Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG LAKUNA : SESUATU YANG HILANG

Nah ini gan yang sering bikin resah, dan menjadi pertanyaan saya, sebab karena terbawa kebiasaan RL dimana saya ketika having sex selalu soft dan mengalun, jadinya terbawa ke setiap penceritaan, kira-kira mengganggu enggak ya hu? 🙏
Wah curiga ane hu, pasti banyak cewenya ini :D:D
 
BAGIAN 10 : TANGGUNG JAWAB

***

“Apa Nyimas haus?” Tanya Sena pada bibinya yang hanya memandanginya dengan senyuman, yang oleh Nyimas segera dijawab dengan gelengan kepala. di dalam benak perempuan tersebut kata-kata terus teruntai, membentuk lafalan yang mengalirkan energi lembut untuk terus berkumpul menuju ujung telunjuknya.

“Tapi saya ingin membuatkan Nyimas teh, Nyimas pasti mau kan?” Tawar Sena lagi dengan bersemangat seraya hendak menegakkan tubuhnya, namun bersamaan dengan itu, Nyimas sudah mencapai bait terakhir dari kata-kata yang sedang ia untai di dalam hatinya. Hingga perlahan bibir Nyimas pun terbuka, lalu dua kata keluar dari sana dengan lirihnya..

“..rimuk.. tilam..”

Fuuuuhhhhhhh..

Setelah kata-kata tersebut selesai terucap, bibirnya meniupkan angin ke arah wajah Sena dengan lembutnya, bersamaan itu ia tekan sedikit ujung jari telunjuknya di kening Sena, membuat pemuda itu menghentikan niatannya untuk bangkit dari kasur, dan perlahan-lahan ia merasakan bahwa ia mulai kehilangan kuasa akan kelopak matanya.

Fuuhhhhhh

Tiupan lembut dari bibir Nyimas Ajeng semakin terasa mendinginkan kelopak mata pemuda itu, membuatnya semakin mengawang dan dibekap perasaan luruh, punggungnya kembali terjatuh ke kasur dan matanya perlahan tertutup dengan sayu.

“Nyi.. mass..hh..” Lirih Sena seraya matanya terpejam utuh, kesadarannya hilang terbawa kantuk yang diberikan oleh sang bibi. Dan bersamaan dengan itu, pola api yang ada di kening Sena pun memudar sedikit demi sedikit, hingga akhirnya benar-benar hilang tak terlihat lagi.

Nyimas pun tersenyum, kemudian diangkat ujung jari telunjuknya, lalu dihentikan tiupan dari bibirnya. Ia pandangi Sena baik-baik dengan senyuman kecil, kemudian diturunkan wajahnya untuk mengecup lembut kening keponakan tercintanya itu.

“Selamat tidur, Sena..”
.
.
.


***
Sementara itu di tempat lain..

Di ambang sore yang terlihat muram dan pengap, langit harusnya cerah secerah-cerahnya, sinar matahari harusnya menyirami sepenjuru wilayah Lemah Kidul, sebuah daerah yang membentang di pesisir selatan pulau utama negeri ini. Namun letusan sebuah gunung berapi di tengah laut kemarin, membuat pesisir daerah ini diterjang gelombang tsunami berskala lokal, meski hanya berskala lokal, namun tetap saja, terjangannya mampu memorak-porandakan apa saja yang berada di pesisir, setidaknya begitulah seharusnya. Mengingat kekuatan dari letusan gunung Putra Mandara yang cukup besar.

Awalnya para pengamat sangat mengkhawatirkan menyapu pulau-pulau kecil berpenghuni yang berada 20km ke arah utara dari gunung tersebut, masuk ke gugusan pulau besar yang berada di seberang pulau utama negeri ini. Namun ternyata, justru gelombang utama tsunami justru mengarah ke selatan, ke pulau utama negeri ini, yang dipisahkan selat luas dengan jarak hampir 50km dari titik letusan.

Meski ada beberapa teori yang mengatakan, bahwa kehadiran tiga pulau kecil tak berpenghuni yang “memeluk” Putra Mandara adalah sebab utamanya -hal yang membuat gelombang utama tsunami tidak mengarah ke utara-, karena gelombang langsung terpecah lebih dulu.

Sedang alasan mengapa gelombang utama justru mengarah ke selatan, ke pulau utama negeri ini, sebab sisi selatan gunung tersebut bersih tidak ada penghalang apapun, membuat gelombang tsunami berlayar bebas mengarungi selat. Ya harusnya tanpa penghalang.

Namun pada kenyatannya, di pesisir selatan pulau utama negeri ini pun. hanya beberapa titik saja yang benar-benar mengalami kerusakan parah, sedang sisanya hanya mengalami kerusakan ringan, entahlah.. hal ini juga sejujurnya membingungkan para ahli.. yang sejatinya, ketika letusan dadakan itu terjadi, lengsung menerapkan darurat tsunami level tertinggi -meski titik utamanya bukan pulau ini-, namun pada kenyataannya, gelombang yang sampai ke daratan di luar prediksi para pengamat. Seolah ada tembok besar yang sempat meredam kekuatan asli dari gelombang tersebut, hingga hanya bersisa tak sampai seperempat kekuatan aslinya.

Itu sebenarnya adalah realita yang amat baik, bagi penduduk, bagi pemerintah daerah, dan bagi para ahli yang sempat dicekam ketakutan hebat. Namun tetap saja, kejanggalan tersebut meninggalkan pertanyaan-pertanyaan yang cukup mengganggu benak para pemikir.

Sehari pasca letusan dan gelombang tsunami lokal itu, daerah yang paling parah mengalami kerusakan adalah Lemah Kidul, letaknya yang menghadap selat membuatnya menjadi sasaran utama dari gelombang yang menerjang kemarin. Dan siang ini, tim SAR yang dibantu pihak militer dan kepolisian, plus para relawan dan warga sekitar terus bahu membahu membersihkan derah-daerah yang mengalami kerusakan cukup masif.

Dan di salah satu sudut daerah tersebut, di sebuah tiitik yang bisa dibilang mengalami kerusakan paling parah, terdapat sebuah tebing tinggi menjulang yang menjorok ke laut. Di atas tebing tersebut ada tiga orang yang tengah bercakap-cakap serius, satu perempuan, dan dua orang lelaki. Mereka tak lain adalah Anggana Raras Rengganis, seorang perempuan cantik berusia 38 tahun yang rambutnya tergerai cantik diterpa angin, lalu Saka Agra Aliendra sang suami yang berusia dua tahun di atasnya, tubuhnya terlihat tegap menjulang dan kekar, dengan kedua tangan dilipatkan di dada. Dan satu orang lagi adalah Mang Diman, lelaki berusia 55 tahun yang sudah mengabdi dan menjadi orang kepercayaan bagi keluarga pasangan suami istri tersebut.

435a3e348eaa6fe0751e6462ab0a00b9.jpg

Anggana Raras Rengganis

0000035864_14.jpg

Saka Agra Aliendra

“Jadi abu belum turun sama sekali semenjak letusan kemarin, Mang?” Tanya Saka dengan logat daerahnya yang lembut dengan alis tertaut, postur tubuhnya yang kekar, ditambah kulit kecoklatan sawo matang, wajah keras berbulu kasar, dengan tatapan tajam tentunya akan selalu mengintimidasi bagi siapa saja yang belum akrab dengan lelaki tersebut. Bersamaan itu, ia usap brewok kasar di pipinya yang terasa lembap, karena hawa pengap yang terasa sedari ia tiba di daerah ini.

Namun sejatinya, Saka adalah lelaki yang amat lembut pada orang-orang terdekatnya, termasuk Mang Diman, yang sudah ia anggap seperti Ayahnya sendiri.

“Betul Pak, Mamang juga udah dapet kepastian, kalo abu letusan semuanya berkumpul di sini, enggak ada yang ke pulau seberang..” Jawab Mang Diman yakin dengan tatapan di arahkan ke langit yang memang diselimuti awan hitam kecoklatan. Ia mengelap dahinya dengan telapak tangan, keringat mengucur deras di sana. Entahlah, padahal sinar mentari tak ada yang berhasil menerobos, angin pun bertiup semilir, tapi entah kenapa, suhu derah ini rasanya cukup panas menyengat.

“Setelah memicu letusan Putra Mandara, mengarahkan gelombang tsunami ke sini, sekerang mereka juga ingin menyelimuti Lemah Kidung dengan abu vulkanik..” Rengganis bergumam dengan wajah khawatir, ikut buka suara, membuat Saka dan Mang Diman lekas memandang ke arah perempuan anggun berkulit putih tersebut.

“Dek.. kamu ndak perlu khawatir, kita bakal lewatin ini bareng-bareng..” Saka mencoba menenangkan kekhawatiran yang terlihat jelas di wajah istrinya, merangkulkan tangannya ke bahu Rengganis dengan lembut, memberikan kehangatan di tengah semilir angin yang berdesir dingin.

“Mereka kuat sekali Mas.. jika saatnya tiba, apakah kita bisa menghadapi mereka? Apakah kita mampu Mas?” Tanya Rengganis lagi dengan wajah terangkat menatap suaminya.

Dan seolah tak ingin terbawa suasana ketakutan yang juga merebak di hatinya, Saka pun menyajikan senyum terbaiknya, dielusnya lengan bagian atas Rengganis yang tertutup selendang, dikecupnya kepala Rengganis dengan penuh perasaan.

“Kita pasti bisa ngelewatin semua Dek, iya kan Mang? Kita pasti bisa kan?” Ujar Saka dengan penuh semangat seraya meminta dukungan dari Mang Diman yang tengah memandangi mereka berdua dengan senyum keteduhan.

“Benar Bu, apapun yang terjadi nanti, kita pasti bisa menghadapinya sama-sama. Mamang juga pasti bakal berusaha bantu sekuat tenaga Mamang, karena sudah menjadi janji Mamang ke Nyai Putri, bahwa Mamang akan menjaga keluarga ini..” Ujar Mang Diman penuh keyakinan, ditatapnya kedua pasang insan manusia di hadapannya dalam-dalam, ia begitu menyayangi keduanya, sama sayangnya seperti ia kepada Arum, anaknya yang paling bungsu. Baginya, keluarga ini adalah keluarga utamanya, bahkan lebih utama dibanding keluarganya sendiri.

“Terimakasih Mang.. terimakasih banyak..” Ucap Rengganis lirih, yang oleh Mang Diman segera direspon dengan senyuman dan anggukkan kepala.

“Kalau gitu, masalah pergerakan Hematala kita bicarakan nanti. Sekarang.. kita harus memikirkan cara kita menangani masalah di sini. Karena bagaimana pun, ketiadaan ‘Natha’ di sini, membuat tanggung jawab menjaga tanah ini untuk sementara berpindah ke tangan kita..” Saka berbicara dengan nada berat seraya menatap Rengganis dan Mang Diman secara bergantian, dan seolah mengerti, kedua lawan bicaranya pun menganggukkan kepala.

(Natha : sebuah gelar yang disematkan untuk pelindung suatu wilayah)

“Apa benar-benar tidak ada satu orang pun yang tersisa Mas?” Tanya Rengganis penuh harap.

“Aku dan Mang Diman sudah menyisir areal sini Dek, dan ndak ada satu orang pun yang tersisa. Sepertinya Natha tanah ini mengorbankan diri mereka untuk meredam gelombang kemarin..” Jawab Saka dengan lemasnya.

“Orang-orang Hematala itu benar-benar kuat ya Pak.. sampai-sampai Natha di sini harus meredamnya dengan berkorban nyawa. Andai Mamang masih memiliki kesempatan untuk bertemu salah satu dari mereka yang sudah berkorban nyawa demi tanah ini, Mamang akan bersujud mencium kaki mereka untuk menyampaikan terimakasih Mamang atas pengorbanan yang sudah mereka lakukan..” Timpal Mang Diman dengan tatapan mengawang ke cakrawala.

Ya.. tak berlebihan rasanya jika Mang Diman mengatakan hal tersebut, sebab jika saja tidak dihalau oleh para pelindung tanah ini, mestilah seluruh daratan di pesisir selatan pulau ini sudah porak poranda disapu tsunami dahsyat. Namun berkat dinding tinggi yang dibangun oleh pelindung tanah ini, tentunya dengan mengorbankan nyawa mereka sendiri, tanah ini selamat dan hanya mendapatkan kerusakan kecil.

“Suara hati Mang Diman, dan suara hati penduduk di sini mestilah sampai kepada mereka di sana Mang.. dan mereka pasti amat bahagia karena orang-orang yang mereka lindungi dengan segenap jiwa mereka bisa terselamatkan dari amukan bencana ini..” Sahut Saka seraya menepuk bahu Mang Diman.

“Tapi ada yang sedikit mengganjal di hati Mamang Pak.. Bu..” Terang Mang Diman dengan wajah sendu.

“Apa itu Mang? Sampaikan saja..” Tanya Rengganis cepat.

“Dulu.. Nyai Putri pernah memberitahu Mamang, kalau selama Anggaraksa bisa ditancapkan, maka sehelai benang pun enggak akan bisa menyentuh Lemah Kidul. Mamang tahu, kalau amukan dari Putra Mandara benar-benar dahsyat, tapi tetap saja, perkataan Nyai Putri sedikit banyak benar-benar mengganggu pikiran Mamang..” Tukas Mang Diman dengan alis berkerut kencang.

“Itu juga yang saya risaukan Mang..” Timpal Saka cepat dengan alis ikut tertaut.

“Aku juga berpikir seperti itu Mang.. Mas.. karena seharusnya pengorbanannya tak perlu sebesar ini, juga seharusnya tak ada satu gelombang pun yang sampai ke daratan..” Sambung Rengganis ikut mengeluarkan uneg-unegnya.

Dan di tengah kebisuan itu, di tengah kesibukan pikiran mereka masing-masing, tiba-tiba handphone di saku jaket kulit hitam Saka berbunyi nyaring, membuat ia lekas mengeluarkannya. Dan menjawab panggilan tersebut.

“Halo?”

“…..”

“Iya ada apa?”

“…..”

Saka terdiam sejenak, ia menatap baik-baik langit di kejauhan, seraya telapak tangannya mengelap dahi, menyeka keringatnya.

“Bagaimana bisa?”

“…..”

“Berapa lama waktu yang kita punya?”

“…..”

“Baiklah.. saya akan bantu sebisa saya..”

“…..”

“Tolong sampaikan pada beliau, agar membatalkan seluruh kegiatan, usahakan semua orang berada di tempat yang aman. Saya akan coba pikirkan cara menyelesaikannya. Saya harus berdiskusi dulu, beberapa menit lagi akan saya kabari.”

“…..”

“Baik terimakasih kembali, sampaikan salam saya pada beliau..”

“…..”


Saka pun menyudahi panggilan telefonnya, dan segera menatap ke angkasa, menatap gumpalan hitam yang menaungi penjuru daerah ini. Giginya ia katupkan dengan keras, tangannya mengepal dengan sedikit bergetar.

“Ada apa Mas? Siapa yang menelpon barusan?” Tanya Rengganis khawatir.

“Kita harus melakukan sesuatu pada abu-abu itu Dek, barusan relasiku dari Badan Penanggulangan Bencana memberitahu, bahwa ada anomali di langit daerah ini, di mana suhu di atas Lemah Kidul mendekati titik didih.” Jawab Saka seraya memutar otaknya, berpikir keras.

“Apa mungkin abu-abu yang tertahan itu penyebabnya Mas?” Gumam Rengganis bingung.

“Jadi hawa panas dan pengap ini berasal dari abu-abu yang tertahan di atas itu Pak?” Tanya Mang Diman dengan kekhawatiran.

“Ya.. itu berarti benar, Hematala sengaja menggiring dan menahan abu-abu ini untuk melumpuhkan daerah ini. karena jika abu-abu panas itu turun, maka tanah ini akan mengalami bencana susulan. Dan menurut relasiku itu, semakin lama suhu di atas kita semakin meningkat..” Saka menggantung kalimatnya untuk menghela napas.

“Itu jelas akan sangat membahayakan. Bahkan tenda-tenda pengungsian pun mungkin ndak akan bisa menahan ini.” Tukas Saka lemas menutup akhir penjelasannya.

“Dan daerah atas juga lagi bersiap untuk menyambut panen terakhir sebelum puncak kemarau tiba, itu berarti panen juga akan gagal, dengan kata lain daerah ini akan mengalami paceklik parah..” Potong Mang Diman dengan raut wajah terbelalak.

“Benar kata Mang Diman.. dan jika daerah ini mengalami gagal panen, pasokan pangan untuk Negeri juga akan sedikit terganggu. Lumbung nasional akan goyah, karena harus mengalokasikan persediaan besar untuk daerah ini, ditambah berkurangnya pasokan, tentu itu akan menjadi masalah besar di kemudian hari.” Terang Saka dengan otak cermatnya yang bekerja dua kali lebih cepat dari seharusnya.

“Aku boleh nanya enggak Mas? Tapi janji.. Mas jangan marah..” Rengganis menyela percakapan kedua lelaki di hadapannya dengan wajah hati-hati, bertanya kepada Sang suami, yang oleh Saka segera dijawab dengan anggukkan ragu-ragu, ia seolah tahu apa yang akan sang istri tanyakan kepadanya.

“Yang menggiring dan menahan abu-abu ini.. Apa Nyimas Ajeng yang melakukan ini? Maksudku apa ini perbuatannya langsung?” Tanya Rengganis dengan raut wajah begitu khawatir. Dan benar saja, mendengar pertanyaan Rengganis, wajah Saka langsung muram sendu, tatapannya lemah dan seketika dipenuhi keputusasaan.

“Maaf Mas.. aku enggak bermaksud buat..”

“Ndak Dek.. kamu ndak perlu minta maaf.. huh..” Saka menyela Rengganis yang sepertinya merasa bersalah karena telah mengajukan pertanyaan kepadanya. Dan sejenak, ada lengang yang menjalar di antara mereka, Saka menghela napasnya lebih dalam, mengembuskannya dengan berat.

“Pasca membuat Putra Mandara terbatuk sekeras ini, aku yakin kekuatannya pasti terkuras sampai ke titik terendahnya. Dan butuh beberapa hari untuknya memulihkan kekuatan. Jadi.. aku sangat yakin, bukan dia yang menggiring dan mengumpulkan abu-abu ini.” Saka berkata dengan kedua alis tertaut keras, kepalanya pun tengah ia peras sekuat tenaga, pikirannya memutar kemana-mana.

“Kalau begitu..” Ucap Rengganis tergantung, kepalanya pun ikut berputar memikirkan kekacauan-kekacauan yang tengah mereka hadapi ini.

“Kamu benar Dek, kaki tangannya lah yang melakukan ini. Dan aku yakin.. butuh lebih dari satu orang untuk mengerahkan energi sekuat ini. Dan tentunya mereka ndak bisa melakukan ini dari jarak jauh, pasti kaki tangannya ada di wilayah ini..” Saka melanjutkan penjelasannya dengan wajah serius.

“Tapi bukannya Bapak sudah menyisir seluruh daerah ini? Kalau begitu harusnya Bapak tahu di mana posisi orang-orang yang sedang mengumpulkan dan memanaskan abu-abu ini, bukan?” Mang Diman yang sedari tadi ikut berpikir pun akhirnya buka suara.

“Benar Mang, tapi Mamang tau sendiri.. Luru Kalacakra milikku jangkauannya terbatas, jadi aku menyisirnya dengan cara bergilir dari titik satu ke titik lainnya. Dan kemungkinan, mereka sudah punya cara untuk mengantisipasi Luru Kalacakra-ku.” Saka berkata dengan wajah resah. Ia kesal sebab ternyata orang-orang Hematala yang tengah mendidihkan abu-abu di atas mereka kemungkinan mengetahui batasan dari kekuatan sensor yang ia miliki, dan memanfaatkan celah kecil dari batasan jangkauannya untuk berpindah-pindah agar ia tak bisa menandai keberadaan mereka.

Luru Kalacakra, sebuah kemampuan dasar yang dimiliki Saka secara turun temurun itu berfungsi untuk menyisir sekeliling daerah dimana kakinya berpijak, namun seperti yang ia katakan, kemampuannya itu memang memiliki batas jangkauan.

“Jadi kita tinggal nemuin orang-orang yang mengendalikan abu-abu ini, terus kita paksa mereka buat berenti aja kan Pak?” Tanya Mang Diman lagi antusias.

“Ndak sesederhana itu Mang, kalau pun kita bisa menemukan mereka, aku yakin mereka ndak akan mau menghentikan ini semua, dan sekalipun kita membunuh mereka, itu ndak akan membatalkan ini semua, dan abu-abu itu tetap bakal berjatuhan ke tanah. Pada akhirnya, itu Cuma bakal buang-buang waktu Mang..” Saka menghela napasnya lagi dengan berat, begitu pun Rengganis dan Mang Diman, mereka seolah ingin menyerah menghadapi gelombang demi gelombang tekanan yang diberikan oleh orang-orang Hematala, namun mereka tentu tidak bisa melakukan itu, mereka harus tetap berjuang, apapun yang terjadi mereka harus tetap berjuang.

“Kita kesampingkan dulu bedebah-bedebah yang telah berhasil menghindari luru kalacakra-ku itu, karena bagaimana pun kita harus segera mengurus abu-abu ini..” Gumam Saka dengan otak yang terus diperas. Ia tak ingin mereka menghabiskan waktu terlalu banyak hanya untuk mengurusi orang-orang yang tengah menyebar untuk mengkondisikan abu-abu panas ini.

“Berapa lama waktu yang kita miliki Mas?” Tanya Rengganis dengan tatapan mengawang ke langit kelabu.

“Ndak tau Dek, Cuma relasiku itu bilang, selain suhu yang semakin meningkat, ketinggian abu-abu ini pun semakin rendah.” Jawab Saka dengan tatapan tajam.

Seketika lengang kembali menyelimuti mereka, hening sebab memikirkan sesuatu yang harusnya menjadi kemustahilan, namun justru harus mereka hadapi saat ini. Gugusan abu vulkanik yang tertahan di langit setelah lebih dari 24 jam dari awal letusan gunung berapi adalah sesuatu yang sulit untuk dicerna nalar.

Ditambah, abu-abu tersebut hanya menaungi wilayah ini, tidak bergerak ke wilayah lain. Dengan suhu yang terus naik, seperti tengah dimasak menuju titik didih. Saka mengeram dengan emosi tertahan, ia benci jika kepalanya tak kunjung memunculkan jalan keluar seperti ini.

“Untuk menggiring abu letusan Putra Mandara sejauh ini pasti memerlukan energi yang sangat besar, ditambah mereka harus menahan dan memanaskan abu-abu ini, kalau perkiraanku benar, mereka pasti sudah menguras tenaga dalam mereka habis-habisan..” Gumam Saka pelan, lebih seperti berbicara pada dirinya sendiri.

“Terlebih.. Sepengetahuanku.. di Hematala Cuma ada beberapa orang yang punya kemampuan Liris Kisma..” Saka menutup gumamannya dengan buntu. Sedikit mengenai Liris Kisma, yang berarti Atur Tanah, di mana orang yang memiliki kemampuan ini bisa menggerakkan dan memanipulasi materi yang berelemen dasar tanah.

“Tapi Pak.. Liris Kisma kan bukan kemampuan dasar orang-orang Hematala? Gimana bisa mereka menguasai ajian itu?” Tanya Mang Diman penasaran.

“Benar Mang.. Manipulasi tanah memang bukan kemampuan orang-orang Hematala. Tapi dari yang kuamati selama ini, kemungkinan Hematala berhasil mempengaruhi satu dua orang dari Parung Wetan untuk bergabung dengan mereka.” Jawab Saka dengan geramnya.

(Parung Wetan : Lembah Timur, satu daerah besar di timur pulau utama, bagian dari 4 arah penopang utama pulau ini. Empat arah tersebut adalah Hematala yang berada di pegunungan utara, Lemah Kidul di pesisir selatan, Parung Wetan yang berada di Timur, serta Purantara yang berada di bagian barat pulau.)

“Tapi bukannya Nyai Putri pernah bilang, kalau seandainya Aruhara datang dan Purantara maupun Lemah Kidul jatuh, Parung Wetan adalah tempat yang bisa kita tuju buat berlindung?” Tanya Mang Diman lagi dengan wajah khawatir. Terlihat Saka dan Rengganis menghela napas dalam.

“Waktu berjalan Mang.. zaman pun ikut berubah.. ndak ada yang bisa menjamin isi kepala dan ruang hati seseorang akan tetap sama. Ndak usah jauh-jauh, contohnya aja aku Mang...” Gumam Saka dengan lemahnya, membuat suasana kembali lengang untuk ke sekian kalinya.

“Wes.. iku kita bahas nanti aja, sekarang kita harus cari cara buat mastiin Lemah Kidul ndak diberangus sama abu-abu ini..” Ujar Saka memecah keheningan, tatapannya sudah tidak setajam dan sesendu tadi.

“Aku punya ide Mas.. tapi aku perlu bantuan Mas dan Mang Diman untuk melakukannya..” Rengganis berucap dengan mata menatap Saka dan Mang Diman beragantian. Perempuan itu seolah menemukan suatu jalan yang bisa ia tuju saat ini.

“Apa Bu? Mamang pasti bantu sebisa mungkin..” Sambar Mang Diman cepat dengan penuh semangat.

Sedang Saka berpikir sejenak, kedua alisnya tertaut keras, ia seolah menebak apa yang hendak dilakukan sang istri. Dan ketika ia berpikir tentang mengapa Rengganis memerlukan bantuannya dan Mang Diman, saat itu juga ia terpikirkan sesuatu, sayangnya itu bukan sesuatu yang baik menurutnya.

“Aku akan..”

“Jangan Dek! Aku mohon.. jangan..”

Baru saja Rengganis hendak menjelaskan pemikirannya, Saka dengan cepat langsung memotong ucapan sang istri, seraya memegang kedua bahu Rengganis dengan eratnya. Sedang melihat itu, Mang Diman hanya bisa terdiam bingung, sebab ia sadar, jika Saka sampai menahan Rengganis, itu berarti apapun yang ada di kepala Rengganis saat ini pastilah sesuatu yang amat beresiko.

“Tapi cuma itu satu-satunya cara tercepat mengatasi ini Mas, jangan khawatir, aku bakal baik-baik aja..” Terang Rengganis dengan senyum mengembang di bibirnya.

“Enggak! Dua hari ini kamu terlalu banyak mengeluarkan lamuk-mu, terlalu ringkih jika kamu mengeluarkan lamuk dalam jumlah besar lagi..” Tolak Saka dengan tatapan takut, sejatinya ia amat mengerti, jika sang istri sudah memilih suatu jalan, akan sulit baginya untuk mengubah itu.

“Aku enggak akan kenapa-kenapa. aku mohon izinin aku ngelakuin ini, kamu sendiri yang bilang, kalau sekarang tanggung jawab daerah ini juga menjadi tanggung jawab kita.” Rengganis memegang kedua pipi Saka dengan lembut, mengusap rambut-rambut kasar yang tumbuh di sana.

“Aku tahu itu, tapi kasih waktu buat aku berpikir, aku pasti bakal nemuin cara lain Dek..”

“Kita enggak punya waktu banyak Mas..”

“Tapi dek..” Saka hendak menyanggah ucapan sang istri, namun tiba-tiba ia merasakan aliran sejuk nan dingin menjalar di pipinya, dan itu berasal dari telapak tangan Rengganis.

“Kita pernah terlambat melakukan apa yang seharusnya kita lakukan Mas, dan itu membuat anak kita menjadi korbannya. Dan sekarang, kita kembali dihadapkan pada pilihan, dan aku enggak mau kita terlambat lagi kali ini Mas..” Rengganis berkata dengan mata yang berkaca. Dan seketika saja, Saka pun menundukkan wajah, kedua tangannya yang tadi mencengkeram lembut bahu Rengganis jatuh begitu saja tak bertenaga.

“Mas.. aku enggak akan kenapa-kenapa kok. Aku janji, kalau memang aku udah mencapai batas, aku enggak akan memaksakan diri..” Rengganis kembali mengelusi pipi Saka dengan lembutnya, membuat lelaki itu pada akhirnya menghela napas amat dalam.

“Aku pegang janjimu Dek, dan kamu harus ingat. Kalau kita juga masih punya janji-janji lain yang harus kita tepati..” Saka berujar dengan perasaan berat di dalam dadanya, yang oleh Rengganis langsung disambut dengan anggukkan kepala dan senyum bahagia, dipeluknya tubuh Saka erat-erat, seraya ucapan terimakasih yang terus terucap dari bibir tipis merah mudanya.

“Punten.. anu.. Mamang teh hentue ngarti..” Tiba-tiba Mang Diman membuyarkan keromantisan mereka seraya menggaruk-garuk kepala, karena sedari tadi Rengganis dan Saka mendebatkan sesuatu yang bahkan belum sempat terucap dari bibir Rengganis. Dan hal itu kontan saja membuat saka dan Rengganis tertawa kecil.

“Oke kalau gitu aku jelasin ya..” Rengganis meminta izin untuk menjelaskan, yang oleh Saka dan Mang Diman langsung dipersilahkan.

“Awalnya aku berpikir untuk pakai Segara Lamuk buat jadi tameng ketika abu-abu itu dijatuhin, tapi karena jangkauannya terlalu luas, dan aku enggak bisa maksimalin daya tahan segara lamuk-ku kalau arealnya terlalu luas, aku juga enggak tau sebanyak apa abu-abu panas di atas kita, jadi aku putusin buat manfaatin Sawur Lamuk untuk menjangkau keseluruhan abu-abu itu, setelah itu aku bakal padetin abu-abu itu menggunakan Sabuk Lamuk. Nah untuk menyukseskan misi ini, aku butuh bantuan Mas Saka buat mencari titik tengah persebaran abu-abu itu, karena Sawur lamuk akan lebih efektif jika aku berada di titik tengah..” Rengganis menjelaskan dengan wajah seriusnya, matanya berpindah dari mata Saka ke mata Mang Diman, berusaha membuat kedua lawan bicaranya mengerti apa yang ia sampaikan. Meski sesungguhnya, ia memfokuskan penjelasan pada Mang Diman, karena ia tahu jika suaminya sedikit banyak sudah mengerti.

“Dan selagi aku mengumpulkan abu-abu itu, Mas Saka tolong carikan titik laut yang paling memungkinkan untuk meletakkan abu-abu itu jika sudah berhasil aku ikat kita akan giring abu-abu ini ke tengah laut..” Rengganis menutup penjelasan rencananya dengan penuh keyakinan. Membuat Saka lekas mengangguk tanda mengerti.

Dan sebagai penjelasan, jika kemarin -ketika di puncak bukit- Rengganis hanya mengeluarkan segara lamuk (samudera kabut) sebagai perlindungan ketika ia mengirim sashara lamuk (seribu kabut) untuk menyelidiki tempat ini dari kejauhan, maka ada kemampuan lain yang sebenarnya jarang ia gunakan. Dan itu adalah sawur lamuk yang berarti menebar kabut, di mana ia akan menebarkan kelompok-kelompok kecil kabutnya di suatu lokasi, gunanya untuk memetakkan lokasi tersebut dengan cepat, karena jika menggunakan sashara lamuk atau seribu kabut, tentu akan memakan waktu lebih lama, karena memang fungsi sashara lamuk sendiri adalah menyisir suatu tempat secara bergilir.

Sedang sabuk lamuk yang disebutkan tadi, adalah sebuah kemampuan menangkap dan menahan suatu objek yang berada di dalam kabut yang Rengganis sebar, seperti arti sabuk lamuk sendiri yakni kabut pengikat. Dan kali ini, Rengganis berniat menggunakan sawur lamuk dan sabuk lamuk untuk menjangkau keseluruhan abu-abu panas di atas wilayah ini, setelah itu ia berniat menggiring kabut-kabut itu ke tengah laut.

“Ari Mamang teh terus bantuin apa Bu?” Tanya Mang Diman kebingungan sebab namanya belum disebut dalam rencana ini. Hal tersebut seketika membuat Rengganis tertawa kecil.

“Tugas Mamang justru yang paling penting nih, tapi itu bergantung pada titik tengah persebaran abu-abu ini Mang.. sabar ya, nanti aku kasih tahu setelah Mas Saka berhasil menemukan titik tengahnya..” Jawab Rengganis dengan senyum bahagia, sedang Mang Diman hanya garuk-garuk kepala karena harus menunggu sejanak untuk mengetahui kegunaannya dalam rencana ini.

“Mas..” Ucap Rengganis pada Saka yang terlihat masih agak berat dengan rencana ini, namun toh pada akhirnya lelaki itu mengangguk, dan tanpa bicara segera berlari menjauhi bibir tebing tersebut, masuk ke dalam bukit yang dihiasi rimbun pepohonan dengan langkah-langkah larinya yang lebar.

Rengganis dan Mang Diman -yang masih garuk garuk kepala- melepas kepergian Saka dengan harapan bahwa lelaki itu akan cepat menemukan titik tengah persebaran abu-abu panas di atas wilayah ini.

“Lakukan dengan cepat mas..” Batin Rengganis penuh harap ketika punggung sang suami sudah sepenuhya menghilang dari pandangannya.

Sedang Saka terus berlari, dan begitu memasuki bukit ia berhenti sejenak. Ia kemudian berjongkok, dan menempatkan telapak tangan kanannya menempel pada tanah, matanya ia pejamkan, dengan pikiran yang ia fokuskan.

Dan kini, ia merasakan getaran-getaran kecil di telapak tangannya, meresapi betul-betul getaran tersebut. Yang Saka lakukan saat ini adalah berusaha mencari lokasi tertinggi, tepatnya ia mencari pohon yang paling tinggi di areal ini, dan lewat getaran di telapak tangannya, ia akan mengetahui pohon mana yang puncaknya tertiup angin paling kencang. Hanya butuh kurang dari sepuluh detik baginya untuk menemukan pohon tersebut, setelah itu ia bergegas mengayunkan langkahnya lebar, berlari memasuki hutan perbukitan itu lebih dalam, menuju pohon dengan puncak tertinggi di sekitar sini.

Kakinya gesit dan terasa ringan menjejak, namun terasa menghempas daun-daun kering yang bergelimpangan, hingga kemudian ia pun tiba di pohon tertinggi tujuannya. Segara melompat ke dahan terendah, ringan saja. Setelah itu ia terus berpindah ke dahan-dahan yang lebih tinggi, hingga akhirnya ia beridiri di dahan terakhir yang masih kuat menopang tubuhnya. Ia atur rentang kakinya agar kuat dalam berpijak, kemudian mengambil empat lembar daun dari pohon tersebut, dan ia tempatkan di masing-masing telapak tangannya.

Setelah itu ia katupkan telapak tangannya di depan dada, ia pejamkan matanya kuat-kuat, dan ia alirkan sedikit tenaga dalam di tubuhnya ke empat lembar daun di dalam tangkupannya itu. Setelah dirasa cukup, dengan mata terpejam ia buka telapak tangannya, memperlihatkan empat lembar daun yang kini sudah terlapisi sebuah gelombang energi berwarna hijau menyala, setelah itu Saka pun menghentakkan telapak tangannya lembut, membuat daun-daun itu terhempas dari telapak tangannya dan melayang-layang di depan wajah.

“Aku mengandalkan kalian..” Ucap Saka masih dengan mata terpejam, dan seketika itu pula empat lembar daun itu melesat ke atas dengan cepat bak anak panah yang dilontarkan. Terus melesat ke atas dengan kecepatan hampir menyamai kecepatan peluru, kemudian terbang ke agak menyamping ke empat penujuru arah berbeda, terus meninggi dan meninggi.

Sedang Saka kini sudah kembali menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada, khusyuk membaca pergerakkan daunnya yang kian detik kian terasa jauh dari tubuhnya. Ia rasakan baik-baik pergerakan empat daun tersebut, membaca aliran udara lewat daun-daun yang berubah bak peluru senjata itu. Butuh beberapa menit lamanya sampai ia merasakan salah satu daunnya berhenti bergerak, disusul satu daun lainnya yang ikut berhenti melesat, menyisakan dua daun lain yang masih terbang dengan kecepatan yang kian tak bisa nalar.

Saka terus memejamkan matanya, terus merasakan daun-daunnya yang berada di atas sana, hingga kemudian ia merakan daun ketiga berhenti juga, menyisakan satu daun yang masih melesat dengan cepatnya. Hingga beberapa saat kemudian, daun keempat pun berhenti melesat, sudah mencapai titik terluar dari gumpalan abu-abu panas yang menaungi daerah ini.

Kini keempat daun tersebut hanya melayang-layang stabil di titik terakhir perjalanannya, tak terpengaruhi oleh angin. Setelah itu Saka membuka matanya sayu, juga membuka katupan telapak tangannya, setelah itu ia menghadapkan kedua telapak tangannya ke langit seraya menggerak-gerakkan jemarinya dengan irama yang sama.

“Barat dengan timur, utara dengan selatan..” Ujar Saka seperti berbisik, dan di detik itu juga ke empat daunnya melesat lagi, kembali melalui jalur yang tadi mereka lewati, dengan kecepatan yang sama kencang. Daun yang melesat dari timur menyongsong kedatangan daun yang melesat dari barat, sedang daun yang melesat dari utara menyongsong daun yang melesat dari selatan. Keempat daun itu seperti tengah bermain-main di atas kasur awan, bahagia sebab bisa terbang bebas tanpa gangguan.

Daun dari barat dan timur bertemu di titik tengah jarak antar mereka terelebih dahulu, sebelum beberapa waktu kemudian daun dari selatan dan utara bertemu juga di titik tengah mereka. Setelah itu mereka pun saling terbang memutar membuat lingkaran, yang tiap detiknya lingkaran terbang mereka semakin sempit hingga akhirnya benar-benar terhenti di satu titik, dan itulah titik tengah yang tengah dicari oleh Saka. Keempat daun itu kini terbang pelan melingkar, mengitari titik tengah di antara mereka.

Saka tersenyum, lalu dengan pelan membalikkan telapak tangannya yang sedari tadi menengadah ke langit, membuat telapak tangannya menghadap ke bawah, menghadap ke tanah, dan dengan perlahan ia bersikap seolah tengah menekan sesuatu yang berada di bawah telapak tangannya, dan bersamaan dengan itu keempat daun tersebut pun terbang ke arah bawah dengan tetap saling mengitari titik tengah, kecepatannya pun kembali seperti semula, secepat peluru yang tengah ditembakkan.

Dengan kecepatan tersebut, tak butuh waktu lama untuk keempat daun itu mendarat. Dengan posisi mendarat mereka berada di sebuah lembah perbukitan yang cukup dalam dan sunyi, namun letaknya tak hanya beberapa kilometer dari pantai, tepatnya tak sampai 5 kilo meter dari bibir tebing tempat di mana Saka mengobrol dengan Rengganis dan Mang Diman tadi.

Merasa sudah menandai posisi titik tengah yang ia cari, Saka pun bergegas menuruni dahan demi dahan, hingga akhirnya bepijak kembali di tanah dan mulai berlari lagi ke tempat di mana Rengganis dan Mang Diman menungguinya. Kakinya tangkas melompati akar demi akar, batu demi batu, hingga akhirnya ia sudah keluar dari hutan perbukitan itu.

Dan melihat kemunculan Saka, Rengganis beserta Mang Diman pun menyongsong lelaki itu dengan bahagia. Rengganis bahagia karena itu berarti rencananya bisa lekas terlaksana, sedang Mang Diman bahagia karena berarti ia bisa mengetahui tugas yang akan diembankan kepadanya.

“Bagaimana Mas?” Tanya Rengganis antusias. Saka pun mengangguk seraya memberi pelukan dan kecupan di kening sang istri.

“Sekitar lima kilometer ke arah selatan dari sini, titiknya di sebuah lembah yang cukup jauh dari pemukiman.” Ujar Saka dengan yakin, dan mendengar itu Rengganis langsung tersenyum sumeringah. Setelah itu, pasangan suami istri itu pun menatap Mang Diman yang terlihat antusias menunggu penugasan.

Namun dipandangi seperti itu membuat Mang Diman gerogi sendiri. Pikirannya mulai berlayar bebas, menebak-nebak dengan liar tugas apa yang akan ia emban melalui tatap mata Saka dan Rengganis di hadapannya.

“Eh.. itu.. anu.. berarti kita ambil mobil dulu ya..” Ujar Mang Diman terbata seraya hendak berbalik, namun oleh Saka tangan Mang Diman pun segera di tahan.

“Waktu kita terbatas Mang, aku juga udah nandain titik tengahnya kok..” Ujar Saka dengan wajah memohon.

“Tapi kan.. anu.. apa.. lebih enak naik mobil Pak.. lebih adem..” Ucap Mang Diman terbata.

“Hihihi.. tadi Mamang bilang pasti bantu sebisa mungkin lho..” Goda Rengganis dengan tatapan menyudut.

“Tapi Bu.. Itu.. anu..” Mang Diman berkata dengan terbata-bata.

“Aku mohon Mang.. aku udah tandain titik lompat Mamang kok, jadi Mamang ndak perlu khawatir bakal salah..” Bujuk Saka kembali dengan wajah penuh harap. Yang membuat Mang Diman pada akhirnya mengalah dan menyerah.

“Iyaudah iya Mamang mau.. tapi pokokna mah, kalo kita balik ke kota nanti Mamang enggak mao nyetir..” Mang Diman berkata dengan wajah masam penuh keputusasaan, yang tentu saja langsung disambut seruan kemenagan oleh Rengganis, dan senyuman kecil oleh Saka.

“Siap Mang.. wes nanti aku aja yang nyetirin ya..” Ujar Saka dengan santainya, namun ucapan Saka sedikit pun tak membuat Mang Diman bahagia.

“Yaudah.. ayo.. kalau makin lama, nanti Mamang makin enggak mood..” Ujar Mang Diman masih sedit merajuk, yang oleh Saka segera direspon dengan anggukkan kepala.

Mereka pun akhirnya merapat, Saka mengulurkan kedua tangannya kedepan, dimana di kedua telapak tangan Saka sudah dilapisi gelombang energi berwarna hijau menyala seperti yang menutupi daun-daun tadi, kemudian oleh Mang Diman salah satu telapak tangan Saka pun digenggam, sedang yang satunya lagi masih dibiarkan, Mang Diman menunggu Rengganis masuk terlebih dahulu, dan setelah itu barulah ia genggam telapak tangan Saka yang satunya lagi.

Jadi posisi Mang Diman dan Saka saat ini adalah merentangkan kedua tangan mereka yang saling menggenggam, dengan Rengganis berada di tengahnya, di dalam lingkaran tangan yang kedua lelaki itu buat. Tertawa-tawa kecil bahagia, karena sekian lamanya, akhirnya ia kembali bisa merasakan sensasi kemampuan perpindahan tempat yang dimiliki Mang Diman ini.

“Jangan ketawa-tawa terus Bu, cepet pegangan, mau Mamang tinggal?” Tanya Mang Diman ketus dengan wajah berkeringat tegang.

“Hihihi.. maaf Mang.. Yuk..” Kekeh Rengganis seraya tangan kanannya memegang pergelangan tangan Saka, dan tangan kirinya memegang pergelangan tangan Mang Diman.

Dan tepat setelah Rengganis berpegangan, Mang Diman pun meminta suami istri tersebut untuk memejamkan mata bersamaan dengannya. Bersamaan itu, ia eratkan genggamannya pada telapak tanagan Saka, mencoba menyatukan tenaga dalamnya dengan tenaga dalam milik Saka, serta mencoba menemukan titik tengah yang oleh Saka sudah ditandai dengan keempat lembar daun. Setelah merasa selaras, perlahan Mang Diman pun menyerap gelomang energi berwarna hijau yang melapisi tangan Saka, menyerap lapisan energi itu hingga tandas tak bersisa.

Kemudian Mang Diman pun menghela napasnya dengan tenang, bibirnya mulai terbuka melafalkan rapalan yang harus ia rapalkan tiap kali ia harus mengeluarkan kemampuannya ini.

“Sang hyang nu agung.. nu maha kawasa.. nu ngersakeun..”

Bibir Mang Diman mulai berkomat-kamit merapalkan kata-kata, dan bersamaan dengan itu, sekeliling mereka terasa mulai menghening, angin terasa menghindari tiga tubuh tersebut.

Dan semakin menghening tatkala Mang Diman semakin khusyuk merapalkan kalimat demi kalimatnya, tubuh lelaki paruh baya itu mulai terasa menghangat, darah yang mengalir di dalam tubuhnya seperti bergerak lebih cepat dari sebelum-sebelumnya. Hingga samar-samar, dari kedua telapak tangan Mang Diman yang tengah menggenggam telapak tangan Saka, keluar asap hitam pekat yang terlihat mengepul pelan, seolah angin benar-benar tak ada yang berani menggggu ketiga tubuh itu.

Hingga kian detik, seiring dengan rapalan Mang Diman yang kian lirih, asap hitam itu mulai menyebar dan menyeliputi ketiga tubuh itu, sedikit demi sedikit hingga pada akhirnya benar-benar menutup penuh areal di mana tubuh Mang Diman, Saka dan Rengganis berada. Asap hitam lekat yang begitu legam itu seolah melahap ketiga tubuh itu dengan sempurna. Hingga..

“Gapunten resik.. Lipat Jagat!”

TRREEERRRTTTT..


Bersamaan dengan kata-kata terakhir yang dirapalkan Mang Diman, tiba-tiba terlihat garis-garis petir berwarna hijau dan merah seperti berbenturan, seperti saling menyambar, mirip korsleting listrik yang sering terjadi jika sebuah kabel terlepas dari penutupnya. Lalu..

WWUUSSSHHH..

Sebuah angin berhembus kencang menerpa asap hitam tersebut, meluluh-lantakan pekat kepulan itu, menyapu areal tersebut dan membuyarkan asap-asap hitam tadi, namun anehnya tidak nampak lagi tubuh yang tadi berada dalam kungkungan asap itu, hanya bersisa kekosongan.

Hilang.. ketiga tubuh itu menghilang raib dari sana.. menyisakan lengang di bibir tebing yang tadinya ramai oleh pembicaraan.

**

Di sebuah dasar lembah dalam nan sepi,

TRREEERRRTTTT..

Sebuah kilatan-kilatan petir berwarna hijau dan merah membentuk lingkaran, kemudian sebuah asap hitam pekat membumbung perlahan dan membesar kian detiknya. Menampilkan korsleting listrik aneh di dasar lembah yang sepi akan kehidupan itu.

WWUUSSSHHH..

Sebuah angin berhembus menerpa bumbungan asap hitam tersebut, membuyarkan asap itu ke udara, meninggalkan tiga tubuh yang sedari tadi berada di dalam balutan asap hitam tersebut. Dan merasakan embusan angin dingin kembali menerpa tubuh, Saka, Rengganis, dan Mang Diman pun perlahan membuka matanya. Terkhusus Saka dan Rengganis, senyum kecil tertampil di bibir mereka, karena setelah sekian lama, akhirnya mereka bisa kembali merasakan senasi berpindah tempat dalam sekejap. Namun tidak dengan Mang Diman, lelaki paruh baya itu segera melepaskan pegangan tangannya pada telapak tangan Saka, dan berlarik tak tentu arah menuju sebuah semak belukar yang berada di samping mereka.

“UWEEKKK… UWWWEEEKKK.. UWEEKKK..”

Kepala Mang Diman seolah berputar hebat, perutnya seperti dikocok-kocok dengan kuat. Mual, pusing, dan masuk angin hebat langsung ia rasakan. Seolah ia tengah mabuk laut dengan sebegitu parahnya.

Melihat itu Rengganis justru tertawa geli, sedang Saka hanya geleng-geleng kepala kecil.

“Kamu itu Dek.. bahagia banget kalau liat Mang Diman kaya gitu..” Tegur Saka lembut pada istrinya.

“Hihihi.. ya maaf, abis Mang Diman lucu.. gimana dong? Xixixixi” Rengganis malah semakin tertawa mendapat teguran dari Saka.

“JANGAN.. UWEEKK.. PAKSA MAMANG.. UWEEKK.. KAYA GITU LAGI.. UWEEKK..” Teriak Mang Diman tanpa menolehkan kepala, tetap fokus pada aktivitas muntah memuntahkannya.

“Hihihi.. Iya Mang.. Maaf..” Seru Rengganis bahagia.

“Yaudah Dek.. biar aku yang bantu Mang Diman, kamu silahkan mulai..” Ujar Saka dengan kedua tangan memegang bahu istrinya, membuat Rengganis lekas menyudahi tawanya dan menganggukkan kepala. Kemudian dijinjitkan kakinya untuk mencium bibir Saka, dilumatnya sebentar dengan kedua tangan merangkul leher sang suami.

Saka membalasnya dengan lumatan lembut, kedua tangannya mengusapi lembut lengan atas Rengganis. Ciuman itu tidaklah lebih dari 15 detik lamanya, karena mereka tentu tak bisa berlama-lama, harus segera menjalankan rencana mereka.

Rengganis menyudahi pagutannya, menurunkan kembali tubuhnya, dan menepuk-nepuk dada Saka dengan senyuman bahagia.

“Urusin Mang Diman ya Mas..” Pesan Rengganis riang seraya hendak berbalik badan, namun oleh Saka tengannya lekas di tahan.

“Ingat janji kamu Dek, jangan terlalu mamaksakan dirimu nanti..” Pesan Saka dengan suara berat dan tatapan sayu.

“Iya Sayang.. aku janji..” Sahut Rengganis dengan senyuman yang dibuat melebar, yang mau tidak mau harus membuat Saka melepaskan genggamannya. Dipandanginya tubuh Rengganis yang berjalan pelan dengan kepala terangkat menatap langit, selah tengah berusaha mencari arah terbaik.

Fyuhh..

Saka membuang napasnya dan mulai berjalan menuju Mang Diman yang masih sibuk memuntahkan isi perutnya, ibarat kata mungkin sedang mabuk perjalanan.

Sedang Rengganis kini sudah berhenti, tubuhnya ia tegapkan, kakinya ia rentangkan sedikit untuk menjadi tumpuan tubuhnya. Kemudian ia mulai memejamkan mata, seraya menyatukan ujung jari tengah dan ibu jarinya di masing-masing tangannya. Bersamaan dengan itu, ia alirkan seluruh energi yang ia miliki ke tangannya, ia fokuskan di sana.

Dan di balik matanya yang terpejam, kilatan-kilatan putih halus nan redup terlihat di kulit kelopak matanya, bergerak-gerak lembut, merespon aliran energi yang tengah mengalir deras ke pergelangan-pergelangan tangannya.

Dan perlahan namun pasti, urat-urat nadi di pergelangan tangan Rengganis pun bersinar redup-terang kebiru-biruan, dan sinar itu pun lama-lama semakin terang, semakin terang dan semakin terang. HIngga di detik yang ke sekian, dengan mata yang tetap terpejam, kedua tangan rengganis terangkat ke udara, tautan ujung jari tengah dan Ibu jarinya terlepas, dan telapak tangannya kini terbuka ke depan dengan jari-jari yang ia posisikan lurus.

Dan tiba-tiba, kepulan-kepulan kabut tebal melesat keluar dari ujung-ujung jemarinya, meluncur dengan deras ke udara dan membentuk lingkaran-lingkaran kecil bak cincin emas yang membumbung banyak ke udara. Rengganis terus memfokuskan pikirannya, terus mengeluarkan kabut dari ujung-ujung jemarinya, menerbangkan dan menebarkan kabut-kabut berbentuk cincin itu ke angkasa, mengirim kabut itu ke langit tinggi di atasnya.

Dan Saka yang tengah memijati tengkuk Mang Diman hanya bisa terpana melihat apa yang dilakukan istrinya, bibirnya terbuka, matanya terbelalak dengan keindahan yang ada di ambang pandangnya kini. Bagaimana tidak, siapa yang tidak akan terpana ketika melihat ribuan atau bahkan puluhan ribu.. tidak malah mungkin ratusan ribu cincin kabut terbang mengudara ke angkasa, menyajikan fenomena indah nan elok di pandang. Cincin-cincin kabut itu terlihat kontras dengan lingkungan sekitar lembah ini yang serba hijau. Indah.. begitu indah..

“Sawur lamuk..” Gumam Saka di dalam hatinya.

“Pak..” Panggil Mang Diman yang sudah mulai tenang dari mabuk perjalanannya.

“Ada apa Mang?” Tanya Saka tanpa memalingkan pandangan dari istrinya yang terus mengeluarkan kabut dari ujung-ujung jemarinya.

“Kenapa Ibu enggak masang Segara Lamuk dulu Pak? Bukannya kalau kaya gini, terlalu mencolok? Mamang khawatir ini akan menarik perhatian penduduk, atau yang terburuk, menarik perhatian orang-orang Hematala untuk ke sini..” Tanya Mang Diman yang ikut terpana pada apa yang tengah ia saksikan kini. Bagaimana tidak, ini pertamakalinya bagi lelaki paruh baya itu melihat Rengganis menggunakan Sawur Lamuk, karena selama ini ia hanya pernah melihat Rengganis menggunakan segara lamuk dan sashara lamuk saja, itu pun sudah lama sekali.

“Tenaga Rengganis ndak cukup Mang, dari itu.. sudah tugas kita untuk menjaganya selama ia melakukan ini..” Ujar Saka dengan tatapan tajam dan hati yang resah dibalut gundah gulana. Mang Diman pun mengangguk denga yakin, sudah tak lagi ia pedulikan mual yang tengah menggoncang-goncang isi perutnya saat ini.

“Kalau gitu aku ke atas dulu Mang.. aku masih punya satu tugas lagi dari Rengganis, aku harus bisa menemukan titik laut teraman untuk membuang abu-abu sialan ini. Sekalian aku juga akan ngecek keadaan sekitar. Mamang istirahat aja sembari pantau kondisi Rengganis ya..” Pamit Saka pada Mang Diman, yang oleh lelaki tua itu segera disambut dangan anggukkan kepala. Setelah itu Saka pun segera membawa tubuhnya untuk menaiki tepian lembah ini, hendak mencari dahan tertinggi.

Kembali ke Rengganis, ia terus menyebarkan kabutnya untuk menjangkau seluruh abu-abu panas yang berada di atas langit derah ini, menyelasap butir demi butir abu-abu tersebut tanpa terlewatkan satu butir pun. Dan setelah hampir sepuluh menit lamanya, cincin-cincin kabut yang keluar dari jemarinya pun terhenti, ia sudah selesai memetakan keseluruhan abu-abu yang mengapung di angkasa tersebut, mengambil jeda sejenak, mengatur napasnya yang mulai terasa kembang kempis kelelahan.

Setelah dirasa cukup, Rengganis pun dengan perlahan memutaar telapak tangannya menghadap ke angkasa, ia fokuskan kembali pikirannya untuk mengirimkan energi ke syaraf-syaraf yang ada di telapak tangannya. Ia tengah bersiap untuk mengeluarkan kemampuan Sabuk Lamuk yang selama ini jarang sekali ia gunakan, jemarinya mulai bergerak-gerak lembut, membuat kabut-kabut nya yang berada di angkasa mulai saling merapat.

“Uhuk.. Huhhh..” Rengganis terbatuk sebab merasakan energinya sudah mulai terkuras, namun ia tak bisa berhenti, karena sebagai tetangga terdekat tanah ini, ia memiliki tanggung jawab untuk menggantikan peran melindungi tanah pesisir selatan dari ancaman tak kasat mata seperti ini.

Ia hela napasnya dalam-dalam, ia kuatkan pijakan kakinya di atas tanah, bahunya ia gerakkan lembut, kemudian dengan seluruh sisa tenaganya, ia satukan lembaran-lembaran kabut di angkasa sana dengan kemampuan Sabuk Lamuknya, membuat kabut-kabut yang mengikat abu letusan gunung itu mulai saling menyatukan diri mereka, ibarat manusia, kabut-kabut itu berusaha untuk saling bergandengan tangan dan merapatkan barisan.

Beralih ke Saka yang saat ini sudah berada di atas lembah, sudah berdiri di sebuah dahan pohon cemara gunung yang terlihat menjulang, dengan mata terpejam dan kedua tangan terkatup di dada. Ia tengah membaca pergerakan tanah yang berada di laut sana, mencoba mencari titik teraman untuk membuang abu-abu yang tengah dikumpulkan oleh sang istri, kepalanya sesekali bergerak kecil ke kanan dan ke kiri, berusaha menjangkau sebaik mungkin bagian bawah laut daerah ini, membaca bagian laut mana yang paling sedikit memiliki kehidupan. Dan setelah di dapatkannya areal yang menurutnya paling aman, Saka pun membuka matanya, napasnya sedikit terseok-seok, ia pun sama seperti sang istri, terlalu banyak mengerahkan tenaganya dua hari ini.

Setelah itu tubuhnya kembali melesat menuruni lembah dengan cepat, membawanya kembali ke dasar lembah tersebut untuk bergabung dengan Rengganis dan Mang Diman.

“Bagaimana Pak?” Tanya Mang Diman dengan cepat.

“Aku udah nemuin titik laut teraman untuk abu-abu ini, aku juga udah mantau daerah ini, ndak ada pergerakan berarti. Jadi kita cuma tinggal nunggu Rengganis selesai dengan urusannya..” Jawab Saka seraya berjalan mendekat pada tubuh sang istri, terlihat sekali olehnya betapa Rengganis tengah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mempersempit persebaran abu-abu di atas kepala mereka saat ini.

“Dua puluh kilometer ke barat laut Dek.. kamu bisa giring abu-abu ini ke sana..” Bisik Saka pada Rengganis yang masih berusaha mempersempit persebaran abu-abu dengan Sabuk Lamuknya. Mendengar perkataan suaminya, Rengganis pun segera menganggukkan kepala.

“Apa kamu baik-baik aja Dek?” Tanya Saka lagi mengkhawatirkan sang istri, karena ia tahu, saat ini istrinya tidak hanya sekedar mengikat abu-abu di atas dengan kemampuannya, tapi juga tengah tarik ulur kekuatan dengan orang-orang yang mengendalikan abu-abu ini.

“Aku baik-baik aja Mas.. uhuk.. dari yang aku rasain, Cuma ada dua energi yang coba melawan sabuk lamukku saat ini, satu di timur dan satu lagi di selatan. Mereka mencoba menghambat aku. Tapi.. uhuk.. aku masih bisa mengatasinya..” Jawab Rengganis dengan napas terengah, Saka mengangguk pelan, ia tak bisa membantu banyak saat ini.

Sekali pun ia tahu posisi kedua pengendali Liris Kisma dari penuturan sang istri, namun ia tak bisa menyambangi kedua orang tersebut, karena terlalu riskan jika ia dan Mang Diman pergi meninggalkan Rengganis sendiri di sini, sebab itu akan menjadikan Rengganis sasaran empuk pastinya.

Saka pun mundur teratur, berdiri membelakangi sang istri sembari mengamati situasi sekitar, ia tak boleh kecolongan jika ada seseorang yang datang. Begitu pun Mang Diman, lelaki tua itu terlihat awas menyapu pandang ke segala penjuru, seolah bersiap akan apa saja yang kemungkinan mengganggu usaha mereka mengentaskan abu-abu ini.

“Hhhhmmpphh..” Rengganis berdehem tertahan, ia merasakan sedikit kesulitan untuk sekedar merapatkan abu-abu ini, perlawanan dari para liris kisma sebenarnya amat menghambat usahanya saati ini, namun tentu saja, ia tak bisa menyampaikan ini pada Saka. Ia tak mau membuat sang suami harus pergi dari sisinya, bukan karena ia takut posisinya terbuka, bukan.. melainkan ia khawatir pada Saka.

Perlahan, darah pun mengucur pelan dari hidung perempuan tersebut, pertanda bahwa ia benar-benar mendorong paksa dirinya untuk melakukan hal ini. Ia sudah amat mendekati batas akhir tubuhnya, namun ia terus memaksa agar tubuhnya tidak menyerah saat ini. Meski sejatinya ia mulai mempertanyakan dirinya sendiri, mampukah ia menyelesaikan rencana ini? Mungkin kekuatannya masih cukup untuk mengikat dan merapatkan keseluruhan kabutnya yang tengah menangkap butir-butir debu di atas sana. Namun ia sedikit tidak yakin, apakah ia bisa mengirim abu-abu itu ke titik yang sudah ditentukan Saka. Ia menyangsikan kekuatannya sendiri saat ini?

Kini darah segar pun kembali turun dari lubang hidungnya, membasahi kulit bibirnya dengan hangat, ia tak boleh menyerah saat ini. Tidak boleh sama sekali.

“Aku bisa.. aku bisa melakukan ini.. Ibu.. aku bisa melakukan ini kan Bu? Aku pasti bisa menjadi perempuan kuat seperti Ibu, kan?” Rengganis membatin di dalam hati, ia merasakan napasnya semakin sesak dan tubuhnya semakin melemah. Dan untuk saat ini, ia sudah hampir selesai merapatkan keseluruhan kabut-kabutnya, hanya tinggal memikirkan cara agar ia bisa mengirimkan kabut-kabut bercampur abu panas ini ke tengah laut.

Sialnya perlawanan dari kedua liris kisma di timur dan selatan benar-benar menyulitkannya saat ini. Membuat perempuan itu harus mengerahkan lebih banyak lagi energi nya untuk merampungkan hal ini.

Hingga di detik ke sekian, setelah tetes demi tetes darah semakin banyak keluar dari lubang hidungnya, ia merasakan gangguan dari timur dan selatan tiba-tiba menghilang begitu saja, seolah kedua liris kisma itu menyerah dan melepaskan kendali mereka terhadap abu-abu yang tengah Rengganis kumpulkan. Rengganis membuang napas lega, meski batinnya bertanya mengapa kedua liris kisma itu menyerah, namun jawaban dari pertanyaan itu bukanlah prioritasnya. Ia pun bergegas mempercepat ikatan-ikatan sabuknya, memfokuskan pikirannya dengan penuh.

Sementara itu, Saka yang sedari tadi mengawasi seksama setiap pergerakan di sekitar areal ini merasakan ada kejanggalan. Ia pun segera memasang sikap waspada dengan pikiran ia pusatkan keras-keras sekuat tenaga.

“Ada yang datang Mang.. merapat..” Pekik Saka pada Mang Diman, lelaki itu merasakan kedatangan seseorang dengan energi yang cukup kuat. Mang Diman pun segera merapatkan tubuhnya, mereka kini sudah mengelilingi Rengganis yang kakinya sudah mulai goyah sesekali.

“Sialan ini.. Mamang bakal habisin mereka Pak..” Geram Mang Diman seraya mengeluarkan sebuah kujang dari bagian belakang pinggangnya, digenggamnya baik-baik kujang tersebut di tangan kanan, sedang tangan kirinya terbuka bersiaga.

“Arah jam 9 Mang.. ojo gegabah..” Sahut Saka seraya memusatkan energinya di kedua kepalan telapak tangannya, mata kedua lelaki itu awas dan nyalak. Seolah siap menyambut apa saja yang datang pada mereka.

Tik

Tok

Tik

Tok

Denting jam seolah terdengar melaung di kepala mereka masing-masing, ketika dari rimbut pepohonan lembah ini, dahan-dahan dan dedaunan mulai bergoyang tak seirama dengan angin, Seperti ada yang menerabas di sana. Lalu..

SRRAAAAKKK.. DAABBB…

Seorang lelaki paruh baya keluar dari rimbun pepohonan dan langsung menjejakkan kakinya dengan tegas di atas tanah dasar lembah ini. Perawakannya tidak terlalu tinggi, tubuhnya pun kurus dengan pakaian adat khas timur pulau ini melekat di tubuhnya, plus blangkon menutupi kepalanya.

Tatapan lelaki itu datar-datar saja, kedua tangannya terjuntai ke bawah, dengan mata perlahan ia sapukan ke langit di atasnya. Memandangi kabut-kabut yang menaungi langit seantero wilayah ini.

Bersamaan dengan itu Mang Diman yang sudah terbakar emosi segera memusatkan energinya, lalu..

TREERRRTT..

Kepulan asap hitam melingkupi tubuh Mang Diman dengan cepat, diiringi suara sengatan listrik, dan seketika itu pula Mang Diman lenyap dari samping tubuh Saka bersama asap hitamnya.

TRREERRTT..

Sedetik kemudian, asap hitam yang diiringi kilatan itu muncul di belakang Lelaki berblangkon yang baru datang tersebut, membuat ia tersentak kaget dan segera memasang sikap waspada tingkat tinggi.

“KYYAAAAA!!!!” Tiba-tiba saja hunusan kujang Mang Diman keluar dari asap hitam itu, bersamaan dengan loncatan tubuhnya berusaha menyerang bagian punggung lelaki berblangkon tersebut.

Namun lelaki itu sudah bersiap dan lekas mengelak, meski ia terkejut akan serangan dadakan itu, ia tetap bisa menghindari sapuan kujang dari Mang Diman yang terlihat begitu penuh tenaga dengan berguling ke depan. Membuat kujang Mang Diman hanya menemui kosong udara. Dan dalam posisi setengah berjongkok, lelaki berblangkon itu pun dengan sigap memutar tubuhnya, lalu..

BUGGHH..

Mang Diman dengan cepat mengayunkan kakinya menyamping ke arah kepala sang tamu yang tak diundang, oleh lelaki itu direspon dengan menyilangkan tangan di samping kepalanya, mencoba memblok tendangan Mang Diman. Namun kencangnya tenaga yang terkumpul di kaki pembantu bagi keluarga Saka dan Rengganis itu, membuat tubuh sang lawan terpental beberapa meter ke samping, tersungkur di atas tanah dengan lengan yang terasa nyeri.

“Kehed Sia!” Mang Diman seperti tak memberikan waktu bagi sang tamu untuk bernapas, ia segera melonjak dengan kaki di arah kan untuk menginjak tubuh sang lawan. Sedang lelaki berblangkon itu gesit bangkit dan hendak menghindar, namun sepertinya ia tak memiliki waktu yang cukup untuk berkelit. Hingga..

WUSSHHH

TAP..

“Cukup!” Dengan cepat Saka melesat dan langsung berada di antara Mang Diman dan lelaki berblangkon yang sedang berusaha membuat blok tangan itu, satu tangannya sigap menahan betis Mang Diman, sedang tangannya yang lain langsung mencengkeram kuat bahu lelaki berblangkon agar tidak bergerak kemana-mana.

Mata Mang Diman seketika terbelalak, sedang lelaki berblangkon yang bahunya dicengkeram Saka dengan kuat pun membuang napasnya pelan, lega karena selamat dari sambaran kaki Mang Diman. Namun meski begitu, mata lelaki berblangkon itu juga terbuka lebar, karena melihat betapa cepat pergerakan Saka yang kini berada di depannya.

Mendapati serangannya ditahan oleh Saka, Mang Diman pun segera menarik kakinya kembali.

“Maaf Pak, tapi kenapa Bapak nahan Mamang?” Tanya Mang Diman dengan tatapan masih nyalak.

“Ojo gegabah Mang..” Ujar Saka dengan dinginnya seraya memutar tubuh dan menatap lelaki paruh baya dengan blangkon di kepala itu, posisi sang tamu yang tak diundang itu sudah terduduk dengan napas sedikit terengah.

“Katakan apa tujuan sampean ke sini? Karena sepengamatan saya, sampean ndak berniat buat nyerang kami to?” Tanya Saka dengan dinginnya, bersamaan itu ia kendurkan cengkeramannya, membuat lelaki berblangkon di hadapannya perlahan menegakkan posisi duduknya. Kemudian perlahan bangkit berdiri.

“Matur nuwun atas pengertiannya Den.. perkenalkan saya Kusno dari Parung Wetan. Saya ke sini atas perintah dari Pimpinan untuk mengurus kekacauan yang ditimbulkan oleh pembelot-pembelot kami.” Ucap Lelaki paruh baya yang mengaku bernama Kusno tersebut seraya menyerahkan sebuah koin berwarna hijau lumut pucat ke pada Saka.

Dan melihat lelaki tersebut membawa koin yang kemudian diserahkan kepada Saka, sontak saja hal itu membuat Mang Diman langsung adem wajahnya, ia simpan kujangnya kembali ke belakang pinggang. Pun Saka, langsung melepas cengkeramannya seraya mengambil jarak dan menerima koin pemeberian lelaki berblangkon itu.

Koin tersebut bukanlah koin sembarangan, bukan pula koin yang dipergunakan untuk membeli sesuatu, koin tersebut merupakan koin langka yang hanya dimiliki oleh pemimpin-pemimpin suatu wilayah. Dan yang memiliki warna hijau lumut padam itu adalah koin dari Pimpinan Parung Wetan, dan itu sudah cukup untuk membuktikan bahwa lelaki berblangkon di hadapan Saka dan Mang Diman benar adalah utusan langsung dari Pimpinan lembah timur pulau ini.

“Kalau begitu saya mohon maaf atas sambutan yang kurang baik ini..” Ujar Saka seraya langsung menyerahkan kembali koin tersebut kepada Pak Kusno, setelah itu ia pun membungkukkan tubuhnya. Diikuti oleh Mang Diman yang juga menghaturkan maaf atas kesalah pahamannya.

“Tidak perlu minta maaf Den.. saya yang harusnya minta maaf, karena orang-orang dari Parung Wetan sudah ikut andil dalam kekacauan ini. Sungguh.. Saya sangat minta maaf..” Ujar Pak Kusno seraya ikut membungkukkan tubuhnya. Setelah itu mereka pun saling bersalaman dan memperkenalkan diri.

“Suatu kehormatan untuk saya karena bisa bertemu langsung dengan Den Saka, selaku garis terakhir dari Gana Taraksa.” Tukas Pak Kusno dengan penuh penghormatan kepada Saka.

Namun bagi Saka, mendengar gelarnya disebut sudah lebih dari cukup untuk membuat hatinya bergetar lirih. Beruntungnya, ia bisa dengan cepat mengendalikan isi hatinya agar tak terbawa suasana ringkih ini.

( Gana Taraksa : Pasukan Serigala, gelar yang disematkan untuk suatu trah istimewa pemilik kemampuan sensor paling ulung di pulau ini )

“Suatu kehormatan juga bagi saya, karena Pimpinan Parung Wetan sudah repot-repot mengirim Pak Kusno untuk membantu masalah yang ada di sini.” Jawab Saka.

“Maaf Den.. tapi saya hanya menyampaikan pesan dari Pimpinan saya, agar tidak ada kesalahpahaman. Kehadiran saya di sini bukan karena Parung Wetan hendak terlibat dalam konflik ini, tapi hanya untuk membereskan masalah yang ditimbulkan dari para pembelot tanah kami. Itu saja, selebihnya, Pimpinan saya belum memutuskan untuk mengambil tindakan. Saya harap Den Saka maklum akan hal itu..” Sahut Pak Kusno dengan amat tenang, yang oleh Saka segera dibalas dengan anggukkan kepala pelan.

Saka mengerti betul akan hal ini, meski ia sejujurnya amat berharap bahwa Lembah Timur akan ikut andil bagian di situasi ini, namun ia sadar, Parung Wetan sedari dulu selalu menempatkan diri sebagai titik netral di antara tiga daerah lain. Bisa disebut seperti itu, atau jika ingin lebih kasarnya, Parung Wetan tidak perduli akan dunia luar, jika itu tidak berkaitan dengan diri mereka sendiri tentunya.

“Untuk Mas Diman.. suatu kehormatan besar juga bagi saya karena bisa melihat langsung kehebatan dari ajian Lipat Jagat. Saya sangat merasa terhormat karena bisa melihat ajian yang hampir punah tersebut dengan mata kepala saya sendiri..” Ucap Pak Kusno kepada Mang Diman yang beberapa menit lalu sudah mengancam nyawanya.



“Sekali lagi maafkan saya karena menyerang Mas Kusno membabi buta..” Sahut Mang Diman dengan tenang.

“Tidak apa-apa Mas.. wajar bila..” Kata-kata Pak Kusno tak sampai selesai karena tiba-tiba Mang Diman berlari meninggalkannya dan Saka.

“UWEK.. UWEKK..” Mang Diman yang sudah berlari ke semak-semak langsung memuntahkan kembali isi perutnya. Ia yang sedari tadi tidak mual, tiba-tiba saja teringat bahwa ia baru menggunakan kembali kemampuan lipat jagatnya, dan itu langsung berdampak pada psikisnya, dan membuat lambungnya seketika tergoncang.

Hal tersebut langsung menghasilkan senyuman kecil di bibir Saka, seraya memberi penjelasan kepada Pak Kusno perihal kondisi Mang Diman tersebut.

“Dua pembelot dari Parung Wetan sudah diurus oleh kawan-kawan saya Den.. jadi Den Saka tidak perlu khawatir. Mereka pun akan langsung kami bawa pulang untuk menjalani peradilan. Tapi maaf Den, dua orang lain yang berasal dari Hematala tidak berhasil kami ringkus, dan memang kewajiban kami untuk melakukan itu.” Pak Kusno berkata dengan tenang kepada Saka.

Mereka berdua pun berbincang sebentar sembari menunggui Mang Diman yang tengah mengeluarkan isi perutnya. Dan setelah beberapa saat, dan pembahasan mengenai detail tentang kedatangan Pak Kusno, Mang Diman pun sudah selesai dengan isi perutnya, dan segera bergabung kembali.

Setelah itu, perhatian mereka pun teralihkan kepada Rengganis yang terlihat semakin lemah kuda-kudanya, pun darah di hidungnya yang terus menerus keluar dan membasahi sekitar bibir hingga menetes ke bawah dagunya. Menyadari itu, terang saja langsung membuat Saka diliputi kekhawatiran. Suami mana yang tidak khawatir melihat istrinya berjuang keras hingga meneteskan darah dari hidung seperti itu?

“Kekuatan Lamuk dari Raden Ayu sungguh luar biasa.. beliau bahkan bisa mengungguli Liris Kisma dari dua pembelot kami yang tingkatannya sudah cukup tinggi.. ” Ujar Pak Kusno dengan tatapan takjub. Raden Ayu yang ia ucapkan sendiri merujuk pada diri Rengganis.

Sedang Saka mendekat perlahan ke arah Rengganis yang jelas sekali terlihat sudah hampir mencapai ambang batasnya. Langkah Saka diikuti oleh Mang Diman dan Pak Kusno di belakangnya.

“Dek.. uwes cukup Dek.. jangan dipaksakan..” Ujar Saka lemah. Setitik senyum terlihat mengembang dari bibir Rengganis.

“Aku hampir selesai Mas.. tinggal mengirimkan abu-abu ini ke tengah laut saja kok.. uhuk.. uhukk..” Sahut Rengganis terdengar ceria, namun ditutup dengan batuk yang mengeluarkan darah dari mulutnya, membuat Saka bergegas mendekat dan hendak memegangi bahu sang istri, namun oleh Rengganis lekas ditahan dengan gelengan kepala, isyarat agar Saka tidak terlalu merapatkan tubuh padanya.

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja Pak Kusno menurunkan tubuhnya, membuat sebelah lututnya menyentuh tanah sebagai tumpuan, memberikan sembah penghormatan kepada Rengganis yang berada di hadapannya.

“Hormat saya untuk Raden Ayu, perkenalkan Saya Kusno.. kehadiran saya di sini untuk membereskan masalah yang ditimbulkan para pembelot dari Parung Wetan. Mohon dimaafkan atas kelancangan ini.” Ujar Pak Kusno dengan wajah ditundukkan, dan setelah mendapatkan anggukkan kepala, ia pun kembali bangkit dan berdiri.

“Raden Ayu.. mohon izinkan saya mengambil alih tugas ini, karena bagaimana pun.. ini sepenuhnya tanggung jawab Parung Wetan..” Sambung Pak Kusno kembali dengan bungkukkan tubuh, dan kembali juga Rengganis meresponnya dengan anggukkan.

Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir perempuan itu, sebab sesungguhnya, ia benar-benar sudah mencapai batas akhir dirinya. Dan hatinya sungguh amat bersyukur sebab pertolongan yang datang padanya saat ini.

“Mohon ditahan sebentar lagi Raden Ayu..” Ujar Pak Kusno seraya berdiri sejajar dengan Rengganis, ia pun segera mengarahkan telapak tangannya ke angkasa, dan bergegas membuka gerbang energinya untuk menjangkau abu-abu di atas langit sana. Jemarinya bergerak-gerak seperti orang yang tengah meraba-raba sesuatu, hingga setelah hampir satu menit lamanya, lelaki berblangkon itu pun berhasil mengalirkan tenaga dalamnya ke seluruh persebaran abu di atas sana.

“Sudah cukup Raden Ayu.. dari sini biar saya yang ambil alih..” Ucap Pak Kusno dengan alis tertaut dalam, ia tengah memasuki mode utama pengendalian Liris Kisma-nya, itu terlihat dari urat-urat di telapak tangannya yang memancarkan semburat garis-garis hitam samar.

“Terimakasih Pak.. uhuk..” Ucap Rengganis seraya mulai memutus aliran tenaga dalamnya dengan kabut-kabut di pengikat abu-abu di atas sana, selesai sudah sabuk lamuk yang ia keluarkan.

Tangan Rengganis langsung tersentak, tubuhnya pun terdorong limbung tak bertenaga ke arah belakang, yang oleh Saka lekas ditangkap dalam rengkuhan. Cahaya-cahaya putih yang berkelibatan di urat-urat nadi rengganis pun meredup perlahan, seiring tubuhnya yang kehilangan tenaga dan lunglai dalam pelukan sang suami, dibaringkan dengan hati-hati.

“Bertahanlah Dek..” Ucap Saka khawatir seraya membersihkan darah yang berada di sekitar hidung dan bibir Rengganis. Matanya dipenuhi kekhawatiran, telapak tangannya langsung memerah darah. Sedang Rengganis hanya tersenyum sayu, apalagi ketika ia mendapati sang suami meneteskan air mata untuknya.

“Den Saka sebaiknya segera membawa Raden Ayu pergi dari sini. Untuk masalah abu-abu ini, percayakan pada saya.” Ucap Pak Kusno tanpa menoleh pada Saka, tatapan lelaki bertutup kepala blangkon itu nyalak ke angkasa.

“Baik Pak.. terimakasih.. Tolong tempatkan abu-abu ini di barat laut, dua puluh kilometer dari sini..” Sahut Saka seraya bangkit membopong Rengganis. Mang Diman yang sedari tadi diam kebingungan pun segera menyodorkan sapu tangan dan mengelami sisa-sisa darah di bibir dan hidung Rengganis dengan telaten, mata lelaki tua itu juga berkaca-kaca, karena bagaimana pun, ia sudah menganggap Rengganis sebagai anaknya sendiri.

“Dua puluh kilometer ke barat laut.. baik.. titah Raden saya terima..” Ujar Pak Kusno dengan suara berat, bersamaan itu kedua kakinya melebar memasang kuda-kuda, menjejak kuat ke tanah, urat-urat di telapak tangannya kian menghitam pekat, pertanda aliran energi di sana yang semakin kuat.

Saka pun membopong Rengganis beberapa meter untuk menjauh dari titik di mana Pak Kusno berdiri, sebab ia hendak meminta tolong pada Mang Diman untuk sekali lagi menggunakan ajian lipat jagatnya, agar mereka bisa lekas sampai ke tempat di mana mobil mereka terparkir.

“Mang saya minta tolong satu kali lagi ya, bawa kita langsung ke mobil..” Ucap Saka seraya menghentikan langkahnya. Dan kali ini, Mang Diman mengangguk tanpa penolakan sama sekali. Ia langsung mencukupi kegiatannya membersihkan sisa-sisa darah di bibir Rengganis, memasukkan sapu tangan ke saku.

Kemudian telapak tangan kanannya ia tempatkan di selah satu punggung telapak tangan Saka, sedang telapak tangan kirinya menggenggam jemari Rengganis dengan air mata berderai lembut.

“Hihihi.. pasti nanti Mang Diman muntah lagi deh..uhuk..” Ejek Rengganis lemah dengan mata sayu ke arah Mang Diman.

“Diem Bu.. enggak usah ngeledek Mamang..” Jawab Mang Diman ketus mencoba menyembunyikan kesedihannya.

“Hihihihi.. awas ya.. kalau.. aku.. sampai dimuntahin.. uhuk..” Canda Rengganis lagi seraya terbatuk dan kembali mengeluarkan darah dari bibirnya. Mang Diman tidak menanggapi candaan itu, dan segera berfokus pada aliran energi di urat-urat tubuhnya.

Sedang Saka hanya bisa menatap Rengganis dengan penuh kesedihan dan kekhawatiran, air matanya terus menetes keluar dengan sendirinya. Sesekali ia kecup rambut Rengganis dengan lembut dan bisu, tanpa kata-kata. Karena memang Saka bukanlah tipe lalaki yang pandai bertutur lembut. Rengganis tersenyum lemah membalas tatapan mata Saka, disajikannya senyum terindah seolah hendak mengabarkan bahwa ia tak apa-apa.

“Pak.. tolong eratka pegangan Bapak ke tubuh Ibu.. Mamang akan langsung bawa kalian kembali ke Pendopo..” Ucap Mang Diman dengan mata yang sudah terpejam, dan mendengar itu, Saka langsung tersenyum lega di dalam hatinya. Karena jika memang begitu adanya, itu berarti Rengganis akan lebih cepat diobati.

Sedang Rengganis merasa amat terharu mendengar kata-kata dari seseorang yang sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri itu, karena Rengganis tahu betul, perlu pengorbanan besar tiap kali Mang Diman melakukan lipat jagat, apalagi jika jaraknya jauh, maka pengorbanannya akan semakin besar, dari itu, Rengganis hanya bisa mengucapkan terimakasih mendalam di lubuk hatinya, ia sudah tak mampu berkata-kata lagi.

“Makasih Mang.. Makasih banget..” Sahut Saka ketika asap hitam mulai keluar dari tubuh Mang Diman dan mulai menyelimuti mereka.

“Inget ya Pak.. ini enggak gratis lho.. Selain Mamang enggak mau nyetir pas pulang nanti, mamang juga enggak mau balik lagi buat ngambil mobil di sini, atau tepatnya sih.. tenaga Mamang pasti enggak bakalan cukup hehehe..” Tukas Mang Diman ditutup tawa renyah, dan setelah itu bibirnya mulai berkomat-kamit melafalkan rapalan mantra.

Membuat asap hitam semakin pekat menyelimuti mereka, bahkan volume asapnya kali ini jauh lebih banyak, dengan kilatan-kilatan petir yang jauh lebih rapat, ini mungkin karena jarak lompatan yang amat jauh, membuat Mang Diman harus mengerahkan jauh lebih banyak energinya untuk kali ini. Dan setelah asap hitam dengan kilatan-kilatan itu membumbung pekat dan tebal..

TRREERRRRTT.. TTRREERRRRTT… WWUUSSHHHH

Tubuh ketiga orang tersebut pun menghilang dari dasar lembah seiring dengan bumbungan asap hitam yang tersapu angin perbukitan. Membuat dasar lembah itu kembali melengang dan hanya diisi oleh satu orang lelaki paruh baya yang tengah berjibaku mengarahkan sesuatu di angkasa sana menggunakan energi-energi yang tak nampak di tangannya.

Pak Kusno mengeram berat, meski Liris Kisma-nya termasuk yang cukup disegani di Parung Wetan, namun tetap saja, mengendalikan material sebanyak dan seluas ini bukanlah perkara mudah baginya, terlebih ia harus mengirim abu-abu ini sejauh dua puluh kilometer ke tengah laut, sungguh ini akan menguras banyak tenaganya pasti.

Dan itulah yang membuatnya semakin terkagum dengan Raden Ayu pemilik ajian lamuk tadi. karena dengan luar biasanya perempuan itu mampu mengumpulkan dan mempersempit persebaran abu-abu seluas dan sebanyak ini, tanpa memiliki kemampuan Liris Kisma, melainkan hanya berbekal ajian lamuk saja. Itu jelas menggambarkan betapa kuat dan dahsyatnya kemampuan pengendalian kabut yang dimiliki oleh perempuan yang mewarisi takhta dari Nyai Putri -Ibu dari Rengganis-, selaku pemangku tanggung jawab atas keseluruhan wilayah barat pulau utama ini.

‘Luar biasa..” Gumam Pak Kusno dengan jujurnya seraya mulai menggerakkan abu-abu di atas langit sana untuk meninggalkan wilayah langit Lemah Kidul.

*

POV REGAN

“Nggan pulang..” Seruku lantang namun penuh hawa kelelahan sembari terduduk di undakan teras rumah, kulepaskan sepatuku dan kusisihkan ke samping. Ku abaikan gonggongan nyalak dari Bogi dan tatapan sayu dari Kepin yang menyambut kepulanganku.

Aku lelah.. amat lelah menghadapi hari ini. Gimana enggak lelah, setelah motoran di tengah hari yang berbalut awan bersama Dira, tertawa dan bergembira melalui dentingan sang waktu, eh di tengah mentari yang mulai menjingga ini, aku malah kepikiran dengan apa yang terjadi pada Hani selepas pulang sekolah tadi. Padahal aku sudah mencoba menghempaskan masalah-masaah yang ada di dalam kepalaku ini dengan menggebuk-gebuk drum dengan emosional.

Iya jadi aku ini abis nge-band Cuy.. inisiatif dari Wawi sih, karena sepertinya ia tahu kalau aku butuh pelampiasan, makanya dia mengajakku dan yang lain untuk merental studio musik yang berada tak jauh dari sekolahku. Dan hebatnya, hari ini tidak ada satu pun lagu dari PADI yang aku bawakan lho, iya kalian enggak salah baca. No PADI PADI Song today..

Jadi hari ini kami membawakan lagu-lagu keras, ada dari SID yang judulnya Tanah Anarki, ada juga lagu NTRL, ada lagunya PWG juga, pokoknya hari ini aku seperti dibebaskan menggebrak drum sekeras aku mau hahaha.

Tapi tetep aja, meski sempat teralihkan, toh sekembalinya aku kerumah, aku kembali kepikiran sama Hani. Dia loh kayanya lagi ngambek sama aku, eh bukan kayaknya deh, emang ngambek pasti. Mana pake segala nangis pula, siapa yang enggak kepikiran coba? Lagian dia itu kenapa harus nangis sih?! Di depan temsan-temanku pula, kan enggak enak dan serba salah jadinya aku ini.

Lagian aku heran, itu sebenarnya Hani nangisin apa? Nangisin aku karena ngebolos bareng Dira gitu? Lah emang masalah gitu buat dia? Dia aja Cuma nganggep aku kekasih bayangan doang, yang bisa dia sayang-sayang, tapi enggak pernah nerima tiap aku tembak. Apa coba namanya kalau bukan pemberi harapan palsu? Arrgghhh.. kehed-lah.. bukan, bukan Hani yang kehed.. aku yang kehed.. dahlah.. capek aku!

Manaan ini Mang Diman ngabarin kalau mereka -Ibu dan Ayah juga- belum bisa pulang hari ini, katanya masih ada urusan di sana. Urusan apa coba? Kan bilangnya Cuma mau nengokin keluarga Mang Diman aja, kenapa pake segala ada acara-acara tambahan kaya gini coba? Tega banget sama anak sematawayang tertampan ini.

Tahu bakal banyak masalah kaya gini mah mendingan aku ikut aja ke Lemah Kidul sama Ayah sama Ibu. Biar enggak perlu kejebak situasi yang nyebelin kaya gini. Bajigur lah..

“AAUUGGHH.. AAUUGGGHH..” Bogi berlarian ke arahku seraya langsung menerkam tubuhku yang tengah berselonjor kaki, menjilatiku seolah aku ini tulang menggiyurkan di serial tom & jerry. Sialan ini.. enggak sadar diri kah dia ini? Badannya ini loh segede samsak tinju, bajigur..

“Aku cape Bogi.. nanti aja ya mainnya..” Ucapku mencoba memberi pengertian dengan menggaruk-garuk bagian bawah pipi anjingku ini.

“AAUUGGHH.. HEH.. HEH.. HEH..” Sahut Bogi seraya bangkit dan berputar-putar di hadapanku. Gitu dong, pinter, nurut.

Namun kalau aku perhatiin baik-baik nih, kaya ada yang beda gitu di halamanku sore ini. Kalau Bogi sih jelas bukan, dia mah tetap atraktif kaya Yaya Toure kalau lagi drible bola. Masalahnya adalah Si Kepin nih, kok sedari aku masuk tatapannya itu sayu banget ya? Enggak nyebelin kaya biasa gitu. Aneh ini.. asli! Di luar kebiasaan Si Jenderal Pemalas itu.

Terlebih, kuperhatikan Si Kepin ini kok tumben-tumbenan gitu duduk rapih dengan tubuh tegak memandang langit, ngeliatin apa dia coba? Ngeliatin burung gereja kah? Tapi perasaan enggak keliatan ada burung gereja yang terbang-terbangan di sekitar rumahku ini. Mukanya asem lagi, lesu lunglai enggak bersemangat, mirip Torres di depan kotak penalti. Aneh sih ini.. asli.. aneh..

“Mereka berdua udah aku kasih makan tadi, jadi enggak usah dibikinin makan lagi ya, Nggan..”

Di tengah lamunanku, tiba-tiba suara lembut Teh Arum terdengar menghangat di telingaku , dekat sekali, membuatku lekas menolehkan kepala.

“Makasih Teh..” Ucapku datar seraya memandangi Teh Arum dengan seksama. Ia melempar senyum kepadaku yang.. aihhh.. manis kali macam nira kelapa yang baru dipanen dari pohon.

prisia-nasution_20180324_131917.jpg

ARUM

“Kamu kok pulangnya sore banget sih?” Tanya Teh Arum sayupkk-sayup di tengah keterpanaanku.

Dan betapa sungguh aku enggak akan terpana.. karena bahkan jingganya mentari petang ini enggak sebanding dengan keindahan senyum Teh Arum yang sudah duduk di undakkan teras juga, sejajar denganku, tapi agak berjarak. Ia mengenakan gaun yang bagian bawahnya jatuh di bawah lutut, gaun atau daster aku enggak bisa bedain sih, tapi pokoknya ini modelannya kaya gaun, tapi mirip daster karena modelnya batik, pokoknya gitu deh. Ah iya.. mirip model baju adat tionghoa gitu, yang ada kancing di bagian atasnya, apalah itu namanya.

Ditambah rambut hitamnya itu digerai dan disatukan di samping bahunya. Beuuhh.. Pokoknya mah simple.. cantik.. dan mantap..

“Kalau ditanya tuh jawab Nggan.. malah bengong..” Ujar Teh Arum seraya memanyunkan bibirnya, seolah-olah ia tengah merajuk padaku, meski aku tahu, itu hanyalah candaan.

“Apa sih Teh.. lagian Teteh tiba-tiba aja udah duduk di sini.. kan Nggan kaget jadinya..” Jawabku asal seraya mengeluarkan bungkus rokok dari saku celanaku.

“Di mana-mana orang kaget itu ya kaget Nggan.. bukannya malah bengong.” Timpal Teh Arum lagi dengan sudah menatap mataku. Aku tersenyum kecil, mencabut satu batang garpitku dari bungkusnya, lalu menyulut batang tembakau itu dengan santai di depan Teh Arum.

“Kagetnya dikit.. terpesonanya yang banyak Teh.. makanya Nggan sampe bengong barusan.” Jawabku acuh setelah mengembuskan rokokku ke udara.

“Hhhmm.. udah pinter ngegombal ya sekarang..” Teh Arum berkata seraya mencubit lenganku lembut, yang olehku langsung kurespons dengan berpura-pura mengaduh.

“Sakit Teh.. lagian siapa yang ngegombal coba? Emang bener kok Nggan terpesona, abisan cantiknya Teteh ituloh udah kaya Emanuel Adebayor, sering offside..” Sahutku asal yang oleh Teh Arum ditanggapi dengan wajah bingung. Yo.. gimana enggak bingung? Masa perempuan aku puji pake hal-hal berbau sepak bola, mana ngerti xixixi

“Tuh sekarang malah senyam-senyum, dasar Nggan aneh..” Ejek Teh Arum balik padaku, yang hanya kusambut dengan senyuman kecil seraya menghisap kembali asap tembakauku.

“Oh iya Teh, tadi Mang Diman nelpon Nggan.. katanya mereka pulangnya kemungkinan besok, atau malah lusa.” Aku mencoba mencari topik obrolan, berusaha mencairkan suasana secair-cairnya dengan Teh Arum.

“Hhhhmm.. terus?” Ujar Teh Arum dengan kepala sedikit dimiringkan, seolah mengharapkan aku mengatakan sesuatu yang lebih panjang lagi dari kata-kataku sebelumnya.

“Ya enggak ada terus-terusan.. itu doang..” Sahutku agak jengah-jengah sedap ditatap Teh Arum seperti itu. Dan tahu apa responnya? Cuma ngangguk-ngangguk kaya boneka di dashboard mobil!!

“Oh..” Tutupnya santai seraya menatap kembali ke arah depan, ke arah Bogi yang tengah menggoda Kepin.. yang entah kenapa hari ini terlihat agak murung, Mungkin dia lagi patah hati karena kucing anggora punya tetangga selingkuh kali, entahlah.

“Hhhhmm.. Oh iya aku inget.. Teteh kan janji mau cerita ke Nggan..” Seruku bersemangat seraya mencondongkan tubuhku ke depan, menatap wajah Teh Arum.

“Cerita apa?” Tanya Teh Arum seolah pura-pura tak mengingat janjinya yang hendak bercerita mengenai kekalutannya tadi pagi.

“Ituloh.. yang Teteh bilang kalau Teteh lagi kalut.. masalah yang bikin pikiran Teteh kebagi-bagi..” Ujarku bersemangat, mencoba menyudutkan Teh Arum biar enggak bisa ngeles lagi.

“Yang mana ya? Aku lupa tuh hihihi..” Goda Teh Arum kepadaku seraya memalingkan wajahnya. Membuatku harus menghela napas dalam-dalam, digoda ini aku ceritanya? Bajigur..

“Payah.. aku kira Teteh orangnya bisa megang janji sendiri, tapi ternyata enggak, masa tadi pagi dengan entengnya Teteh berjanji, sekarang malah mau ngingkarin.. wooo..” Godaku balik seraya memajukan wajahku lebih ke depan, mencoba memandang wajah Teh Arum yang masih berpaling dari tatapanku, bersiap untuk menerima timpalan godaan dari Teh Arum.

Aku tunggu sedetik.. dua detik.. tiga detik.. eh kok Teh Arum enggak nengok-nengok ya? Wajahnya juga semakin dipalingkan dariku. Ini apa ada yang salah ya sama candaanku barusan?

“Aku ini bukan tipe orang yang gampang bikin janji Nggan.. kalau aku rasa aku enggak akan bisa nepatin janjiku itu, aku enggak akan berani berjanji..” Ujar Teh Arum lirih. Eh kok gini? Anu.. apa.. aku kan Cuma becanda..

“Tapi bukan berarti aku ini orang yang gampang mengingkari janji, pantang bagiku untuk menarik kata-kataku sendiri..” Sambung Teh Arum lirih seraya lekas bangkit dari duduknya, dan di detik itu juga, aku bisa melihat kalau pipi Teh Arum membasah air mata.

Loh.. Teh Arum nangis? Apa candaanku barusan kelewatan ya? Waduh..

Dan karena kebingunganku itu, aku jadi lambat bereaksi, dan terlambat menghaturkan maaf pada Teh Arum. Karena kini ia sudah berlari kecil masuk ke dalam. Aku pun segera meletakkan puntung rokokku dan bangkit, ikut berlari masuk ke dalam, bermaksud mengejar Teh Arum. Namun apa daya, langkahku yang tertinggal waktu, membuat Teh Arum sudah mencapai pintu kamarnya, masuk ke dalam sana, dan langsung menutup pintunya keras, terdengar juga suara pengunci di pintu tersebut.

Wow wow wow.. kok jadi gini sih? Aku kan niatnya Cuma bercanda..

“Teh.. Maafin Nggan Teh.. Nggan enggak bermaksud buat nyinggung perasaan Teteh..” Seruku di depan pintu kamar Teh Arum, seraya aku tekan gagang pintunya, namun memang benar bahwa pintu tersebut terkunci. Shitlah.. kok jadi gini sih?!

“TEEEHHH.. MAAFIN NGGAN TEH.. NGGAN ENGGAK BERMASUD NYINGGUNG PERASAAN TETEH..” Aku berseru semakin lantang, seraya menggedor halus pintu kamar itu. Namun sialnya, enggak ada satu suara sahutan pun yang terdengar dari dalam sana.

Wahh.. beneran marah ini Teh Arum.. duh..

“TEEHHH.. MAAFIN NGGAN TEH..” Seruku seraya menggedor halus pintu kamar itu dengan dua kepalan telapak tanganku. Bodoh ini.. aku bodoh ini.. pasti candaanku tadi udah terlalu kelewatan, sampe Teh Arum tersinggung kaya gini.. Arrrgghh..

“Tehh.. maaf..” Ucapku lemah seraya menempelkan keningku di pintu tersebut, namun tetap saja, enggak ada jawaban dari dalam sana.

Ahh.. kok jadi begini sih.. padahal tadi Teh Arum ceria-ceria aja lho.. ini kok langsung berubah 180% gini Cuma karena candaanku. Itukan berarti candaanku tadi udah kelewatan.. aarrgghh..

“Teehhh..” Panggilku lagi lebih lemah dari sebelumnya.

Sial ini.. sial banget aku.. tapi tunggu.. kalau pintu dikunci, kan masih ada jendela! Iya, tadi pagi juga aku bisa kok membujug Teh Arum lewat jendela, pasti jendelanya dibuka nih. Aku pun segera membawa tubuhku menjauh dari pintu kamar Teh Arum, berjalan cepat setengah berlari ke luar rumah, menuju halaman samping di mana jendela Teh Arum tadi pagi menyelamatkanku.

Namun sial.. jendelanya juga tertutup kali ini! Arrrgghh..

Tok tok tok..

Aku mengetuk kaca jendela kamar itu dengan ujung kuku, berusaha memberitahukan Teh Arum bahwa aku berada di sini.

“Teehh.. maaf Teh.. Nggan enggak ada maksud buat bikin Teh Arum sedih..” Aku berkata seraya mendekatkan wajah ke kaca jendela itu, berusaha melihat aktivitas di dalam sana. Namun lagi-lagi semesta lagi enggak temenan sama aku, gorden jendela kamar Teh Arum terlalu tebal untuk ditembus mataku.

“Teh.. Nggan bener-bener minta maaf Teh..” Ucapku lagi dengan kening menempel di kaca, dan perlahan, sayup-sayup sekali, aku bisa mendengar isak tangis yang tengah diredam sekuat tenaga, dan itu membuatku semakin merasa bersalah. Tangis Teh Arum kayanya dalem banget, itu berarti kan kata-kataku udah terlampau nyelekit di hatinya.

“Teeehh.. jangan nangis Teh.. Nggan salah.. maafin Nggan..” Seruku lemah dan penuh kegetiran. Kepalaku rasanya langsung penuh. Dan tiba-tiba saja, sistem pemikiranku menghadirkan rangkuman masalah hari ini. Mengkombinasikan antara dua tangisan perempuan penting di hidupku hari ini.

Pertama Hani, kedua Teh Arum, dan sialnya aku tahu tangisan itu akulah penyebabnya. Tapi di saat bersamaan, aku sendiri enggak yakin-yakin banget letak kesalahanku dimana. Bangsat enggak tuh? Arrgrghh..

Aku berdiam lama di jendela kamar Teh Arum, mengetuk lagi dan mengetuk lagi, membujuk lagi dan membujuk lagi. Tapi nihil, tidak ada sapatah kata pun yang menyahutiku dari dalam kamar sana. Sampai-sampai kakiku sendiri mulai keram. Ini pasti rokokku udah abis ini di depan, saking lamanya aku di sini.

Ah persetanlah.. ini gimana woyy.. kok hari ini rasanya suram banget ya, tadi Hani, sekarang Teh Arum. Abis ini siapa lagi? Si kepin? Kebetulan dia emang udah murung tuh dari tadi, biar sekalian aja aku bikin nangis. Tambah si Bogi yang hatinya selembut air di atas daun talas, dimarahin dikit juga pasti nangis.

Biar!! Biar aku bikin nangis aja sekalian semuanya! Bajigur..

Oke baik.. mungkin Teh Arum lagi butuh waktu. Mungkin juga dia ini lagi PMS, makanya emosinya naik turun. Biarlah aku kasih waktu dulu dia menenangkan diri, nanti pasti akan keluar kamar juga kan pastinya? Saat itulah aku akan meminta maaf dengan sungguh-sungguh pada Teh Arum, kalau perlu.. aku bersujud di depannya deh. Karena udah bikin Teh Arum nangis.. haiizzz

Aku pun berjalan lemah meninggalkan jendela kamar Teh Arum, kembali ke depan dan mendapati Bogi yang sudah riuh bermain dengan bola. Kaya enggak ada beban banget hidupnya dia itu, riang terus. Enggak kaya hidupku, pasang surut kaya air laut. Hhhhh

Eh tapi kok si bogi maen sendiri ya? Kemana si kepin yang tadi merengut-merengut nahan kentut itu? Ah entahlah.. aku enggak urus.

Aku pun akhirnya masuk menuju kamarku, kubuka jendela kamar lebar-lebar, kunyalakan AC kamarku, lalu melempar tas dengan sembarang dan berbaring lelah dengan kedua tangan dan kaki kurentangkan membentuk bintang, menatap langit-langit kamarku yang rasanya muram kali sore ini. Wuaseemm..

Kupejamkan mataku lembut, kuresapi lagi keruwetan-keruweranku hari ini. Bahagia dan tertawa bersama Dira di pagi dan siang hari, sikap dingin yang ditutup tangisan Hani, ngeband gila bersama 4arah, lalu dijerambapkan pada rasa bersalah karena sudah menyinggung perasaan Teh Arum. Ah lengkap sekali rasanya hariku ini, nano nano banget asli, rame rasanya. Hooaammmss.. ngantuk kan aku jadinya..

*
 
Terakhir diubah:
*
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku ketika kurasakan hawa dingin AC kamarku berpadu dengan semilir angin malam yang masuk lewat jendela kamarku. Tanganku pun lekas merogoh tas yang berada tak seberapa jauh dari jangkauan tangan, kuambil Si davis, selaku hape BB kesayanganku, kulihat jam di layarnya sudah lewat pukul delapan. Wo wo wo.. lumayan lama juga aku tertidur, pantes rasanya badanku segeran.

Dan tak ingin berlama-lama dalam kemalasanku, aku pun memutuskan bangkit dari kasur, menyalakan lampu kamar, membuka seragam sekolahku yang kubawa tidur tadi, menanggalkan kaosku hingga kini aku hanya mengenakan celana boxer. Setelah itu aku berjalan ke jendela, dan kulihat lampu-lampu di pekarangan belum menyala, dan itu berarti Teh Arum masih di dalam kamarnya, karena kalau dia sudah keluar kamar, mana mungkin Teh Arum enggak nyalahin lampu yekan.

Aku mengibas-ngibaskan kepalaku yang masih sedikit mewariskan rasa kantuk, mengusap wajahku agar lebih segar. Kemudian menyambar handuk dan langsung menuju kamar mandi, perihal lampu dan Teh Arum biarlah nanti aku urus setelah mandi, sekarang lebih baik aku menyegarkan diri dulu, karena kalau enggak.. bisa-bisa aku rebahan lagi nanti.

Aku pun langsung berjalan linglung ke kamar mandi, menyalakan lampu dapur dan lampu halaman belakang. Setelah itu aku langsung masuk kamar mandi, membuka boxerku dan langsung mengguyur tubuhku dengan air dingin. Segar.. serasa sisa kantuku langsung menguap ke udara.

Aku tak berlama-lama di kamar mandi, lagian ngapain juga coba lama-lama di kamar mandi? Mau main sabun? Ih sorry.. bukan hobiku itu.

Aku pun keluar dari kamar mandi dengan hawa segar, kembali ke kamarku dan langsung berpakaian. Aku memilih mengenakan celana jenas pendek dan kaos polo hitam, menyemprotkan sedikit minyak wangi, dan bersiap menemui Teh Arum untuk meminta maaf dan bicara hati ke hati padanya.

Sembari menyisir rambutku yang sudah mulai memanjang dengan jemari, aku pun berjalan keluar kamar menuju ruang tengah, menyalakan semua lampu, kemudian memandang resah ke pintu kamar milik Teh Arum, dari lubang angin di atas pintu, bisa aku pastikan bahwa lampu di dalam kamar Teh Arum menyala terang. Berarti aku bisa ngajak ngomong Teh Arum nih sekarang. Iyalah enggak usah buang-buang waktu lagi.

Tok.. Tok.. Tok..

“Teh.. Teh Arum..”

Aku mengetuk sembari memnanggil Teh Arum dengan nada kubuat selembut mungkin, aku tunggu beberapa detik, namun enggak ada jawaban dari dalam sana. Aku putuskan mengetuk lagi sebanyak tiga kali juga.

“Teh.. Teteh tidur ya?” Seruku bertanya, karena siapa tahu Teh Arum juga tidur kaya aku yekan. Eh tapi kalo orang tidur terus ditanya lagi tidur apa enggak.. kan jadi bangun ya nanti? Ah.. apasih.. enggak jelas otakku ini. Tapi Coba buka ah, kali aja udah enggak dikunci.

CREEKK.. Yah.. masih dikunci dong.

Aku mundurkan langkahku sejenak, menatap pintu Teh Arum sembari menimang-nimang. Kayanya emang lagi tidur nih Teh Arum, makanya panggilanku enggak direspon. Yaudahlah nanti aja tunggu bangun baru aku ajak ngobrol tentang yang tadi sore.

Aku pun hendak kembali ke kamar, namun baru saja kakiku hendak kulangkahkan, tiba-tiba aku lihat dari lubang angin di atas pintu kamar Teh Arum ada kejanggalan. Karena seperti yang tadi aku bilang, lampu kamar Teh Arum kan tadi menyala ya, kelihatan tuh dari lubang angin di atas pintu kamarnya. Tapi kok sekarang gelap ya? Itu kan berarti.. Holly Shit!

TOK TOK TOK TOK TOK TOK

“TEH.. BUKAIN DONG TEH.. NGGAN MAU NGOMONG..” Aku kembali menggedor dan berseru dengan semangat karena aku yakin Teh Arum enggak tidur seperti dugaanku tadi.

BEGH.. BEGH.. BEGH..

“NGGAN TAU TETEH ENGGAK TIDUR.. JADI TOLONG BUKAIN TEH.. NGGAN BENERAN MAU NGOMONG.. NGGAN BENERAN MAU MINTA MAAF TEH..” Aku mengubah ketukanku menjadi gedoran pelan, seraya terus menyeru ke dalam kamar.

Namun sia-sia, berapa kali pun aku menggedor dan berteriak, enggak ada jawaban dari dalam sana. Menandakan bahwa Teh Arum benar-benar marah kepadaku. Shitlah.. mendadak hatiku ini jadi gelisah bukan main karena dibekap rasa bersalah. Kalut Woy!

Aku menyudahi gedoranku, menempelkan keningku pelan ke pintu kamar, mengepalkan tanganku erat seraya memaki diriku sendiri. Meski sejujurnya, aku juga enggak tahu kenapa aku memaki diriku sendiri, pokoknya sih aku ngerasa salah aja gitu sama Teh Arum.

“Teh.. Teteh masih marah ya sama Nggan?” Tanyaku lirih dengan penuh rasa bersalah. Namun lagi dan lagi, sunyi saja suara di dalam kamar itu.

Percuma.. aku memang enggak pinter ngadepin perempuan yang lagi ngambek. Mau aku bujuk gimana juga rasanya bakal sama aja, Teh Arum enggak akan bukain aku pintu.

“Yaudah kalo Teteh masih marah, enggak apa-apa. Emang Nggan yang salah, tapi yang harus Teteh tau.. Nggan bener-bener nyesel udah bikin Teteh marah kaya gini.” Aku menghaturkan sesalku dengan tulus, berharap Teh Arum melunak di usaha terakhirku ini, namun tetap.. bisu dan hening yang kudapati.

Fyyuhhh.. aku membuang napasku resah, mulai mengambil jarak dengan pintu kamar Teh Arum.

“Sekali lagi Nggan minta maaf Teh.. maafin Nggan yang Cuma bisa bikin Teteh sedih-sedihan..” Ujarku putus asa seraya berjalan kembali ke kamarku dengan kepala mumet suremet tekemet-kemet.

Kusambar kunci motorku, kukantongi rokok, dompet dan BB-ku, kemudian berjalan kembali ke luar kamar. Kayanya motoran malem-malem bagus buat merefresh otakku. Tak lupa kuambil helm yang berada di rak ruang tamu, kemudian dengan hanya mengenakan sandal model swallow berwarna putih biru aku pun berjalan ke halaman, tentunya dengan napas yang rada enggak enak dihela.

Kutatap langit malam yang berawan, kuresapi angin dingin yang menerpa wajah masamku. Aku enggak langsung nyamperin Si Kopet, RX-King gagah milikku itu, melainkan membuka gerbang dahulu, barulah setelah itu aku berjalan ke Si Kopet. Menaikinya, mengenakan helmku dan memegang erat-erat handle grip yang siap membawaku berjalan-jalan malam ini.

Kulirik sekitar, mencoba mencari Bogi atau Kepin untuk menitipkan rumah dan Teh Arum, namun sepertinya mereka sudah masuk kandang semua, jadi yasudahlah.. biarkan mereka beristirahat, aku enggak mau jadi pengganggu.

Aku pun mendorong Si Kopet menggunakan kedua pijakan kakiku menuju gerbang, karena aku enggak berniat buat bangunin Bogi atau pun Kepin tentunya. Dan setelah tiba di luar, aku pun menutup kembali gerbang rumahku seraya memasang gemboknya yang terletak di bagian dalam, kupastikan gembok itu terkunci benar, barulah aku menaiki motorku.

Dalam sekali engkolan, Si Kopet pun meraung nyaring membelah kesunyian malam. Bunyi treng treng treng teng teng tengnya seolah merupai kecamuk di dalam hatiku saat ini, dan tanpa menunggu lama, kusentak gas dan kulepas kopling motorku bersamaan, membuat tubuhku tersentak sebab Si Kopet yang melonjak ke depan dan membawaku meninggalkan areal depan gerbang rumahku.

Raungan nyaring knalpot RX-Kingku membelah jalan, menyapa rindang dedaunan pohon angsana dan pohon sengon yang berada di kanan dan kiri jalan. Menguarkan suara nyaring yang mengganggu di telinga orang lain, namun terdengar merdu di telingaku sendiri, seperti kidung yang menemani kemuraman malamku saat ini.

*

Angin malam yang dingin semilir, menggerakkan daun-daun kering yang menutupi tepian jalan kota. Menggugurkan dedaunan lain yang masih bergelantungan ringkih di ranting-ranting kering juga. Angin malam itu juga kini sudah membawa aku dan motorku terhenti dengan mesin yang masih menyala, tepat di depan sebuah rumah yang berada di sebuah jalan kecil, jauh dari jalan utama. Memandangi lamat-lamat pagar rumah tersebut yang hanya berupa tembok setinggi tidaklah sampai pada tinggi dadaku yang sesak dirajam beribu sembilu ini.

Anjayyy.. keren juga ya aku kalau lagi ngerangkai kata-kata puitis kaya gini. Sebelas dua belas ini sama Rangga di film romansa lawas, atau bisa juga disandingin sama Engkuh Zainuddin dari film tenggelamnya kapal Van Der Wijck. Aih.. tapi rada geli juga sih pas dibaca ulang.

Apa itu.. angin malam yang dingin semilir.. ihh.. daripada semilir, mendingan juga semriwing, lebih jos dan puitis yekan. Eh tapi mengenai posisiku saat ini, itu beneran lho.. aku sekarang nih lagi ada di depan rumah Hani. Enggak tahu juga sih kenapa malah justru kebawa ke sini, ya mungkin benar sih.. angin malam yang semriwing-semriwing uhuy inilah yang membawaku ke mari, ke rumah gadis yang sore tadi mungkin sudah kubuat enggak nyaman hatinya.

Rumahnya sih masih terang, pertanda token listriknya masih cukup, dan tentunya belum tidur para penghuninya. Woileh segala gala banget, kaya banyak aja orang yang ada di dalam rumah ini. Wong Hani Cuma tinggal berdua aja kok sama Mamahnya.

Tapi aku bingung nih, apa ini artinya aku harus bicara sama Hani? Sekarang ini? Kok aku enggak yakin ya, bukannya apa nih, aku aja ngablu enggak jelas gini kan karena gagal ngajak bicara Teh Arum. Masa sekarang aku mau coba hal yang sama ke Hani? Kan paling hasilnya enggak beda jauh, yang namanya perempuan lagi ngambek kan gitu.. enggak memikirkan betapa sebenarnya lelaki juga memiliki hati seperti mereka, bisa terluka, bisa terbebani pula, Cuma bedanya lelaki kan susah mengekspresikan perasaannya.

Aku menghela napasku dalam, mengembuskannya perlahan. Rumah Hani ini halamannya memang tak seberapa luas, karena termakan ukuran rumah yang menurutku memang cukup besar, walau pun tipe rumah satu lantai bergaya vintage ya. Namun begitu, halaman rumah Hani yang hanya pas untuk satu mobil parkir tetap menyajikan kesan asri, ditambah seperti yang tadi aku bilang, gaya rumahnya Hani itu vintage khas rumah 90an. Dengan dominasi cat putih bersih berbalut kelir biru yang terlihat elegan.

Jadi terang saja, tanpa perlu masuk sekali pun, aku bisa dengan jelas memandang jendela kamar ya yang masih menampilkan terang cahaya, pertanda Hani belum tidur. Bagaimana aku tahu? Ya karena Hani itu enggak akan bisa tidur kalau lampu kamarnya masih nyala.

Nah tapi.. ini juga bikin aku jengkel dikit nih, mesin si kopet ini kan belum aku matikan ya, harusnya Hani dengar dong, seenggaknya keluar gitu, ngintip kek dari jendela. Masa iya aku harus ngetok-ngetok? Biasanya juga sebelum aku ngetok pintu dia udah keluar nyamperin kok. Tapi ini udah dua menit empat puluh dua detik aku tiba di sini, tapi kok enggak ada yang nyambut ya?

Positive thinking ajalah, mungkin dia lagi di kamar mandi yekan.. yaudahlah aku tunggu aja, kalau dia enggak keluar-keluar ya tinggal aku bbm atau telfon sekalian. Hidup ini simple kan?

Oke.. tunggu berapa menit ya? Hhhmm.. lima menit deh, lima menit dia enggak keluar aku telfon.

Sembari menunggu, enak nih kayanya kalau rokok-an, dari bangun tadi aku kan belum ngerokok. Aku pu mematikan mesin motorku, membuka helmku, dan menyetandarkan motorku. Aku bersiap merogoh saku celanaku sampai tiba-tiba pintu rumah Hani terbuka pelan, membuatku mengurungkan niatku dan segera menatap lamat-lamat dengan senyuman.

Pasti mukanya Hani cemberut bebek nih karena masih ngambek, tapi enggak apa-apa, nanti setelah minta maaf dia pasti maulah maafin aku. Namun setelah pintu tersebut terbuka sepenuhnya, bukan sosok Hani yang kudapati muncul di sana, melainkan Mamahnya yang menatapku dengan senyuman.

“Nggannnnn…” Ujar beliau seraya berjalan mendekat ke arah pagar.

“Malam Mah-Hani..” Sapaku dengan mengumbar senyum juga seraya turun dari motor. Oh iya, Mah-Hani itu maksudnya ‘Mamah Hani’, aku biasa manggil Mamahnya Hani ya begitu, Mah-Hani, soalnya ribet aja kalau harus manggil Mamah Hani, enakan begitu, dan memang udah jadi kebiasaanku sih.

“Nggan mau ketemu Hani ya?” Tanya Mamah Hani seraya membuka pagar, bersamaan itu aku mencium tangan beliau.

“Iya Mah.. Hani-nya ada kan?” Tanyaku antusias.

“Hhhhmm.. Haninya udah tidur Nggan..” Jawab Mamah Hani dengan raut wajah berat sekali mengatakan itu. Dan seperti reflek alami, mataku lekas melirik ke jendela kamar milik Hani, dan ternyata kamar Hani lampunya sudah padam, tak seperti beberapa menit yang lalu ketika aku memandang ke arah yang sama.

Dan aku seperti merasa dejavu dengan situasi ini, seperti mengulang kejadian di rumah tadi dengan Teh Arum. Dimana kejadian nya memiliki dua kesamaan identik, mematikan lampu kamar yang tadinya menyala ketika mengetahui bahwa aku datang untuk menghaturkan kata maaf.

Rasanya.. entahlah.. tapi yang jelas munafik jika aku bilang aku biasa aja. Ini seperti aku datang bertamu, tapi pemilik rumahnya malah membanting pintu tepat di depan wajahku. Bohong kalau aku bilang aku baik-baik aja dan enggak ngerasa sedih.

“Mmmm.. yaudah enggak apa-apa Ma.. kalau gitu Nggan pamit deh.” Ucapku dengan perasaan getir sendiri, dan sepertinya rasa itu sampai jua ke hati Mamahnya Hani, sebab beliau pun menampilkan raut kesedihan kepadaku.

“Nggan enggak masuk dulu? Biar Mamah bikinin teh anget.” Ujar Mamahnya Hani dengan wajah seperti merasa bersalah.

“Makasih Mah-Hani, tapi Nggan langsung balik aja. Soalnya Nggan ke sini niatnya kan mau ngobrolin sesuatu sama Hani, tapi kayanya Hani lagi enggak mao ngobrol dulu sama Nggan.” Sahutku dengan senyuman mengembang seraya kembali mencium punggung telapak tangan Mamahnya Hani. Beliau menatapku dengan tatapan sendu penuh empati.

“Yaudah Mamah enggak bisa maksa. Tapi Nggan hati-hati di jalannya nanti, jangan ngebut ya.” Pesan Mamah Hani seraya mengelus lenganku, aku tersenyum lebih lebar lagi, dan menganggukkan kepalaku seraya mengacungkan jempolku, kemudian aku kembali menaiki Si Kopet.

“Jangan marah sama Hani ya Nggan..” Ucap Mamah Hani lembut ketika aku tengah mengenakan helm.

“Enggak akan lah Mah..” Tukasku dengan wajah yang terus kubuat tersenyum. Segera kuengkol kembali Si Kopet, kutarik koplingnya ke dalam, bersiap mengikuti arah angin malam ini lagi.

“Nggan pamit ya Mah..” Aku berkata sembari menganggukkan kepala dan memasukkan perseneling, Mamah Hani memugar senyum berat, namun tetap diberikan anggukan yakin.

“Maafin Hani ya..” Sahut Mah-Hani ketika aku hendak melepas koplingku, aku mengangguk, melempar senyum yang langsung berbalas dengan senyuman, kemudian mulai menarik gas motorku, berlalu meninggalkan areal depan halaman rumah Hani tanpa melirik spion lagi.

Dan entah mengapa, ada rasa sesak yang perlahan menghambat laju napasku, pun rasa sesak itu entah mengapa ikut membuat gig-gigiku terkatup rapat dan keras. Kemudian tanpa kutahu mengapa, kurasakan bening-bening kaca mulai membasah dan mengendap di ambang bola mataku. Sialan..

Aku enggak cengeng ya! Tolong jangan salah sangka, mataku ini Cuma perih aja kena angin dan debu jalanan karena kan aku ngebut abis ini. Lagian mana mungkin sih aku berlinangan air mata Cuma karena diginiin sama kaum hawa? enggak ada kamusnya itu, enggak ada!

Srrreeerrrpp.. Sialan.. mendadak kok pilek sih! Bajigur..

*

Treeng.. treng.. treng.. teng teng teng.. Tekkk..

Aku mematikan mesin Si Kopet seraya menghela napasku dalam-dalam, sialan ini. Mendadak kok hidungku jadi diserang pilek enggak karuan gini ya? Wuasem banget ini.

“Bahhh.. tumben Den.. baru tadi siang ke sini, eh udah balik lagi aja..” Tegur Pak Karim seraya berjalan mendekatiku, iya Pak Karim.. ituloh penjaga jembatan gantung yang tadi siang aku temui pas mau nyebrang ke warung soto ceker sama Dira.

“Hehehe.. Iya Pak, tadi siang ada yang ketinggalan soalnya.” Jawabku sopan seraya melepas helmku dan turun dari motor, kemudian aku menyalami Pak Karim seraya menyerahkan kunci motor kepadanya. Berbasa-basi sebentar, lalu mulai berjalan meniti jembatan gantung yang sudah sepi pengguna ini.

Dan iya lagi.. karena kepalaku mumet suremet di jalan, aku tanpa sadar malah ngegas Si Kopet ke ujung selatan kota. Membuatku `pada akhirya memutuskan untuk sekalian saja ke warung soto-nya Budeh. Bukan karena lapar sih, karena entah mengapa karena sikap-sikap ‘keji’ dari dua perempuan manis kepadaku malam ini, membuat nafsu makanku entah mengapa hilang dan pergi entah kemana. Jadi niatku sih ke sini Cuma buat ngambil flanelku yang tertinggal tadi siang, ya sekalian ngisi perut dan cuci mata sih. Tapi catat ya, aku ngisi perut pun Cuma buat formalitas aja, enggak laper, Cuma biar lambungku enggak berontak aja.

Kakiku terayun lemah, menatap cahaya samar dari lampu bohlam kuning yang menerangi satu areal di seberang sungai, areal warung soto milik Budeh. Lalu kualihkan pandanganku pada langit yang berawan seharian ini, meresapi angin yang bertiup menggerakkan jembatan gantung tua ini, juga menggerakkan helai-helai rambutku. Huhhhh.. napasku rasanya sesak tiap mengingat kejadian demi kejadian hari ini, utamanya kejadian selepas bangunku malam ini, rasanya nyelekit kaya gimana gitu, tapi dikit.. enggak banyak-banyak nyelekitnya.

Aku semakin memperlambat langkahku ketika berada di titik tengah jembatan gantung ini, kukeluarkan rokokku dan kusulut sebatang untuk mengentaskan resah dan gelisah yang melingkupi ruang dadaku saat ini.

Fyuhhh..

Kuembuskan asap rokok tinggi-tinggi ke udara, langsung hilang di sapu angin malam yang menyusuri sungai gelap minim cahaya ini. Masalah banget sih rasanya ini tuh. Dua perempuan, dua kesamaan, sama-sama menangis karenaku.

Meski seharusnya ini bukanlah masalah berat, Cuma perkara diambekkin dan dimarahin perempuan, gimana ya.. dibilang ringan juga.. enggak ringan sama sekali. Buktinya napasku nyesek-nyesek nyelekit kaya gini karena dikungkung rasa bersalah yang kian menjadi-jadi.

Duh Gusti.. gini amat ya jadi laki-laki..

Meski melangkah dengan pelan dan penuh kegusaran, pada akhirnya aku sudah meninggalkan lantai kayu jembatan gantung tersebut, menapaki tanah yang dilapisi batu-batu kali yang ukurannya kecil-kecil sebagai pengganti aspal, melangkah menuju warung soto yang entah kenapa, sering kali menjadi tempat tujuanku di tiap suntuk dan kalutku. Entahlah, mungkin karena tempatnya yang asri dan jauh dari keramaian jalan raya, atau memang suasana bangunannya yang menguarkan aroma pedesaan, atau sedap kuah sotonya yang tiada tanding seantero wilayah, atau malah karena pemiliknya yang selalu bisa menyegarkan mata dan pikiran.

Suasana warung malam ini cukup ramai, seluruh meja hampir full terisi oleh pelanggan, dari mulai keluarga, pasangan muda-mudi, hingga anak-anak muda yang asik bersenda gurau bersama kawan. Aku pun terus berjalan hendak menuju meja pemesanan, sekalian mesen makan dan sekalian mau nanya keberadaan flanelku, karena enggak mungkin flanelku masih ada di meja yang tadi siang kujadikan tempat bertukar percakapan dengan Dira, pasti sudah diamanin.

Namun belum genap aku sampai untuk memesan, seorang lelaki yang kutahu adalah salah satu pelayan di warung soto ini menghampiriku, namun tak seperti pelayan lain yang tengah sibuk mengantar pesanan-pesanan tamu, mas di depanku ini sepertinya mau pergi, soalnya dia pakai jaket boomber dan membawa plastik putih besar gitu.

“Wah Mas-nya mau ngambil sweaternya ya?” Tanya Mas pelayan itu padaku.

“Tau aja Mas.. tapi bukan sweater, kemeja flanel Mas..” Jawabku dengan senyuman kecil.

“Iya itu pokoknya.. yang kotak-kotak kan?” Tanyanya lagi memastikan. Aku pun menjawabnya dengan anggukkan kepala saja.

“Tapi sweaternya udah enggak ada Mas, tadi dibawa Budeh pulang. Mau dicuci dulu katanya, soalnya tadi sempet ketumpahan jus pas lagi beresin meja. Maaf ya Mas..” Terangnya memberitahuku. Aku mengangguk-angguk kecil seraya melebarkan senyumku.

“Enggak perlu minta maaf Mas.. santai aja.. saya malah makasih flanel saya udah diamanin, malah mao dicuciin segala lagi, jadi enggak enak saya..” Ucapku santai, Mas itu pun tersenyum dan kembali mengucapkan terimakasihnya.

“Loh ini Mas-nya mao kemana? Pulang?” Tanyaku berbasa-basi.

“Oh enggak Mas.. ini mau nganter pesenan soto ke tetangga deket rumah Budeh. Sekalian mau nganterin paket pesenan bahan jamu Budeh juga.” Jawab mas pelayan itu dengan sopan.

“Lah.. sekarang udah delivery order juga ceritanya Mas?” Tanyaku terkagum-kagum, karena jujur aku baru tahu kalau warung soto ini bisa delivery order juga.

“Ah enggak kok Mas.. cuma kata Budeh ada tetangganya lagi ngidam soto, tapi suaminya lagi dinas ke luar kota, jadi enggak ada yang beliin.”

“Oh gitu.. kirain udah bisa delivery order kaya pizza-hot” Kekehku kecil.

“Sebenernya sih dari sore tadi disuruh sama Budeh buat nganterin sotonya, Cuma ya pelanggan lagi rame, jadi baru bisa sekarang.”

“Loh ini juga masih rame kan Mas?” Tanyaku lagi melihat suasana warung yang memang lumayan ramai, dan sepertinya juga pelayan-pelayan di sini enggak berhenti wara-wiri mengantar pesanan makanan dan minuman.

“Iya sih Mas.. lagi keteteran sebenarnya. Cuma ya gimana.. enggak enak juga kalau masih dientar-entarin, orangnya lagi ngidam kata Budeh. Udah gitu, saya takut nanti dimarahin Budeh kalau nganternya kemaleman, ini aja.. tadinya saya ama temen-temen mau bilang entar-entaran dulu nganternya karena rame, tapi sama Budeh enggak dibales, kayanya marah hehehe.” Jawab Mas pelayan tersebut dengan wajah sedikit merengut, sepertinya sih dia juga enggak tega ninggali temen-temennya yang lagi pada berjuang.

“Gini aja deh Mas.. sebagai tanda terimakasih saya karena flanel saya udah diamanin dan malah mao dicuciin juga, biar saya aja yang nganter ini. Mas lanjut aja di sini. Gimana?” Aku memberikan saran kepadanya, saran itu tulus loh dari dalem hatiku. Karena memang aku juga sebenarnya belum nafsu-nafsu makan banget, terlebih melihat ramainya tempat ini, jadi bikin nafsu makanku ikut turun juga.

“Aduh gimana ya Mas.. saya enggak enak ah, takut ngerepotin Mas-nya..” Tolaknya halus ragu-ragu, tapi sebagai seorang pemuda yang berbudi luhur, baik, pandai dan rajin menabung, adalah hal biasa untukku membantu kesulitan orang lain. -anjay.. nyombong- hahaha

Tapi aku serius ini, aku beneran pengen bantu aja, karena ya.. sebagai pelanggan tetap dan setia, ringan aja bagiku untuk menyelesaikan perkara ini. Karena bukankah meringankan beban orang lain adalah suatu hal yang baik untuk dilakukan?

“Alah kaku aja Mas.. udah sini enggak apa-apa, saya aja yang nganter. Lagian saya juga lagi magabut ini, jalan-jalan enggak jelas doang dari tadi.” Aku meyakinkan tawaranku seraya mengulurkan tangan padanya, dan pada akhirnya Mas pelayan pun menyerah, ia berikan plastik putih besar itu kepadaku.

“Duh Mas.. ini beneran makasih banget Mas.. makasih banget mas.. mas bener-bener udah nyelametin saya ama temen-temen. Makasih banget ya Mas.. nanti saya janji, kalau Mas ke sini lagi, saya bakal traktir deh.” Ucapnya bersemangat seraya berkali-kali membungkukan punggungnya.

“Bisa di atur itu mas.. yowis.. ini saya jalan yo..” Ujarku dengan senyuman seraya hendak berbalik, namun oleh Mas itu aku segera ditahan. Loh.. ini dia berubah pikiran apa gimana? Atau dia enggak percaya padaku?

Atau jangan-jangan dia berpikir kalau nanti aku akan menyabotase soto yang aku antar ini? Membubuhi racun yang membuat siapapun yang makan akan mengalami mencret-mencret? Terus nama mentereng warung soto ini akan merosot setelahnya karena dituduh menjual makanan beracun. Wah.. parah banget sih kalau sampai dia mikir gitu.

“Kenapa lagi Mas? Tenang.. saya bakal pastiin soto ini sampai kepada penikmatnya dengan selamat, dan enggak akan saya otak atik di jalan nanti.” Ujarku menenangkan mas itu, namun malah dia meresponku dengan tawa kecil.

“Bukan gitu Mas.. saya Cuma mau nanya aja, emang Mas-nya tau rumah Budeh dimana? Kalau enggak tahu bahaya mas.. bisa-bisa bayi tetangganya budeh lahir ileran nanti hehehe”

Aku menepuk pelan jidatku karena sok tahu, udahan mah pake sagala negatif thinking lagi. Duh.. sotoy banget emang aku ini.

“Sek bentar yo.. ta’ tulisin..” Ucap Mas itu dengan logat asli daerahnya seraya berlalu dari hadapanku.

Tak lama dia sudah kembali sembari membawa selembar kertas berisikan dua alamat rumah, satu rumah pemesan soto ini, satunya lagi alamat rumahnya Budeh. Dan setelah kulihat nomornya sih, enggak kepaut jauh, berarti emang beneran tetangga deketnya budeh. Tapi memang jarak rumahnya Budeh ini lumayan sih kalau dari sini, bisa ngabisin lima belas menitan kayanya. Tapi ya sudah, gini doang mah gampang buatku.

Tak lupa Mas itu juga mejelaskan bahwa di dalam plastik yang kutenteng sekarang ini, ada pesanan bahan-bahan jamu dari Budeh. Dan setelah kulongok sedikit, memang isi plastik ini didominasi oleh plastik-plastik bening berisikan aneka tanaman herbal, ada jahe, dan beberapa kantong lain yang aku enggak kenal namanya.

Setelah berbasa-basi dan meladeni ucapan terimakasih dari Mas tesebut, aku pun segera berlalu dan melangkah tegas menuju jembatan gantung, menyebranginya tanpa perlu meresapi angin malam yang bertiup dari hulu, dan langsung menuju motorku. Tak lupa kuberikan selembar uang sepuluh ribuan kepada Pak Karim sebagai tanda terimakasih karena telah menjaga motorku, dan juga sekalian biaya titip motor sih hehehe.

Setelah pamit pada Pak Karim aku pun segera menjalankan Si Kopet meninggalkan areal dekat jembatan gantung tersebut, menuju ke satu daerah yang tak seberapa jauh dari sana, ke sebuah daerah yang letaknya berada di keluharan sebelah. Aku memacu motorku dengan santai saja, karena memang aku enggak melewati jalan utama, melainkan lewat jalan-jalan kampung yang tak seberapa lebar. Gila aja kalau aku ngebut-ngebut, bisa disambit sendal aku karena knalpot bising punya Si kopet ini.

Dan setelah lima belas menit (sebenarnya lebih tepat disebut dua puluh menit kurang sedikit), aku pun tiba di daerah tujuanku. Daerahnya lumayan masih asri loh, karena memang antara daerah ini dengan jalan raya utama dibatasi oleh rel kereta api besar, jadi bisa aku bilang sih, daerah ini terisolasi oleh rel kereta api tersebut.

Di daerah sini juga masih banyak pohon, Cuma memang bukan pohon-pohon tinggi seperti di daerah warung soto tadi. Dan setelah memutar sana-sini, aku pun akhirnya menemukan RT/RW di mana alamat yang kutuju berada, (RT/RW kelurahan ini ternyata acak dan enggak berurutan, makanya aku butuh waktu lebih, aku bahkan harus bertanya beberapa kali).

Untungnya sih nomor rumah di sini berurutan, jadi mudah bagiku untuk menemukan rumah dari pemesan soto ini. Dan setelah ketemu, aku pun lekas menepikan motorku, memanggil-manggil dan berseru dari luar pagar dengan kencang. Dan terdengar sahutan dari dalam sana yang memintaku untuk menunggu sebentar, dan tak lama seorang ibu-ibu dengan jilbab besar keluar.

Tapi kok perutnya enggak buncit ya? Katanya hamil kan tadi? Apa jangan-jangan bohong ya? Hhhhmm.. eh bentar, kan masa ngidam orang hamil itu ada di awal-awal kehamilan ya kalau enggak salah? Hhhhmm.. berarti ini bukan sandiwara, akunya aja yang negatif thinking terus.

“Bu Rina ya?” Tanyaku sopan seraya melepas helmku, dan mendekat ke pagar rumah yang tingginya hanya sedadaku, beliau pun mengangguk dan menanyakan maksud kedatanganku.

Aku pun menyampaikan maksud kedatanganku, dan menjelaskan bahwa warung sedang ramai, jadi baru bisa dianter sekarang. Dan kalian tahu betapa tiba-tiba wajah Ibu itu langsung berseri ketika aku menyodorkan bungkusan plastik soto kepadanya.

“Ya ampun Mas.. aku kira enggak akan dateng sotoku.. soalnya Dek Sekar aku telfonin enggak diangkat-angkat.. “ Serunya bahagia setengah melompat-lompat histeris, hal yang langsung membuatku ngilu karena membayangkan janin yang tengah ia kandung di dalam perutnya saat ini. Oh iya.. Sekar itu namanya Budeh.

“Iya bu Sama-sama.. udah jangan lompat-lompat begitu Bu, saya jadi ngilu.. takut janinnya kenapa-kenapa..” Ujarku panik pada Ibu hamil yang kutaksir umurnya sudah setengah baya, dan itu juga sebenarnya membuatku mikir sendiri, ini kok udah Ibu-ibu banget, bahkan kayanya lebih tua dari Budeh, mungkin umurnya udah mendekati kepala 5, itu tadi dia aja manggil Budeh dengan sebutan Dek, berarti bener sih Ibu ini umurnya pasti lebih tua dari Budeh.

Eh tapi kok masih bisa hamil ya? Jos gandos banget kayanya suaminya. Enggak KB emangnya dia ya? Dan yang terpenting.. emangnya belum monopouse gitu?

Ealah.. kenapa aku jadi mikirin dan ngurusin itu.. bukan urusanku juga..

“Hehehe iya mas maaf.. saking senengnya.. makasih ya.. maaf ya jadi ngerepotin.. se’, ini uangnya..” Ibu tersebut menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan kepadaku, namun seperti amanat dari Mas pelayan tadi, yang mengatakan bahwa aku harus menolak uang pembayaran dari Ibu ini, aku pun melaksanakan amanat yang diamanatkan kepadaku.

“Enggak usah Bu, lagian saya bukan pegawai nya kok, Cuma pelanggan aja. Tapi kebetulan emang saya mau ke arah sini, jadi saya tawarin buat nganter. Mas-nya juga bilang, kalau ini gratis buat Ibu, buat calon bayi Ibu tepatnya.” Ucapku dengan senyum mengembang.

“Oh pantes.. aku kira Masnya pegawai baru, soalnya aku enggak pernah liat.. tapi enggak apa-apa, ini diambil aja, itung-itung buat bensin Masnya aja kalau gitu..” Ibu itu masih memaksakan aku untuk menerima uangnya, namun tentu saja aku punya seribu cara untuk membujuknya, dan pada akhirnya ia pun menyerah, tak melanjutkan paksaannya.

Namun meski begitu, ia tak henti-hentinya mengucapkan terimakasih. Bahkan ia menawarkanku untuk mampir sejenak, ingin dibuatkan minum. Namun tentu saja aku tolak, karena aku masih punya tanggung jawab untuk mengantar barang Budeh yang masih tersangkut di stang motorku.

Aku pun undur diri, pamit, namun tentu saja aku meminta tolong untuk diberitahukan rumah Budeh yang mana. Dan dengan senang hati Ibu itu pun menunjukkan arah ke rumah Budeh, yang ternyata masih cukup jauh. Katanya di pertigaan gang depan aku suruh belok ke kiri, terus enggak jauh ketemu kebun pohon pisang di kanan jalan, disuruh pelan-pelan, nanti katanya ada jalan kecil yang dipelur untuk memasuki kebun pisang itu, nah kata Ibu itu juga, kebun pisang itu ya punya-nya Budeh, dan rumahnya Budeh terletak di bagian tengah kebun pisang itu.

Oke, cukup jelas sih arahannya. Aku pun pamit dan mengikuti petunjuk dari Ibu tadi. Dan treng treng treng teng teng knalpot Si Kopet kubuat sehalus mungkin, akhirnya aku menemukan jalan peluran yang dimaksud tadi, segera saja aku belokkan motorku dan menyusuri jalan itu, melewati bagian tengah kebun pisang yang rindang-rindang dan lumayan tinggi.

Sumpah.. ini kalau aku orangnya takutan sama hantu, pasti udah parno nih. Ini loh remang-remang banget, Cuma dikasih lampu bohlam kuning aja, itu pun udah redup. Ya berdoa aja enggak ada pocong yang lagi kosplay jadi pohon pisang di sini hiihihi

Dan benar seperti kata Ibu tadi, rumah Budeh ada di bagian tengah kebun ini, agak menjorok ke dalam memang. Rumahnya enggak bisa dibilang kecil, namun juga enggak bisa dibilang besar banget, sederhana saja, namun terlihat proposional. Dengan balutan cat warna putih pudar yang dipadukan dengan kelir abu-abu. Keren sih menurutku, adem aja gitu.

Aku pun segera mematikan mesin motorku sebelum benar-benar mendekat ke bagian depan rumah Budeh yang memiliki teras kecil tanpa atap itu, rumahnya sih masih terang, berarti Budeh belom tidur nih. Aku pun memarkirkan motorku tepat di depan teras.

Ini kok sepi banget ya tapi? Aku ketuk langsung apa gimana ya? Hhhmm.. perkara gitu aja aku pikirin segala, bikin mumet aja. Ya diketuklah sambil dipanggil biar orangnya keluar.

Aku pun turun dengan dan menyambar plastik di stang motorku. Namun ketika aku melirik bagian sekeliling halaman rumah Budeh, aku mendapati sebuah motor berplat merah terparkir di pojok halaman, tepatnya sebuah motor honda WIN100 berwarna hitam dengan kelir orange.

Hhhhmm.. motor siapa ya itu? keren juga, tapi jelas kerenan RX-King aku lah. Enggak ada lawan ini hehehe

Atau mungkin itu motor suaminya Budeh, tapi kok aku enggak pernah ngeliat motor itu ketika makan di warungnya ya? Lagian aku juga perasaan enggak pernah liat suaminya Budeh di warung. Karena selama ini, yang kuperhatikan pegawai di warung soto Budeh rata-rata perempuan, kalau pun ada laki-laki, itu juga masih pada muda-muda. Enggak pernah kulihat ada lelaki sebaya Budeh membantu di warung.

Hhhmm.. tapi bisa jadi sih, mungkin suaminya Budeh sibuk, karena kalau dilihat dari motornya, berarti suaminya Budeh ini pegawai pemerintahan. Ya.. mungkin sering ke warung, Cuma pas aku lagi enggak ke sana aja.

Ah.. apaan sih, kok aku malah mikirin tentang suaminya Budeh coba? Urusan banget dah.

Aku pun melepas sandalku, dan melangkahkan kakiku mendekat ke pintu, lalu kuketuk tiga kali pintu berbahan kayu jati itu.

TOK.. TOK.. TOK..

“Permisi..” Aku berseru seraya berdiri menatap ke sekeliling, asik juga nih kalau punya rumah di tengah kebun pisang kaya gini, pasti kalau siang adem banget ini. Asli..

Aku menunggu beberapa saat, tapi kok enggak ada jawaban dari dalam ya? Apa enggak kedengaran ya? Coba aku ketuk lagi deh.

TOK.. TOK.. TOK..

“PERMISI..” Aku lantangkan suaraku agar lekas didengar. Dan kembali aku berdiri sembari mengamati cicak-cicak yang bermain di sekitaran lampu, cicak-cicak itu tengah asik memburu serangga-serangga kecil yang terbang mengelilingi lampu.

Dan ketika aku tengah memperhatikan cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap, tiba-tiba terdengar suara kuncian pintu terbuka. Dan perlahan-lahan daun pintu di hadapanku bergerak, terbuka dengan lambatnya, kemudian seorang Bapak-bapak berambut botak di depan dan berperawakan gendut agak pendek lengkap dengan perut membuncit besar khas bapak-bapak berumur, muncul di hadapanku. Ia mengenakan sarung dan kaos oblong warna putih yang agak kekecilan, membuat bagian bawah perutnya terlihat mengintip dengan menjijikannya.

Ia juga hanya membuka pintu rumah ini setengah, dengan wajahnya yang ditekuk enggak ramah gitu. Dan yang bikin aku agak risih, dia itu memandangiku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Tatapannya.. hih.. kaya enggak suka gitu. Asli.. ini suaminya Budeh kayanya sih, dan kayanya dia enggak berbakat buat nyambut tamu deh.

“Cari siapa ya Mas?” Tanyanya ketus dengan wajah ditekuk, aku mencoba tetap profesional dan menyajikan senyum untuknya.

“Ini Pak.. saya mau nganter ini buat Budeh, tadi dititipin sama salah satu pegawai nya yang di warung..” Ucapku seraya mengangkat plastik bawaanku, menunjukkan kepadanya.

Sejenak suami Budeh pun menatapku dengan penuh kecurigaan, sebelum akhirnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya.



“Yaudah biar titip gua aja, bini gua udah tidur soalnya..” Ucapnya ketus, udah gitu pake gua lagi ngomongnya, luar biasa sopan untuk seorang penyambut tamu memang. HHhhmm.. namun meski begitu aku tetap menyajikan senyumku. Kemudian aku pun menyodorkan plastik bawaanku.

Tapi meski begitu, suami Budeh ini enggak langsung diterima, ditatapnya dulu plastik itu dan aku secara bergantian, seolah curiga bahwa isinya adalah bom rakitan.

Sumpah sih.. suaminya Budeh enggak asik ah, males..

“Oke.. makasih..” Ucapnya ketus saja seraya mengambil plastik di tanganku, dan aku melepaskan plastik tersebut seraya melongokkan pandanganku ke arah dalam, sedikit berharap bahwa Budeh muncul dan say hello kepadaku.

“Ada lagi yang mau disampein Mas? Kalau enggak ada gua mau istirahat soalnya..”

Busetdah.. to the point banget ya suaminya Budeh ini. Diusir loh aku ini, gila.. sumpah sih.. bener-bener enggak berbakat nyambut tamu. Enggak worth it, ini kalau bantuin Budeh ngelayanin soto di warung gimana ya? Pasti pelanggan langsung pada males sih asli.

“Oh iya itu aja Pak, kalau gitu saya pamit ya Pak.. mari..” Ujarku sopan seraya memundurkan langkah, dia pun menganggukkan wajah seraya mulai menutup pintu di hadapanku tanpa menungguku pergi dulu. Sialan lah.. enggak asih banget sih.

Hingga ketika pintu di hadapanku hampir tertutup sepenuhnya, tiba-tiba..

“HOWOOOONGG!!!! HOWOOOONGGGG..”

Aku terkejut dan langsung menghentikan langkahku ketika sebuah teriakan parau terdengar dari dalam rumah, suara itu memang enggak terdengar jelas mengucap apa, namun dengan cepat kinerja otakku memperoses teriakan itu sebagai sebuah suara meminta pertolongan! Dan tentunya aku sangat kenal dengan suara itu. Itu suara Budeh! Dan tiba-tiba wajah Bapak-bapak di hadapanku pun menampilkan raut kaget dan panik, hingga aku sadar, bahwa ada yang enggak beres di sini.

Dengan kecepatan hampir mendekati cahaya, otakku mulai memproses informasi yang sebelumnya enggak terlalu aku pikirin. Pertama, mas pelayan di warung tadi bilang kalau Budeh enggak bales komunikasi mereka, karena dikira marah. Kedua, Ibu yang tadi sotonya ku antar juga bilang kalau Budeh enggak bisa dihubungin, karena dikira udah balik ke warung, dan kondisi warung lagi rame. Sekarang, di sini aku mendapati suara minta tolong dari Budeh melengking keras, membuatku reflek langsung menahan pintu yang sudah hampir berhasil ditutup keseluruhan.

Adu dorong antara aku dan Bapak itu pun tak terelakkan, ia seperti memiliki tenaga badak yang begitu kuat, membuatku harus benar-benar mengerahkan seluruh tenagaku untuk menahan agar pintu ini enggak ketutup seluruhnya, karena kalau itu terjadi, dia pasti bakal langsung mengunci pintu ini, dan itu bakal makan waktuku lagi buat ngedobrak ini nanti.

“Howooongg..” Kembali suara minta tolong Budeh terdengar, namun kali ini sudah lebih pelan dan jauh lebih lirih, pelafalannya juga enggak sempurna, membuatku benar-benar merasa pasti tengah terjadi sesuatu yang enggak baik sama Budeh kali ini.

Dan entah bagaimana ceritanya, aku merasakan seperti ada sesuatu yang melaju cepat dari inti teradalam diriku, melesat naik, membuatku langsung berhasil mendorong pintu di hadapanku dengan kerasnya dalam satu kali hentakan, membuat pintu itu terbuka dengan lebar dan Bapak tadi terjengkang ke belakang sampai menghantam tembok.

Seolah enggak peduli dengan kesopanan dan tata krama, aku langsung berlari masuk ke dalam seraya mengikuti suara Budeh yang terus terdengar lirih dan lemah, hingga telingaku berhasil mengidentifikasi arah suara itu, yang berasal dari salah satu kamar di bagian tengah rumah ini. Aku bergegas menuju kamar itu, dan langsung membuka pintu kamar itu.

Dan ketika pintu kamar itu sudah terbuka sepenuhnya, aku pun langsung terpaku diam, mematung dengan seribu bahasa kebisuan, terkaget sekaget-kagetnya pada apa yang tengah kusaksikan saat ini.

Gimana enggak kaget, di hadapanku saat ini, di sebuah ranjang dipan kayu dengan ukiran kayu besar di bagian kepalanya. Aku mendapati Budeh terlentang dengan pakaian yang bisa dibilang hampir tanggal dari tubuhnya. Kedua kakinya terikat di masing-masing sudut ranjang, membuat posisi kaki Budeh merenggang memamerkan bagian bawah tubuhnya yang udah enggak tertutup apa-apa. Polos sepolos-polosnya, memamerkan -maaf- kemaluan Budeh yang tampak gemuk dan berbulu halus dengan sejelas-jelasnya.

Tak seperti biasanya, kali ini tak ada kain jarik yang biasa Budeh kenakan ketika melayani pelanggan-pelanggan di warung, tertanggal entah kemana. Bangsat.. kenapa bisa kaya gini coba?

Dan yang membuatku sedikit terhenyak karena payudara Budeh pun terpampang jelas di mataku saat ini, entah di mana kebaya yang biasa Budeh kenakan. Yang ada kini hanyalah sebuah kaos dan bra yang disingkap paksa ke atas, tersangkut di bawah lehernya, memamerkan perut berisi Budeh yang dihiasi sepasang payudara putih yang sedikit terjepit kaos dan branya sendiri.

Kedua tangan Budeh pun terikat jadi satu di atas kepala, dikat pada kayu sandaran ranjang.

Sungguh.. mataku membelalak lebar, pikiranku berkejaran dengan cepat, bukan karena pemandangan tubuh molek Budeh yang selama ini sering menjadi bahan imajinasiku terpampang gratis, melainkan karena aku bingung dengan keadaan ini, kenapa bisa seperti ini? Kenapa Budeh bisa terikat kaya gini?

Mataku dan mata Budeh pun bertemu, tatapannya begitu sayu dan lemah tak berdaya. Ia memamerkan raut kaget karena keberadaanku, namun dengan cepat berubah menjadi tatapan berbinar, mungkin karena pada akhirnya ada seseorang yang akan datang menyelamatkannya.

Aku memang mengakui, bahwa selama ini aku sering berimajinasi tentang tubuh molek Budeh dibalik balutan kain dan kebayanya, namun aku benar-benar enggak pernah berharap kalau aku bakal mendapatkan pemandangan indah tersebut dalam kondisi dan situasi seperti ini. Sungguh.. miris rasanya melihat Budeh dalam posisi hampir telanjang bulat seperti ini.

Ditambah ada sebuah kain atau pun selendang kecil yang diikat di bagian mulut Budeh, membuat bagian tengah selendang tersebut masuk ke dalam rongga mulut Budeh. Membuat mulut Budeh harus terbuka lebar layaknya korban-korban penculikan di film-film laga. Dan aku baru sadar, bahwa kain itulah yang membuat teriakan minta tolong Budeh terdengar enggak jelas tadi.



“Howwoongg..” Ucap Budeh lirih tersamar sumpalan kain dengan air mata yang mengucur dari sudut kelopak matanya, dan itu langsung menyadarkanku dari keterkejutanku, keterpanaanku, keterpakuanku dan semacamnya itu yang telah membuatku berdiam dalam bisu.

Aku pun menepiskan sejenak kebingunganku, mengalihkan mataku dari tubuh Budeh, seraya mengeluarkan Si Davis dari saku celanaku, hendak melakukan panggilan darurat pada pihak berwajib.

Sejak dulu, aku memang selalu menyimpan nomor-nomor darurat di kontak handphoneku. Di antaranya adalah nomor darurat pihak kepolisian, nomor darurat untuk ambulance, nomor darurat piham pemadam kebakaran, dan lainnya. Ayah yang mengajarkanku tentang ini, karena menurut Ayah sewaktu-waktu pasti akan berguna. Dan seumur-umur aku memiliki handphone, aku sudah beberapa kali melakukan panggilan darurat.

Seingatku aku pernah menelpon ambulance dua kali ketika mendapati pengendara kecelakaan, dan satu kali menelpon pihak pemadam kebakaran ketika sebuah komplek ruko yang tak jauh dari sekolahku kebakaran. Dan ini kali pertamanya aku akan melakukan panggilan darurat untuk menghubungi pihak kepolisian. Sebab dari yang aku perhatikan ketika menuju ke rumah Budeh tadi, rumah ini berada di tengah kebun, dan jauh dari tetangga, rasanya akan butuh waktu lama jika aku berteriak-teriak meminta pertolongan, apalagi ini sudah malam, kemungkinan tetangga terdekat dari sini pun sudah tertidur sepertinya.

Namun dari nomor-nomor darurat yang tersimpan di handphoneku, keseluruhannya rata-rata hanya berupa tiga digit nomor saja. Ambulance dan pemadam kebarakaran misalnya, nomornya hanya tiga digit saja, tapi berbeda dengan nomor darurat pihak kepolisian yang langsung diberikan oleh Ayah. Karena nomor darurat pihak kepolisian bukanlah deretan tiga digit angka saja, melainkan deretan angka yang berjumlah 12, seperti nomor telepon pada umumnya.

Aku sempat bertanya pada Ayah, kenapa nomor daruratnya berbeda dengan nomor darurat pihak kepolisian yang aku ketahui, karena pihak kepolisian sendiri mempunyai nomor darurat umum sebanyak tiga digit angka, yaitu 666. Tapi Ayah hanya menjawab kalau nomor yang ini (yang 12 digit ini), adalah nomor khusus yang akan langsung menempatkan panggilanku di posisi prioritas. Ya aku sih enggak begitu peduli sebenarnya, dan Cuma sekedar mengganjal saja. Oke cukup dulu pembahasan mengenai nomor-nomor darurat ini, nanti aku lanjut.

Aku pun menekan tombol panggilan di BB-ku, mencoba menghubungi pihak kepolosian sembari kakiku melangkah cepat hendak menolong Budeh, tapi tiba-tiba mata Budeh membelalak lebar seraya kepalanya menggeleng kencang. Lalu..

PRAAANNNGG

Aku merasakan sesuatu menghantam keras kepala belakangku, membuatku terdorong dan jatuh tersungkur ke depan. Si Davis pun terlempar entah kemana sebab aku reflek menahan tubuhku supaya enggak nyusruk menghantam lantai. Aku pun hendak berdiri, namun..

BUGGHHHH

Kurasakan punggungku ditendang dengan keras, membuat tubuhku benar-benar tersungkur ke lantai dengan posisi hampir tengkurap. Setelah itu injakan demi injakan terasa bersarang di punggungku. Membuat dadaku menghantam lantai berkali-kali, tengkurap sempurna di antara pecahan-pecahan benda yang berada di kanan dan kiri posisiku. Sialan.. Aku dibokong ini ya? Bajigur ampas!

BUGHH.. BUGHH.. BUGGHH..

Napasku tersengal dan sedikit sesak sebab injakan di punggungku saat ini benar-benar menghantamku keras bak palu yang sedang menghantam paku. Shit.. udahan kepalaku spaneng bukan main, ditambah punggungku diinjek-injek kaya gini, benar-benar membuatku enggak bisa mencerna situasi.

“Mampus lu bocah! Mampus lu! Mampus! Mampus!!”

BEGHH.. BEGHH.. BEGHH..

Makian dan injakan terus diarahkan kepadaku, membuat napasku kian kembang kempis dan sesak bukan main. Sialan.. aku kenapa bodoh banget ya? Pastilah ini bapak-bapak gendut yang tadi nih, sialan..

“Heeikk.. Hupp..” Aku menahan laju napasku sejenak, kukencangkan otot-otot punggungku untuk mengurangi efek sakit dari injakan-injakan rapat nan keras di tubuhku. Kepalaku benar-benar sakit, dan punggungku benar-benar nyeri, ditambah teriakan-teriakan tersumpal dari Budeh, semakin membuatku pusing bukan main.

Wait.. Budeh? Shit!

Aku enggak boleh gini terus, mau mati aku di sini? Lagian kalau aku mati nanti Budeh gimana? Siapa yang nolong dia? Lagian.. siapa juga yang mau mati di sini yekan?

Dari itu, di detik ke sekian setelah aku tersungkur, dengan cepat aku membalikkan tubuhku, bersamaan dengan itu, kutepis kuat dan menyentak telapak kaki yang tengah melaju cepat ke arahku, kubuang kesamping dengan lengan kiri bagian luarku, membuat Si bangsat yang hendak melayangkan injakan ke punggungku itu limbung ke samping karena kakinya yang terayun.

Aku enggak menyia-nyiakan moment itu, segera kugeser dengan cepat tubuhku seraya menyapukan kaki dengan keras, menghantam betis kiri Bapak-bapak gendut yang perutnya meluber-luber itu.

BUGGHH..

BUUMM..

“Anjing!” Si babi guling itu memaki dengan emosi, tubuhnya yang dipenuhi lemak jenuh itu pun berdebum jatuh ke lantai dengan posisi menyamping. Dan aku kembali memanfaatkan moment itu, dengan tubuh yang sudah terlentang sepenuhnya, kugeser tubuhku untuk mendekat sedikit ke tubuh si lemak hidup tersebut, kemudian kuangkat kaki kananku tinggi-tinggi, hendak mencicipi seempuk apa daging berlemak yang tengah mengotori lantai kamar ini.

DDUGGG

“Bangsat!!” Kini giliranku yang memaki keras di dalam hati karena ternyata si gendut itu cukup lincah untuk menghindari hujaman tumitku, ia berguling menjauh seperti drum minyak, membuat tumitku justru menghantam ubin putih kamar ini dengan kerasnya.

Sialan! Nyeri Coyy.. untung enggak kena pecahan-pecahan benda yang berserakan di lantai, coba kalau kena, apa enggak langsung berdarah kakiku nanti.

Tapi aku enggak punya waktu buat berleha-leha meresapi rasa sakitku ini, segera kusentak tubuhku untuk bangkit dan berdiri, karena kulihat si lemak hidup itu pun sudah berdiri dengan sedikit terpincang karena sapuan kakiku yang pertama tadi, ia berdiri di antara pecahan-pecahan benda yang tadi dihantamkan ke kepalaku, sepertinya itu vas bunga yang terbuat dari keramik, dan memang ada beberapa tangkai mawar merah yang berserakan di lantai, kayanya sih itu mawar asli, soalnya lantai di mana Si Ndut ngegemesin itu berdiri kini agak mengkilap basah, pasti karena air di dalam vas bunga tadi.

Dan si gajah mini itu menatapku nyalak dengan penuh amarah, bagian depan kepalanya yang botak mulus itu mengkilap memantulkan pendar lampu LED kamar ini, membuat polusi tersendiri di bola mata rupawanku ini. Bangke banget ini, silau Coy..

Posisi berdiri kami kini berhadap-hadapan, dengan jarak sekitar dua meter lebih, dia berdiri di bagian kaki ranjang, sedang aku mundur ke bagian tengah ranjang, tepat di samping tubuh Budeh yang meronta-ronta lemah dengan teriakan-teriakan kecil. Aku memandang Budeh sejanak, ia menatapku dengan air mata yang sudah meleleh banyak, namun aku justru memberikan anggukkan kepala yakin kepadanya, seolah ingin mengatakan bahwa aku aku bakal ngelindungin dia dari se lemak jenuh keparat ini.

Setelah itu aku kembali menatap ke arah depan, seraya menggerak-gerakkan punggungku untuk meringankan rasa sakit dan nyeri akibat injakan-injakan si jahanam tadi. Kuusap juga bagian belakang kepalaku yang rasanya agak basah-basah lengket gitu, kukira hanya basah karena air dari vas bunga tadi, tapi ternyata enggak. Karena basah di rambutku itu ternyata bukan hanya karena air dari vas tadi, melainkan juga karena darah segar yang membasah dan bercampur di sana, memerah di telapak tanganku. Bajigur ini! Anjing anjing anjing..

“Kuat juga lu bocah!” Ucapnya gahar dengan kepala di gerakkan ke kanan dan kiri, seolah tengah melakukan perenggangan. Sialan ini.. aku benci banget.. bukan karena dia melakukan perenggangan seolah siap untuk menghantamku lagi, tapi karena aku benci melihat pusarnya itu mengintip dari balik kaos putih oblong yang ia kenakan. Udahan perutnya kaya kantong doraemon versi hamil 8 bulan, ditambah pusarnya dalem kaya sumur di belakang sekolah. Hilih.. geli aku..

“Jangan panggil saya bocah Paman.. saya punya nama, tapi paman enggak perlu tau. Karena saya juga enggak sudi ngasih tau nama indah saya ke orang menjijikan kaya paman!” Sahutku santai saja seraya berniat melepaskan ikatan tangan Budeh, namun rupanya ucapanku itu justru menjadi pemantik amarah dari kepiting buntal di hadapanku ini, karena seketika itu juga wajahnya itu memerah bak kepiting rebus. Tapi ini versi jumbonya.

Dia pun dengan cepatnya merangsek ke depan dengan kepalan tangan kanan terayun hendak membogem wajahku. Membuatku menunda niatanku melepas ikatan tangan Budeh, dan bersiap menyambut serangan dari si bahenol ini.

Hohoo dia pikir bakal gampang kali ya menowel pipiku ini pake pukulannya? Oh enggak semudah itu minyak jelanta! Tadi mungkin dia berhasil membuatku tersungkur karena dia main belakang, sekarang jangan harap ya!

WUSSSHH

Aku menggerakkan sedikit kepalaku ke samping, sedikit saja, dan itu sudah cukup untuk membuat kepalan tangan si botak gendut mirip patrick versi jahat ini hanya menemui ruang kosong. Namun seolah enggak mau nyerah, dia layangkan pukulan lanjutan menggunakan kepalan tangan kirinya, hendak menyasar pipi kananku yang saban hari selalu mendapat kecupan lembut dari Ibuku.

WUSSSHH

Baik saudara-saudara.. pukulan itu hanya menyasar angin, karena yang hendak dipukul malah dengan santainya memundurkan kepala. Sayang sekali, kembali menyasar angin saja saudara-saudara.

Nah hahaha.. itu moment yang pas buatku untuk..

BAAGGGHHH

“ANJING!!” Pekik si lemak jenuh seraya termundur memegangi keningnya yang baru saja kutanduk keras. Wohoho.. rasakan itu madefakahhh.. berdarah itu.. hahaha.. mantap!

Aduh duh duh.. tapi lumayan keras juga ini kepalanya si anjing ini, spaneng dikit aku, tapi ya aku tetep stay cool. Dan karena aku bukan tipe orang yang suka buang-buang waktu, apalagi harus bonyok dulu untuk mengeluarkan seluruh kekuatanku, jadilah aku maju dengan cepat dan kusarangkan injakan yang menyasar dadanya.

BUUGGGHH

“Heeikk..” Si gembyor jahara itu pun terdorong kencang ke belakang karena dadanya kuberi cap kaki berkekuatan badak dengan mantap. Karena tadi posisi kedua tangannya lagi ngelus-ngelus licin kepalanya, jadi dia enggak sempat tuh bikin blok. Entah enggak sempat apa emang enggak tau cara ngeblock serangan lawan.

Dan kembali, aku benar-benar enggak berniat buat mengulur-ngulur waktu, setelah kakiku yang tadi kugunakan untuk menjejak dadanya menapak di lantai, langsung kuputar tubuhku seraya kuayunkan dengan penuh semangat 45 kakiku yang lain, kuputar sekuat tenaga dan..

BAAGGGHH..

BRRUUKK..

Tumitku pun menyepak kepala samping si lemak jahat dengan mulusnya, membuat tubuhnya terpelanting ke samping dan langsung menghantam meja rias dengan kaca besar di sampingnya, membuat semua barang yang ada di atas meja itu jatuh berserakan. Aku yakin banget, pasti kepala si dark patrick itu keliyengan dan spaneng bukan main.

Hohoho.. rasain, dikira aku bocah biasa kali. Akuloh.. Regan Purnama Denta, yang meski aku enggak ingat kalau aku pernah ikut latihan bela diri, tapi jika meruntut keterangan Mang Diman dan mendiang Nenekku, aku ini pernah ikut pelatihan ciat ciat ciat waktu kecil.

Jadi meski ingatanku ke-reset pasca kecelakaan di bukit waktu itu, tapi ternyata bekal kemampuanku ber ciat ciat ciat enggak ikut ke-reset, dan itu ngebantu banget buat aku semasa SMP, tinggal aku asah dengan banyak latihan aja, udah cukup buat aku numbangin lawan-lawanku ketika tawuran jaman SMP dulu hahaha

Udah dulu cerita tentang ciat ciat ciatnya, kita beralih ke Si botak yang udah ngedelesor (luruh) ke lantai, posisinya kaya merangkak gitu, tangannya memegangi dada sama perutnya (itu perutnya abis kehantem pinggiran meja, pasti eneg pake banget itu ckckck).

Aku tersenyum lalu mendekat dengan santai, hendak mem-fatality si jahara ini.. memberikan finish-him yang sempurna untuk menutup latihan ringanku malam ini.

Anjay.. fatality.. finish him.. udah berasa Liu Kang aja aku ini ckckck

“Ampun… ampun..” cegahnya seraya menatapku dengan raut wajah ketakutan.

Duh ngapain lagi coba segala ampun ampun? mau nunggu apalagi sih? Aku loh mau nyarangin elbow di ubun-ubunnya. Kenapa harus disuruh nunggu coba? Kan jadi kentang ini..

Tapi ya.. okelah.. mungkin dia ada pesan-pesan terakhir sebelum aku mengirimnya ke rumah sakit yekan, abis kirim rumah sakit, terus kirim penjara deh. Eh tapi kayanya lebih enak kalau dikirim ke kuburan aja langsung ya? Keenakan dia kalau dipenjara doang wkwkwk

Jadi ya.. mau enggak mau aku pun menghentikan langkahku, namun tetap menjaga jarak dan mewaspadai kalau-kalau si licik ini mau main kotor lagi kaya tadi.

Melihatku berhenti, dia pun memundurkan tubuhnya, lalu terduduk menatapku dengan napas tersengal, aku sendiri menatapnya dengan geli, karena apa ya.. ituloh botak licinnya itu dibalurin darah. Kan geli ya, hihih.. udah kaya buah apel kekurangan zat besi ckck

“Apalagi Paman? Mau panggil saya bocah lagi?” Tanyaku dengan santainya.

“Apa mao lu? Gua bakal kasih.. tapi gua mohon, lepasin gua..” Ujarnya dengan napas terengah dan terus beringsut memundurkan tubuhnya. Aku hanya menyeringai kecil, dia pikir aku bakal semudah itu ngelepasin dia setelah apa yang dia lakuin ke Budeh? Memperkosa Budeh? Dan mungkin mencoba merampok rumah ini?

Salah banget sih aku ngira dan percaya kalau dia ini suaminya Budeh.. bajingan laknat ini pasti perampok yang memanfaatkan situasi rumah ini, kemudian dia tergoda sama kemolekan tubuh Budeh yang memang sudah jelas tak terbantahkan. Tapi yang bangsatnya itu, kenapa dia bisa dengan selownya ngaku sebagai suaminya budeh, bangsat! Dan tololnya ya itu, aku percaya aja.

“Bentar.. ampun.. ini ambil.. tapi gua mohon lepasin gua..” Ucapnya sembari terus saja memundurkan tubuh, bersamaan dengan itu ia melempar sebuah amplop yang sepertinya tadi ikut terjatuh dari atas meja rias.

Aku berhenti, menatap amplop yang enggak di lem itu. dari ujung-ujung amplop tersebut mencuat lembaran-lembaran uang seratus ribuan. Bajingan ini.. laknat kali.. dikira aku ini pejabat korup yang mudah diajak kompromi hanya demi lembaran uang ini? Anjing ini..

“Kalau masih kurang gua masih ada duit di dompet, lu bisa ambil semua, hape gua juga buat lu. bahkan kalo lu mau.. lu bisa ngentot bini gua sepuas hati lu.. huh.. yang penting gua mohon.. lepasin gua..”

Wait.. tunggu tunggu tunggu.. dia bilang apa tadi? bini gua? Setelah aku bikin spaneng gini dia masih berani-beraninya bilang kalau Budeh bininya dia? Anjing ini..

BUGGGHH

Dengan gemas kuayunkan telapak kakiku dari bawah ke atas, menyapu dagunya hingga si patrick jahat ini terjengkang ke belakang. Dan begitu dia rebah langsung saja kududuki perutnya seraya kuhujamkan runtutan pukulan ke wajahnya. Anjing ini, berani-beraninya dia melego tubuh Budeh, bangsat ini.

BUGH

“Perampok..”

BUGHH

“Pemerkosa..”

BUGHH

“Penipu..”

BUGHH

“Tukangg bokong..”

BUGHH

“Pengecut..”

BUGHH.. BUGHH.. BUGHH..

“Berhenti..”

BUGHH

“Ngaku-ngaku..”

BUGHH

“Kalau kamu..”

BUGHH

“Suaminya..”

BUGHH

“Budeh..”

BUGHH

“Ampunnnn.. hoorrkkhh.. a.. ampun.. uhuk..”

Aku menghentikan hujaman pukulanku, melihat sebentar hasil karya kepalan tanganku di wajahnya. Hidungnya penyok ke dalam dan mengeluarkan darah segar, mulutnya pun tak mau kalah, bengkak dan pecah-pecah enggak jelas. Matanya? Jangan ditanya.. sudah kupahat agar sedikit memberikan aksen berwarna biru untuk mempercantik tampilan.

Napasku pun menderu, kemudian kucengkeram kuat-kuat kaos bagian atasnya, kutarik agar wajahnya sedikit terangkat ke arahku.

“Setelah saya bikin kaya gini, kamu masih berani ngaku-ngaku kalau Budeh itu istrimu, hah? Bangsaaaatt..” Aku menarik satu kepalan tanganku ke belakang, sudahlah kuikhlaskan saja elbow-ku yang tadinya hendak kupraktekan, biar di lain waktu aja aku aplikasikan sikutan itu di orang lain.

“Demi tuhan.. uhuk.. dia.. emang bini gua.. hhoorgghh.. uhukk..” Dan mendengar ucapannya tersebut aku pun langsung menahan luncuran kepalan tanganku, seraya kepalaku perlahan menoleh ke arah ranjang di mana Budeh masih berbaring dengan posisi yang sama.

Enggak.. aku enggak natap tubuh Budeh yang terekspos bebas itu, bukan waktu yang tepat. Aku justru menatap mata Budeh yang masih mengalirkan bulir-bulir air mata, mencoba mencari jawaban atas ucapan dari si bangsat yang tengah aku duduki ini. Namun Budeh hanya diam membisu, ia tak mengangguk, namun juga tak menggelengkan kepalanya. Hanya air mata saja yang keluar secara terus menerus. Dan itu benar-benar membuatku bingung bukan main.

Aku tatap lagi si kampret di bawahku ini, wajahnya benar-benar menampilkan raut ketakutan, namun di saat yang sama, aku juga menangkap kejujuran dari ucapannya. Dan itu benar-benar membuat pikiranku pusing bukan main. Anjing ini.. enggak bisa ini..

DUGGHH

Dengan kencang kudorong kepalanya ke bawah, membuat bagian belakang kepalanya terantuk lantai, tenang.. ia masih sadarkan diri kok, Cuma napasnya aja yang engap-engapan. Jadi aku bisa jamin, dia enggak bakal kuat bangun cepet-cepet.

Aku pun bangkit dari posisiku saat ini, berdiri dengan mata kuusahan enggak menatap tubuh sintal Budeh. Kemudian kulihat ada gulungan selimut tergeletak di sisi lain lantai kamar ini. Membuatku langsung berjalan mengelilingi ranjang ini, lalu mengambil selimut tersebut.

Kulebarkan selimut itu selebar-lebarnya, lalu kugunakan untuk menutup tubuh dari mulai kaki sampai ke tubuh bagian atasnya. Aku melakukan itu dengan pandangan yang tetap kujaga supaya enggak membuat Budeh merasa bahwa aku tengah menatapi tubuhnya, aku enggak mau kalau Budeh merasa semakin rendah diri nantinya.

Setelah selesai tubuh Budeh tertutup, aku pun berjalan ke bagian kaki ranjang ini. Kulepaskan satu persatu ikatan di kedua kaki Budeh, membebaskannya dari belenggu tali tambang yang menyisakan bekas biru di pergelangan kakinya, setelah itu aku berjalan ke bagian kepala ranjang ini. Kulepaskan ikat pinggang yang jadi pengikat kedua pergelangan tangan Budeh, ia pun lekas menurunkan tangannya.

Terlihat jelas memar biru di kedua pergelangan tangan Budeh Sekar, kemudian dengan hati-hati kuangkat kepalanya, melepaskan ikatan selendang yang menyumpal mulut Budeh pembuat soto favoritku ini, sejenak aku memandangi wajahnya, dan aku menyadari, bahwa di pelipis kiri Budeh ada memar biru, pasti bekas pukulan Si Bangsat itu. Bajingan..

Ketika sedang melepaskan ikatan selendang itu, tiba-tiba saja Budeh melingkarkan tangannya di punggungku, memelukku erat-erat dan menangis sesegukkan. Aku enggak mempermasalahkan itu, dan tetap fokus melepsakan melepaskan ikatan selendang di kepala Budeh yang menjadi penyumpal mulutnya, dengan lembut kutarik selendang itu lalu kulemparkan sembarang.

Setelah itu aku balas memeluk tubuh Budeh Sekar seraya melingkarkan selimut di punggungnya. Kupeluk erat-erat, ku biarkan menangis di dadaku, kubiarkan ia menumpahkan segala lara hati dan kesakitannya ini.

“Udah Budeh.. Budeh enggak perlu takut.. Budeh udah aman..” Ucapku menenangkan tangis Budeh yang masih cukup kencang.

“Hikss.. hikss.. terimakasih Nggan.. terimakasih banyak.. hikss..” Ujar Budeh sesegukkan seraya terus membenamkan wajahnya di dadaku, sedang aku terus mengelusi rambut panjang Budeh yang sedikit berantakan, mencoba merapihkan sebisa mungkin.

Setelah kurasa Budeh sudah lebih tenang, aku pun mengendurkan pelukanku. Lalu kutarik dadaku dari wajah Budeh, kuangkat wajah perempuan matang yang usianya bahkan lebih tua dari Ibuku ini. Setelah itu kuusap lembut kepalanya, merapihkan anak-anak rambut yang morat-marit tak beraturan di sana.

Dan saat itu juga, aku baru tersadar bahwa ternyata, selain pelipis yang membiru, tepian bibirnya pun mengalami hal serupa, memar biru yang terlihat jelas di depan mataku. Dan entah mengapa.. air mataku menetes begitu saja tak terkontrol. Napasku seketika memburu, emosiku pun tiba-tiba mendidih, padahal ketika tengah berkelahi tadi, emosiku enggak sampe semendidih ini. Tapi entah mengapa, melihat tepian bibir Budeh yang membiru, dan beberapa bagian wajahnya pun mengalami hal serupa, itu berhasil membuat amarahku merangkak cepat hingga ke ubun-ubun kepalaku.

“Nggan..” Ujar Budeh lirih memasang raut wajah terkejut yang berbalut keresahan.

Seketika saja, langsung kulepaskan sanggahan tangan kiriku di punggung Budeh, kutarik juga jemari tangan kananku yang tengah merapihkan rambut Budeh, langsung kutolehkan wajahku seraya berdiri dan membalikkan tubuh. Lelaki bangsat yang sekarang masih berbaring megap-megap itu harus segera aku selesaikan!

“Jangan Nggan.. Sudah.. Cukup ya Cah Bagus..”

Baru saja aku hendak mengayunkan langkah untuk menghabisi Si Bangsat Laknat itu, Budeh kembali memeluk tubuhku dengan erat, ia memelukku dari belakang, menahanku dengan sisa-sisa tenaganya yang sebenarnya enggak seberapa.

“Lepas Budeh.. biar saya habisin si anjing ini!” Ucapku geram seraya mencoba melepaskan kedua tangan Budeh dari pinggangku, namun bukannya menuruti perkataanku, Budeh malah semakin mengeratkan pegangannya.

“Cukup Cah Bagus.. sudah.. hiks..” Ujar Budeh terdengar mulai kembali menangis, aku sebenarnya bisa saja menyentak kedua tangan Budeh untuk melepaskanku, namun tentu saja itu akan menyakitinya, dan aku.. aku enggak mau menambah lara yang kini tengah menerpa Budeh Sekar.

“Sudah Nggan.. Sudah.. Budeh mohon.. cukup.. hiks..”

Aku memejamkan mataku sejenak, mengatur napasku sesaat, mencoba menurunkan titik didih emosiku saat ini. Apalagi kudengar Budeh sudah mulai kembali menangis, dan itu tentu saja membuat emosiku turun perlahan-perlahan, teredam mendengar isak tangis Budeh.

“Kenapa Budeh? Kenapa Budeh nahan saya? Orang ini udah berbuat kurang ajar sama Budeh.. orang ini udah nyakitin Budeh.. saya enggak bisa maapin orang bangsat yang beraninya nindas perempuan kaya dia ini Budeh..” Ucapku geram dengan tangan terkepal keras, mataku tajam menatap si gembyor yang masih megap-megap mengatur napasnya. Perutnya yang membusung bak bukit gundul menjijikan itu naik turun, membuatku ingin menjejak sampai pecah perut itu.

“Sudah ya Cah Bagus.. sudah..” Budeh terus mengeratkan pelukannya padaku, membuatku pada akhirnya menyerah akan keinginanku menghabisi si laknat jahanam ini.

“Kenapa Budeh? Kenapa saya enggak boleh ngabisin dia?” Tanyaku pelan dengan tubuh mematung, kurasakan pelukan Budeh melemah, kemudian sebalah telapak tangan Budeh mulai merambat naik, dari perutku menuju dadaku, diusapnya lembut di sana.

“Cukup ya Cah Bagus.. sudah..”

Aku menghela napasku berat, sedari tadi Budeh enggak kunjung ngasih jawaban dari alasannya menahanku untuk menggasak si bandit amatir ini. Apa.. apa berarti yang diucapkan si anjing ini tentang Budeh adalah istrinya itu benar? Apa Si bangsat ini benar-benar suaminya Budeh? Tapi bagaimana bisa seorang suami melakukan ini kepada istrinya? Mengikat, memukuli dan memperkosa istrinya sendiri?

Aku pernah mendengar tentang sex extreme, pernah juga menonton video bokep dengan aliran BDSM iti, tapi jika memang seperti itu adanya, kenapa Budeh menjerit meminta pertolongan? Pasti ada yang salah di sini.

“Dari tadi Budeh enggak ngejawab pertanyaan saya, apa itu berarti.. si bangsat ini benar adalah suami Budeh?” Tanyaku dengan nada berat dan parau, seketika kurasakan usapan lembut di dadaku berhenti, pelukan Budeh melemah dan hampir terlepas, dan entah mengapa.. itu seperti lebih dari cukup untuk membuatku mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di kepalaku.

Lengang.. seketika kamar ini melengang dan hening. Aku dan Budeh sama-sama diam membisu, hanya sengalan napas dari si gembyor bangsat dan dentingan jarum jam yang terdengar saat ini, diiringi gema serangga mala yang sayup-sayup terdengar dari luar sana.

Dan di tengah kebisuan itu, tiba-tiba terdengar deru kendaraan ramai mendekat. Satu.. dua.. hhmm.. dua mobil dan satu motor sepertinya. Kemudian di detik berikutnya, derap-derap langkah ramai turun dengan ramai dan mendekat dengan cepat, sepertinya orang-orang yang datang ini sudah mulai memasuki rumah ini. Tapi siapa mereka? Apa mungkin mereka adalah kawan dari si bangsat ini? Kalau iya, berarti aku harus bersiap-siap.

Karena ada.. satu.. dua.. enggak.. ada empat pasang langkah yang mendekat, dengan sisanya kurasa berjaga di luar rumah, wara wiri dan menyebar ke sudut-sudut halaman.

Kepalaku lekas terangkat terangkat, kupegang kedua tangan Budeh, kuputar tubuhku menghadapnya, kuminta Budeh untuk mengenakan pakian atas yang masih tersangkut di atas payudara itu, kemudian kubenarkan selimut yang menutup Budeh. Bisa kulihat raut kekhawatiran pun menguar dari wajahnya.

“Budeh tenang.. ada saya di sini..” Ucapku seraya menatap dalam-dalam mata Budeh, ia membalasku dengan anggukan pelan, dan setelah itu aku pun langsung memutar tubuhku lagi, menatap ke arah pintu kamar, menunggu dan bersiap-siap menyambut kemungkinan terburuk yang akan aku hadapi.

Aku mengepalkan tanganku keras-keras, mengatur posisi pijakan kakiku, memusatkan pandanganku tajam-tajam ke arah pintu. Langkah-langkah itu semakin dekat, semakin dekat dan semakin dekat. Kemudian seorang lelaki dengan bagian mulut tertutup masker medis berwarna hijau di ambang pintu kamar ini, ia mengenakan kaos hitam dengan luaran jaket kulit berwarna hitam juga, sedang bawahannya sendiri adalah celana jeans berwarna biru gelap.

Di bagian kerah kaos hitamnya, tergantung kaca mata hitam. Rambutnya rapih dan klimis. Di belakang lelaki itu berdiri tiga orang dengan wajah tegang dan napas terengah, mereka semua kompak menatap ke satu arah, ke arahku.

“Halo Regan..” Ucap lelaki necis yang memimpin tiga orang di belakangnya itu, bersamaan dengan itu ia tarik turun maskernya, membuat wajahnya terekspos jelas di depan mataku. Senyumnya mengembang kecil, tatapannya datar menghujam mataku.

Heh..?



Bersambung..
 
Terakhir diubah:
Hallo Semuanya, selamat sore dan selamat menikmati akhir pekan bersama keluarga dan orang terkasih, semoga suhu dan pembaca semua selalu diberikan kesehatan dan kebahagiaan.

Berikut saya lampirkan untuk update bagian 10 ya, maaf jika memang rentang updatenya semakin molor antara bagian satu dengan bagian lainnya, sebab semenjak sembuh dari kecelakaan tempo hari, saya memfokuskan diri untuk menyelesaikan tugas-tugas kantor yang sempat terbengkalai, sekali lagi mohon dimaafkan ya :ampun:

Terimakasih untuk seluruh pembaca dan suhu-suhu yang sudah menyempatkan waktunya untuk membaca coretan asal-asalan ini, mohon dimaafkan jika masih banyak kekurangan, mohon dimaklumi jika memang dirasa terlalu lamban dalam penceritaan, sebab memang saya memproyeksikan cerita ini untuk menemani keseharian saya :ampun:

Pokoknya ya itu lah, saya berterimakasih dan meminta maaf sekaligus ya, matur sembah nuwun yo :ampun:
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd