Part 4.5
Aku membaringkannya di kasur, aku harus benar-benar menjaga agar kakinya yang cedera tidak tersentuh atau terbentur apapun. Aku tidak ingin cederanya itu semakin parah. Jinan merangkak mendekati pinggir kasur, aku sudah menanggalkan celanaku hingga sekarang penisku sudah mengacung tegang. Jinan kembali berbaring, kepalanya mendongak kebawah, rambut panjangnya itu terurai nyaris menyentuh lantai.
Mulutnya yang terbuka sedikit mengisyaratkanku untuk memasukkan penis itu kesana sekarang. Tanpa menunggu lama, aku mendekat, mengatur posisi penisku. Jinan yang ternyata sudah tidak sabar itu menarik kedua pahaku mendekat dan langsung melahap penis itu. Jinan menahan penis itu didalam sana beberapa saat.
Slrrp
Slrrp
Slrrp
Jinan mulai mengisap penisku, bibir tipisnya itu dengan lihainya melumat batang daging itu. Lidahnya juga terasa menjilati kepala penis itu bagai sebuah lolipop. Kedua tanganku yang menganggur kini meremas-remas payudara mungilnya yang masih bersembunyi dibalik seragam futsal warna krem itu. Entahlah, melihatnya dengan seragam ini membuat gairahku semakin naik.
“Mnghh...” Lenguhnya saat masih asyik mengulum penisku. Di posisinya saat ini sayang sekali aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya.
Aku terus meremas-remas payudaranya itu sementara Jinan sibuk mengulum dan sesekali mengocok-ngocok penisku itu. Tangannya yang lain juga sibuk memainkan testisku. Sialan, dia sukses membuatku keenakan.
Drrtt...
Drrtt...
Drrtt..
Aku mendengar dering dari
smartphoneku. Namun tidak aku hiraukan. Kenikmatan ini sayang untuk ditinggalkan.
“Akkh.. gila... T-terus Naannghh...! Mmpgh..!” Kocokannya itu semakin membuat remasanku di payudaranya semakin kencang. Tubuh Jinan pun bergerak-gerak. Sprei kasurnya itu kini terlihat berantakan tidak serapi waktu kami datang.
Setelah beberapa menit dia mengulum dan bermain-main dengan penisku. Kedua tangannya aku tangkap dan cengkeram erat keatas. Tanpa aba-aba, aku mendorong masuk penisku itu lebih dalam. Aku kembali mendesah, kehangatan mulut Jinan itu benar-benar memanjakan penisku. Kedua tangan Jinan yang aku cengkeram ini bergerak-gerak, ia mulai meronta. Namun penis itu tetap kubiarkan ada disana lebih lama lagi. Tangan kananku lantas meremas-remas lagi payudaranya.
“Mmngghh...! Mngh! Mnnghh!!” Rintihannya tertahan karena mulutnya itu sudah tersumpal penuh oleh penisku.
“Eerrgh...! Emut tuh kontol gue Nan! Rasain!”
Drrrttt..
Drrttt..
Drrtt...
Aku bisa mendengar
smartphoneku berdering lagi didalam saku celanaku. Segera aku menghentikan remasanku, melepas cengkraman di tangannya lalu menarik keluar penisku dari dalam mulutnya walau terasa sayang untuk menghentikannya. Jinan terbatuk-batuk setelah penis itu meninggalkan mulutnya.
“Uhuk uhuk! Anjing! Woe! Uhuk! Lo mau buat gue mati kehabisan nafas?! Uhuk uhuk uhuk!” Protesnya padaku.
“Hehe, maaf. Enak habisnya.”
“Bacot! Uhuk!” Dia masih terbatuk.
“Bentar ini gue angkat telepon dulu, barangkali pent-“ Aku melihat layar
smartphoneku, ternyata sebuah
voice call dari Cindy. “Bentar dari Cindy. Diem.” Aku menempelkan jari telunjuk di mulutku. Jinan yang sekarang terduduk menatapku kesal. Sepertinya dia masih marah dengan
deep throat yang kulakukan tadi.
“Halo, mbul? Gimana?”
Jinan terlihat mengeryitkan dahi setelah mendengarku mengucap ‘mbul’. Pipiku memerah, gerak mulutku berucap ‘apaan sih’ padanya yang sekarang terlihat menahan tawa.
“Kak?”
“Eh iya iya? Maaf tadi ngelamun.” Aku memalingkan diri dari Jinan.
“Ish... itu, kak Jinan gimana?”
“Oh... Jinan ini udah aku anter ke rumah kok. Tadi udah diurus kok keseleonya. Tapi ya kayaknya semingguan baru sembuh. Jinannya udah di kamar tadi...” Jelasku.
“Oh gitu, syukur deh. Ini kakak sekarang dimana?”
“Ini udah mau pesen ojek buat-” Aku terkejut tiba-tiba Jinan datang merangkak mendekatiku. “-balik lagi ke stadion...” Sial. Terpaksa aku harus berbohong pada Cindy. Aku menatap Jinan. Menggeleng-geleng saat dia tersenyum nakal dan bersiap mengulum penisku lagi. Dia sudah terduduk didepanku. Tanganku yang satu berusaha menahan kepalanya.
“Ah, okedeh. Hati-hati ya kak. Tim aku masuk semifinal nih. Hehe. ditunguu..”
“Oke-“
Slrrp.
Aku lengah, Jinan berhasil lolos dan mengulum penisku lagi. Aku menahan desahanku.
“Dadahh... Hati-hati ya kak, hehe.”
“I-iya-Mnghh...” Aku sempat menjauhkan
smartphoneku saat mendesah. Beruntung Cindy langsung menghentikan
voice call itu. Sekarang Jinan, kembali mengulum dan mengocok penisku secara bergantian.
“Woi! Kalo ketauan gimana tadi?! Mmmggh...”
“Mmgh... Santai kali... lagian sayang udah tegang gini... mmpphh...”
Dia menggerakkan kepalanya maju mundur.
Eerrghh... Aku kembali mendesah.
Smartphone yang tadi ku genggam aku lemparkan kearah kasur, kemudian kedua tanganku menjambak rambut panjangnya itu.
“Sshh... aahh... I-iya... Mmhh.. terusshh...” Aku mendesis sembari memejamkan mata.
Blowjob Jinan benar-benar nikmat. Kepalanya masih maju-mundur, sementara dua tangannya sibuk memainkan testisku.
Jinan sesekali berhenti, mengulum dan menjilati penisku sambil mengocoknya. Lubang kencingku juga tak terlewatkan oleh jilatan lidahnya Aku tidak bisa berbuat banyak, aku memilih diam, dimanjakan olehnya.
Setelah beberapa menit, akhirnya aku merasakan aliran sperma itu. Aku menjambak rambutnya lebih kuat.
“Eeergggh! Jinan! G-gue nyamp-”
Crot
Crot
Crot
Crot
Belum selesai aku memperingatkannya, sperma itu terlebih dulu tertembak keluar. Jinan mengeryitkan dahi, dia sempat terkejut saat sperma itu tertembak didalam mulutnya. Ia menelan semuanya selepas penis itu aku tarik keluar. Wajahnya memerah, begitupun wajahku.
“Hhh... udah ya, gue bal-“
Jinan dengan polosnya melepas bajunya. Bra warna hitamnya pun juga ia tanggalkan. Dua payudara mungil dengan puting kecoklatan yang sudah mengeras itu terlihat menggoda ingin dimainkan. Di posisi itu juga, ia memelorotkan semua celananya hingga ke daerah tulang keringnya sehingga vagina yang tertutup bulu-bulu halus itu terlihat. Aku menelan ludah.
“Udah nih, sini garap gue.” Dia menopang tubuhnya dengan kedua tangannya dibelakang, membuat dadanya itu membusung.
Aarrrghh!
Sial!
Aku berjongkok, melumat bibirnya sambil meremas payudaranya setelah turut menanggalkan pakaianku. Perlahan, aku mendorong tubuhnya itu hingga terbaring di lantai, aku tetap berhati-hati agar tidak menyentuh kakinya yang cedera itu. Aku memilih untuk tidak menindih tubuhnya namun berada di sisi kirinya, aku tetap bisa menyerangnya dari sini.
“Mmpgh... Mmpffh...” Desahnya saat aku mulai mencubit dan memilin-milin putingnya yang menggemaskan itu. Wajahku mengincar lehernya. Setelah menyingkap rambutnya, lehernya yang bebas itu aku ciumi. Hembus demi hembus nafas juga terus aku keluarkan untuk menyerang lehernya.
“Aahh.. Mmmhhh... Dimmmhh...” Telinganya pun aku tiup dan jilati. Jinan bergidik. Serangan-serangan itu terus aku lakukan hingga beberapa menit. Jinan pasti sudah sangat terangsang sekarang. Aku beralih ke vaginanya, penisku sudah kembali tegang setelah beberapa saat tadi ‘beristirahat’.
Aku membuka selangkangannya, kedua pahanya itu aku angkat perlahan. Celana yang masih tersangkut di pergelangan kaki kirinya itu aku lepas.
“Siap?”
“Hhh... buru...”
Slep.
“Aaakkkhhh.... hhh....” Lenguhnya saat vaginanya itu kembali merasakan penisku menghujamnya.
Aku berusaha meminimalisir guncangan yang bisa membahayakan kakinya. Akh, sudah kuduga kaki itu akan merepotkanku.
“Genjot.. hhh... Dim...! hhh!” Sepertinya dia sudah tidak tahan dengan penisku yang memenuhi liang hangatnya itu. Baiklah, ini dia...
Plok
Plok
Plok
Perlahan, aku mengujam vaginanya naik turun. Pinggul ini bergerak dalam tempo pelan, tubuhnya bergerak seiring gerakan pinggulku itu.
“Aaakkkhhh... k-kencengin... anj-ing! AahHH...!”
“Sssttt... ahh... Udah lo nurut gue aja... mmhh...!”
“Kencengin kontol! MmMhHh...!”
Aku akhirnya mengalah. Aku coba percepat tempo sebisaku namun tetap berhati-hati.
“AaKhHH! Terus..! N-njing!! AAAKKHHH!” Dia mendongak, menutup matanya sambil mendesah-desah liar, bagai seluruh nafsunya ia tumpahkan saat ini. Kedua tangannya memainkan sendiri dua puting payudaranya. Kulitnya mulai basah dengan keringat.
Setelah beberapa menit, Jinan menggelinjang, tubuhnya serasa menegang. Sepertinya dia sudah sampai dipuncaknya.
“Eerrghh! Dim! G-gue nyamphh..! AakKHHH...!”
Jinan mendapat orgasmenya. Cairan putih itu membasahi sebagian selangkanganku dan juga bagian lantai dibawahnya. Wajahnya memerah, nafasnya sengal, bibirnya terbuka sedikit, matanya pun sayu.
Aku mencabut penisku dari vaginanya. Menurunkan kedua kakinya itu perlahan di lantai, kemudian mengocok penisku. Aliran sperma itu akhirnya sampai juga. Aku sampai di orgasme keduaku.
Crot
Crot
Sperma yang tidak sebanyak tadi itu berhasil aku daratkan di wajahnya. Akhirnya, aku bisa melihat wajahnya yang kacau itu lagi. Dengan rambut lepek dan sperma yang melumuri wajahnya. Dia menatapku puas, begitupun aku.
***
“Udah ya, gue balik ke stadion dulu.” Pamitku padanya setelah membantu membersihkan sisa-sisa permainan kami.
“Iya.” Jinan sudah berbaring lagi di kasurnya. “Emm... Dim.” Katanya itu sukses menahanku di ambang pintu.
“Iya?” aku berpaling menoleh kearahnya.
“Makasih banget ya... buat semuanya...”
Aku menghela nafas lalu tersenyum lebar padanya. Jinan tampak sangat kelelahan.
“Santai.”
“Hati-hati ya, salam buat mbul.”
Pipiku kembali memerah.
“Eh eh, udah Nan! Apaan sih?!”
Jinan tertawa melihatku salah tingkah.
“Hahaha. Nan...”
“Apa lagi?”
“Ehehe... besok-besok, gue titip jagain dia ya pas dia lagi sama lu.”
“Sip.” Dia membentuk simbol ‘OK’ dengan jari kanannya.
“Cepet sembuh ya, gue balik dulu. Salam buat orangtua lo nanti.”
“Makasih... ntar gue sampein...”
Aku kembali tersenyum lebar. Sepertinya aku harus bergegas ke stadion, semoga aku masih bisa mengejar pertandingan semifinal itu dengan ojek online.
***
Hampir dua bulan berlalu. Hubungan antara Cindy dan Jinan jadi semakin erat. Kami jadi sering makan bertiga di kantin, bahkan aku sering melihat mereka jalan-jalan bersama dari
story yang mereka kirim. Hubungan mereka pun pasti jadi lebih akrab dengan adanya mereka dalam satu divisi di organisasi jurusan. Yah, aku bersyukur mereka berdua bisa akur, terutama Jinan, dia yang mengalah untuk Cindy. Baik baik ya kalian, hehe.
“Kak?”
“Hah?!”
“Ngelamun lagi ya?”
Aku tersenyum. Cindy yang duduk di depanku ini menatapku heran.
“Ah, iya. Hehe maaf...” Aku mengusap-usap rambut gondrongku.
“Hayo, ngelamunin siapa?”
“Hahaha, enggak kok, enggak. Laper aja jadi ngelamunin makanan.”
“Oh, hehe. Dasar. Iyasih ini lama banget makanannya dateng.”
“Ehehe...”
Aku menusuk-nusuk pipi gembulnya itu dengan jari telunjukku. Dia hanya tersenyum dan membiarkanku melakukannya.
“Eh iya kak.”
“Kenapa?”
“Bentar lagi sahabat aku mau ke Jakarta loh.”
“Oh iya? Siapa?”
“Aya.”
To be Continued...