Ayo, Jess... Main! kata Fantina percaya diri karena sudah menang sekali dariku dan lawannya ini mabuk.
Ayo... kata Jessie dan mengacungkan tangannya yang terkepal.
Batu-Gunting-Kertas! seru mereka berdua bersamaan.
Fantina Kertas vs. Jessie Gunting. 0-1.
Batu-Gunting-Kertas!
Fantina Gunting vs. Jessie Batu. 0-2.
Batu-Gunting-Kertas!
Fantina Batu vs. Jessie Kertas. 0-3. Hasil akhir: Jessie menang.
Yah... Masa kalah sama yang mabuk, sih... keluh Fantina kecewa tak bisa melaksanakan rencananya pada Jessie.
Yee... Menang... Fantina... sana ngentot lagi sama Satria... instruksi Jessie sebagai pemenang. Perintahnya memang tidak masuk akal karena tak ada keuntungan untuknya sama sekali.
Beneran? kaget Fantina sekaligus senang. Ia beralih padaku dan langsung melorotkan CD bikininya lagi lalu menungging bertumpu pada sofa dimana ia biasa duduk. Satria... Ayo...
Yaa... Masak lagi, sih? Kenapa aku yang dibawa-bawa, sih? protesku. Permainan pertama aku kalah, aku terima. Ini aku sama sekali tidak ada hubungannya.
Perintah pemenang... Ayo... Fuck aku lagi... kata Fantina tidak perduli. Digosok-gosoknya bibir vaginanya sendiri sebagai ransangan pembuka.
Kujejalkan lagi penisku yang memang masih tegang itu ke belahan vagina Fantina yang sangat menggoda. Rasanya memang sangat enak. Tubuh perubahan Anna menjadi sekretaris di kantor mamaku ini sangat legit dan menggairahkan. Tinggi langsing dan singset.
Kembali Fantina menjerit-jerit keenakan liang senggamanya kupompa cepat dengan serangan penisku. Dadanya kuremas-remas gemas sebagai tambahan. Kupegang erat pinggang rampingnya kala kupercepat kocokanku karena aku sepertinya akan segera ejakulasi.
Kupeluk erat tubuh Fantina saat perutku menekan erat bongkahan semok pantat Fantina. Semburan kencang spermaku menyembur masuk ke vaginanya. Perempuan itu meraung panjang merasakan rahimnya disemprot cairan kental hangat penuh bibit penerusku yang tak pernah menjadi nyata.
Fantina kembali ambruk di atas sofa dengan nafas tersengal-sengal. Aku sampai harus berpegangan pada pegangan sofa untuk kembali ke sofa tunggalku. Masih terasa enak saat penisku kukembalikan ke tempat persembunyiannya.
Hei... hei... Bangun! seru Jessie membalik tubuh Fantina yang masih berbaring lemas di atas sofa. Lututnya di atas pasir dan kakinya terbuka lebar; menungging. Dibalik begitu, ia jadi berbaring menelentang dengan vagina berlepotan sperma kental.
Enak banget, Jess... lenguhnya kala vaginanya diobok-obok Jessie untuk menguras sperma yang bercokol di dalam liang senggamanya. Jessie menampung ceceran spermaku di jarinya lalu menjilatinya.
Sana, gih... main lagi sama yang lain... kata Jessie mengingatkan Fantina kalau tantangan Dare yang kuberikan padanya belum selesai. Ditariknya tangan Fantina agar bangkit lalu di dorongnya agar bergerak menuju sofa yang diduduki April, A Fang dan Nining. Sembari berjalan, dirapikannya CD bikininya.
Yuk? katanya begitu sampai di depan April. Tangannya yang dikepal mengacung.
Batu-Gunting-Kertas! kata keduanya bersamaan.
Fantina Kertas vs. April Batu. 1-0.
Batu-Gunting-Kertas!
Fantina Kertas vs. April Kertas. 1-0.
Batu-Gunting-Kertas!
Fantina Batu vs. April Gunting. 2-0.
Batu-Gunting-Kertas!
Fantina Kertas vs. April Batu. 3-0. Hasil akhir: Fantina menang.
Yuhuuu... Menang lagi... serunya senang sekali. Ia kembali berlari berkeliling. Selebrasi pembobolan gawang lawan. Saat ia lewat di depan sofa-ku, ia melompat ke pangkuanku. The winner have the fuck again! katanya memposisikan tubuhnya agar tepat di pangkuanku.
Eh... Apa-apaan sih... Kok ke aku terus, sih? Itu anuin si April aja... protesku kembali.
Diam-diam aja, Sat... Nikmati, OK? katanya merogoh isi celana boxer-ku dan mengeluarkan batang penisku yang belum lemas betul. Mendapat sentuhan tangan Fantina, ia menggeliat bangun.
Hmmm... desahnya begitu batang penisku menelusup masuk kembali ke dalam liang vaginanya yang masih becek dan lengket dengan spermaku sebelumnya tanpa melepas CD bikininya, cukup diselipkan ke tepi. Hangat sekali.
Dikeluarkannya kedua payudara 36C miliknya dan disumpalkannya ke mulutku agar berhenti protes selagi ia memompakan badannya naik turun. Penisku terbenam sempurna di dalam kemaluannya. Enak sekali.
Aku heran... kenapa mereka semua membiarkan ini semua terjadi? Apa ada sesuatu yang mereka sepakati sebelumnya? Aku tidak bisa berpikir panjang karena sumpalan dada montok Fantina di mulutku dan kenikmatan luar biasa di selangkanganku. Kehangatan liang cinta Fantina bergerak ritmis mengurut batang penisku naik-turun. Suara kecipak becek kelamin kami seperti mengalahkan debur lemah ombak di pantai dan derak kayu yang terbakar di api unggun yang hangat.
Aah... AAhh... AAAHH! seru Fantina tak kuasa menahan lagi kala kubantu gerakan memompanya dengan kocokan cepat. Selangkanganku memompa cepat dan hasilnya Fantina mendapat orgasme kembali. Dirangkulnya leherku erat-erat. Nafas hangatnya menerpa tengkukku. Aku merasakan kedutan-kedutan di liang vaginanya; sisa orgasmenya. Deburan jantungnya yang bertalu-talu.
Main lagi... katanya lunglai tapi dipaksakannya menjejak pasir pantai dan berjalan sempoyongan kembali ke arah A Fang.
A Fang... Main lagi? tangannya mengacung ke depan mengajak main Batu-Gunting-Kertas lagi. A Fang meladeni.
Batu-Gunting-Kertas! seru keduanya.
Fantina Gunting vs. A Fang Gunting. 0-0.
Batu-Gunting-Kertas!
Fantina Kertas vs. A Fang Gunting. 0-1.
Batu-Gunting-Kertas!
Fantina Batu vs. A Fang Kertas. 0-2. Hasil akhir: A Fang menang.
Yahh... Kalah... sesal Fantina dan menendang pasir.
Hei! Jangan bawa-bawa aku lagi! cegahku sebelum mereka melibatkanku lagi.
Ya... udah sana... Buat dirimu hamil sana... kata A Fang tak tahan dengan kalimat vulgar nan nakal ini. Mereka seperti tak memperdulikan protesku.
Wah! Asik... Bisa main sama Satria lagi, nih... kata Fantina yang ternyata sudah baikan lagi dari lemas orgasmenya tadi. Ia merogoh kemaluannya sendiri dan menggosoknya dengan nakal selagi berjalan mengarah padaku.
Ayo, Satria... Hamili aku... gumamnya sambil menarik tanganku agar bangkit dari sofa tunggalku. Gantian ia yang duduk bersandar dalam lalu meloloskan CD bikininya yang entah sudah berapa kali buka-pakai malam ini; tidak lepas dari tubuhnya melainkan diikatnya di betis kanannya. Bra bikininya ditepikannya hingga kedua dadanya mengacung bebas ke arahku. Kakinya dibukanya lebar-lebar, siap menyambutku.
Apa yang sudah kalian rencanakan? Apapun hasil Batu-Gunting-Kertas-nya selalu aku harus mengentotimu? kataku tak paham permainan mereka. Padahal aku yang membuat tantangannya.
Gak usah banyak cin-cong, Satria... Ayo sini... tarik Fantina dengan cara mengaitku dengan kedua tumitnya dan aku tertarik ke arahnya. Dipelorotkannya celana boxer-ku dan melompatlah penisku yang sudah menegang kembali melihat bukaan lezat vagina Fantina yang menggairahkan.
Aaahhhnn... Enak banget, Sat... Hamili aku, ya? katanya begitu penisku meluncur masuk dengan lancar. Licin dari sisa spermaku sebelumnya.
Kuciumi mukanya dan dadanya kuremas-remas gemas selagi pantatku memompa maju-mundur teratur. Kaki Fantina dilingkarkannya di pinggangku seolah tak rela melepasku. Kami berciuman bibir cukup lama.
Hamili aku, Sat... Semprot rahimku dengan spermamu... dengusnya berkali-kali. Siap menjadi ibu dari anakku? Itu ide yang sangat gila. Aku bisa-bisa saja memberikannya spermaku sebanyak dan sesering yang ia mau tapi aku tidak bisa menjamin kalau ia bisa hamil dengan bibit dariku.
Benar saja, kuberikan keinginannya; yaitu limpahan sperma di dalam rahimnya. Lahar panas kentalku menyembur deras dan memenuhi rahimnya yang menampung untuk bertemu dengan sel telurnya.
Apakah ini masa subur ovulasi-nya?
Oohh... ohh... hhh... desahnya saat tiap semburan ejakulasiku, tubuhnya ikut bergetar. Nikmat sekali, Satria... katanya lagi tanpa mau melonggarkan betotan kakinya di pinggangku. Perutku masih menekan selangkangannya. Penisku berkedut-kedut karena liang senggama Fantina meremas-remasnya seolah menguras semua cairan tubuhku.
Aku menunduk dan mengecup bibirnya. Gerakan sederhana itu bisa melepas kakinya dari pinggangku. Aku terlepas dari cengkramannya.
Fantina menangkupkan telapak tangannya ke vaginanya seolah khawatir spermaku akan mengucur keluar. Ia bangkit dan berjalan susah payah ke arah A Fang. Perempuan bermata sipit itu terlihat sangat berbinar-binar seperti mendapat jackpot jutaan rupiah.
Kemudian kami semua disuguhi pemandangan yang aneh; mungkin untukku saja. A Fang duduk berjongkok bersandar pada bagian bawah sofa sementara Fantina mengangkat sebelah kakinya menjejak pada bahu A Fang. Telapak tangan yang menutupi vaginanya dibuka dan tak ayal lagi cairan kental yang terkumpul di dalam sana mengalir keluar. Tanpa ragu A Fang menampungnya di dalam mulutnya bak menantikan air hujan yang lama tak turun membasahi dahaga bumi yang kering. Lidahnya bermain-main dengan kentalnya cairan sperma itu lalu menelannya dengan ekspresi sangat puas.
Tak cukup begitu, ia menjilati vagina Fantina dengan rakus hingga benar-benar bersih. Disedotnya lubang senggama Fantina, lidahnya menyeruak masuk, tangan yang berlepotan juga dijilatinya hingga bersih. Erotis sekali.
Main lagi... kata Fantina di depan Nining. A Fang membersihkan pasir yang menempel di bahu kirinya; bekas dipijak Fantina tadi.
Batu-Gunting-Kertas! seru keduanya.
Fantina Kertas vs. Nining Gunting. 0-1.
Batu-Gunting-Kertas!
Fantina Kertas vs. Nining Batu. 1-1.
Batu-Gunting-Kertas!
Fantina Gunting vs. Nining Gunting. 1-1.
Batu-Gunting-Kertas!
Fantina Batu vs. Nining Kertas. 2-1. Hasil akhir: Nining menang.
Aduh... Kalah lagi... seru Fantina terdengar kecewa. Tunggu dulu! Ia terdengar kecewa tetapi aku tidak melihatnya jelas karena jarak dan gangguan sinar api unggun yang masih membumbung tinggi. Ini selalu terjadi. Pasti ada apa-apanya, nih.
Sana puaskan dirimu sampek mluber... kata Nining memberi perintah kemenangannya. Mereka tertawa-tawa geli mendengar kata-kata Nining barusan.
Yippi... girang Fantina lalu berlari kembali ke arahku. Satria... Puaskan aku sampek luberrrr... serunya riang sekali. Dadanya yang tak berbungkus mengayun-ayun liar karena larinya sangat kekanakan.
Hup! dan ia sudah melompat dan duduk di pangkuanku dengan kaki mengangkang. Bibir kemaluannya yang membuka menodai kain bahan celana boxer-ku dengan cairan yang masih membasahi vaginanya; campuran spermaku, ludah A Fang dan cairan pelumasnya sendiri.
Tanpa rasa berdosa, dirogohnya kembali penisku keluar dari persembunyiannya dan celakanya ia masih cukup tegang. Fantina hanya perlu sedikit merangsangnya hingga ereksi maksimal dan menjebloskannya kembali ke perangkap lubang mautnya.
Aauhh... auuhhmm... oohhss... desahnya saat menggoyang tubuhnya naik turun dalam posisi berjongkok. Penisku menghunjam dalam ke liang senggamanya. Pantat Fantina yang montok beradu dengan pangkal pahaku. Teplok-teplok-teplok begitu bunyinya.
Satriaaa... Aaahh... Saaatt... keluhnya tak jelas. Ia mendesah-desah menikmati seks ini sambil menatap langit. Seolah bersukur kalau ada yang menciptakan seks senikmat ini untuk bisa dinikmatinya.
AAAHHhh! serunya terkejat-kejat seperti ayan. Jarinya mencengkram kulit lenganku dengan kuat. Pangkal penisku dikatup erat otot vaginanya kala orgasmenya melanda. Fantina ambruk di samping leherku. Dadanya tergencet di bawah daguku.
Fantina melepaskan penisku yang masih mengacung tegang dari dalam liangnya dengan mudah. Tetapi sekujur batang kemaluanku lalu digesek-gesekkannya ke belahan vagina dan pantatnyamemberiku godaan lalu turun dari pangkuanku. Kecupan ringan mendarat di pipiku.
Main lagi... katanya di hadapan Aya.
Batu-Gunting-Kertas! seru keduanya.
Fantina Batu vs. Aya Kertas. 0-1.
Batu-Gunting-Kertas!
Fantina Gunting vs. Aya Batu. 0-2.
Waduh kalah lagi... Kalah telak! sungut Fantina tetap tidak terlihat ekspresinya. Aku tidak akan tahu kalau mereka main mata di sana atau tertawa tak bersuara sama sekali. Aku hanya bisa pasrah. Penisku yang masih tegang-pun tak kumasukkan ke dalam boxer. Kukocok perlahan agar tetap tegang. Masih ada rasa lengket dari cairan vagina Fantina yang tertinggal.
Apa, ya? kata Aya berpikir sejenak untuk perintah kemenangannya. Senang-senang aja sama Satria aja, deh di sana... katanya lanjut menunjuk padaku. Sudah kuprediksi. Ini memang permainan mereka. Permainan Batu-Gunting-Kertas-nya benar, tetapi apapun hasilnya Fantina tetap akan bercinta denganku. Entah kenapa hanya dia yang dapat keistimewaan ini?
Asik-asik! seru Fantina gembira tak berkurang. Ia segera menghampiriku dan demi melihat penisku masih mengacung tegang, ia jongkok dan menghadapi kemaluanku dengan wajahnya.
Tak lama penisku sudah jadi mainan mulut dan tangannya. Ia mencoba memasukkan penisku sedalam mungkin ke dalam mulutnya. Lidahnya dijulurkan keluar dan hasilnya kepala penisku mentok menyentuh tenggorokannya. Fantina terbatuk kecil saat penisku lepas dari mulutnya. Lalu ia mencoba menggesek penisku di bagian dalam pipinya dan terus menyedot. Rasanya cukup enak.
Puas begitu, Fantina berdiri membelakangiku. Kakinya rapat dan menurunkan badannya ke arah penisku yang masih mengacung berkilat-kilat oleh liurnya.
Saat kepala penisku membentur bagian bawah pantatnya, Fantina mengkoreksi posisinya dan berhasil menyelip di antara bibir vaginanya yang rapat.
Mmmm... desahnya merasakan gesekan maksimal karena jepitan vaginanya yang ditembus penisku yang cukup besar ini. Rasanya enak banget walaupun tidak masuk seluruhnya. Rasanya seperti memasuki vagina perawan yang peret banget. Fantina sampai harus berpegangan pada lututnya saat menurunkan badannya ke arahku. Naik lagi-turun lagi. Gesekannya luar biasa dahsyat. Mungkin bisa-bisa aku nembak lagi dengan teknik luar biasa ini.
Oaahhh! seru Fantina yang tak kuat lagi. Dilebarkannya kakinya hingga penisku masuk amblas dan ia duduk di pangkuanku. Tanganku menelusup ke bawah dan memegang kedua pantatnya yang sekal. Sedikit penyesuaian dan aku mulai memompa vagina Fantina lagi.
Ahh... ahh... aahh! jeritnya merintih-rintih keenakan saatku kukocok penisku dengan berbagai variasi kecepatan. Kakinya juga kadang kukatupkan rapat agar kami bisa merasakan sempitnya ruang gesek itu lagi.
Satriaaa... Saattrriiaaaaa.... AAHhh! Ahh... aaahh... jeritnya histeris. Tubuhnya berkelojotan di atas tubuhku. Penisku sampai lepas dari liang senggamanya yang sedang orgasme sangking liarnya.
Kuelus-elus kedua pangkal pahanya kala Fantina bernafas berat terputus-putus. Terasa sangat hangat.
Enak banget, Satria... hanya itu yang bisa dikatakannya dan mengecup pipiku lalu bangkit lagi. Ia menuju ke arah Silva sekarang. Silva sudah mengacungkan tangannya, siap bermain.
Ayo main lagi! begitu Fantina sampai di sana.
Batu-Gunting-Kertas! seru keduanya.
Fantina Kertas vs. Silva Kertas. 0-0.
Batu-Gunting-Kertas!
Fantina Batu vs. Silva Batu. 0-0.
Batu-Gunting-Kertas!
Fantina Batu vs. Silva Kertas. 0-1.
Batu-Gunting-Kertas!
Fantina Gunting vs. Silva Batu. 0-2. Hasil akhir: Silva menang.
Waduh... Kalah empat kali berturut-turut, nih... kata Fantina kesal kalah lagi. Aku tambah bego, ya sekarang? sungutnya tanpa terlihat wajah.
Ayo menjerit-jerit sana lagi! Hibur kami dengan tayangan Live Action XXX yang seru! kata Silva dengan perintah kemenangan yang harus dilaksanakan pihak yang kalah; Fantina.
Baik... Satriaaaa! Ayo kita buat pilem bokep! serunya berlari balik padaku. Aku sudah tidak mau ambil pusing lagi. Ini kemungkinan besar adalah bagian keuntungan Fantina karena membawa kami semua ke pulau miliknya. Pulau Airtas ini adalah kepunyaannya dan mereka setuju membiarkannya menikmati aku sendirian saja.
Fantina menarikku bangkit dari sofa tunggal dan berdiri di tengah formasi sofa dan api unggun. Celana boxer-ku yang hanya kuturunkan sedikit agar penisku bisa keluar dilepasnya semua. Fantina mulai bermain kembali dengan penisku yang menegang keras. Dijilat-dikulum-dikocok-digesek ke dadanya. Kantung pelirku sekarang menjadi sasaran. Dimasukkannya kedua bola pelirku ke dalam mulutnya lalu disentil dengan lidahnya selagi ia terus mengocok penisku. Enak sekali.
Kemudian ia menungging di hadapanku dan bertumpu pada lututnya, kakinya dibuka lebar hingga belahan pantatnya terbuka lebar. Aku bisa melihat jelas lubang vaginanya menganga di bawah anusnya yang mengatup rapat.
Paham dengan maunya, kujejali lubang menggoda itu dengan penisku yang berkilat-kilat oleh liur. Masuk dengan lancar tanpa hambatan. Fantina melolong merasakan liang cintanya penuh oleh benda tumpul kerasku.
Kurengkuh pinggangnya dan mulai kupompa saja agar semua ini cepat berakhir. Setidaknya ada dua pemain lagi yang tertinggal; Silvi dan Della. Tanganku menyusup ke depan dan mempermainkan klitorisnya yang keras membengkak.
Perutku dan pantatnya bertepuk-tepuk akibat genjotanku. Kuayun tubuhku berkat panjang penisku yang sepanjang 20 cm ini hingga jarak kocokanku sangat maksimal untuk dinikmati. Gesekannya cukup terasa saat kubuat Fantina lebih merapatkan kakinya. Klitoris dan pentilnya kini jadi mainanku. Ia semakin meringis-ringis keenakan.
AAhh... Satria! Satriaaa! jeritnya mengalungkan tangannya ke belakang leherku untuk pegangan karena tubuhnya kembali berkelojotan nikmat karena orgasme kembali. Kakinya sempoyongan; bergetar tak sanggup menahan beban tubuhnya. Kudekap tubuhnya agar tak ambruk ke pasir.
Kuseret tubuh lemasnya ke sofa dimana Aya, Silva dan Silvi duduk. Ia akan bermain lagi dengan Silvi. Mereka sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku tentang permainan ini. Aku yakin sekali kalau ada permainan. Aku kembali ke sofa tunggalku masih dengan penis mengacung.
Wiuhh... Hot, gak? tanyanya pada Silva yang duduk di sampingnya.
Lumayan, deh... kata Silva acuh gak acuh.
Lanjut lagi!... Main, Silvi... katanya bangkit dan berdiri di depan SIlvi yang sudah mengacungkan tangan tanda permainan bisa dimulai kapan saja.
Batu-Gunting-Kertas! seru keduanya.
Fantina Kertas vs. Silvi Batu. 1-0.
Batu-Gunting-Kertas!
Fantina Kertas vs. Silvi Gunting. 1-1.
Batu-Gunting-Kertas!
Fantina Kertas vs. Silvi Gunting. 1-2. Hasil akhir: Silvi menang.
Waduh... Kalah lagi! Lima kali! serunya kesal. Aku yakin sekali ini sandiwara mereka. Lihat saja sampai mana permainan sandiwara ini berlangsung. Ia berlagak menghentakkan kakinya ke pasir.
Kah... kah... kah... Ayo main pilem lagi... Babak kedua... kata Silvi menunjuk ke arahku sebagai perintah kemenangannya.
Ayooo... Main pilem lagi... katanya lalu pergi mendatangiku kembali yang duduk bersandar dengan batang kemaluanku yang mengacung tegang. Kukocok-kocok pelan agar ia bermain dengan penisku dahulu.
Benar saja, Fantina langsung mencaplok penisku dan menelannya dalam. Ludahnya dibalurkan merata lalu lidahnya menjilat-jilat batangku yang semakin basah. Dihisapnya penisku dengan seruputan kuat lalu diurut-urut sambil menyedot bagian kepala penisku saja.
Uuuhh... desahku keenakan mendapat servis di bagian sensitif ini. Fantina lalu menarik tanganku agar aku berdiri dan ia menggantikanku menungging di sofa tunggal itu. Pantatnya di angkat tinggi dan ia memeluk sandaran sofa empuk itu.
Dengan mudah kuarahkan kepala penisku yang sudah membiru ingin tenggelam lagi ke pasangannya; lubang menggoda di hadapanku. Masuk dengan nyaman dan nikmat sekali. Rasa hangatnya sangat nyaman. Kami berdua melenguh keenakan.
Kubenamkan sampai amblas semua batang penisku lalu kugoyang pelan dengan tarikan pendek hingga pintu rahim Fantina ditekan berulang-ulang. Aku memegangi pinggangnya dan perutku beradu dengan bokongnya sampai menimbulkan suara bertepuk.
Oohh... Enak Satriaaa... Terruuusss... mmm... oohhss... desahnya merasakan sodokan pendek-pendekku terus.
Aku ingin variasi baru sehingga kupindahkan peganganku dari pinggang ke lipatan lututnya. Kutarik tubuhnya hingga punggungnya menempel di dadaku lalu kugendong Fantina yang bertubuh aduhai ini tanpa melepaskan penisku yang masih menusuk masuk ke dalam vaginanya.
Ini seharusnya sebuah film, kan? Para penonton harus melihat semua adegannya. Dengan posisi ini mereka semua harusnya bisa melihat semuanya.
Woow... gumaman terdengar dari sekelilingku.
Fantina kugendong dengan kaki lebar mengangkang sementara kemaluannya masih dijejali penisku yang merangsek, menusuk dalamkeluar masuk tanpa ampun. Menggesek dinding liang kemaluannya dengan sempurna. Dan semua penonton bisa menyaksikannya dengan jelas.
Kubawa Fantina berjalan berkeliling dari tempatku menuju sofa April, A Fang dan Nining di sana sehingga aku melewati Della, Silvi, Silva dan Aya. Di hadapan sofa mereka, aku berhenti dan menggasak vagina Fantina tanpa ampun.
Fantina meraung-raung keenakan sehingga terasa cairan pelumasnya menetes ke pasir. Penisku menusuk dalam dan terus kupompa pendek-pendek menjaga agar tidak terlepas dari liang vagina Fantina.
Mata-mata mereka melotot melihat langsung bagaimana penisku keluar-masuk vagina Fantina tanpa perantara jarak lagi. Aku yakin kalau mereka sangat tergoda untuk menyentuh atau bahkan menjamahnya; menjamah pertemuan kedua kelamin ini.
Selesai berkeliling memamerkan Fantina ke semua teman-temannya, aku kembali ke sofa tunggalku. Kuturunkan tubuhnya kembali ke sofa dan ia menggeliat kelelahan karena sudah kugendong sedemikian rupa. Tubuhnya cukup berat juga kalau lama-lama dibawa begitu.
Tapi ini belum selesai karena ia berbaring bersandar di sofa dan membuka kakinya lebar-lebar di tepi. Meminta disetubuhi kembali.
Kujejalkan kembali penisku dan langsung kupompa dengan kecepatan sedang. Kuciumi bibir dan telinganya beserta lehernya. Ia mengerang-erang keenakan. Apalagi semua tubuhnya kuserang dengan tambahan remasan dan pilinan puting payudara.
Saat ia menjerit keenakan, tubuhnya mengejang; otot-otot tubuhnya mengeras dan jepitan liang vaginanya mencengkram batang penisku dengan kuat. Dipeluknya tubuhku erat-erat saat badai orgamse itu menyapu seluruh tubuhnya. Penisku berkedut-kedut sudah menandakan akan ejakulasi. Harus kutahan beberapa waktu lagi.
Kucabut penisku dari liang vaginanya yang memerah becek. Masih tegang dan keras sekali. Mengacung mengangguk-angguk saat kubergerak memberi jalan untuk Fantina ke permainan terakhir Batu-Gunting-Kertas-nya bersama Della.
Batu-Gunting-Kertas! seru keduanya.
Fantina Gunting vs. Della Batu. 0-1.
Batu-Gunting-Kertas!
Fantina Kertas vs. Della Batu. 1-1.
Batu-Gunting-Kertas!
Fantina Batu vs. Della Gunting. 2-1. Hasil akhir: Fantina menang.
Akhirnya aku menang juga... seru Fantina senang sekali. Ia mengangkat tangan dengan riang dan meloncat-loncat di tempat. Dadanya mengayun-ayun indah berikut pantat montoknya.
Nge-fuck lagi... katanya riang tak bosan-bosan.
Wuih... Masih ngaceng! serunya langsung berjongkok di depanku. Kembali dikenyotnya penisku, disedot dan dikulum dengan penuh gemas. Dihisap-hisapnya kuat hingga pipinya kempot.
Lalu ia memanjat naik hingga ke pangkuanku. Dibimbingnya penisku masuk ke dalam bukaan vaginanya yang merekah terbuka karena sudah delapan kali kugauli malam ini dan dua kali disemprot sperma.
Begitu masuk sempurna, otomatis pinggulku bergoyang naik turun. Pompaan pelan awalnya dan semakin cepat karena terpancing wajah seksi yang dibuat Fantina menikmati seks kami berdua. Ia meremas-remas dadanya sendiri sementara aku memegangi pinggulnya agar sodokan pompaanku tidak meleset.
Aaaahhh... ahhhsss... Aaagghh... jeritnya orgasme kembali tetapi aku tidak menghentikan pompaan penisku. Kuterus menggempur lubang vaginanya yang semakin panas oleh gesekan kelamin kami berdua. Fantina ambruk dan bernafas pendek-pendek di leherku saat aku terus menghajar kemaluannya.
Sudah terasa gelitik-gelitik geli di kepala penisku dan kocokanku semakin cepat. Buru-buru ingin merasakan kenikmatan itu juga.
Kuremas pinggul Fantina agar menekan kuat perutku saat kusemburkan spermaku ke dalam rahimnya.
Aahh... keluhku pendek saja. Beberapa kali semburan terasa keluar dari penisku dan memenuhi rahim Fantina. Itu juga memberikan efek padanya sehingga tubuhnya ikut menegang berkejat menerima semburan lahar panas kental itu.
Enak sekali...
Fantina melepaskan pertemuan kelamin kami dan ternyata delapan teman wanitanya sudah mengerubungi kami bak zombie haus daging segar. Vaginanya dikuak untuk menguras isi sperma yang telah mengisinya. Semuanya minta bagian ingin merasakan sperma yang baru saja keluar dari rahim. Entah kenapa mereka suka rasanya. Nining berhasil mendapat sisa spermaku yang tertinggal di penisku. Diurut-urutnya hingga keluar sedikit.
Bersih dan mereka kembali ke tempatnya tanpa perlu dikomando.
Aku sampai harus mengibas-kibaskan pasir yang menempel di celana boxer-ku dibuang Fantina sembarangan saja ke pasir pantai. Fantina memakai kembali CD bikininya yang diikatnya di betis kanannya.
Ahh... Enak, ya kalau menang arisan... Aku bisa menikmati Satria sepuasnya... ungkap puas Fantina seraya duduk lemas bersandar di sofa di samping Jessie.
Arisan apa? berangku karena merasa dimanfaatkan.
Kami membentuk arisan... dan ini baru pembukaannya... Yang menang bulan pertama ini aku... jelasnya tanpa berdosa selagi merapikan bra bikininya. Liat aja seragam arisan kami ini... matching semua, kan? Bikini two pieces warna pelangi... lanjutnya.
Kenapa harus aku yang jadi hadiahnya? sadarku terlambat.
Awal idenya tidak begitu, Sat... Aslinya kami hanya arisan makan-makan aja... Yang menang arisan dapat duitnya... tapi harus menyediakan makanan untuk yang lain... Berhubung kita punya pulau ini dan Satria ikut... jadi deh... Satria yang jadi bonus... jelas Nining dari tempatnya duduk.
Bonus, ya? pahamku.
Bulan depan kalau mau ikut ya boleh aja... Kami welcome, kok... Siapa yang menang bulan depan? tanya A Fang pada teman-temannya.
Belum ada undiannya... sahut Aya. Gimana kalau kita cabut namanya? usulnya kemudian.
Setuju! jawab semuanya.
Sebuah fish bowl (akuarium kecil berbentuk bulat) berisi kertas-kertas yang digulung bertuliskan nama-nama peserta arisan mereka dipegang Fantina.
Supaya adil... Satria aja yang ambil nama pemenangnya, ya? usul Fantina sebagai pemenang arisan bulan ini. Mereka semua setuju dan fish bowl itu diserahkan padaku. Ambil satu, Satria...
Kuaduk sebentar gulungan kertas kecil itu lalu kupilih satu, kubuka gulungannya dan terbaca satu nama; April.
April... sebutku cukup terdengar.
Yuuhuuuu! seru April melonjak gembira. Ia berlari ke depan sambil membawa botol bir miliknya, melonjak-lonjak kegirangan. Birnya yang tumpah tersiram ke api unggun hingga untuk beberapa saat apinya marak membesar lalu normal kembali.
Aku menunjukkan kertas itu ke Della dan Fantina yang duduk di kanan-kiriku sebagai saksi kalau memang nama April yang muncul keluar.
Satria... Bulan depan ikut lagi, ya??! desaknya memaksa. Ia mengguncang-guncang tanganku agar aku mau ikut arisan ini bulan depan. Sebenarnya cukup menyenangkan dikelilingi perempuan-perempuan yang sangat sayang padaku ini. Suasana pantai dan tubuh mulus sejauh mata memandang adalah pengalaman yang dianggap surga oleh lelaki lainnya. Dan hanya aku sendiri lelaki yang menikmatinya.
Masih di pulau ini, kan? pastiku.
Ya... Arisan ini selalu di adakan di Airtas... Makanya kami mau ikut membantu membereskan pulau ini selama berminggu-minggu... pasti April. Mau, ya?
Iya, deh... jawabku setengah terpaksa.
Yeee... serunya girang.
--------
Truth or Dare kita mulai lagi... Malam masih panjang... Urutannya kita balik... Jadi ada kesempatan membalas, OK? seru Fantina sebagai yang pertama kali di putaran pertama mengajukan Truth or Dare ke Jessie dan terakhir mendapatkannya dariku.
OOO-K! jawab kami semua.
Satria? Truth or Dare? tanya Fantina padaku.
Truth... pilihanku tetap kejujuran.
Yaahh... Satria gak asik... Pilih Truth mulu... kesal Fantina.
Masa elu mau di-fuck terus... Istirahat tau? alasanku sambil mencibir.
Ya, udah... Truth... kata Fantina dan berhenti sebentar dan menenggak bir-nya. ... Pernahkan kamu nge-fuck bentuk manusia CORE istimewa yang kamu dapat? tanya Fantina meminta kejujuranku.
Wah... Pertanyaanmu agak aneh... Tapi pernah, kok... Aku punya dua CORE pribadi... Satu XOXAM dan kedua VOXA... Yang bernama XOXAM itu bentuknya CORE maskulin... sedang VOXA itu bentuknya feminin... Aku pernah diberitahu kalau aku ingin menyembuhkan diri akibat kelelahan bertarung aku bisa nge-fuck CORE-ku sendiri... jelasku. Fantina mengangguk-angguk. Entah paham atau tidak karena matanya kuyu agak mabuk.
Juga... dengan ZODIAC CORE CANCER milik A Fang... Aku tidak melakukan TRIGGENCE pada A Fang... Melainkan langsung pada CORE itu... Waktu itu aku mengikat dan menyiksa A Fang terlalu keras sampai dia pingsan... CANCER keluar sendiri... muncul di hadapanku untuk melindungi A Fang... Saat itulah aku nge-fuck dengan CANCER... Gak enak ngomongnyangefuck... ngeseks... dengan CANCER... jelasku.
Gak percaya... Kalau gak ada buktinya berarti Hoax (berita bohong)... sergah Fantina nyolot banget.
Kok? Harus ada bukti? kagetku lumayan kesal. Ini anak lumayan ngeselin kalau mulai mabuk. Seenaknya saja.
Ya... Harus ada buktinya... Buktiin! seru yang lain silih berganti. Terpancing oleh temannya, semua minta bukti nyata.
Aku harus ngeseks sama CORE itu? tanyaku memastikan keinginan mereka semua.
Ya... Buktikan! kata Fantina yang merasa menang memaksakan keinginannya.
OK-lah... Aku akan mengeluarkan bekas ZODIAC CORE milikmu, Fantina... SAGITTARIUS... dan ZODIAC CORE bentuk SUB-HUMAN FORM SAGITTARIUS muncul di hadapan kami semua.
Wahh... kagum mereka semua pada bentuk ZODIAC CORE yang tinggi langsing berkulit gelap itu. Ia berdiri tegak di sana tanpa emosi apapun, memegang busur panahnya erat.
Karena mereka semua sudah mengkonsumsi minuman beralkohol, sedikit banyak nalar normal sudah berkurang. Mereka mengerubungi SAGITTARIUS. Tanpa sungkan mereka menjamah SAGITTARIUS. Rok pendeknya, tempat penyimpanan anak panahnya, kulit lengannya, rambut lurus hitam berkilaunya, perutnya yang rata dan lain-lain.
Seperti cewek biasa aja, ya, Sat? kata Nining yang memberanikan diri meremas payudara kanan SAGITTARIUS.
Bedanya pada bagian mata... Sagittarius... buka topengmu! perintahku padanya.
Dengan patuh, SUB-HUMAN FORM itu melepaskan topeng yang dikenakannya dan menunjukkan pada kami semua wajah aslinya tanpa penutup apapun.
Wooww... heran mereka bercampur kaget melihat bagian mata yang terlihat ganjil itu. Mata tanpa kornea.
Ini ZODIAC CORE yang kau ambil dariku, Sat? kagum Fantina melihat SUB-HUMAN FORM SAGITTARIUS ini. Ia meremas otot lengan kirinya yang kuat lalu meraba kulit pahanya sampai kain pembalut kaki mulai lutut itu.
Ya... Darinya aku bisa menggunakan kemampuan menembakmu yang tidak pernah meleset itu dengan ACCURACY... jelasku tentang kekuatan khusus SAGITTARIUS.
Ngg... Ya udah... Fuck dia, deh... Kami pengen liat... katanya tetap teguh pada pendirian kolektif merekaingin melihatku menggauli SUB-HUMAN FORM ZODIAC CORE ini.
Aku gak yakin dengan staminaku saat ini... Seharusnya aku juga memakai kekuatanku juga, dong? Dia kan bukan perempuan biasa... elakku. Sebenarnya enggan.
Ya, udah... Pake kekuatanmu... Pokoknya fuck dia, Satria... Gak mau tau caranya... desaknya egois. Aku hanya pernah menggauli satu ZODIAC CORE yaitu CANCER dengan berubah menjadi CHARM. Kalau aku menjadi CHARM di sini, saat ini juga, mereka semua akan ikut terpengaruhbirahi.
Ayo, Satria... Mulai... Mulai-mulai-mulai! desak mereka semua sekarang bahkan. Mereka memberiku semangat dengan berteriak-teriak seperti suporter lomba tarik tambang. Huuh! Huuh! Huuh! seru mereka menggebrak memukul udara.
Ya sudah... Ya sudah... Tenang semua... Sagittarius... Ikuti saja permainanku, ya? kataku padanya. SAGITTARIUS mengangguk menurut.
Aku langsung mendekat, merapat dan akhirnya mendekap pinggangnya. Bibirnya langsung kulumat. Untuk sesaat kurasakan tubuhnya menegang karena kaget. Tetapi selanjutnya ia sudah rileks dan ikut menurut saja apa yang kulakukan pada dirinya.
Bibirnya cukup lembut dan kenyal kala kuciumi. Begitu juga dadanya yang kugencet dengan dadaku. Tinggi tubuhnya yang setara denganku membuat kami bisa berpelukan dengan seimbang.
SAGITTARIUS meniruku yang mengusap-usap punggungnya yang halus. Ia juga melakukan hal yang sama padaku. Begitu juga saat lidahnya kupermainkan; kuhisap dan kubelit dengan lidahku. Dia belajar dengan cepat.
Kususupkan tanganku ke atas bukaan pakaian kemben-nya untuk menjamah payudara montoknyapasti akan sangat menyenangkan. Hmm... Kenyal dan lembut. Ini pasti dari latihan kerasnya dalam memanah.
????
Tapi kok tidak ada putingnya????
SAGITTARIUS menunduk ingin tahu apa yang aku lakukan pada payudaranya. Kedua buah dada itu kugenggam tanpa bisa menemukan puting susunya. Kemben itu sudah kusisihkan kebawah.
Gak punya puting, Sagittarius? tanyaku penasaran sekali. Apa gunanya meremas payudara tanpa memilin putingnya?
Ada... katanya bergantian melihat wajahku dan dadanya.
Myuu...
Kedua puting yang hilang itu muncul mencuat berputar dari dalam massa gundukan lemak payudaranya. Warnanya pink pucat sehingga sangat kontras sekali dengan kulit gelapnya. Ukurannya sedang dan tidak menonjolnormal saja.
Dan kembali kedua puting itu berputar masuk kembali kedalam dadanya dan hilang. Meninggalkan dua buah gundukan besar payudara tak berputing.
Kenapa kau masukkan lagi? tanyaku mulai emosi. Lagi mulai konak beginikena tanggung; kentang!
Tidak ada hal yang mendesak untukku untuk menunjukkan semua bagian tubuhku... Kau juga tidak membutuhkannya... kata SAGITTARIUS membingungkan.
A-apa yang disini juga? curigaku lalu berjongkok di hadapannya. Mereka semua masih menonton di belakangku kasak-kusuk tak mengerti apa yang terjadi karena SAGITTARIUS yang terbuka dadanya tanpa puting sudah sangat mirip dengan manequin butik yang telanjang dan bisa bergerak.
Kubuat ia memegangi tepi roknya dan diangkat kemudian aku segera berhadapan dengan selangkangannya yang masih ditutupi sebuah CD imut kecil berwarna putih, berenda dan tali tipis.
Kuloloskan CD itu sampai pertengahan pahanya dan kecurigaanku menjadi kenyataan...
SAGITTARIUS menyembunyikan vaginanya juga!
Yang ini juga disembunyikan? tanyaku mendongak kesal padanya. Ia masih memegangi tepi roknya dengan patuh.
Ya... Kita tidak membutuhkannya... jawabnya mengulang jawaban pertamanya tadi.
Kalau kau kuperintahkan untuk mengeluarkannya... kau bisa, kan? desakku.
Kalau itu yang kau perintahkan... aku akan mengeluarkannya... jawabnya. Matanya yang masih tanpa kornea itu menggangguku lagi. Aku tidak begitu paham ekspresi wajahnya dengan melihat matanya yang berbeda itu. Waktu aku mengambil CANCER dari Synvany dulu dengan berubah menjadi CHARM di hadapan ZODIAC CORE yang bermaksud melindungi tuan aslinya itu, puting susu dan vaginanya ada jelas begitu ia menelanjangi dirinya. Apakah itu pengaruh birahi yang disebabkan CHARM?
Ya, sudah, Satria... Tidak usah memaksanya begitu... Sepertinya dia tidak berminat fuck denganmu... Cukup segitu aja, deh... Tidak usah dilanjutkan... kata Fantina menghentikanku dengan menepuk bahuku pelan. Mungkin ia sudah tidak tertarik lagi dengan kemungkinan ganjil ini. Aku paham...
Permainan Truth or Dare ini dilanjutkan begitu kami semua duduk kembali ke posisi masing-masing. SAGITTARIUS juga sudah kusimpan kembali ke tempatnya.
Truth or Dare? tanyaku pada Della di sampingku yang sama-sama memakai sofa tunggal.
Dare aja, deh... Nanti kamu tanya-tanya tentang calon suamiku lagi... pilih Della setelah menenggak bir-nya.
Hmm... Apa, ya? malah aku yang bingung diberi kesempatan ini. Kalau diambil dari sisi bersenang-senang, aku bisa menyuruh apa saja yang kumau untuk dilakukan Della.
Kalau gitu gini aja, deh... Kumpulkan semua bra bikini semua cewek di tempat ini bagaimanapun caranya... kecuali dengan kekerasan... Boleh minta... barter... memohon... apa saja... Kecuali itu... Kekerasan... kataku mulai iseng.
Trus... abis dikumpulin dikasih ke kamu? tanya Della saat akan bergerak melakukan tantangannya.
Ya... terserah kamu aja... Mau dibalikin boleh... Mau dikasih ke aku juga boleh... kataku tak perduli dengan hasilnya. Aku lebih tertarik dengan proses meminta benda tersebut.
Terserah aku kalau gitu, ya... kata Della bangkit dari duduknya di sofa tunggal itu. Ia mengarah ke Fantina di samping kiriku.
Fan... Buka bra-mu... mintanya langsung tanpa tedeng aling-aling. Dengan kode tangan seperti preman yang minta uang parkir pada pengendara motor.
Enak aja, lu nyuruh buka... jawab Fantina sengit. Ia mendekapkan tangannya melindungi bra yang menutup dadanya.
Buruan! paksa Della memelototkan matanya yang belo.
Gak mau! Fantina bersikeras tak mau menurut.
OK... Tanpa kekerasan... Apa yang kau mau agar kau mau menyerahkan bra-mu? sadar Della akan instruksi tantanganku.
Nah... Begitu, dong... Aku mau kau yang terlebih dahulu membuka bra-mu... Trus lempar ke api unggun... pinta Fantina mengejutkan.
Dibuang ke api? pasti Della mungkin ia salah dengar.
He-em... Benar... Buang ke api... Kenapa? Keberatan? kata Fantina mengejek.
OK, deh... kata Della setuju dan ia langsung melepas kait bra bikini miliknya yang ada di punggungnya. Pakaian dalam penutup bermotif pelangi yang jadi seragam arisan mereka kali ini sudah lepas dari tubuhnya. Segera dilemparkannya benda itu ke dalam api yang menyala-nyala.
Tanpa ampun pakaian dalam itu segera habis terbakar bersama bara-bara api yang gemeretak terbakar. Serpihannya membumbung tinggi bersama butiran api seumpama kunang-kunang lalu hilang menjadi debu.
Della kini berdiri di depan Fantina bertelanjang dada dan ia menagih bra bikini miliknya. Sudah... Sudah kulempar ke api... Serahkan bra-mu...
Nah begitu, dong... Nih... kata Fantina melepas bra bikini miliknya dan menyerahkannya pada Della. Jangan dibuang ke api juga... kata Fantina.
Della diam saja dan beralih pada Jessie yang semakin gontai karena mabuk.
Jess... Bra-mu... pinta Della.
Bakar dulu CD-mu baru ku-kasih... Kah... kahh... kah... katanya menggelak tertawa setelah sebelumnya menenggak bir itu lagi.
Yah... Aku jadi bugil dong... kata Della kesal.
Gak mau tau... Mau tidak? kata Jessie bersandar di sofa dengan tangan terbuka dan kaki mengangkang lebar. Yang lainnya pada tertawa cekikikan melihat tingkahnya.
Hu-uh... dengan terpaksa Della meloloskan CD bikininya lalu melemparkannya ke api. Bahan kain itu kembali terbakar habis dengan mudah. Della kini telanjang bulat di tengah-tengah kami.
Bagus... Permainan makin seru sekarang... kata Jessie saat melepas bra miliknya dan melemparkannya ke arah Della. Kini Della sudah punya 2 bra bikini yang berhasil didapatkannya.
Della berjalan dalam kondisi bugilnya ke arah sofa di seberang sana dan berhenti di depan April.
Mau minta bra gue? Tidak semudah itu... Ada syaratnya... kata April sebelum Della bahkan mulai bicara.
Jangan yang susah-susah, dong? kata Della. Ini sudah jadi trend kalau syarat akan semakin dipersulit tiap permainannya.
Nggak... Gampang aja, kok... Isepin nenen satu orang aja di antara kita sampai puas... Sampai puas, loh... kata April memberi instruksinya.
Masa itu lagi, sih? enggan Della mendengar syarat April mau menyerahkan bra bikininya. Yang lain napa?
Kalau gak mau ya... gak pa-pa... April tetap bersikeras. Disini kemampuan negosiasi dan tawar-menawar sangat diperlukan. Sepertinya Della sedang enggan berimprovisasi.
Ya... OK, deh... Si Jessie aja, ya? kata Della akhirnya luluh juga dan menyanggupi syarat barusan. Daripada ia harus lari keliling pulau ini sebagai hukuman tidak bisa melakukan tantangan.