Quo Vadis
Mataku nampak sudah mencapai puncak kantuk karena tidak kuat lagi akhirnya aku menepi di rest area daerah Tegal karena seingatku rest area berikut masih sangat jauh. Setelah memejamkan mata dan istirahat beberapa jam hingga sekitar jam delapan pagi, membasuh wajah sebentar dan bersiap jalan kembali. Pikirku nanti saja aku mandi di rest area Ungaran seperti biasanya. Dari Tegal menuju Ungaran aku tempuh dengan waktu dua jam saja, sekitar pukul 10.47 aku sudah sampai. Karena akan menjemput mbak Anty di pabrik aku sempatkan mandi dan makan siang dahulu disini, dan jarak tempuh dari Ungaran menuju Salatiga juga cuma satu jam perjalanan saja paling santai itu juga jadi aku siap – siap berangkat jam 12.00.
Singkat cerita akupun tiba di pabrik mbak Anty sekitar jam 12.56, tak apa aku menunggu satu jam di luar pabrik tersebut. Persis di sebelah ATM aku parkir menghadap pintu kelua jadi aku bisa pantau, sembari aku mengirimkan pesan kepada mbak Anty.
Randy : “mbak Anty sayang, aku tunggu di depan ya di sebelah ATM” isi pesanku kepada mbak Anty.
Kok tidak terkirim ya? Ah mungkin di dalam pabrik tidak bisa memegang telepon gengam dengan bebas kali ya? Pikirku positif saja. Hingga pada saat jam bubaran pabrik yang luar biasa banyak sekali para pegawainya aku sempat tolah – toleh kewalahan melihat satu persatu barang kali aku bisa jumpa mbak Anty saat itu juga. Berulang kali aku telepon mbak Anty namun tidak kunjung aktif telepon gengamnya. Ada apa gerangan?
Aku mulai beranikan diri untuk bertanya – tanya kepada beberapa pegawai yang melintas di depanku. Beberapa dari mereka aku tanya tidak mengenali mbak Anty dengan ciri – ciri yang aku sebutkan, ada sekitar sepuluh orang sudah aku tanya sembari terus menghubungi dan mengecek telepon genggamku berulang kali. Sampai pada suatu pegawai pria aku tanya apakah beliau mengenali mbak Anty dan hasil jerih payahku membuahkan hasil berdasarkan informasi yang aku dapat dari pegawai pria tersebut mbak Anty rupanya hari ini ijin tidak masuk karena kurang enak badan.
Mendapat informasi seperti aku langsung panik, setelah berterima kasih atas informasi yang diberikan tanpa berlama – lama aku langsung menuju rumah mbak Anty saat itu juga. Sekitar 45 menit kemudian aku sudah tiba di rumah mbak Anty.
Randy : “permisi”
Ibunya mbak Anty : “eh mas Randy, kapan sampai?”
Randy : “eh Ibuk, baru saja” sambil cium tangan beliau.
Ibunya mbak Anty : “masuk ke dalam mas?” sambil mempersilakanku masuk.
Randy : “njeh Buk, matur suwun. Eh ini bu ada sedikit oleh - oleh” (baik Buk, terima kasih) seraya aku masuk.
Ibunya mbak Anty : “mau minum apa mas? Atau mau rebahan dulu di kamar, pasti capek kan sudah jalan jauh?”
Randy : “nanti aja Buk tak ambil sendiri. Disini aja Buk, ndak enak nanti aku ganggu Anty istirahat”
Ibunya mbak Anty : “loh Anty dereng wangsul eh mas” (loh Anty belum kembali eh mas) jawabnya keheranan.
Randy : “dereng wangsul?” (belum kembali)
Ibunya mbak Anty : “njeh mas, kan Anty nyambut gawe” (iya mas, kan Anty bekerja)
Randy : “oh meniku (begitu) Buk, soalnya tadi ada yang bilang Anty ndak masuk kerja. Mungkin salah orang, hehehe” tawaku dengan penuh tanda tanya.
Ibunya mbak Anty : “yowes mas, Ibuk tinggal ke belakang kalau mau rebahan di kamar ndak apa – apa. Ibuk mau masak sek (dulu)” pamitnya.
Randy : “njeh Buk, matur suwun” (baik Buk, terima kasih)
Aku semakin merasa gelisah, apa benar pria tadi memberiku informasi yang salah? Padahal aku sudah menunjukan kepada pria tersebut foto dari mbak Anty? ya masa Ibuknya mbak Anty juga memberiku informasi bohongan? Semua pertanyaan semakin berputar – putar dengan banyak pemikiran negatif, pantas terakhir telepon dengan mbak Anty ada sesuatu yang sangat janggal bagiku. Semoga semua hanya firasatku saja, aku masih belum bisa membayangkan semua hal buruk kalau sampai terjadi.
Sore hampir menuju malam, tak sadar aku tertidur di ruang tamu dan kudapati mbak Anty belum juga kembali. Sehabis dari dapur untuk mengambil minum ku dengar ada suara motor di depan rumah, dan kulihat kearah luar ternyata mbak Anty diantar oleh seorang pria dan dengan spontan dari posisi duduk berboncengan yang tadinya mbak Anty memeluk pria tersebut sontak kaget begitu melihat ada mobilku dan melepaskan pelukan tersebut dengan suara lirih mbak Anty meminta pria tersebut untuk segera meninggalkan rumahnya. Rasanya api cemburu mulai menjalar ketubuhku ini, langsung aku cecar dengan segudang pertanyaan kepada mbak Anty.
Randy : “siapa itu mbak?” ketusku langsung menuju.
Mbak Anty : “eh bukan siapa – siapa mas?” jawabnya sembari hendak meraih tanganku untuk di ciumnya.
Randy : “udah gak usah, siapa itu mbak?” sambil menepis tangannya.
Mbak Anty : “konco tok mas?” (teman saja mas)
Randy : “ora mungkin ambek konco peluk – peluk ngono” (tidak mungkin sama teman peluk – peluk begitu)
Mbak Anty : “tenan mas konco kerja tok” (benar mas teman kerja saja)
Randy : “gak usah bohong mbak, kamu kan hari ini gak kerja kan?” jawabku dengan nada tinggi.
Mbak Anty : “bohong darimana mas, kata siapa aku gak kerja?” sanggahnya.
Randy : “aku tadi ke pabrikmu, aku tanyai teman – temanmu katanya kamu gak masuk”
Mbak Anty : “…………..” diam lirih tak bisa menjawabnya mbak Anty atas pernyataanku barusan badannya bersujud dikakiku dan menangis.
Ibunya mbak Anty : “ono opo toh mas, Ty kok mbengok – mbengok?” (ada apa toh mas, Ty kok teriak – teriak?) sembari jalan dari dapur menuju ruang tengah.
Randy : “………………” aku hanya diam sembari memegang kepalaku dengan kedua tanganku dengan gerakan mengacak – acak rambut lalu turun menutup wajahku.
Ibunya mbak Anty : “Ty, ono opo toh?” (Ty, ada apa toh?) sembari menggoyang – goyangkan badannya mbak Anty.
Hikss.Hikss.Hikss
Mbak Anty : “masss, pangaapuroo mass” lirihnya sambil memegang kaki meminta maaf dengan posisi terduduk dibawah.
Randy : “……………” tak kujawab sepatah kata entah aku mau berujar apa semua serasa sesak perkataan yang hendak terlontar.
Mbak Anty : “masss, ampun mass” tangisnya semakin pecah.
Aku sudah tidak menghiraukan lagi mbak Anty aku langsung menuju mobilku dan meninggalkan mbak Anty dan Ibuknya. Entah semua gelap terasa ku lajukan mobilku menuju jalan tol arak Semarang. Terdengar kembali sebuah penggalan lagu dari penyanyi ini yang menemani pilunya hatiku, sembilu membekas dalam.
~
Little did I know love is easy
But why was it so hard?
It was like never enough
I gave you all still you want more
Can't you see? can't you see?
That you want someone that I'm not
Yes, I love but I can't
So, I am letting you go now
And baby one day
When you finally found what you want
And you're ready to open your heart to anyone
Don't push people away again
Easier, I know but it’s also very lonely
Yeah, oh, oh
I love you but I’m letting go
I love you but I'm letting go
I love you and I’m letting go
It is the only way, you know? oh
And from now on
I will hold my own hand
Until one day you'll hold my lonely hand
Ooooh
~
Oh God, kenapa lagu ini ada di daftar playlistku? Tak henti – hentinya aku mengutuk diriku sendiri. Segala tatapan tegarku sedari tadi tumpah ruah menjadi tangis sepanjang jalan menuju Tuntang, apa ada yang salah dariku? Apa ada yang kurang dariku? Tiga jam kuhabiskan waktuku di pelataran parkir sebuah tempat berdoa di daerah Tuntang dengan isak tangis yang tidak jelas. Ku langkahkan kaki keluar dari mobil menuju tempat doa tersebut, memang bukan keyakinan yang menjadi penghalang besar hubunganku dengan mbak Anty. Yang menjadi lubang hitam hubungan kami adalah pengendalian ego dan hawa nafsu.
Belakangan aku tahu pria tersebut adalah teman SMA yang memberikan kerjaan kepada mbak Anty dan pria tersebut pula yang sering bareng berangkat dan pulang kerja. Pria tersebut memang sudah duda dan mbak Anty juga baru saja menyandang status janda. Dari penuturan mbak Anty kepadaku hubungan mereka baru berjalan satu hingga dua bulan dan mbak Anty terus terang baru dua kali berhubungan dengan pria tersebut yang kedua adalah yang aku pergoki ketika mbak Anty tidak masuk kerja. Entah apa ini karmaku, dari perselingkuhan sebelum mbak Anty resmi bercerai. Karena sejatinya aku tidak percaya bahwasanya karma itu adanya.
Segala suatu tentang mbak Anty sudah perlahan mulai kuhapus dari semua ingatanku, cutiku hanya berakhir sia – sia yang hanya kuhabiskan merenung di kamarku. Sekembali aku ke Bogor berulang kali mbak Anty menelponku dan mengirim pesan namun tidak aku gubris sekalipun, ratusan kali kata maafnya kepadaku tak ku tanggapi. Ketirnya kurasakan hingga kini mungkin aku harus segera memperbaiki hidupku kini, pergi menjauh jawabanku sementara.
Terima kasih banyak atas semua apresiasi suhu – suhu hingga saat ini.
Mohon maaf bila endingnya sangat jauh dari kata baik dan sebagainya. Sumpah nubih jadi gemeteran dalam mengetik sub judul akhir ini.
Mohon maaf bila dua sub judul tidak ada adegan senonohnya, dan seakan nubih jadi menye.
~ BERAKHIR ~