Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Quest

ahahahahaha

iya kebetulan onlen pagi liat apdet


sidequestnya udah sampe itu apa gimana
 
Thanks suhu atas udatenya. Aku bene bener gak sanggup untuk gak komen. Cerita ini dari awal fantastis banget menurutku. Mulai dari khayalannya yang tinggi banget, semua sisi kehidupan dimunculkan dengan unik, hingga kemampuan suhu dalam menulis scene sex bermacam-macam genre di setiap episode core-nya. Plot pun rapi, diksi mantap, dan juga aku salutnya, english conversationnya natural banget, aslii mirip banget gaya bahasanya dan gak kalah sama penutur asing. Kerennn suhu :D Tapi aku khawatirnya satu suhu. Bukan bermaksud menggurui ya suhu. Aku hanya mengkhawatirkan banyaknya konflik yang ada di setiap pengambilan zodiac core. Apa Satria orangnya tegaan ya? Ya! Memang tega karena telah membuat banyak wanita mencintainya. Terus tega, karena sikapnya yang mungkin sedikit kejam. Ia kejam terhadap Michele padahal ia berniat berubah. Menurutku Michele pantas dimaafkan suhu tapi ya tergantung suhu sih hehe terus ia juga tega karena berutang penjelasan terhadap Ratu Vlasq dari dunia Mythral kerajaan Vanguarzh dan Leonny dari dunia kucing. Kalau bisa, ada side quest khusus agar mereka juga tau khususnya Ratu Vlasq karena secara kan ia juga membantu Satria dengan memberikan corenya. Yah setidaknya dibikin samalah dengan kisahnya L'Blenc dan Nyi Sukma. Satria jadi bebas keluar masuk dunia jin dan juga bisa dapat bala bantuan dengan adanya gelang ular naga
di tangannya. Hanya sekedar ide suhu, maafkan daku yang hina ini. Tapi keseluruhan ceritanya mantap kok, fantastis seperti kataku tadi. Jangan terburu-buru ditamatin ya suhu. Pacar Putri blm ada, kan? Kisahnya Dewi ama Wira blm jelas, kan? xD Plus juga aku penasaran gimana nanti cara Satria untuk nemuin saudara Corenya, Beowulf yg katanya jika terkumpul bisa memanggil Core setara God Maester Core. Kan Shiny Gems udah ditau bentuk terakhirnya, Ophiuscus. Masa yang itu dibiarin suhu, kalau bisa kemunculannya dibikin kebetulan aja seperti sebelum-sebelumnya sewaktu satria ngedapat core istimewa lain dari cewek selain sang empunya Zodiac Core. Hanya saran kok suhu ;) Nah intinya, jng trbebani ya suhu. Kami rela nunggu untuk sebuah karya fantastis, karena it worths a wait :) Teruskan berkarya suhu hingga akhir dan akhiri dengan meninggalkan kesan dan tentunya tanpa ada masalah lagi untuk Satria xD Tadi semua itu segala pujian, ide, saran, pendapat, kritik, dan lainnya. Yah itung-itung karena aku baru nongol disini xD Maaf kepanjangan suhu, jangan ditabokin ya hehe Maafkan newbie telah lancang :) Semangaatttt suhu, i'll wait you!
 
Tak kurang para penonton yang kegelian tertawa lucu melihat pemandangan ini. A Fang menghitung dan Nining menahannya dengan menggigit bibir bawah dan menatap mataku yang masih berlutut di depannya.
“Sepuluh...” tuntas hitungan sepuluh detik A Fang. “Hei... Udah!” hardik A Fang melambaikan tangannya di depan wajah Nining. “Keenakan, lu?”
“Cabutin, Sat?” pinta Nining berbisik dengan suara berat.
Kucabut rokok itu dari liang vaginanya. Ada cairan bening yang menempel di bagian filter rokok menthol ini; membuat benang tipis saat kutarik lepas dan putus.
“Rokoknya hampir mati tuh, Satria? Isep dikit biar nyala lagi...” kata A Fang.
Aku belum pernah merokok tapi aku tidak keberatan melakukannya. Rasa mentholnya membuat rasa tembakau yang pahit tidak begitu terasa tetapi ada rasa dan aroma yang aku suka. Rasa dan aroma Nining yang tertinggal di filter rokok ini. Rasanya segar, sedikit asin dan aromanya seperti bedak bayi yang selalu dipakainya.
“Nah... Udah nyala lagi... Tinggal lubang terakhir, Ning...” kata A Fang pada penerima tantangannya.
Dengan patuh Nining agak mengingsutkan bokongnya dan punggungnya makin bersandar rendah di sofa. Ia memegang kedua pahanya hingga lubang pantatnya mencuat jelas terlihat.
Di posisi ini, liang vagina NIning yang sudah basah makin menganga terbuka lebar. Kemaluannya semakin lembab.
“Satria lagi yang masukin lagi ke pantatmu, kan?” pasti A Fang pada lawannya.
Nining hanya mengangguk setuju. Ia kembali menatapku. Pasrah akan kumasukkan rokok kembali ke lubang tubuhnya.
“Dah, Satria... Masukin ke pantatnya sekarang... Jangan salah masuk, loh...” goda A Fang.
Lubang pantatnya masih sangat rapat dan ketat. Akan sedikit susah memasukkan rokok ini ke dalam sana.
“Pelan-pelan, Sat...?” bisik Nining begitu aku beringsut maju. Ia merasa harus ngomong, tidak cukup dengan hanya dengan ekspresi tersirat.
Dengan bantuan tangan kiri, aku melebarkan lubang pantatnya. Karenanya aku meletakkan telapak tanganku di bongkahan bokong montoknya dan jariku merenggangkan bukaan anusnya. Berkali-kali mataku melenceng ke arah bukaan vaginanya yang menggoda dan berkali-kali juga mata kami bertemu. Sepertinya Nining paham apa yang jadi masalahku.
Tugasku selesai begitu aku berhasil memasukkan bagian filter itu ke anus Nining. Dan begitu kulepaskan bantuan jariku, lubang anus itu langsung mengatup ketat rokok filter itu. A Fang langsung menghitung.
Pandangan Nining mengikutiku yang mundur menjauh dari kerumunan. Jantungku berdebur cepat.
“Selesai!” seru A Fang begitu ia menghitung sampai sepuluh detik. Serta merta juga ia mencabut rokok filter itu dari anus Nining dan melemparkannya ke api unggun.
Nining langsung mengembalikan posisi duduknya ke posisi normal dan langsung mencekik leher A Fang dengan gemas. A Fang meleletkan lidahnya seolah sekarat dan membalik bola matanya kala Nining mengguncang-guncang tubuhnya. Mereka tertawa-tawa dengan permainan mereka.
“Sekarang giliranku!” cetus Nining begitu ia memakai kembali CD bikininya. Ia mengincar Aya. “Aya? Truth or Dare?” tanyanya penuh semangat.
“Dare!” jawab Aya penuh semangat. Tensi permainan sudah semakin tinggi dan sudah semakin banyak botol bir kosong yang berserakan di sekitar kami. Ada beberapa chiller berisi es batu yang diletakkan di atas pasir; berisi bir botol dan kaleng.
“Bagus... Berani ya kau pilih Dare... Lari mundur bugil dari sini sampe ke pantai... Guling-guling di pasir sebanyak sepuluh kali...” pada bagian kata sepuluh kali ia melotot pada A Fang “ terus balik kemari lalu joget dan nyanyi dangdut satu lagu... Laksanakan!” kata Nining yang membalas dendam. Tapi karena ia tidak bisa membalas A Fang, dilampiaskannya pada orang lain. Serem...
“Yah... Kejam banget Dare-nya... Maen fisik terus...” kata Aya yang menyesal memilih Dare. “Kirain nyerempet-nyerempet Satria gitu?” kesalnya sambil membuka bra dan CD bikininya. Ia kini telanjang bulat di depan kami.
“Guling-gulingannya harus kena air, ya?” pasti Aya pada sang pemberi tantangan.
“Ya, dong... Masuk pasir-masuk pasir, deh tempikmu... Hi... hi... hi...” gelaknya membayangkan Dare miliknya yang lumayan kejam.
“Hu-uh!” kesal Aya. Tapi ia harus patuh. Dan ia berlari mundur pelan-pelan sambil sesekali melihat ke belakang. Dada remajanya yang mengkal berguncang-guncang pelan saat ia tersandung pasir. Dan Aya terjungkang kala ia menabrak istana pasir yang tadi sore dibangun susah payah oleh A Fang dan April. Keduanya berteriak-teriak memaki Aya.
Aya yang terjerembab meringis memegangi pinggangnya. Untung jatuhnya masih di atas istana pasir yang lembut. Ia menunduk-nunduk minta maaf pada A Fang dan April yang berkacak pinggang, lalu kembali berlari mundur. Akhirnya tiba juga di pantai.
Direbahkannya tubuhnya di atas pasir dan ombak yang maju mundur membasahi pantai. Dari kejauhan kami menghitung saat Aya bergulingan dengan susah payah di atas pasir yang basah. Sesekali ombak yang menjilati pantai menerpa tubuh telanjangnya. Terang saja ia menjadi basah dan dilekati pasir.
Sepuluh kali gulingan, ia lalu berlari mundur kembali ke susunan sofa di dekat api unggun yang tetap membara panas hingga memberi kehangatan pada kami semua manusia di sekitarnya.
“Joget dangdut!” seru Nining. “Nyanyi!” serunya karena Aya malah sibuk membersihkan pasir dari tubuh bugilnya. Penyinaran cahaya api unggun yang berwarna jingga dominan mewarnai tubuh telanjangnya ditambah sedikit sinar kebiruan dari bulan membuat tubuh Aya seksi fantastis! Bombastis!
“Api asmara yang dahulu pernah membara–semakin hangat bagai ciuman yang pertama–detak jantungku seakan ikut irama–na-na-na-na-na–kopi dangdut!” senandung Aya melagukan lagu dangdut lawas berjudul Kopi Dangdut dari Fahmi Abbas dengan lupa lirik. Ia berjoget-joget sembarangan dengan dua jempol mengacung, pinggul digeyal-geyolkan, tubuh meliuk-liuk seperti ular. Erotis sekali karena dilakukan dalam keadaan bugil.
Tapi tidak begitu yang perempuan-perempuan ini rasakan. Lucu adalah yang mereka dapat karena mereka juga mempunyai tubuh yang sama seksinya dengan penari ini. Apalagi dipengaruhi alkohol yang melencengkan pikiran.
Hanya aku saja yang satu-satunya kaum Adam; yang merasa kalau goyangan dangdut Aya ini seksi. Tubuh telanjang dengan butiran pasir melekat di sekujur tubuhnya, bergoyang erotis dan seksi dengan lagu Kopi Dangdut yang cukup terkenal.
“Udah, kan? Satu lagu...” kata Aya setelah satu lagu itu selesai ia nyanyikan dan jogetkan sekaligus.
“Ya... ya...” jawab Nining dengan terkekeh geli. Ia sampai menggencet A Fang dengan tubuhnya.
“Awas giliranku... Aku mau shower-an dulu bentar... Tunggu...” kata Aya berlari ke arah villa dengan terlebih dahulu menyambar bikininya yang disampirkan di atas sofa.
Di depan villa ada sebuah kamar mandi terbuka untuk keperluan shower cepat setelah bermain air di pantai. Aya terlihat mengguyur tubuhnya untuk membersihkan pasir yang melekat di tubuhnya. Yang tersulit adalah bagian rambut karena harus keramas untuk membersihkan pasir yang lengket di rambutnya yang cukup panjang. Ia hanya fokus pada tubuhnya saja dan ia sudah kembali lagi ke sofanya.
“Giliranku, ya?” katanya sedikit manyun. Tubuhnya masih sedikit basah setelah shower cepat tadi. “Silva? Truth or Dare?” tanyanya pada salah satu kembar identik itu, bahkan ia belum duduk di tempatnya.
“Aku gak takut tantanganmu, Ya!... Dare!” seru Silva berani.
“Liat aja... Dare dariku adalah... Masturbasi pake botol bir kosong ini!” seru Aya penuh semangat mengacungkan botol bir yang dimaksudnya.
“Ih... Serem amat tantanganmu, Ya?” kata kakaknya bergidik. Sejauh ini, memang ini yang paling keterlaluan. Tapi memang itu cara permainannya. Kejujuran dan Tantangan akan selalu bereskalasi semakin tinggi dan seru.
“Gak masalah... Masih gedean punya Satria dari botol itu, kok...” kata Silva sok keren.
“Tapi yang melakukan masturbasinya bukan elu, Va... Elu berdiri dan keliling ke kami... kami yang nganuin botol ini ke pepekmu! Gitu...” lanjut Aya menambahkan syarat tantangannya. “Tiap ganti orang... Elu harus ngomong... Tolong puaskan pepekku... Ayo!” serunya dan menyerahkan botol bir kosong itu ke Silva.
“Kelilingnya cuma sekali, kan?” tanya Silva menerima botol bir kosong itu dan berdiri patuh. Aya mengangguk membenarkan. “OK, deh... Vi... pegangin botolnya dulu... Aku mau buka dulu...” katanya menyerahkan botol itu pada saudari kembarnya dan membuka semua bikininya lalu diambilnya lagi botol bir kosong berwarna coklat tua itu.
“Tolong puaskan pepekku...” kata Silva sudah ada di depanku. Disodorkannya botol itu sambil ia mencondongkan perutnya padaku. Ia menggigit jarinya sebagai godaan.
“Aku duluan, nih?” kataku setelah menerima botol itu. Aku melihat bergantian pada botol, wajah Silva dan kemaluannya yang mulus tanpa rambut.
“Cuma boleh pake botol... Jangan pake yang lainnya! Ingat!” seru Aya dari tempat duduknya.
“Ayo, Sat... Tolong puaskan pepekku...” bisiknya tak sabar. Pipinya terlihat mulai merah entah karena nafsu atau alkohol.
“OK... Ini dia! Cuhh!” kataku mulai. Kuludahi kepala botol bir kosong itu sebagai pelumas awal dan kuarahkan ke vagina Silva.
“Mmm...” lenguhnya begitu ujung botol itu menyentuh kemaluannya. Tidak kasar, kulakukan selembut mungkin. Kugesek-gesekkan bagian leher botol itu ke labia minora dimana lubang tujuannya tersembunyi. Sisa ludahku menetes jatuh ke pasir. Silva makin melebarkan kakinya dan tubuhnya sedikit bergetar.
Kucoba menjejalkan ujung botol itu ke arah dimana lubang senggamanya berada pelan-pelan. Silva semakin meringis keenakan. Kuputar-putar botol itu dan tercium aroma vagina segar pertanda pelumas alami milik Silva sudah mulai tersekresi.
“Uuhh...” keluhnya ketika ujung botol itu berhasil masuk. Terasa sangat ketat.
Aku mulai memasukkan botol itu lebih dalam lalu menariknya. Katupan erat liang vagina Silva menggenggam erat leher botol yang kupompakan ke kemaluannya.
Silva mulai mengaduh-aduh keenakan merasakan benda keras itu mengaduk kemaluannya. Kakinya gemetar tak tahan dan ia harus bertopang dengan berpegangan ke bahuku. Diremas-remasnya otot bahuku dengan kuat. “Uuhh... aahhh... aahhss... uhmm... aahh...”
“Cukup... Pindah!” seru Aya memberi instruksi. “Botol jangan dilepas... Pegangi... jangan sampe lepas...” tambahnya.
Silva berjingkat ke samping menuju sofa panjang yang ada di sampingku di mana Fantina dan Jessie duduk. Dipeganginya botol itu agar tetap bercokol di dalam kemaluannya. Ia masih menyeringai keenakan.
“Tolong puaskan pepekku...” katanya di depan Fantina. Diangsurkannya perutnya maju ke hadapan perempuan itu. Fantina tanpa ragu meraih botol bir kosong yang bagian leher sampai bukaanya masih terbenam di dalam kemaluan remaja itu.
Fantina mulai mengocokkan botol itu ke dalam vagina Silva dengan cepat.
“Aaaahhhh...” jerit Silva kaget. Ia berpegangan ke bahu Fantina seperti yang tadi dilakukannya padaku. Semakin dilebarkannya kakinya agar bisa mengakomodir kecepatan dan diameter botol kaca itu.
“Aaauuhh!” jerit Silva dan kakinya tiba-tiba lemas. Botol bir itu sampai terlepas dari cengkraman liang kemaluannya. Ia berjongkok di depan Fantina sambil memegangi lutut mantan pembunuh bayaran itu dan bernafas tersengal-sengal. Ia orgasme!
“Pindah...” perintah Aya.
Dengan langkah gontai, Silva bergeser ke depan Jessie.
“Tolong puaskan pepekku...” kata Silva dengan suara sedikit memelas agar dikasihani.
Biasanya Jessie adalah wanita yang baik hati dan lemah lembut. Tetapi saat mabuk begini, ia berubah bengis. Seperti Fantina barusan, botol kaca itu dikocokkan di dalam vagina Silva dengan cepat dan ganas. Tak ayal Silva kembali orgasme dan berjongkok lemas.
Silva harus berpindah lagi dan menghadapi pemain lain, antara lain; April, A Fang, Nining, Aya, Silvi dan terakhir Della. Ada yang memperlakukannya dengan lembut, ada yang biasa saja dan ada yang menghentak-hentak.
“Aduh... Awas, ya... Kalian semua...” ancam Silva. Ia akan membalasnya lewat saudari kembarnya, Silvi.
“Truth or Dare?” tanya Silva masih dengan nafas yang berat habis mengalami beberapa kali kenikmatan orgasme.
“Dare, dong, sis...” jawab Silvi akur bekerja sama. Kami semua boleh menciut takut karena mereka berdua sangat kompak dan sehati.
“Bagus... Silvi dengar dengan baik... Kalian juga semua! Silvi... masturbasi-in mereka semua yang ada di sini... Kalian semuanya hanya boleh duduk tidak boleh mengelak! Lakukan, Silvi...” seru Silva dengan balas dendamnya.
Wahhh! Level permainan semakin meningkat tinggi. Terjadi kasak-kusuk dan gerutu mengeluh dari kami semua. Tetapi permainan tetap permainan. Jalan terus!
“OK... Aku mulai dari... Dellayani...” seru Silvi setelah sebelumnya memperhatikan sekeliling siapa yang akan menjadi korban pertamanya. Della berada tepat diantaranya dan aku.
Della yang dari tadi ikut permainan ini dengan malas-malasan, mau tak mau jadi mulai khawatir. Ditenggaknya bir miliknya sampai tandas begitu Silvi mendekat.
“Jangan komplen... Ini bagian dari permainan, ya?” katanya begitu ia berada di depan Della. Silvi menunduk lalu menyibak bra bikini milik Della kedua bagiannya hingga dada berukuran 36C itu menyembul menantang.
Della terpaksa diam saja saat Silvi mulai menjilati puting susu kirinya dan meremas-remas yang sebelah kanan. Begitu terus sampai beberapa lama sampai Della mulai gelisah dan keluar suara-suara melenguh keenakan. Apalagi kala tangan yang tadi bermain di bagian dada lalu berpindah ke kemaluannya setelah terlebih dahulu menyibak CD bikini itu.
“AAahh...” desah Della kala jari Silvi mulai masuk ke dalam liang senggamanya dan bermain-main liar. Klitorisnya berganti-ganti dipermainkan dengan jari sembari puting susunya terus disedot.
“Uh... Panas sekali pepekmu, Dell...” komentar Silvi tentang suhu bagian dalam dimana jarinya tengah mengorek. “... dan becek juga... Ayo... Lepaskan saja... Mm...” goda Silvi pada mangsa pertamanya.
“Silviiii!” seru Della tak tahan lagi. Tubuhnya menggelepar keenakan. Jari Silvi terjepit erat di mulut vagina Della yang mendapat orgasmenya. Para penonton bersorak-sorai. Entah senang atau juga terangsang.
“Pindah...” kata Silva sebagai pemberi tantangan.
Silvi bangkit dan membaui dua jarinya yang tadi bercokol di dalam kemaluan Dellayani. Dijilatnya bahkan dan tersenyum puas dengan rasanya. Della berbaring lemas di sofanya. Ia beralih padaku.
“He... he... he... Giliranmu, Sat...” katanya saat sudah di depanku. Diangkatnya kaus oblong yang kupakai untuk menjilati puting dadaku. Tubuhnya yang hangat rapat kepadaku. Tangannya yang bebas menjamah batang kemaluanku yang keras; tersembunyi di dalam boxer.
“Udah keras, nih...” bisik senangnya karena mendapati kalau penisku sudah ereksi di dalam celanaku. Tidak perlu lama-lama dirangsang lagi. Dipelorotkannya boxer itu beserta celana dalamnya sekaligus sampai nangkring di paha. Penisku tak ayal lagi melompat keluar hampir menampar pipinya.
“Bagus...” senang sekali mimik wajahnya. Digenggamnya langsung batang penisku dan bagian kepalanya langsung dilahapnya. “Mloohhbb...” Tangannya dengan lincah mengurut-urut batang penisku dan lidahnya bermain.
“Ooaahh... Enak banget, Vi... Hmm... Ya... Disitu...” keluhku saat ia menjilat memanjang urat besar saluran eksresi di bagian bawah penisku. Aku suka sekali di-oral di bagian itu.
Silvi memainkan ludahnya sehingga penisku menjadi sangat basah dan suara kecipaknya sangat seksi sekali. Tapi walaupun begitu, aku tidak semudah itu ejakulasi. Silvi harus bekerja sangat keras untuk itu. Hanya ada beberapa keadaan yang seingatku bisa membuatku ejakulasi cepat. Gigitan Carrie di leherku dan obat perangsang di kota Dawill dalam game QUEST FOR LOVE dahulu.
Kalau kulihat dari keadaan perempuan-perempuan lainnya, mereka sudah tak sabar. Kalau tidak ada peraturan permainan ini, mungkin atau pasti mereka sudah menyerbu kemari.
Mungkin aku harus memberi pengecualian kali ini...
“Silvi... Silvi... Mau keluar! Sudah mau keluar!” keluhku menahan nafas sampai perutku menjadi sangat tegang. Silvi makin ganas menghisap penisku. Penisku semakin mengembang.
“Mmgghh... ngghh... ghh...” keluhku tak tahan lagi dan menyemburkan semprotan sperma kental itu di mulut Silvi. Beberapa kali semburan lahar panas menyemprot dan Silvi dengan rakus menelannya terlihat dari gerakan tenggorokannya.
“Huh... Hebat...” kata Silvi bangkit lalu menjilati sisi bibirnya yang berlepotan sisa spermaku.
Semua perempuan itu mencengkram erat kulit sofa bersiap untuk melompat menyerangku.
“Pindah ke berikutnya...” seru Silva memecah ketegangan ini. Mungkin dia penyelamatku kali ini.
Silvi beralih ke Fantina yang duduk berdua dengan Jessie. “Jangan ada yang bergerak... Silvi vibrator mau bekerja...” candanya bersamaan dengan gerakannya menyibak bra bikini Fantina. Langsung disosornya dada kiri Fantina yang ukurannya kurang lebih sama dengan Della, 36C.
Putingnya disedotnya dan yang sebelahnya dipilin dengan jari. Tak lama Fantina mulai terangsang terdengar dari keluhan dan ekspresi wajahnya yang menikmati permainan Silvi di kedua dadanya. Kakinya membuka lebar memberi izin untuk dieksplorasi lebih jauh.
Tak perlu diberitahu, jari Silvi langsung menyeruak masuk ke dalam CD bikini Fantina. Jarinya mengorek-ngorek klitoris dan menusuk-nusuk lubang cintanya. Nafas Fantina yang pendek-pendek seperti pelari marathon malah diperparah dengan melumatnya dengan bibir juga. Mulut, dada dan vagina menjadi permainan Silvi.
“Emmmggghhhh...” sumpalan Silvi berhasil. Tubuh Fantina berkejat-kejat oleh gelombang kenikmatan oleh masturbasi yang dilakukan Dare milik Silvi.
Silvi langsung mundur setelah menjilat jarinya yang kembali basah oleh orgasme Fantina. Ia sangat puas merasakan cairan cinta itu. Aku tahu itu enak karena aku sering merasakannya.
“Sekarang giliran, Jessie...” kata Silvi mempermainkan jarinya untuk mengintimidasinya.
Jessie yang sedang mabuk tidak perduli. Malah ia menyibak bra bikini miliknya hingga dadanya terbebas dan meloloskan CD bikininya lepas dari kakinya; kakinya dikangkangkan. “Silahkan...”
Dapat tantangan begitu, Silvi langsung menubruk wanita itu. Dijejalkannya kedua jari telunjuk dan tengahnya ke liang senggama yang ternyata sudah basah. Jessie meremas-remas rambut Silvi yang sedang mengenyoti puting susu kanannya.
Jessie menjerit-jerit keenakan mendapat serangan Silvi yang lumayan yahud. Ia semakin mahir saja dari terakhir aku mengaulinya.
Kembali ia menjilati jarinya lalu menyeberang ke sofa panjang di sana, dimana April, A Fang dan Nining berada. Diserangnya ketiga wanita itu dengan ganas juga sampai orgasme juga. A Fang yang paling seru karena orgasme-nya selalu diikuti dengan semburan cairan dari saluran kencingnya. Ketiganya bersandar lemas dengan kaki mengangkang; takluk oleh permainan tangan ‘jari maut’ Silvi.
Lalu berlanjut pada Aya yang terakhir karena ini adalah atas tantangan Dare dari Silva. Gilirannya berakhir dan sekarang berpindah ke Silvi.
“Truth or Dare?” tanya Silvi pada Dellayani.
“Truth aja, deh... Kalau pilih tantangan, entar elu suruh macam-macam lagi... Kakiku masih lemes...” pilih Della atas kejujuran Truth saja.
“Yah... Pilih Truth... Padahal aku cuma mau nyuruh elu Lap Dance (Tari Pangkuan) doang ke kita-kita...” sesal Silvi yang rencananya berantakan. Mungkin dia tidak punya stok pertanyaan Truth.
“Terserah Della, dong, Vi... Ya, udah tanyain Truth-nya?” kata Aya yang belum membereskan bra bikininya yang tersingkap. Payudaranya menyembul jelas diterangi sinar api unggun.
“OK, deh... Della... Ceritakan dengan rinci permainan seks-mu yang paling hot... yang paling berkesan... Dengan rinci, loh...” pintanya. Ternyata ada juga pertanyaan miliknya untuk bagian Truth.
“Yang paling berkesan?” Della tiba-tiba menjadi sangat bersemangat. Ia tidak lagi bersandar ke sofa, condong ke depan dan mengingat-ingatnya. Sesekali ia melirik padaku membuatku berpikir kalau itu permainan seks-nya denganku. Lalu kisah bercintanya mengalir lancar tanpa sungkan. Detil-detil seperti jam bertemu, dinner dahulu di cafe A, makan malam romantis dengan menu B, check in di satu hotel bintang lima C, kamar suite D. Lalu rincian pergumulan foreplay hingga mulai penetrasi. Berbagai macam posisi dan gaya yang mereka praktekkan...
Aku tidak ingat pernah melakukan itu bersama Della sehingga bisa kusimpulkan kalau itu adalah kisahnya dengan calon suami yang tadi sore ia ceritakan; Valdo.
“Eh, Dell? Kayaknya itu bukan sama Satria, ya? Cara Satria sepertinya gak kayak gitu, deh?” cetus April sadar dengan keanehan beberapa detil.
“Iya... Kayaknya ada yang berbeda? Sama cowok lain, ya?” tebak Jessie sepertinya mulai sadar dari mabuknya.
“Memang bukan dengan Satria... Dengan cowoknya... Kalian gak tau, kan?” kata Fantina memberi sedikit bocoran petunjuk.
“Cowok? Della punya cowok?” sergah Nining tanggap. Nalarnya cepat bekerja dan segera berhitung. “Bukan Satria? Jadi elu mau nikah, Dell?” kata Nining tembak langsung.
“Menikah?” kaget yang lain hampir bersamaan. April, A Fang, Aya, Silva, Silvi dan Jessie. Fantina tidak termasuk.
“Dari mana kamu tau?” panik Della dan melirik padaku. Aku menggeleng kalau aku tidak membocorkan rahasianya.
“Yaaa... Tau aja... Kalau punya pacar ya ujungnya ya merid, kan?” jawab Nining entah lugu entah apa.
“Si Della sudah dilamar... Namanya Valdo... Mungkin nikahnya sekitar bulan enam nanti...” kata Fantina datar dengan data yang sudah berhasil ia dapatkan.
“Bulan enam? Valdo? Dilamar? Kenapa gak dikenalin? Ganteng, tidak? Cincinnya mana?” begitu berondong pertanyaan yang ditembakkan oleh perempuan-perempuan ini pada Della yang dikerubungi teman-temannya. Akhirnya hujanan selamat dengan cium pipi kanan-kiri.
“Jess... Elu naik nomor satu... gua nomor dua!” cetus Nining setelah mereka selesai cipika-cipiki dengan Della yang sumringah mendapat ucapan selamat dari teman-temannya. Undian nomor urut istri itu lagi yang menjadi pembahasan dengan dikeluarkannya Della dari daftar teratas dan digantikan oleh Jessie.
“Della... Terimakasih... Gue yang bakal jadi istri pertama Satria...” seru Jessie sadar dan menghambur memeluk Della lagi yang baru saja mendapat ucapan selamat dari teman lamanya Fantina. Diciuminya pipi Della dengan kuat sebagai tanda terima kasih yang banyak-banyak banget.
“Kalian serius dengan undian nomor itu?” kataku kesal pada biang kerok ide ini.
“Serius, dong...” kata Nining meningkahi. “Kamu gak boleh protes... Duduk manis aja di boncengan...” katanya lalu berpelukan dengan Jessie yang ternyata belum sadar betul dari mabuk dua botol bir-nya.
“Fantina... Elu nguping pembicaraanku dengan Satria, ya?” sergah Della yang baru tersadar akan tindak-tanduk temannya itu.
“Bweehh...” kelakar Fantina dengan meleletkan lidahnya pertanda ia membenarkan tuduhan Della. “Kalau kalian punya rahasia... aku akan tau semua...”
“Dia pake gadget penyadap, tuh...” kataku mengadu kesal. Kemudian ramai Fantina dikeroyok teman-teman perempuannya karena melanggar peraturan larangan gadget di pulau Airtas yang sudah mereka sepakati bersama.
--------​
“... Truth or Dare?” tanya Della padaku melanjutkan permainan ini seru ini.
Pilihan yang berat. Kalau aku pilih Truth, entah kejujuran apa yang akan ditanyakan Della padaku dan pastinya akan ada pertanyaan titipan yang mewakili keingin tahuan mereka semua. Sedang kalau aku pilih Dare, tinggal penetrasi ke kemaluan-lah yang belum terjadi malam ini. Ini pasti sudah menjadi wacana terpenting mereka.
“Truth aja, deh...” pilihku sebenarnya belum pasti.
“Bagus... Tanyakan yang itu, Dell...” seru beberapa suara sekaligus. Tepat seperti perkiraanku tadi.
“Iya... Sabar-sabar...” kata Della menenangkan teman-temannya yang bersemangat sekali dengan kesempatan ini.
“Dengar baik-baik, ya, Sat? Jawab sejujurnya... Diantara semua perempuan yang pernah kau kenal... pernah kau tidurin... pernah kau dekati... pernah dekat denganmu... Siapa yang paling kau cintai? ... dan alasannya...” tanya Della serius.
??????
“Wah... Pertanyaan macam apa itu? Susah ngejawabnya...” kataku benar-benar bingung. “Gak ganti pertanyaan aja, Dell?” tawarku.
Della menggeleng mantap tak bergeming.
“Sumpah loh... Itu pertanyaan sulit... Kalau aku jawab jujur... Misalnya si X... lalu bagaimana perasaan yang lainnya?... Apa kalian tidak akan berpikir kalau aku kurang mencintai kalian?... Cemburu kalau aku lebih mencintai yang satu dari pada yang lainnya... Akan lebih baik kalau kalian tidak tau dan aku tidak menjawabnya...” jawabku dengan penuh dilema. Makanya aku jadi pusing berat mendengar kalau ada yang bilang rela jadi pacar atau istri yang ke nomor sekian.
“Tidak apa-apa, Satria... Ini Truth, kan? Biar pahit tapi tetap harus jujur... Kami akan sanggup menerimanya... Siapa? Carrie, ya?” desak Della menekan terus.
Mereka semua menunggu jawabanku dengan pandangan intens. Menanti dengan harap-harap cemas kalau itu adalah namanya.
“Della aja, deh...” putusku tentang seseorang itu.
“Yahhh...” gerutu mereka semua.
“Itu tidak mungkin, Satria... Kau tidak mungkin mencintaiku lebih dari mereka karena kau tidak bisa... Kau pasti memilih jawaban aman karena aku sebentar lagi akan menikah dengan Valdo... Jujur... Ayo... Jujurlah...” desak Della lagi.
“Jujur, ya... Jujur saja kalau aku sangat mencintai kalian saat aku bersama kalian... Aku baru menyadarinya saat bersama Velinda Shaw waktu itu... Cintaku saat ini terpatok pada momen... Dengan siapa aku saat itu... momen itu... dengannya cintaku berlabuh... Aku tidak mengerti cinta macam apa itu? Tapi itulah yang selalu kurasakan...” jawabku ingin jujur untuk Truth.
“Wah... Jadi begitu... Saat Satria bersamaku... Satria sangat mencintaiku... Dan saat Satria bersama perempuan lain... A Fang misalnya... Satria juga sangat mencintai A Fang...” simpul Nining.
“Wah... Banyak sekali stok cintamu kalau begitu...” kata Fantina antara tak percaya dan mengolok sepertinya.
“Aku pikir... Itu lebih disebut dengan membahagiakan... Itu masih terlalu sederhana kalau disebut cinta... Satria berusaha sekuat tenaga membahagiakan tiap perempuan yang saat itu sedang bersamamu...” pendapat A Fang memberi garis penengah tentang apa yang kurasakan.
“Itu sudah termasuk cinta... Berusaha membuat pasangan bahagia itu bagian dari perasaan cinta itu sendiri... Harapannya akan ada timbal balik hingga tercipta hubungan yang saling membahagiakan... Untuk apa menjadi sepasang kekasih kalau tak ada rasa bahagia?” kata Jessie mempertegas.
“Ah... Kalian ngomongin apa dari tadi... Gak usah banyak teori, deh... Lakukan saja yang kita suka... Kalau sudah saling suka tidak perlu banyak omong lagi... Hajar saja... Aku suka Satria... dan aku yakin kalau Satria juga suka aku... Tidak perlu pakai pacaran atau menikah... Aku rela punya anak darimu...” kata Silva dengan pikiran liberal terbukanya.
“Setujuuuu! Aku juga mau punya anak dari Satria... Anaknya pasti ganteng dan cantik...” kata Silvi mengangkat tangan sealiran dengan kembarannya.
“Aku juga mau... Tapi harus menikah!” seru Aya menambahkan penekanan pada pernikahannya. Mungkin di khayalannya, menikah adalah sesuatu yang sakral dan agung.
“Terus... Bagaimana perasaanmu pada Carrie? Apakah itu juga yang kau rasakan saat kau bersamanya?” tanya Nining ingin mengorek kejujuranku lebih dalam.
“Sama... Aku juga merasakan itu saat bersama Carrie... Tetapi bedanya... perasaanku pada Carrie bisa menciptakan TRIGGENCE saat aku akan mengambil CORE istimewa dari targetku... Aku juga tidak paham...” jelasku sejujurnya. Ini masih merupakan salah satu misteri kenapa harus Carrie?
“Jadi Carrie spesial, dong?” sergah Aya. Ada nada kecemburuan di sana.
“Nah... Makanya tadi aku gak mau menjawabnya... karena akan jadi seperti ini persisnya... Cemburu, kan?” jelasku tentang keenggananku.
“Aku pribadi lebih setuju dengan Silva dan Silvi tadi...” Ini penengah pengalih perhatian cerdas dari Fantina. “Tidak perlu banyak pikir pusing... Ini bukan pikiran moderat karena aku besar di negara Barat... Tapi coba kalian pikir... segini banyak perempuan... bagaimana caranya Satria bisa memilih satu saja... untuk menjadi pasangan hidupnya?... Kalau banyak kenapa tidak? Satria sanggup menghadapi kita semua, kok... Lagipula kita contohnya... Kita cukup akur, kan? Bayangkan kita semua tinggal di satu rumah dengan status sama... sebagai istri Satria... Hanya ada satu suami dengan banyak istri... Seru, kan?” ungkap Fantina yang lebih liar lagi cara berpikir lagi.
“Wah... Seperti Harem, ya?” kata Aya. Itu tepat sekali. Harem. Kacau, dah...
“Seru, tuh...” akur Silva.
“Aku setuju... Aku ikut Harem...” kata Silvi.
“Wah... Seru banget, ya? Sebesar apa nanti rumahnya untuk menampung semua istri Satria... Apalagi anak-anaknya...” khayal Nining menatap awang-awang.
“Satria... Siap-siap kerja keras, ya? Itu perlu banyak sekali cinta di dalam rumahmu nantinya...” kata A Fang bahkan sepertinya semangat sekali mendengar gagasan gila Harem itu.
April tak terdengar suaranya. Ia hanya menghayal memandang langit yang gelap berbintang gemerlap. Mungkin menghitung jumlah calon anak-anaknya. Jari telunjuknya diselipkan ke bibir.
“Apakah kita memang bisa akur kalau itu benar-benar terjadi? Sekarang memang masih indah-indah aja... Tapi kalau benar-benar terjadi... Apa bisa begitu?” ragu Aya.
“Kau takut bersaing dengan kami, Ya?” kata Jessie, kakaknya sendiri. Matanya semakin sayu dan berat.
“Tidak perlu bersaing... Satria bisa mencukupi kita semua... Bukan begitu, Satria?” kata Fantina sambil mengerling.
“Ahh! Gila kalian semua...” seruku frustasi.
“Hei... Kasihani aku... Aku gak bisa ikutan anggota Harem...” rengek Della.
--------​
“Lanjutin mainnya...” seru April.
“Lanjuuutt!” seru semuanya setuju.
Ini giliranku untuk mengajukan Truth or Dare pada Fantina. Kalau sudah mencapainya, permainan ini hampir mencapai satu putaran.
“Truth or Dare, Fantina?” kataku memberinya pilihan.
“Dare!” jawabnya mantap.
“Yuhuuuu...” seru mereka semua senang atas pilihan Fantina yang memilih tantangan Dare. Apa mereka mengharapkan suatu tantangan yang heboh?
“Apa tantangan Dare-nya?” tanya Fantina malah tak sabaran.
“Ng... Main Batu-Gunting-Kertas tiga kali dengan kami semua... Berkeliling seperti tadi (putaran Silva-Silvi)... Yang menang berhak melakukan apa saja pada yang kalah... Gitu aja...” kataku tak tahu tantangan yang lebih seru lainnya.
“OK... Kalian dengar semua, kan?” seru Fantina pada yang lainnya. Seolah konduktor orkestra ia mengangkat kedua tangannya minta jawaban.
“DENGARRR...” koor mereka kompak. Beberapa tertawa geli dan saling bisik.
“Bagus... Denganmu duluan...” kata Fantina cepat tanggap dan berdiri untuk memulai permainan tantangan ini. Begitu ia berdiri di depanku, ia sudah mengepalkan tangannya di hadapanku dan aku juga melakukan hal yang sama.
“Batu-Gunting-Kertas!” seru kami bersama-sama.
Fantina Kertas vs. aku Gunting. 0-1.
“Batu-Gunting-Kertas!”
Fantina Kertas vs. aku Batu. 1-1
“Batu-Gunting-Kertas!”
Fantina Batu vs. aku Gunting. 2-1. Hasil akhir: Fantina menang.
“Yes!” seru Fantina gembira sekali. Ia berlari berkeliling seperti striker sepak bola yang berhasil membobol gawang lawan. Selebrasi keliling lawan yang berpotensi melecehkan tim lawan.
“Aku yang menang, ya? Aku berhak melakukan apa saja padamu yang kalah, kan?” pasti Fantina dengan senyum lebar saat ia kembali berdiri di hadapanku.
“Ya... Apaan?” kataku pasrah.
“Sebentar... Kalian semua jangan ada yang iri, ya???” serunya berteriak kuat pada yang lain. “Fuck me, please...” kata Fantina malah melorotkan CD bikini miliknya dan menungging ke arahku.
????​
Kulihat wajah-wajah mupeng dari semua perempuan itu yang mulai bangkit lagi birahinya melihat peragaan penuh provokasi dari Fantina. Ia mempunyai kesempatan emas untuk bercinta pertama kali di malam seru ini.
Segera kulakukan hukumanku dengan menggauli Fantina di hadapan semua orang. Cukup berdiri saja di depan sofaku, Fantina tetap menungging berpegangan pada sofa dan kujejalkan penisku dari belakang. Vaginanya sudah sangat becek dan aku memompanya dengan lancar ditingkahi suara menjeritnya keenakan di pantai yang hanya dihuni kami saja. Tak lama ia orgasme dan ambruk ke sofa dengan kaki gemetar. Aku tak perlu harus sampai ejakulasi. Kumasukkan lagi penisku ke dalam boxer-ku tanpa harus dibersihkan terlebih dahulu.
“Fiuh... Itu hot sekali... Huhh... huff...” desah Fantina yang berusaha bangkit dan memakai kembali CD bikini miliknya ke posisinya. “Makasih atas kerjasamanya...” katanya memberi kode menghormat dengan dua jari. Langkahnya masih limbung ketika aku duduk menekan gembungan di celanaku, ia menuju ke Jessie yang masih duduk di tempatnya; masih menenggak pelan-pelan bir-nya.
 
“Ayo, Jess... Main!” kata Fantina percaya diri karena sudah menang sekali dariku dan lawannya ini mabuk.
“Ayo...” kata Jessie dan mengacungkan tangannya yang terkepal.
“Batu-Gunting-Kertas!” seru mereka berdua bersamaan.
Fantina Kertas vs. Jessie Gunting. 0-1.
“Batu-Gunting-Kertas!”
Fantina Gunting vs. Jessie Batu. 0-2.
“Batu-Gunting-Kertas!”
Fantina Batu vs. Jessie Kertas. 0-3. Hasil akhir: Jessie menang.
“Yah... Masa kalah sama yang mabuk, sih...” keluh Fantina kecewa tak bisa melaksanakan rencananya pada Jessie.
“Yee... Menang... Fantina... sana ngentot lagi sama Satria...” instruksi Jessie sebagai pemenang. Perintahnya memang tidak masuk akal karena tak ada keuntungan untuknya sama sekali.
“Beneran?” kaget Fantina sekaligus senang. Ia beralih padaku dan langsung melorotkan CD bikininya lagi lalu menungging bertumpu pada sofa dimana ia biasa duduk. “Satria... Ayo...”
“Yaa... Masak lagi, sih? Kenapa aku yang dibawa-bawa, sih?” protesku. Permainan pertama aku kalah, aku terima. Ini aku sama sekali tidak ada hubungannya.
“Perintah pemenang... Ayo... Fuck aku lagi...” kata Fantina tidak perduli. Digosok-gosoknya bibir vaginanya sendiri sebagai ransangan pembuka.
Kujejalkan lagi penisku yang memang masih tegang itu ke belahan vagina Fantina yang sangat menggoda. Rasanya memang sangat enak. Tubuh perubahan Anna menjadi sekretaris di kantor mamaku ini sangat legit dan menggairahkan. Tinggi langsing dan singset.
Kembali Fantina menjerit-jerit keenakan liang senggamanya kupompa cepat dengan serangan penisku. Dadanya kuremas-remas gemas sebagai tambahan. Kupegang erat pinggang rampingnya kala kupercepat kocokanku karena aku sepertinya akan segera ejakulasi.
Kupeluk erat tubuh Fantina saat perutku menekan erat bongkahan semok pantat Fantina. Semburan kencang spermaku menyembur masuk ke vaginanya. Perempuan itu meraung panjang merasakan rahimnya disemprot cairan kental hangat penuh bibit penerusku yang tak pernah menjadi nyata.
Fantina kembali ambruk di atas sofa dengan nafas tersengal-sengal. Aku sampai harus berpegangan pada pegangan sofa untuk kembali ke sofa tunggalku. Masih terasa enak saat penisku kukembalikan ke tempat persembunyiannya.
“Hei... hei... Bangun!” seru Jessie membalik tubuh Fantina yang masih berbaring lemas di atas sofa. Lututnya di atas pasir dan kakinya terbuka lebar; menungging. Dibalik begitu, ia jadi berbaring menelentang dengan vagina berlepotan sperma kental.
“Enak banget, Jess...” lenguhnya kala vaginanya diobok-obok Jessie untuk menguras sperma yang bercokol di dalam liang senggamanya. Jessie menampung ceceran spermaku di jarinya lalu menjilatinya.
“Sana, gih... main lagi sama yang lain...” kata Jessie mengingatkan Fantina kalau tantangan Dare yang kuberikan padanya belum selesai. Ditariknya tangan Fantina agar bangkit lalu di dorongnya agar bergerak menuju sofa yang diduduki April, A Fang dan Nining. Sembari berjalan, dirapikannya CD bikininya.
“Yuk?” katanya begitu sampai di depan April. Tangannya yang dikepal mengacung.
“Batu-Gunting-Kertas!” kata keduanya bersamaan.
Fantina Kertas vs. April Batu. 1-0.
“Batu-Gunting-Kertas!”
Fantina Kertas vs. April Kertas. 1-0.
“Batu-Gunting-Kertas!”
Fantina Batu vs. April Gunting. 2-0.
“Batu-Gunting-Kertas!”
Fantina Kertas vs. April Batu. 3-0. Hasil akhir: Fantina menang.
“Yuhuuu... Menang lagi...” serunya senang sekali. Ia kembali berlari berkeliling. Selebrasi pembobolan gawang lawan. Saat ia lewat di depan sofa-ku, ia melompat ke pangkuanku. “The winner have the fuck again!” katanya memposisikan tubuhnya agar tepat di pangkuanku.
“Eh... Apa-apaan sih... Kok ke aku terus, sih? Itu anuin si April aja...” protesku kembali.
“Diam-diam aja, Sat... Nikmati, OK?” katanya merogoh isi celana boxer-ku dan mengeluarkan batang penisku yang belum lemas betul. Mendapat sentuhan tangan Fantina, ia menggeliat bangun.
“Hmmm...” desahnya begitu batang penisku menelusup masuk kembali ke dalam liang vaginanya yang masih becek dan lengket dengan spermaku sebelumnya tanpa melepas CD bikininya, cukup diselipkan ke tepi. Hangat sekali.
Dikeluarkannya kedua payudara 36C miliknya dan disumpalkannya ke mulutku agar berhenti protes selagi ia memompakan badannya naik turun. Penisku terbenam sempurna di dalam kemaluannya. Enak sekali.
Aku heran... kenapa mereka semua membiarkan ini semua terjadi? Apa ada sesuatu yang mereka sepakati sebelumnya? Aku tidak bisa berpikir panjang karena sumpalan dada montok Fantina di mulutku dan kenikmatan luar biasa di selangkanganku. Kehangatan liang cinta Fantina bergerak ritmis mengurut batang penisku naik-turun. Suara kecipak becek kelamin kami seperti mengalahkan debur lemah ombak di pantai dan derak kayu yang terbakar di api unggun yang hangat.
“Aah... AAhh... AAAHH!” seru Fantina tak kuasa menahan lagi kala kubantu gerakan memompanya dengan kocokan cepat. Selangkanganku memompa cepat dan hasilnya Fantina mendapat orgasme kembali. Dirangkulnya leherku erat-erat. Nafas hangatnya menerpa tengkukku. Aku merasakan kedutan-kedutan di liang vaginanya; sisa orgasmenya. Deburan jantungnya yang bertalu-talu.
“Main lagi...” katanya lunglai tapi dipaksakannya menjejak pasir pantai dan berjalan sempoyongan kembali ke arah A Fang.
“A Fang... Main lagi?” tangannya mengacung ke depan mengajak main Batu-Gunting-Kertas lagi. A Fang meladeni.
“Batu-Gunting-Kertas!” seru keduanya.
Fantina Gunting vs. A Fang Gunting. 0-0.
“Batu-Gunting-Kertas!”
Fantina Kertas vs. A Fang Gunting. 0-1.
“Batu-Gunting-Kertas!”
Fantina Batu vs. A Fang Kertas. 0-2. Hasil akhir: A Fang menang.
“Yahh... Kalah...” sesal Fantina dan menendang pasir.
“Hei! Jangan bawa-bawa aku lagi!” cegahku sebelum mereka melibatkanku lagi.
“Ya... udah sana... Buat dirimu hamil sana...” kata A Fang tak tahan dengan kalimat vulgar nan nakal ini. Mereka seperti tak memperdulikan protesku.
“Wah! Asik... Bisa main sama Satria lagi, nih...” kata Fantina yang ternyata sudah baikan lagi dari lemas orgasmenya tadi. Ia merogoh kemaluannya sendiri dan menggosoknya dengan nakal selagi berjalan mengarah padaku.
“Ayo, Satria... Hamili aku...” gumamnya sambil menarik tanganku agar bangkit dari sofa tunggalku. Gantian ia yang duduk bersandar dalam lalu meloloskan CD bikininya yang entah sudah berapa kali buka-pakai malam ini; tidak lepas dari tubuhnya melainkan diikatnya di betis kanannya. Bra bikininya ditepikannya hingga kedua dadanya mengacung bebas ke arahku. Kakinya dibukanya lebar-lebar, siap menyambutku.
“Apa yang sudah kalian rencanakan? Apapun hasil Batu-Gunting-Kertas-nya selalu aku harus mengentotimu?” kataku tak paham permainan mereka. Padahal aku yang membuat tantangannya.
“Gak usah banyak cin-cong, Satria... Ayo sini...” tarik Fantina dengan cara mengaitku dengan kedua tumitnya dan aku tertarik ke arahnya. Dipelorotkannya celana boxer-ku dan melompatlah penisku yang sudah menegang kembali melihat bukaan lezat vagina Fantina yang menggairahkan.
“Aaahhhnn... Enak banget, Sat... Hamili aku, ya?” katanya begitu penisku meluncur masuk dengan lancar. Licin dari sisa spermaku sebelumnya.
Kuciumi mukanya dan dadanya kuremas-remas gemas selagi pantatku memompa maju-mundur teratur. Kaki Fantina dilingkarkannya di pinggangku seolah tak rela melepasku. Kami berciuman bibir cukup lama.
“Hamili aku, Sat... Semprot rahimku dengan spermamu...” dengusnya berkali-kali. Siap menjadi ibu dari anakku? Itu ide yang sangat gila. Aku bisa-bisa saja memberikannya spermaku sebanyak dan sesering yang ia mau tapi aku tidak bisa menjamin kalau ia bisa hamil dengan bibit dariku.
Benar saja, kuberikan keinginannya; yaitu limpahan sperma di dalam rahimnya. Lahar panas kentalku menyembur deras dan memenuhi rahimnya yang menampung untuk bertemu dengan sel telurnya.
Apakah ini masa subur ovulasi-nya?
“Oohh... ohh... hhh...” desahnya saat tiap semburan ejakulasiku, tubuhnya ikut bergetar. “Nikmat sekali, Satria...” katanya lagi tanpa mau melonggarkan betotan kakinya di pinggangku. Perutku masih menekan selangkangannya. Penisku berkedut-kedut karena liang senggama Fantina meremas-remasnya seolah menguras semua cairan tubuhku.
Aku menunduk dan mengecup bibirnya. Gerakan sederhana itu bisa melepas kakinya dari pinggangku. Aku terlepas dari cengkramannya.
Fantina menangkupkan telapak tangannya ke vaginanya seolah khawatir spermaku akan mengucur keluar. Ia bangkit dan berjalan susah payah ke arah A Fang. Perempuan bermata sipit itu terlihat sangat berbinar-binar seperti mendapat jackpot jutaan rupiah.
Kemudian kami semua disuguhi pemandangan yang aneh; mungkin untukku saja. A Fang duduk berjongkok bersandar pada bagian bawah sofa sementara Fantina mengangkat sebelah kakinya menjejak pada bahu A Fang. Telapak tangan yang menutupi vaginanya dibuka dan tak ayal lagi cairan kental yang terkumpul di dalam sana mengalir keluar. Tanpa ragu A Fang menampungnya di dalam mulutnya bak menantikan air hujan yang lama tak turun membasahi dahaga bumi yang kering. Lidahnya bermain-main dengan kentalnya cairan sperma itu lalu menelannya dengan ekspresi sangat puas.
Tak cukup begitu, ia menjilati vagina Fantina dengan rakus hingga benar-benar bersih. Disedotnya lubang senggama Fantina, lidahnya menyeruak masuk, tangan yang berlepotan juga dijilatinya hingga bersih. Erotis sekali.
“Main lagi...” kata Fantina di depan Nining. A Fang membersihkan pasir yang menempel di bahu kirinya; bekas dipijak Fantina tadi.
“Batu-Gunting-Kertas!” seru keduanya.
Fantina Kertas vs. Nining Gunting. 0-1.
“Batu-Gunting-Kertas!”
Fantina Kertas vs. Nining Batu. 1-1.
“Batu-Gunting-Kertas!”
Fantina Gunting vs. Nining Gunting. 1-1.
“Batu-Gunting-Kertas!”
Fantina Batu vs. Nining Kertas. 2-1. Hasil akhir: Nining menang.
“Aduh... Kalah lagi...” seru Fantina terdengar kecewa. Tunggu dulu! Ia terdengar kecewa tetapi aku tidak melihatnya jelas karena jarak dan gangguan sinar api unggun yang masih membumbung tinggi. Ini selalu terjadi. Pasti ada apa-apanya, nih.
“Sana puaskan dirimu sampek mluber...” kata Nining memberi perintah kemenangannya. Mereka tertawa-tawa geli mendengar kata-kata Nining barusan.
“Yippi...” girang Fantina lalu berlari kembali ke arahku. “Satria... Puaskan aku sampek luberrrr...” serunya riang sekali. Dadanya yang tak berbungkus mengayun-ayun liar karena larinya sangat kekanakan.
“Hup!” dan ia sudah melompat dan duduk di pangkuanku dengan kaki mengangkang. Bibir kemaluannya yang membuka menodai kain bahan celana boxer-ku dengan cairan yang masih membasahi vaginanya; campuran spermaku, ludah A Fang dan cairan pelumasnya sendiri.
Tanpa rasa berdosa, dirogohnya kembali penisku keluar dari persembunyiannya dan celakanya ia masih cukup tegang. Fantina hanya perlu sedikit merangsangnya hingga ereksi maksimal dan menjebloskannya kembali ke perangkap lubang mautnya.
“Aauhh... auuhhmm... oohhss...” desahnya saat menggoyang tubuhnya naik turun dalam posisi berjongkok. Penisku menghunjam dalam ke liang senggamanya. Pantat Fantina yang montok beradu dengan pangkal pahaku. Teplok-teplok-teplok begitu bunyinya.
“Satriaaa... Aaahh... Saaatt...” keluhnya tak jelas. Ia mendesah-desah menikmati seks ini sambil menatap langit. Seolah bersukur kalau ada yang menciptakan seks senikmat ini untuk bisa dinikmatinya.
“AAAHHhh!” serunya terkejat-kejat seperti ayan. Jarinya mencengkram kulit lenganku dengan kuat. Pangkal penisku dikatup erat otot vaginanya kala orgasmenya melanda. Fantina ambruk di samping leherku. Dadanya tergencet di bawah daguku.
Fantina melepaskan penisku yang masih mengacung tegang dari dalam liangnya dengan mudah. Tetapi sekujur batang kemaluanku lalu digesek-gesekkannya ke belahan vagina dan pantatnya–memberiku godaan lalu turun dari pangkuanku. Kecupan ringan mendarat di pipiku.
“Main lagi...” katanya di hadapan Aya.
“Batu-Gunting-Kertas!” seru keduanya.
Fantina Batu vs. Aya Kertas. 0-1.
“Batu-Gunting-Kertas!”
Fantina Gunting vs. Aya Batu. 0-2.
“Waduh kalah lagi... Kalah telak!” sungut Fantina tetap tidak terlihat ekspresinya. Aku tidak akan tahu kalau mereka main mata di sana atau tertawa tak bersuara sama sekali. Aku hanya bisa pasrah. Penisku yang masih tegang-pun tak kumasukkan ke dalam boxer. Kukocok perlahan agar tetap tegang. Masih ada rasa lengket dari cairan vagina Fantina yang tertinggal.
“Apa, ya?” kata Aya berpikir sejenak untuk perintah kemenangannya. “Senang-senang aja sama Satria aja, deh di sana...” katanya lanjut menunjuk padaku. Sudah kuprediksi. Ini memang permainan mereka. Permainan Batu-Gunting-Kertas-nya benar, tetapi apapun hasilnya Fantina tetap akan bercinta denganku. Entah kenapa hanya dia yang dapat keistimewaan ini?
“Asik-asik!” seru Fantina gembira tak berkurang. Ia segera menghampiriku dan demi melihat penisku masih mengacung tegang, ia jongkok dan menghadapi kemaluanku dengan wajahnya.
Tak lama penisku sudah jadi mainan mulut dan tangannya. Ia mencoba memasukkan penisku sedalam mungkin ke dalam mulutnya. Lidahnya dijulurkan keluar dan hasilnya kepala penisku mentok menyentuh tenggorokannya. Fantina terbatuk kecil saat penisku lepas dari mulutnya. Lalu ia mencoba menggesek penisku di bagian dalam pipinya dan terus menyedot. Rasanya cukup enak.
Puas begitu, Fantina berdiri membelakangiku. Kakinya rapat dan menurunkan badannya ke arah penisku yang masih mengacung berkilat-kilat oleh liurnya.
Saat kepala penisku membentur bagian bawah pantatnya, Fantina mengkoreksi posisinya dan berhasil menyelip di antara bibir vaginanya yang rapat.
“Mmmm...” desahnya merasakan gesekan maksimal karena jepitan vaginanya yang ditembus penisku yang cukup besar ini. Rasanya enak banget walaupun tidak masuk seluruhnya. Rasanya seperti memasuki vagina perawan yang peret banget. Fantina sampai harus berpegangan pada lututnya saat menurunkan badannya ke arahku. Naik lagi-turun lagi. Gesekannya luar biasa dahsyat. Mungkin bisa-bisa aku nembak lagi dengan teknik luar biasa ini.
“Oaahhh!” seru Fantina yang tak kuat lagi. Dilebarkannya kakinya hingga penisku masuk amblas dan ia duduk di pangkuanku. Tanganku menelusup ke bawah dan memegang kedua pantatnya yang sekal. Sedikit penyesuaian dan aku mulai memompa vagina Fantina lagi.
“Ahh... ahh... aahh!” jeritnya merintih-rintih keenakan saatku kukocok penisku dengan berbagai variasi kecepatan. Kakinya juga kadang kukatupkan rapat agar kami bisa merasakan sempitnya ruang gesek itu lagi.
“Satriaaa... Saattrriiaaaaa.... AAHhh! Ahh... aaahh...” jeritnya histeris. Tubuhnya berkelojotan di atas tubuhku. Penisku sampai lepas dari liang senggamanya yang sedang orgasme sangking liarnya.
Kuelus-elus kedua pangkal pahanya kala Fantina bernafas berat terputus-putus. Terasa sangat hangat.
“Enak banget, Satria...” hanya itu yang bisa dikatakannya dan mengecup pipiku lalu bangkit lagi. Ia menuju ke arah Silva sekarang. Silva sudah mengacungkan tangannya, siap bermain.
“Ayo main lagi!” begitu Fantina sampai di sana.
“Batu-Gunting-Kertas!” seru keduanya.
Fantina Kertas vs. Silva Kertas. 0-0.
“Batu-Gunting-Kertas!”
Fantina Batu vs. Silva Batu. 0-0.
“Batu-Gunting-Kertas!”
Fantina Batu vs. Silva Kertas. 0-1.
“Batu-Gunting-Kertas!”
Fantina Gunting vs. Silva Batu. 0-2. Hasil akhir: Silva menang.
“Waduh... Kalah empat kali berturut-turut, nih...” kata Fantina kesal kalah lagi. “Aku tambah bego, ya sekarang?” sungutnya tanpa terlihat wajah.
“Ayo menjerit-jerit sana lagi! Hibur kami dengan tayangan Live Action XXX yang seru!” kata Silva dengan perintah kemenangan yang harus dilaksanakan pihak yang kalah; Fantina.
“Baik... Satriaaaa! Ayo kita buat pilem bokep!” serunya berlari balik padaku. Aku sudah tidak mau ambil pusing lagi. Ini kemungkinan besar adalah bagian keuntungan Fantina karena membawa kami semua ke pulau miliknya. Pulau Airtas ini adalah kepunyaannya dan mereka setuju membiarkannya menikmati aku sendirian saja.
Fantina menarikku bangkit dari sofa tunggal dan berdiri di tengah formasi sofa dan api unggun. Celana boxer-ku yang hanya kuturunkan sedikit agar penisku bisa keluar dilepasnya semua. Fantina mulai bermain kembali dengan penisku yang menegang keras. Dijilat-dikulum-dikocok-digesek ke dadanya. Kantung pelirku sekarang menjadi sasaran. Dimasukkannya kedua bola pelirku ke dalam mulutnya lalu disentil dengan lidahnya selagi ia terus mengocok penisku. Enak sekali.
Kemudian ia menungging di hadapanku dan bertumpu pada lututnya, kakinya dibuka lebar hingga belahan pantatnya terbuka lebar. Aku bisa melihat jelas lubang vaginanya menganga di bawah anusnya yang mengatup rapat.
Paham dengan maunya, kujejali lubang menggoda itu dengan penisku yang berkilat-kilat oleh liur. Masuk dengan lancar tanpa hambatan. Fantina melolong merasakan liang cintanya penuh oleh benda tumpul kerasku.
Kurengkuh pinggangnya dan mulai kupompa saja agar semua ini cepat berakhir. Setidaknya ada dua pemain lagi yang tertinggal; Silvi dan Della. Tanganku menyusup ke depan dan mempermainkan klitorisnya yang keras membengkak.
Perutku dan pantatnya bertepuk-tepuk akibat genjotanku. Kuayun tubuhku berkat panjang penisku yang sepanjang 20 cm ini hingga jarak kocokanku sangat maksimal untuk dinikmati. Gesekannya cukup terasa saat kubuat Fantina lebih merapatkan kakinya. Klitoris dan pentilnya kini jadi mainanku. Ia semakin meringis-ringis keenakan.
“AAhh... Satria! Satriaaa!” jeritnya mengalungkan tangannya ke belakang leherku untuk pegangan karena tubuhnya kembali berkelojotan nikmat karena orgasme kembali. Kakinya sempoyongan; bergetar tak sanggup menahan beban tubuhnya. Kudekap tubuhnya agar tak ambruk ke pasir.
Kuseret tubuh lemasnya ke sofa dimana Aya, Silva dan Silvi duduk. Ia akan bermain lagi dengan Silvi. Mereka sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku tentang permainan ini. Aku yakin sekali kalau ada permainan. Aku kembali ke sofa tunggalku masih dengan penis mengacung.
“Wiuhh... Hot, gak?” tanyanya pada Silva yang duduk di sampingnya.
“Lumayan, deh...” kata Silva acuh gak acuh.
“Lanjut lagi!... Main, Silvi...” katanya bangkit dan berdiri di depan SIlvi yang sudah mengacungkan tangan tanda permainan bisa dimulai kapan saja.
“Batu-Gunting-Kertas!” seru keduanya.
Fantina Kertas vs. Silvi Batu. 1-0.
“Batu-Gunting-Kertas!”
Fantina Kertas vs. Silvi Gunting. 1-1.
“Batu-Gunting-Kertas!”
Fantina Kertas vs. Silvi Gunting. 1-2. Hasil akhir: Silvi menang.
“Waduh... Kalah lagi! Lima kali!” serunya kesal. Aku yakin sekali ini sandiwara mereka. Lihat saja sampai mana permainan sandiwara ini berlangsung. Ia berlagak menghentakkan kakinya ke pasir.
“Kah... kah... kah... Ayo main pilem lagi... Babak kedua...” kata Silvi menunjuk ke arahku sebagai perintah kemenangannya.
“Ayooo... Main pilem lagi...” katanya lalu pergi mendatangiku kembali yang duduk bersandar dengan batang kemaluanku yang mengacung tegang. Kukocok-kocok pelan agar ia bermain dengan penisku dahulu.
Benar saja, Fantina langsung mencaplok penisku dan menelannya dalam. Ludahnya dibalurkan merata lalu lidahnya menjilat-jilat batangku yang semakin basah. Dihisapnya penisku dengan seruputan kuat lalu diurut-urut sambil menyedot bagian kepala penisku saja.
“Uuuhh...” desahku keenakan mendapat servis di bagian sensitif ini. Fantina lalu menarik tanganku agar aku berdiri dan ia menggantikanku menungging di sofa tunggal itu. Pantatnya di angkat tinggi dan ia memeluk sandaran sofa empuk itu.
Dengan mudah kuarahkan kepala penisku yang sudah membiru ingin tenggelam lagi ke pasangannya; lubang menggoda di hadapanku. Masuk dengan nyaman dan nikmat sekali. Rasa hangatnya sangat nyaman. Kami berdua melenguh keenakan.
Kubenamkan sampai amblas semua batang penisku lalu kugoyang pelan dengan tarikan pendek hingga pintu rahim Fantina ditekan berulang-ulang. Aku memegangi pinggangnya dan perutku beradu dengan bokongnya sampai menimbulkan suara bertepuk.
“Oohh... Enak Satriaaa... Terruuusss... mmm... oohhss...” desahnya merasakan sodokan pendek-pendekku terus.
Aku ingin variasi baru sehingga kupindahkan peganganku dari pinggang ke lipatan lututnya. Kutarik tubuhnya hingga punggungnya menempel di dadaku lalu kugendong Fantina yang bertubuh aduhai ini tanpa melepaskan penisku yang masih menusuk masuk ke dalam vaginanya.
Ini seharusnya sebuah film, kan? Para penonton harus melihat semua adegannya. Dengan posisi ini mereka semua harusnya bisa melihat semuanya.
“Woow...” gumaman terdengar dari sekelilingku.
Fantina kugendong dengan kaki lebar mengangkang sementara kemaluannya masih dijejali penisku yang merangsek, menusuk dalam–keluar masuk tanpa ampun. Menggesek dinding liang kemaluannya dengan sempurna. Dan semua penonton bisa menyaksikannya dengan jelas.
Kubawa Fantina berjalan berkeliling dari tempatku menuju sofa April, A Fang dan Nining di sana sehingga aku melewati Della, Silvi, Silva dan Aya. Di hadapan sofa mereka, aku berhenti dan menggasak vagina Fantina tanpa ampun.
Fantina meraung-raung keenakan sehingga terasa cairan pelumasnya menetes ke pasir. Penisku menusuk dalam dan terus kupompa pendek-pendek menjaga agar tidak terlepas dari liang vagina Fantina.
Mata-mata mereka melotot melihat langsung bagaimana penisku keluar-masuk vagina Fantina tanpa perantara jarak lagi. Aku yakin kalau mereka sangat tergoda untuk menyentuh atau bahkan menjamahnya; menjamah pertemuan kedua kelamin ini.
Selesai berkeliling memamerkan Fantina ke semua teman-temannya, aku kembali ke sofa tunggalku. Kuturunkan tubuhnya kembali ke sofa dan ia menggeliat kelelahan karena sudah kugendong sedemikian rupa. Tubuhnya cukup berat juga kalau lama-lama dibawa begitu.
Tapi ini belum selesai karena ia berbaring bersandar di sofa dan membuka kakinya lebar-lebar di tepi. Meminta disetubuhi kembali.
Kujejalkan kembali penisku dan langsung kupompa dengan kecepatan sedang. Kuciumi bibir dan telinganya beserta lehernya. Ia mengerang-erang keenakan. Apalagi semua tubuhnya kuserang dengan tambahan remasan dan pilinan puting payudara.
Saat ia menjerit keenakan, tubuhnya mengejang; otot-otot tubuhnya mengeras dan jepitan liang vaginanya mencengkram batang penisku dengan kuat. Dipeluknya tubuhku erat-erat saat badai orgamse itu menyapu seluruh tubuhnya. Penisku berkedut-kedut sudah menandakan akan ejakulasi. Harus kutahan beberapa waktu lagi.
Kucabut penisku dari liang vaginanya yang memerah becek. Masih tegang dan keras sekali. Mengacung mengangguk-angguk saat kubergerak memberi jalan untuk Fantina ke permainan terakhir Batu-Gunting-Kertas-nya bersama Della.
“Batu-Gunting-Kertas!” seru keduanya.
Fantina Gunting vs. Della Batu. 0-1.
“Batu-Gunting-Kertas!”
Fantina Kertas vs. Della Batu. 1-1.
“Batu-Gunting-Kertas!”
Fantina Batu vs. Della Gunting. 2-1. Hasil akhir: Fantina menang.
“Akhirnya aku menang juga...” seru Fantina senang sekali. Ia mengangkat tangan dengan riang dan meloncat-loncat di tempat. Dadanya mengayun-ayun indah berikut pantat montoknya.
“Nge-fuck lagi...” katanya riang tak bosan-bosan.
“Wuih... Masih ngaceng!” serunya langsung berjongkok di depanku. Kembali dikenyotnya penisku, disedot dan dikulum dengan penuh gemas. Dihisap-hisapnya kuat hingga pipinya kempot.
Lalu ia memanjat naik hingga ke pangkuanku. Dibimbingnya penisku masuk ke dalam bukaan vaginanya yang merekah terbuka karena sudah delapan kali kugauli malam ini dan dua kali disemprot sperma.
Begitu masuk sempurna, otomatis pinggulku bergoyang naik turun. Pompaan pelan awalnya dan semakin cepat karena terpancing wajah seksi yang dibuat Fantina menikmati seks kami berdua. Ia meremas-remas dadanya sendiri sementara aku memegangi pinggulnya agar sodokan pompaanku tidak meleset.
“Aaaahhh... ahhhsss... Aaagghh...” jeritnya orgasme kembali tetapi aku tidak menghentikan pompaan penisku. Kuterus menggempur lubang vaginanya yang semakin panas oleh gesekan kelamin kami berdua. Fantina ambruk dan bernafas pendek-pendek di leherku saat aku terus menghajar kemaluannya.
Sudah terasa gelitik-gelitik geli di kepala penisku dan kocokanku semakin cepat. Buru-buru ingin merasakan kenikmatan itu juga.
Kuremas pinggul Fantina agar menekan kuat perutku saat kusemburkan spermaku ke dalam rahimnya.
“Aahh...” keluhku pendek saja. Beberapa kali semburan terasa keluar dari penisku dan memenuhi rahim Fantina. Itu juga memberikan efek padanya sehingga tubuhnya ikut menegang berkejat menerima semburan lahar panas kental itu.
Enak sekali...
Fantina melepaskan pertemuan kelamin kami dan ternyata delapan teman wanitanya sudah mengerubungi kami bak zombie haus daging segar. Vaginanya dikuak untuk menguras isi sperma yang telah mengisinya. Semuanya minta bagian ingin merasakan sperma yang baru saja keluar dari rahim. Entah kenapa mereka suka rasanya. Nining berhasil mendapat sisa spermaku yang tertinggal di penisku. Diurut-urutnya hingga keluar sedikit.
Bersih dan mereka kembali ke tempatnya tanpa perlu dikomando.
Aku sampai harus mengibas-kibaskan pasir yang menempel di celana boxer-ku dibuang Fantina sembarangan saja ke pasir pantai. Fantina memakai kembali CD bikininya yang diikatnya di betis kanannya.
“Ahh... Enak, ya kalau menang arisan... Aku bisa menikmati Satria sepuasnya...” ungkap puas Fantina seraya duduk lemas bersandar di sofa di samping Jessie.
“Arisan apa?” berangku karena merasa dimanfaatkan.
“Kami membentuk arisan... dan ini baru pembukaannya... Yang menang bulan pertama ini aku...” jelasnya tanpa berdosa selagi merapikan bra bikininya. “Liat aja seragam arisan kami ini... matching semua, kan? Bikini two pieces warna pelangi...” lanjutnya.
“Kenapa harus aku yang jadi hadiahnya?” sadarku terlambat.
“Awal idenya tidak begitu, Sat... Aslinya kami hanya arisan makan-makan aja... Yang menang arisan dapat duitnya... tapi harus menyediakan makanan untuk yang lain... Berhubung kita punya pulau ini dan Satria ikut... jadi deh... Satria yang jadi bonus...” jelas Nining dari tempatnya duduk.
“Bonus, ya?” pahamku.
“Bulan depan kalau mau ikut ya boleh aja... Kami welcome, kok... Siapa yang menang bulan depan?” tanya A Fang pada teman-temannya.
“Belum ada undiannya...” sahut Aya. “Gimana kalau kita cabut namanya?” usulnya kemudian.
“Setuju!” jawab semuanya.
Sebuah fish bowl (akuarium kecil berbentuk bulat) berisi kertas-kertas yang digulung bertuliskan nama-nama peserta arisan mereka dipegang Fantina.
“Supaya adil... Satria aja yang ambil nama pemenangnya, ya?” usul Fantina sebagai pemenang arisan bulan ini. Mereka semua setuju dan fish bowl itu diserahkan padaku. “Ambil satu, Satria...”
Kuaduk sebentar gulungan kertas kecil itu lalu kupilih satu, kubuka gulungannya dan terbaca satu nama; April.
“April...” sebutku cukup terdengar.
“Yuuhuuuu!” seru April melonjak gembira. Ia berlari ke depan sambil membawa botol bir miliknya, melonjak-lonjak kegirangan. Birnya yang tumpah tersiram ke api unggun hingga untuk beberapa saat apinya marak membesar lalu normal kembali.
Aku menunjukkan kertas itu ke Della dan Fantina yang duduk di kanan-kiriku sebagai saksi kalau memang nama April yang muncul keluar.
“Satria... Bulan depan ikut lagi, ya??!” desaknya memaksa. Ia mengguncang-guncang tanganku agar aku mau ikut arisan ini bulan depan. Sebenarnya cukup menyenangkan dikelilingi perempuan-perempuan yang sangat sayang padaku ini. Suasana pantai dan tubuh mulus sejauh mata memandang adalah pengalaman yang dianggap surga oleh lelaki lainnya. Dan hanya aku sendiri lelaki yang menikmatinya.
“Masih di pulau ini, kan?” pastiku.
“Ya... Arisan ini selalu di adakan di Airtas... Makanya kami mau ikut membantu membereskan pulau ini selama berminggu-minggu...” pasti April. “Mau, ya?”
“Iya, deh...” jawabku setengah terpaksa.
“Yeee...” serunya girang.
--------​
“Truth or Dare kita mulai lagi... Malam masih panjang... Urutannya kita balik... Jadi ada kesempatan membalas, OK?” seru Fantina sebagai yang pertama kali di putaran pertama mengajukan Truth or Dare ke Jessie dan terakhir mendapatkannya dariku.
“OOO-K!” jawab kami semua.
“Satria? Truth or Dare?” tanya Fantina padaku.
“Truth...” pilihanku tetap kejujuran.
“Yaahh... Satria gak asik... Pilih Truth mulu...” kesal Fantina.
“Masa elu mau di-fuck terus... Istirahat tau?” alasanku sambil mencibir.
“Ya, udah... Truth...” kata Fantina dan berhenti sebentar dan menenggak bir-nya. “... Pernahkan kamu nge-fuck bentuk manusia CORE istimewa yang kamu dapat?” tanya Fantina meminta kejujuranku.
“Wah... Pertanyaanmu agak aneh... Tapi pernah, kok... Aku punya dua CORE pribadi... Satu XOXAM dan kedua VOXA... Yang bernama XOXAM itu bentuknya CORE maskulin... sedang VOXA itu bentuknya feminin... Aku pernah diberitahu kalau aku ingin menyembuhkan diri akibat kelelahan bertarung aku bisa nge-fuck CORE-ku sendiri...” jelasku. Fantina mengangguk-angguk. Entah paham atau tidak karena matanya kuyu agak mabuk.
“Juga... dengan ZODIAC CORE CANCER milik A Fang... Aku tidak melakukan TRIGGENCE pada A Fang... Melainkan langsung pada CORE itu... Waktu itu aku mengikat dan menyiksa A Fang terlalu keras sampai dia pingsan... CANCER keluar sendiri... muncul di hadapanku untuk melindungi A Fang... Saat itulah aku nge-fuck dengan CANCER... Gak enak ngomongnya–ngefuck... ngeseks... dengan CANCER...” jelasku.
“Gak percaya... Kalau gak ada buktinya berarti Hoax (berita bohong)...” sergah Fantina nyolot banget.
“Kok? Harus ada bukti?” kagetku lumayan kesal. Ini anak lumayan ngeselin kalau mulai mabuk. Seenaknya saja.
“Ya... Harus ada buktinya... Buktiin!” seru yang lain silih berganti. Terpancing oleh temannya, semua minta bukti nyata.
“Aku harus ngeseks sama CORE itu?” tanyaku memastikan keinginan mereka semua.
“Ya... Buktikan!” kata Fantina yang merasa menang memaksakan keinginannya.
“OK-lah... Aku akan mengeluarkan bekas ZODIAC CORE milikmu, Fantina... SAGITTARIUS...” dan ZODIAC CORE bentuk SUB-HUMAN FORM SAGITTARIUS muncul di hadapan kami semua.
“Wahh...” kagum mereka semua pada bentuk ZODIAC CORE yang tinggi langsing berkulit gelap itu. Ia berdiri tegak di sana tanpa emosi apapun, memegang busur panahnya erat.
Karena mereka semua sudah mengkonsumsi minuman beralkohol, sedikit banyak nalar normal sudah berkurang. Mereka mengerubungi SAGITTARIUS. Tanpa sungkan mereka menjamah SAGITTARIUS. Rok pendeknya, tempat penyimpanan anak panahnya, kulit lengannya, rambut lurus hitam berkilaunya, perutnya yang rata dan lain-lain.
“Seperti cewek biasa aja, ya, Sat?” kata Nining yang memberanikan diri meremas payudara kanan SAGITTARIUS.
“Bedanya pada bagian mata... Sagittarius... buka topengmu!” perintahku padanya.
Dengan patuh, SUB-HUMAN FORM itu melepaskan topeng yang dikenakannya dan menunjukkan pada kami semua wajah aslinya tanpa penutup apapun.
“Wooww...” heran mereka bercampur kaget melihat bagian mata yang terlihat ganjil itu. Mata tanpa kornea.
“Ini ZODIAC CORE yang kau ambil dariku, Sat?” kagum Fantina melihat SUB-HUMAN FORM SAGITTARIUS ini. Ia meremas otot lengan kirinya yang kuat lalu meraba kulit pahanya sampai kain pembalut kaki mulai lutut itu.
“Ya... Darinya aku bisa menggunakan kemampuan menembakmu yang tidak pernah meleset itu dengan ACCURACY...” jelasku tentang kekuatan khusus SAGITTARIUS.
“Ngg... Ya udah... Fuck dia, deh... Kami pengen liat...” katanya tetap teguh pada pendirian kolektif mereka–ingin melihatku menggauli SUB-HUMAN FORM ZODIAC CORE ini.
“Aku gak yakin dengan staminaku saat ini... Seharusnya aku juga memakai kekuatanku juga, dong? Dia kan bukan perempuan biasa...” elakku. Sebenarnya enggan.
“Ya, udah... Pake kekuatanmu... Pokoknya fuck dia, Satria... Gak mau tau caranya...” desaknya egois. Aku hanya pernah menggauli satu ZODIAC CORE yaitu CANCER dengan berubah menjadi CHARM. Kalau aku menjadi CHARM di sini, saat ini juga, mereka semua akan ikut terpengaruh—birahi.
“Ayo, Satria... Mulai... Mulai-mulai-mulai!” desak mereka semua sekarang bahkan. Mereka memberiku semangat dengan berteriak-teriak seperti suporter lomba tarik tambang. “Huuh! Huuh! Huuh!” seru mereka menggebrak memukul udara.
“Ya sudah... Ya sudah... Tenang semua... Sagittarius... Ikuti saja permainanku, ya?” kataku padanya. SAGITTARIUS mengangguk menurut.
Aku langsung mendekat, merapat dan akhirnya mendekap pinggangnya. Bibirnya langsung kulumat. Untuk sesaat kurasakan tubuhnya menegang karena kaget. Tetapi selanjutnya ia sudah rileks dan ikut menurut saja apa yang kulakukan pada dirinya.
Bibirnya cukup lembut dan kenyal kala kuciumi. Begitu juga dadanya yang kugencet dengan dadaku. Tinggi tubuhnya yang setara denganku membuat kami bisa berpelukan dengan seimbang.
SAGITTARIUS meniruku yang mengusap-usap punggungnya yang halus. Ia juga melakukan hal yang sama padaku. Begitu juga saat lidahnya kupermainkan; kuhisap dan kubelit dengan lidahku. Dia belajar dengan cepat.
Kususupkan tanganku ke atas bukaan pakaian kemben-nya untuk menjamah payudara montoknya–pasti akan sangat menyenangkan. Hmm... Kenyal dan lembut. Ini pasti dari latihan kerasnya dalam memanah.
????​
Tapi kok tidak ada putingnya????
SAGITTARIUS menunduk ingin tahu apa yang aku lakukan pada payudaranya. Kedua buah dada itu kugenggam tanpa bisa menemukan puting susunya. Kemben itu sudah kusisihkan kebawah.
“Gak punya puting, Sagittarius?” tanyaku penasaran sekali. Apa gunanya meremas payudara tanpa memilin putingnya?
“Ada...” katanya bergantian melihat wajahku dan dadanya.
Myuu...​
Kedua puting yang hilang itu muncul mencuat berputar dari dalam massa gundukan lemak payudaranya. Warnanya pink pucat sehingga sangat kontras sekali dengan kulit gelapnya. Ukurannya sedang dan tidak menonjol–normal saja.
Dan kembali kedua puting itu berputar masuk kembali kedalam dadanya dan hilang. Meninggalkan dua buah gundukan besar payudara tak berputing.
“Kenapa kau masukkan lagi?” tanyaku mulai emosi. Lagi mulai konak begini—kena tanggung; kentang!
“Tidak ada hal yang mendesak untukku untuk menunjukkan semua bagian tubuhku... Kau juga tidak membutuhkannya...” kata SAGITTARIUS membingungkan.
“A-apa yang disini juga?” curigaku lalu berjongkok di hadapannya. Mereka semua masih menonton di belakangku kasak-kusuk tak mengerti apa yang terjadi karena SAGITTARIUS yang terbuka dadanya tanpa puting sudah sangat mirip dengan manequin butik yang telanjang dan bisa bergerak.
Kubuat ia memegangi tepi roknya dan diangkat kemudian aku segera berhadapan dengan selangkangannya yang masih ditutupi sebuah CD imut kecil berwarna putih, berenda dan tali tipis.
Kuloloskan CD itu sampai pertengahan pahanya dan kecurigaanku menjadi kenyataan...
SAGITTARIUS menyembunyikan vaginanya juga!
“Yang ini juga disembunyikan?” tanyaku mendongak kesal padanya. Ia masih memegangi tepi roknya dengan patuh.
“Ya... Kita tidak membutuhkannya...” jawabnya mengulang jawaban pertamanya tadi.
“Kalau kau kuperintahkan untuk mengeluarkannya... kau bisa, kan?” desakku.
“Kalau itu yang kau perintahkan... aku akan mengeluarkannya...” jawabnya. Matanya yang masih tanpa kornea itu menggangguku lagi. Aku tidak begitu paham ekspresi wajahnya dengan melihat matanya yang berbeda itu. Waktu aku mengambil CANCER dari Synvany dulu dengan berubah menjadi CHARM di hadapan ZODIAC CORE yang bermaksud melindungi tuan aslinya itu, puting susu dan vaginanya ada jelas begitu ia menelanjangi dirinya. Apakah itu pengaruh birahi yang disebabkan CHARM?
“Ya, sudah, Satria... Tidak usah memaksanya begitu... Sepertinya dia tidak berminat fuck denganmu... Cukup segitu aja, deh... Tidak usah dilanjutkan...” kata Fantina menghentikanku dengan menepuk bahuku pelan. Mungkin ia sudah tidak tertarik lagi dengan kemungkinan ganjil ini. Aku paham...
Permainan Truth or Dare ini dilanjutkan begitu kami semua duduk kembali ke posisi masing-masing. SAGITTARIUS juga sudah kusimpan kembali ke tempatnya.
“Truth or Dare?” tanyaku pada Della di sampingku yang sama-sama memakai sofa tunggal.
“Dare aja, deh... Nanti kamu tanya-tanya tentang calon suamiku lagi...” pilih Della setelah menenggak bir-nya.
“Hmm... Apa, ya?” malah aku yang bingung diberi kesempatan ini. Kalau diambil dari sisi bersenang-senang, aku bisa menyuruh apa saja yang kumau untuk dilakukan Della.
“Kalau gitu gini aja, deh... Kumpulkan semua bra bikini semua cewek di tempat ini bagaimanapun caranya... kecuali dengan kekerasan... Boleh minta... barter... memohon... apa saja... Kecuali itu... Kekerasan...” kataku mulai iseng.
“Trus... abis dikumpulin dikasih ke kamu?” tanya Della saat akan bergerak melakukan tantangannya.
“Ya... terserah kamu aja... Mau dibalikin boleh... Mau dikasih ke aku juga boleh...” kataku tak perduli dengan hasilnya. Aku lebih tertarik dengan proses meminta benda tersebut.
“Terserah aku kalau gitu, ya...” kata Della bangkit dari duduknya di sofa tunggal itu. Ia mengarah ke Fantina di samping kiriku.
“Fan... Buka bra-mu...” mintanya langsung tanpa tedeng aling-aling. Dengan kode tangan seperti preman yang minta uang parkir pada pengendara motor.
“Enak aja, lu nyuruh buka...” jawab Fantina sengit. Ia mendekapkan tangannya melindungi bra yang menutup dadanya.
“Buruan!” paksa Della memelototkan matanya yang belo.
“Gak mau!” Fantina bersikeras tak mau menurut.
“OK... Tanpa kekerasan... Apa yang kau mau agar kau mau menyerahkan bra-mu?” sadar Della akan instruksi tantanganku.
“Nah... Begitu, dong... Aku mau kau yang terlebih dahulu membuka bra-mu... Trus lempar ke api unggun...” pinta Fantina mengejutkan.
“Dibuang ke api?” pasti Della mungkin ia salah dengar.
“He-em... Benar... Buang ke api... Kenapa? Keberatan?” kata Fantina mengejek.
“OK, deh...” kata Della setuju dan ia langsung melepas kait bra bikini miliknya yang ada di punggungnya. Pakaian dalam penutup bermotif pelangi yang jadi seragam arisan mereka kali ini sudah lepas dari tubuhnya. Segera dilemparkannya benda itu ke dalam api yang menyala-nyala.
Tanpa ampun pakaian dalam itu segera habis terbakar bersama bara-bara api yang gemeretak terbakar. Serpihannya membumbung tinggi bersama butiran api seumpama kunang-kunang lalu hilang menjadi debu.
Della kini berdiri di depan Fantina bertelanjang dada dan ia menagih bra bikini miliknya. “Sudah... Sudah kulempar ke api... Serahkan bra-mu...”
“Nah begitu, dong... Nih...” kata Fantina melepas bra bikini miliknya dan menyerahkannya pada Della. “Jangan dibuang ke api juga...” kata Fantina.
Della diam saja dan beralih pada Jessie yang semakin gontai karena mabuk.
“Jess... Bra-mu...” pinta Della.
“Bakar dulu CD-mu baru ku-kasih... Kah... kahh... kah...” katanya menggelak tertawa setelah sebelumnya menenggak bir itu lagi.
“Yah... Aku jadi bugil dong...” kata Della kesal.
“Gak mau tau... Mau tidak?” kata Jessie bersandar di sofa dengan tangan terbuka dan kaki mengangkang lebar. Yang lainnya pada tertawa cekikikan melihat tingkahnya.
“Hu-uh...” dengan terpaksa Della meloloskan CD bikininya lalu melemparkannya ke api. Bahan kain itu kembali terbakar habis dengan mudah. Della kini telanjang bulat di tengah-tengah kami.
“Bagus... Permainan makin seru sekarang...” kata Jessie saat melepas bra miliknya dan melemparkannya ke arah Della. Kini Della sudah punya 2 bra bikini yang berhasil didapatkannya.
Della berjalan dalam kondisi bugilnya ke arah sofa di seberang sana dan berhenti di depan April.
“Mau minta bra gue? Tidak semudah itu... Ada syaratnya...” kata April sebelum Della bahkan mulai bicara.
“Jangan yang susah-susah, dong?” kata Della. Ini sudah jadi trend kalau syarat akan semakin dipersulit tiap permainannya.
“Nggak... Gampang aja, kok... Isepin nenen satu orang aja di antara kita sampai puas... Sampai puas, loh...” kata April memberi instruksinya.
“Masa itu lagi, sih?” enggan Della mendengar syarat April mau menyerahkan bra bikininya. “Yang lain napa?”
“Kalau gak mau ya... gak pa-pa...” April tetap bersikeras. Disini kemampuan negosiasi dan tawar-menawar sangat diperlukan. Sepertinya Della sedang enggan berimprovisasi.
“Ya... OK, deh... Si Jessie aja, ya?” kata Della akhirnya luluh juga dan menyanggupi syarat barusan. Daripada ia harus lari keliling pulau ini sebagai hukuman tidak bisa melakukan tantangan.
 
“Terserah...” kata April dan tertawa cekikan bersama A Fang dan Nining di sana. Della kembali ke Jessie yang duduk bersama Fantina dengan bertelanjang dada. Keduanya sesekali menenggak bir itu.
“Ada apa?” kaget Jessie yang rupanya tidak memperhatikan situasi dan ditindih oleh tubuh montok Della yang lebih besar dan berat dari dirinya sendiri. Fantina-pun sampai harus beringsut bergeser memberi ruang lebih luas bagi mereka.
“Jess... Si Della mau mainin nenen-mu... Nikmati aja!” seru April dari sana.
Sebelah tangan Della memegangi kedua pergelangan tangan Jessie di atas kepalanya dan ia mulai menciumi payudara Jessie yang memerah hangat karena mabuk.
“Hmm... mm... Enak, Dell... Jilatin putingnya...” kata Jessie tak malu-malu lagi. Kalau tidak mabuk aku jamin ia tidak akan mengatakan hal seperti itu pada perempuan. Padaku lain cerita.
Jessie menggelinjang-gelinjang keenakan karena Della mempermainkan kedua dadanya. Dari posisiku duduk, aku bisa melihat dengan jelas punggung dan pantat Della yang telanjang yang bergerak kesana-kemari menikmati payudara Jessie. Fantina duduk di pegangan sofa, menonton juga seperti juga yang lain.
“Uuuahh...” desah Jessie saat Della menyatukan kedua bongkah payudaranya dan menghisap sekaligus kedua putingnya karena gemas. Kenikmatannya pastinya sangat luar biasa. Dada Della juga ditekannya juga ke perut rata Jessie. Ini adegan lesbian yang sangat hot walaupun keduanya bukan lesbi.
Della menyeka mulutnya pertanda kalau syarat yang diajukan April sudah berhasil ia selesaikan. Tubuhnya berpeluh sisa pergumulannya barusan dengan Jessie.
“Hah? Ada apa? Apa yang terjadi?” sadar Jessie dengan wajah dan dada merah. Ia bangkit dan menutupi dadanya yang terbuka bebas. Kedua puting susunya masih menegang keras. Sepertinya mabuknya mendadak lenyap. Tapi karena Fantina yang duduk di sampingnya dan Della di tengah juga dalam keadaan yang sama, ia menutup mulutnya rapat-rapat.
“Bagus... Nih janjiku...” kata April mengangsurkan bra bikini miliknya yang sudah ditanggalkannya. Della menyambutnya dan kini ia sudah mengumpulkan tiga pasang bra bikini. Sekarang giliran A Fang.
“A Faaang... Bagi bra-mu, dooong?” kata Della sedikit mengganti taktiknya. Ia berlagak imut di depan A Fang. Entah ia takut mendapat syarat lainnya dari jagonya fantasi BDSM ini. Entah apa yang akan terjadi berikutnya?
“Boleh... Tapi ini...” jawabnya membolehkan tetapi menyerahkan sebuah pinset kecil terlebih dahulu. “Ambil dulu...”
“Untuk apa ini, Fang?” herannya tak mengerti. Minta bra tetapi kenapa malah diberi pinset?
“Cabuti semua jembutmu dengan pinset itu... Kumpulkan di telapak tangan lalu buang ke api...” jelas A Fang tentang maunya.
“Yaaa... Kan sakit, Fang...” kaget Della mendengar penjelasan kegunaan pinset itu di syarat A Fang. Mendengar itu, semua teman-temannya tertawa geli sampai terbahak-bahak.
“Aku tidak mau tau... Take it or leave it...” kata A Fang malah bangkit dan melakukan sesuatu di belakang sofanya. Saat kembali ia membawa sebuah meja kayu kecil tadi dan meletakkannya menghadap api unggun. “Duduk di sini dan cabuti jembutmu...” perintahnya tegas.
“Hei! Itu-kan hampir mirip dengan tantangan Dare-ku untuk April tadi...” cetus Jessie angkat bicara tentang syarat A Fang untuk Della ini.
“Tapi syaratku ini tidak pake krim-krim-an segala... Murni cabut-but-but-but...” kata A Fang yang bersama yang lainnya mengawal Della yang memposisikan dirinya duduk di atas meja kayu kecil ini.
“Benaran gak pake krim, Fang?” melas Della mendengarnya.
“Ya... Gak pake krim apapun... Cukup cabut sampai gundul... Sehelaipun tidak boleh tersisa... Aku akan periksa...” katanya tegas dengan keputusan bulatnya.
“Yah... Dasar masokis, lo pada...” sungut Della terpaksa. Dilebarkannya kakinya di atas meja menghadap api unggun sebagai penerang dan mulai mencabut rambut-rambut pubik-nya.
Rambut jembut pertama yang dicabut, Della meringis perih terlihat dari mimik mukanya. Tapi hal semacam ini belum sebanding dengan rasa sakit yang sudah pernah ia alami di kehidupan sebelumnya sebagai Angel dulu. Tidak ada apa-apanya. Itu makanya Fantina cuma senyum-senyum kecil melihat ini semua. Cuma hiburan bagi teman-teman mereka.
Walau begitu, tak ayal lagi kulit vagina Dellayani yang lembut lagi tebal itu menjadi merah akibat pencabutan rambut pubik-nya yang tidak begitu lebat tetapi cukup panjang pada bagian atas mirip kumis Hitler; dengan pinset tanpa lotion apapun. Klitorisnya bahkan sedikit mencuat, mengintip lucu dari belahan vaginanya. Mereka mengolok-olok hal tersebut. Silva bahkan sampai menjawilnya dengan iseng.
“Dah... Udah bersih semua, kan?” kata Della pada A Fang yang memeriksa secara dekat bahkan sampai menjamah–meraba-raba vaginanya.
“OK... Bersih... Sana! Bakar sana!” tunjuk A Fang pada api unggun di belakangnya. Sisa rambut jembut yang dikumpulkan Della harus dibakar di api unggun. Untuk beberapa detik tercium aroma rambut atau kulit terbakar yang khas–lalu hilang dibawa angin.
Selesai membakar sisa rambut jembut itu, A Fang menyerahkan bra bikini miliknya pada Della. Total 4 bra yang sudah berhasil dikumpulkannya. Tersisa 4 lagi.
“Ning... Tolong, ya... jangan yang aneh-aneh syaratnya?” melas Della sudah pasrah dengan konsekuensi permainan ini. Sekarang giliran NIning yang harus didapatkan bra bikininya.
“Gaaak... Gak aneh, kok, Dell... Cuma... Aku cuma minta kau untuk... dioles-in ini di dadamu...” kata Nining tak mau kalah syaratnya dari yang lain. Ia memegang sebuah botol plastik berisi susu coklat kental manis. “Trus... Jilatin sendiri sampe habis... Dah! Gitu aja...”
“Huuu... Itu, sih kurang seru, Ning!” sergah A Fang yang merasa kurang puas dengan syarat milik NIning yang terasa tanggung.
“Teteknya, kan gede... Pasti seru kalau Della disuruh ngejilatin teteknya sendiri... Basah-basah, deh...” bela Nining pada syaratnya.
“Yang seru itu kalau kita semua yang ngejilatin...” bantah A A Fang.
“Hush! Berisik... Ingat waktu... Kalau si Della pakai keliling lagi... banyak makan waktu... Ini dia ngumpulin bra, kan udah pakai keliling juga...” kata Fantina membela Nining.
“Ya, udah, deh...” kata A Fang sadar. Terlalu banyak keliling memang banyak makan waktu juga.
“Jadi gimana? Aku sendiri yang ngejilatin, kan?” tanya Della memastikan tata cara syarat Nining.
“Ya... Della sendiri yang jilat... aku yang nuang coklatnya... Nih...” kata NIning membalik botol itu dan menekannya. Croooott... Sejumlah besar susu coklat kental manis menyemprot dari bukaan botol itu dan mendarat di bagian atas payudara Della yang lumayan besar itu.
Della menadah lelehan susu coklat itu menggunakan dadanya dan mulai menjilati cairan kental itu dengan sedikit menunduk. Dada berukuran 36C itu bergantian dijilatinya lelehan susu coklat jangan sampai jatuh melewati tepian payudaranya. Sejumlah besar cairan kental itu menggenang pada bagian tengah jepitan dadanya. Mereka semua tertawa-tawa geli melihat aksi terus-menerus dari Della ini. Tapi bagiku, ini sangat erotis. Melihat seorang perempuan seksi menjilati sendiri dadanya yang besar.
Nining terus menuang susu coklat itu sampai habis. Memang banyak yang jatuh terbuang dari payudara Della tetapi lumayan banyak juga yang berhasil dijilatnya.
“Bagoooss... Bagooosss!” seru Nining senang sekali syaratnya berhasil dijalankan dengan baik oleh Della. Ia mengacungkan dua jempol tangannya. Bahkan jempol kakinya juga. Kami semua tertawa melihat tingkahnya.
“Awas dirubungi semut, ya?” kata Nining begitu ia menyerahkan bra bikininya pada Della yang mengusap–membersihkan dadanya dari sisa susu coklat dengan tissue setelah diguyur sedikit air mineral. 5 pasang bra bikini terkumpul. Sisa 3.
“Aya yang manis... Yang cantik... Yang baik hati... Minta dong, bra-nya... Tapi syaratnya jangan yang aneh-aneh, ya?” rayu Della pada Aya. Pemilik bra bikini berikutnya.
“Boleh minta bra-ku ini... Tapi kak Della harus ambil sendiri... Buka sendiri... hanya dengan gigi... No hands!” tandas Aya tentang syaratnya. Sepertinya ia sudah memikirkannya matang-matang. Terdengar riuh tawa mereka lagi di pantai di teluk berombak kecil ini.
“Mm... Ini masih mendingan dari pada syarat mereka tadi, Ya... Kita mulai...” kata Della lega karena kali ini syarat Aya relatif lebih mudah. Aya sudah memiringkan badannya duduk di sofa agar Della bisa melepaskan kait bra yang ada pada bagian punggung. Ada 3 buah kait kecil yang menyatukan dua sisi bra ini. Dengan ahli Della bisa melepas kait itu dengan gigi depannya lalu tali yang melintang dari bagian depan dada ke belakang itu ditariknya juga ke samping hingga terkulai di samping lengan Aya. Begitu juga tali yang satunya. Della lalu berpindah ke bagian depan tubuh Aya dan ia langsung menggigit tepian mangkuk bra sebelah kiri lalu menariknya hingga semua bra bikini itu terlepas sama sekali dari tubuh remaja Aya.
“Yee... Berhasil!” seru Della sukses mendapatkan bra bikini ke-6-nya. Semua bra bikini yang berhasil dikumpulkannya ditumpuk menjadi satu di atas meja kecil dimana ia pernah mencabut rambut pubiknya.
“Silva... Bagi, dong bra-mu... Please?...” kata Della di depan Silva yang duduk di samping kembarannya; Silvi. Mereka berdua berbisik-bisik merencanakan sesuatu.
“Kami akan memberikan bra kami sekaligus... Tapi... Ada tapi-nya... Kamu harus dimasuki dua buah dildo vibrator sekaligus selama 5 menit!” ujar Silva mewakili keduanya. Mereka berdua sudah memegang masing-masing sebuah dildo karet yang ujungnya bergerak-gerak ritmis.
“Ihh! Kalian sukanya main itu terus...” kata Della bergidik jengah melihat dua buah dildo bervibrator itu harus memasukinya.
“Kalau tidak mau ya sudah... Lari keliling pulau sana...” kata Silva tak perduli.
“Elu juga suka, kan? Jangan sok gengsi-an, lah...” kata Silvi menimpali.
“Ya, udah... Dimana?” kata Della pasrah akhirnya. Mungkin ia pikir sekali jalan langsung mendapat dua hasil. Hemat waktu.
“Gitu, dong... Nungging di sini... Geser sana, Ya?” tunjuk Silva di sofa yang diduduki mereka bertiga. Aya bergeser dan duduk di pegangan sofa. Kedua gadis kembar itu juga bergeser memberi tempat.
Dellayani dengan terpaksa menungging di atas sofa itu dengan pantatnya diangkat tinggi karena akan dijejali dua buah dildo sekaligus.
“Apa sekaligus dimasukin ke memek-nya, Va?” tanya Aya kurang paham cara kerja kedua kembar identik itu walau sudah sekian lama mereka bergaul. Della sudah bersiap-siap dan mata terpejam.
“Liat aja sendiri...” kata Silva yang menuangkan cairan baby oil ke anus Della yang sedikit mengembang terbuka karena posisi menunggingnya. Luber sampai mengalir ke vaginanya. Silva meratakan baby oil itu dengan ujung dildo yang bergerak-gerak sambil sedikit ditekan-tekan masuk ke anusnya. Silva juga melakukan hal yang sama, hanya saja pada bagiannya mengarah ke vagina.
Dengan gerakan seumpama bor yang bergerak perlahan, dildo milik Silvi masuk relatif mudah ke dalam vagina Della dan tak lama sudah mentok meninggalkan pegangannya saja di luar permukaan vagina Della yang tak lagi berambut.
Della menahan nafasnya dengan memejamkan matanya erat-erat merasakan rasa nikmat vaginanya dijejali sebuah dildo yang bergerak dan bergetar. Apalagi sebuah dildo lainnya yang sedang berusaha memasuki anusnya dengan gerakan serupa. Ujung kepala dildo berputar milik Silva sudah berhasil masuk dan ia membantu menekannya masuk.
“AAAAHHHHH!” jerit Della tak tahan lagi. Tubuhnya berkelojotan mendapat serbuan orgasme dari serangan dua buah dildo di dalam dua liangnya.
Dua dildo itu menekan dua salurannya dan menggesek maksimal. Saluran senggama dan rektumnya bergesekan karena ukuran dildo yang dimasukkan bersamaan. Ini pastinya idenya mereka dapat dariku. Aku hanya pernah memakai cincin AZAZEL itu kepada mereka berdua. Mereka pernah coba-coba minta kedua penisku, yang menjadi dua karena memakai cincin itu, digunakan hanya pada salah satu mereka saja. Yang artinya satu ke vagina dan satunya ke anus. Hanya sekali saja mereka pernah mencobanya dan kapok. Karena katanya mereka tidak suka disodomi.
Della ambruk dengan pantat menungging. Lemas walaupun dua buah dildo itu masih bercokol masuk di dalam vagina dan anusnya. Berdengung karena motor kecilnya masih terus bekerja. Vaginanya meleleh oleh cairan orgasmenya dan sisa baby oil.
“Eh... Udah 5 menit, tuh...” kata Fantina mengingatkan. Mungkin sudah lebih dari itu.
“Udah, ya?” kata Silva yang masih menikmati permainannya bersama kembarannya. Walaupun tidak ada yang membawa jam atau penunjuk waktu apapun, mereka terpaksa setuju kalau permainan ini sudah berlangsung 5 menit seperti yang mereka syaratkan. Dildo yang di dalam vagina ditarik Silvi dan yang di anus ditarik Silva. Kedua benda itu dibersihkan dan disimpan.
Agak lama kemudian Della baru bisa bangkit dari kenikmatan terpaksa yang disebabkan dua buah dildo itu. Itupun masih kesakitan dan memegangi pantatnya yang agak perih bekas dijejali dildo.
Sesuai janji Silva, mereka melepaskan bra bikini keduanya dan diserahkan pada Della. Delapan buah bra bikini lengkap diperolehnya sesuai tantangan Dare dariku.
Berjalan mengangkang karena perih di selangkangannya, Della mengulurkan semua bra bikini yang sudah berhasil ia dapatkan dari Fantina, Jessie, April, A Fang, Nining, Aya, Silva dan Silvi; semua perempuan. Hasilnya semua perempuan yang ada di pantai malam ini telanjang dada.
“Nih... Sat... Sudah beres...” katanya masih meringis.
“Bagus... Sebentar...” kataku lalu kulepas kaos yang kupakai dan kutambahkan pada tumpukan bra bikini di tangannya. “Lengkap! Berarti semua orang kompak telanjang dada di pantai Airtas...” tuntasku.
“Oh... Begitu rupanya...” paham Della dengan tujuanku pada Dare kali ini. Supaya semua orang setara di tempat ini sekarang. Satu telanjang dada, semua telanjang dada. “Kalau begitu... ini semua harus berakhir begini...”
Della lalu melemparkan semua penutup dada itu ke dalam api unggun. Ikut hangus terbakar bersama bra dan CD bikini miliknya. Mereka semua bertepuk tangan melihat penutup dada milik mereka habis dilalap api. Tak perlu waktu lama sampai hilang tak berbekas.
Della menghenyakkan pantatnya hati-hati beristirahat sebentar di sofa tunggalnya sebelum gilirannya memberi Truth or Dare pada Silvi. Ia sudah mengancam akan membalas...
Dengan begini, aku bisa menikmati pemandangan indah kemanapun mata memandang. Ada sembilan pasang dada montok lagi menantang milik sembilan perempuan yang terlihat jelas semuanya. Daging montok berlemak lengkap dengan sepasang puting di puncaknya. Ada berbagai ukuran, kekenyalan, warna, bentuk puting serta aerolanya, posisi atau letaknya di dada. Pokoknya impian tiap pria, deh! Aku menyamarkannya dengan menyerahkan kaos oblong milikku pada Della hingga semua setara di sini.
“Silvi... Truth or Dare?” tanya Della bersemangat untuk membalas perlakuan mereka pada kemaluan serta pantatnya barusan.
“Dare... Aku gak takut...” jawab Silvi penuh percaya diri pada kemungkinan pembalasan Della atas syarat Dare miliknya sebelumnya.
“Oo... Berani, ya... Liat aja ini... Taaaa-raaa!” serunya sambil memegang dua buah lilin putih yang biasa dipakai kalau terjadi pemadaman listrik sebagai penerangan.
Glek! Tiba-tiba wajah Silvi menjadi pucat membayangkan apa yang akan dilakukan Della dengan kedua lilin itu.
Mereka semua tertawa terbahak-bahak. Terutama A Fang. Dulu aku pernah menyiksanya dengan menggunakan lilin juga. Tapi coba kita dengarkan apa yang Della mau dengan dua lilin tersebut?
Della yang kini telanjang bulat mendekat pada mangsanya yang ciut ketakutan. Silva membesarkan hati kembarannya dengan mengelus-elus lengannya.
“Buka CD-lo... Balik badan dan taruh kaki-lo di atas sandaran sofa... Cepat!” garang Della yang benar-benar balas dendam benaran.
“Trus-trus... apa?” gugup Silvi.
“Kita liat apa yang terjadi kalau dua lilin ini menyala setelah disumpalkan di meqi sama pantatmu selama 5 menit?... He... he... he...” seringai licik Della lebar. Ia sudah mirip iblis bertanduk dengan pencahayaan api unggun yang berkobar-kobar.
Meledak lagi seru tertawa terpingkal-pingkal mereka semua. Terutama A Fang. Aku bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Lelehan lilin yang menjamah kulit vagina atau bokong akan sangat spektakuler hasilnya. Panas, men!
“Ayo, cepat!” desak Della karena melihat Silvi tak kunjung mulai melakukan apa yang ditantangkannya. “Atau kau lebih milih lari bugil keliling pulau?”
“Ayo, Silviii! Kamu bisaaa!” teriak A Fang memberi semangat. Disusul dengan teriakan penambah semangat dari lainnya. Mungkin juga mereka ingin melihat apa yang akan terjadi kalau Silvi sampai berani melaksanakan tantangan ini. Apakah berani sesuai sesumbarnya?
Ragu-ragu Silvi meloloskan CD bikini motif pelangi miliknya. Disisihkannya ke samping dan ia memutar badannya lalu mengangkat kakinya. Kakinya kini berada di sandaran sofa.
Tanpa ragu Della merapatkan tubuhnya pada Silvi dan menarik kakinya hingga tubuh gadis remaja sebayaku itu melengkung. Ia berusaha berontak tapi kalah tenaga dari Della. “Hush! Diam! Jangan bergerak!” sergah Della.
“Aw!” jerit kecil Silvi kala lilin pertama dipaksakan masuk ke anusnya tanpa baby oil. Tidak terlalu dalam tetapi saat dilepas, lilin itu terjepit dengan erat. Lilin kedua menyusul dan bercokol lebih mudah di dalam liang vaginanya. Vaginanya yang gundul tak berambut terlihat menggembung.
Posisi ini sangat ganjil. Tubuh yang ditekuk menghadap atas ditancapi dua buah lilin putih. Menyembul secara tidak wajar dari tubuh seorang gadis dari kemaluan dan anusnya.
Dengan cepat Della menyalakan kedua lilin itu dengan pemantik api dan sumbunya mulai terbakar. Perlu beberapa saat sampai lelehan lilin yang lumer menetes menjalari batang lilin.
Karena keadaan ini, Silvi tentu saja tidak bisa mematung diam saja. Ia terkadang bergoyang-goyang. Lilin tidak dalam posisi tegak lurus di vagina dan anusnya sehingga lebih mempercepat proses pembentukan lilin cair.
“AAHH!” jeritnya kaget kala setetes lilin panas jatuh di kulit perutnya. Ia menggeliat panik tetapi tetap dipegang erat Della agar tidak bergerak kabur.
“AAAHHH!” jeritnya lagi kala tetesan berikutnya mengalir deras dari jalur tetesan pertama dan mendarat di gundukan kemaluannya. Disusul tetesan dari lilin yang ada di anusnya. Ia menjerit-jerit sepanjang 5 menit itu.
“Sudah 5 menit!” seru Fantina menghentikan ‘siksaan’ itu. Mendengar itu, Della meniup kedua lilin dan mencabutnya dengan cepat dari tubuh Silvi. Kakinya yang ditahan dilepas dan balik membanting ke sandaran sofa.
Silvi bernafas tersengal-sengal memegangi kepalanya. Ada ceceran cairan putih mengeras di sekujur tubuhnya; vagina, perut dan dadanya. Pasti di pantat dan punggungnya juga ada.
“Aahh!... ahh!... aahh!” tiba-tiba tubuhnya mengejan kaku beberapa kali dan terlihat semburan kecil ke udara dari kemaluannya mirip urin.
“Eh... Dia sampe squirt...” keget Della yang menjadi saksi mata langsung kejadian itu. Orgasme yang luar biasa dahsyat sampai menyemburkan squirting. (Cairan serupa urin yang keluar dari saluran kencing perempuan saat orgasme. Aromanya tawar)
Silvi masih menelentang lemas karena orgasme yang tak disangka-sangka itu yang disebabkan oleh stimulasi luar biasa pada tubuh dan kemaluannya.
“Fiuh... Enak banget...” keluh Silvi saat ia berbalik badan dan kembali duduk normal di sofa. Beberapa lelehan keras lilin itu lepas sendiri dari tubuhnya. Ada lingkaran-lingkaran merah bekas lilin panas yang berbekas di kulit tubuhnya yang putih. Tapi ia tak perduli. Ia lebih menikmati rasa enak orgasmenya.
“Vi... Aku mau juga, dong?” kata Silva yang penasaran ingin merasakan orgasme sampai squirt seperti yang dinikmati kembarannya itu.
“Sip... Beres, sis...” kata Silvi menyanggupi.
“Elo berdua bisa-bisa ikut masokis kaya A Fang, tau rasa kalian...” kata Della yang balas dendamnya tak sesuai dengan rencana. Malahan Silva ingin perlakuan sama seperti Silvi, dengan fasilitas Dare tentunya.
Benar saja Silva juga melakukan hal yang persis sama dengan Silvi barusan; vagina dan anus dijejali lilin yang menyala. Tetap menjerit-jerit kesakitan karena panas kala lelehan lilin menjamah kulit putih blasteran-nya sampai memerah. Dan diakhiri dengan semburan squirt orgasme juga.
“Aya? Lo pilih Dare juga, ya? Cobain, deh? Enak loh...” tawarnya pada Aya yang sepertinya mengkerut takut.
“Gak... Gak... Gua pilih Truth aja, deh... Gak berani...” tolaknya tegas dengan menutup kuping takut membayangkan tubuhnya dilelehi lilin panas.
“Yah... Lu gak asik, ah!” kata Silva mengguncang-guncang bahu Aya, memaksanya agar ikut merasakan sensasi lilin terbakar itu.
“Tawarin sama A Fang aja... Kayaknya dia minat, nih...” kata Nining menunjuk-nunjuk pada teman yang duduk di samping kanannya yang masih tertawa terpingkal-pingkal mengingat aktifitas dulunya. Keduanya lalu bergelut saling mencekik—bercanda.
“Truth... Apa, ya?” bingung Silva akan apa yang harus ditanyakan dan harus dijawab jujur oleh Aya. Pertanyaan yang kira-kira akan heboh...
“Apa yang akan kau lakukan di masa depan? Ya... Ini sepertinya sangat penting... Apa rencanamu di masa depan?” tanya Silva mendapatkan pertanyaan Truth yang menurutnya cukup menarik untuk ditanyakan.
“Mm... Kalau rencana jangka pendek... Tamat sekolah-kuliah... Kuliah di Teknik Informatika... Kerja...” bebernya mungkin jujur. Aku sudah pernah mendengar rencananya ini. Rencana yang cukup solid dan sederhana tetapi apa adanya.
“Sedangkan rencana jangka panjangnya... hidup bahagia bersama Satria... Banyak anak... Lima atau enam... Tetap bersama sampai kakek nenek...” ungkapnya melanjutkan rencana hidupnya di masa depan. Ini lebih kuanggap candaan walaupun ia terdengar serius.
“Kalau itu aku sudah tau... Kerja? Lebih spesifik tentang pekerjaan yang akan kau lakukan... Kerja di kantoran yang digaji bulanan?... Usaha sendiri? Freelancer? Jenis usahanya? Bidang apa? Dalam negeri atau luar? Sampai umur berapa mau bekerja? Besaran tabungan masa pensiun? Itu maksudku...” cecar Silva sepertinya tidak sabar. Mungkin itu yang selalu dipikirkannya untuk rencana masa depannya dan ia mengira semua orang juga punya jalan pikiran yang sama dengannya.
“Silva... Rencana hidup tidak selalu harus serumit itu...” potong Nining. “Yang kau dapat hanyalah sakit kepala dan stres berkepanjangan kalau langkah hidupmu serumit itu... Tidak ada salahnya punya rencana detail... Menurutku yang paling penting itu adalah usaha untuk melaksanakan rencana itu... Sesederhana apapun rencana kalau dilakukan dengan sungguh-sungguh... mudah-mudahan berhasil... Tidak ada gunanya rencana rapi, rumit dan njelimet kalau dikerjakan setengah hati karena sudah menjadi beban...” ungkapnya cukup bijaksana. Mungkin ini paparan tentang pengalaman hidup seorang perantau yang merintis meniti karier di sebuah industri, yang relatif berhasil. Nining sekarang sudah menjabat sebagai Supervisor di pabriknya.
“Kita semua yang ada di sini relatif masih muda... Ada yang sudah bekerja... Nining, Jessie, Della... Aku sendiri... Yang masih kuliah–April... Sekolah dan sebentar lagi lulus; Satria, Aya, Silva, Silvi... A Fang... Masa depan kita masih panjang... Masih banyak yang harus kita lakukan untuk menggapai masa depan...” kata Fantina menambah.
“Kalau kesuksesan masa depan itu ukurannya seberapa banyak uang kau miliki... Aku dan Della sudah selesai... Kami berdua mentok sampai sini dengan uang jutaan dollar di rekening kami... Tapi bukan itu yang namanya masa depan... Tapi bagaimana kau menjalani hidup hari demi hari... Alasan apa yang membuatmu bangun tiap paginya... Apa yang menjadi penggerak ototmu untuk melangkah... dan mengapa jantung kita tetap berdetak...” katanya sangat bagus sekali.
“Kalau begitu... tidak salah punya cita-cita setinggi langit, kan?” ungkap A Fang.
“Itu bisa menjadi alasan untuk berjuang... Cita-cita itu... Orang zaman dulu bilang ‘Gantunglah cita-citamu setinggi bintang di langit’... Itu agar kita melompat... memanjat... naik balon udara... menerbangkan roket untuk mengambil cita-cita yang tergantung di bintang itu... Kita melompat... memanjat, naik balon udara, naik roket, kan usaha kita untuk mencapainya... Kemajuan dunia ini-pun tergantung pada usaha mencapai cita-cita tiap individu yang pernah membangun peradaban hingga sekarang... Terserah... Mau menjadi bagian di dalamnya atau penonton saja...” lanjut Fantina yang tumben bisa bicara searif ini. Apa saja yang sudah dilakukannya.
“Aku pahaaaaaammm... Lanjuuuuttt!” kata Silva tiba-tiba melonjak dan memecah keheningan yang hanya ditingkahi gemeretak kayu terbakar berderak.
“Truth or Dare?”
--------​
Tanpa sepengetahuan mereka, tubuh penggandaanku dengan DOUBLE milik BEOWULF kembali berenang ke titik anomali yang dinamai Andin sebagai Aqua-Micro Wormhole (AMW). Aku ingin memanfaatkan keajaibannya untuk pergi ke tempat-tempat tertentu.
Aku muncul kembali di kota tempatku tinggal yang jaraknya puluhan kilometer jauhnya dari pulau Airtas. Tepatnya di bath tub kamar mandiku sendiri. Setelah ganti baju sekenanya, menyiram pot bunga semak hutan asal CORE suster Susan–aku keluar lewat jendela dan terbang ke taman di tengah kota.
Di dahan terbesar pohon di taman Asri yang di dunia pararel-nya bernama VANGUARZH, kuletakkan sebuah bungkusan kecil berisi coklat Valentin-ku. Ini untuk Vlasq–ratu peri pohon yang telah memberiku ZODIAC CORE VIRGO.
Beralih ke pinggiran kota di mana rumah warisan seorang lelaki tua kaya raya pada istri muda cantiknya, mbak Samantha yang gak mau dipanggil tante. Bungkusan coklat serupa kuletakkan di atas bantal lembut Leonny yang sedang tidur. Yang telah memberiku ZODIAC CORE LEO.
Tidak terlalu jauh dari sana yang merupakan gedung sekolah beserta asrama para siswinya. Sekolah Hati Murni. Tepatnya kamar 3-36. Maria sedang belajar di mejanya. Ada beberapa bungkus coklat juga yang sudah dibuka bungkusnya, mungkin pemberian anak-anak klub renang. Kuletakkan diam-diam juga bungkusan coklat milikku. Maria yang sudah memberiku ZODIAC CORE AQUARIUS.
Pulang ke rumah dan berendam kembali di dalam bath tub–sampai kembali di tengah lautan di sekitar pulau Airtas. Sekali lagi aku melakukan perjalanan jauh yang basah ini. Ke Jawa Tengah tepatnya. Sebuah desa bernama Wanirejo, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Beberapa kilometer di selatan Semarang.
Aku muncul dari sebuah sungai kecil yang ada di desa itu–Kali Wates. Di desa ini ada sebuah warnet yang cukup ramai bernama V-Net. Operatornya seorang wanita desa bernama Suriani yang cukup gesit melayani pelanggan warnet-nya. Terkadang ia berteriak-teriak pada anak yang nekad membuka situs porno dari biliknya. Selagi ia menghampiri sekat sempit itu, kuletakkan bungkusan coklatku di samping mouse-nya. Suriani alias Safriani alias Velinda Shaw yang telah memberiku ZODIAC CORE CAPRICORN.
Perjalananku semakin jauh lagi dan aku tiba di Australia. Sungai kecil yang sama yang aku datangi tadi siang. Sungai dingin dimana aku melihat kemunculan Carrie dan Nicole. Keduanya sudah tidur sehingga dengan aman kuletakkan bungkusan coklatku di atas meja nakas di samping ranjang keduanya.
Semua bungkus coklat itu kuberi tulisan di kertas. “Happy Valentine’s Day. Yours, Satria. XOXO.” Semoga mereka mengerti.
--------​
“Satria... Makasih ya sudah datang...” kata Fauziah menyambutku di depan rumahnya. Ia jadi sangat cantik sekali dengan pakaian hijab modisnya kali ini. Anggun dan juga megah. Ditambah riasan make-up yang menambah keindahannya.
“Wah... Zia tambah cantik kalau begini...” pujiku tanpa ragu. Jarang-jarang dulu aku bisa memuji. Sekarang sudah lumrah kulakukan.
“Makasih lagi...” jawabnya tersipu-sipu. Pipinya semakin merah. “Masuk, yuk...” ajaknya. Tanpa sungkan ia menggandeng tanganku untuk memasuki halaman rumahnya. Sudah ada tamu-tamu lain di sini. Acara ini dilaksanakan di halaman depan rumahnya yang luas.
“Acaranya sudah dimulai, ya?” tanyaku saat kami menuju sebuah tenda putih kecil dimana makanan dan minuman disediakan secara prasmanan.
“Acaranya cuma begini aja, kok... Kumpul-kumpul... makan-minum... Ngobrol...” jawabnya sambil menuangkan cocktail buah untukku.
“Oh...” pahamku. Aku melihat beberapa teman sekelas dan sekolahku di acara ini, dengan pasangan atau berkelompok. Beberapa dari mereka yang melintas dekat menyapaku.
“Tidak membawa teman, Satria?” tanya Zia lagi.
“Nggak...” jawabku singkat saja karena aku memperhatikan seorang siswi sekolahku melintas dengan pasangannya.
“Dulu Satria sempat jalan dengan Carrie... pindahan dari Australi itu, kan?” korek Fauzia.
“Mm... Iya... Sempat jalan sebulan... trus dia balik lagi ke Australi...” jawabku jujur-jujur aja.
“Masih keep in touch? (komunikasi)” cecarnya tanpa terasa. Ia terus mengorek keterangan.
“Masih, kok... Masih berhubungan telepon... SMS... chatting gitu, deh...” jelasku tanpa ditutup-tutupi.
“LDR (Long Distance Relationship)?” tebaknya.
“Ya... Begitulah... Eh... Makasih lagi coklatnya... Tadi sore udah kubuka bungkusnya... Coklatnya enak... “ kataku mengalihkan pembicaraan. Dari banyak gadis cantik di sekolah, apalagi di kelasku–hanya Fauziah ini yang belum sempat jadi gebetanku atau lebih tepatnya bang Eros waktu itu. Waktu itu ia sedang cuti sekolah selama 2 minggu karena mengikuti Olympiade Matematika di luar negeri. Anak ini sangat cerdas.
“... sebenarnya acara malam ini ada tujuan khususnya... yaitu... Begini... Abahku tidak mau aku terlalu bergaul bebas dengan teman-teman sebayaku terutama yang laki-laki... Kau tau ada berapa banyak remaja putri yang hamil di luar nikah dan tak bisa melanjutkan pendidikannya? Abah tetapi masih mengizinkan mengadakan acara seperti ini karena dia diam-diam mengawasi apa saja yang kita lakukan... Dia bersikeras bermaksud mencarikan jodohku dengan cara ini...” jelas Fauziah mengejutkan.
Diam-diam mengawasi? Apa ia menempatkan beberapa kamera CCTV tak terdeteksi? Mikropon? Sensor panas? Paranoid. Pasti sewaktu muda ia semacam bandit kelamin dan takut karma menimpa lewat anak gadis-nya yang dijaga ketat.
“Hei... Anak muda... aku dengar itu...” tiba-tiba terdengar suara bisikan semacam teguran ghaib langsung ke arahku. Seperti sebuah hembusan angin yang hanya ditujukan padaku.
Fauziah melihat perubahan ekspresi wajahku dan sepertinya ia paham apa yang menimpaku. Tapi ia diam saja.
“Oom... Abahnya Zia... Maaf sebelumnya... Saya sendiri bukan anak muda baik-baik... Jadi seleksi yang oom buat ini tidak cocok untuk saya... Sebagai anak muda kalau saya tertarik pada anak oom yang bernama Fauziah ini... itu pastinya tidak lebih dari ketertarikan fisik saja... Terus terang saja anak oom ini cantik dan juga pintar... Mungkin kalau oom melindunginya dengan ketaatan beragama itu sangat benar... Tapi tidak perlu menteror kami dengan jalan seperti ini...” kataku berkomunikasi langsung dengan penyampai pesan jarak jauh ini. Ini hampir mirip dengan SHADOW MIND LEO. Ia bisa menggunakannya dengan sangat baik dan fokus. Abah Zia ini pasti memiliki CORE istimewa dan sadar dengan kekuatan yang dimilikinya.
Dibalik jendela yang gordennya dibuka lebar, di sana ia berdiri. Dari posisinya itu dia bisa mengawasi seluruh taman dengan mudah. Aku mengarahkan SHADOW MIND milikku langsung padanya.
“Wah... Kau juga bisa melakukan ini, ya? Jarang sekali Abah ketemu anak muda sepertimu... Bisa kita berbincang berdua saja?” jawabnya tidak kurang terkejut.
“Ng... Zia... Boleh permisi ke toilet?” pamitku mencari alasan yang sangat standar.
“Oh... Toilet di sebelah sana...” tunjuknya memberi arahan dimana toilet berada.
Aku berjalan terus sesuai instruksi Abah Zia. Menelusuri rumah besar mewah milik keluarga Fauziah yang sangat luas. Aku tak lama tiba pada semacam taman samping rumah dengan kolam ikan dan air terjun kecil yang sangat asri dengan kehijauan taman penuh bunga. Ada seorang lelaki paruh baya yang duduk sendiri dengan dua buah cangkir kopi di meja. Tubuhnya tinggi besar dengan otot gempal di sekujur tubuhnya. Ia memakai pakaian gamis panjang sebetis berwarna abu-abu dan kopiah Turki berwarna putih. Ada tasbih di tangan kanannya.
“Ya... Kemari...” panggilnya. Ia berdiri menyambutku. Kuhampiri dia. Dijabatnya tanganku dengan erat. Tangannya sangat hangat. Dipersilahkannya aku duduk.
“Siapa namamu, maulana?” tanyanya. Maulana? Apa itu?
“Nama saya Satria... Satria Suryawan...” jawabku sesopan mungkin.
“Maulana itu artinya anak muda... Cara ngomong orang zaman dulu yang terbawa-bawa sampai sekarang... Satria Suryawan?... Seperti Ron Suryawan dan Buana Suryawan?” katanya menjawab kebingunganku akan kata maulana itu.
“Buana Suryawan itu papa saya, oom...” jawabku. Mungkin bapak-bapak ini mengenal papaku.
“Oo... Anak lelaki satu-satunya Buana ternyata... Saya hadir saat penabalan namamu dan kedua kembaranmu yang lain... Satu kebetulan yang sangat menarik sekali... Saya sahabat lama papamu... Ya... Saya baru kembali dari Timur Tengah... Baru kali ini saya bisa kembali kemari...” katanya menjawab semua pertanyaanku. Dengan orang semacam ini tidak ada yang bisa disembunyikan. Ia bisa membaca pikiran orang sampai sedalam-dalamnya.
“Saya paham kalau Satria tidak punya maksud jelek apapun pada Zia... Saya tau apa saja yang pernah maulana lakukan... bahkan yang sedang terjadi di pulau itu sekarang ini... Tapi bukan itu yang hendak saya bicarakan...” katanya.
“Maulana suka kopi? Silahkan diminum kalau berkenan?” kata berhenti sebentar dan menghirup kopinya. “Aaah... Kopi Arabica Dairi memang yang paling enak...” katanya mengusap serbuk kopi yang menempel di kumisnya.
Melihatnya menikmati kopi itu membuatku tergoda untuk mencoba. Mm... Memang enak walau tanpa gula. Ini yang namanya Black Coffee? Kopi tubruk!
“Apa maulana mengerti kehancuran apa yang bisa maulana sebabkan pada dunia ini?” katanya.
“Kehancuran?”
“Ya... Kehancuran... Lebih tepatnya kiamat...” jawabnya.
“Kiamat?”
“Setidaknya untuk penduduk planet bumi ini... Kiamat untuk planet bernama bumi ini yang bisa dengan mudah kau hancurkan... kalau maulana tidak berhati-hati menggunakan kekuatanmu...”
“Segawat itu?” kagetku. Apa aku mempunyai potensi semengerikan itu? Kekuatan apa yang dimaksudkannya?
“Memang saat ini kekuatan penghancurmu itu belum muncul... Tetapi siapa yang tau kapan ia akan keluar... Saat ia keluar... bisakah maulana mengendalikannya?”
“Yang ia bicarakan adalah CONQUER itu, Satria...” ujar Andin memberikan masukan.
“CONQUER? Itu namanya? Maulana belum mendapatkannya, kan?” bapak ini bahkan bisa mendengar Andin.
“Be-belum, oom...” jawabku gugup. Bagaimana mungkin VIOLENCE ketiga milik VOXA itu bisa jadi begitu berbahaya sampai bisa membuat planet ini hancur?
“Ada berapa Menggala yang tersimpan di tubuhmu, maulana?” tanya Abah Zia sedikit menurun tekanannya.
“Menggala?” bingungku baru mendengar istilah ini. Kata yang mungkin mirip adalah Browok Menggolo. Keris sakti dengan khodam burung gagak raksasa milik Tinto yang sempat menikam perutku dulu.
“Maaf... Maulana mungkin mengenal Menggala dengan nama CORE... Saya melihat ada banyak Menggala di tubuhmu...” jelasnya.
“... Ada... sekitar... 18 Menggala di tubuhku...” jawabku setelah menghitung jumlah CORE yang tersimpan di dalam tubuhku.
“19... Keluarga Nyi Sukma dan suami naganya tidak kau hitung?” koreksi Andin.
“Nyi Sukma dan suaminya termasuk Menggala-mu, maulana? Itu sangat luar biasa... Dengan semua itu maulana bisa menguasai dunia ini dengan mudah kalau maulana mau... Dan untungnya maulana bukan tipe orang semacam itu... Dalam hal ini dunia masih beruntung... Tetapi CONQUER tadi masih menjadi ancaman...” bebernya.
“Tetapi kenapa CONQUER sangat berbahaya? Bukankah itu hanya sekedar VIOLENCE yang sangat kuat?” tanyaku masih bingung.
“Coba tanyakan pada Menggala yang memiliki CONQUER itu... apa kemampuan CONQUER miliknya?” usulnya.
“VOXA? Coba jelaskan lagi... apa yang bisa dilakukan CONQUER?” tanyaku setelah kumunculkan VOXA di antara kami.
“CONQUER menundukkan semua yang ada dihadapanmu... Manusia, hewan, tumbuhan, batu, besi, air, udara... Semuanya...” jawab VOXA gamblang.
“Apakah itu berbahaya? ... Kalau aku bisa menundukkan semua yang ada di hadapanku?” aku masih bingung.
“Planet ini terbentuk dari batu, air, logam, gas dalam jumlah yang sangat besar... Maulana bisa memerintahkan semua itu untuk hancur saat sedang kesal atau tidak stabil emosinya... Kiamatlah planet ini...” sergah Abah Zia.
“Wah?” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
--------​
Berikutnya beliau menasehatiku untuk banyak-banyak bersabar untuk melatih emosiku. Karena aku masih sangat muda, dikhawatirkan aku bisa marah tak terkendali sampai menyebabkan kehancuran bumi. Tapi apa yang bisa membuatku sangat marah?
--------​
“Saya sendiri punya masalah yang kurang lebih sama dengan, maulana... Hanya saja sedikit keberuntungan saya bisa bertemu dengan Ummi-nya Zia...” katanya setelah ia membiarkanku merenung beberapa waktu.
“Maksudnya apa, oom?” aku tidak paham arah pembicaraannya kali ini.
“Zia itu anak pertama saya... Adik-adiknya ada 7... hampir 8 karena Ummi-nya sedang hamil sekarang... Di umur saya yang hampir 60 tahun ini baru 17 tahun lalu anak pertama saya lahir... Tak kurang banyak istri yang saya nikahi atau wanita saya gauli... tapi tak satupun yang bisa memberiku keturunan... sampai saya bertemu dengan Ummi-nya Zia... Dia adalah pengungsi sektarian di utara Baghdad yang lari ke Spanyol... Kedua lengannya harus diamputasi karena ledakan bom... mata kanannya buta... Tapi saya meyakinkannya kalau ia adalah perempuan itu... Jadilah... sampai anak saya hampir 8 hingga sekarang...” kisahnya.
“Jadi oom juga punya virus itu?” sergahku cepat.
“Maulana menganggapnya sebagai virus? Wah... Benar juga kalau dipikir-pikir...” terawang Abah Zia. “Tapi setelah puluhan tahun bertualang dan akhirnya menemukan Ummi-nya Zia, saya tidak pernah memperdulikannya lagi... Saya sudah punya anak-anak sekarang... Walau dengan wanita sebanyak itu...” katanya.
Ia lalu membuka pintu geser berkaca grafir di belakangnya dan bagian dalam rumahnya terlihat. Pada dinding rumah yang luas ada sebuah foto keluarga berukuran besar sekali. Foto dirinya dikelilingi banyak wanita dan anak-anak.
“Istriku ada 11 orang dan 7 anak di foto itu... Kurasa sudah cukup...” jelasnya. Aku melihat dengan jelas Ummi-nya Zia yang memiliki kecacatan itu memangku seorang bayi lelaki berumur dua-tahunan. Keturunan Timur-Tengah.
“Bagaimana oom tau kalau Ummi Zia itu bisa memberikan oom keturunan? Apa ada semacam tanda atau semacamnya?” tanyaku penasaran bagaimana ia bisa tahu kalau seorang wanita yang ditemuinya secara acak di pelosok dunia sana adalah seseorang itu.
“Tidak ada tandanya... Semua perempuan yang kusuka tergantung seleraku... Tidak tentu dia harus cantik atau bagaimana... Kebetulan saja saat itu saya sangat suka dengan Ummi Zia ini... Berbeda saja, maulana...” jelasnya.
“Jadi... harusnya... bagaimana, oom?” kataku tak begitu paham apa yang dia mau sekarang.
“Tidak apa-apa kalau maulana mau mengambil Zia sebagai istri... Saya izinkan... Siapa tau kalau Zia bisa memberimu banyak anak... Saya paham sekali rasa sakitnya... Saya sudah pernah mengalaminya, kan?” bebernya mengejutkan.
“Saya belum mau menikah sekarang, oom...” kataku serba salah.
“Ya, tentu tidak secepatnya... Maulana dan Zia masih punya banyak hal untuk dilakukan di masa depan... Saat sudah siap... Datanglah kemari... akan saya sambut dengan senang hati...” jawabnya dengan senyum lebar kebapakan yang hangat.
“Satria...??” sapa Zia yang muncul dari samping kami berdua. Ia kelihatan cemas. “Aduh... Kirain kamu nyasar... Rupanya di sini sama Abah...”
“Ya, sudah, maulana... Cukup sekian... Saya mau masuk dulu...” kata Abah Zia bangkit dan beranjak masuk rumah.
“Abah ngomongin apa sama Satria?” cegahnya sebelum Abahnya masuk.
“Zia... Itu tadi omongan antar lelaki... Zia tidak perlu tau...” kata Abahnya lalu masuk dan hilang di balik pintu geser yang ditutupnya lagi.
“Satria... Kalian ngomongin apa, sih?” tanyanya kepo sekali. Penasaran.
Aku cuma bisa garuk-garuk kepala. Semakin digaruk semakin enak.
 
--------​
Setengah jam kemudian aku pamit pulang pada Zia. Aku juga pamit pada Abahnya dari jarak jauh. Dengan mudah aku menarik tubuh penggandaan DOUBLE BEOWULF ini dan aku kembali ke pulau Airtas.
Permainan Truth or Dare semakin liar. Terakhir kutinggal, semua sudah telanjang dada dan sekarang tak seorangpun yang masih berpakaian selembarpun termasuk aku. Semua bugil.
Mereka semakin mabuk. Beberapa botol champagne mulai beredar. Kadar alkoholnya sedikit lebih tinggi dari bir. Giliran Truth or Dare kembali searah putaran jam tetapi target dipilih dari gulungan kertas nama bekas arisan sebelumnya.
“... A Fang jilatin guyuran champagne dari tubuh Fantina...” cetus Jessie yang mendapat giliran.
Meledak lagi tawa kami semua mendengar tantangan Dare Jessie yang diterima A Fang.
Fantina meliuk-liukkan badannya begitu Jessie menuangkan champagne itu ke tubuhnya sedikit-sedikit. Lelehan cairan manis pahit itu lalu dijilati dengan rakus oleh A Fang. Terutama di daerah-daerah sensitif lagi erotis seperti; dada, ketiak, leher, iga, pinggul, dan perut. Fantina merintih-rintih keenakan merasakan lidah A Fang di tubuhnya. Sensual sekali. Champagne yang tinggal setengah botol itu lalu habis dan selesai pula tantangan Dare Jessie untuk A Fang.
Kertas nama A Fang digulung kembali dan dikocok ulang sehingga orang yang sama bisa terpilih kembali. Kalau yang keluar nama sendiri, akan dilakukan penarikan ulang. Sekarang giliran April. Ia mengambil sebuah gulungan kertas dari fish bowl.
“Dellayani... Kah... Kah...” tawanya girang. Della di sampingku sudah bersungut-sungut merutuki kesialannya. Putaran ini ia sudah dua kali kena. Yang pertama ia diminta menjilati whipcream manis dari tiap puting dada peserta permainan yang disemprotkan Aya. “Truth or Dare?”
“Ya, udah... Dare aja... Nanti kalian korek-korek terus tentang calon suamiku...” pasrah Della yang merelakan perlakuan apa saja asal tidak menyinggung masalah pernikahannya.
“Elu berdiri menungging di depan sini...” tunjuknya pada posisi dimana Della harus berdiri. “... elakkan semua jepretan karet gelang yang kami tembakkan... Jangan sampai ngeliat belakang!” instruksi April sadis sambil membagikan segenggam karet gelang berukuran sedang pada kami masing-masing.
Kembali tawa membahana di pantai ini mendengar tantangan ini. Della dengan patuh terpaksa menuruti kemauan April dan berdiri di posisi yang ditetapkan kemudian menunduk, mencuatkan bokongnya ke arah kami yang mulai membidik dengan karet gelang.
“Aduhh!” jerit Della begitu karet gelang yang dijepretkan April mengenai bokong kanannya yang telanjang. Lalu disusul jepretan-jepretan susulan dari kami semuanya. Walaupun ia menoleh ke belakang untuk mengelak, dari arah kebalikannya akan ada serangan lain. Jadilah pantat dan punggungnya menjadi sasaran tembak terbuka. Sesekali anus dan vaginanya kena juga. Tawa geli dan lucu silih berganti ditingkahi jerit kesakitan Della.
“Aahh... Sadis kalian semua... Pantatku sakit semua, nih...” keluh Della meringis berjalan kembali ke sofa tunggalnya sambil menggosok-gosok kedua bongkah pantatnya yang merah dengan tangan. Gulungan kertas berisi namanya dimasukkan fish bowl lagi.
Sekarang giliran A Fang–si master masokis. Ia mengaduk isi fish bowl dan mengambil satu gulungan kertas.
“Silvi...” bacanya akan nama yang muncul dari penarikan gulungan kertas. A Fang menunjukkan kertas itu pada Silva dan Silvi yang duduk tak jauh dari meja kecil dimana fish bowl diletakkan.
Silvi merengut kesal walaupun ini kali pertama dia kena pilih di putaran Truth or Dare baru ini. “Truth or Dare?” tanya A Fang.
“Aku pilih Truth aja, deh... A Fang mainnya serem, ih...” kata Silvi lebih memilih Truth aja.
“Truth, ya? OK...” gumam A Fang tak kurang antusias dengan kesempatannya dengan menggosok kedua telapak tangannya. “Wa mau lu pilih salah satu dari tiga pilihan situasi ini dan alasannya... Elu sedang naked sunbathing di pantai nudist seperti ini... sendirian saja... dan tiba-tiba seorang gelandangan kotor yang gak mandi sebulan pengen memperkosa lu... Kontol dekil baunya sudah ngaceng sudah siap memperkosa lu yang sedang mandi matahari... Elu sadar dan lari... Lari-lari-lari sampai di pertigaan jalan... Jalan pertama dibelah sebuah parit lebar yang dipenuhi lintah... Jalan kedua adalah hutan yang menjadi tempat tinggal monyet besar... Jalan ketiga adalah proyek pengeboran minyak yang sedang beroperasi... Jalan mana yang akan elu pilih dan alasannya?” A Fang menceritakan jalan cerita yang harus dipilih Silvi.
“Wah... Pilihannya serem semua, kan?” bergidik geli Silvi membayangkan situasi itu beserta opsi pilihan selamatnya. “Kalo aku melompati parit itu tidak mungkin—paritnya lebar... Diseberangi–semua lintah menjijikkan itu pasti menempel di tubuhku... menghisap darahku... Hiihhh!” bayangnya.
“Apalagi kalau ada lintah yang masuk ke pepekmu... Bertelur dan beranak pinak di dalam perutmu... Hihihihi...” A Fang menambah bayangan seram.
“Apalagi kalau masuk hutan penuh monyet dalam keadaan telanjang... aku bisa diperkosa monyet-monyet jantan besar itu... Ada kejadiannya, kan?” bayang Silvi kalau ia memilih opsi kedua.
“Kalau yang ketiga?” tanya A Fang.
“Pengeboran minyak? Isinya pasti laki melulu, ya? Badan kotor berminyak... keringat, bau, kasar, berurat, gede, brewokan...” kata Silvi mulai membayangkan.
“Gak pernah liat perempuan berbulan-bulan... Kontolnya pasti keras-keras dan spermanya kental seperti odol gigi... Kena bukkake (genre mandi sperma di bokep) habis-habisan elu...” A Fang kembali menambah bayangan seram untuk pilihannya.
“Mmm...?” bingung Silvi belum menentukan pilihannya.
“Jadi yang mana?” desak A Fang.
“Aku lebih milih menghajar gelandangan itu aja... Lebih mudah menghadapi satu gelandangan yang kurang makan tapi masih bisa ngaceng... Pake batu, kayu... atau kutendang aja peler-nya... Beres!” tandas Silvi.
“Gelandangan ngaceng itu cuma faktor penyebab aja, Vi... Pilihannya harus yang tiga jalan itu?” A Fang tidak puas dengan jawaban Silvi.
“Kayaknya ada maksud di tiga jalan itu, ya?” tanya Aya.
“Ada... Ini pertanyaan psikologis... Kepribadian lu orang bisa terlihat dari pilihan yang elu ambil...” jelas A Fang yang ternyata ada motif lain di balik pertanyaan yang sepertinya nyeleneh.
“Oo... Begitu... Aku ambil jalan parit aja, deh...” pilih Silvi. “Alasannya... disekitar parit pasti ada pohon-pohon, semak, batu... Apapun bisa dijadikan pijakan untuk membuat semacam jembatan darurat agar bisa mengulur waktu sebelum lintah-lintah itu mencapaiku... Mereka, kan tidak terlalu cepat bergeraknya... Sebelum nempel aku pasti sampai seberang...” jelasnya.
“Bagus... Itu tandanya elu orang yang selalu mencari cara yang paling mudah dan sederhana...” jelas A Fang tentang paparan kepribadian berdasarkan pilihan yang diambil Silvi.
“Jadi kalau aku ambil jalan kedua; hutan penuh monyet besar... apa artinya?” coba Silva mengambil pilihan.
“Alasannya?” A Fang tanya kembali.
“Aku akan mengumpulkan buah-buahan di dalam hutan untuk disebar disekitarku kalau monyet-monyet itu muncul... Mereka akan teralih perhatiannya pada buah dan membiarkanku lewat...” jelas Silva tentang apa yang akan dilakukannya.
“Kalau dengan cara itu... itu artinya kau adalah orang yang berpikir panjang dan mempersiapkan apapun yang akan elu lakukan...” jelas A Fang tentang pilihan Silva yang bertolak belakang dengan kembarannya; Silvi. Padahal mereka kembar identik tetapi tetap berbeda jalan pikirannya.
“Kalau aku ambil jalan ketiga... bersembunyi sampai semua pekerja istirahat lalu lewat...” kata Nining.
“Itu bukan jawaban, Ning... Pengeboran minyak tidak pernah istirahat... Mesinnya selalu bekerja dan selalu ada yang mengawasi siang-malam... Coba cari alasan lain, deh?” kata A Fang tidak bisa menerima alasan itu.
“Kalau gitu... gak mungkin bisa lewat, dong... Pasti kena gangbang satu barak pengeboran minyak kalau pilih jalan itu bagaimanapun caranya kalau telanjang...” simpul Nining.
“Nah... Kalau ada dari kalian yang pilih jalan ketiga... artinya dia seks maniak... Kah... kah... kah...” gelaknya lepas sampai dadanya berguncang-guncang dan A Fang memegangi perutnya.
“Aku pilih jalan itu... Apa iya aku akan di-gangbang mereka karena telanjang?” kataku menengahi.
“Satria, kan memang seks maniak... Kalau kasusmu satu pengeboran minyak itu cewek semua... Pasti kena gangbang juga... Kah... kah... kah...” jawab A Fang kembali tertawa.
“Kamu baca itu dari mana, Fang? Kok kayaknya aku pernah mendapat pertanyaan sejenis itu...” kata Fantina melirik pada Della. Perkiraanku itu adalah pertanyaan psikologis dari pendidikan intensifnya untuk menjadi pembunuh bayaran tangguh. Untuk pelajaran pengambilan keputusan yang tepat agar mendapat hasil maksimal.
“Wa baca dari buku online... tentang psikologis paramiliter... Tepatnya pertanyaannya tidak begitu... Wa modif sana-sini supaya pas aja...” jawabnya.
“Lanjuuuutt...” seru beberapa orang serempak. Sekarang giliran Nining untuk mengambil gulungan kertas. Ia lalu maju dan mengaduk isi fish bowl itu sebentar lalu mencabut satu nama.
“Jessie!” seru Nining semangat membaca nama yang dicabutnya.
Yang terpilih garuk-garuk leher yang tak gatal. “Truth or Dare?” tanya Nining.
“Dare...” jawab Jessie pendek.
“Bagus... Keluar juga permainan yang kubeli ini... Permainannya bernama Twister... Sebentar... Kalian semua pasti tau permainan ini...” kata Nining mengambil sesuatu dari belakang sofa yang didudukinya. Sebuah kotak berukuran sedang dan segera dikeluarkannya isinya. “Aku sering main ini dengan teman kos-ku...”
Dibentangkannya sebuah plastik ukuran persegi dengan bulatan-bulatan warna-warni tercetak di atasnya. Merah, kuning, hijau dan biru. Ada 4 bulatan warna merah, 4 warna kuning, 4 warna hijau dan 4 warna biru disusun berurutan.
“Mainnya harus berdua, loh... Aku yang pilih atau kamu?” tawar Nining pada Jessie.
“Aku yang cabut aja, deh...” katanya langsung maju mengaduk isi fish bowl itu untuk mencari teman main Twister ini. Ia sepertinya sudah paham permainan apa ini dan aku masih bingung. Mulutnya komat-kamit.
“Satriaaa... Cihuuii!” seru Jessie girang sekali. Wajahnya yang memerah tersenyum lebar. Dadanya yang telanjang berguncang hebat kala ia melonjak kesenangan.
“Satria... Kamu jadi lawan mainnya Jessie main Twister ini... Ayo maju...” panggil Nining yang memegang sebuah papan dengan jarum yang bisa berputar.
Aku maju dan menghampiri mereka. “Twister itu mainnya gimana?” tanyaku penasaran dan memperhatikan bentangan plastik itu dan papan di tangan Nining.
“Gini-gini... Aku yang putar duluan untuk Jessie, ya?... Liatin, nih!” kata Nining memutar jarum di papan itu. Jarum berputar kencang lalu berhenti di pilihan ‘Kaki Kanan Hijau 3’.
“Jess... Letakkan kaki kananmu di bulatan hijau nomor 3...” instruksi Nining dan diturutinya. Dijejakkannya kaki kanannya di bulatan hijau bernomor 3 dan kaki kirinya tetap di pasir. “Nah sekarang giliranmu... Liatin ini kemana nunjuknya...” jarum itu berputar dan berhenti pilihan ‘Tangan Kiri Kuning 2’.
Bulatan buning nomor 2 itu ada di hadapan Jessie yang berdiri sedikit mengangkang!
“Nah, Sat... Taroh tangan kirimu di kuning nomor 2 situ...” instruksi Nining. “Kalau sudah nempel di situ jangan dilepas sampai disuruh pindah oleh jarum ini...”
Glek! Dengan posisi tubuh sekarang ini, aku harus memposisikan tangan kiriku di bulatan kuning. Jessie yang berdiri dengan kaki kanannya di bulatan hijau nomor 3 ada di sampingku. Aku menunduk dan pemandangannya berbahaya sekali. Kemaluan montoknya ada di samping wajahku. Terpampang jelas begitu aku menoleh ke kanan. Walau pencahayaan hanya dari membaranya api unggun, semua terlihat jelas dalam kualitas High Definition. Kalau ada waktu aku mungkin bisa menghitung ada berapa jumlah rambut jembutnya.
“Jess... Tangan kiri merah nomor 1!” seru Nining yang sudah memutar jarum itu lagi.
“Nomor satu...” gumam Jessie mencari tempat yang dimaksud Nining. Satu kaki kiri masih di pasir, kaki kanan di hijau nomer 3, Jessie harus melampauiku untuk menjangkau merah nomer 1 yang ada di sudut kiri atas dengan tangan kirinya.
Alhasil dada mengkalnya nemplok di mukaku tanpa ampun. “Huuff...” hidungku tertutup massa lembut dan kenyal payudara kirinya. Kupalingkan kepalaku ke bawah tetapi dada itu masih menimpa kepalaku.
Gemuruh tawa dan suitan penonton terdengar nyaring di sekitar kami berdua. Banyak komentar-komentar miring dan jorok terdengar. Yang paling kukhawatirkan saat ini adalah aku tidak bisa mengendalikan Mr. Happy milikku. Ia seperti punya kendali sendiri atas ngaceng atau tidaknya. Apalagi saat erotis seperti ini. Aku dikelilingi sembilan perempuan cantik yang juga bugil; salah satunya sedang menimpakan sebelah dadanya ke kepalaku. Parahnya aku juga bugil!
“Satria kaki kanan biru nomer 1!” seru Nining berusaha mengalahkan suara ribut yang disebabkan penonton. “Badan tidak boleh menyentuh plastik, ya?” seru Nining memberi peringatan tentang peraturan permainan ini.
Jadilah aku berjibaku untuk memposisikan tubuhku agar kakiku bisa kuletakkan di biru nomor 1 yang ada di sudut kiri bawah. Mukaku bergesekan dengan payudara Jessie yang dari tadi ada di atasku. Aku dalam posisi mirip berbaring sekarang.
“Ha... haa... haaa.... haaaa...” meledak tawa para penonton keras sekali sampai kupingku sakit.
“Heh! Yang ini gak usah ikut-ikutan, ya?” sentil Nining memberi peringatan.
“Auch!” kagetku mencari tahu apa yang terjadi. Mukaku kembali terpaksa kugesekkan kembali ke dada Jessie sampai ia mengeluh kegelian. Putingnya terasa kaku.
Penisku mengacung keras menunjuk langit. Nining tadi menyentilnya dengan jari karena gemas. Yang lain juga mengekor dengan menjawil penisku. “Heh! Sakit tau!”
“Jess... Kaki kiri hijau nomor 1!” lanjut Nining kemudian.
Kaki Jessie yang tadinya masih di pasir, di luar permainan– masuk dan kembali terpampang tepat di depan hidungku, sang onderdil indah itu. Vaginanya yang menggoda lembab.
Tak kurang mereka bertepuk tangan dan berseru-seru meriah sekali.
“Satria... tangan kanan kuning 1!” seru Nining memberi instruksi tambahan. Wow!
Dengan dua tangan berdekatan begini, aku terpaksa mencondongkan tubuhku ke atas. Alhasil, mukaku menjorok ke vagina Jessie yang ada di atasku.
“Aahh...” desah Jessie perlahan. Pipiku menempel di bukaan vaginanya yang sedikit merekah. Terasa basah dan panas dengan sedikit rasa keras pada bagian atas. Klitorisnya membengkak!
“Tahan! Tahan! Jangan ada yang jatuh...” seru Nining memberi peringatan.
“Jess... tangan kiri merah 4!” seru Nining lanjut.
Tangan kiri pindah dari merah 1 ke merah 4. Tubuhnya sedikit melengkung karena posisi baru ini; kaki kiri di hijau 1, kaki kanan hijau 3 dan tangan kanan bebas.
“Satria... tangan kanan hijau nomer 3!” lanjut Nining memberitahu posisi baru. Tangan kananku yang tadi di kuning nomer 1 sekarang pindah ke hijau nomer 3 bersama kaki kanan Jessie. Aku tetap menelusup di bawah tubuh Jessie.
“Jess... kaki kiri kuning nomer 2!” lanjut instruksi Twister Nining. Dengan posisi terbaru ini, Jessie sekarang sukses menungging di depan mataku dengan kaki lebar menjangkau dua posisi hijau nomer 3 untuk kaki kanan dan kuning nomer 2 untuk kaki kiri. Tangan kanannya masih di merah nomer 4.
Aku bisa melihat kalau kemaluannya semakin terbuka lebar dan basah. Lubang senggamanya mengintip terbuka sedikit bersama anusnya yang menjulang tinggi agar mencapai posisinya.
“Satria... kaki kanan kuning nomer 2!” seru Nining tentang posisi baruku. Kaki kananku yang selama ini bebas kini menjejak di kuning nomer 2, tepat di belakang paha kanan Jessie terbentang dan mengakibatkan mukaku jadi menempel di sana karena kaki kiriku masih di biru nomer 1. Pahanya yang padat terasa bergetar karena kusentuh dan lelah berposisi begini. Bisa dimengerti, sih.
“Jessie... tangan kiri kuning nomer 3!” seru Nining menambah-nambah penderitaan kami saja. Tangan kiri Jessie yang dari tadi bebas kini menopang tubuhnya yang menungging di hadapanku.
“Eh... Ini mainnya sampe kapan, sih? Pake waktu, gak?” tanyaku dari balik pangkal paha Jessie.
“Sampe ada yang kalah! Sat... kaki kanan biru nomer 3!” jawabnya disusul instruksi posisi selanjutnya. Kaki kananku yang tadinya di biru nomer 1 berpindah ke biru nomer 3.
Glek!
Sudah... Ini posisi doggy style yang terkenal itu. Penisku yang tak bisa diatur itu sudah menggencet bokong padat Jessie karena posisiku ini. Daguku menempel di punggungnya dan perutku di belahan pantatnya.
“Sa...ttt... Aku gak kuat lagi...” kata Jessie berbisik dengan suara parau. Tubuhnya yang menempel padaku terasa panas. Apa ini pengaruh... Sialan!
Jessie menggerak-gerakkan bokongnya hingga menggesek penisku yang terjepit di pantatnya. Tentu saja ia menggeliat mencari posisi nyaman.
Batang penisku lalu entah bagaimana sudah terjepit di antara bongkahan pantat Jessie dan mengarah ke bawah. Aku sudah merasakan kehangatan basah belahan vagina Jessie. Terasa enak sekali. Gelitik-gelitik geli saat pertemuan dua kelamin kami yang belum sempurna karena aku hanya bisa menyentuh bagian luar vagina Jessie yang panas.
Ia terus menggesek-gesekkan penisku ke bukaan vaginanya yang menganga tanpa bisa penetrasi sempurna karena posisi yang masih sangat tanggung ini. Ini penyiksaan namanya!
Penyiksaan karena Nining tak kunjung memberi instruksi posisi Twister berikutnya yang mungkin bisa menuntaskan birahi atau malah menyudahinya. Ia malah ngobrol dengan yang lainnya sambil menunjuk-nunjuk ke arah kami berdua.
“Aaahhh...mmm...” desah Jessie puas sekali karena tanpa sepengetahuanku, ia menekuk tubuhnya sedemikian rupa dan mendorong tubuhnya hingga ia berhasil membenamkan batang penisku ke dalam liangnya. Panas sekali di dalam sini. Ia sudah sangat terbakar.
“Jessie? Apa yang kau lakukan?” bisikku agar tidak terdengar mereka. Ia sudah menggerakkan pantatnya maju mundur pelan selagi penisku terbenam masuk seluruhnya. Ia tidak mendengarku. Ia tak perduli apapun walau nanti bakal kena hukuman. Tapi posisi kedua tangan dan kakinya tidak ada yang berubah.
“... jadi bagaimana menurut kalian posisi ini? Bagus, kan?” tanya Nining pada Fantina dan Della yang ada di sebelah kirinya.
“Ini belum terlalu sulit...” jawab Fantina.
“Ya... masih standar, ya...” komentar Della.
“Aku pernah liat di Youtube posisi yang sulit-sulit... Badannya sampe mlintir gitu...” kata A Fang.
“Tapi sebenarnya main begini capek, loh? Bayangin aja sendiri... berdiri begini... berdiri begitu...” kata April.
“Apa orangnya boleh ditambah lagi, gak?” tanya Silva pada Nining.
“Peserta yang kumau cuma dua saja... Emang kamu mau ikutan main?” tanya Nining balik.
“Aku juga mau ikut kalau dikasih...” kata Silvi mengacungkan tangan.
“Kebanyakan... plastiknya gak muat, deh...” bayang Aya bila ada 4 peserta memainkan Twister ini.
“Sampai 6 orang-pun ini bisa dimainkan, kok...” jelas Nining.
“AAaaahhh!” jerit Jessie tak bisa bertahan lagi. Mukanya hampir jatuh ke atas plastik Twister dan kaki gemetaran hebat di tempatnya. Apalagi bokongnya yang berkelojotan seperti ada yang mengaduk bagian dalam perutnya.
Aku sudah siap menampung tubuhnya kalau-kalau ia ambruk tetapi sepertinya tidak. Daya juangnya masih tinggi. Ia masih bisa menahan tubuhnya.
“Hei?? Apa yang kalian berdua lakukan? Aku belum ada kasih instruksi apa-apa, ya?” kata Nining belagak galak. Jessie berhasil melepaskan penisku diam-diam dari liang vaginanya yang masih berdenyut. Beberapa jumput cairan menetes dan membasahi plastik Twister. Batang penisku sendiri berdenyut juga merasa tanggung.
“Masih kuat, Jess?” tanya Nining melongok pada Jessie yang mengangkat kepalanya dari atas plastik dengan mata nanar nan sayu.
“Udahan, ya?” pintanya. “Lemes banget kakiku...” katanya malah curhat. Wajahnya merah, lehernya merah, telinganya merah, dadanya juga merah.
“Ya, udah, deh... Ntar kamu pingsan pula di situ...” kata Nining rupanya masih berbelas kasihan pada Jessie yang nyata-nyata tak sanggup lagi meneruskan permainan Twister ini. Ditarik dan dibopongnya tubuh bugil Jessie yang lemas.
“Kalau kau jangan ikut bergerak... Tetap aja di situ...” hardik Nining kala dilihatnya aku juga akan berdiri tegak.
“Aku juga capek, Ning...” melasku minta dikasihani.
“Gak... Kamu itu gak ada capeknya... Boong kalau bilang capek... Aku yang main sekarang... Fang putarin jarumnya...” katanya setelah mendudukkan Jessie ke sofa terdekat lalu menyuruh A Fang untuk memutar jarum pemilih itu.
“Tangan kanan kuning nomer 2!” seru A Fang yang sekarang memutar jarum. Segera Nining memposisikan dirinya di depanku dan meletakkan tangan kanannya di bulatan kuning nomer 2.
“Satria... kaki kanan hijau nomer 3!” seru A Fang. Kaki kananku pindah dari biru nomer tiga ke atasnya, hijau nomer 3. Sekarang lebih lega posisinya, tidak terlalu mengangkang yang melelahkan. Tangan kanan dan kaki kiri di tempat yang sama.
“... ngan kiri hijau 3!” lanjut A Fang. Dari luar sana, Nining meletakkan tangan kirinya di dekat tangan dan kakiku di hijau nomer 3. Kedua kakinya yang masih bebas berada di pasir. Ia dalam posisi push-up dengan tangan melebar.
Penisku mengangguk-angguk tegang di depan wajahnya. Ditepiskannya hingga bergesekan di pipinya. Sisa cairan pelumas Jessie membekas di sana.
“Hei, liat! Ada hujan meteor!” seru suara A Fang keras. Terdengar suara mereka berteriak-teriak senang menyambut dan menikmati pemandangan langka itu. Semuanya menengadah ke atas. Aku dan Nining tidak bisa melakukan itu karena terhalang posisi yang menyebalkan ini.
“Hoobbb...”
Aku terkesiap kala dengan mengejutkan Nining mencaplok penisku yang tadi ditepiskannya dan menelannya dalam-dalam. Pipinya sampai kempot untuk menghisap kuat-kuat penisku. Lalu lidahnya bermain-main dengan kepala penisku. Rasanya enak sekali.
Ludahnya sampai menetes-netes menikmati penisku. Akupun ikut menikmati dan memompa mulut Nining pelan-pelan. Terasa hangat apalagi hembusan nafasnya dari hidung yang menerpa perutku.
“Dah habis meteor shower-nya? Gak ada lagi?” seru kecewa A Fang. Nining langsung melepaskan penisku dari mulutnya dan kembali ke posisi tadi. Penis mengacung tegang di pipi.
“Wah... Sayang, ya? Harusnya lebih lama lagi...” kata April.
Dari posisiku sekarang ini, garis pandangku hanya bisa melihat mereka semua yang mengerumuni plastik Twister ini sebatas perut ke bawah saja. Jadi aku hanya bisa melihat kaki-kaki indah mereka beserta vagina beraneka rasa itu saja. Tanpa bisa melihat wajah mereka atau ekspresi mereka kala berbicara. Kecuali satu! Jessie yang duduk di sofa–paling belakang. Ia sedang mengelus-elus vaginanya sendiri sambil tersenyum manis padaku. Pasti ia melihat apa yang dilakukan Nining barusan. Setelah dijejalkannya jari telunjuknya ke liang vaginanya, ia menaruhnya ke depan bibir sebagai kode tutup mulut.
Ini bagian dari permainan mereka juga? Pantesan semua posisi warna dan angka di permainan Twister ini aneh. Mungkin juga jarum penunjuknya tidak diputar sama sekali. Hanya diarahkan ke posisi yang mereka inginkan saja. Sialan!
“Yah... Ning... Jarum papan Twister-nya rusak... Jadi kendur begini...” kata A Fang mengadukan keadaan papan pemilih posisi itu. Jarum pemilih itu tidak bisa berputar dengan lancar lagi; rusak.
“Yaaahh...” kata Nining lalu bangkit dari posisinya. “Selesai, deh mainnya...” sesal Nining. Ia mengambil benda itu dari tangan A Fang dan memeriksanya. Karena ia berdiri, itu artinya aku juga aman untuk berdiri. Kutekan penis sialan ini ke bawah agar tidak menjadi biang kerok terus dan menarik perhatian kesembilan perempuan ini lagi. Duduk ke sofa tunggalku kembali.
“Lanjuuuut lagiii!” seru Aya semangat karena sekarang gilirannya untuk mengajukan Truth or Dare. Semua sudah kembali ke tempat duduknya masing-masing. Diambilnya satu gulungan nama setelah diaduk dan segera dibukanya.
“Yaah! Namaku sendiri...” gerutunya karena malah mendapati namanya sendiri di dalam gulungan kertas kecil itu. “Ambil lagi, ya?” katanya mengaduk kembali dan mengeluarkan sebuah gulungan nama lain.
Aya melirik ke kanan ke kiri mencoba membuat siapapun menjadi khawatir akan terpilih namanya. Lalu dibukanya gulungan itu lebar-lebar.
“Satriaaaaa!” serunya senang sekali bisa menemukan namaku dari dalam fish bowl itu.
“Waduh... Kok bisa aku lagi, sih yang kena?” Memang ini kali kedua. Yang pertama tadipun sebenarnya ilegal karena diundi sebagai pemain kedua di permainan Twister tadi.
“Namanya undian, Sat... Adil, kan?” kata Della di sampingku menenangkan aku yang merasa dicurangi. Aku memang merasa dicurangi di tempat ini. Aku jadi objek bulan-bulanan mereka dari tadi.
“Gak usah banyak protes! Truth or Dare?” tanya Aya tak mau ambil pusing dengan segala keberatanku.
“Truth-lah!” pilihku agak bete.
“Baik! Truth, ya? Gini... Kita semua pernah jadi anak-anak... Masa yang menyenangkan... Pernah main petak umpet, dong?” katanya lalu bertanya tiba-tiba.
“Pernah pastinya...” jawabku sekedar saja.
“Nah... Kita main petak umpet... Satria yang jaga... kami semua ngumpet... OK?” katanya dengan ceria. Ceria karena sedikit bercampur mabuk karena ngelantur. Apa hubungannya jawaban jujur dengan petak umpet. Ngaco, nih anak!
“Apa urusannya? Kok tiba-tiba main petak umpet?” protesku terheran-heran. Tetapi mereka semua bergerak dari tempat duduknya. Bergegas hendak pergi bersembunyi.
“Udah... Jangan banyak tanya... Satria jaga disini... Tutup mata dan hitung sampe 50... Jangan sampe berani ngintip... Nanti matanya kuculek!” kata Aya mengancamku. Didorongnya tubuhku ke balik sofa tunggalku dan merapatkan wajah ke bagian belakang sofa dan menutup mata. Aku terpaksa mulai menghitung dari satu...
Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berlari-lari ke segala arah untuk bersembunyi. Sebagian dari mereka sudah tidak muda lagi tetapi masih sangat bergembira untuk bermain petak umpet ini. Permainan standar anak-anak yang kurasa di seluruh dunia cara permainannya sama. Temukan semua yang ngumpet.
Dengan telingaku yang kupertajam, aku bisa memperkirakan kemana-mana saja mereka menuju untuk bersembunyi. Dari suara langkah kaki di atas pasir yang lembut, suara-suara centil mereka, kuperkirakan ada banyak yang akan bersembunyi di dalam villa.
Saat aku selesai menghitung sampai 50, di pantai ini hanya tertinggal aku sendiri, beberapa buah sofa, fish bowl di atas meja kecil, dan sebuah api unggun besar yang menyala berkobar-kobar. Ombak kecil silih berganti menggapai masuk ke dalam teluk lalu menjamah pantai berpasir putih.
Aku harus menemukan mereka semua... Hu-uh... Segede ini masih main petak umpet.
???
 
Ada yang bersembunyi di dekat sini?
“AYA!” seru mengagetkannya yang bersembunyi di balik sofa yang tadinya dipakai bertiga oleh April, A Fang dan Nining. “Ketemu...”

Aya
“U-uh... Ketahuan, deh...” keluhnya manja dan bangkit dari posisi berjongkoknya di balik sofa. Kuhampiri ia yang sudah keluar dari persembunyian sederhananya.
“Abis Aya ngumpetnya terlalu dekat, sih...” kataku. “Jadi mudah ditemukan...”
“Kukira Satria gak akan menyangka kalau aku ngumpet dekat-dekat sini aja...” alasannya lalu duduk di sofa dan menghentak-hentakkan kakinya dengan manja.
“Ya, udah... Pokoknya Aya udah ketemu, ya... Aku nyari yang lain...” kataku mengucek rambutnya dan beranjak pergi.
“Jangan pergi dulu... Kalau udah ketemu boleh diapain aja... Aku lupa bilang peraturannya, ya?” katanya menangkap tanganku, mencegahku pergi. Kakinya dilebarkan hingga mengangkang.
Aku paham maksudnya. “Tapi kasian mereka, Ya? Entah mereka ngumpet dimana? Kalau tidak segera kutemukan... mereka akan terus menunggu... Digigitin nyamuk, ntar...” kataku beralasan. Seribu satu alasan.
“Gak usah banyak alasan, deh... Di Airtas tidak ada nyamuk...” katanya tak kalah akal. Ditariknya tubuhku dengan cukup kuat hingga aku menghimpit dirinya. Ia sudah sangat bernafsu hingga tenaganya bertambah kuat.
“Mmpp...” Aya langsung melumat mulutku. Disedot-sedotnya bibirku dengan penuh semangat selagi tangannya melingkar dari bawah ketiakku. Kakinya juga dikaitkan ke pinggangku khawatir aku melarikan diri.
Saat kubalas ciuman penuh geloranya hingga ia memejamkan mata, menikmati–kungkungannya melemah. Saat itulah kugunakan DOUBLE BEOWULF. Tubuh penggandaanku itu lalu pergi mencari yang lainnya di seputaran pulau Airtas.
Petualangan segera dimulai!
--------​
Yang harus kucari adalah: April, A Fang, Nining, Silva, Silvi, Della, Fantina dan Jessie. Aya sudah kutemukan dan sedang kugasak di pantai.
Aku yakin bisa dengan mudah menemukan semuanya kecuali duo mantan pembunuh bayaran itu. Kemampuan bersembunyi mereka pastinya sangat luar biasa karena itu bagian dari dasar pelatihan mereka. Entah latihan apa saja yang sudah mereka lakukan untuk mengasah keahlian ini.
Ada orang di dalam shower-box yang ada di depan villa. Terlihat dari bayangan warna kulit yang bergerak-gerak di balik kaca grafir-nya. “NINING! Ketemu!” seruku mencegatnya di depan pintu hingga ia tidak bisa lari kemana-mana.

Nining
“Yaaa... Ketauannn...” sesalnya karena langsung ketemu tanpa ada proses drama apapun. Ia langsung berjongkok dan menarik pinggangku mendekat.
“Apaan, Ning?” kataku pura-pura gak tahu permainan mereka. Padahal aku tahu persis arahnya. Ia langsung menggenggam penisku yang masih ereksi tetapi tidak setegang sebelumnya. Dikocok-kocoknya sebentar dengan menambah ludah di sekujur batang penisku agar licin. Dijilat-jilatnya perlahan.
“Diam aja dan nikmati Satria... Yang tadi masih nanggung, kan?” katanya terus mengenyoti penisku yang kembali greng dan keras kembali. Nining makin bersemangat menikmati kemaluanku.
--------​
Masuk ke dalam villa yang lengang, aku mendapat firasat kalau aku akan menemukan seseorang di dalam dapur. Dan aku segera ke sana. Di dapur luas ini juga lengang tetapi pasti ada seseorang di sini. Yang harus ditemukan adalah: April, A Fang, Silva, Silvi, Della, Fantina dan Jessie.
Benar saja, saat aku membungkuk sedikit saja—sudah terlihat bayangan seseorang di bawah meja makan.
“A FANG! Ketemu!” seruku melompat dan mengejutkannya.

Synvany
“Aw... Ketauan...” rengeknya di persembunyiannya yang tertutupi taplak meja berenda besar yang menutupi sampai ke bawah meja. Ia menunduk dengan kedua tangan dan lutut bertumpu di lantai.
“Tuan... Jangan siksa hamba, tuan...” katanya masih merengek dan memeluk kakiku. Dadanya ditekankan ke betisku. Ia menjilat-jilat lututku dengan patuh. “Hamba akan berbakti selamanya, tuan...” katanya tulus. Dadanya digesek-gesekkan ke betisku berulang seolah tubuhnya adalah handuk pembersih saja.
Sebotol minyak zaitun yang ada di lemari dapur kutuang pelan-pelan ke tubuhnya. “Bersihkan tubuhku dengan spons-mu!” perintahku mengikuti caranya bermain. Ini memang kesukaannya.
--------​
Naik ke lantai dua dengan enam buah kamar. Pasti akan ada yang bersembunyi di salah satunya. Aku hanya harus rajin memeriksanya satu per satu. Yang tersisa adalah: April, Silva, Silvi, Della, Fantina dan Jessie.
Kamar pertama di sebelah kanan. Kosong. Aku sudah memeriksa di bawah ranjang, di dalam lemari, kamar mandinya. Kosong.
Di kamar kedua di sebelah kanan, aku menemukan jejak di atas ranjang double bed. Kutarik dengan cepat selimut yang dipakai untuk menutupi tubuh di bawahnya. Bukan hanya satu tapi sekaligus dua!
“SILVA-SILVI! Ketemu!” seruku menemukan kedua gadis kembar identik itu berbaring berdua ditutupi selimut tebal itu. Mereka masih tetap melakukan semuanya bersama; yaitu menarikku bersamaan ke atas ranjang juga.

Silva-Silvi
Berebutan keduanya mendapatkan mulutku untuk dilumat. Dan untuk itu mereka layak diberikan hadiah bagus. Ada dua mulut dari dua Satria untuk mereka masing-masing. Keduanya berteriak lirih kegirangan dan mulai berpesta.
--------​
Di kamar ketiga di sebelah kiri yang kuperiksa juga tidak mendapatkan hasil. Tetapi ada yang sedikit berbeda karena jendelanya tidak ditutup rapat. Jendela besar itu juga merupakan pintu keluar menuju balkon yang menyatu berbagi dengan kamar-kamar lainnya di sisi ini. Yang menunggu untuk ditemukan tinggal: April, Della, Fantina dan Jessie.
“APRIL! Ketemu!” seruku menemukan mahasiswi Hukum itu duduk di sebuah kursi gantung rotan berbentuk bulat. Ia sepertinya sengaja menungguku di sini.

April
Kututup rapat jendela kaca besar itu saat April memberi kode agar aku mendekat dengan jarinya. Ia menggigit bibir bawahnya pertanda ia sudah sangat horny.
Langsung didekapnya perutku penuh rindu seperti biasa. Rambutnya kubelai-belai seperti yang ia sangat sukai. Diciuminya perutku berkali-kali lalu mata kami bertemu.
“Aku sangat tidak suka membagimu dengan yang lain... Tapi mau bagaimana lagi... Dirimu terlalu besar untukku sendiri saja...” katanya tersenyum.
Hembusan angin malam terhalang oleh bukit karang di Timur pulau. Dinginnya malam menjadi hangat dengan dekapan April di atas balkon.
--------​
Semua kamar di lantai dua sudah kuperiksa dan tak ada lagi kutemukan sehingga aku turun kembali lewat tangga kecil menuju halaman belakang.
“JESSIE! Ketemu!” seruku begitu ia terlihat. Ia berbaring menunggu dengan santai di atas sofa panjang yang masih tertinggal di halaman belakang villa, tempat kami makan siang menjelang sore tadi dengan senyum lebar. Ia merasa tidak perlu bersembunyi untuk ditemukan sehingga ia terang-terangan memberi sinyal, aku disini, loh!

Jessie
“Gak ngumpet, Jess?” tanyaku begitu aku mencapainya. Aku duduk di samping kakinya. Kuelus-elus betisnya yang mulus.
“Kakiku masih lemes dari dapet yang tadi, Sat... Jadi kupikir lebih baik aku di sini aja menunggu Satria... Mungkin bisa kelonan lagi? Hi... hi... hi...” katanya terus terang ketika elusan tanganku sudah sampai punggungnya dan berciuman kemudian. Dengan ditemukannya Jessie, tinggal Della dan Fantina yang tersisa.
--------​
Di dalam villa tidak ada yang bisa kutemukan dan kini aku harus mencari di luar villa. Melewati halaman belakang, aku memasuki hutan kelapa. Dan aku yakin akan bisa menemukan...
“Della... Ketemu??” bisikku pada sebuah bayangan dimana ia pernah duduk tadi sore. Pada semak lebat dibawah sebuah pohon kelapa tinggi yang ternyata hanyalah sebuah batang kayu dengan rerumputan yang disamarkan sebagai rambutnya.
Asem! Dia membohongiku. Dia sudah yakin kalau aku akan mencarinya kemari lalu menyiapkan pengalihan sederhana ini. Dia mau maen ninja-ninjaan dengan teknik ini.
‘Turun, Dell!” kataku lalu memukul batang pohon kelapa itu hingga bergetar. Seperti film kartun—sesosok tubuh jatuh dari atas dan mendarat tepat di pelukanku di kegelapan hutan kelapa.
“Hi... hi... hi... “ tawanya geli di pelukanku.
“Malam-malam manjat pohon? Nggak pake baju lagi?” kataku memarahinya. “Mirip monyet, kan?”

Dellayani
“Biarin... Yang penting bisa berduaan saja dulu sebelum menikah dengan Valdo...” katanya bergayut di leherku manja.
“Gak khawatir dibilang selingkuh?” tanyaku menggodanya dengan menowel hidung bangirnya. Ia turun dari pelukanku.
“Selama dia gak tau... kupikir tak apa-apa, sih? Kita nikmati aja, yah? Jangan ingatin tentang Valdo lagi sekarang...” pintanya. Dikalungkannya tangannya ke leherku dan dadanya menekanku.
“Jadi seperti biasa?” tawarku dan memeluk pinggangnya.
“Pokoknya yang asik-asik, deh? Sama Satria pasti jaminan mutu asiknya... Yaaa? Mpphh...” katanya lalu melumat bibirku dengan mudah karena tinggi kami sejajar.
--------​
Untuk menemukan Fantina yang terakhir, aku merasa perlu mengerahkan XOXAM dengan kemampuan THIRD EYE-nya. XOXAM berkeliling pulau Airtas dari udara dan aku di darat.
Tak lama XOXAM melaporkan kalau ia menemukan Fantina ada di sebelah Barat Daya pulau. Ia sedang duduk di sebuah batu karang di tepian pantai dan memandangi lautan—menunggu untuk ditemukan.
Saat aku tiba di sana, ia sudah tidak ada di karang itu karena ia berenang ke laut sebentar dan aku menunggunya, duduk di karang itu. Fantina tak lama muncul ke permukaan dalam keadaan basah kuyup dari berenang bugilnya. Perlahan ia berjalan menghampiriku dengan air laut masih menetes dari rambut panjangnya, lengannya, pinggulnya dan seluruh tubuhnya. Erotis sekali memang.
“Fantina... Ketemu...” ujarku begitu ia mencapaiku.

Fantina Gorin
“Kukira akan lama kau menemukanku sehingga aku menghabiskan waktu dengan berenang sebentar...” katanya lalu tanpa ba-bi-bu duduk ke pangkuanku. Aroma air laut yang segar menyeruak. Titik-titik air masih menempel di tubuhnya.
“Fantina yang terakhir...” kataku saat wajahnya mendekat dan ujung hidung kami bertemu. Ia hanya menggesekkan tepi bibirnya ke bibirku. Mata kami saling berpandangan lekat. Mata coklatnya sangat terlihat bagus malam ini.
Lalu kami berciuman.
--------​
Aya kugenjot bertubi-tubi di atas sofa di depan api unggun yang berkobar-kobar. Adik dari Jessie ini melenguh-lenguh keenakan kala tubuh remajanya kujejali penisku dengan posisi menyamping. Sebelah kakinya diangkat lebar dan kupompa dari belakang selagi dadanya juga kuremas-remas. Lehernya juga kujilat-jilat melengkapi serangan full body contact ini.
Tak jauh dari sana, di dalam shower box di depan villa, Nining juga kugenjot ala doggy style. Pantat semoknya kupegangi kala kugenjot vaginanya dari belakang. Ia merapatkan tubuhnya ke dinding ruang shower ini dengan air mengucur pelan dari shower di atas kami. Pantatnya melengkung indah dan sesekali dadanya yang menggantung kupermainkan juga. Jeritan-jeritan keenakannya sangat terdengar jelas ditingkahi gemericik air di dalam shower box ini.
Di dalam dapur, di atas meja makan aku berbaring dengan dua tangan menopang kepalaku, aku membiarkan A Fang menggoyangkan tubuhnya sesuka hatinya. Dengan penisku menancap dalam di vaginanya, ia terkadang menaik-turunkan badannya, kadang maju-mundur dan sesekali berputar-putar. Penisku mengaduk-aduk liang vaginanya. Ia menjilat sendiri puting dadanya yang kuikat dengan tali rafia sehingga lebih mencuat ke atas dari arah aslinya untuk melayaniku seutuhnya. Kedua tangannya yang terikat ke belakang punggungnya tak bisa ia gunakan. A Fang mendesis-desis keenakan tak terperikan dalam fantasi kesukaannya.
Di dalam kamar, Silva dan Silvi juga mendapat perlakuan yang sama dariku. Saat aku menusukkan penisku ke vagina Silva dengan pose misionaris di atas ranjang, aku juga melakukan hal sama pada Silvi di sampingnya. Kala kulepas penisku lalu menjilati bibir vagina Silvi, begitu juga dengan bibir vagina Silva. Saat kugenjot Silva dari belakang di jendela besar yang menuju balkon hingga dadanya rata di kaca, itu juga yang didapatkan Silvi. Pendeknya, apapun yang kulakukan pada Silva, tubuhku yang satunya juga melakukan hal yang persis sama pada Silvi. Keduanya sangat menyukai hal ini.
Di balkon, di atas kursi gantung rotan berbentuk sangkar telur itu, April memelukku erat sambil kami berciuman intens. Kakinya melingkar di pinggangku sembari penisku menusuk pelan-pelan ke kemaluannya hanya dengan gerakan perut sederhana saja. Sesekali kujilati lehernya tanpa menghentikan tusukan pelanku. Saat punggungnya melengkung, aku bermain dengan dadanya yang membusung indah. Dinginnya malam menjadi hangat dengan percintaan kami yang menggebu-gebu. April melenguh-lenguh puas tiap gerakan yang kulakukan.
Duduk bersandar di sudut sofa panjang di halaman belakang villa, hanya diterangi lampu taman yang redup, kugenjot Jessie perlahan juga agar ia bisa menikmati tiap detik sentuhanku. Sesekali kami berciuman saling melumat bibir. Diremas-remasnya pantatku dengan gemas saat penisku menusuk dalam sampai mentok ke mulut rahimnya. Kupuji dadanya yang berguncang indah dengan puting merahnya yang mengeras. Wajahnya semakin merah karena nafsu sebagaimana dadanya dan lehernya. Kujilati dada dan lehernya yang berkeringat. Kakak kandung Aya ini merintih keenakan.
Hutan kelapa yang tak sebegitu lebat di belakang villa menjadi lokasi pergumulanku dengan calon istri Valdo; Dellayani. Dengan berdiri satu kaki di atas batu dan lainnya di tanah, kugasak vaginanya dengan sedikit kaki menekuk. Bercucuran cairan vagina Della kusenggamai begini ke atas semak-semak. Kuperhatikan betul ekspresi wajah terangsangnya yang terlihat indah di kegelapan ini. Ia mendesah-desah tanpa ampun. Kupeluk pinggangnya erat dan kupompa kemaluannya dengan beberapa variasi kecepatan. Dadanya yang besar itu berguncang mengayun-ayun menggemaskan.
Di atas rerumputan tak jauh dari pantai, aku menggumuli tubuh seksi Fantina. Tak perduli pasir yang menempel, kugasak vaginanya yang panas. Diremas-remasnya rambutku karena nikmat yang dirasakannya. Selagi kupompa kemaluannya, bibirku menyedot sebelah puting dadanya. Rintihan kenikmatannya seolah menyatu dengan deburan ombak di sekitar kami. Tak lama tubuhnya berkelojotan didera orgasme dahsyat bak badai. Penisku terasa diremas-remas di dalam liang cintanya. Memaksa bibitku untuk segera membanjiri peranakannya.
Terdengar jeritan lirih penuh kenikmatan dari penjuru pulau Airtas bagian depan di dekat teluk. Sahut-menyahut seolah saling berlomba siapa yang mendapatkan kenikmatan paling tinggi. Rauman histeris kala dilanda serangan nikmat surga duniawi yang tak akan habis direguk. Aya, Nining, A Fang, Silva, Silvi, April, Jessie, Della dan Fantina meregang mendapat puncak kenikmatan seksual yang kuberikan.
Tak berakhir, cukup sampai disitu saja, aku melanjutkan permainanku. Mereka puas dan tak protes kalau kulanjutkan. Kalian semua juga harus memuaskanku sampai tetes terakhir. Tak tanggung-tanggung kala semua, kesembilan perempuan cantik dan seksi menggairahkan itu kugarap sekaligus dalam waktu bersamaan.
Aku seperti gila akan kenikmatan saat kulepaskan lahar kental panas penuh bibitku yang tak jelas bisa membuahi indung telur wanita itu ke rahim mereka semua. Aku meraung penuh kepuasan kala semburan-semburan kencang memenuhi rahim mereka semua.
Nikmat sekali...
--------​
Saat mereka menggandengku kembali ke pantai dimana api unggun besar itu masih berkobar, untuk beberapa saat ada kecanggungan aneh karena ada sembilan pria kembar telanjang yang persis sama di pantai ini. Penis lunglai yang belum kunjung mengecil, menggantungnya juga sama persis. Postur tubuh yang juga sama persis. Semua tubuh pengandaanku dengan DOUBLE BEOWULF berkumpul di satu tempat.
“Wow... Jadi beneran ada sembilan Satria sekarang, ya?” kaget Aya yang masih duduk mengangkang di atas sofa, membersihkan vaginanya dari sisa spermaku. Aku baru menjelaskan masalah ini padanya.
“Supaya adil, kan?” kataku lalu menghentikan penggunaan kekuatan khusus BEOWULF itu dan penggandaanku menghilang dan tinggal tubuh awalku yang dari tadi bersama Aya. Semua mengalihkan pandangan dari tubuhku yang ada di samping mereka ke tubuhku yang ada di dekat api unggun. Ini memang cukup ajaib.
“Wow! Satria! Itu keren sekali!” seru A Fang dengan wajah sumringah penuh kekaguman. “Seberapa banyak kau bisa membuat tubuhmu dengan cara itu?” tanya A Fang lalu mendekat sebagaimana yang lainnya juga.
“Teorinya sih gak terbatas... Aku pernah buat sampai ribuan tubuh penggandaan, kok...” kataku jujur aja. Bukan maksud menyombongkan diri juga.
“Itu pake GEMINI kami, kan?” kata Silvi ingat. Ia dan Silva saling mengangguk dengan mata berbinar.
“Mirip dengan MULTIPLICITY GEMINI kalian, Sil... Silvi... Silva... Tapi ini namanya DOUBLE... Setiap aku menggandakan diriku... penggandaan itupun bisa menggandakan diri lagi... Trus menerus sampai banyak...” jelasku pada keduanya termasuk yang lain juga.
“Bayangkan kalau kesembilan Satria tadi ngecrot bersamaan padaku... Wuih... Mandi Bukkake aku pastinya...” khayal A Fang mengelus-elus lehernya seolah-olah ada banyak cairan kental mengalir dari wajah ke tubuhnya.
“Apaan Bukkake?” heran Nining. “Di bukain, ya?” katanya yang mengira itu bahasa Jawa yang tak pernah didengarnya.
“Enakan di elu aja... Kami juga mau, keleus...” kata April meleletkan lidahnya pada A Fang.
“Kalau masuk dua-duanya gimana ya rasanya?” kata Della mengelus vagina dan pantatnya berbarengan.
“Aku pesan Satria tiga!” kata Nining mengacungkan tiga jari seolah memesan bakso saja di gerobak penjualnya. “Satu di sini...” tunjuknya pada vaginanya, “dan dua di tangan...” katanya mungkin sudah membayangkan apa yang akan dilakukannya. Wah! Kenapa Nining jadi binal begini? Apa pengaruh alkohol? Aku gak pernah ngajak dia minum-minum sebelumnya.
“Aku juga tiga!” seru mereka semua seperti memborong belanjaan obral di pinggir jalan. Berebutan dengan ganas dan berenergi tinggi. Tiga jari kulihat ada di mana-mana. Ada puluhan mungkin.
Apa yang sudah merasuki mereka semua malam ini? Apakah semata karena pengaruh alkohol saja. Apa ini hasil arisan rutin mereka? Della nih pasti yang punya kerjaan... Keinginan liar yang diwujudkan dari mimpi-mimpi terdalam? Rata mereka semua meminta hal yang sama.
“Fiuhh... Masing-masing tiga aja, ya?” kataku pasrah. Ini akan jadi malam yang sangat berat. Untung saja stamina DOUBLE itu masing-masing individu sama rata. Jadi tiap penggandaaku akan memiliki stamina yang sama persis seperti yang kumiliki saat ini.
Jadilah di pantai ini terjadi pesta orgy seks. Puluhan tubuh lelaki (27 pria tepatnya karena tiap satu dari 9 perempuan mendapat 3 pria) menggilir sembilan perempuan yang dengan hausnya menerima apapun yang diberikan para pria itu. Pesta terliar yang pernah kuhadiri. Aku tidak tau apa yang telah kulakukan pada mereka semua. Pengaruh burukkah yang kuberikan pada mereka?
Della mendapat keinginannya untuk mencoba merasakan bagaimana rasanya kalau anus dan vaginanya ditusuk bersamaan oleh dua penis (diriku) sekaligus. Menusuk simultan dari depan dan belakangnya dengan posisi berdiri. Yang ketiga berciuman dengannya dari samping.
Gaya yang digagas Nining yang paling banyak ditiru. Satu penis menusuk memompa kemaluannya dengan berbaring di pasir, sementara Nining yang sedang berjongkok dengan dua penis (diriku) lainnya yang ia kocok dengan tangan dan disedot dengan mulut. Terhitung April, Fantina, dan Jessie memakai cara yang sama sebagai variasi.
Aya membuat tubuhnya dibopong pada lengannya oleh dua pria (diriku) dengan kaki dilebarkan lalu pria ketiga mengenjotnya selagi ia berciuman bergantian dengan ketiganya.
Silva dan Silvi menjejerkan enam pria itu berbaris beradu bahu lalu menyedot keenam penis tegang itu bergantian seperti bermain alat musik tiup berderet. Lalu menggoda mereka semua dengan menggesek-gesekkan kepala penis itu satu sama lain pada pria (diriku) di sampingnya. Keduanya tertawa-tawa geli. Kemudian menggesekkan penis secara acak pada kemaluan mereka sendiri sebelum memasukkannya dengan cara menungging.
A Fang dijepit tiga pria yang mendesakkan tiga penis mereka ke mulutnya. Bergantian ia meng-oral ketiga penis identik itu sebaik-baiknya. Saat satu penis pria (diriku) dikocok dalam mulutnya ia akan mengocok dua penis pria lainnya dengan kedua tangannya.
--------​
Berpindah berbaring di sofa, Della masih di-sandwich dua pria yang masih menikmati anus dan vaginanya sekaligus. Pria (diriku) ketiga memompa mulutnya yang sibuk bernafas dan menelan penis. Anusnya semakin terbiasa menerima penis di dalamnya sebagaimana vaginanya menikmati seks. Pastinya Dellayani sangat puas malam ini.
Beberapa tikar pantai digelar di atas pasir dimana Nining, April, Fantina dan Jessie masih menikmati tiga pria yang bergantian menggarap mereka. Kala vagina mereka dijejali satu penis (diriku) sambil berbaring telentang dua pria lainnya menyodorkan penis mereka untuk disedot atau dikocok bergantian.
Tubuh Aya ditahan menungging oleh dua pria yang mengangsurkan penis-penis mereka untuk di-oral dan satu pria (diriku) lainnya masih memompanya dari belakang. Pantatnya diremas-remas dengan gemas.
Silva dan Silvi menungging bertumpu pada bagian belakang sofa saat keenam pria (diriku) itu bergiliran membuat antrian menggenjot keduanya. Dengan patuh terkadang mereka menurut kalau disuruh menjilati beceknya sisa orgasme keduanya lalu dicoblos lagi dengan ganas.
A Fang masih dengan patuh dan puas-puas saja meng-oral tiga penis pria itu. Sepertinya masih akan lama waktunya untuk ketiga pria itu untuk ejakulasi Bukkake yang diinginkan A Fang. Terkadang ketiga penis (diriku) itu dijajarkan dan dijilatinya sekaligus sekali sapuan lidah.
Teriakan-teriakan keenakan silih berganti sampai riuh sekali pantai ini. Rintihan keenakan kala mereka menikmati liang-liang mereka ditusuk berulang-ulang oleh penis. Jerit manja kala dibalik untuk posisi dan gaya baru bercinta. Lenguhan pasrah kala mendapat terjangan orgasme tetapi tetap digenjot tanpa henti.
Panas yang ditimbulkan mungkin sudah sebanding dengan besarnya panas yang dihasilkan api unggun itu. Semua tubuh berkeringat deras dan terus saling memuaskan malam ini.
--------​
Dua pria yang mengaduk-aduk anus dan vagina Della akhirnya muncrat di lubang bagian mereka. Begitu juga dengan pria satunya yang memperkosa mulutnya. Ketiganya sudah selesai. Della berbaring lemas dengan mata terpejam di atas sofa dengan kaki terbuka lebar dan tiga liangnya berlumuran sperma.
Begitu juga dengan Nining, April, Fantina dan Jessie. Ketiga pria masing-masing bagian itu bergantian menyemprotkan sperma mereka di dalam liang vagina keempat perempuan ini. Luber dari dalam rahim mereka sampai menggenang di atas tikar. Keempatnya terkapar lemas menikmati sisa kenikmatan yang masih menggelitiki sekujur tubuh mereka.
Persis sama, Silva dan Silvi juga mendapat perlakuan sama. Ketiga pria bagian mereka menyemburkan lahar cintanya ke dalam vagina mungil keduanya. Sampai meleleh ke betis sperma kental selagi mereka ambruk di atas sandaran belakang sofa.
A Fang mendapat shower Bukkake impiannya. Mendapat semburan sperma dari tiga pria sungguh membuatnya terangsang gila sampai orgasme hanya dengan jarinya. Wajah, rambut, leher dan sebagian dadanya berlepotan sperma kental. Diratakannya cairan kental itu di mukanya, dijilatinya lalu dilumerinya di dalam vaginanya yang basah.
Kubaringkan A Fang di atas tikar bersama Nining yang masih terlentang. Kugempur vaginanya sendirian saja karena 26 pria penggandaanku itu sudah kutarik. Tinggal A Fang saja yang melenguh-lenguh keenakan karena belum kusirami sperma hangatku di pantai malam ini di dalam liang vaginanya.
Nining bangkit dan berinisiatif menjilati dada A Fang yang berlumuran spermaku. Dengan nakal Nining mengerling padaku yang masih dengan semangat memompa kemaluan A Fang. Dada A Fang diremas-remasnya dengan kuat sampai memerah.
Mendapat dua serangan seperti itu, A Fang menarik tubuh Nining agar memposisikan tubuhnya menindih kepalanya. Menjejali mukanya dengan vaginanya yang masih penuh spermaku.
Nining melenguh keenakan dan tubuhnya gemetar kala vaginanya disedot-sedot kuat A Fang untuk menguras spermaku yang bercokol dalam liang itu. Lidahnya menyeruak masuk ke dalam liang kemaluan Nining dengan lihainya. A Fang berubah menjadi alat penyedot spermaku malam ini. Ia tak cepat puas hanya dengan Nining saja. Bahkan ia tidak sungkan menyedot anus Della untuk mengeluarkan sisa spermaku dari sana. Fantina, Jessie, Aya, Silva, Silvi, dan juga April memanfaatkan hobi baru aneh teman mereka ini dengan senang hati.
Selesai dengan mereka, kusemprotkan spermaku ke dalam vagina A Fang sedalam-dalamnya. Kuhentakkan kuat tubuhku agar spermaku tak perlu mengalir keluar lagi sama sekali dari dalam sana. Alhasil, A Fang orgasme mendapat perlakuan kasar seperti itu. Tubuhnya berkelojotan kejang. Lalu lemas.
Kami semua berbaring sekenanya di atas tikar yang tadi dipakai. Tubuh-tubuh telanjang penuh peluh dan penat akibat memacu nafsu kini tampak menyatu dengan alam. Pasir dan api unggun bersama deburan ombak memecah sepi.
Beberapa dari mereka memejamkan mata kelelahan dan beberapa lagi melamun memandang bintang. Aku hanya menikmati pemandangan indah. Payudara yang menggunung lembut, bibir kemaluan yang merekah merah lagi basah, wajah cantik penuh kepuasan, tubuh indah dan menawan penuh energi.
“Apakah kalian bahagia begini...?” bisikku lirih saja sambil menatap langit yang bertabur bintang di langit yang cerah. Mereka tak perlu dengar. Cukup para bintang yang dengar.
Entah siapa yang mulai, mereka semua beringsut mendekat padaku, memanjat tubuhku dan berbaring di sekitarku. Pokoknya ada saja bagian tubuh mereka yang kena menyentuh kulitku.
Ada beberapa pasang dada di bagian wajahku. Kalau kutilik dari bentuknya adalah milik Fantina, Della, dan Nining. Silva dan Silvi mengapit igaku di kanan dan kiri. Aya menjadikan lengan kananku sebagai bantal sedang lengan kiriku oleh April. Kepala Jessie bertumpu tidur di atas perutku. Dan A Fang memeluk kedua kakiku.
Apa begini rasanya punya harem itu, ya? Dikelilingi banyak perempuan cantik setiap hari sebagai pemuas syahwatmu. Perempuan-perempuan yang rela kau perlakukan apa saja. Cantik dan menawan. Bertubuh aduhai...
Dan... sialnya penis sialanku itu bangun lagi menunjuk langit. Mudah-mudahan mereka semua sudah tidur dan tidak mengetahuinya...
Happy Valentine’s Day semua...
 
side quest#11 ini kelar sudah. yg di halaman sebelumnya juga udah ane perbaiki tanda bacanya.
panjang ya? cuma karena ini side quest harus dikelarin segimanapun panjangnya. mungkin ada setengah dari satu quest utama.
pertanyaan ttg harem mungkin sedikit dijawab disini. (agan omhtaewong)
berikutnya Quest#12: Pisces yg yerakhir.
senin ya. tungguin.
 
side quest#11 ini kelar sudah. yg di halaman sebelumnya juga udah ane perbaiki tanda bacanya.
panjang ya? cuma karena ini side quest harus dikelarin segimanapun panjangnya. mungkin ada setengah dari satu quest utama.
pertanyaan ttg harem mungkin sedikit dijawab disini. (agan omhtaewong)
berikutnya Quest#12: Pisces yg yerakhir.
senin ya. tungguin.

Makasih banyak updatenya panjaaaaang bgt,dan penjelasanya. walpn past menimbulkan pertanyaan lagi.
anteng deh nunggu senin,side quest yg ini keren, mg suhu sehat selalu, bisa nyempetin ngetik kaya gini,:mantap:pasti di tungguin lanjutanya​
 
Ini side quest yg paling panjang yg pernah saya baca, kalo dari scene pembicaraannya satria sama abah zia sepertinya cuma carrie yg bisa netralkan virus itu (pendapat saya ya suhu)
 
Baru selesai baca nya Dari jam 21:35-01:11

Sambil Denger lagu asyiik Baca nya
 
Bimabet
Thanks suhu atas udatenya. Aku bene bener gak sanggup untuk gak komen. Cerita ini dari awal fantastis banget menurutku. Mulai dari khayalannya yang tinggi banget, semua sisi kehidupan dimunculkan dengan unik, hingga kemampuan suhu dalam menulis scene sex bermacam-macam genre di setiap episode core-nya. Plot pun rapi, diksi mantap, dan juga aku salutnya, english conversationnya natural banget, aslii mirip banget gaya bahasanya dan gak kalah sama penutur asing. Kerennn suhu :D
mulai dr abis capricorn bhs inggris ditiadakan alias langsung terjemahan, seolah tak ada batasan bahasa lagi. abis capek ngetik trus diterjemahi. he he he. peace
Tapi aku khawatirnya satu suhu. Bukan bermaksud menggurui ya suhu. Aku hanya mengkhawatirkan banyaknya konflik yang ada di setiap pengambilan zodiac core. Apa Satria orangnya tegaan ya? Ya! Memang tega karena telah membuat banyak wanita mencintainya. Terus tega, karena sikapnya yang mungkin sedikit kejam. Ia kejam terhadap Michele padahal ia berniat berubah. Menurutku Michele pantas dimaafkan suhu tapi ya tergantung suhu sih hehe terus ia juga tega karena berutang penjelasan terhadap Ratu Vlasq dari dunia Mythral kerajaan Vanguarzh dan Leonny dari dunia kucing. Kalau bisa, ada side quest khusus agar mereka juga tau khususnya Ratu Vlasq karena secara kan ia juga membantu Satria dengan memberikan corenya. Yah setidaknya dibikin samalah dengan kisahnya L'Blenc dan Nyi Sukma. Satria jadi bebas keluar masuk dunia jin dan juga bisa dapat bala bantuan dengan adanya gelang ular naga
di tangannya. Hanya sekedar ide suhu, maafkan daku yang hina ini.
Satria terpaksa tega demi akhir tujuannya. mengenai bbrpa kisah yg masih menggantung bisa dibuat cerita baru nntinya di kelanjutan cerita. mungkin di bagian saga Q berikut yg masih dikonsep.
Tapi keseluruhan ceritanya mantap kok, fantastis seperti kataku tadi. Jangan terburu-buru ditamatin ya suhu. Pacar Putri blm ada, kan? Kisahnya Dewi ama Wira blm jelas, kan? xD Plus juga aku penasaran gimana nanti cara Satria untuk nemuin saudara Corenya, Beowulf yg katanya jika terkumpul bisa memanggil Core setara God Maester Core. Kan Shiny Gems udah ditau bentuk terakhirnya, Ophiuscus. Masa yang itu dibiarin suhu, kalau bisa kemunculannya dibikin kebetulan aja seperti sebelum-sebelumnya sewaktu satria ngedapat core istimewa lain dari cewek selain sang empunya Zodiac Core. Hanya saran kok suhu ;) Nah intinya, jng trbebani ya suhu. Kami rela nunggu untuk sebuah karya fantastis, karena it worths a wait :) Teruskan berkarya suhu hingga akhir dan akhiri dengan meninggalkan kesan dan tentunya tanpa ada masalah lagi untuk Satria xD Tadi semua itu segala pujian, ide, saran, pendapat, kritik, dan lainnya. Yah itung-itung karena aku baru nongol disini xD Maaf kepanjangan suhu, jangan ditabokin ya hehe Maafkan newbie telah lancang :) Semangaatttt suhu, i'll wait you!

sama kyak yg diatas. di Quest ada banyak clue dan misteri yg masih belum terungkap yg bisa memberi plot hole yg bisa dieksplorasi dan dikembangkan.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd