Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Ritual Sex di Gunung Kemukus

Chapter 25



Mau apa Bi Narsih ke sini, semoga tidak ada kejadian yang sangat penting sehingga memaksa dia datang. Semoga,kataku dalam hati berusaha menenangkan diriku yang agak terguncang mendengar kedatangan Bi Narsih tanpa kabar terlebih dahulu.

"Biar saya yang keluar, Bu.!" kataku mencegah Bu Tris yang akan menemui Bi Narsih. Aku bangun dan hampir saja menjatuhkan gelas yang isinya habis ku minum saat meletakkanya lagi di meja tersenggol olehku, untung gerak reflekku sudah sangat terlatih sehingga berhasil menyelamatkan gelas.

"Ada apa, Bi?" tanya sebelum mencium tangannya, kabar apa yang membuatnya datang jauh jauh dari Bogor Ke Gunung Kemukus, padahal jarak yang harus ditempuhnya sangat jauh, menempuh waktu yang cukup lama.

"Kamu, bukannya cium tangan malah langsung bertanya, sepertinya kamu sudah ketularan Bibi ya!" goda Bi Narsih mengingatkanku dengan kebiasaannya selama ini yang selalu membombardir kami dengan berbagai pertanyaan sebelum kami duduk dan menarik nafas, pertanyaan yang kadang kala membuat kami jengkel. Sekarang Bi Narsih pasti merasakan hal yang sama seperti yang kami rasakan.

"Iya Bi, lupa." jawabku segera mencium tangannya yang halus terawat, tangan yang selalu memberiku kehangatan saat aku masih kecil dan menangis karena dimarahi Ibu, tangan yang masih tetap memberiku kehangatan sebagai pria dewasa. Senyum Bi Narsih membuatku sedikit lega berarti tidak ada hal yang sangat penting yang membuat Bi Narsih datang. Mungkin dia hanya ingin memastikan semuanya baik baik saja.

"Kalian di sini semuanya dalam keadaan baik baik saja?" tanya Bi Narsih malah bertanya padahal pertanyaanku belum dijawabnya, seolah pertanyaanku bukan hal yang penting dan tidak perlu dijawab. Ini salah satu sifat Bi Narsih yang menonjol, dia lebih mementingkan orang orang yang dicintainya dan berusaha sekuat tenaga memberi kami rasa nyaman tanpa terpengaruh oleh situasi genting yang sedang dihadapinya. Situasi yang berusaha diselesaikannya sendiri tanpa melibatkan kami.

"Alhamdulillah semuanya dalam keadaan baik, Ujang sudah memberikan berkas itu kepada Bu Dhea seperti yang Bi Narsih perintahkan." jawabku. Aku melihat wajah Bi Narsih yang berubah dengan cepat, senyumnya dalam sekejap menghilang berganti dengan kemarahan. Aku sudah sangat hafal ekspresi wajahnya, kenapa Bi Narsih ti a tiba marah, jangan jangan...?

"Apa maksudmu? Bibi tidak pernah menyuruhmu memberikan berkas itu ke Dhea, tidak pernah." tanya Bi Narsih berusaha mengendalikan dirinya, kemarahannya tetap terlihat dari wajahnya yang cantik, kemarahan yang tidak mampu merenggut kecantikan wajahnya.

"Bu Narsih..!" tiba tiba Limah datang menghampiri Bi Narsih diikuti oleh Yoyoh, mereka bergantian mencium tangan Bi Narsih. Hebat, ekspresi wajah Bi Narsih berubah dengan cepat. Kemampuannya mengendalikan diri membuatku sangat takjub, dalam sekejap kemarahannya berganti dengan senyum menyambut kedatangan Limah, memeluk gadis cantik itu dengan penuh kasih sayang.

"Alhamdulillah, baik baik saja Bu. Ritualnya juga berjalan lancar." jawab Limah riang, sepertinya mereka sudah saling kenal dan terlihat akrab. Aneh, kenapa aku tidak mengetahuinya, ternyata banyak sekali yang tidak aku ketahui tentang Bi Narsih.

"Yoh, bagaimana keadaan kamu?" tanya Bi Narsih tersenyum lepas memeluk gadis gemuk sehingga tangan Bi Narsih tidak mampu memeluknya secara penuh. Tapi itu sudah cukup menunjukkan keakraban mereka, keakraban yang membuatku merasa heran.

"Alhamdulillah, Bu. Cuma kontol Kang Ujang terlalu besar, sakit banget waktu pertama kali disodok." jawab Yoyoh si gadis mesum, dia begitu santai mengatakan hal yang tidak seharusnya dikatakan di hadapan semua orang tanpa memperdulikan Limah yang mencubit pinggangnya karena jengkel.

"Tapi enakkan!" goda Bi Narsih sambil memegang kedua pipi Yoyoh yang gempal membuatnya terlihat semakin lucu saat Bi Narsih menekannya, mereka benar benar sudah sangat akrab dan aku yakin mereka sudah kenal cukup lama sehingga bisa seakrab itu.

"Bu, kok tidak ngasih kabar?" tanya Bu Tris yang keluar dengan membawa nampan berisi air dan jajanan pasar yang entah kapan dibelinya. Sekali lagi aku melihat keakraban Bi Narsih dan Bu Tris, mereka saling berpelukan.

"Maaf Bu Tris, begitu dapat telpon dari Ujang saya langsung berangkat ke sini, situasinya pasti sangat genting." jawab Bi Narsih berusaha terlihat tenang di hadapan kami. Tapi aku tahu, dari sudut matanya tersimpan kemarahan yang sekuat tenaga berusaha disembunyikannya. Hanya dengan pertimbangan yang matang Bi Narsih bisa melakukannya.

"Limah, Yoyoh kalian lebih baik beristirahat dulu." kata Bu Tris berusaha menyingkirkan Limah dan Yoyoh dari hadapan kami, sepertinya ada pembicaraan penting yang akan dikatakan Bi Narsih sehingga Limah dan Yoyoh harus menyingkir dari ruang tamu.

"Iya, Bu..!" jawab Limah menarik tangan Yoyoh masuk kamar yang sudah rapi, ranjang yang patah sudah dikeluarkan sehingga kami akan tidur di atas kasur yang digelar di lantai. Tidur di lantai, adalah solusi terbaik, kami tidak perlu khawatir kembali terjatuh dari ranjang yang patah.

"Kenapa kamu berikan berkas itu ke Dhea, Jang?" tanya Bi Narsih setelah kedua gadis pasangan ritualku masuk kamar.

"Bukankah Bi Narsih sendiri yang mengirim orang menyuruhku memberikan berkas itu ke Bu Dhea?" tanyaku heran. Lalu aku aku menceritakan semua kejadian yang aku alami tanpa ada yang ditambah maupun dikurangi sama sekali.

"Tolol, bagaimana caranya aku menulis surat yang sampai dalam waktu beberapa jam? Jarak Bogor ke sini memerlukan waktu belasan jam. Seharusnya kamu jangan mudah percaya, belajarlah menggunakan otakmu, Jang." kata Bi Narsih terlihat kesal. Gila, aku kembali tertipu mentah mentah oleh orang yang belum aku kenal, tapi kenapa orang itu punya surat yang tulisan dan tanda tangannya sangat mirip dengan Bi Narsih?

"Ujang harus menyelamatkan BU Tris, Bi..! Lagi pula aku sangat kenal dengan tulisan dan tanda tangan Bi Narsih." jawabku berusaha membela diri hal yang sebenarnya sangat jarang aku lakukan. Aku paling malas berdebat dengan Bi Narsih, urusannya akan semakin panjang. Tapi sekarang aku harus berani membela diri karena merasa apa yang aku lakukan sudah benar.

"Bibi tahu, tentu saja mereka sudah mempersiapkan semuanya dengan sangat teliti termasuk memalsukan tanda tangan dan tulisan Bi Narsih, ini harus jadi pelajaran buat kamu untuk tidak mempercayai siapapun termasuk Bi Narsih. Dunia yang kamu geluti tidak mengenal kawan maupun lawan. Berusahalah untuk terus berpikir. Kamu masih ingat isi berkas itu?" tanya Bi Narsih setelah berhasil mengendalikan dirinya.

"Masih, Bi." jawabku bangga. Aku telah menghafal semua isi dalam berkas, nama nama yang tertulis di sana. Aku sudah belajar banyak, bahwa mengingat isi sebuah petunjuk itu sangat penting, karena tempat menyimpan yang teraman adalah memori otak. Tempat yang tidak akan tercuri oleh pencuri paling hebat sekalipun.

"Bagus, kamu mulai belajar. Bu Tris tolong ambilkan kertas dan pulpen.!" kata Bi Narsih kepada Bu Tris yang dari tadi hanya duduk mendengarkan tanpa terucap satu kata pun dari bibirnya.

"Baik, Bu..!" jawab Bu Tris masuk ke dalam, tidak lama dia sudah kembali membawa buku dan pulpen seperti yang diminta Bi Narsih.

"Terimakasih Bu..!" kata Bi Narsih mengambil buku dan pulpen dari tangan Bu Tris dan menyerahkannya kepadaku. Aku mengerti apa yang diinginkan Bi Narsih, langsung menulis isi berkas sesuai dengan apa yang aku ingat dan ada beberapa bagian yang sebenarnya aku lupa. Tapi untuk ukuran kecerdasan yang kumiliki, hasilnya sudah sangat bagus.

"Ini, Bi..!" kataku menyerahkan kertas yang dipenuhi oleh tulisanku yang buruk, aku berharap Bi Narsih bisa membacanya jadi aku tidak perlu capek menjelaskan apa yang aku tulis. Biasanya seperti itu, teman teman sekolahku sering kali mengeluh saat kami diberi tugas untuk menyamakan jawaban ujian yang berada di papan tulis.

"Ayahmu benar benar licik dan cerdik kalau benar ini yang tertulis dalam berkas yang mereka ambil. Habislah Dhea dan orang orangnya yang mempercayai isi berkas itu." kata Bi Narsih sambil tertawa terbahak bahak membuatku sangat heran.

"Kenapa, Bi?" tanyaku heran, kenapa Bi Narsih tertawa seperti itu hingga meneteskan air mata. Dia seperti terpukul setelah membaca tulisanku, apakah dia benar benar mengerti apa yang aku tulis.

"Dhea dan aku merasa sangat cerdas, ternyata ayahmu lebih cerdas lagi. Dia benar benar licik. Apa ada di antara kita yang melihat mayatnya dikuburkan? Kita hanya mendengar kematiannya dari Dhea dan Japra." kata Bi Narsih membuatku bingung, apa hubungannya kematian ayahku dan isi berkas ini. Tentu berhubungan, ayahku mati karena menginginkan isi berkas itu.

"Tadinya aku menyangka, akulah yang menempatkanmu pada posisi mu yang sekarang, ternyata aku salah. Lilis juga pasti menyangka, dia yang menjadikanmu seperti sekarang, seperti aku, Lilis jika salah. Kita cuma boneka yang digerakkan oleh seorang dalang yang tidak mampu kita dekati." jawaban Bi Narsih membuatku semakin bingung, ke mana arah perkataannya.

"Aku tidak mengerti apa yang Bi Narsih bicarakan." kataku, seharusnya Bi Narsih bicara dengan kalimat sederhana yang mudah aku pahami. Seperti cara Lilis yang bisa memberikan keterangan dengan kalimat sederhana sehingga aku bisa memahaminya dengan cepat.

"Kamu tidak akan mengerti apa apa, Jang. Seharusnya kamu tidak perlu terlibat oleh ego kami seperti yang Almarhum Mang Karta yang bersusah payah menjauhkanmu dari masalah ini. Tapi nasib berkata lain. Kamu justru semakin jauh terlibat." kata Bi Narsih menarik nafas panjang. Matanya menatapku tajam, tatapan mata yang belum pernah aku lihat. Tatapan mata Bi Narsih yang membuat hatiku gentar.

"Aku tidak mengerti, Bi..!" kataku heran, otakku tidak bisa berpikir serumit Bi Narsih dan Lilis. Fikiranku terlalu lurus, selurus jalan tol. Walaupun sekarang kehidupanku berubah menjadi rumit, itu bukan keinginanku. Aku terjebak pada situasi yang tidak pernah ingin kuhadapi.

"Bibi mau istirahat dulu, Jang." kata Bi Narsih masuk kamar yang ada di ruang tamu. Kamar yang mempunyai pintu keluar rumah tanpa membuka pintu ruang tamu. Aku hanya mengangguk, sambil melihat Bi Narsih menutup pintu meninggalkanku dengan berbagai macam pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku.

********

[A]"Siapa yang datang, Lis?" tanyaku menyambut kedatangan Lilis.

"Japra, A Ujang tidak usah menemuinya. Dia datang untuk mengabarkan kematian ayah Gobang yang terbunuh oleh Shomad." kata Lilis menatapku iba, berusaha menyelami kesedihan ditinggal mati oleh ayahku, tapi Lilis tidak akan menemukan kesedihan di mataku. Dia tidak akan melihat air mataku tumpah, karena air mataku sudah habis saat melihat ayahku yang terbungkus kain kafan dimasukkan ke dalam liang lahat berukuran 1 x 2.

Ayahku sudah mati 14 tahun yang lalu saat aku berusia 8 tahun. Air mata kami sudah habis waktu it, tujuh hari kami mengadakan tahlil dan 40 hari 40 malam kami membayar orang untuk mengaji di makamnya karena kami menganggap kematian ayah yang tidak wajar.

"Japra bertanya, ayah mau kita kuburkan di mana? " tanya Lilis terlihat heran melihatku sama sekali tidak tertarik mendengarkan kematian ayahku, kematian ke duanya. Kematian yang sudah tidak berarti apa apa untuk kami.

"Kami sudah pernah menguburkan ayah di desa, makamnya masih ada bahkan batu nisannya masih baru. Batu nisan yang aku beli sebelum menikah dengan Ningsih." jawabku tenang. Tidak ada lagi upacara penguburan atau tahlil selama tujuh malam. Kewajiban itu sudah kami laksanakan 14 tahun silam. Jadi sekarang kami sama sekali tidak mempunyai kewajiban untuk menguburkan ayahku, biarlah Dhea dan Japra yang akan melakukannya, terserah mau dikubur dimana, sudah bukan urusanku lagi.[/B]

Kenapa Bi Narsih tiba tiba menyinggung masalah itu, tidak ada yang melihat upacara penguburan ayahku, tidak ada yang mengisi kematiannya bahkan tidak pernah ada yang melihat jenazahnya. Kami sudah menganggapnya mati 14 tahun yang lalu, jadi kami tidak perlu lagi melihat jenazahnya.

Kenapa Bi Narsih tiba tiba mengungkit hal itu? Apa dia merasa ayahku masih hidup, apa yang menjadi argumennya sehingga beranggapan seperti itu? Walaupun hal itu bisa saja terjadi, tapi untuk apa ayahku kembali memalsukan kematiannya, apakah dia tidak lelah terus menerus bersembunyi, bukankah itu adalah sifat seorang pengecut. Berarti dia sudah mengecewakan Abah yang begitu membaggakannya sebagai murid terbaik yang pernah dimilikinya.

"Kamu tidak istirahat, Jang?" tanya Bu Tris melihatku masih tetap di ruang tamu. Aku tersenyum melihatnya.

"Aku tidak capek, Bu. Di kamar aku pasti akan kembali diperkosa." jawabku ngawur atau cuma bercanda untuk menghilangkan ketegangan.

"Hahahaha, kan enak di perkasa dua gadis cantik..!" jawab Bi Tris membalas godaanku, matanya mengerling genit membuatku agak terpengaruh. Sayang, aku harus menuntaskan ritualku dengan Limah dan Yoyoh.

"Bu, kenapa Pak Tris dibunuh oleh Japra? Apakah ada dendam diantara mereka berdua?" tanyaku heran, baru terpikirkan olehku sekarang. Apa benar Pak Tris mengetahui semuanya sehingga dia harus dilenyapkan.

"Tidak ada, setahuku tidak ada masalah di antara mereka berdua, makanya Ibu heran kenapa Japra tega membunuhnya." jawab Bu Tris, ekspresi wajahnya langsung berubah sedih.

"Mungkin karena Pak Tris banyak tahu..!" kataku berusaha mencari keterangan yang belum aku tahu.

"Tahu tentang apa? Sepertinya tidak, Pak Tris orang sederhana dan pikirannya terlalu lurus." jawab Bu Tris, suaranya pelan, aku nyaris tidaK mendengar apa yang dikatakannya.

"Seharusnya Pak Tris tidak perlu mati dengan cara yang sangat tragis seperti itu." kata Bu Tris, air matanya keluar tanpa dapat ditahannya. Membuatku merasa iba dengan penderitaannya.

"Ya, seharusnya begitu." jawabku bingung harus bertanya apa lagi kepada Bu Tris, ternyata mengorek keterangan sangatlah sulit. Terlebih kemampuan berpikirku terlalu biasa biasa saja.

"Sehari sebelum dia meninggal, Pak Tris seperti sudah punya firasat. Dia memberitahu Ibu tentang berkas yang diambil Bu Dhea dan mengatakan kemungkinan Ayah masih....!"

"Bu Tris...!" kami berdua terkejut mendengar panggilan yang terlalu keras, lebih pantas dikatakan berteriak daripada memanggil.

Bersambung.
 
Masih panjang misteri ny gan, sepanjang sun gou kong ngambil kitab suci ke barat. Di tunggu next ny gan..
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Mungkinkah gobang masih hidup. Inilah yang sangat nenyenangkan dari cerita ini penuh teka teki dan Ts berhasil untuk membuat reader kentang.
Thank suhu update nya ane kira crita yang ini mau di terlantarkan sebab ada cerita yang sama yang merupakan revisi cerita ini.
Tambah semangat suhu ngikuti ceritera ini
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd