xiro
Semprot Kecil
- Daftar
- 8 Sep 2016
- Post
- 81
- Like diterima
- 1
Part 7
Mia Amelia
Perasaanku hari ini seperti gado-gado, campur aduk. Setelah shock dengan kehadiran Edwin yang tiba-tiba mucul
kembali setelah 8 tahun, lalu siapa yang menyangka kalau sekarang dia adalah bosku, belum lagi obrolan ketika
diruangannya yang mampu membuat semua kenanganku bersamanya kembali muncul dalam ingatanku dan
sekarang dia mentraktir semua pegawai di divisi marketing untuk makan malam bersama dan berkaraoke. Dia bilang
itu sebagai awal perkenalan dengan semua bawahannya dan untuk menjalin keakraban.
"Maafkan aku ya sayang, malam ini kita tidak bisa malam mingguan," kataku pada Wildan disebrang hape.
"Ya sudah tidak apa-apa. Memangnya hari ini kamu lembur?"
"Tidak. Lebih buruk dari itu, bos baruku datang hari ini. Dan sebagai awal perkenalan dia mengajak semua
pegawaai di divisi marketing untuk makan malam."
"Oh, wah baik juga ya bos baru kamu."
"Apanya yang baik. Dia lebih jahat dari Pak Rudy," ketusku tidak percaya mendengar komentar Wildan. Sebaiknya
aku juga tidak usah memberi tahu dia kalau bos baruku itu adalah mantanku.
"Kok bisa sih kamu berkomentar seperti itu. Memangnya dihari pertama dia menjadi bos sudah marah-marah."
"Enggak juga sih,"
"Nah kan, jangan nge-judge bos kamu seperti itu dong. Lagian ini kan baru hari pertama. Ya sudah kamu have fun
ya, kalau sudah selesai kamu telpon aku ya biar aku bisa jemput kamu."
"Oke."
"Eh Mia, aku lupa ngasih tahu kamu, besok orangtuaku datang ke Bandung. Rencananya aku mau mengajak
orangtua kamu untuk makan malam bersama dengan orangtuaku. Ya sekalian meminta restu buat meminang kamu,"
kata Wildan penuh rasa bahagia.
"Serius Wil, oke nanti aku hubungi orangtuaku. Ya ampun aku seneng banget sayang, makasih ya. Muah..."
Aku tersenyum lebar sambil berkaca pada cermin yang berada di atas wastafel. Sekarang aku memang sedang
berada ditoilet sebelum berangkat untuk makan malam. Sejenak aku pandangi cincin yang melingkar dijariku.
Kukecup berulang kali dan kuluapkan rasa bahagiaku. "Akhirnya aku akan menikah..." kataku bahagia didepan
cermin. Namun sedetik kemudian rasa bahagia itu sirna ketika kata-kata Erwin tadi terngiang-ngiang dalam pikiranku.
"Kamu masih ingat janjiku kan?"
Apa yang harus aku lakukan, disatu sisi aku bahagia karena aku akan segera menikah. Namun disisi lain
perasaanku menjadi tidak tenang dengan kehadiran Edwin yang datang secara tiba-tiba. Kuterus memandang diriku
dicermin di mana mataku terpusat pada dada kiriku. Kedua tanganku secara perlahan membuka kancing kemejaku
dan kuraba tepat di mana dulu Edwin pernah membuat tanda merah.
"Kenapa dia harus datang di saat aku akan menikah." Tanpa kusadari airmata sudah mengalir begitu saja dipipiku.
Segera kuseka begitu hapeku berbunyi.
"Lama sekali sih ditoiletnya," ucap Shanti yang menungguku di depan lift Bukan hanya Shanti saja tapi juga ada
Mbak Gina dan Edwin.
"Yang lain sudah menuju kafe, berhubung aku tidak bawa mobil jadi kita numpang saja sama Pak Edwin, boleh
kan Pak," ujar Mbak Gina yang langsung dijawab oleh anggukan Edwin.
"Tentu saja, lebih baik kita bergegas. Kasihan kalau sampai di sana mereka menunggu kita," katanya lalu
mempersilahkan kami masuk lift duluan.
Di dalam lift, Mbak Gina dan Shanti banyak mengobrol dengan Edwin sementara aku hanya sesekali saja
menimpali obrolan mereka. Di saat jam pulang seperti ini tentu lift akan penuh disetiap lantai. Masuknya karyawan
lain disetiap lantai membuat aku terdorong kebelakang di mana Edwin berada dibelakangku. Bahkan jarak antara aku
dan Mbak Gina serta Shanti jadi berjauhan dan terhalang oleh para karyawan dari perusahan lain yang sama-sama
menempati gedung yang sama.
Glek! Aku meremas tanganku ketika semua orang mulai saling mendorong sehingga aku semakin menempel pada
tubuh Edwin. Mataku membulat ketika bisa kurasakan sesuatu berada tepat dibokongku. Sesuatu yang keras dan aku
tahu itu apa. Hembusan nafas lembutnya bisa kurasakan tepat disekitar tekuk leherku. Ketika kucoba untuk bergeser
agar tidak berada dibelakangnya, hal itu malah membuat keadaan semakin serba salah. Akibat gerakanku itu malah
membuat gesekan Mr. P Edwin dibokongku semakin mengeras. Meski tersembunyi dibalik celana tapi aku bisa
merasakannya karena hal itu pernah aku rasakan ketika milik Wildan mengeras.
Posisi ini benar-benar membuatku risih. Kepunyaan Edwin benar-benar menempel dibokongku yang membuat Miss
V-ku terasa panas. Dan yang lebih sialnya lagi wanita yang ada dihadapanku tidak mau diam dan selalu melakukan
gerakan mundur mendadak sehingga membuatku berusaha menghindar darinya agar kakiku tidak terinjak olehnya.
Gerakan untuk menghindar itu malah membangkitkan reaksi yang sensual antara bokongku dengan kejantanan
Edwin. Kakiku terasa bergetar saat Edwin berusaha membetulkan posisi berdirinya. Sebuah gerakan perlahan yang
mampu membuatku harus menggigit bibir bawahku agar tidak terdengar desahan.
ini tiba-tiba penuh sih. Sejenak aku menoleh pada Mbak Gina dan Shanti yang berada
disamping dekat pintu.
Ya ampun kenapa lift ini tiba-tiba penuh sih. Sejenak aku menoleh pada Mbak Gina dan Shanti yang berada
disamping dekat pintu. Hmft... Seandainya aku berada di sana mungkin aku tidak akan merasakan gairah sensual
yang mulai memanas ini. Pintu lift mulai masuk. Otomatis yang sudah berada di dalam harus mundur beberapa langkah untuk
memberi ruang pada mereka. Dan insiden penuh gairah ini dua kali lebih sensual ketika wanita yang ada didepanku
terdorong hingga aku pun terdorong dan menempel kembali pada Edwin secara cepat. Kontan dorongan itu membuat
bokongku dan kejantanan Edwin beradu cukup keras yang mampu membuatku hampir mendesah penuh kenikmatan.
Segera aku menutup mulutku dan menggigit lidahku.
Sejenak aku menoleh pada Edwin yang sedang memalingkan wajahnya sambil menutup matanya. Aku yakin dia
pun sedang menahan desahannya. Bukan hanya itu saja, ketika dorongan itu terjadi tiba-tiba dengan cepat tangan
kirinya meremas pahaku. Aku dan dia memang berada dipojokan terdalam lift sehingga orang lain tidak akan
menyadari kalau Edwin meremas pahaku. Aku semakin meremas tanganku. Tidak mungkin aku berteriak.
"Aduh, maaf ya mbak," kata wanita itu dan hanya aku jawab dengan anggukan kepala saja.
Keadaan tidak berubah ketika kini kurasakan kalau dia meraba pahaku dengan lembut. Tubuhku terasa panas.
Hasratku terbakar. Apa yang dia lakukan? Tanpa menarik perhatian orang yang berada disampingnya, Edwin mulai
bergerak dengan dalih membetulkan posisi berdirinya secara perlahan yang membuatku terangsang. Sungguh aku
sudah tidak tahan lagi dengan gerakan ini. Aku jadi teringat dengan keinginanku untuk bercinta dengan Wildan yang
hanya terpuaskan lewat sentuhan seperti ini.
Tangan Edwin semakin tidak terkontrol. Secara perlahan tangannya mulai menyelinap kedalam rokku. Jantungku
semakin berdegup kencang. Sensasi ini membangkitkan gairah sex-ku. Aku tidak bisa tinggal diam. Seenaknya saja
dia memperlakukan aku seperti ini. Kulihat tinggal satu lantai lagi menuju basement, akan aku balas perbuatan dia
yang membuatku harus menahan agar desahanku tidak keluar. Begitu sampai di basement dan pintu lift terbuka dan
semua orang saling bergantian untuk keluar, dengan sengaja aku menghentakkan bokongku secara cepat kebelakang
sehingga ada hentakan dengan kejantanan Edwin yang mampu membuat dia mendesah lembut. Namun dia cerdik,
desahannya itu tertutupi dengan pura-pura batuk agar orang-orang tidak curiga.
"Mia..." lirihnya penuh sisa-sisa desahan ketika tinggal aku dan dia yang terakhir keluar. Aku menoleh tajam
padanya lalu dengan tatapan sinis aku meninggalkan dia yang masih belum beranjak dipojokan lift. Segera aku
menyusul Mbak Gina dan Shanti yang sudah keluar duluan. Sekuat tenaga aku berjalan normal meski sebenarnya kaki
terasa lemas akibat perbuatannya terlebih tindakanku barusan yang membuat sesuatu cairan keluar dari
kepunyaanku.
BERSAMBUNG
Mia Amelia
Perasaanku hari ini seperti gado-gado, campur aduk. Setelah shock dengan kehadiran Edwin yang tiba-tiba mucul
kembali setelah 8 tahun, lalu siapa yang menyangka kalau sekarang dia adalah bosku, belum lagi obrolan ketika
diruangannya yang mampu membuat semua kenanganku bersamanya kembali muncul dalam ingatanku dan
sekarang dia mentraktir semua pegawai di divisi marketing untuk makan malam bersama dan berkaraoke. Dia bilang
itu sebagai awal perkenalan dengan semua bawahannya dan untuk menjalin keakraban.
"Maafkan aku ya sayang, malam ini kita tidak bisa malam mingguan," kataku pada Wildan disebrang hape.
"Ya sudah tidak apa-apa. Memangnya hari ini kamu lembur?"
"Tidak. Lebih buruk dari itu, bos baruku datang hari ini. Dan sebagai awal perkenalan dia mengajak semua
pegawaai di divisi marketing untuk makan malam."
"Oh, wah baik juga ya bos baru kamu."
"Apanya yang baik. Dia lebih jahat dari Pak Rudy," ketusku tidak percaya mendengar komentar Wildan. Sebaiknya
aku juga tidak usah memberi tahu dia kalau bos baruku itu adalah mantanku.
"Kok bisa sih kamu berkomentar seperti itu. Memangnya dihari pertama dia menjadi bos sudah marah-marah."
"Enggak juga sih,"
"Nah kan, jangan nge-judge bos kamu seperti itu dong. Lagian ini kan baru hari pertama. Ya sudah kamu have fun
ya, kalau sudah selesai kamu telpon aku ya biar aku bisa jemput kamu."
"Oke."
"Eh Mia, aku lupa ngasih tahu kamu, besok orangtuaku datang ke Bandung. Rencananya aku mau mengajak
orangtua kamu untuk makan malam bersama dengan orangtuaku. Ya sekalian meminta restu buat meminang kamu,"
kata Wildan penuh rasa bahagia.
"Serius Wil, oke nanti aku hubungi orangtuaku. Ya ampun aku seneng banget sayang, makasih ya. Muah..."
Aku tersenyum lebar sambil berkaca pada cermin yang berada di atas wastafel. Sekarang aku memang sedang
berada ditoilet sebelum berangkat untuk makan malam. Sejenak aku pandangi cincin yang melingkar dijariku.
Kukecup berulang kali dan kuluapkan rasa bahagiaku. "Akhirnya aku akan menikah..." kataku bahagia didepan
cermin. Namun sedetik kemudian rasa bahagia itu sirna ketika kata-kata Erwin tadi terngiang-ngiang dalam pikiranku.
"Kamu masih ingat janjiku kan?"
Apa yang harus aku lakukan, disatu sisi aku bahagia karena aku akan segera menikah. Namun disisi lain
perasaanku menjadi tidak tenang dengan kehadiran Edwin yang datang secara tiba-tiba. Kuterus memandang diriku
dicermin di mana mataku terpusat pada dada kiriku. Kedua tanganku secara perlahan membuka kancing kemejaku
dan kuraba tepat di mana dulu Edwin pernah membuat tanda merah.
"Kenapa dia harus datang di saat aku akan menikah." Tanpa kusadari airmata sudah mengalir begitu saja dipipiku.
Segera kuseka begitu hapeku berbunyi.
"Lama sekali sih ditoiletnya," ucap Shanti yang menungguku di depan lift Bukan hanya Shanti saja tapi juga ada
Mbak Gina dan Edwin.
"Yang lain sudah menuju kafe, berhubung aku tidak bawa mobil jadi kita numpang saja sama Pak Edwin, boleh
kan Pak," ujar Mbak Gina yang langsung dijawab oleh anggukan Edwin.
"Tentu saja, lebih baik kita bergegas. Kasihan kalau sampai di sana mereka menunggu kita," katanya lalu
mempersilahkan kami masuk lift duluan.
Di dalam lift, Mbak Gina dan Shanti banyak mengobrol dengan Edwin sementara aku hanya sesekali saja
menimpali obrolan mereka. Di saat jam pulang seperti ini tentu lift akan penuh disetiap lantai. Masuknya karyawan
lain disetiap lantai membuat aku terdorong kebelakang di mana Edwin berada dibelakangku. Bahkan jarak antara aku
dan Mbak Gina serta Shanti jadi berjauhan dan terhalang oleh para karyawan dari perusahan lain yang sama-sama
menempati gedung yang sama.
Glek! Aku meremas tanganku ketika semua orang mulai saling mendorong sehingga aku semakin menempel pada
tubuh Edwin. Mataku membulat ketika bisa kurasakan sesuatu berada tepat dibokongku. Sesuatu yang keras dan aku
tahu itu apa. Hembusan nafas lembutnya bisa kurasakan tepat disekitar tekuk leherku. Ketika kucoba untuk bergeser
agar tidak berada dibelakangnya, hal itu malah membuat keadaan semakin serba salah. Akibat gerakanku itu malah
membuat gesekan Mr. P Edwin dibokongku semakin mengeras. Meski tersembunyi dibalik celana tapi aku bisa
merasakannya karena hal itu pernah aku rasakan ketika milik Wildan mengeras.
Posisi ini benar-benar membuatku risih. Kepunyaan Edwin benar-benar menempel dibokongku yang membuat Miss
V-ku terasa panas. Dan yang lebih sialnya lagi wanita yang ada dihadapanku tidak mau diam dan selalu melakukan
gerakan mundur mendadak sehingga membuatku berusaha menghindar darinya agar kakiku tidak terinjak olehnya.
Gerakan untuk menghindar itu malah membangkitkan reaksi yang sensual antara bokongku dengan kejantanan
Edwin. Kakiku terasa bergetar saat Edwin berusaha membetulkan posisi berdirinya. Sebuah gerakan perlahan yang
mampu membuatku harus menggigit bibir bawahku agar tidak terdengar desahan.
ini tiba-tiba penuh sih. Sejenak aku menoleh pada Mbak Gina dan Shanti yang berada
disamping dekat pintu.
Ya ampun kenapa lift ini tiba-tiba penuh sih. Sejenak aku menoleh pada Mbak Gina dan Shanti yang berada
disamping dekat pintu. Hmft... Seandainya aku berada di sana mungkin aku tidak akan merasakan gairah sensual
yang mulai memanas ini. Pintu lift mulai masuk. Otomatis yang sudah berada di dalam harus mundur beberapa langkah untuk
memberi ruang pada mereka. Dan insiden penuh gairah ini dua kali lebih sensual ketika wanita yang ada didepanku
terdorong hingga aku pun terdorong dan menempel kembali pada Edwin secara cepat. Kontan dorongan itu membuat
bokongku dan kejantanan Edwin beradu cukup keras yang mampu membuatku hampir mendesah penuh kenikmatan.
Segera aku menutup mulutku dan menggigit lidahku.
Sejenak aku menoleh pada Edwin yang sedang memalingkan wajahnya sambil menutup matanya. Aku yakin dia
pun sedang menahan desahannya. Bukan hanya itu saja, ketika dorongan itu terjadi tiba-tiba dengan cepat tangan
kirinya meremas pahaku. Aku dan dia memang berada dipojokan terdalam lift sehingga orang lain tidak akan
menyadari kalau Edwin meremas pahaku. Aku semakin meremas tanganku. Tidak mungkin aku berteriak.
"Aduh, maaf ya mbak," kata wanita itu dan hanya aku jawab dengan anggukan kepala saja.
Keadaan tidak berubah ketika kini kurasakan kalau dia meraba pahaku dengan lembut. Tubuhku terasa panas.
Hasratku terbakar. Apa yang dia lakukan? Tanpa menarik perhatian orang yang berada disampingnya, Edwin mulai
bergerak dengan dalih membetulkan posisi berdirinya secara perlahan yang membuatku terangsang. Sungguh aku
sudah tidak tahan lagi dengan gerakan ini. Aku jadi teringat dengan keinginanku untuk bercinta dengan Wildan yang
hanya terpuaskan lewat sentuhan seperti ini.
Tangan Edwin semakin tidak terkontrol. Secara perlahan tangannya mulai menyelinap kedalam rokku. Jantungku
semakin berdegup kencang. Sensasi ini membangkitkan gairah sex-ku. Aku tidak bisa tinggal diam. Seenaknya saja
dia memperlakukan aku seperti ini. Kulihat tinggal satu lantai lagi menuju basement, akan aku balas perbuatan dia
yang membuatku harus menahan agar desahanku tidak keluar. Begitu sampai di basement dan pintu lift terbuka dan
semua orang saling bergantian untuk keluar, dengan sengaja aku menghentakkan bokongku secara cepat kebelakang
sehingga ada hentakan dengan kejantanan Edwin yang mampu membuat dia mendesah lembut. Namun dia cerdik,
desahannya itu tertutupi dengan pura-pura batuk agar orang-orang tidak curiga.
"Mia..." lirihnya penuh sisa-sisa desahan ketika tinggal aku dan dia yang terakhir keluar. Aku menoleh tajam
padanya lalu dengan tatapan sinis aku meninggalkan dia yang masih belum beranjak dipojokan lift. Segera aku
menyusul Mbak Gina dan Shanti yang sudah keluar duluan. Sekuat tenaga aku berjalan normal meski sebenarnya kaki
terasa lemas akibat perbuatannya terlebih tindakanku barusan yang membuat sesuatu cairan keluar dari
kepunyaanku.
BERSAMBUNG