A.K.A.R
Bagian Sembilan Belas
"Kayaknya kamu pengen nyingkirin dia dari cabang Purwakarta ya?" Selidik Lita sekali lagi kepadaku.
"Ehh.. nggak, bukan gitu Lita.." kataku bingung.
"Alah,, udahlah. Kamu gak usah bohong sama aku Bay. Cukup beberapa bulan bagiku buat mengenal keseluruhan sifat n sikap kamu seutuhnya. Cerita.. jujur sejujur jujurnya, atau kamu yang bakal kena masalah nanti sama aku." Ancam Lita dengan nada serius.
Hhh.. terlalu sulit untuk menutupi masalahku pada Lita.
Turunan dukun mungkin nih orang fikirku..
Kalo memang jalan ini yang harus kutempuh. Mungkin aku harus menyingkirkan Fauzi lewat kekuasaan Lita di Perusahaan ini. Oke..
Ku ambil HP di kantong celanaku, kuputar video cabul Lita dihadapannya. Jelas Lita kaget melihat itu dan bertanya apa maksudku menunjukkan video itu kepadanya dan darimana aku bisa mendapatkan video itu. Kuceritakan semua.. seemuanya tanpa ada yang terlewat sedikitpun, awal awal aku masuk kerja disini dengan bantuan Fauzi, perselingkuhan Sari dengan Fauzi yang berbalut ancaman, perubahan sikap Saei yang sempat menjadi binal karena pengaruh Fauzi, video cabul Lita yang berasal dari Fauzi, bahkan persoalan dengan Fitri pun ku ceritakan padanya. Lita mendengarkan ceritaku dengan amat sangat serius. Terlihat dari alisnya yang kadang naik atau turun dan keningnya yang sedikit mengkerut karena berfikir.
Aku yakin dia emosi, sangat sangat emosi kepada Fauzi. Terlihat dari wajahnya yang memerah. Tapi kematangannya dalam berbisnis mampu membuatnya menutupi emosi itu dan berkata dengan tenang kepadaku.
"Are you believed in karma?" Katanya dengan bahasa yang sedikit sedikit ku mengerti itu.
"Iya.. aku percaya.." kataku menjawab dengan bahasaku sendiri.
"Berarti kamu harusnya sadar kalo itu adalah buah karma dari perselingkuhan kamu dengan teman lama kamu itu. Malah, kamu termasuk beruntung karena Fauzi belum mencicipi istri kamu, apa jadinya perasaan kamu seandainya yang kamu lihat di rumah Fauzi itu adalah kejadian yang lebih parah dari yang kamu ceritain sebelumnya?" Lita seperti menghakimi ku kini.
"Jujur Bay, aku bukannya marah, demi apapun aku gak marah sama kamu. Aku cuma amat amat amat kecewa sama kamu. Inget kejadian di kemang dulu? Aku udah mati matian nahan nafsuku sendiri buat kamu waktu kita hampir aj ngeseks dirumahku dulu. Inget kan?? Inget Aku bilang apa? Aku gak mau kamu jadi suami yang gak bertanggung jawab dan brengsek buat istri kamu dirumah. Tapi nyatanya apa? Kamu selingkuh juga ama temen lama kamu." Lita menghempaskan punggungnya di sandaran kursi.
Aku diam, hatiku kembali tersinggung seperti halnya aku tersinggung kepada Fitri semalam seolah kini semua menyalahkanku atas kejadian Sari dan Fauzi.
"Urusan Fauzi, maaf aku gak bisa bantu lebih banyak. Itu urusan pribadi dalam rumah tangga kamu Bay. Aku gak punya hak apa apa buat ikut campur. Sorry.." Kata Lita sambil menatap mataku.
Aku tiba tiba emosi, setelah semua aib kubuka didepannya dengan harapan dia membuang Fauzi ke cabang Surabaya, kini dia malah dengan mudahnya bilang gak bisa bantu?!
"Lho.. kok gitu Lit? Enak bener bilang gak bisa bantu.. Kamu gak marah video kamu ini dipegang sama dia? Bisa bisa kesebar lho nanti ini.." kataku mulai sedikit emosi.
Lita menanggapi emosiku dengan tenang sekali.
"Video itu, baru kamu yang kasih liat ke aku Bay, sebelum sebelumnya ga ada. Kalo setelah ini video itu ternyata tersebar di luaran sana, aku tau harus nanya ke siapa nanti."
Bajingan, kok malah aku yang diancam?
"Kamu ngancem Lit?" Tanpa terasa aku malah menaikkan nadaku kepadanya. Aku seolah lupa siapa yang duduk dihadapanku kini.
Lita dengan tenang kembali mengatakan sesuatu hal yang membuatku malu.
"Udah lupa diri ya? Berani ngomong pake nada tinggi dihadapan atasan kamu? Perlu aku turunin lagi status kamu jadi supir barang lagi?"
Degg... Aku terhenyak. Bukan karena ancaman Lita yang ingin menurunkan jabatanku kembali menjadi supir barang lagi. Tapi kata kata lupa diri tadi yang menusuk hatiku. Lita benar.. Aku benar benar lupa diri.
"Kamu lagi emosi. Gak perlu kerja kalo lagi emosi kaya gini. Tenangin diri kamu dulu. Maaf Bay, kamu saya skors sementara waktu. Silahkan masuk ke kantor lagi senin depan. Saya rasa itu waktu yang cukup untuk menyelesaikan semua masalah kamu. Silahkan.." Lita merubah cara bicaranya kepadaku, ini artinya serius dan aku tak bisa apa apa lagi.
Aku diam sesaat sebelum akhirnya menjawab.
"Maaf Lit, aku kebawa emosi n lupa diri. Makasih udah ngingetin aku supaya aku gak lupa diri terus. Makasih juga udah kasih waktu buat aku nyelesein masalah Fauzi. Aku pamit pulang."
_________¤¤________
Sepanjang perjalanan pulang hatiku benar benar tak karuan. Dimulai dari Fitri yang tiba tiba saja berubah sikap kepadaku. Aku paham sikap Fitri yang berubah setelah pertemuan kedua kemarin adalah lanjutan dari sikapnya di pertemuan pertama dulu. Aku ingat ingat kembali waktu dia mengantarku pulang menggunakan mobil Tyo ke tol kebon jeruk. Setelah menyanyikan satu lagu, waktu itu Fitri mencium telapak tanganku dan bilang kepadaku bahwa dia minta maaf kepada Sari dan mengatakan bahwa dia sudah ikhlas melepasku dengan Sari. Aku tahu bahwa rasa bersalah yang dirasakan Fitri semalam karena sebagai wanita dia tahu bagaimana rasanya sakit hati dikhianati oleh orang yang dicintai. Dan karena Sari sudah memaafkannya, Fitri menjadi sangat merasa berdosa karena sudah bercumbu denganku. Aku paham perasaan Fitri.
Dan Lita, aku juga paham bahwa dia bukanlah tak mau membantuku. Dia hanya ingin aku belajar menyelesaikan masalahku sendiri. Hal ini sangat berkaitan dengan pekerjaanku sebagai asistennya atau ketika aku sudah dilepasnya nanti. Dia ingin aku menjadi orang yang mampu menyelesaikan semua masalah tanpa mengharap bantuan dari orang yang mempunyai kekuasaan lebih tinggi. Aku paham maksudnya bahwa dia ingin aku kuat.
Mungkin aku saja yang berubah menjadi lembek, karena statusku yang sedikit demi sedikit mulai membaik dan naik, mungkin aku berubah menjadi lembek.
Sampai di tol Dawuan, HP ku berdering. Kulihat layar HP, dari nomor yang tak ku kenal.
Siapa ya? Fikirku.. kutekan tombol jawab.
"Halo..?" Sapa ku kepada penelpon diujung sana.
"Heh Bay, ngomong apa lu sama bos lu yang perek itu?!!"
Suara ini.... aku coba menebak nebak.
"Ini Fauzi?" Tanyaku.
"Alaah jangan banyak bacot lu pura pura nanya nama gua. Ngomong apaan lu sama bos lu?" Kata Fauzi tak sopan diujung sana.
"Gw kaga ngerti Zi.. kenapa si?" Aku mencoba mencari tahu dulu alasan dia tiba tiba memakiku di telpon.
"Monyet lu, ga tau diuntung. Barusan gw di panggil ke HRD, gw di pecat. Pasti elu kan gara garanya?" Kata dia membentakku.
Lho... otakku mencoba untuk mencerna dengan cepat apa maksud dari perkataan Fauzi barusan. Bukannya Lita tak mau membantuku tadi? Kok tiba tiba dia malah memecat Fauzi secara tiba tiba? Aku yakin kalau ini adalah pekerjaan Lita. Aku yakin sekali.
"Kok lu jadi nyalahin gw Zi?" Kucoba memancing info darinya.
"Alaah taii lu.. taiii. Anak jadah lu.." kata Fauzi semakin kasar dan berhasil membuat emosiku naik.
"Maksud lu apa Zi? Kok lu jadi ngata ngatain gw?"
"Heh kunyuk, gw tau kalo lu ngintipin gw ama bini lu di kamar gw waktu dia nyepongin peler gw. Gw tau kalo lu ngeliat bini lu ngisep biji gw sampe dia ketagihan. Gw liat muka lu dari kaca lemari. Gini cara lu bales dendam ama gw? Lu ngadu sama simpenan perek lu disono supaya dia mecat gw? Potong peler lu sekalian. Beraninya ngadu ama perempuan."
Kata kata kasar itu sudah tak bisa di tolerir. Harga diriku disenggol sebagai laki laki dan sebagai suami Sari.
"Terus mau lu apa? Masih untung kaga gw gerebek lu waktu itu. Gw masih mikir perasaan keluarga lu." Nada bicaraku meninggi.
"Keluaga keluarga TAI.. emang dasar turunan perek aj bini lu, doyan sama peler orang." Kata Fauzi semakin jadi.
"Anjing lu Zi.. maksud lu apa hah?. Dimana lu? .." aku tak bisa lagi diam mendengar Sari dilecehkan seperti itu.
"Lu pikir gw takut? Gw tungguin lu di rumah gw. Berantem kita.. Mati lu sama gw.." kata Fauzi sambil menutup telpon..
Jagoan apaan ngajak berantem di rumahnya sendiri. Settann..
Kulihat jam di dashboard mobil, jam dua siang. Aku berangkat pulang dari kantor tadi sekitar jam sebelas kurang dan sempat tertahan oleh kemacetan cukup lama di ruas tol Cikarang - Karawang Barat. Berarti hanya rentang empat jam Lita bertindak untuk memecat Fauzi. Dan mungkin Fauzi langsung pulang ke rumahnya setelah pemecatan dirinya.
Kutancap gas lebih dalam. Emosiku benar benar memuncak. Perkara geger di keluarga besar itu urusan belakangan.
Sampai di rumah Fauzi, kulihat dia langsung berdiri begitu mengetahui aku datang dan turun dari mobil. Tanpa banyak basa basi Fauzi langsung berlari ke arahku dan menendangku sambil loncat dan berteriak,
"Anjiing sia.. modar siaa..!!!"
Aku menghindar ke kanan dan mundur satu langkah. Mungkin karena salah pijakan, Fauzi tersungkur jatuh. Aku yang memang sudah emosi dari kemarin malam seolah menemukan samsak tinju tergeletak di bawah, dengan segenap rasa marah ku tendang rusuknya sekencang kencangnya dan berkali kali. Fauzi berusaha menangkis tendanganku dengan gerakan seadanya. Aku tak ingin menang dengan posisi lawan tak berdaya, dari gerakannya dapat kunilai kalau Fauzi bukanlah orang yang bisa berkelahi satu lawan satu. Type seperti Fauzi adalah type yang gemar main keroyok. Kubiarkan dia bangkit sambil memegangi rusuknya. Mudah mudahan ada yang patah doaku dalam hati.
Setengah terseok dia berusaha memukulku, namun gerakan Fauzi terlalu mudah untuk ku hindari dan lagi lagi dia hampir tersungkur jatuh. Kusepak sekalian dengan cepat agar dia terjatuh, begitu Fauzi terjatuh, kutendang dengan kencang telinga kanannya dengan ujung sepatuku.
Mampus.. kataku dalam hati.
Fauzi memegangi telinganya hingga dengan mudah kujambak rambutnya dan kujepit lehernya dengan siku lenganku. Kuhajar wajahnya berkali kali. Fauzi berteriak memaki, aku tak perduli. Cukup sudah main sabar sabarannya, antara dia atau aku yang mati fikirku.
Puas kupukuli wajahnya, rambutnya kembali ku tarik, ku cari dinding terdekat dan ku benturkan kepalanya disitu. Fauzi sempat menahan benturan dengan tangannya, aku kembali menarik rambutnya ke arah belakang hingga kepalanya menjadi menengadah, kupukul dua sampai tiga kali telinga yang tadi kutendang sampai dia mengaduh kesakitan dan menghalangi pukulanku dengan tangannya. Inilah maksudku, tangannya tak dapat lagi menahan ketika kubenturkan lagi kepala Fauzi ke dinding. Darah segar mulai keluar dari dahinya, aku tak perduli. Kubenturkan kepalanya lagi dan lagi. Setiap tangannya menahan benturan, kujambak dan kupukul lagi telinga tadi. Puas disitu, kusepak tungkai kedua kakinya sampai Fauzi jatuh terlentang. Kududuki dadanya, Fauzi sempat melakukan perlawanan dengan memukulku satu kali. Lemah memang, tapi sanggup membuatku bertambah emosi. Kutinju dan kutinju lagi wajah Fauzi, darah merah kini berlumuran disebagian wajahnya akibat benturan di dinding tadi. Aku tak peduli...
Aku bangkit dan mencari sesuatu, disudut teras rumahnya kulihat ada cangkul tergeletak.
Mataku gelap.. dengan langkah cepat dan nafas memburu kuambil cangkul itu dan kembali ke Fauzi yang sudah lemas kesakitan. Melihatku membawa cangkul ke arahnya Fauzi teriak minta ampun kepadaku. Aku tak perduli, aku tetap mendekat ke arahnya dan bersiap mencangkul batok kepalanya, sampai tiba tiba ada Sari yang menangis sambil menggendong Raka diantara aku dan Fauzi. Sari bermaksud menghalangi niatku membunuh Fauzi.
"Ayaaahh..!!!! Jangan Yaaahh.. istigfarr Yaahh istigfaarrr.. Huuuhuhuu.. jangaann Yaahh.. jangaann.. Sadaar Yaaahh..." Kata Sari sambil merentangkan sebelah tangannya sementara tangan yang satu menahan Raka dalam gendongan.
"Minggir..!!!" Kataku membentak Sari. Tak kuhiraukan Sari yang menangis ketakutan melihatku. Tapi Sari seperti nekat menggelengkan kepalanya dan tak mau beranjak dari situ.
"Minggiiirrr...!!!!" Kataku membentak lebih kencang.
"Istigfar Yaahh... huuuhuhuuu.. inget anak, inget Raka Yaaahhh.. huuhuhuhu..." Kulihat ke arah Raka, dia malah menangis kencang melihatku.
Mendengar tangisan Raka, jiwaku seperti tersedot kembali masuk ke dalam ragaku. Mata Raka melotot ketakutan seperti melihat iblis di depannya ketika menatap wajahku. Tangisan Raka lah yang membuatku kembali sadar dan mengendurkan semua ototku yang kencang oleh emosi. Kutatap tangan kananku, ada cangkul yang kugenggam gagangnya dengan kencang. Langsung kubuang cangkul itu.
Aku mengucap istigfar berkali kali dalam hati, karena kalau saja Sari tak menghalangiku, mungkin aku sudah membunuh monyet tengik itu barusan. Kulihat disekelilingku, rupanya sudah banyak warga yang berkumpul menyaksikan amukan ku pada Fauzi, aku tak sadar sejak kapan warga kampung ada disitu. Bahkan diantara kerumunan warga, kulihat ada bibi dan paman Sari yang sudah renta dan menangis tersedu. Dan ada Umi mertuaku.. aku terkejut bercampur malu ketika melihat Umi ternyata ada disini.
Secara garis keluarga, Fauzi adalah anak dari kakak bibinya Sari yang sudah meninggal semenjak Fauzi sekolah SMP dulu. Itulah sebabnya kenapa mereka tak tinggal satu rumah dan mungkin itu juga yang menjadikan Fauzi menjadi orang brengsek di kampung ini.
Kenapa mereka tak melerai? Fikirku dalam hati. Dan kenapa ada Sari istriku dan Umi mertuaku? Kapan mereka datang dan tahu darimana aku akan kesini? Pertanyaan itu hampir kutanyakan kepada Sari sebelum kulihat teman teman Fauzi datang dan menolong Fauzi untuk berdiri. Aku menggeser Sari yang masih menangis agar pindah ke belakangku. Kupagari Sari dan Raka dari monyet monyet begundal ini. Tapi sepertinya mereka tak berani mengeroyokku karena melihat keadaan Fauzi yang babak belur. Salah satu dari mereka menatapku tajam, tak terima dengan tatapannya, kutantang sekalian preman preman tengik ini.
"Kenapa? hah.. ngapa ??!!! Ga terima lu kalo temen lu gw pukulin? Kalo lu ga terima, pantengin nih muka gua, hapalin muka gua, hapalin nama gua, nama gua Bayu." Kataku sambil menunjuk orang itu dan menunjuk wajahku ketika kusebut namaku dihadapan mereka.
Baru saja akan kulanjut tantanganku pada mereka sampai kurasakan sentuhan tangan nan kasar tapi lemah menarik lenganku, rupanya bibinya Sari dan juga Umi mencoba menenangkanku.
"Nnggeuss jaaanng.. nggeeeuus .. ulah nurutan napsu jaang.. nggeeuss.. karunya si Pauji teh budak te boga kolot mantakan jadi na kos kituuuu.. hampura bibi anu te bisa ngadidik si Pauji jaang.. nggeuss... karunyaaaa.. karunyaaa.." kata bibinya Sari terbata bata di sela tangisnya.
Kalau kuartikan dalam bahasaku, bibi berkata seperti ini..
"Sudah nak.. sudah.. jangan ngikutin nafsu.. sudah..kasian Fauzi, dia itu anak yang gak punya orang tua makanya bisa seperti itu. Maafkan bibi karena udah gagal mendidik Fauzi.. sudah nak.. kasian.. kasian.."
Aku sempat heran dengan perkataan bibi yang mengatakan 'makanya bisa seperti itu'. Seolah dia tahu kenapa dan alasanku memukuli Fauzi. Namun aku tak ingin berfikir jauh dan menjawab,
"Iya bi.. maafin Bayu kalo udah lepas kendali. Maafin Bayu ya Umi." Kataku sambil mencium tangan bibi dan Umi bergantian. Umi mengelus kepalaku dan berkata,
"Sabar ya Nak, ujian buat kamu belum selesai.." katanya sambil mengusap air mata.
Lagi lagi aku dibuat heran oleh ucapan dari kedua orang tua ini.
Ujian apa yang belum selesai untukku? Aku jadi bertanya tanya sendiri dalam hati.
Kulihat paman dan beberapa teman Fauzi memapah Fauzi untuk dibawa masuk kedalam rumah bibi. Bibi mengajakku dan Sari serta Umi untuk ikut serta dan membicarakan hal ini didalam rumah. Aku mengangguk setuju karena memang si Fauzi ini harus benar benar di stop. Sambil berjalan menuju rumah bibi yang bersebelahan dengan rumah Fauzi, aku bertanya pada Sari.
"Kok bunda sama Umi ada disini? Mau ngapain kesini? Emang bunda tau kalo ayah mau kesini?"
"Ntar aj ceritanya ya Yah, dirumah atau dimobil aj nanti." Kata Sari sambil mengelus tanganku.
Kulihat Umi dan Umi hanya mengangguk tanda mengiyakan ucapan Sari.
Yasudah.. kelarin satu satu dulu.. kataku dalam hati.
Didalam ruang tamu yang sederhana ini, ada aku, Sari, Umi, paman dan bibi Sari serta RT setempat. Pak RT memintaku untuk menceritakan kenapa tiba tiba aku datang dan langsung menyerang Fauzi. Jelas aku tak terima, kutunjuk wajah Pak RT dan berkata dengan nada sedikit tinggi.
"Pak, jangan sembarangan nuduh. Bapak tau darimana kalo saya nyerang dia duluan? Dari saksi? Panggil saksinya kesini sekalian biar saya pacul matanya." Kataku emosi.
Merasa tak terima karena wajahnya kutunjuk, Pak RT langsung memanggil orang yang menjadi saksi menurut dia. Rupanya, si saksi itu adalah orang yang membantu Fauzi untuk berdiri tadi. Temannya ini mah.
"Ini orangnya mas.. mas gak usah ngelak, dia ngeliat mas dateng dateng langsung marah marah terus mukul si Fauzi duluan." Kata Pak RT sotoy.
"Yaelah pak, ini mah temennya dia kali pak.. jelas aja dia ngebelain. Cari saksi yang bener pak. Di depan ada warung mie rebus tuh. Seinget saya tadi banyak orang lagi pada nonkrong disitu, coba panggil semuanya suruh kesini. Pasti ada yang liat kejadian awalnya." Kataku geregetan.
Merasa mulai kalah, si saksi keluar tanpa permisi lagi. Pak RT baru sadar bahwa ternyata dia mendapat info yang salah dan segera meminta maaf kepadaku.
Aku maklumi kesalahannya..
Kemudian pak RT mulai menanyakan apa sebab musabab terjadinya perkelahian ini, dia menanyakan itu agar tak terjadi salah paham dan menghindari fitnah dari warga sekitar. Akupun menceritakan sebagian persoalan ini. Tak mungkin kuceritakan kalau Sari dan Fauzi berselingkuh yang berujung pada perkelahian ini. Aku hanya menceritakan padanya bahwa Fauzi menyalahkanku karena dia di pecat dari pekerjaannya.
"Padahal saya gak tau apa apa pak, tau tau dia ngata ngatain saya n ngatain istri saya perek. Coba kalo istri bapak yang digituin, gimana perasaan bapak?" Kataku menggebu gebu.
Kulirik Sari, dia tampak terkejut mendengar cerita terakhirku.
Hasilnya, pak RT menyerahkan semua persoalan ini ke pihak keluarga, karena sebenarnya ini adalah persoalan keluarga. Hanya saja pak RT berpesan agar diselesaikan dengan hati dan fikiran yang dingin dan blaa blaa bla.. aku tak begitu mendengarkan ucapannya.
Tak lama kemudian Pak RT pamit pulang dan menyerahkan ini kepada kami. Setelah pak RT pulang, aku bertanya pada Fauzi yang masih menunduk sambil memegangi telinganya. Aku yakin gendang telinganya berdenging sekarang ini.
"Lu masih penasaran Zi sama gw? Mau lanjut lagi atau gimana?" Kataku sambil merapatkan genggaman tangan menahan jengkel.
"Sudah.. sudah.." kata paman menengahi.
Paman lalu meminta Sari, Umi dan bibi Istrinya untuk meninggalkan kami bertiga. Masalah ini harus dibicarakan secara laki laki saja. Dan paman tak ingin para wanita ikut mendengar pembicaraan ini.
Setelah para wanita pergi, tinggallah kami bertiga dan barulah paman berbicara kenapa dia meminta supaya Sari, Umi dan Istrinya pergi dari sini.
"Bayuu.. mamang sama bibi teh sebenernya udah tau pangkal kejadiannya..mamang sama bibi teh paham kenapa Bayu bisa marah sama Pauji. Mamang sama bibi pernah ga sengaja ngliat Neng Sari sama Pauji lagi begituan di kamar.. ampuuunnnn ampun mamang minta ampun sama Bayu.. mangkanya mamang sama bibi teh langsung nebak kenapa Bayu bisa mukulin Pauji, pasti gara gara ituh.. pastii.. "
Paman berbicara sambil menunduk nunduk kepadaku. Aku kaget mendengarnya, ternyata kelakuan Sari dan Fauzi sudah diketahui oleh mereka berdua. Kenapa mereka diam saja waktu itu? Aku greget juga sama orang tua ini.
"Mamang gak pengen Uminya Neng Sari denger soalan inih, mangkanya mamang suruh pergi dulu semuah.. mamang takut Uminya Neng Sarii kaget.. mamang takut kenapa kenapa.." lanjut paman kepadaku. Akupun balik bertanya kepada paman.
"Kalo mamang sama bibi udah tau, kenapa mamang diem aj? Kenapa gak ditegor nih monyet satu?!" Tak kufikirkan lagi bagaimana harus bertutur sopan kepada paman, aku jengkel kepadanya karena membiarkan Sari dan Fauzi berselingkuh.
"Udahh jaaang.. udahh.. mamang sama bibi udah ngasih tau si Uji kalo itu tuh dosaa.. tapi si Ujinya gak mau denger, malah mamang sama bibi kena marah sama si Uji." Kata paman mulai menyeka matanya. Rupanya aku salah sangka dengan mamang, aku merasa tak enak hati dan meminta maaf kepadanya, paman hanya mengangguk bijak.
"Mamang sama bibi teh bingung Bayu.. biaya hidup mamang sama bibi setengahnya dari Uji.. makanya mamang takut kalo Uji udah marah, mamang takut dia berenti ngasih biaya lagi buat belanja sehari hari."
Akhirnya aku paham kenapa paman dan bibi tak berani lagi menegur Fauzi, hal itu membuat hatiku kembali jengkel kepada Fauzi, aku berdiri dan menghampiri Fauzi dan mengkepretnya sekali lagi di area telinganya.
"Ampuun a.. ampuunn.." kata Fauzi menghiba.
Ku tunjuk wajahnya dan berkata,
"Kalo bukan karna sodara, kalo bukan karna kasian sama mamang n bibi, bener bener gw abisin lu Zi.." aku mengatakan itu supaya Fauzi merasa gentar kepadaku.
"Inget Zi, sekali lagi lu nyari gara gara sama gw, sekali lagi lu bikin mamang sama bibi susah, mati beneran lu." Kataku lagi kepadanya.
Fauzi pun berjanji kepadaku untuk tak lagi berulah dan berjanji akan meninggalkan kampung ini secepat mungkin. Aku berfikir mungkin dia malu kepada teman temannya karena sudah kalah berkelahi denganku dan memilih pindah ke kampung lain. Awalnya paman menolak keinginan Fauzi dan memintanya untuk tetap disini. Karena bagaimanapun dia sudah berjanji pada orang tua Fauzi untuk merawat dan menjaga Fauzi sampai dia menikah nanti. Ya, Fauzi masihlah single.
"Biarin aj mang, biar dia belajar mandiri sama belajar tata krama di kampung orang. Kalo disini terus mah gaya preman tengilnya ga bakal ilang.." kataku pada paman.
"Mamang bingung darimana nanti buat belanja harian Bayuuu.. darimana lagih kalo bukan dari si Ujiii.." kata paman dengan wajah memelas.
"Mamang tenang aj. Ada Bayu.. Bayu nanti yang kasih mamang sama bibi semua keperluan mamang sama bibi sehari hari." Kataku meyakinkan paman.
Akhirya paman tak dapat berkata kata lagi selain menyetujui keputusanku dan juga keputusan Fauzi si monyet dekil ini untuk pindah ke kampung lain.
Akhirnya aku pamit kepada paman dan juga bibi setelah menjelaskan hasil keputusan tadi kepada bibi, Umi dan juga Sari. Seperti hal nya paman, bibi awalnya menolak kepergian Fauzi, namun setelah kujelaskan bahwa aku nanti yang akan menanggung kebutuhannya, bibi tak dapat menolak lagi.
Kini aku, Sari dan Umi berjalan keluar menuju mobil yang kuparkir didekat warung mie rebus tadi. Terdengar kasak kusuk yang tak jelas dari kumpulan orang orang disitu.
Bodo amat ah.. kataku dalam hati.
Diperjalanan pulang, Sari baru bercerita kepadaku kenapa dia dan Umi bisa ada disana sesaat sebelum aku mencangkul kepala Fauzi.
"Tadi siang si Uzi nelpon bunda Yah, dia marah marah sama bunda sambil ngata ngatain bunda segala macem, kata dia, dia dipecat dari kerjaannya pasti gara gara kamu.. terus dia ngancem bunda juga. Bunda takut kan jadinya.. eeeh dia malah bilang gini..awas lu ya, laki lu bakal gw cegat dijalan n bakal gw bunuh ntar kalo dia pulang.. kata dia gitu Yah.. jelas aja bunda jadi tambah takut, akhirnya bunda cerita ke Umi kalo Fauzi ngancem gitu gitu.. kata Umi ayo kita ke rumahnya aja, bicarain baik baik sama Uzi terus kata Umi perasaan Umi juga gak enak katanya.." Sari menjelaskan panjang lebar tentang kenapa dia bisa ada di rumah Uzi.
"Perasaan Umi gak enak kenapa Mi?" Tanyaku pada Umi yang kini sedang menggendong Raka di kursi belakang.
"Namanya juga orang tua Bay.. Umi ngimpi rumah kamu keujanan padahal rumah sebelah mah gak kena hujan.." kata Umi kepadaku. Aku hanya manggut manggut setengah tak paham hubungan antara mimpi hujan dan perasaannya yang tak enak tadi.
"Firasat Yah.." Kata Sari seolah tahu bahwa aku tak begitu paham maksud dari perkataan Umi tadi.
"Ooooo...." kataku.
Kami tiba dirumah tepat sebelum maghrib, Umi mengingatkan kami agar segera mandi dan bersiap untuk ibadah. Kamipun melaksanakan perintah Umi dengan cepat.
__________¤¤_________
Beberapa hari setelah kejadian pertengkaran aku dengan Fauzi, situasi rumah tanggaku mulai kembali normal. Umi kembali ke rumahnya dua hari kemudian dan akupun sudah masuk kerja lagi dari hari senin kemarin, Sikap Lita kepadakupun sudah normal kembali seperti sedia kala. Di kantor, aku jadi ingat pertanyaan Pak Suhadi kemarin waktu briefing mingguan.
"Gimana Bay? Sudah sembuh? Kamu kok gak bilang kalo kamu lagi sakit waktu briefing terakhir. Pantesan banyak bengongnya."
Aku sedikit kaget dan hanya menjawab,
"Iya pak, sudah sehat sekarang.." kataku sambil memberi senyum.
Aku melirik ke arah Lita yang duduk di sampingku. Tampak sedikit senyum di bibirnya tanpa melihat ke arahku. Kuambil HP dari kantong celanaku dan ku kirim pesan kepadanya.
"Makasih ya bosku yang cantik.. ♡♡" Kirim...
Lita membuka HP nya dan membaca pesan dariku sambil sedikit tersenyum. Kemudian Lita mulai mengetik sesuatu. Tak lama dia meletakkan HP itu di meja. Terdengar nada pesan di terima di HP ku.
"Masih pagi, jangan macem macem. Lagian, GR banget jadi orang. Siapa juga yang nolongin kamu"
Kubalas pesannya, "Pokoknya makasih.." kububuhkan emot cium di akhir pesan.
Lita hanya membaca pesanku, kemudian kamipun mulai mengikuti briefing mingguan dengan serius.
Aku tersenyum mengingat itu berbarengan dengan sebuah nada pesan masuk dari HPku. Kubuka dan kubaca, dari Lita.
"Kamu dimana Bay? Kita ke Kawasan Hyundai sekarang ya. Ketemuan sama Pak Robert, inget kan? Hari ini tanda tangan kontrak kerjasama kita sama PT dia lho.."
Oh iya... lupa aku..
"Lagi ngopi di kantiin..Inget doong.. Okeh bosss.. kutunggu dirimu didepan kantor yaa.." kubalas pesan Lita.
"OC" Balas Lita singkat.
Buru buru kuhabiskan setengah gelas kopi dan meminta satu bungkus lagi kepada bude kantin. Setelah bayar bayar dan sebungkus kopi sudah di tangan, aku bergegas kembali ke kantor dan menuju meja Agus.
"Nih Gus, ngopi napa ngopiii.." kataku bercanda.
"Eehh.. pak Bayu.. aduuhh jangan repot repot pak. Jadi gak enak saya.." kata Agus sambil menunduk nunduk.
"Udahlah Gus, jangan gitu sama gw.. yang berubah itu cuma posisi gw di kantor. Muka, kelakuan sama sikap gw mah tetep yang dulu Gus.. gak usah manggil manggil bapak segala laah. Risih gw.." ucapku gusar kepada Agus.
Aku memang tak ingin karena posisiku yang naik sekarang malah merubah pertemananku dengan Agus, Aep atau Wita di kantor. Mereka ini adalah orang orang baik yang kadang konyol dan mampu membuat lelucon lelucon segar. Aku tak ingin mereka berubah sikap kepadaku.
"Ekhm..." Tiba tiba sebuah suara terdengar di belakangku. Kami menoleh ke belakang dan sama sama merasa kaget karena pemilik suara tadi ternyata adalah Lita.
"Agus, kamu denger kan kata Bayu? Jangan gara gara dia jadi asisten saya sekarang malah ngerubah pertemanan kalian. Biasa aj.. apa perlu saya ikut nongkrong juga sama kalian mulai hari ini? Sepertinya seru kalo ngeliat kalian kumpul sambil ketawa ketawa bareng.." kata Lita kepada Agus.
"Ehh.. ii.. iya bu.. hehe.. boleh aj bu kalo mau ikut kumpul, tapi ibu maklumin aj ya, makanannya cuma gorengan doang soalnya.." kata Agus mesem mesem.
"Gak masalah, minumnya apa biasanya Gus?" Tanya Lita sambil meletakkan kedua tangannya diatas meja Agus dan sengaja menurunkan sedikit dadanya sehingga belahan dada montok dan putih itu terlihat disela sela dua kancing kemejanya yang sepertinya memang sengaja dilepas oleh Lita.
Kumat nih... kataku dalam hati.
"Ehh.. sus... susuu bu.." jawab Agus sambil sesekali melirik payudara Lita.
"Oohh.. susu toh.. mmm.. gak ada yang lain Gus? Jangan yang cair gitu maksud saya." Kata Lita semakin memajukan dadanya ke depan.
Makin terlihat sesak saja kemeja itu akibat tekanan gunung kembar milik Lita.
"Eh.. aa.. ada buu.. itu, nganuu.. es potong bu.. enak rasanya. Ada asin asinnya.." kata Agus bloon dengan mata jelalatan.
Astagaaaa.... aku melihat tingkah Lita yang menggoda Agus dengan hati kasian kepada Agus.
"Boleh saya nyobain kapan kapan?" Pancing Lita lagi.
"Oohh.. bbbb.. booleehh bu. Tapi saya mah susu aj ya bu.. biar sehat.." Agus kembali mesem mesem.
"Oke deh, nanti saya liat dulu ya, kapan ada waktu luang buat ngumpul sama kalian. Yuk Bay, udah siang nih.." Kata Lita mengajakku pergi sembari berlalu mendahuluiku.
Aku menengok ke arah Agus sambil meletakkan telunjukku di dahi dengan posisi miring. Agus membalas dengan merentangkan kedua telapak tangan di depan dadanya sebagai kode 'gede banget itu toket' sambil mesem mesem tak jelas. Aku hanya tersenyum kepadanya dan mengangkat tangan untuk pamit.
Didalam mobil, Lita duduk disampingku. Karena sekarang aku adalah asistennya, Lita tak lagi duduk di belakang dan memilih duduk disampingku.
"Kalo mau pamer toket mah jangan ke Agus juga kale Lit.. kasian ngeliatnya, antara mupeng sama mutak.." kataku pada Lita.
"Mutak? Apaan tuh? Baru denger aku.." tanya Lita heran.
"Muka Takut.." kataku sambil tertawa dan Lita pun ikut tertawa mendengar kataku.
"Lita, kalo kamu duduk di depan gini, ntar kalo kamu mo ngocok gimana? Masa di depan gitu.. keliatan orang nanti.." tanyaku pada Lita tanpa merasa canggung karena ini adalah obrolan yang biasa untuk kami berdua.
"Ya ampun Bayu.. kalo mau ngocok mah ngocok aj disini..bodo amat sama yang lain.. apa susahnya sih.." Jawab Lita santai.
Ku lirik kedua paha mulus yang terpampang disampingku kini. Rok Lita terlihat sangat pendek ketika dia duduk di kursi sampingku.
"Kenapa lirik lirik? Pengen liat paha aku apa dalemannya aku?" Tanya Lita yang rupanya menangkap lirikanku.
"Kalo boleh mah dalemannya sekalian.." kataku iseng.
Lalu Lita memasukkan kedua tangannya dari bagian bawah rok dan memelorotkan celana dalamnya sampai lepas, kemudian di taruhnya celana dalam itu diatas penisku dengan tekanan sedang tapi lembut.
"Tuh.. daleman aku.. hadiah buat bahan ngocok kamu ntar malem..hihihihi.." kata Lita genit.
Aku membiarkan CD berwarna biru langit itu tergeletak diatas penisku. Lita mulai menaikkan Rok nya dan merubah posisi duduknya miring menghadap ke arahku. Kaki kanannya di naikkan ke atas jok dan sedikit di lebarkan. Nampaklah vagina Lita yang tetap gundul nan indah dipandang mata itu. Lita mulai menggosok pelan klitorisnya sambil berkata,
"Hmmm... ssshh.. enak Bay, udah lama gak ngocok di depan kamu.."
Aku diam saja berusaha membagi konsentrasiku antara menonton Lita dan memperhatikan jalan. Lita terus menggosok gosok klitorisnya dengan dua jari tangannya.
"Ooohhhss... Bay... huuufft.. oohhh.. enak Bay.." kata Lita sesekali mengangkat wajahnya dan sesekali menatapku dengan tatapan nakal.
Aku bertanya pada Lita, " acaranya jam berapa?"
"Hmmm... jam dhuaa siang nanti..ssshh.. oohh.."
Kulihat jam di layar dashboard, jam dua belas kurang. Cukuplah.. kataku dalam hati.
Kemudian aku menuju Mall tempat aku pertama kalinya melihat vagina Lita dan lulus ujian dari Lita.
"Mau kemanha Bayh? Ugh.." kata Lita disela desahan dan sentakan tubuhnya.
"Mau ngocok juga lah.. masa kamu doang yang enak.." kataku.
Tak lama kamipun sudah berada di lantai parkir paling atas mall ini, tempat parkir paling sepi diantara lantai parkir yang lain. Dengan cepat kubuka kancing serta resleting celanaku dan mengeluarkan penisku yang sudah menegang dari tadi.
Sementara celana dalam Lita kugenggam dan kuhirup dalam dalam aroma vagina yang menempel disitu. Mata Lita berbinar melihat penisku dan melihat caraku menghirup celana dalamnya. Kemudian dia menatap mataku dengan bias sinar nakal sambil berkata,
"Keliatan seksi banget kamu nyiumin CD aku Bay... aku sepongin boleh ndak kontolnya?" Tanya Lita.
"Boleh.. boleh banget" kataku.
Kemudian Lita beringsut menurunkan kepalanya dan melahap penisku dengan rakus. Aku mengaduh keenakan dan meraih payudaranya dari luar kemeja kerja Lita. Ku remas remas payudara Lita sementara Lita tetap asyik mengulum penisku dibawah. Sepertinya Lita kurang merasa nikmat oleh remasan remasan di payudaranya, Lita menghentikan aktivitas kulumannya sebentar untuk.membuka semua kancing kemeja dan melepas kaitan Bra nya yang ternyata ada di bagian depan Bra.
Doiing... payudara Lita seolah loncat keluar setelah bagian depan Bra nya terbagi menjadi dua.
Aku langsung meraih payudara Lita dan Litapun kembali asik mengulum penisku. Sesekali diusap usapnya buah pelirku dan sesekali dia mengocok penisku dengan posisi bibir Lita mencecap dan memainkan lidahnya di kepala penisku. Aktivitas mengejar nikmat itu berlangsung sekitar sepuluh menitan sampai akhirnya akupun tak sanggup untuk menahan semburan semburan spermaku di dalam mulutnya.
"Uugghhh.. keluar Liit.." Aku mengerang sambil mendorong pinggulku ke atas dengan tujuan penisku masuk lebih dalam ke mulutnya. Lita menampung seluruh spermaku di lidahnya sebelum akhinya dia meneguk habis spermaku ke dalam perutnya.
"Hihihi.. malah kamu duluan yang dapet enak.." kata Lita sambil mengelap ujung bibirnya dari sisa sisa spermaku menggunakan tissu.
"Gantian deeehh.. tapi pindah ke belakang aj.. biar luas. Disini mah sempit.." kataku setelah kenikamatan itu mereda.
Lita beranjak ke deoan yang disusul olehku. Lita langsung memposisikan duduk dan melebarkan kedua pahanya nya agar lebih mudah ketika kujilati seluruh kemaluannya.
Kamipun saling memuaskan satu sama lain selama kurang lebih setengah jam lamanya.
Setelah urusan birahi selesai, aku melanjutkan perjalanan ke PT tempat kami menuju. Tapi anehnya, Lita tak lagi memakai celana dalamnya kembali. Akupun bertanya kepadanya kenapa celana dalamnya tak dipakai kembali, Lita menjawab sambil mengingatkanku perkataan sebelumnya bahwa itu sebagai hadiah untuk kugunakan masturbasi nanti malam di mess.
"Lha terus kamu mau tanda tangan kontrak gak pake CD di sana nanti..?" Tanyaku heran kepada Lita.
"Iyah.. emang kenapa? Kan ada kamu yang jagain aku.." kata Lita tersenyum.
Yassallaaaammmm..