Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Quest

Damn, dapet geng MILF.....sikaaaat
 
Wih MILF mainannya
Tapi lebih mendinglah daripada loli targetnya
 
Weleh..si satria bakal jadi mainan tante tante milf nih atau lebih tepatnya tante tante milf yang bakal jadi mainannya satria ya?

Satria..., satria nasibmu koq uenak banget, di sini apem di sana apem:)

#nunggu arisan hari kamis
 
Weleh..si satria bakal jadi mainan tante tante milf nih atau lebih tepatnya tante tante milf yang bakal jadi mainannya satria ya?

Satria..., satria nasibmu koq uenak banget, di sini apem di sana apem:)

#nunggu arisan hari kamis

makasih suhu Aiko udah mampir lagi. ditunggu terus loh Ai-nya disebelah.
 
gk ada komen untuk agan ryu, pokonya top markorop ok bangeeeeet. sungguh luar biasa daya hayal y.
saluuut buat suhu ryu:semangat::beer::tegang:
 
--------​
Kini Alex yang mulai memecahkan formasi awal bola 8 ini. Bola putih mencerai-beraikan komposisi berbentuk segitiga itu sehingga bola beraneka warna menggelinding ke segala arah. Tak ada yang masuk secara kebetulan dan beralih ke giliranku.
“Andin... Arahkan bola ini dan kau boleh memanfaatkan ACCURACY dari mataku...” instruksiku pada Andin lewat UNDINE DROP-nya. Lewat kalkulasi dan perhitungan berdasarkan pengetahuan luasnya, aku memanfaatkan bantuannya untuk memenangkan tarohan ini. Aku sudah kehilangan duit sebesar 7000K dan ada 5000K lagi yang sedang dipertaruhkan disini. Itu duit yang gak sedikit. Walau itu pemberian Della yang kutarik lewat ATM sebelum menantang Alex tarohan.
Secara otomatis tubuhku bergerak sesuai arahan Andin. Pukulan stik bilyarku sekarang menjadi terukur dan tepat sasaran. Perhitungan berdasarkan database-nya plus ACCURACY SAGITTARIUS yang tak pernah meleset. Dengan mudah kali ini aku melahap semua bola yang berada di atas meja dan masuk ke pocket-nya masing-masing.
Semua terjadi dengan bersih dan lancar. Bahkan aku bisa melakukan trik-trik bola sulit yang biasanya dilakukan oleh profesional di dunia bilyar. Aku bahkan kaget sendiri melakukan semua itu dengan tanganku walau diarahkan Andin.
“Yuhuuuu... Satria kereeenn!” seru Silva seperti suporter bola yang mengelu-elukan pencetak gol.
“Go, Satria-go! Go, Satria-go!” begitu juga dengan Silvi yang mengacungkan tinjunya ke udara.
“Kali ini aku yang menang...” ujarku berkeliling untuk kembali ke bagian depan meja. Alex masih dilendoti cewek cantiknya yang kelihatan gusar.
Alex turun dari stool-nya dan menyerahkan 5000K tunai yang masih ada di tangannya. Masih ada 2500K milikku di tangannya. “Lanjut... 5000K lagi...” katanya penasaran.
“OK!” jawabku. Karyawan cewek tempat bilyar ini menyusun bola lagi di atas meja untuk satu putaran bola 8 lagi.
Wah judi ternyata bisa begitu memabukkan seperti ini rupanya. Nikmatnya rasa kemenangan itu sangatlah meringankan kepala. Kepala terasa membesar. Sebesar ego. Sebesar dunia ini. Rasa senang ketika menang dan penasaran saat kalah. Hepi saat menang banyak dan kesal saat dipecundangi.
Sekali break-shot, sudah ada satu bola yang masuk malah dan aku lanjut membantai semua bola dengan arahan Andin dan ACCURACY. Alex semakin gelisah walau dihibur cewek cantiknya saat aku sedang membidik bola 8 terakhir. Bola hitam itu bergulir masuk perlahan dan memasuki pocket. Kemenangan sebesar 5000K lagi untukku.
“Satriaaa! CADASSS!” seru Silva bertepuk tangan bising sekali di tempat yang biasanya sepi ini.
“Gile lu, Sat! Sejak kapan lo hebat begitu??” tanya Silvi sambil tepuk tangan bersama kembarannya.
“Sejak dulu-lah... Hebat, kan?” kataku menghampiri keduanya yang turun dari stool mereka. Keduanya kembali memelukiku dengan gemas. Pipiku dibejek-bejek, jidatku ditoyor-toyor keduanya ganas. “Sakit tau!”
“Waktu kemaren maen ama kami, lu bego banget, kan?” ingat Silva saat itu. Waktu kami awal berkenalan dulu.
“Iya, bener... Lu bego banget waktu itu... Pasti keberuntunganmu lagi bagus ini kali... Lanjut terus!” kata Silvi membenarkan. Malah disuruh lanjut.
“Ini 5000K-nya... Lanjut lagi, kan?” cetus Alex yang menghampiri kehebohan yang kami lakukan. Dia sudah kalah 2500K. Pastinya masih penasaran dan mau lanjut terus. Khas penjudi kelas berat.
Uang itu sudah tidak muat masuk ke kantong celanaku dan kuserahkan aja pada Silva. “Kalau mau... biar lebih seru, nih... Maen semua yang ada, gimana?” tantangku. Ini sudah dilambari PROVOKE CAPRICORN yang ampuh disetiap kugunakan. Setiap orang yang memiliki ego seperti Alex ini akan dengan mudah terperdaya olehku. Ini kali kedua kugunakan pada target mudah; yang pertama kena adalah Maria dan kali ini pada Alex.
“OK... Siapa takut!” jawabnya mantap termakan umpan lezatku. Segera dikeluarkannya HP-nya untuk mengecek saldo tabungannya lewat M-Banking-nya.
“Saldo rekeningku ada Rp. 23 jutaan dan... ini kunci mobilku! Harga standar baru Brio itu 150 juta... Sudah kumodif dan habis 35 juta... Kukasih harga 200 juta termasuk rekeningku tadi... Berani?” Alex agak ngos-ngosan mengeluarkan semua amunisi hartanya yang ia miliki. Ia rela mempertaruhkan harta sebesar 200 juta hasil keringat dan lendirnya selama ini demi sebuah ego bernama judi. Dahsyat benar memang yang namanya judi ini. Salut! Salut untuk semua para penjudi.
“OK... 200 juta... Deal!” kataku menjabat tangannya. Semua teman-temannya termasuk Silva dan Silvi menjadi saksi tarohan ini. Bahkan beberapa pengunjung lainnya mulai mengitari meja yang kami pakai ini akibat kehebohan yang terjadi.
Cewek cantik Alex tadi tidak berani ngelendot lagi padanya karena melihat muka gantengnya sudah ketat banget kaya rok span panjang anak SMA. Menul sana, melenuk sini. Alex menggenggam erat stik bilyar di tangannya. Diremas-remasnya stik kayu tak berdosa itu. Bukan maunya tumbuh dari sebatang pohon dan dibentuk menjadi stik bilyar dan diremas-remas kuat begitu.
Selesai bola disusun lagi di atas meja, aku bersiap-siap melakukan break-shot lagi. Menunduk rendah dan membidik. Berdiri lagi dan membubuhkan kapur lagi ke jari kiriku dan ujung kepala stik bilyar. Terasa atmosfer di sekitar meja ini menjadi tegang saat aku bergerak. Semua mata memandangi tiap detil gerakan yang kulakukan. Padahal musik easy listening masih mengalun dari sound system tempat ini. Tapi tidak bisa meredam ketegangan tarohan 200 juta yang kami lakukan ini.
Kembali aku menunduk rendah dan mencoba gesekan kayu stik bilyar ke jariku yang licin dibaluri kapur. Gesek-gesek perlahan dan tarik panjang.
“Andin... Lakukan!” perintahku padanya.
SPAKKK!
Bola putih meluncur cepat mendapat sodokan stik bilyar yang kuhentakkan kuat. Tanganku langsung kuangkat dari karpet meja.
TAK! TAK! TAK! TAK! TAK! TAK! TAK! TAK! TAK! TAK! TAK! TAK! TAK! TAK!
Semua bola yang ada di atas meja kecuali bola putih masuk bergantian ke dalam tiap pocket. Pantulan demi pantulan terjadi dan menyebabkan reaksi berantai yang mengakibatkan semua bola bisa masuk dengan presisi ke dalam pocket.
Hanya suara musik yang terdengar di tempat ini ketika aku manggut-manggut puas dengan hasil akhir permainan. Aku memenangkan tarohan 200 juta melawan Alex dengan sangat meyakinkan. Disaksikan oleh puluhan pasang mata yang terpana heran. Beberapa malah menganga lebar termasuk Alex yang tiba-tiba pucat.
“Aku menang, ya?” kataku mendekati Alex di dekat teman-temannya setelah mengembalikan stik bilyar yang sudah kupakai kembali ke tempatnya. Kusalami Alex dengan genggaman erat sekaligus untuk menyadarkannya dari syok.
“Eh... Ya... ya... Kau menang... Be-berapa nomor re-rekeningmu?” tanyanya tergagap.
“Nanti aja...” jawabku tapi mengambil kunci mobil Honda Brio dari tangannya dan mengantonginya. (Di kunci itu ada digantung dompet yang berisi STNK-nya) “Kita makan-makan dulu di Food Court... Aku yang traktir, deh...” kataku. Aku mengangguk pada teman-temannya Alex pertanda aku juga mengajak mereka. Silva dan Silvi tentu juga, dong.
“Minuman kalian semua aku yang traktir...” lanjutku pada para penonton yang sebenarnya baru menyaksikan pada bagian akhir saja. Tapi harus bagi-bagi rezeki, kan? Mbak-mbak penyusun bola bilyar tadi-pun kukasih tips 1000K.
--------​
Dengan lesu Alex dan teman-temannya duduk di Food Court di tempat ini. Tempat ini cukup besar hingga punya tempat makan sendiri dan permainan hiburan lainnya. Ceweknya berusaha menjalin komunikasi dengan Silva dan Silvi untuk menarik perhatianku. Aku duduk tepat di samping Alex.
“Aku belum pernah liat orang bisa melakukan begituan selain profesional di Youtube...” kata Bobi mengenai aksiku sekali break-shot tadi.
“Cuma beruntung aja... Ini sepertinya hari keberuntunganku... Bintangku sedang bersinar cemerlang hari ini...” kataku asal aja lalu menyeruput Ice Latte pesananku.
“Lain kali kita maen lagi, ya?” kata Alex masih penasaran. Mungkin ia akan merengek-rengek minta duit banyak ke mami-nya. Mungkin ia akan mulai membanding-bandingkan mami-ku dengan penyandang dananya itu nanti.
“Boleh... Eh... Kapan aku dapat BPKB Brio ini?” tanyaku.
“Mm... Kayaknya ada di mobil, deh... Kita liat ke bawah dulu, yok?” ajaknya. Agaknya pancinganku mengena dan ia ingin bicara berdua saja denganku atas semua rasa penasarannya. Ini bisnis yang kutunggu. Kami berdua berdiri dan Alex berpesan pada teman-temannya untuk menunggu.
“Boleh bagi channel-mu?” katanya mulai saat kami berjalan beriringan. Ia merasa kehilangannya kali ini akan tergantikan oleh mangsa yang lebih besar. Lebih tajir dari mami-mami yang selama ini memeliharanya.
“Channel apa?” tanyaku pura-pura gak mudeng.
“Mungkin mami-mu punya teman yang sedang mencari kehangatan dari pemuda seumuran kita?” katanya tanpa malu karena dikiranya kami seprofesi.
“Oh... Yang itu... Kirain apaan... Lagi kosong, nih... Mereka sedang pada liburan ke Islandia... Entah apa enaknya di daerah dingin... Es melulu tempatnya... Sekitar minggu depan baliknya...” kataku menjawab asal jeplak aja. Mengarang-ngarang karakter fiktif yang menjadi penyandang danaku. Mungkin di fikirannya, mami itu sudah memberiku Jaguar ini dan uang ratusan juta.
“Kapan-kapan aku kenalin, deh...” kataku sambil terus berjalan santai di tempat hiburan ini. Kami sudah akan mencapai eskalator.
“Dapetnya selalu segede itu, ya?” tanyanya kepo dan ngiler membayangkan yang enggak-enggak.
“Abis duitnya banyak, sih... Gak sungkan aja dia ngirimin duit pulsa segitu...” jawabku saat menjejak kaki di tangga eskalator pertama. Bersamaan kami menuruni lantai dua ke lantai dasar.
“Kenapa dengan mami-mu? Agak seret ngasih duitnya?” tanyaku balik sambil mengawasi keadaan di bawah sana. Di bawah mayoritas diisi dengan permainan anak-anak dan stan jajanan serta satu supermarket.
“Lumayan juga, sih... Tapi kalo dibandingin dengan yang kau dapat... jauh!” jawab Alex mulai menjadi inferior. Karena selama ini selalu menjadi anjing alpha di antara teman-temannya. Kali ini ia harus rela menjadi bawahan, mengikutiku. Patuh dengan apa yang kumau.
“Jadi... duitmu abis, dong kalau ditransfer semua ke aku?” tanyaku bersandar ke pegangan eskalator saat tangga orang malas bergerak itu bergerak turun perlahan—bergetar sedikit.
“I-iya, sih... Abis gimana?” katanya membuang muka.
“Gini aja... Aku cuma ambil mobilmu... Duitnya gak usah jadi ditransfer juga gak pa-pa... Tapi kenalin aku sama channel-mu... Gimana?” tawarku yang cukup menggiurkan.
“Beneran?” katanya dengan mata berbinar-binar. Mungkin dibayangkannya kalau nanti dapat mami baru, ia akan mendapat mobil yang lebih bagus daripada Brio-nya yang sudah berpindah tangan akibat kerakusan judinya.
“Ya, bener, dong? Apa ada semacam arisan brondong yang mereka lakukan?” tanyaku. “Aku belum pernah ikut acara begituan... Penasaran juga...” kataku. Kalo yang ini memang kenyataan. Tapi ini semacam gambling juga. Gimana kalo isi peserta arisan itu pada ibu-ibu gembrot dan jelek. MIHF (Mother I Hate to Fuck)
“Jadi kau ketemu mami-mu itu darimana?” tanya Alex menjelang mencapai lantai dasar.
“Waktu ituuu... dia nyamperin Facebook-ku... Itu sekitar setahun lalu—kurang lebih begitu... Katanya dia tertarik dengan foto-fotoku... Masih belum begitu tua juga... Masih 40-an tahun... Gak menikah dan usahanya gede banget... Secara dia sebagai direkturnya sendiri... Jadi duitnya banyak gila... Yang dikirimin ke aku mah cuma recehan aja...” jawabku malah nambah ngarang. Aku membuat profil itu dari beberapa wanita yang kukenal digabung menjadi satu.
“Nanti aku kenalin dengan kelompok mami-ku, deh...” kata Alex antusias ingin membantuku. Kalau aku berhasil dibantunya, kelak nanti ia juga akan dimuluskan jalannya.
Kami kemudian sudah sampai di parkir dimana Brio modifnya berada. Dia mencari-cari di dalam untuk menemukan surat kepemilikan kendaraan LCGC ini yang katanya ada di dalam mobil. Bullshit gila. Mana ada orang mau bawa-bawa BPKB di dalam mobil, sekali dicolong atau dibegal—abis semuanya.
“Satria... sepertinya ketinggalan di apartemenku, deh BPKB-nya...” katanya sudah kuduga. Ia masih dalam keadaan duduk di jok sopir dengan satu kaki menjejak paving blok parkiran ini.
“Oh... OK. Catat aja nomor HP-ku... Nanti kita ketemu dimana untuk kuambil BPKB itu...” kataku lugas saja tanpa banyak tanya. Yang penting aku sudah memegang aset berharganya ini. Gak perlu punya BPKB juga gak apa-apa. Ada STNK-nya, kok.
Dicatatnya nomor HP-ku lalu dimiss-call-nya nomorku untuk meyakinkan dia gak salah catat. Kusimpan juga nomornya.
“Mami-mu cantik, gak?” tanyaku iseng-iseng saat memasukkan HP-ku ke kantong celanaku.
“Ya... relatif, sih...” jawabnya taktis. “Udah 40-an tahun juga... Bodinya belum pada melar... Tapi dia baik dan juga perhatian... Sering ngasih oleh-oleh kalau baru pulang dari mana aja...” katanya mengenai mami-nya. Ia bersandar di bekas mobilnya sambil melipat tangan.
“Cantikan cewekmu kalo gitu...” kataku terus ngobrol mencoba mengakrabkan diri dengannya agar ia lebih rela mengenalkanku dengan lingkar mami-mami doyan brondong yang sedang kuincar ini.
“Kalo lagi ngasih duit... pasti lebih cantikan mami, dong...” katanya hampir tertawa.
“Liatin... nih mami-ku...” tunjukku pada sebuah foto di HP-ku. Ini maksudnya pamer dan kuselipkan sedikit pengaruh PROVOKE agar ia mau melakukan hal yang sama.

Elisa
“Cantik... Keliatan masih lumayan muda...” komentarnya sambil memperhatikan wajah wanita di layar HP-ku. Aku memberanikan diri menunjukkan wajah tante Elisa-ku. Tante Elisa adalah adik bungsu Papaku yang sampai sekarang juga belum menikah di akhir usia 40-nya. Entah apa yang dicarinya hingga sekarang belum berkeluarga juga. Kalau ada apa-apa akan lebih mudah ngomong padanya daripada menunjukkan foto wanita lain diluar keluargaku. Lagipula memang dia termasuk kaya, tidak menikah dan berumur 40-an akhir. Klop, kan?
“Ya... Kalau udah berduaan sama mami... Udah deh... Abis aku dikerjainya terus... Cuma ya itu... Waktunya gak tentu... Ketemu sebulan sekali aja belum tentu... Makanya sekalinya ketemu dia langsung maruk banget...” kataku mengarang memanas-manasi Alex agar mau melakukan hal yang sama tentang mami-nya.
Sambil tetap bersandar pada bekas Brio-nya, Alex membuka-buka koleksi foto di HP-nya lalu menyodorkannya padaku satu foto. Seorang wanita paruh baya—masih cantik yang segera kukenali sebagai pemilik akun @adjeng*****, bernama asli Ajeng Prameswari.
Ia lalu bercerita seperlunya tentang garis besar kehidupan mami yang selama ini membiayai hidupnya yang sedang merantau dari kota kecil asalnya untuk sekolah. Yang paling kuperlukan adalah informasi kalau bu Ajeng ini rutin melakukan arisan brondong bersama teman-teman akrabnya sesama FoxyMoms dengan hadiah pemuda belia sebagai hadiah utamanya.
Alex pernah dua kali menjadi pemuda hadiah itu lalu ditarik bu Ajeng sebagai peliharaannya. Bayarannya kala itu lumayan gede untuk sekali arisan. Mencapai angka 12 jutaan. Dan itu terjadi setahun lalu. Alex mahfum kalau ia tidak sendirian menjadi peliharaan bu Ajeng. Setidaknya wanita banyak duit itu punya 2 sampai 3 brondong peliharaan sekaligus yang dimanfaatkannya untuk kenikmatan. Ia juga pernah beberapa kali dipinjamkan kepada rekan bisnis wanita itu selama beberapa hari. Tentunya pada rekan bisnis wanita kesepian juga.
Wah... Bisnis yang menarik kalau begitu. Memanfaatkan pemuda-pemuda belia untuk menikmati kesegaran dan semangat muda yang tentu terjamin kualitasnya.
--------​
“Alo, mi? Ada orderan, gak? Kehabisan duit, nih, mi...” rengek Alex yang kebetulan saat kami masih ngobrol di sekitar bekas Brio-nya, ditelepon bu Ajeng.
“Makasih, ya, mi... Ditunggu loh transfernya... Ada barang bagus nih, mi... Cocok untuk arisan berikutnya, loh...” kata Alex malah langsung menawarkanku pada bu Ajeng. Bagus kalau wanita itu tertarik.
“Bagus? Bagus, dong, mi... Masa gak percaya Alex, sih? Nih anaknya lagi di depan Alex, nih... Entar Alex foto trus Alex kirimin fotonya, deh... Ya... Iya... Nanti Alex kirim fotonya ke BB, mami, deh...” kata Alex sepertinya berhasil meyakinkan bu Ajeng untuk mempertimbangkanku.
Kemudian ia minta izin memfotoku di samping Jaguar-ku beberapa kali dan minta izin juga untuk mengirimnya ke bu Ajeng. Aku, sih fine-fine aja karena memang itu tujuan semua ini kulakukan. Untuk mendekati bu Ajeng agar diikut sertakan dalam arisan brondongnya; sebagai hadiah pemenang.

========
QUEST#12
========​

Selesai berurusan dengan Alex hari ini sampai sore nge-cafe bareng teman-temannya plus Silva-Silvi, aku jadi bingung. Mau diapain nih mobil Brio?
Kalau dikembalikan ke Alex—rasanya sayang banget. Udah capek-capek dimenangkan juga. Dibawa pulang—apa nanti jawabanku kalau ditanyain dapat nemu dimana? Kalau dikasihkan ke orang—kepada siapa?
Coba kuingat-ingat siapa yang belum punya mobil dari antara semua cewek kenalanku. April, Jessie, Aya, A Fang, Silva-Silvi, Nining, Fantina, Della, Safriani, Maria?
Yang pasti Aya, Nining dan Maria. Safriani walau sudah berubah bentuk menjadi kakaknya, tapi duitnya banyak, hasil bekerjanya selama ini. Aya bisa make mobil kakaknya; Jessie. Maria gak bisa keluar dari asrama. Hanya mentok di satu nama; Nining.
Tapi apa mau dia nerima mobil ini?
“Aloo, Nining sayang... Udah pulang dari pabrik?” tanyaku sambil menyetir Brio ini. Aku mengarahkan mobil ini ke daerah tempatnya ngekos yang juga pernah kudiami selama sebulan. Ini sudah jam 5 sore lebih.
“Udah, dong... Lagi makan di luar, nih bareng Sari sama Titik... Biasa... ngebakso...” jawabnya. Terdengar denting-denting suara sendok-garpu beradu mangkok bakso.
“Bilangin sama Sari jangan kebanyakan ngebakso... Entar melar ditinggal pacar...” kelakarku. Nining tertawa-tawa disana. Aku tau tempat mereka makan kalau ngebakso di luar. Meninggalkan gerobak bakso bang Samiran.
“Ada apa, Satria sayang... Lagi kesepian, ya? Kemari, dong... Ke tempat biasa...” katanya. “Warung lesehan itu, loh...” pintanya mengingatkanku tentang tempat asik yang penuh kenangan itu. (*Yang udah baca Scorpio, pasti tau maksudnya)
“Sari sama Titiknya mau dikemanain, non?” tanyaku balas menggodanya.
“Lha... Tinggal tak usir pulang aja... Tak tendang pasti nyampek rumah lagi... Ha-ha-ha...” kelakarnya. Suara berisik kedua teman se-kos-nya terdengar menyorakinya. Aku yakin kalau rambut Nining dijambakin keduanya.
“Eh, Satria... Kami udah gak ngekos di situ lagi, loh... Kami ngontrak rumah gak terlalu jauh sih dari kos lama... Tempatnya lebih enak... Ada halamannya... dapur, ruang TV... Kamarnya ada dua... Kalau Satria kemaleman pulang dari mana-mana cocok nginep disitu... Kelonan bareng aku... He-he-he...” katanya malah mengabarkan tentang kepindahan mereka.
“Loh... Kok gak ngasih tau? Kapan pindahnya?” heranku. Mendadak banget pindahnya? Kemaren waktu Valentin ketemu gak ada cerita apa-apa.
“Baru MInggu kemaren, kok, sayang... Karena kami gak punya barang apa-apa selain baju... jadi pindahannya gak repot, kok... Lah itu rumahnya masih kosong melompong... Masih urunan kapan mau beli kompor gas, dispenser, kasur busa dan lain-lain... Satria mau nyumbang apa?” jelasnya panjang lebar.
“Nyumbang apa, ya?” bingungku. Kalau kubilang nyumbang mobil, out of topic banget, ya?
“Yang paling afdol itu... nyumbang cinta aja, deh... Itu yang paling tepat... Aku paling butuh cintamu saat ini... Ha-ha-ha...” goda Nining gak bosan-bosan dengan topik itu mulu.
“Ah... Nining... Itu lagi-itu lagi... Ya udah, deh... Tunggu aja, ya?... Entar aku sampe sana...” kataku lalu mengakhiri hubungan telepon karena katanya berbahaya nelpon sambil nyetir. Lawan main di jalan di sini serem-serem. Kontainer, truk gandeng gede, intercooler dan teman-temannya.
--------​
Kusambangi Nining dan kedua temannya yang sedang ngebakso sore ini di warung lesehan tempat biasa mereka makan kalau lagi di luar. Nining sekarang sudah punya motor sendiri dan ia membonceng kedua temannya sekaligus dengan kendaraan itu sehari-harinya.

Nining
“Alo semuanya...” sapaku pada ketiganya yang ternyata sudah selesai makan. Mangkok-mangkok bakso kosong masih ada di atas meja rendah di bilik lesehan yang berisi ketiganya.
“Alooo...” jawab mereka sekaligus. Nining menyambutku dengan mengangkat tangannya. Ditariknya tanganku agar duduk dengannya dan menggayuti tanganku manja. Sari dan Titik senyum-senyum dikulum melihat adegan itu.
“Kami perlu pergi sekarang, nih kayaknya?” kata Titik mengemasi tas miliknya. Sari juga memungut HP-nya dari atas meja.
“Eh! Jangan!” cegah Nining. “Bayar dulu baru pergi...” canda Nining gak berubah cerianya dari yang pertama kuingat sampai sekarang. Menyenangkan bersamanya. Mereka tertawa-tawa lagi.
Nining memanggil seorang pelayan yang kebetulan melintas untuk mencatat pesananku. Aku pesan bakso juga dan kutawari si Sari semangkok lagi. Serius dia masih mau nambah. Abis dia kami jadikan target bully-an.
“Jauh loh dari pabrik kemari...” kataku sembari menunggu pesanan dua mangkok bakso dan jus datang.
“Gak pa-pa... Asik aja, kok... Lagian kami berdua belum mampu beli motor sendiri...” kata Sari mengaduk sisa kuah bakso miliknya, siapa tau ada mi nyempil yang terciduk.
“Nah... Cocok kalo begitu...” kataku tiba-tiba dengan cepat. “Pake, nih...” kataku menyodorkan kunci mobil Brio eks milik Alex yang sekarang menjadi milikku.
“Kunci apa tuh? Kayaknya bukan kunci motor, deh?” kata Titik yang mendekatkan wajahnya agar jelas melihat benda itu.
“Kunci mobil, nih...” kata Nining malah mengambil benda itu dari tanganku. Dipencetnya tombol remote ke arah parkiran yang lumayan penuh. Brio itu terhalang bangunan lesehan yang ada di depan kami kami sebab aku parkir di tempat parkir mobil. Terdengar suara decitan nyaring mobil itu di kejauhan. “Beneran mobil, kan...”
Nining turun dari lesehan, memakai sepatu slip-on-nya dan pergi ke parkiran sendiri. Aku hanya bisa memandangi geyolan bokongnya dari tempatku duduk bersama Sari dan Titik.
“Mobil beneran, Sat?” tanya Sari gak tahan untuk bertanya lebih jelas. Ia butuh penjelasan. Titik hanya memandangi temannya dan aku bergantian.
“Ya-iya mobil... Kalau kalian jalan-jalan bertiga muat tuh di mobil... Mobilnya gak terlalu gede, sih... Tapi udah pada dimodif... Entah cocok atau enggak sama kalian?” kataku. Tapi sebenarnya aneh juga kalau aku memberi mobil ini kepada mereka—Nining khususnya. Apa statusku pada Nining sampe memberi mobil yang harganya ratusan juta ini? Pacar bukan? Hanya...
 
“Sat... Dipanggil Nining tuh...” kata Titik memberi tanda dengan gerakan kepalanya ke arah Nining yang muncul lagi di pandangan dari balik bangunan di depan parkir.
Segera aku hampiri dia dan ia segera berbalik arah kembali ke parkiran. Sekilas aku melihat ekspresi aneh yang ditujukannya pada kedua temannya. Saat kutoleh, Sari dan Titik hanya angkat bahu pertanda gak tau.
Di depan Honda Brio full modif dengan cutting sticker berwarna merah dan dua garis kuning vertikal di kap mesin depan supir sampai rear-hatch, ban gede velg racing 15” sampai overlap bodi samping, Nining berdiri melipat tangan dan memandangi plat mobil itu. Sepertinya ia baru ngecek kecocokan nomor plat dan STNK-nya.
“Ini maksudnya gimana, Sat? Aku sama sekali gak ngerti... Coba kau jelaskan...” kata Nining dengan nada datar.
Gawat! Jangan-jangan dia tersinggung dan marah kukasih barang semahal ini. Matanya bergerak-gerak seperti melakukan scan plat nomor mobil ini dan cross check langsung ke samsat dengan jaringan... Ngaco!
“Ini... Tadi aku sedang... kau tau... Misi terakhirku... PISCES... Yang punya ZODIAC CORE itu seorang wanita yang senangnya main brondong...” jelasku. Dia sama sekali tidak menyela hanya mendengar saja.
“... jadinya aku mencari jalan agar bisa masuk ke lingkungan mereka... Ada semacam arisan ibu-ibu itu yang hadiahnya adalah pemuda seumuranku... Gak mudah masuk ke lingkungan seperti itu, kan? Makanya aku mendekati seorang pemuda sebayaku yang pernah jadi mainan ibu-ibu itu... Namanya Alex... Dia pemilik awal mobil ini... Untuk mendekatinya aku memanfaatkan hobinya berjudi... Tarohan maen bilyar... Aku bahkan ketemu Silva-Silvi di sana... Maen-maen trus... Gila judinya makin panas malah mobilnya ini lewat...”
Nining tetap menunduk mendengarkan kisahku.
“Tapi dia sudah menghubungkanku dengan mami-nya yang biasa mengadakan arisan itu... Aku tinggal menunggu kontak dari mereka aja...” tuntasku tentang kisah asal-muasal mobil ini.
“Apa Nining... marah? Tersinggung kuberikan mobil ini? Sori, ya, Ning?” kataku menjaga jarak dua langkah darinya.
“Dengan gajiku sekarang... aku hanya mampu bayar DP dan cicilan motor selama dua tahun... Punya mobil sebagus ini... itu impian yang terlalu tinggi untukku... Huh...” katanya sedikit bergumam. Karena jarak yang lumayan dekat sajalah yang membuatku bisa mendengarnya.
“Tapi jawab dulu! Kau memberikannya kepadaku sebagai hadiah atau sogokan?” tanya Nining tiba-tiba.
“Hadiah atau sogokan? Maksudnya?” heranku. Payah banget prosesor otakku ini. Telmi banget!
“Hadiah karena sudah memberimu CORE (SCORPIO) itu atau sogokan supaya aku gak merengek-rengek minta dikawinin?” sergah Nining mau memalingkan wajahnya padaku kali ini.
“Ah? Hmm? Yang mana, ya?” aku jadi malah tambah bingung disuruh milih begini. Aku tau kalau Nining ikhlas memberikan ZODIAC CORE-nya padaku dan pertanyaan jebakan tentang keinginannya menikah denganku.
“Gini, loh, Ning... Aku bingung soal mobil ini... Kalau kubawa pulang... malah tambah repot menjelaskannya ke keluargaku... Bukannya lebih bagus kalau kuberikan pada salah satu dari kalian... Yah... Mungkin ini terimakasih juga karena bantuanmu soal ZODIAC CORE SCORPIO-mu itu... Diantara kalian semua... sori nih... bukan maksudnya menghina atau merendahkan... yang nggak punya mobil itu cuma Nining sendiri... Gimana kalau kalian kumpul-kumpul seperti Valentin kemarin itu... Nining lebih mudah pergi kemana-mana pake mobil ini... Tapi kalo Nining keberatan... terpaksa kukembalikan saja ke Alex...” kataku agak masygul. Takut Nining marah.
“Eh! Jangan! Untukku aja... Ya... Gak pa-pa. Aku gak tersinggung, kok... He-he-he... Liat nih... Aku senyum lebar, kan?” katanya sembari memeluk kunci mobil itu erat-erat. Ia tersenyum lebar memang. Sumringah malah.
“Beneran?” tanyaku lalu mendekat padanya.
“Beneran... Makasih, ya?” katanya lalu memelukku tiba-tiba tanpa sungkan di parkiran begini. Beberapa pengunjung warung lesehan melotot melihat adegan ini.
“Tapi aku gak bisa bawa mobil...” katanya setelah mengecup pipiku.
“Belajar, dong...” jawabku masih dipelukannya.
“Eh... Kalian berdua? Baksonya udah datang...” kata Sari yang rela menyusul kami ke parkiran dan menangkap basah kami berpelukan begini—melupakan baksonya sejenak.
--------​
Pulang dari warung lesehan, kusetir mobil itu ke rumah kontrakan baru mereka bertiga. Sekalian aku pengen tau di mana rumah baru ini. Untungnya mobil ini bisa diparkir di halaman rumah ini di bawah pohon seri yang lebat. Motor dikendarai Sari berboncengan dengan Titik.
Setelah kuubek-ubek isi bagasinya ternyata ada car-glove terbuat dari plastik untuk menyelubungi/melindungi kendaraan ini dari panas-hujan dan debu karena ketiadaan garasi di sini. Aman, deh.
Ternyata benar, rumah kontrakan mereka bertiga ini masih kosong melompong tak berisi perabotan berarti karena selama ini mereka hanya bertempat tinggal di sebuah kamar kos yang minim perabotan. Ranjang bertingkat di kamar kos kemaren sudah termasuk sewa beserta sebuah lemari berukuran sedang dan meja-kursi plastiknya. Pindah kemari, mereka cuma bawa pakaian dan beberapa buah perkakas seperti piring, gelas, teko dan kipas angin.
Duduk aja di lantai kembali lesehan dengan selembar tikar lusuh yang mereka temukan, bekas penghuni lama yang tertinggal.
Gak bilang kasihan atau apa, aku ajak mereka kembali pergi untuk membeli peralatan rumah tangga yang pasti mereka butuhkan. Sari dan Titik bilang sudah lelah jadinya kami hanya pergi berdua saja dengan mobil baru Nining.
“Kamu terlalu baik sama aku, Sat...” kata Nining saat kami meluncur pelan di jalan yang tidak terlalu lebar di wilayah pinggiran dekat kawasan industri ini.
“Gak loh, Ning... Aku yang harusnya banyak-banyak makasih sama kamu... Berkat kamu juga perjuanganku sudah semakin dekat... Tinggal yang satu ini dan semuanya selesai...” kataku sesekali meliriknya. Hanya backlight dari LCD 5 inchi di dashboard yang menerangi isi interior mobil. Musik instrumental koleksi Alex mengalun pelan hanya dua titik dari tiap speaker di dalam sini.
“Aku bukannya khawatir kalau kau melupakan kami saat Carrie sudah pulih ingatannya... Aku juga gak khawatir kalau Satria tak menemui kami sama sekali... Yang aku paling takutkan adalah Satria terluka... Terluka pada apapun. Terluka oleh perasaanmu sendiri... Beban perasaanmu begitu berat... Kami bisa merasakannya... Bahkan Silva dan Silvi yang anaknya begitu-pun tau itu... Selama ini Satria sudah memberikan begitu banyak kasih sayang dan perhatian pada kami... Entah seberapa besar itu semua... Mungkin sebesar dunia ini... Itu yang kami rasakan... Tapi Satria selalu menyangkalnya dan mengatakan itu pada dirimu sendiri... Cintaku hanya untuk Carrie... Hanya untuk Carrie... Kau sendiri pernah bilang... Cintamu terpaut momen... Dengan siapa kau berada saat itu... disanalah cintamu saat itu... Seberapa sering Satria bersama Carrie akhir-akhir ini? Seminggu? Dua minggu? Dia yang jauh di sana... Jarak jadi penghalang, kan? Sebelas bulan terakhir ini... Satria banyak menghabiskan waktu bersama kami... Dari April, Jessie, Aya... Silva-Silvi... A Fang... Fantina dan Della... Dan terakhir kemaren sama cewek bernama Maria itu... Disanalah semua waktu dan cintamu berada... Aku bukannya tidak percaya dengan cinta yang kau ucapkan tentang Carrie... Tapi itu semua seperti cangkang kosong saja... Cangkang kosong itu adalah ucapanmu... cintaku hanya untuk Carrie seorang... Tidak! Aku tidak bisa mengharapkan Satria juga hanya mencintaiku... Aku yakin Satria juga mencintaiku seperti aku mencintaimu... Terlepas dari penyangkalanmu tentang Carrie tadi... Kau juga mencintai April, Jessie, Aya... dan lainnya... Mereka semua teman-temanku... Saat kami berkumpul... yang menyatukan kami adalah figur dirimu... Kau tau persis gimana watak kami semua... Secara normal kami sudah bakal baku hantam... Yang menang pastinya Fantina kalau soal bunuh-bunuhan... Tapi itu gak kejadian... Kami malah membangun villa di tengah pulau bernama Airtas bersama-sama...” Nining mengungkapkan isi hatinya selama ini yang tak sempat diutarakannya saat di pulau kemarin. Kutepikan mobil ke pinggir jalan dengan lampu sein berkedip tanda sedang menepi dengan mesin tetap menyala.
Aku hanya bisa bersandar menatap langit-langit mobil yang rendah. Perasaan itu semua benar...
“Aku memang terlalu naif... Itu memang semua hanya harapanku... Aku terus mengatakan itu terus menerus. Berulang-ulang... Mendoktrin diriku sendiri... Cintaku hanya untuk Carrie... Hanya untuk Carrie... Itu terus... Aku jadi terjebak sendiri dan pernah itu jadi bumerang berbahaya di saat yang berbahaya juga... Fantina sudah pernah cerita tentang kejadian pertarungan kami dengan Cyrus itu? Itu masalah hidup dan mati. Salah sedikit saja nyawa taruhannya. Bisa-bisanya gambaran lengkap Carrie lenyap dari ingatanku. Blank—kosong! Kosong begitu aja... Kucoba ingat sekeras mungkin... yang teringat malah kalian semua... Untung saja adrenalin dan panas pertempuran cepat menyadarkanku... Aku sendiri bingung dengan perasaanku... Tapi semoga aku kuat... Aku harus kuat demi kalian semua juga, kan?” kataku menonjok pelan bangeeet lengannya.
Nining tersenyum manis di temaran interior mobil. Dikecupnya pipiku lagi pelan saja dan perjalanan berlanjut. Di sudut keramaian daerah pemukiman warga di dekat kawasan industri ini, kami berhenti di toko penjual alat-alat rumah tangga.
Aku membelikan mereka rice cooker, dispenser, kompor gas dan TV 14 inchi. Belanja begini udah seperti pengantin baru aja yang bermaksud mengisi rumah yang baru kami tempati. Mbak-mbak penjaga toko itu senyum-senyum melihat kami berdua.
Bayarnya? Tentu aja pake kartu kreditku. Untung aja walaupun daerahnya lumayan pelosok, mblusuk begini, udah nerima kartu kredit. Uang cash-ku, yang kusiapkan untuk tarohan dengan Alex plus yang kudapat darinya, maksudnya kusimpan untuk operasionalku berikutnya beberapa hari ke depan.
Pulang dari belanja peralatan rumah tangga, singgah lagi ke penjual makanan untuk beli sate dan martabak manis. Pasti oleh-oleh ini yang paling ditunggu Sari dan Titik.
--------​
Saat sudah tiba kembali di rumah kontrakan mereka dan menikmati sate dan martabak manis, SMS masuk dari nomor tak dikenal.
Bu Ajeng said:
Ini mami alex. kalau tertarik, balas sms ini segera. sy tunggu
Ini, nih yang kutunggu-tunggu. Segera kusimpan nomor ini. Pastinya ia dapat nomorku dari Alex yang sudah kuberikan padanya sebelumnya.
“Halo... Ini saya Satria...” malah tidak membalas SMS-nya tetapi menelepon untuk menunjukkan keseriusanku. Aku keluar rumah setelah permisi pada Nining, Sari dan Titik. Aku berdiri dekat mobil Brio yang diparkir di bawah pohon seri.
“Halo? Oh. Satria... Temannya Alex?” jawabnya di sana. Terdengar sunyi di background-nya. Sepertinya ia sedang sendirian atau ia menyuruh semuanya untuk diam.
“Benar... Tadi siang saya ketemu Alex... Sudah terima foto saya?” tanyaku langsung-langsung aja. Tidak perlu bertele-tele dengan pengusaha wanita ini.
“Sudah... Cukup bagus... Kamu sudah biasa beginian?” tanyanya cukup dalam. Ini pertanyaan normal baginya dan aku paham kenapa—karena mereka butuh keamanan dan privacy yang tinggi. Terlebih lagi kualifikasi mereka berbeda dengan wanita kebanyakan. Biasanya lelaki yang membayar untuk seks dan mereka tidak ada bedanya. Tidak salah juga kalau wanita membayar untuk seks kalau mereka mampu untuk itu.
“Iya... Asal angkanya cocok... tidak ada yang akan jadi masalah...” kataku menjawab taktis. Aku sudah membahas ini beberapa kali dengan Hellen juga Andin. Hellen mengatakan kalau aku harus kuat-kuat mental menghadapi para MILF itu. Karena konsep permainan mereka adalah arisan, pemenang arisan yang akan mendapatkan diriku. Terkadang pemenang arisan juga menyerahkan hadiahnya untuk dinikmati beramai-ramai pada peserta arisan lain. Caraku menyiapkan mentalku tentu saja dengan meningkatkan daya khayalku pada kesembilan peserta arisan itu. Foto-foto mereka menjadi bahan pelototanku. Untungnya mereka, walau sudah menyandang predikat ibu-ibu, masih cukup segar dan fuckable—sangat fuckable malah.
“Kami tidak ada masalah dengan angka... Sekali sesi arisan kamu akan mendapat 16 juta... Apa segitu cukup?” katanya juga tidak mau bertele-tele. Terbawa kebiasaan bisnisnya.
“Lebih dari cukup... Maaf? Saya sedang berbicara dengan siapa? Dari tadi kita belum berkenalan...” kataku.
“Oh, iya saya lupa... Nama saya Ajeng... Saat ini kamu cukup memanggil saya ibu Ajeng saja. OK?” jawabnya memperkenalkan diri.
“Baik, ibu Ajeng... Ini nantinya, kan sistem arisan? Kalau boleh tau... ada berapa banyak pesertanya?” tanyaku mencoba mendalami kegiatan baruku ini.
“Agak ribet ngobrol lewat telepon begini... Bisa ketemu aja?” katanya berterus terang.
“Boleh... Dimana ketemunya, bu Ajeng?” tanyaku.
“Saya tadi baru ketemu klien di hotel Meridien... Saya tunggu di lobby dalam setengah jam... Bisa?” katanya langsung memberikan tengat waktu.
“Tidak masalah. Saya akan tiba disana dalam setengah jam... Sampai jumpa, bu Ajeng. Selamat malam...” kataku sesopan mungkin. Kesan awal yang harus kuberikan padanya harus sebagus mungkin agar tak ada masalah kelak.
“Malam...” jawabnya lalu memutuskan sambungan.
Aku gak perlu buru-buru berangkat menyambangi hotel Meridien untuk bertemu bu Ajeng karena DOUBLE-an tubuhku sedang berada di kota sudah bersiap–stand by di atas Jaguar dari tadi sore. Aku hanya perlu menggabungkan diriku dengannya untuk menyatukan pengalaman kami. Aku masuk lagi ke dalam kontrakan dan ngobrol kembali bersama Nining, Sari dan Titik selama 15 menit lalu permisi pulang.
Agak bingung juga mereka dengan caraku pulang karena mobil Brio itu, kan kutinggal di halaman. Nining yang sudah paham kembali mengangkat joke tentang amuba membelah diri itu. Aku malah bilang sudah mesan taksi.
Setelah menon-aktifkan DOUBLE BEOWULF di tubuhku, aku berpindah tempat dan bergabung otomatis dengan tubuhku yang sedang berkendara diatas Jaguar hampir mencapai hotel Meridien di tengah kota.
Mobil kuparkir secara valet lalu masuk ke dalam lobby hotel dengan cepat. Begitu aku sudah di dalam, mataku langsung mencari-cari keberadaan bu Ajeng. Malam ini, lobby tidak terlalu ramai dan aku segera menemukannya sedang mengangkat tangan memberi kode padaku, lalu berjalan ke arah lift—memintaku mengikutinya masuk ke lift.
Di depan lift kami bersalaman.
“Satria...” kataku memperkenalkan diri lagi.

Ajeng
“Bu Ajeng...” sambutnya.
Wanita berumur 42 tahun ini masih sangat cantik dan kulitnya bersih tanpa kerutan khas orang-orang borjuis yang banyak melakukan perawatan tubuh untuk mempertahankan bentuk tubuh idealnya. Tingginya sekitar 160 cm ditopang sepatu hak tinggi dan pakaian adibusana desainer ternama. Sebuah tas bergantung di lengannya dan wanginya harum. Cantik tentunya... Aku melihat itu semua dari pantulan pintu lift kinclong yang belum terbuka. Ia juga memperhatikanku dengan cara yang sama.
Ding...
Pintu lift terbuka dan ia masuk ke dalamnya dengan elegan. Kuikuti langkahnya.
“Tolong lantai 22...” katanya saat ia berdiri hampir rapat dengan dinding lift menghadap pintu. Kutekan tombol lantai 22 yang segera menyala. Aku lalu berdiri di sampingnya.
“Umur kamu berapa?” tanyanya datar dengan pandangan lurus ke depan. Seperti sedang menginterview calon karyawan.
“17 tahun, bu Ajeng...” jawabku seperlunya.
“Bodi kamu cukup oke... Ganteng juga... Kamu rajin berolah raga?” tanyanya. Ini pasti tentang stamina. Kalau itu ia tidak perlu khawatir. Gue jabanin selama apapun... He-he-he.
“Lumayan, bu Ajeng... Biasanya basket dan renang...” jawabku sewajarnya. Pintu lift terbuka dan kami sampai di lantai 22. Ia melangkah keluar dan kembali kuikuti. Langkah-langkah tak terlalu lebarnya kujajari sampai ia berhenti di depan pintu kamar 2214. Diacungkannya sebuah kartu kunci elektronik dan terbuka.
“Masuk...” katanya setelah ia melangkah masuk. Ditunggunya aku melewati pintu lalu ditutupnya lagi pintu kamar hotel ini.
Kamar ini masih terang benderang ketika ia mengarah ke stop kontak dan mematikan beberapa hingga hanya beberapa saja yang tetap menyala. Double bed bersprei putih berada dekat jendela bergorden tinggi berwarna krem. Dua lampu baca di meja kecil kanan kiri ranjang menyala berwarna kuning teduh. Bu Ajeng duduk di atas ranjang dan melipat kakinya dengan anggun. Aku berdiri rileks di depannya.
“Sebelumnya... saya harus menyampaikan ini mewakili teman-temanku karena ini masalah yang penting bagi kami... Kami ini sekumpulan ibu-ibu yang haus hiburan... Hiburan mahal yang bisa kami bayar dari kerja keras kami... Kebanyakan dari kami adalah pengusaha... business woman... Dengan menjadi brondong kami... kau tak boleh membicarakan ini pada siapapun... apalagi identitas kami... Kau hanya mengikuti semua permainan kami... Tidak ada yang bahaya dalam permainan kami... Hanya fantasi biasa ibu-ibu yang ingin bercinta dengan lelaki yang jauh lebih muda... Karena kau klaim sudah biasa melakukan ini, sepertinya kita tidak ada masalah... Kau sudah tau kelanjutannya... Ada yang ingin kau tanyakan?” kata bu Ajeng tetap duduk menyilangkan kaki dengan anggunnya.
“Tidak ada, bu Ajeng... Saya paham semua masalah rahasia tadi... Itu sudah sesuai dengan angka yang tadi kita diskusikan sebelumnya...” jawabku menyesuaikan diri.
“Bagus... Kamu sepertinya dari keluarga yang cukup berada dan terpelajar... Kalau tidak mau dijawab tidak apa-apa... Kenapa kamu melakukan ini semua? Karena uang-kah?” tanyanya mulai ingin kenal denganku lebih jauh.
“Awalnya karena iseng, bu... Selanjutnya, ibu Ajeng tau sendiri gimana godaan hidup pemuda sepertiku yang harus hidup di kota besar seperti ini... Lagipula bersama dengan wanita dewasa punya sensasi yang berbeda... Apalagi tidak ada tanggung jawab dan lain-lainnya kalau bercinta dengan kalangan anda... Beda kalau saya bersama dengan seumuran saya... Tentunya saya harus kuat di bidang finansial dulu... Dengan kalangan ibu Ajeng... sudah dapat enak... duitnya besar lagi...” kataku mengulang skrip yang sudah kusiapkan dan hapal luar kepala.
“Hmm... Bagus kalau begitu... Kita tidak ada masalah kalau begitu jawabanmu... Lepaskan semua pakaianmu...” pintanya tanpa banyak basa-basi.
Sudah kuantisipasi sebelumnya dan tanpa menunggu disuruh lagi, kulakukan yang dimintanya. Yang pertama lepas adalah kaos polo ini agar ia bisa melihat tubuh atasku. Kupandangi ia saat menatap dadaku. Kulipat seadanya dan kuletakkan di atas meja di samping ranjang. Dengan menekan tumit sepatuku, tanpa membungkuk, sepatu kulepas beserta kaus kakinya dengan bantuan jepitan jari kaki. Kemudian gesper ikat pinggangku lepas lalu kancing celana panjang berbahan cargo melorot jatuh meninggalkan celana dalam putih model brief-ku.
Mata bu Ajeng terpaku pada gembungan menonjol berisi penisku yang masih terbungkus kain katun pakaian dalamku yang tersisa. Tak membuatnya menunggu lama, CD brief ketat itu juga sudah meninggalkan kakiku dan kulipat menyusul bajuku tadi. Aku kembali berdiri di depannya. Dari gerakan otot lehernya, kulihat bu Ajeng berkali-kali meneguk ludah.
Dengan jari telunjuk ia memberi tanda memutar jarinya, memintaku berputar. Kuturuti maunya dan aku berputar melawan arah jarum jam dengan perlahan saja agar ia bisa menjilati seluruh tubuhku dengan pandangan matanya. Tanganku sedikit kubentangkan hingga otot-otot lenganku sedikit menegang.
“Mendekat kemari...” ujarnya sedikit parau saat aku sudah menghadapinya lagi. Kakinya masih menyilang berlipat tetapi tangannya bertumpu di samping badannya yang condong ke depan. Kuikuti lagi apa maunya dan aku hanya setengah meter di depannya yang duduk gelisah.
“Saya suka sekali pemuda besar sepertimu tanpa rambut di titit sebesar ini...” gumamnya sudah hampir menerkamku. Aku memang menyukur semua rambut jembutku dari permukaan kulit selangkanganku sampai harus ke salon untuk di-wax. Mulus-lus.
Dipegangnya penisku yang belum menegang penuh itu tepat di pangkalnya dan dielus-elusnya semi mengocok. Tangannya halus dan hangat. Kukunya yang panjang terawat mahal dengan terampil tidak menyakiti kulit kemaluanku yang sensitif.
Wajah cantiknya yang full make-up mendekati batang kemaluanku. Dihirupnya dalam-dalam aroma penisku yang sejak tadi siang belum menghirup udara bebas saat mandi bersih-bersih. Aroma selangkangan pria muda mungkin menjadi fetish favorit ibu bernama Ajeng ini. Hidungnya bergesekan dengan kulit penisku saat ia ia menghirup kuat aroma yang dihasilkan tubuhku.
Kemudian pipinya ditempelkannya di batang penisku. Dielus-elusnya penisku dengan pipinya perlahan. Lalu dihirupnya lagi aroma penisku dalam-dalam seolah tak akan puas.
“Saya suka sekali aroma tititmu, Satria...” katanya menengadah memandangku dari bawah sana. Penisku masih digesek-gesekkan di pipinya. Untung tadi siang aku mandi dulu sepulang sekolah sebelum memulai aktifitasku. Tapi ini sudah beberapa jam kemudian dan harusnya memang bau. Apa kalau lebih bau sampe busuk gitu, bu Ajeng malah lebih menggila?
“Bagus kalau bu Ajeng suka...” kataku berusaha profesional. Tapi si otong, kontol, titit, blegug sialan ini gak bisa banget dikendalikan. Pada pake ngaceng poll sekarang. Makin girang bu Ajeng menghirup aroma penisku yang menegang keras. Hidungnya melata mematuk-matuk kulit penisku yang mengkilap.
“Tititmu keras... besar dan kulitnya licin... Kamu sudah sering memakainya... sampai sebegini licin...” katanya menebak dengan tepat sekali. Sudah berapa banyak liang kenikmatan yang kutembus dengan titit-titit-tuwit-ku ini. “Dipake-in ke perempuan... bukan cuma coli, kan?”
Aku tak perlu menjawabnya. Aku hanya tersenyum.
“Saya akan membayarmu segini... kalau kamu mau memuaskan saya malam ini?” katanya mengacungkan lima jari lentiknya lebar-lebar. 5 juta... Aku pernah menolak dibayar Sherly Ong saat di pulau Christmas dua bulan lalu. Aku tersinggung sekali saat itu karena ia mengira aku bisa dibayar untuk kesenangan. Tapi kali ini aku tidak boleh menolak.
Aku mengangguk. Walau dibayar atau tidak.
Bu Ajeng langsung mencaplok penisku yang mengacung di depan matanya. Bagian kepala kemaluanku yang memerah disedot-sedotnya bergantian dengan dijilati seperti lolipop.
“Sluuuruuupp! Sluuuruupp! Sleekk... sleekk! Sluurrpp!” begitu suaranya silih berganti. Matanya terpejam menikmati sepuas-puasnya kejantanan muda di hadapannya. Diresapinya dalam-dalam rasa yang mungkin terkandung di dalam aksinya ini. Lidahnya menari-nari lincah melata di kulit penisku lalu menyelimuti panjang yang maksimal bisa dilahapnya.
Hanya rasa enak dan nikmat yang kurasakan. Menjalar seperti sengatan listrik hangat menyentil-nyentil dari sekujur penisku. Apalagi saat kepala jamur penisku yang disedotnya kuat. Seperti seluruh cairan tubuhku akan mengalir tanpa kendali kesana.
Dengan ujung bibirnya ia mengecup sepanjang sisi penisku. Pendek-pendek dan berdekatan. Cupangan kecil yang dilakukannya seolah tak mau meninggalkan setitikpun kulitku luput. Selagi cupangan kecilnya kecupannya terus berjalan, dua tangannya memijat lembut buah pelirku. Seakan mempersiapkan bibitku, meramu cairan cinta, menguleni spermaku agar siap menyembur pada waktunya nanti.
Jari-jarinya lugas melata jauh ke belakang menggoda anusku yang ikut distimulasinya. Dielus-elusnya selagi menggosok anusku. Penisku terus disedotnya kuat pada bagian kepala seakan tau pasti disitu letak kelemahan tiap pria. Pipinya kempot berdecap-decap menyedot kuat bak vacuum cleaner.
Telapak tangannya memulas kulit pahaku berputar-putar merangsang kulitku, bergeser ke samping lalu mulai meremas bongkah bokongku sementara ia terus menyedot-nyedot kepala penisku dengan kuat, tetap mata terpejam menikmati penuh.
Remasan bu Ajeng di pantatku ritmis bergantian dengan sedotan penuh tenaganya di kepala penisku. Tiap ia menyedot, tangannya meregang, saat ia mengambil nafas tangannya meremas-remas kembali bokongku.
Lalu ditariknya pantatku ke arahnya dan ia melakukan deep throat. Kepala penisku mentok menyentuh ujung akhir mulutnya yang berarti menekan jalan nafasnya baik dari hidung atau mulut. Mulutnya mengatup erat semampunya menggelomoh semua batang kemaluanku. Rasanya sangat hangat dan basah. Sangat enak tentunya. Seperti liang vagina yang memiliki lidah tertanam di dalamnya.
“Hoahhhmm...” lepasnya beberapa saat kemudian untuk menarik nafas kembali. Sejumlah liur kental menetes dari mulutnya dan yang tertinggal di sekujur penisku. Bahkan ada untaian liur menghubungkan penisku dan mulutnya. Bu Ajeng terbatuk kecil lalu mengulanginya kembali. Kembali melakukan deep throat hingga wajah cantik borjuisnya memerah menahan nafas.
Bu Ajeng sangat suka mempermainkan penisku. Penis anak muda pada umumnya karena bisa terjamin tingkat ereksi dan kekerasannya. Apalagi fetish-nya pada aroma penis yang dapat memicu birahinya ke tingkat seperti yang sedang kuhadapi kali ini.
Aku menahan diri dari mulai menggenjot mulutnya sebelum ia memulainya. Dan saat memindahkan pegangannya pada bokongku ke pinggang, ia mulai memaju-mundurkan kepalanya—mengocok penisku dengan mulutnya. Kubantu gerakannya dengan cara memompa pinggangku sehingga kepalanya diam saja di tempat.
Kuentoti mulutnya yang mengatup erat beserta sedotan yahudnya. Bibirnya mencengkram erat pergerakan batang penisku yang bergerak maju-mundur konstan. Vagina asli akan sulit mencapai kekuatan sedotan seperti ini kalau dibanding apa yang dipraktekkan bu Ajeng.
Sekali waktu ia melepas mulutnya untuk bernafas lega dan batuk-batuk. Diludahinya kepala penisku lalu dibalurkannya merata ke sekujur permukaannya lalu dilahapnya kembali.
“Kamu pinter sekali, Satria... Belum pernah ada yang tahan saya beginiin selama ini. loh?” katanya mengocok penisku dengan kedua tangannya gemas. Diremas-remas dan dijilatinya kembali kepala penisku yang sudah berwarna merah tua kebiruan.
“Tapi enak banget, bu Ajeng... Blow job ibu dahsyat... Top, deh...” pujiku meneruskan mengentoti mulutnya pelan-pelan.
“Gimana cara membuatmu cepat keluar? Mulut saya udah mulai pegel, nih...” katanya melepas penisku saat ngomong dan melahapnya lagi setelah selesai.
“Bu Ajeng mau saya keluar di mulut ibu?” tanyaku.
Ia hanya mengangguk dan terus menikmati goyangan penisku di mulutnya. Blow job mania sejati.
“Gak mau saya masukin ke itunya?” kataku agak sungkan menyebutnya. Aku belum begitu paham kepribadian bu Ajeng satu ini. Agak sungkan kalau ngomong jorok padanya. Ia menyebut penisku masih pake kata titit.
“Yang ini cuma untuk Bapak...” katanya melepas sebentar lalu dicaplok lagi. Oo... Begitu?
“Baiklah kalau begitu, bu... Saya paham...” jawabku. Karena itu ia tidak kunjung melepaskan pakaiannya dari tadi. Ia masih berpakaian lengkap walau sudah se-hot ini permainan kami. Jadi walau petualangan seksnya sudah sejauh dan seliar ini, ia hanya melakukan seks diluar kemaluannya. Apa benar ia bisa tahan melihat teman-temannya sudah melakukan tahap penetrasi—ia hanya kukuh; blow job.
“Maaf ya, bu Ajeng...” permisiku lalu memegangi kedua pipinya. Genjotan penisku ke mulutnya semakin bertambah intensif. Gerakan cepat menusuk-nusuk penuh tenaga bervariasi panjang pendek untuk mendapat efek gesekan yang maksimal di mulutnya yang sangat ahli.
Ludahnya menetes-netes dan berkecipak nyaring karena beceknya mulutnya yang bisa diandalkannya. Ia hanya mengizinkan mulutnya untuk menikmati kesenangan ini dari pemuda-pemuda pilihannya dan tubuhnya yang lain untuk suaminya yang pejabat tinggi kepolisian.
Kenapa Alex gak pernah memberitahuku masalah ini, ya? Mungkin karena itu Alex cenderung untuk mempunyai cewek lain yang bisa ditidurinya di lubang manapun.
Bu Ajeng memejamkan matanya, menghayati fantasinya sembari menjamah tiap kulit tubuhku yang dapat dijangkaunya. Perut, pantat, paha, pinggangku.
Sudah terasa geli-geli-enak di sekujur penisku. Apalagi kepala penisku yang sudah sangat keras mengkilap. Siap meledak dalam waktu dekat. Kecepatan kocokanku di mulut bu Ajen semakin kencang. Bu Ajeng mencengkram pinggulku untuk pegangan agar mulutnya tetap bisa kujejali penisku.
“Inniihh diaaahh, buuu... Iiinniihhh! Ehh... Eh... Ehh...” keluhku. Berkedut-kedut batang penisku memompakan cairan kental putihku ke dalam mulutnya.
Mata bu Ajeng membelalak merasakan semburan kental spermaku di dalam rongga mulutnya. Ia tidak sungkan menampung semuanya di dalam mulutnya. Rasa geli dan enaknya berangsur-angsur berkurang tetapi masih terasa saat bu Ajeng menyedot sisa-sisa yang masih tertahan di saluran urat penisku.
Kutarik lepas penisku dari mulut bu Ajeng yang mengatup mulutnya. Padahal sebanyak itu, ia menampung semuanya dengan menggembungkan pipinya.
“Enak, bu Ajeng?” tanyaku mundur selangkah darinya yang masih berjongkok di hadapanku. Ia masih mempermainkan spermaku di mulutnya dengan lidah bak cairan kehidupan paling berharga di dunia ini. Sayang untuk dihabiskan cepat-cepat.
“Aahhmmm... ehmm...” dibukanya mulutnya untuk menunjukkan padaku isi mulutnya yang penuh dengan spermaku yang menggenang di sekitar lidah dan gigi depannya. Dengan lidahnya ia meneteskan spermaku keluar tetapi ditampungnya di telapak tangannya. Dibentuk tangkupan besar untuk menampungnya di kedua tapak tangan. Sisa yang tak bisa keluar dari mulutnya disesapnya—ditelan habis.
Lalu ia menjilati pelan-pelan tampungan sperma di telapak tangannya dengan gestur sangat menikmati. Dicucupnya sedikit-sedikit lalu mempermainkan lidahnya di sekitar bibir tebalnya lalu diulanginya kembali. Bu Ajeng tak mau menyia-nyiakan setetespun spermaku jadi mubazir.
Tak lama habis dan dijilatinya kedua tapak tangannya dari apapun yang tersisa. Selama semua proses itu, aku hanya memandangi keseksian yang dipertontonkan wanita berumur ini walau tanpa membuka bajunya sama sekali. Kalau gak ingat-ingat tujuan besarku, sudah kuperkosa wanita ini sekarang juga.
“Lezat sekali... Ini kualitas nomer satu... Number one!” katanya lalu bangkit dengan gaya elegannya. Dihirupnya untuk terakhir kalinya kedua tapak tangannya dalam-dalam dan beranjak ke kamar mandi berikut membawa tas mahalnya.
Kupakai kembali celanaku minus pakaian hingga aku hanya bertelanjang dada. Duduk menunggu di atas ranjang. Aku tidak mengharapkan ini berlanjut lagi ke seks penetrasi tapi siapa yang tau, kan? Lagipula ia sudah bersedia membayarku mahal hanya untuk blow job. Apa segitu udah mahal, ya?
Sekitar sepuluh menit kemudian bu Ajeng keluar dari kamar mandi sudah dalam keadaan segar. Ia sudah me-retouch make-up-nya hingga dandanannya kembali sempurna. Tasnya sudah menggantung di lengannya. Ia berdiri sebentar di depan pintu begitu melihatku duduk bertelanjang dada dengan celana terpasang. Lalu ia tersenyum.
“Menunggu bayaranmu, ya?” katanya menghampiriku sambil membuka tasnya. Ia tersenyum lebar kala duduk di sampingku.
“Teman-temanku pasti akan suka bertemu denganmu... Tunggu kabar selanjutnya dari saya, ya?” ujarnya setelah menyerahkan segepok uang berwarna merah padaku sejumlah 50 lembar.
“Baik, bu Ajeng...” jawabku patuh.
Dijawilnya daguku sekilas lalu berlalu. Suara ketukan hak sepatunya menuju pintu, membukanya lalu segera menghilang di baliknya. Meninggalkanku sendiri di kamar hotel 2214 ini, memegangi segepok uang. Harga untuk servisku barusan.
Kubuang semua pikiran negatif yang mengganggu pikiranku dengan mandi shower di kamar mandi hotel Meridien ini. Air dinginnya membasahi kepalaku yang rasanya menggelegak panas. Tubuhku basah dingin tetapi nafasku panas. aku berusaha bernafas teratur dengan menghirup dalam-dalam udara, oksigen yang kuharap bisa menjernihkan kepalaku. Menggerus kerak-kerak pikiran mengganggu, mengikis kotoran bernama bersalah.
Kupandangi wajahku di cermin yang sedikit mengembun karena perbedaan suhu dingin dan panas yang dihasilkan tubuhku. Kupandangi dalam-dalam mataku sendiri. Seperti ada kekosongan yang sangat luas di sana. Luas sekali hingga seluruh isi dunia ini ada di sana tetapi masih banyak meninggalkan sisa ruang untuk diisi macam-macam lainnya.
“Apa ini yang kau cari?” tanyaku pada diriku sendiri.
--------​
Berkendara hampir tengah malam di tengah kota yang belum sunyi begini membuatmu merasa tidak sendirian tetapi sejatinya kesepian. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Geliat kehidupan malam tidak berhenti di larutnya kelam. Semakin meriah dan semakin bergolak.
Beberapa kelompok eksmud pergi bareng memasuki sebuah club yang happening di tengah kota. Kelompok lainnya menyusul. Beberapa cewek seksi, pasangan yang memadu kasih, orang-orang kesepian sepertiku, mencoba mencari sedikit keriaan hidup. Ria yang semu.
Seorang pengamen cilik yang melintas kupanggil. Baju lusuh yang dipakainya sejak pagi sudah kumal oleh keringat dan debu pekat kota. Kecrekan beberapa tutup botol dipaku di sebatang kayu adalah senjatanya mencabik dunia. Ia masih terlalu jauh dari tempat yang bisa ia sebut rumah. Tempat untuknya sekedar beristirahat, membaringkan tubuh mungil kurus kurang gizinya. Untuk saat terang nanti, bertarung kembali dengan gerahnya dunia.
Ia melongo heran saat kutinggalkan ia dengan asap pembuangan Jaguar-ku yang meraung menjauh melesat cepat dengan segenggam penuh noda servisku. Semoga di tangannya noda itu lebih berguna.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd