankan tempat itu. Orang-orang sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi karena kami tidak menyebabkan keadaan menjadi heboh seperti yang seharusnya terjadi. Kami dengan diam-diam pergi dengan kawalan polisi sampai ke rumah.
Lalu dimulailah kehebohan ini...
Papa bilang seharusnya ia tidak perlu memanggil polisi. Tapi ia harus karena “orang-orang” ini tidak main-main dengan aksinya.
“Papa juga tidak begitu percaya dengan kemampuan polisi dalam melindungi kita... apalagi menangkap sniper tadi... Sniper tadi sangat profesional dan sepertinya berkelas Internasional... Tapi setidaknya ia akan lebih berpikir untuk mengulangi aksinya dengan cara yang sama...” kata Papa saat kami dalam perjalanan pulang.
Papa sepertinya memendam amarahnya. Dapat dimengerti karena ia diserang didepan anaknya sendiri. Mungkin ia takut kalau aku juga menjadi sasaran dan terluka.
Ia pasti berpikir bagaimana melindungi keluarganya. Satu persatu seperti Mama, Putri, Dewi dan aku sendiri.
Ia tidak mungkin melindungi kami satu-persatu karena kami semua mempunyai aktifitas tersendiri. Seperti Mama, ia juga disibukkan dengan perusahaannya sendiri. Kalau kami bertiga harus pergi sekolah dan juga kegiatan lainnya. Apalagi aku yang sedang dalam misiku.
“Pa... Kalau Satria... Papa jangan terlalu khawatir... Satria bisa menjaga diri sendiri, kok, Pa...” kataku.
“Papa tau itu... Tapi rasanya tidak benar kalau Papa tidak khawatir... Dunia ini sangat keras... Apa saja bisa terjadi... Papa pernah beritau ini, kan?” jawabnya. Aku mengangguk membenarkannya.
“Walau bagaimanapun... Papa tetap seperti orang tua lainnya... Papa tidak akan bisa tenang kalau ada yang mengancam keluarga Papa...” katanya lagi.
Wah... Aku belum pernah merasakan tanggung jawab seperti itu. Sepertinya sangat berat menjadi seorang ayah dengan tanggungan keluarga seperti kami.
Menjaga kami tetap sejahtera sekaligus aman dari bahaya.

========
QUEST#09
========​

Papa langsung menemui kembarannya, Oom Ron untuk mendiskusikan masalah ini. Sedang aku kembali ke kamarku.
Di atas pintu kamarku ada sebuah kamera CCTV yang terpasang.
Aku memandangi alat pengawas itu sebentar lalu masuk. Jangan sampai ada kamera di dalam kamarku. Apalagi di kamar mandiku. Bisa kucopot! Bisa-bisa 3GP video-ku beredar luas. (Siapa juga yang mau nonton cowok bugil mandi?)
Beberapa saat kemudian aku keluar kamar dan menuju kamar Hellen. Aku bermaksud memberi data core istimewa tadi padanya. Mungkin ia bisa melanjutkan pencariannya dengan Versemeter.
Di depan kamar Hellen juga ada kamera CCTV milik polisi. Pasti anak itu sebal sekali kamarnya dipasangi alat itu.
Kamarnya masih dikunci dengan kunci manual hingga aku harus memencet bel.
“Masuk, mas...” katanya sedikit kasar. Tumben aku tidak melihat Tommy disini.
“Tommy mana, Len?” tanyaku basa-basi.
“Jangan nanya dia... Polisi itu menyuruhnya pulang!” jawabnya ketus. Dia duduk di depan komputernya dengan manyun.
Tanpa sepatah kata kuserahkan HP itu pada Hellen. Lalu kusadari kalau BRO ada di kamar ini dari langkahnya yang berat.
BRO adalah gabungan dua core kakak beradik LIBRO dan EBRO.
Ia keluar dari bagian kamar yang merupakan tempat tidur Hellen... Oo... Hellen melampiaskan kekesalannya dengan tidur dengan BRO. Core miliknya sendiri.
Begitu melihatku, BRO langsung melepaskan penggabungan dirinya hingga menjadi LIBRO dan EBRO.
Aku memang belum memintanya membaca tulisan di buku tua dengan lembaran tembaga tipis ini sejak aku mendapatkan SCORPIO.
“Tuanmu lagi kesal... Sebaiknya kau membacanya pelan-pelan saja, ya?” kataku setelah menyentuhkan INITIATE FORM SCORPIO pada lembaran kosongnya.
Core berwarna kuning itu setuju.

TIDAKKAH KAU DENGAR PARA CERDIK PANDAI BERKATA, MATAHARI SELALU TERBIT SELAMA APAPUN GELAP YANG TELAH MENELAN HARI. MENDENGARNYA SCORPIO BANGKIT DARI TIDURNYA.​

“Apa kau sudah mencoba mencari tahu apa arti semua kata-kata itu. Aku rasa ada sesuatu yang penting bermakna dari ini. Tidak mungkin hal yang rumit seperti ini tidak mempunyai arti sama sekali, kan?” kata EBRO.
“Aku belum ada waktu untuk itu... Bagaimana kalau EBRO membantuku memahami kata-kata ini? Bisa, kan?” tanyaku.
“Wah... aku juga tidak ada waktu untuk itu...” elaknya.
“Ya, sudah... kalau ada waktu senggang... akan kucoba sendiri, deh...” kataku setelah selesai mencatat arti kata-kata yang muncul di lembaran kosong itu.
“Sudah ketemu, mas!” seru Hellen dari depan komputernya.
Aku segera bergegas menuju ke tempatnya berada diikuti EBRO di belakangku. Ia menampilkan hasil pencarian di layar besar.
“Dengan satelit, Versemeter bahkan bisa mengambil gambar wanita ini... Liat ini, mas...” kata Hellen lalu memunculkan gambar image seorang wanita muda yang sedang duduk di sebuah cafe pinggir jalan.
Wanita itu berambut panjang agak sedikit ikal. Berumur sekitar 25-an tahun. Dari gaya berpakaiannya sepertinya seorang pekerja kantor.
“Hei... Tunggu dulu! Bukannya ini tempat Papaku ditembak tadi, Len?” ingatku. Aku mengenali bentuk meja kursi dan juga lingkungannya.
Ia duduk tepat dimana Papa tadi siang duduk...
“Apa yang dilakukannya?” kataku berpikir. Ia ada saat Papa ditembak... Tadi aku sempat berpikir kalau dialah Sniper itu.
“Lihat apa yang sedang diperhatikannya, Len?” kataku lagi.
Hellen lalu memperluas gambar satelit itu untuk melihat sudut pandang perempuan itu.
“Dia sedang melihat ke arah mal ini...” kata Hellen setelah memberi garis bantu arah penglihatan perempuan target kami ini.
“Itu arah di mana Sniper itu berada!” seruku.
Berarti dia sedang menganalisa kegagalan misinya dalam membunuh Papaku tadi. Ia sangat yakin kalau bisa menembak dengan tepat tetapi ia tidak tau kenapa pelurunya bisa meleset. Bahkan ia sampai menembak beberapa kali lagi.
“Dia pergi, mas...” kata Hellen melihat sinyal core istimewa itu bergerak dari tempatnya.
“Satelit ini hanya bisa mengambil gambar 1 frame per 10 detik... Jadi kita tidak bisa mengikutinya melalui gambar dengan cepat...” jelas Hellen mengenai apa yang sedang terjadi di layar.
“Jadi kita hanya bisa mengandalkan jejak sinyalnya yang bergerak real time...” sambungnya.
“Tidak apa-apa... Begini saja sudah cukup...” kataku terus memperhatikan titik sinyal core istimewanya yang sebesar 1664 Hz.
“Kalau ia memang seorang Sniper kelas dunia... wajahnya yang tadi... pastilah samaran saja... Ia tidak mungkin mau muncul di TKP dengan wajah aslinya...” kata Hellen.
“Ng? Iya juga, ya? Ternyata Hellen mengerti juga masalah-masalah begitu,” pujiku sekaligus kecewa.
“Perhatikan juga ini... Selama duduk di cafe tadi... ia sama sekali tidak menyentuh cangkir tehnya... Bon ia bayar kontan... dan sebelum pergi tadi, ia menyempatkan mengelap pinggiran meja dengan sapu tangannya... mungkin ia sempat menyentuh meja itu sebentar...” jelas Hellen pada rekaman gambar satelit sebelumnya.
“Wah... betul-betul profesional...” kataku membenarkan.
“Kalau perempuan itu benar-benar pemilik ZODIAC CORE SAGITTARIUS yang mas Satria cari... Mas akan mendapat kesulitan yang lumayan berat...” tuntasnya.
“Benar... Akan sulit mendekatinya... Mencari tau data dirinya aja sudah berat...” kataku menerawang.
“Kalau itu jangan khawatir... Walaupun ia menyamar dengan riasan dan wig seperti itu... wajah aslinya masih bisa diketahui dengan program khusus...” kata Hellen.
“Wah... Hellen memang jagonya... Makasih, Len...” kataku.
“Eit!... Kali ini tidak gratis... Harus ada bayarannya...” potongnya. Tumben ia minta imbalan.
“Apaan...?” tanyaku.
“Mas harus membawa Tommy kemari... Dia harus sudah sampai sini jam 8 malam ini... Paham?” katanya.
“Tapi ada polisi di luar... Kita tidak bisa membawa orang luar masuk... Oo... OK! OK! Aku mengerti... Tommy akan sampai kemari jam 8 malam ini juga... Pasti! Tunggu, ya?” kataku mengerti maksudnya dan lalu menuju keluar kamarnya.
--------​
Tanpa kesulitan yang berarti aku bisa keluar dan menjemput Tommy dari rumahnya. Lalu membawanya masuk tanpa diketahui oleh siapapun. Aku kan terbang... lalu masuk dengan menembus dinding pagar dengan SHADOW GEIST beserta Tommy.
Hellen bekerja lebih giat dengan kehadiran Tommy. Sepertinya ia mangacak-acak database polisi di seluruh dunia untuk menemukan jati diri Sniper perempuan profesional kelas dunia itu.
Bahkan Tommy wanti-wanti agar Hellen hati-hati saat menyusup ke data base FBI dan CIA.
Tapi katanya, CHIC-nya tidak akan terdeteksi komputer manapun pada masa ini... Apa dia tau dari mana asalnya CHIC itu?
TUUT! TUUT! TUUT!
“Ketemu!” seru Hellen dan Tommy bersamaan.
Aku langsung menghambur ke mereka...
“Nama aslinya Ana Natasha Killearn... Lahir 05 Desember... Itu Sagittarius!” seruku. Bagus! Memang dia orangnya. Perempuan dengan ZODIAC CORE SAGITTARIUS!
“Wah... Tapi orangnya masih sangat muda, loh... Masih 24 tahun sudah jadi Sniper Profesional...” kata Tommy lanjut membaca data-data Ana.
“Sebentar dulu... Di file ini ia sudah dinyatakan meninggal tiga tahun lalu. Terakhir ia kewarganegaraan Jerman...” tunjuk Hellen pada tanda merah di bawah namanya.
“Hal begini sering dikaitkan dengan kegiatan spionase dan hal-hal ilegal lainnya... Menghilangkan jejak keberadaan segala tindak-tanduknya setelah surat kematiannya tiga tahun lalu...” sambungnya.
“Ana lahir di Indonesia... Ibunya orang Indonesia asli... tetapi ayahnya orang Kanada... Umur 3 tahun ia tinggal di Stuttgart dan umur 7 tahun di St. Petersburgh... Pada umur 10 tahun kedua orang tuanya terbunuh pada ledakan bom bunuh diri di keduataan Jerman di Belanda...” baca Hellen lebih lanjut.
“Sejak itu... Tidak diketahui apa saja yang dilakukannya...” lanjut Tommy.
“Kalau dilihat dari database FBI tentang nama-nama berbahaya yang malang-melintang di dunia pembunuh bayaran... Bisa didapat nama Ana di sini... Sepertinya FBI juga pernah memakai jasanya... Untuk melenyapkan musuh-musuh mereka yang tidak dapat dikaitkan pada mereka...” buka Hellen dan menunjukkan file baru.
“Ana punya banyak nama alias dan sandi... Dia bisa bahasa Inggris, Jerman, Perancis, Rusia, Ibrani, Arab, Mandarin, Jepang dan Latin... Dia pernah berlatih khusus dengan Navy SEALS dan SAS... belajar merakit bom di Sudan dan Afganistan... juga operasi khusus di Cina...” rinci Hellen dengan data tambahan dari FBI.
“Benar-benar profesional...” decak Tommy.
“Itu tadi spesifikasi untuk pembunuh bayaran dengan rating menengah... Data tadi diambil dan valid sampai dua tahun lalu... Sekarang dia mengambil spesialisasi baru... Sniper! Pembunuh!” lanjutnya.
“Levelnya kini... Nomor satu!”
Kurang ajar orang yang membayarnya untuk membunuh Papaku. Sampai-sampai ia memakai orang yang terbaik untuk tugas itu.
“Jadi dengan polisi sebanyak itu di luar pun... tidak akan ada artinya dengan prajurit dengan pengalaman seperti dia, kan?” kata Tommy.
“Ya... Sayangnya itu benar... Tommy... Aku harus memintamu pulang sekarang juga...” kata Hellen tiba-tiba.
“Tapi...” Tommy yang protes dihentikan Hellen dengan sebuah jari di bibirnya.
“Kondisinya sangat gawat... Aku takut aku tidak bisa melindungimua kalau-kalau ia nekat masuk kemari...” alasan Hellen.
“Ng... Kalian bicarakan dulu, ya... Aku mau keluar...” kataku tidak mau mengganggu mereka.
--------​
“Halo, Pa? Satria sudah tau siapa Sniper yang menembak Papa tadi... Namanya Ana, Pa...” kataku setelah di luar kamar Hellen dan menelepon Papa.
“Ana... Natasha Killearn...” gumamnya di sana.
“Kok Papa bisa tau nama lengkapnya?” heranku. Apa dia juga menyelidiki, ya?
“Ceritanya panjang... nanti Papa ceritakan... Sudah dulu, ya... Papa sedang berdiskusi dengan Oom Ron... Dag...” katanya langsung menutup telepon.
Berarti Papa kenal dengan perempuan itu. Mungkin juga karena ibunya, kan orang Indonesia. Dan ia lahir di sini juga. Atau juga dari tebakan orang-orang yang membayarnya.
Kalau Papa kembali memakai pelindung dengan Neo 6 Agung-nya seperti waktu masalah Lucifer dulu, jelas tidak akan berhasil. Karena, Sniper se-profesional Ana bisa dengan mudah meredam nafsu membunuhnya hingga bisa melewati pelindung itu.
Lagi pula dengan kemampuannya untuk menyamar dengan baik, ia bisa jadi siapa saja dan masuk kemana saja. Ia mungkin bisa menyamar menjadi polisi, pembantu di rumah atau siapa saja.
Ini sama saja dengan teror bagi pebisnis seperti Papa. Yang harus selalu mobile kemana-mana. Terbang dari satu kota ke kota lainnya. Mengurus berbagai bisnisnya di banyak cabang dan perwakilan di daerah dan negara lain.

========
QUEST#09
========​

“Mas Satria mau mengejar Ana, gak?” tanya Hellen saat aku berkunjung ke kamarnya lagi. Tommy kali ini tidak terlihat.
“Tentu... Kau selalu bisa melacaknya dengan Versemeter, kan?” kataku. Di layar LCD besar di kamarnya terlihat sebuah titik merah dengan tulisan caption bernama Ana.
“Ini temuan terbaruku...” serahnya sebuah kaca mata hitam trendi yang tidak terlalu menyolok. “Coba Mas Satria pakai...” katanya dan kukenakan kaca mata itu di mataku. Karena memang kamar ini terang benderang, penglihatanku agak sedikit teduh dengan lensanya yang gelap.
“Nah... tekan bagian engsel samping kiri gagang kaca mata itu dua kali...” kata Hellen kemudian.
Kulakukan yang dimintanya dan menekan engsel kiri kaca mata hitam itu dua kali. “Whoa...” seruku kaget. Muncul sebuah layar yang terintegrasi dengan lensa kiri kaca mata hitam itu.
“Nah... Lihat, kan? Itu adalah Versemeter mini yang sinkron dengan yang ada di kamarku ini... Sebenarnya ini hanyalah penerusan sinyal dari HP, mas saja... Karena sebenarnya yang menerima sinyal Versemeter ini adalah Micro-CHIC di HP mas... lalu ditampilkan di kaca mata itu... Bisa juga ditampilkan di layar HP kalau mas mau... tapi kalau begini akan lebih leluasa dan tidak akan dicurigai orang lain...” jelas Hellen panjang lebar.
“Berarti kalau mau melihat Versemeter lewat kaca mata ini... harus membawa HP ini, ya?” tanyaku agar lebih jelas.
“Benar sekali... Jangan khawatir... Data Versemeter sudah ku-encrypted... jadi hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menggunakannya...” kata Hellen lagi.
Kemudian ia lanjut menjelaskan berbagai tombol-tombol rahasia di kaca mata hitam ini. Seperti tombol zoom in dan out, tombol refresh dan juga cara mengganti warna lensa. Ada sampai empat pilihan warna lensa yaitu hitam, coklat, biru tua dan bening dengan cara menekan kedua lensa itu bersamaan dengan dua jari saat dipakai.
“Nah... Sekarang dengan alat ini... mas bisa mulai berburu Ana... Caranya terserah mas saja... karena dia bukan perempuan yang biasa mas kejar selama ini... Dia biasa membunuh... menyelinap... mengejar... mengikuti dan berburu... Jadi orang mahir yang melakukan itu semua pasti akan dengan sangat mudah untuk menghindari itu semua dari... ee... orang amatir seperti kita...” kata Hellen lagi.
Memang benar, buruan ZODIAC CORE-ku belum pernah sesulit ini spesifikasinya. Perempuan bernama Ana ini belum tentu bisa didekati dan diajak kenalan seperti perempuan-perempuan sebelumnya seperti April, Jessie, Silva dan Silvi dan juga Nining. Ada juga wanita sulit seperti Vany, perempuan maniak bondage yang super dingin itu. Tapi sesulit-sulitnya Vany, ia masih perempuan biasa yang hanya dingin pada laki-laki saja. Lain halnya dengan perbedaan dunia dan bentuk seperti yang terjadi pada kasus Leonny, Vlasq dan Bernadette yang perlu penanganan dan metode khusus.
--------​
Apa saja yang harus kusiapkan untuk menghadapi Ana? Senjata api? Pistol? Itu akan sulit didapat tetapi dengan sejumlah uang yang tepat akan bisa diperoleh. Yang paling mudah adalah senjata tajam. Tentu saja. Sebuah pisau lipat sepertinya sudah memadai.
Tetapi Ana akan dengan mudah melumpuhkan itu semua jika aku menodongnya dengan pisau atau pistol sekalipun. Tunggu dulu... Seluruh tubuhku adalah senjataku selama ini. Apa ia bisa menandingi kecepatan MARVELOCITY-ku atau kekuatan raksasa TAURUS-ku atau bahkan tendangan SHADOW STRIKE? Apalagi bagaimana cara ia melucuti cakar tajam XOXAM. Aku tidak perlu senjata-senjata itu lagi.
--------​
Lokasi Ana kutemukan di sebuah supermarket buah sekitar 15 Km di Utara. Kupacu mobil sport-ku ke sana dan aku segera masuk.
Pengunjung Supermarket ini tidak terlalu banyak. Hanya ada beberapa orang yang sedang berbelanja dan sibuk memilih buah yang akan mereka beli.
Dengan tombol zoom di engsel kanan aku bisa menemukan Ana yang sedang berada di bagian melon. Hanya ada dua orang yang sedang memilih melon di bagian itu. Dua orang wanita sedang berseberangan memilih dan memilah buah melon yang sesuai dengan seleranya.
Seorang wanita paruh baya sedang mengendus sebuah melon yang kira-kira beratnya 1,5 kilogram, berkulit hijau kekuningan. Sedang wanita kedua berumur sekitar 25-an tahun memakai jilbab berwarna hitam dan kaca mata minus menimbang sebuah melon di sebuah timbangan digital milik Supermarket.

Ana Natasha Killearn
“Melon di sini murah, ya... Ana...” sapaku pada perempuan berjilbab itu. Aku memilih sebuah melon juga.
Ia melirikku sebentar. Ia tidak terkejut atau kaget sama sekali. Ia santai saja tetapi tidak menjawabku sama sekali. Dibawanya melon pilihannya menuju ke kasir untuk dibayar dengan langkah normal. Kuikuti dia.
Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba Ana sudah mengacungkan sebuah pistol padaku dan larasnya menyalak keras di ruangan Supermarket ini. Ledakannya menggema di bangunan luas supermarket.
Untung saja refleksku beserta MARVELOCITY yang sudah kusiapkan dari tadi membantuku untuk mengelak. Hasilnya dinding kaca di belakangku hancur berantakan. Keriuhan dan kepanikan luar biasa terjadi di Supermarket yang mayoritas berisi ibu-ibu rumah tangga ini.
Wanita-wanita itu berlarian kesana kemari menyelamatkan diri. Aku tidak dapat melihat Ana lagi. Tetapi dari sinyal Versemeter-nya kulihat ia berlari ke selatan dari Supermarket ini. Setelah cukup jauh, ia melambatkan gerakannya.
Aku juga sudah keluar dari Supermarket ini. Mobilku kubiarkan tetap di parkir di sana. Akan kuikuti Ana dengan berjalan kaki.
Pasti ia sedang berpikir bagaimana aku bisa dengan pasti dapat menemukannya. Dan pasti ia akan berpikir keras lagi kalau sekarang juga aku dapat menyusulnya.
Itu dia, sedang mencoba membaurkan dirinya dengan keramaian toko Departemen Store bagian pakaian. Jilbab hitamnya dibalik menjadi kerudung berwarna merah hingga rambut panjang ikal hitamnya tergerai di punggung. Kaca mata minusnya sudah tidak ada lagi. Tas tangannya menghilang. Ia sedang berpura-pura memilih baju terusan.
Dengan sebuah anggukan aku memastikan posisiku di mana tidak ada orang lainnya. Ana segera melihatku dan dengan cepat kembali mengacungkan pistolnya kembali padaku.
“Jangan tembak dulu! Aku hanya mau bicara!” seruku sebelum terdengar ledakan pistol itu kembali. Beberapa pakaian berhamburan di sana-sini. Kembali terjadi kepanikan seperti di Supermarket buah tadi.
Ana berjalan seperti orang-orang panik lainnya. Aku dapat melihatnya dengan jelas dan saat pada satu kesempatan ia memisahkan diri dan menuju sudut ruangan untuk masuk ke pintu darurat.
Entah apa yang dipikirkannya karena bukannya malah turun, ia naik terus ke lantai atas. Pasti ia sudah sering melakukan ini sebelumnya.
“Ana!... Kita bisa melakukan ini seharian kalau perlu... Aku akan selalu bisa menemukanmu... Kau bisa lari... Kau bisa sembunyi... Tapi aku akan selalu menemukanmu kemanapun kau pergi...” seruku. Terdengar langkah kaki Ana di tangga lantai 6.
“Aku hanya ingin bicara sebentar denganmu!” seruku lagi dan terbang ke atas dengan sayap XOXAM menghentikan langkahnya.
Aku berdiri tepat di depannya dan membelakangi dinding. Tanganku kuangkat ke atas tanda aku tidak akan melawan. Ana masih mengacungkan senjatanya padaku dengan mantap tanpa ragu sedikitpun akan menembakku begitu ada kesempatan.
“Bagaimana kau melakukannya? Bagaimana kau bisa tau dimana aku dengan tepat? Bagaimana kau bisa naik kemari tadi?” tanyanya dengan logat Indonesia dialek Jawa yang masih baru terasah.
“Itulah yang ingin kubicarakan denganmu... Ana...” jawabku perlahan tanganku masih kuangkat ke atas. Kaca mata hitam kulepas dan kukantongi.
“Apa maksudmu? Apa ini ada hubungannya dengan mahluk-mahluk aneh yang muncul 10 bulan lalu itu?” kata Ana masih dengan pistol terarah padaku.
“Benar sekali... Erat sekali hubungannya... Malah yang ingin kubicarakan memang tentang mahluk itu... Kau melihatnya, kan?” kataku. Tetapi sepertinya tetap siaga.
“Mahluk itu disebut core... Core adalah inti terdalam dari setiap mahluk hidup... Mahluk yang disebut core yang keluar dari tubuhmu itu adalah jenis istimewa yang berbeda dengan manusia biasa...” kataku berusaha menjelaskan garis besar penjelasan standarku.
“Penjelasanmu itu tidak lebih dari omong kosong... DAR! DAR!” kata Ana dan menembakkan pistolnya dua kali. Keduanya melubangi dinding di belakangku.
“Kau belum mendengar semua penjelasanku...” kataku sambil muncul keluar dari dinding tempatku berlindung dengan SHADOW GEIST LEO yang bisa menembus benda padat seperti apapun.
Raut mukanya agak berubah melihat aksi yang baru saja kulakukan. Dan... DAR! Sekali lagi ia menarik pelatuknya.
MARVELOCITY! CLAMP!
Dengan jempol dan jari telunjuk, aku berhasil menangkap sebutir peluru yang ditembakkan Ana. Terasa panas! Ujung jariku sampai mengepul.
Dalam gerakan lambat, aku bisa melihat perubahan ekspresi muka Ana melihat itu tetapi tidak mengurangi kesigapannya karena ia segera meraih sesuatu dari saku kiri celana panjangnya dengan tangan kiri. Sebilah pisau lipat.
Aku bisa melihat arah serangannya. Terarah tepat ke leher!
HARD SHELL SKIN TAURUS!
TAK!
Ana seperti membentur dinding beton dengan pisau lipatnya. Ia tetap berusaha mendorongkan pisau itu untuk menusuk leherku.
“Kau tidak akan bisa menembus pertahanan dengan core terkuat milikku... Ini bukan omong kosong...” kataku kemudian menepis hingga pisau itu lepas dari tangannya dan mendarat terjatuh satu pijakan dari tangga.
“Jangan bergerak lagi atau benda ini menembus lehermu...” kataku mengacungkan tangan kananku yang sudah menghunus cakar tajam dan runcing milik XOXAM.
Ana terjajar ke dinding di belakangnya. Tetapi wajahnya tidak menunjukkan mimik takut sedikitpun. Ia pasti sudah siap apapun yang terjadi bahkan kematian sekalipun. Tetapi apalah semua arti ketangguhan dan kecekatannya selama ini kalau ia menyerah dan mati begitu saja hari ini di tangan pemuda sepertiku. Ia pasti sudah pernah mengalami hal yang lebih buruk dari ini sebelumnya.
“Kau tak bisa mengancamku dengan itu!” tangan kanan Ana menyapu tangan kananku bermaksud menepisnya. Tetapi tidak bergeming. Ana hanya bisa mencengkram pergelangan tanganku yang semakin maju. Ujung cakar XOXAM itu sudah menempel di pipinya.
Kemudian ia memukul perutku dan menendang lututku untuk membuatku bergeser tapi tidak begeming sedikitpun. Kekuatan TAURUS menyelimuti sekujur tubuhku.
“Aku bukan lawan yang biasa bagimu...” kataku lagi.
“Apa maumu?” tanya Ana masih tenang walaupun sudah tersudut seperti ini.
“Aku hanya ingin bicara baik-baik... Bisa?” kataku.
“Aku tidak bisa diajak bicara baik-baik...” katanya begitu aku menarik cakar XOXAM dari pipinya. Dengan tendangan kedua kakinya ia mendorong tubuhnya ke belakang dan kemudian bersalto di udara. Mendarat di rel besi pembatas tangga dan melompat turun tanpa ragu. Padahal ini lantai 6!
“Kau memang tidak bisa diajak bicara baik-baik...” tangkapku pada bagian tengkuk pakaiannya tepat di lantai 4 saat ia bersalto untuk menggapai tepi rel besi di sini.
Beberapa saat ia bergantung di udara sampai aku memukul tengkuknya hingga ia tidak sadarkan diri lagi. Ia hanya mengeluh pelan saja. “Ugh!”
Kutarik tubuhnya dan kududukkan bersandar ke dinding.
Harus kuapakan perempuan tangguh ini? Aku belum pernah dalam kondisi tidak siap begini. Apa sebaiknya kuperlakukan seperti Vany dulu? Kubawa dan kuikat di sebuah ruangan?
Tapi kemana, ya? Ke kamarku? Jangan... Sebaiknya tidak di dalam rumahku... Sewa kamar hotel? Akan lebih repot. Lebih baik tidak. Ke rumah kosong? Aku belum menyiapkannya.
Hu-uh... Mana mobilku lumayan jauh dari sini. Masih kutinggal di parkiran Supermarket buah tadi.
Alhasil aku meninggalkan tubuh Ana di puncak bangunan berlantai lima mall ini. Di balik sebuah ventilator udara yang sedang tidak berfungsi agar ia tidak kepanasan. XOXAM kuperintahkan agar menjaganya kalau-kalau ia tersadar dan melarikan diri kembali. Sedang aku kembali untuk mengambil mobilku. Aku akan membawa Ana ke sebuah tempat. Aku mendapat ide yang bagus.
--------​
Di sini rumahnya selama ini... Sebuah rumah toko yang berjajar sejumlah bangunan yang berdampingan. Tidak ada satupun dari keenam ruko ini yang aktif karena tidak berjalannya perekonomian di daerah ini walau berada di pinggir jalan sekalipun. Daerah pinggiran kota seperti ini hanya memerlukan warung-warung kecil untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Dari keenam ruko ini, milik Ana adalah yang nomor dua dari kiri. Tidak diketahui pasti apakah ini miliknya atau hanya sewa. Bangunan berlantai 2½ tingkat ini tidaklah begitu besar. Luas bangunannya hanya 5 x 12 meter.
Dengan mudah aku bisa masuk ke ruko ini dengan menggunakan SHADOW GEIST. Setelah meletakkan Ana di lantai dengan masih dalam keadaan terikat, aku lalu membuka rolling door ruko ini dan memasukkan mobilku pada bagian depan ruko yang sengaja dibiarkan Ana kosong. Mungkin untuk parkir mobilnya sendiri yang sekarang entah dimana.
Kubopong tubuhnya yang masih tak sadarkan diri ke lantai dua menaiki tangga yang ada di bagian belakang lantai dasar ini. Di sini ada dua buah ruangan kamar dan sebuah kamar mandi dan dapur beserta sebuah meja makan.
Perabotan Ana tidak selengkap yang seharusnya dimiliki sebuah rumah yang layak ditinggali. Sebuah meja lipat plastik berwarna biru adalah meja makan dan sekaligus meja kerjanya. Ada sebuah kotak peralatan berisi kunci pas, obeng dan sejenisnya di bawah meja. Di dapur sama sekali tidak ada kompor karena ia hanya menumpuk sebuah kardus mi instan di sana beserta beberapa galon air mineral. Sebuah dispenser ada di sampingnya.
Di dalam kamar pertama hanya ada sebuah springbed baru tanpa sprei. Di sini sepertinya ia tidur. Ada sebuah tas besar dari kulit berwarna hitam tergeletak begitu saja di lantai keramik ini. Beberapa botol air mineral dan kopi instan berserakan juga.
Kurebahkan Ana di atas tempat tidurnya tetapi ia belum bangun juga.
Kuteliti kembali kamar ini terutama tas besar itu. Ternyata berisi beberapa jenis senjata api. Ada pistol dan senapan serbu. Sebuah shotgun dan juga senapan sniper yang masih terpisah-pisah. Aku tidak terlalu mengerti jenis-jenis senjata ini. Beberapa buah magasin dan juga shell peluru shotgun tadi.
Di saku tas ini ada sebuah teropong canggih yang bisa melihat di kegelapan malam lewat Night Vision-nya. Juga ada sebuah pisau Kukri besar yang bentuk bilah tajamnya yang tidak lazim. Pisau itu melengkung tetapi tidak seperti sabit.
--------​
“Ugh...” keluh perempuan itu. Ia sudah sadar. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya. Tapi tidak bisa. Aku mengikatnya sedemikian rupa.
Ana kubuat duduk bersandar ke dinding di atas kasur spring bed-nya. Tangannya diikat ke atas pada masing-masing seutas tali rafia yang kuikatkan pada kayu plafon yang sudah kujebol. Sedemikian rupa, maksudku adalah karena spesifikasi perempuan ahli pembunuhan ini pasti punya berbagai cara untuk melepaskan diri dari berbagai belengu. Karena itu, pergelangan tangannya kutekuk ke atas dan kuikat juga dengan tali sehingga jari-jemarinya yang terampil tidak bisa membantunya melepaskan diri.
Bila ia berpikir akan menggunakan mulut atau gigi, aku sudah mengantisipasi dengan mengikat kepalanya hingga tidak bisa bergerak ke kanan-kiri ataupun ke atas-bawah dengan sebuah karet ban yang kutemukan di ruko ini pada sebuah plang kayu di belakang leher dan kepalanya. Ia harus mematahkan lehernya kalau ingin berpaling.
Kakinya juga kuikat pada dua buah plang kayu lainnya hingga lututnya tidak bisa menekuk. Aku juga penasaran, apa yang bisa dipikirkannya untuk melepaskan diri jika sudah terikat sedemikian ini.
Kalau-kalau saja ia punya trik tertentu seperti para pesulap itu, aku sudah berjaga-jaga dengan menyiapkan XOXAM untuk siaga memberitahuku.
Beberapa saat matanya jelalatan melihat sekelilingnya dan sebentar kemudian ia menyadari kalau ia berada di dalam rumahnya sendiri.
“Sudah sadar Ana Natasha Killearn?... Pembunuh bayaran nomor satu dunia yang terkenal di kalangan pejabat hingga bos mafia... Masih berumur 24 tahun dan akan... 25... tanggal 5 Desember nanti...” kataku yang duduk bersila bersandar di dinding di samping pintu kamar, menghadap Ana.
“Kenapa kau bawa aku kemari?... Bukan ke polisi?” tanya Ana angkat bicara.
“Aa... Pertanyaan yang sangat bagus... Aku tidak percaya kalau polisi di negaraku ini bisa menahan orang sekaliber kamu Ana... Kamu bisa dengan mudah melepaskan diri dari tahanan CIA tahun lalu... Membunuh setengah lusin penjaga dan kemudian menghilang lalu sudah beraksi lagi di Rumania dan kemudian di Spanyol seminggu kemudian... Jangan anggap enteng informanku... Ana... Itu sangat tidak mungkin...” kataku.
“Jadi apa maumu? Kau bisa membunuhku kapanpun... Aku tidak akan bicara...” katanya masih tenang.
“Ya... Aku sudah tau itu... Aku belum pernah menginterogasi orang sebelumnya... tapi aku sudah pernah menyiksa orang... Hanya sekali... Hanya saja orang itu tidak keberatan disiksa... malah dia senang sekali... Kesenangan hidupnya adalah penyiksaan yang membuatnya merasa puas dan hidup... Kau pasti mengerti orang macam apa itu...” kataku mengenai misiku pada Vany beberapa bulan lalu.
“Syukur-syukur kau mau menjawabnya... Siapa yang mengirimmu untuk membunuh Papaku?” tanyaku. Aku sudah menyiapkan beberapa pertanyaan untuknya dan ini adalah pertanyaan utama.
Ana hanya membisu dan memejamkan matanya.
“Ya... Aku tau ada etika dalam dunia pembunuh bayaran ini... Pembunuh bayaran tidak akan mengatakan identitas pengontraknya pada siapapun walaupun nyawa taruhannya...” kataku sabar saja.
Ana masih membisu dan memejamkan mata.
“Aku hanya bisa menebak-nebak jumlah kontrak yang dibayarkan padamu jika kau berhasil... Kita asumsikan kau sudah menerima setengah dari harga kontrak di rekening Swiss-mu dan setengah lagi akan dibayarkan bila berhasil dan ada bonus jika kau juga melenyapkan anggota keluarganya... Sekitar $ 32 juta... Pasti Papaku bersedia membayarmu dua kali lipat dari jumlah itu jika kau mau membatalkannya...” kataku.
Ana tetap diam dan terpejam. Aku hampir yakin kalau ia tidur atau pingsan lagi.
“Dan... tentu saja kamu tidak akan menerimanya karena itu sudah melanggar kode etik pembunuh bayaran tingkat tinggi sepertimu...”
“O ya... Di kamar sebelah aku sudah melihat koleksi pakaian-pakaian yang kau siapkan untuk kontrak ini... Banyak sekali, ya... Kau bisa jadi siapa saja dengan pakaian-pakaian itu... Kukira hal seperti ini hanya ada di film saja... Juga komputermu...” kataku lalu mengangkat kain yang menutup notebook itu.
“Kau sudah mengikuti keluarga kami... khususnya Papaku selama sebulan ini... Mengambil banyak foto... dan memata-matai segala gerak-geriknya...” kataku melihat berbagai sudut pandang foto yang diambil Ana secara diam-diam. “Memahami segala rutinitas dan kebiasaannya... Mengerti jalan pikirannya dan membaca alam bawah sadarnya...” kataku sambil terus memperhatikan hasil bidikan kamera Ana yang dipindahkannya ke notebook-nya ini. Beberapa foto ada gambar diriku di beberapa kesempatan.
“Tapi... kau sadar, kan... Kalau targetmu kali ini tidak seperti yang biasanya... Targetmu kali ini bisa melawan... Bisa kukatakan kalau ini pengalaman yang lain bagimu... Kau sudah tau bagaimana sedikit kekuatanku... Tapi kekuatan milik Papaku jauh lebih kuat lagi dari yang sudah kutunjukkan padamu...” kataku lalu bangkit dari duduk bersilaku.
Pastinya Ana sedang menganalisa semua kemungkinan dan rencana-rencana yang sedang disusunnya untuk keluar dari masalah ini.
Pasti berfikir kenapa aku tidak menyerahkanku pada Papaku? Kenapa malah menahannya disini dan mengoceh tak kunjung selesai atau jelas ujung pangkalnya.
“Dunia yang kau masuki sekarang ini sangat asing... Bahkan untukku sendiri... Coba kau rasakan ini... Kau pasti tidak dapat menolaknya...” kataku.
Perlahan-lahan terjadi sesuatu pada Ana. Nafasnya mulai berat dan tak beraturan. Bahunya turun-naik dan keringat mulai menitik di keningnya.
“Kau tidak mau membuka matamu?” tanyaku. Aku berdiri tidak jauh di depannya.
Kepalanya bergetar seakan ingin menggeleng.
“Matamu terasa panas, kan?... Lehermu... dadamu... punggungmu... Ya... seluruh tubuhmu...” kataku lalu menyentuhkan ujung jari telunjukku di dahinya. Kemudian turun ke batang hidungnya, meluncur turun perlahan hingga ke bibir atasnya lalu bawah... dagu. Ke leher sampai ke tulang belikatnya lalu lepas.
“Heehh...” serunya tertahan dan ia membelalakkan matanya. Sedang aku sudah pergi dari depannya. Di balik pintu...
“Apa? Apa yang sudah kau lakukan padaku?” Ana berteriak-teriak.
Setelah aku kembali normal dari kondisi CHARM tadi, aku keluar dari persembunyianku. Aku akan mempermainkannya sedikit.
“Tubuhmu basah kuyup begitu... Apa kau tidak enak badan?” tanyaku mengejek.
“Kau pasti telah memberiku obat perangsang, kan?” seru Ana marah.
“Tidak... Aku tidak memberimu apa-apa saat kau tidak sadar tadi... Kenapa? Kau merasa terangsang rupanya disentuh begitu... Kukira kau sudah biasa begituan?” kataku berdiri menyandar di dinding sebelah kanan pintu.
“Tutup mulutmu! Kalau kau melakukan itu lagi... Aku bersumpah akan membunuhmu dan semua keluargamu juga teman-temanmu!” serunya marah sekali. Urat lehernya sampai menegang dan matanya sedikit basah.
“Wah... Sepertinya kau sedikit ada masalah dengan sentuhan mesra rupanya... Menarik... Membuatmu sebegitu marahnya hingga bersumpah akan membunuh seluruh keluargaku dan teman-temanku...”
“KAU HARUS MELANGKAHI MAYATKU DULU!” seruku.
Tidak tertahankan.
Secara tidak terkendali aku berubah menjadi CRAVE di depan mata Ana.
Mulut Ana menganga lebar melihat perubahanku ini.
Aku yang merasa sangat gusar atas ancamannya barusan hanya dapat memandanginya dengan pandangan sadis. Perasaan ini sama seperti saat aku pertama kali bertemu dan bertarung dengan kedua kakak beradik Michele dan Mike di kota pegunungan bulan lalu saat mereka mengambil SCORGH dari Nining.
Dengan gampang aku mencabik-cabik seluruh pakaian yang menempel di tubuh Ana hingga ia tak berbusana lagi.
Ana menggeliatkan-geliatkan seluruh tubuhnya seperti cacing kepanasan. Beberapa otot tubuhnya mengejang tetapi tetap tidak bisa melepaskan belengu tali yang masih mengikat tangan, kepala serta kakinya.
Sudah tercium bau semerbak yang sudah kuhapal wanginya.
Apa ini?
Serta merta aku berubah kembali menjadi manusia biasa kembali dengan menghilangnya aura CRAVE-ku.
“Tolong bunuh aku segera... Jangan permalukan aku seperti ini... Bunuhlah aku segera!” serunya lirih. Suaranya parau hampir menangis. Perempuan tangguh seperti dia ini bisa-bisanya memohon seperti itu?
Aku merapikan rambutku yang berantakan sekaligus menghapus peluh yang juga menitik di keningku.
Kain-kain bekas pakaian Ana masih bertebaran di sekitarku. Benang-benangnya terurai di sana-sini dan beberapa buah kancing baju dari bahan plastik terinjakku.
Tubuh bugil Ana seindah perempuan seumurannya. Apalagi otot-otot tubuhnya yang padat berbentuk erat pada kulitnya yang putih dan bersih. Otot bisep dan trisepnya padat di lengannya yang ramping. Dadanya mengkal dan tidak terlalu besar. Kemungkinan 32B atau 34B dengan puting kecoklatan. Perutnya yang rata juga berotot berbentuk kotak-kotak kecil. Lalu kaki yang padat dan berotot kering dan mengkilap.
Yang menjadi perhatian utamaku sekarang adalah tonjolan yang menyembul dari rimbunan rambut pubik di selangkangannya. Mencuat seperti penis anak kecil saat buang air kecil.
Benda apa itu? Aku belum pernah melihat hal yang seperti ini sebelumnya...
“Cepat bunuh aku sekarang juga! Jangan dilihat!” serunya histeris seperti perempuan pada umumnya yang mendapat perlakuan seperti ini.
Aku melebarkan kakinya yang masih terikat pada plang kayu hingga aku bisa melihat dengan lebih jelas kemaluan perempuan misterius ini. Kakinya gemetaran mendapat perlakuanku. Mengejang takut hingga gemetar.
Rambut kemaluannya yang sedikit lebih lebat dari yang sering kutemui membuatku harus menyibaknya hingga aku dapat menemukan belahan labia majora-nya.
Daging kemerahan seperti penis anak kecil itu keluar dari bagian atas belahan vaginanya. Tepatnya dari tempat biasanya klitoris bertengger. Lalu bagian yang lainnya sama seperti perempuan-perempuan lainnya. Seperti lubang urethea yang kecil lalu lubang senggamanya yang juga kecil.
“Jadi kau punya klitoris yang sepanjang ini, ya?” gumamku sepertinya mengerti. Saat ia terangsang, klitorisnya yang panjangnya kira-kira 4 cm itu akan menyembul bak penis anak lelaki kecil saat buang air kecil. Secara normal, klitoris perempuan akan menegang seperti halnya batang penis lelaki saat terangsang.

(Pada saat kehamilan di dalam rahim, perbedaan kelamin janin lelaki dan perempuan tidak bisa dibedakan pada trimester awal. Bentuk kelamin lelaki yang lazimnya panjang disertai dengan kantung scrotum atau buah pelir sama bentuknya dengan yang dimiliki janin perempuan. Pada masa itu tonjolan kecil yang mirip penis itu belum bisa dijadikan patokan penentuan jenis kelamin bayi kelak jika diperiksa dengan USG. Lalu berikutnya sampai pertengahan trimester kedua tonjolan ini akan memasuki bentuk sebenarnya. Bila pada janin lelaki tonjolan ini akan semakin panjang dan buah pelir membentuk sempurna. Sedang pada janin perempuan, tonjolan itu akan menjadi klitoris sedang kantung scrotum akan menjadi belahan labia majoranya sedang isi scrotum terbenam dan menjadi indung telurnya kelak dewasa nanti. Ini adalah perbedaan yang mendasar sebagai ciri-ciri eksternal janin lelaki dan perempuan secara umum. Bagian kepala penis bagi lelaki sebenarnya sama fungsinya dengan klitoris pada perempuan. Hanya saja pada lelaki bagian eksternal ciri-ciri seksual ini telah mencakup semua kebutuhan eksresi dan reproduksinya yang bermuara pada satu lubang saluran buang (lubang keluar air seni dan sperma yang sama sekali tidak berhubungan). Pada wanita, pengeluaran eksresi dan reproduksi dibedakan jalan keluarnya pada muara yang berbeda satu-sama lainnya. Lubang air seni pada perempuan berada tepat di atas lubang reproduksi/senggama)

“Kau malu karena klitoris-mu panjang seperti ini? Menurutku ini sama sekali tidak aneh... Malah seksi sekali...” kataku lalu menyentuh ujung daging merah itu dengan ujung jari telunjukku.
“Aahh! Jangan sentuh!” serunya tertahan. Matanya terpejam dan tubuhnya mengejang. Otot-otot tubuhnya berkontraksi dan akhirnya menggigil. Orgasme?
“Wah... Bisa orgasme... Hebat sekali... Hanya sedikit sentuhan saja...” kataku melihat cairan yang merembes dan membasahi springbed tanpa sprei ini. Klitoris panjang itu masih menegang saja.
“Seksi sekali... Ada perempuan cantik dan tangguh sepertimu... Duduk mengangkang dan telanjang dengan klitoris bengkak dan panjang seperti itu... Rasanya sayang sekali kalau disia-siakan begitu saja...” kataku lalu maju selangkah lagi. Aku dapat mencium bau cairan orgasmenya.
“Walau kau minta dibunuhpun atau mengancam akan membunuhku, semua keluarga dan teman-temanku... Aku tidak perduli...” kataku lagi kemudian melucuti seluruh pakaianku hingga bugil total!
Ana masih memandangiku dengan sengit. Berbagai ekspresi berganti-ganti di wajahnya. Marah, benci, sedih, muak, jijik dan takut...
Yang pertama kusentuh adalah dadanya. Aku tidak berani mengambil resiko menciumnya karena ia mungkin bisa menggigitku.
Kuremas-remas dada kanannya sementara puting kirinya kupilin-pilin. Ana melenguh. Nafas hangatnya menerpa mukaku.
Lalu tanganku meraba permukaan kulit perut dan pinggangnya bergantian. Kulitnya lumayan halus. Pori-porinya mengembang karena geli. Hanya saja semua ototnya menegang.
Kemudian menyusul mulutku mengemot dadanya yang tidak terlalu besar itu. Lidahku menyentil-nyentil putingnya. Tanpa bisa dicegahnya, malah menegang dengan imutnya.
Jari tanganku menjepit klitoris panjangnya dan memilin benda menggemaskan itu. Deburan jantungnya terasa di daging bengkak itu. Sangat sensitif.
Karena ukurannya yang tidak lazim, aku bahkan bisa mengocoknya seperti penis kecil dengan jari telunjuk dan ibu jari.
“Ah... Ah...” keluhnya tak terelakkan lagi.
Tubuhnya mengejang tiba-tiba lagi menandakan kalau ia kembali mendapatkan orgasmenya. Tangannya membentuk kepalan hingga urat-urat tangannya yang kuat membentuk karena tekanan tali yang mengekangnya. Kakinya juga mengejang dan jari-jarinya melebar.
“Wah… Dapat lagi…” kulepaskan klitoris panjangnya dan mulai menggesek bagian luar lubang kemaluannya yang tersembunyi di lebatnya rambut pubic-nya.
“Sudah… Jangan… Jangan lakukan lagi… Aku lebih baik mati daripada mengalami ini!” jeritnya histeris. Air matanya meleleh mengalir di pipinya dengan deras.
Ujung jariku sudah hampir masuk ke dalam liangnya yang panas saat aku melihat matanya…
 
Terakhir diubah:
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd