BAGIAN 10 : TANGGUNG JAWAB
***
“Apa Nyimas haus?” Tanya Sena pada bibinya yang hanya memandanginya dengan senyuman, yang oleh Nyimas segera dijawab dengan gelengan kepala. di dalam benak perempuan tersebut kata-kata terus teruntai, membentuk lafalan yang mengalirkan energi lembut untuk terus berkumpul menuju ujung telunjuknya.
“Tapi saya ingin membuatkan Nyimas teh, Nyimas pasti mau kan?” Tawar Sena lagi dengan bersemangat seraya hendak menegakkan tubuhnya, namun bersamaan dengan itu, Nyimas sudah mencapai bait terakhir dari kata-kata yang sedang ia untai di dalam hatinya. Hingga perlahan bibir Nyimas pun terbuka, lalu dua kata keluar dari sana dengan lirihnya..
“..rimuk.. tilam..”
Fuuuuhhhhhhh..
Setelah kata-kata tersebut selesai terucap, bibirnya meniupkan angin ke arah wajah Sena dengan lembutnya, bersamaan itu ia tekan sedikit ujung jari telunjuknya di kening Sena, membuat pemuda itu menghentikan niatannya untuk bangkit dari kasur, dan perlahan-lahan ia merasakan bahwa ia mulai kehilangan kuasa akan kelopak matanya.
Fuuhhhhhh
Tiupan lembut dari bibir Nyimas Ajeng semakin terasa mendinginkan kelopak mata pemuda itu, membuatnya semakin mengawang dan dibekap perasaan luruh, punggungnya kembali terjatuh ke kasur dan matanya perlahan tertutup dengan sayu.
“Nyi.. mass..hh..” Lirih Sena seraya matanya terpejam utuh, kesadarannya hilang terbawa kantuk yang diberikan oleh sang bibi. Dan bersamaan dengan itu, pola api yang ada di kening Sena pun memudar sedikit demi sedikit, hingga akhirnya benar-benar hilang tak terlihat lagi.
Nyimas pun tersenyum, kemudian diangkat ujung jari telunjuknya, lalu dihentikan tiupan dari bibirnya. Ia pandangi Sena baik-baik dengan senyuman kecil, kemudian diturunkan wajahnya untuk mengecup lembut kening keponakan tercintanya itu.
“Selamat tidur, Sena..”
.
.
.
***
Sementara itu di tempat lain..
Di ambang sore yang terlihat muram dan pengap, langit harusnya cerah secerah-cerahnya, sinar matahari harusnya menyirami sepenjuru wilayah Lemah Kidul, sebuah daerah yang membentang di pesisir selatan pulau utama negeri ini. Namun letusan sebuah gunung berapi di tengah laut kemarin, membuat pesisir daerah ini diterjang gelombang tsunami berskala lokal, meski hanya berskala lokal, namun tetap saja, terjangannya mampu memorak-porandakan apa saja yang berada di pesisir, setidaknya begitulah seharusnya. Mengingat kekuatan dari letusan gunung Putra Mandara yang cukup besar.
Awalnya para pengamat sangat mengkhawatirkan menyapu pulau-pulau kecil berpenghuni yang berada 20km ke arah utara dari gunung tersebut, masuk ke gugusan pulau besar yang berada di seberang pulau utama negeri ini. Namun ternyata, justru gelombang utama tsunami justru mengarah ke selatan, ke pulau utama negeri ini, yang dipisahkan selat luas dengan jarak hampir 50km dari titik letusan.
Meski ada beberapa teori yang mengatakan, bahwa kehadiran tiga pulau kecil tak berpenghuni yang “memeluk” Putra Mandara adalah sebab utamanya
-hal yang membuat gelombang utama tsunami tidak mengarah ke utara-, karena gelombang langsung terpecah lebih dulu.
Sedang alasan mengapa gelombang utama justru mengarah ke selatan, ke pulau utama negeri ini, sebab sisi selatan gunung tersebut bersih tidak ada penghalang apapun, membuat gelombang tsunami berlayar bebas mengarungi selat. Ya harusnya tanpa penghalang.
Namun pada kenyatannya, di pesisir selatan pulau utama negeri ini pun. hanya beberapa titik saja yang benar-benar mengalami kerusakan parah, sedang sisanya hanya mengalami kerusakan ringan, entahlah.. hal ini juga sejujurnya membingungkan para ahli.. yang sejatinya, ketika letusan dadakan itu terjadi, lengsung menerapkan darurat tsunami level tertinggi
-meski titik utamanya bukan pulau ini-, namun pada kenyataannya, gelombang yang sampai ke daratan di luar prediksi para pengamat. Seolah ada tembok besar yang sempat meredam kekuatan asli dari gelombang tersebut, hingga hanya bersisa tak sampai seperempat kekuatan aslinya.
Itu sebenarnya adalah realita yang amat baik, bagi penduduk, bagi pemerintah daerah, dan bagi para ahli yang sempat dicekam ketakutan hebat. Namun tetap saja, kejanggalan tersebut meninggalkan pertanyaan-pertanyaan yang cukup mengganggu benak para pemikir.
Sehari pasca letusan dan gelombang tsunami lokal itu, daerah yang paling parah mengalami kerusakan adalah Lemah Kidul, letaknya yang menghadap selat membuatnya menjadi sasaran utama dari gelombang yang menerjang kemarin. Dan siang ini, tim SAR yang dibantu pihak militer dan kepolisian, plus para relawan dan warga sekitar terus bahu membahu membersihkan derah-daerah yang mengalami kerusakan cukup masif.
Dan di salah satu sudut daerah tersebut, di sebuah tiitik yang bisa dibilang mengalami kerusakan paling parah, terdapat sebuah tebing tinggi menjulang yang menjorok ke laut. Di atas tebing tersebut ada tiga orang yang tengah bercakap-cakap serius, satu perempuan, dan dua orang lelaki. Mereka tak lain adalah Anggana Raras Rengganis, seorang perempuan cantik berusia 38 tahun yang rambutnya tergerai cantik diterpa angin, lalu Saka Agra Aliendra sang suami yang berusia dua tahun di atasnya, tubuhnya terlihat tegap menjulang dan kekar, dengan kedua tangan dilipatkan di dada. Dan satu orang lagi adalah Mang Diman, lelaki berusia 55 tahun yang sudah mengabdi dan menjadi orang kepercayaan bagi keluarga pasangan suami istri tersebut.
Anggana Raras Rengganis
Saka Agra Aliendra
“Jadi abu belum turun sama sekali semenjak letusan kemarin, Mang?” Tanya Saka dengan logat daerahnya yang lembut dengan alis tertaut, postur tubuhnya yang kekar, ditambah kulit kecoklatan sawo matang, wajah keras berbulu kasar, dengan tatapan tajam tentunya akan selalu mengintimidasi bagi siapa saja yang belum akrab dengan lelaki tersebut. Bersamaan itu, ia usap brewok kasar di pipinya yang terasa lembap, karena hawa pengap yang terasa sedari ia tiba di daerah ini.
Namun sejatinya, Saka adalah lelaki yang amat lembut pada orang-orang terdekatnya, termasuk Mang Diman, yang sudah ia anggap seperti Ayahnya sendiri.
“Betul Pak, Mamang juga udah dapet kepastian, kalo abu letusan semuanya berkumpul di sini, enggak ada yang ke pulau seberang..” Jawab Mang Diman yakin dengan tatapan di arahkan ke langit yang memang diselimuti awan hitam kecoklatan. Ia mengelap dahinya dengan telapak tangan, keringat mengucur deras di sana. Entahlah, padahal sinar mentari tak ada yang berhasil menerobos, angin pun bertiup semilir, tapi entah kenapa, suhu derah ini rasanya cukup panas menyengat.
“Setelah memicu letusan Putra Mandara, mengarahkan gelombang tsunami ke sini, sekerang mereka juga ingin menyelimuti Lemah Kidung dengan abu vulkanik..” Rengganis bergumam dengan wajah khawatir, ikut buka suara, membuat Saka dan Mang Diman lekas memandang ke arah perempuan anggun berkulit putih tersebut.
“Dek.. kamu ndak perlu khawatir, kita bakal lewatin ini bareng-bareng..” Saka mencoba menenangkan kekhawatiran yang terlihat jelas di wajah istrinya, merangkulkan tangannya ke bahu Rengganis dengan lembut, memberikan kehangatan di tengah semilir angin yang berdesir dingin.
“Mereka kuat sekali Mas.. jika saatnya tiba, apakah kita bisa menghadapi mereka? Apakah kita mampu Mas?” Tanya Rengganis lagi dengan wajah terangkat menatap suaminya.
Dan seolah tak ingin terbawa suasana ketakutan yang juga merebak di hatinya, Saka pun menyajikan senyum terbaiknya, dielusnya lengan bagian atas Rengganis yang tertutup selendang, dikecupnya kepala Rengganis dengan penuh perasaan.
“Kita pasti bisa ngelewatin semua Dek, iya kan Mang? Kita pasti bisa kan?” Ujar Saka dengan penuh semangat seraya meminta dukungan dari Mang Diman yang tengah memandangi mereka berdua dengan senyum keteduhan.
“Benar Bu, apapun yang terjadi nanti, kita pasti bisa menghadapinya sama-sama. Mamang juga pasti bakal berusaha bantu sekuat tenaga Mamang, karena sudah menjadi janji Mamang ke Nyai Putri, bahwa Mamang akan menjaga keluarga ini..” Ujar Mang Diman penuh keyakinan, ditatapnya kedua pasang insan manusia di hadapannya dalam-dalam, ia begitu menyayangi keduanya, sama sayangnya seperti ia kepada Arum, anaknya yang paling bungsu. Baginya, keluarga ini adalah keluarga utamanya, bahkan lebih utama dibanding keluarganya sendiri.
“Terimakasih Mang.. terimakasih banyak..” Ucap Rengganis lirih, yang oleh Mang Diman segera direspon dengan senyuman dan anggukkan kepala.
“Kalau gitu, masalah pergerakan Hematala kita bicarakan nanti. Sekarang.. kita harus memikirkan cara kita menangani masalah di sini. Karena bagaimana pun, ketiadaan ‘Natha’ di sini, membuat tanggung jawab menjaga tanah ini untuk sementara berpindah ke tangan kita..” Saka berbicara dengan nada berat seraya menatap Rengganis dan Mang Diman secara bergantian, dan seolah mengerti, kedua lawan bicaranya pun menganggukkan kepala.
(Natha : sebuah gelar yang disematkan untuk pelindung suatu wilayah)
“Apa benar-benar tidak ada satu orang pun yang tersisa Mas?” Tanya Rengganis penuh harap.
“Aku dan Mang Diman sudah menyisir areal sini Dek, dan ndak ada satu orang pun yang tersisa. Sepertinya
Natha tanah ini mengorbankan diri mereka untuk meredam gelombang kemarin..” Jawab Saka dengan lemasnya.
“Orang-orang Hematala itu benar-benar kuat ya Pak.. sampai-sampai
Natha di sini harus meredamnya dengan berkorban nyawa. Andai Mamang masih memiliki kesempatan untuk bertemu salah satu dari mereka yang sudah berkorban nyawa demi tanah ini, Mamang akan bersujud mencium kaki mereka untuk menyampaikan terimakasih Mamang atas pengorbanan yang sudah mereka lakukan..” Timpal Mang Diman dengan tatapan mengawang ke cakrawala.
Ya.. tak berlebihan rasanya jika Mang Diman mengatakan hal tersebut, sebab jika saja tidak dihalau oleh para pelindung tanah ini, mestilah seluruh daratan di pesisir selatan pulau ini sudah porak poranda disapu tsunami dahsyat. Namun berkat dinding tinggi yang dibangun oleh pelindung tanah ini, tentunya dengan mengorbankan nyawa mereka sendiri, tanah ini selamat dan hanya mendapatkan kerusakan kecil.
“Suara hati Mang Diman, dan suara hati penduduk di sini mestilah sampai kepada mereka di sana Mang.. dan mereka pasti amat bahagia karena orang-orang yang mereka lindungi dengan segenap jiwa mereka bisa terselamatkan dari amukan bencana ini..” Sahut Saka seraya menepuk bahu Mang Diman.
“Tapi ada yang sedikit mengganjal di hati Mamang Pak.. Bu..” Terang Mang Diman dengan wajah sendu.
“Apa itu Mang? Sampaikan saja..” Tanya Rengganis cepat.
“Dulu.. Nyai Putri pernah memberitahu Mamang, kalau selama Anggaraksa bisa ditancapkan, maka sehelai benang pun enggak akan bisa menyentuh Lemah Kidul. Mamang tahu, kalau amukan dari Putra Mandara benar-benar dahsyat, tapi tetap saja, perkataan Nyai Putri sedikit banyak benar-benar mengganggu pikiran Mamang..” Tukas Mang Diman dengan alis berkerut kencang.
“Itu juga yang saya risaukan Mang..” Timpal Saka cepat dengan alis ikut tertaut.
“Aku juga berpikir seperti itu Mang.. Mas.. karena seharusnya pengorbanannya tak perlu sebesar ini, juga seharusnya tak ada satu gelombang pun yang sampai ke daratan..” Sambung Rengganis ikut mengeluarkan uneg-unegnya.
Dan di tengah kebisuan itu, di tengah kesibukan pikiran mereka masing-masing, tiba-tiba handphone di saku jaket kulit hitam Saka berbunyi nyaring, membuat ia lekas mengeluarkannya. Dan menjawab panggilan tersebut.
“Halo?”
“…..”
“Iya ada apa?”
“…..”
Saka terdiam sejenak, ia menatap baik-baik langit di kejauhan, seraya telapak tangannya mengelap dahi, menyeka keringatnya.
“Bagaimana bisa?”
“…..”
“Berapa lama waktu yang kita punya?”
“…..”
“Baiklah.. saya akan bantu sebisa saya..”
“…..”
“Tolong sampaikan pada beliau, agar membatalkan seluruh kegiatan, usahakan semua orang berada di tempat yang aman. Saya akan coba pikirkan cara menyelesaikannya. Saya harus berdiskusi dulu, beberapa menit lagi akan saya kabari.”
“…..”
“Baik terimakasih kembali, sampaikan salam saya pada beliau..”
“…..”
Saka pun menyudahi panggilan telefonnya, dan segera menatap ke angkasa, menatap gumpalan hitam yang menaungi penjuru daerah ini. Giginya ia katupkan dengan keras, tangannya mengepal dengan sedikit bergetar.
“Ada apa Mas? Siapa yang menelpon barusan?” Tanya Rengganis khawatir.
“Kita harus melakukan sesuatu pada abu-abu itu Dek, barusan relasiku dari Badan Penanggulangan Bencana memberitahu, bahwa ada anomali di langit daerah ini, di mana suhu di atas Lemah Kidul mendekati titik didih.” Jawab Saka seraya memutar otaknya, berpikir keras.
“Apa mungkin abu-abu yang tertahan itu penyebabnya Mas?” Gumam Rengganis bingung.
“Jadi hawa panas dan pengap ini berasal dari abu-abu yang tertahan di atas itu Pak?” Tanya Mang Diman dengan kekhawatiran.
“Ya.. itu berarti benar, Hematala sengaja menggiring dan menahan abu-abu ini untuk melumpuhkan daerah ini. karena jika abu-abu panas itu turun, maka tanah ini akan mengalami bencana susulan. Dan menurut relasiku itu, semakin lama suhu di atas kita semakin meningkat..” Saka menggantung kalimatnya untuk menghela napas.
“Itu jelas akan sangat membahayakan. Bahkan tenda-tenda pengungsian pun mungkin ndak akan bisa menahan ini.” Tukas Saka lemas menutup akhir penjelasannya.
“Dan daerah atas juga lagi bersiap untuk menyambut panen terakhir sebelum puncak kemarau tiba, itu berarti panen juga akan gagal, dengan kata lain daerah ini akan mengalami paceklik parah..” Potong Mang Diman dengan raut wajah terbelalak.
“Benar kata Mang Diman.. dan jika daerah ini mengalami gagal panen, pasokan pangan untuk Negeri juga akan sedikit terganggu. Lumbung nasional akan goyah, karena harus mengalokasikan persediaan besar untuk daerah ini, ditambah berkurangnya pasokan, tentu itu akan menjadi masalah besar di kemudian hari.” Terang Saka dengan otak cermatnya yang bekerja dua kali lebih cepat dari seharusnya.
“Aku boleh nanya enggak Mas? Tapi janji.. Mas jangan marah..” Rengganis menyela percakapan kedua lelaki di hadapannya dengan wajah hati-hati, bertanya kepada Sang suami, yang oleh Saka segera dijawab dengan anggukkan ragu-ragu, ia seolah tahu apa yang akan sang istri tanyakan kepadanya.
“Yang menggiring dan menahan abu-abu ini.. Apa Nyimas Ajeng yang melakukan ini? Maksudku apa ini perbuatannya langsung?” Tanya Rengganis dengan raut wajah begitu khawatir. Dan benar saja, mendengar pertanyaan Rengganis, wajah Saka langsung muram sendu, tatapannya lemah dan seketika dipenuhi keputusasaan.
“Maaf Mas.. aku enggak bermaksud buat..”
“Ndak Dek.. kamu ndak perlu minta maaf.. huh..” Saka menyela Rengganis yang sepertinya merasa bersalah karena telah mengajukan pertanyaan kepadanya. Dan sejenak, ada lengang yang menjalar di antara mereka, Saka menghela napasnya lebih dalam, mengembuskannya dengan berat.
“Pasca membuat Putra Mandara terbatuk sekeras ini, aku yakin kekuatannya pasti terkuras sampai ke titik terendahnya. Dan butuh beberapa hari untuknya memulihkan kekuatan. Jadi.. aku sangat yakin, bukan dia yang menggiring dan mengumpulkan abu-abu ini.” Saka berkata dengan kedua alis tertaut keras, kepalanya pun tengah ia peras sekuat tenaga, pikirannya memutar kemana-mana.
“Kalau begitu..” Ucap Rengganis tergantung, kepalanya pun ikut berputar memikirkan kekacauan-kekacauan yang tengah mereka hadapi ini.
“Kamu benar Dek, kaki tangannya lah yang melakukan ini. Dan aku yakin.. butuh lebih dari satu orang untuk mengerahkan energi sekuat ini. Dan tentunya mereka ndak bisa melakukan ini dari jarak jauh, pasti kaki tangannya ada di wilayah ini..” Saka melanjutkan penjelasannya dengan wajah serius.
“Tapi bukannya Bapak sudah menyisir seluruh daerah ini? Kalau begitu harusnya Bapak tahu di mana posisi orang-orang yang sedang mengumpulkan dan memanaskan abu-abu ini, bukan?” Mang Diman yang sedari tadi ikut berpikir pun akhirnya buka suara.
“Benar Mang, tapi Mamang tau sendiri..
Luru Kalacakra milikku jangkauannya terbatas, jadi aku menyisirnya dengan cara bergilir dari titik satu ke titik lainnya. Dan kemungkinan, mereka sudah punya cara untuk mengantisipasi
Luru Kalacakra-ku.” Saka berkata dengan wajah resah. Ia kesal sebab ternyata orang-orang Hematala yang tengah mendidihkan abu-abu di atas mereka kemungkinan mengetahui batasan dari kekuatan sensor yang ia miliki, dan memanfaatkan celah kecil dari batasan jangkauannya untuk berpindah-pindah agar ia tak bisa menandai keberadaan mereka.
Luru Kalacakra, sebuah kemampuan dasar yang dimiliki Saka secara turun temurun itu berfungsi untuk menyisir sekeliling daerah dimana kakinya berpijak, namun seperti yang ia katakan, kemampuannya itu memang memiliki batas jangkauan.
“Jadi kita tinggal nemuin orang-orang yang mengendalikan abu-abu ini, terus kita paksa mereka buat berenti aja kan Pak?” Tanya Mang Diman lagi antusias.
“Ndak sesederhana itu Mang, kalau pun kita bisa menemukan mereka, aku yakin mereka ndak akan mau menghentikan ini semua, dan sekalipun kita membunuh mereka, itu ndak akan
membatalkan ini semua, dan abu-abu itu tetap bakal berjatuhan ke tanah. Pada akhirnya, itu Cuma bakal buang-buang waktu Mang..” Saka menghela napasnya lagi dengan berat, begitu pun Rengganis dan Mang Diman, mereka seolah ingin menyerah menghadapi gelombang demi gelombang tekanan yang diberikan oleh orang-orang Hematala, namun mereka tentu tidak bisa melakukan itu, mereka harus tetap berjuang, apapun yang terjadi mereka harus tetap berjuang.
“Kita kesampingkan dulu bedebah-bedebah yang telah berhasil menghindari
luru kalacakra-ku itu, karena bagaimana pun kita harus segera mengurus abu-abu ini..” Gumam Saka dengan otak yang terus diperas. Ia tak ingin mereka menghabiskan waktu terlalu banyak hanya untuk mengurusi orang-orang yang tengah menyebar untuk mengkondisikan abu-abu panas ini.
“Berapa lama waktu yang kita miliki Mas?” Tanya Rengganis dengan tatapan mengawang ke langit kelabu.
“Ndak tau Dek, Cuma relasiku itu bilang, selain suhu yang semakin meningkat, ketinggian abu-abu ini pun semakin rendah.” Jawab Saka dengan tatapan tajam.
Seketika lengang kembali menyelimuti mereka, hening sebab memikirkan sesuatu yang harusnya menjadi kemustahilan, namun justru harus mereka hadapi saat ini. Gugusan abu vulkanik yang tertahan di langit setelah lebih dari 24 jam dari awal letusan gunung berapi adalah sesuatu yang sulit untuk dicerna nalar.
Ditambah, abu-abu tersebut hanya menaungi wilayah ini, tidak bergerak ke wilayah lain. Dengan suhu yang terus naik, seperti tengah dimasak menuju titik didih. Saka mengeram dengan emosi tertahan, ia benci jika kepalanya tak kunjung memunculkan jalan keluar seperti ini.
“Untuk menggiring abu letusan Putra Mandara sejauh ini pasti memerlukan energi yang sangat besar, ditambah mereka harus menahan dan memanaskan abu-abu ini, kalau perkiraanku benar, mereka pasti sudah menguras tenaga dalam mereka habis-habisan..” Gumam Saka pelan, lebih seperti berbicara pada dirinya sendiri.
“Terlebih.. Sepengetahuanku.. di Hematala Cuma ada beberapa orang yang punya kemampuan
Liris Kisma..” Saka menutup gumamannya dengan buntu. Sedikit mengenai Liris Kisma, yang berarti Atur Tanah, di mana orang yang memiliki kemampuan ini bisa menggerakkan dan memanipulasi materi yang berelemen dasar tanah.
“Tapi Pak.. Liris Kisma kan bukan kemampuan dasar orang-orang Hematala? Gimana bisa mereka menguasai
ajian itu?” Tanya Mang Diman penasaran.
“Benar Mang.. Manipulasi tanah memang bukan kemampuan orang-orang Hematala. Tapi dari yang kuamati selama ini, kemungkinan Hematala berhasil mempengaruhi satu dua orang dari
Parung Wetan untuk bergabung dengan mereka.” Jawab Saka dengan geramnya.
(Parung Wetan : Lembah Timur, satu daerah besar di timur pulau utama, bagian dari 4 arah penopang utama pulau ini. Empat arah tersebut adalah Hematala yang berada di pegunungan utara, Lemah Kidul di pesisir selatan, Parung Wetan yang berada di Timur, serta Purantara yang berada di bagian barat pulau.)
“Tapi bukannya
Nyai Putri pernah bilang, kalau seandainya
Aruhara datang dan Purantara maupun Lemah Kidul jatuh, Parung Wetan adalah tempat yang bisa kita tuju buat berlindung?” Tanya Mang Diman lagi dengan wajah khawatir. Terlihat Saka dan Rengganis menghela napas dalam.
“Waktu berjalan Mang.. zaman pun ikut berubah.. ndak ada yang bisa menjamin isi kepala dan ruang hati seseorang akan tetap sama. Ndak usah jauh-jauh, contohnya aja aku Mang...” Gumam Saka dengan lemahnya, membuat suasana kembali lengang untuk ke sekian kalinya.
“Wes.. iku kita bahas nanti aja, sekarang kita harus cari cara buat mastiin Lemah Kidul ndak diberangus sama abu-abu ini..” Ujar Saka memecah keheningan, tatapannya sudah tidak setajam dan sesendu tadi.
“Aku punya ide Mas.. tapi aku perlu bantuan Mas dan Mang Diman untuk melakukannya..” Rengganis berucap dengan mata menatap Saka dan Mang Diman beragantian. Perempuan itu seolah menemukan suatu jalan yang bisa ia tuju saat ini.
“Apa Bu? Mamang pasti bantu sebisa mungkin..” Sambar Mang Diman cepat dengan penuh semangat.
Sedang Saka berpikir sejenak, kedua alisnya tertaut keras, ia seolah menebak apa yang hendak dilakukan sang istri. Dan ketika ia berpikir tentang mengapa Rengganis memerlukan bantuannya dan Mang Diman, saat itu juga ia terpikirkan sesuatu, sayangnya itu bukan sesuatu yang baik menurutnya.
“Aku akan..”
“Jangan Dek! Aku mohon.. jangan..”
Baru saja Rengganis hendak menjelaskan pemikirannya, Saka dengan cepat langsung memotong ucapan sang istri, seraya memegang kedua bahu Rengganis dengan eratnya. Sedang melihat itu, Mang Diman hanya bisa terdiam bingung, sebab ia sadar, jika Saka sampai menahan Rengganis, itu berarti apapun yang ada di kepala Rengganis saat ini pastilah sesuatu yang amat beresiko.
“Tapi cuma itu satu-satunya cara tercepat mengatasi ini Mas, jangan khawatir, aku bakal baik-baik aja..” Terang Rengganis dengan senyum mengembang di bibirnya.
“Enggak! Dua hari ini kamu terlalu banyak mengeluarkan
lamuk-mu, terlalu ringkih jika kamu mengeluarkan
lamuk dalam jumlah besar lagi..” Tolak Saka dengan tatapan takut, sejatinya ia amat mengerti, jika sang istri sudah memilih suatu jalan, akan sulit baginya untuk mengubah itu.
“Aku enggak akan kenapa-kenapa. aku mohon izinin aku ngelakuin ini, kamu sendiri yang bilang, kalau sekarang tanggung jawab daerah ini juga menjadi tanggung jawab kita.” Rengganis memegang kedua pipi Saka dengan lembut, mengusap rambut-rambut kasar yang tumbuh di sana.
“Aku tahu itu, tapi kasih waktu buat aku berpikir, aku pasti bakal nemuin cara lain Dek..”
“Kita enggak punya waktu banyak Mas..”
“Tapi dek..” Saka hendak menyanggah ucapan sang istri, namun tiba-tiba ia merasakan aliran sejuk nan dingin menjalar di pipinya, dan itu berasal dari telapak tangan Rengganis.
“Kita pernah terlambat melakukan apa yang seharusnya kita lakukan Mas, dan itu membuat anak kita menjadi korbannya. Dan sekarang, kita kembali dihadapkan pada pilihan, dan aku enggak mau kita terlambat lagi kali ini Mas..” Rengganis berkata dengan mata yang berkaca. Dan seketika saja, Saka pun menundukkan wajah, kedua tangannya yang tadi mencengkeram lembut bahu Rengganis jatuh begitu saja tak bertenaga.
“Mas.. aku enggak akan kenapa-kenapa kok. Aku janji, kalau memang aku udah mencapai batas, aku enggak akan memaksakan diri..” Rengganis kembali mengelusi pipi Saka dengan lembutnya, membuat lelaki itu pada akhirnya menghela napas amat dalam.
“Aku pegang janjimu Dek, dan kamu harus ingat. Kalau kita juga masih punya janji-janji lain yang harus kita tepati..” Saka berujar dengan perasaan berat di dalam dadanya, yang oleh Rengganis langsung disambut dengan anggukkan kepala dan senyum bahagia, dipeluknya tubuh Saka erat-erat, seraya ucapan terimakasih yang terus terucap dari bibir tipis merah mudanya.
“Punten.. anu.. Mamang teh hentue ngarti..” Tiba-tiba Mang Diman membuyarkan keromantisan mereka seraya menggaruk-garuk kepala, karena sedari tadi Rengganis dan Saka mendebatkan sesuatu yang bahkan belum sempat terucap dari bibir Rengganis. Dan hal itu kontan saja membuat saka dan Rengganis tertawa kecil.
“Oke kalau gitu aku jelasin ya..” Rengganis meminta izin untuk menjelaskan, yang oleh Saka dan Mang Diman langsung dipersilahkan.
“Awalnya aku berpikir untuk pakai
Segara Lamuk buat jadi tameng ketika abu-abu itu dijatuhin
, tapi karena jangkauannya terlalu luas, dan aku enggak bisa maksimalin daya tahan
segara lamuk-ku kalau arealnya terlalu luas, aku juga enggak tau sebanyak apa abu-abu panas di atas kita, jadi aku putusin buat manfaatin
Sawur Lamuk untuk menjangkau keseluruhan abu-abu itu, setelah itu aku bakal padetin abu-abu itu menggunakan
Sabuk Lamuk. Nah untuk menyukseskan misi ini, aku butuh bantuan Mas Saka buat mencari titik tengah persebaran abu-abu itu, karena
Sawur lamuk akan lebih efektif jika aku berada di titik tengah..” Rengganis menjelaskan dengan wajah seriusnya, matanya berpindah dari mata Saka ke mata Mang Diman, berusaha membuat kedua lawan bicaranya mengerti apa yang ia sampaikan. Meski sesungguhnya, ia memfokuskan penjelasan pada Mang Diman, karena ia tahu jika suaminya sedikit banyak sudah mengerti.
“Dan selagi aku mengumpulkan abu-abu itu, Mas Saka tolong carikan titik laut yang paling memungkinkan untuk meletakkan abu-abu itu jika sudah berhasil aku ikat kita akan giring abu-abu ini ke tengah laut..” Rengganis menutup penjelasan rencananya dengan penuh keyakinan. Membuat Saka lekas mengangguk tanda mengerti.
Dan sebagai penjelasan, jika kemarin
-ketika di puncak bukit- Rengganis hanya mengeluarkan
segara lamuk (samudera kabut) sebagai perlindungan ketika ia mengirim
sashara lamuk (seribu kabut) untuk menyelidiki tempat ini dari kejauhan, maka ada kemampuan lain yang sebenarnya jarang ia gunakan. Dan itu adalah
sawur lamuk yang berarti menebar kabut, di mana ia akan menebarkan kelompok-kelompok kecil kabutnya di suatu lokasi, gunanya untuk memetakkan lokasi tersebut dengan cepat, karena jika menggunakan
sashara lamuk atau seribu kabut, tentu akan memakan waktu lebih lama, karena memang fungsi sashara lamuk sendiri adalah menyisir suatu tempat secara bergilir.
Sedang
sabuk lamuk yang disebutkan tadi, adalah sebuah kemampuan menangkap dan menahan suatu objek yang berada di dalam kabut yang Rengganis sebar, seperti arti
sabuk lamuk sendiri yakni kabut pengikat. Dan kali ini, Rengganis berniat menggunakan
sawur lamuk dan
sabuk lamuk untuk menjangkau keseluruhan abu-abu panas di atas wilayah ini, setelah itu ia berniat menggiring kabut-kabut itu ke tengah laut.
“Ari Mamang teh terus bantuin apa Bu?” Tanya Mang Diman kebingungan sebab namanya belum disebut dalam rencana ini. Hal tersebut seketika membuat Rengganis tertawa kecil.
“Tugas Mamang justru yang paling penting nih, tapi itu bergantung pada titik tengah persebaran abu-abu ini Mang.. sabar ya, nanti aku kasih tahu setelah Mas Saka berhasil menemukan titik tengahnya..” Jawab Rengganis dengan senyum bahagia, sedang Mang Diman hanya garuk-garuk kepala karena harus menunggu sejanak untuk mengetahui kegunaannya dalam rencana ini.
“Mas..” Ucap Rengganis pada Saka yang terlihat masih agak berat dengan rencana ini, namun toh pada akhirnya lelaki itu mengangguk, dan tanpa bicara segera berlari menjauhi bibir tebing tersebut, masuk ke dalam bukit yang dihiasi rimbun pepohonan dengan langkah-langkah larinya yang lebar.
Rengganis dan Mang Diman
-yang masih garuk garuk kepala- melepas kepergian Saka dengan harapan bahwa lelaki itu akan cepat menemukan titik tengah persebaran abu-abu panas di atas wilayah ini.
“Lakukan dengan cepat mas..” Batin Rengganis penuh harap ketika punggung sang suami sudah sepenuhya menghilang dari pandangannya.
Sedang Saka terus berlari, dan begitu memasuki bukit ia berhenti sejenak. Ia kemudian berjongkok, dan menempatkan telapak tangan kanannya menempel pada tanah, matanya ia pejamkan, dengan pikiran yang ia fokuskan.
Dan kini, ia merasakan getaran-getaran kecil di telapak tangannya, meresapi betul-betul getaran tersebut. Yang Saka lakukan saat ini adalah berusaha mencari lokasi tertinggi, tepatnya ia mencari pohon yang paling tinggi di areal ini, dan lewat getaran di telapak tangannya, ia akan mengetahui pohon mana yang puncaknya tertiup angin paling kencang. Hanya butuh kurang dari sepuluh detik baginya untuk menemukan pohon tersebut, setelah itu ia bergegas mengayunkan langkahnya lebar, berlari memasuki hutan perbukitan itu lebih dalam, menuju pohon dengan puncak tertinggi di sekitar sini.
Kakinya gesit dan terasa ringan menjejak, namun terasa menghempas daun-daun kering yang bergelimpangan, hingga kemudian ia pun tiba di pohon tertinggi tujuannya. Segara melompat ke dahan terendah, ringan saja. Setelah itu ia terus berpindah ke dahan-dahan yang lebih tinggi, hingga akhirnya ia beridiri di dahan terakhir yang masih kuat menopang tubuhnya. Ia atur rentang kakinya agar kuat dalam berpijak, kemudian mengambil empat lembar daun dari pohon tersebut, dan ia tempatkan di masing-masing telapak tangannya.
Setelah itu ia katupkan telapak tangannya di depan dada, ia pejamkan matanya kuat-kuat, dan ia alirkan sedikit tenaga dalam di tubuhnya ke empat lembar daun di dalam tangkupannya itu. Setelah dirasa cukup, dengan mata terpejam ia buka telapak tangannya, memperlihatkan empat lembar daun yang kini sudah terlapisi sebuah gelombang energi berwarna hijau menyala, setelah itu Saka pun menghentakkan telapak tangannya lembut, membuat daun-daun itu terhempas dari telapak tangannya dan melayang-layang di depan wajah.
“Aku mengandalkan kalian..” Ucap Saka masih dengan mata terpejam, dan seketika itu pula empat lembar daun itu melesat ke atas dengan cepat bak anak panah yang dilontarkan. Terus melesat ke atas dengan kecepatan hampir menyamai kecepatan peluru, kemudian terbang ke agak menyamping ke empat penujuru arah berbeda, terus meninggi dan meninggi.
Sedang Saka kini sudah kembali menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada, khusyuk membaca pergerakkan daunnya yang kian detik kian terasa jauh dari tubuhnya. Ia rasakan baik-baik pergerakan empat daun tersebut, membaca aliran udara lewat daun-daun yang berubah bak peluru senjata itu. Butuh beberapa menit lamanya sampai ia merasakan salah satu daunnya berhenti bergerak, disusul satu daun lainnya yang ikut berhenti melesat, menyisakan dua daun lain yang masih terbang dengan kecepatan yang kian tak bisa nalar.
Saka terus memejamkan matanya, terus merasakan daun-daunnya yang berada di atas sana, hingga kemudian ia merakan daun ketiga berhenti juga, menyisakan satu daun yang masih melesat dengan cepatnya. Hingga beberapa saat kemudian, daun keempat pun berhenti melesat, sudah mencapai titik terluar dari gumpalan abu-abu panas yang menaungi daerah ini.
Kini keempat daun tersebut hanya melayang-layang stabil di titik terakhir perjalanannya, tak terpengaruhi oleh angin. Setelah itu Saka membuka matanya sayu, juga membuka katupan telapak tangannya, setelah itu ia menghadapkan kedua telapak tangannya ke langit seraya menggerak-gerakkan jemarinya dengan irama yang sama.
“Barat dengan timur, utara dengan selatan..” Ujar Saka seperti berbisik, dan di detik itu juga ke empat daunnya melesat lagi, kembali melalui jalur yang tadi mereka lewati, dengan kecepatan yang sama kencang. Daun yang melesat dari timur menyongsong kedatangan daun yang melesat dari barat, sedang daun yang melesat dari utara menyongsong daun yang melesat dari selatan. Keempat daun itu seperti tengah bermain-main di atas kasur awan, bahagia sebab bisa terbang bebas tanpa gangguan.
Daun dari barat dan timur bertemu di titik tengah jarak antar mereka terelebih dahulu, sebelum beberapa waktu kemudian daun dari selatan dan utara bertemu juga di titik tengah mereka. Setelah itu mereka pun saling terbang memutar membuat lingkaran, yang tiap detiknya lingkaran terbang mereka semakin sempit hingga akhirnya benar-benar terhenti di satu titik, dan itulah titik tengah yang tengah dicari oleh Saka. Keempat daun itu kini terbang pelan melingkar, mengitari titik tengah di antara mereka.
Saka tersenyum, lalu dengan pelan membalikkan telapak tangannya yang sedari tadi menengadah ke langit, membuat telapak tangannya menghadap ke bawah, menghadap ke tanah, dan dengan perlahan ia bersikap seolah tengah menekan sesuatu yang berada di bawah telapak tangannya, dan bersamaan dengan itu keempat daun tersebut pun terbang ke arah bawah dengan tetap saling mengitari titik tengah, kecepatannya pun kembali seperti semula, secepat peluru yang tengah ditembakkan.
Dengan kecepatan tersebut, tak butuh waktu lama untuk keempat daun itu mendarat. Dengan posisi mendarat mereka berada di sebuah lembah perbukitan yang cukup dalam dan sunyi, namun letaknya tak hanya beberapa kilometer dari pantai, tepatnya tak sampai 5 kilo meter dari bibir tebing tempat di mana Saka mengobrol dengan Rengganis dan Mang Diman tadi.
Merasa sudah menandai posisi titik tengah yang ia cari, Saka pun bergegas menuruni dahan demi dahan, hingga akhirnya bepijak kembali di tanah dan mulai berlari lagi ke tempat di mana Rengganis dan Mang Diman menungguinya. Kakinya tangkas melompati akar demi akar, batu demi batu, hingga akhirnya ia sudah keluar dari hutan perbukitan itu.
Dan melihat kemunculan Saka, Rengganis beserta Mang Diman pun menyongsong lelaki itu dengan bahagia. Rengganis bahagia karena itu berarti rencananya bisa lekas terlaksana, sedang Mang Diman bahagia karena berarti ia bisa mengetahui tugas yang akan diembankan kepadanya.
“Bagaimana Mas?” Tanya Rengganis antusias. Saka pun mengangguk seraya memberi pelukan dan kecupan di kening sang istri.
“Sekitar lima kilometer ke arah selatan dari sini, titiknya di sebuah lembah yang cukup jauh dari pemukiman.” Ujar Saka dengan yakin, dan mendengar itu Rengganis langsung tersenyum sumeringah. Setelah itu, pasangan suami istri itu pun menatap Mang Diman yang terlihat antusias menunggu penugasan.
Namun dipandangi seperti itu membuat Mang Diman gerogi sendiri. Pikirannya mulai berlayar bebas, menebak-nebak dengan liar tugas apa yang akan ia emban melalui tatap mata Saka dan Rengganis di hadapannya.
“Eh.. itu.. anu.. berarti kita ambil mobil dulu ya..” Ujar Mang Diman terbata seraya hendak berbalik, namun oleh Saka tangan Mang Diman pun segera di tahan.
“Waktu kita terbatas Mang, aku juga udah nandain titik tengahnya kok..” Ujar Saka dengan wajah memohon.
“Tapi kan.. anu.. apa.. lebih enak naik mobil Pak.. lebih adem..” Ucap Mang Diman terbata.
“Hihihi.. tadi Mamang bilang pasti bantu sebisa mungkin lho..” Goda Rengganis dengan tatapan menyudut.
“Tapi Bu.. Itu.. anu..” Mang Diman berkata dengan terbata-bata.
“Aku mohon Mang.. aku udah tandain titik lompat Mamang kok, jadi Mamang ndak perlu khawatir bakal salah..” Bujuk Saka kembali dengan wajah penuh harap. Yang membuat Mang Diman pada akhirnya mengalah dan menyerah.
“Iyaudah iya Mamang mau.. tapi pokokna mah, kalo kita balik ke kota nanti Mamang enggak mao nyetir..” Mang Diman berkata dengan wajah masam penuh keputusasaan, yang tentu saja langsung disambut seruan kemenagan oleh Rengganis, dan senyuman kecil oleh Saka.
“Siap Mang.. wes nanti aku aja yang nyetirin ya..” Ujar Saka dengan santainya, namun ucapan Saka sedikit pun tak membuat Mang Diman bahagia.
“Yaudah.. ayo.. kalau makin lama, nanti Mamang makin enggak mood..” Ujar Mang Diman masih sedit merajuk, yang oleh Saka segera direspon dengan anggukkan kepala.
Mereka pun akhirnya merapat, Saka mengulurkan kedua tangannya kedepan, dimana di kedua telapak tangan Saka sudah dilapisi gelombang energi berwarna hijau menyala seperti yang menutupi daun-daun tadi, kemudian oleh Mang Diman salah satu telapak tangan Saka pun digenggam, sedang yang satunya lagi masih dibiarkan, Mang Diman menunggu Rengganis masuk terlebih dahulu, dan setelah itu barulah ia genggam telapak tangan Saka yang satunya lagi.
Jadi posisi Mang Diman dan Saka saat ini adalah merentangkan kedua tangan mereka yang saling menggenggam, dengan Rengganis berada di tengahnya, di dalam lingkaran tangan yang kedua lelaki itu buat. Tertawa-tawa kecil bahagia, karena sekian lamanya, akhirnya ia kembali bisa merasakan sensasi kemampuan perpindahan tempat yang dimiliki Mang Diman ini.
“Jangan ketawa-tawa terus Bu, cepet pegangan, mau Mamang tinggal?” Tanya Mang Diman ketus dengan wajah berkeringat tegang.
“Hihihi.. maaf Mang.. Yuk..” Kekeh Rengganis seraya tangan kanannya memegang pergelangan tangan Saka, dan tangan kirinya memegang pergelangan tangan Mang Diman.
Dan tepat setelah Rengganis berpegangan, Mang Diman pun meminta suami istri tersebut untuk memejamkan mata bersamaan dengannya. Bersamaan itu, ia eratkan genggamannya pada telapak tanagan Saka, mencoba menyatukan tenaga dalamnya dengan tenaga dalam milik Saka, serta mencoba menemukan titik tengah yang oleh Saka sudah ditandai dengan keempat lembar daun. Setelah merasa selaras, perlahan Mang Diman pun menyerap gelomang energi berwarna hijau yang melapisi tangan Saka, menyerap lapisan energi itu hingga tandas tak bersisa.
Kemudian Mang Diman pun menghela napasnya dengan tenang, bibirnya mulai terbuka melafalkan rapalan yang harus ia rapalkan tiap kali ia harus mengeluarkan kemampuannya ini.
“Sang hyang nu agung.. nu maha kawasa.. nu ngersakeun..”
Bibir Mang Diman mulai berkomat-kamit merapalkan kata-kata, dan bersamaan dengan itu, sekeliling mereka terasa mulai menghening, angin terasa menghindari tiga tubuh tersebut.
Dan semakin menghening tatkala Mang Diman semakin khusyuk merapalkan kalimat demi kalimatnya, tubuh lelaki paruh baya itu mulai terasa menghangat, darah yang mengalir di dalam tubuhnya seperti bergerak lebih cepat dari sebelum-sebelumnya. Hingga samar-samar, dari kedua telapak tangan Mang Diman yang tengah menggenggam telapak tangan Saka, keluar asap hitam pekat yang terlihat mengepul pelan, seolah angin benar-benar tak ada yang berani menggggu ketiga tubuh itu.
Hingga kian detik, seiring dengan rapalan Mang Diman yang kian lirih, asap hitam itu mulai menyebar dan menyeliputi ketiga tubuh itu, sedikit demi sedikit hingga pada akhirnya benar-benar menutup penuh areal di mana tubuh Mang Diman, Saka dan Rengganis berada. Asap hitam lekat yang begitu legam itu seolah melahap ketiga tubuh itu dengan sempurna. Hingga..
“Gapunten resik.. Lipat Jagat!”
TRREEERRRTTTT..
Bersamaan dengan kata-kata terakhir yang dirapalkan Mang Diman, tiba-tiba terlihat garis-garis petir berwarna hijau dan merah seperti berbenturan, seperti saling menyambar, mirip korsleting listrik yang sering terjadi jika sebuah kabel terlepas dari penutupnya. Lalu..
WWUUSSSHHH..
Sebuah angin berhembus kencang menerpa asap hitam tersebut, meluluh-lantakan pekat kepulan itu, menyapu areal tersebut dan membuyarkan asap-asap hitam tadi, namun anehnya tidak nampak lagi tubuh yang tadi berada dalam kungkungan asap itu, hanya bersisa kekosongan.
Hilang.. ketiga tubuh itu menghilang raib dari sana.. menyisakan lengang di bibir tebing yang tadinya ramai oleh pembicaraan.
**
Di sebuah dasar lembah dalam nan sepi,
TRREEERRRTTTT..
Sebuah kilatan-kilatan petir berwarna hijau dan merah membentuk lingkaran, kemudian sebuah asap hitam pekat membumbung perlahan dan membesar kian detiknya. Menampilkan korsleting listrik aneh di dasar lembah yang sepi akan kehidupan itu.
WWUUSSSHHH..
Sebuah angin berhembus menerpa bumbungan asap hitam tersebut, membuyarkan asap itu ke udara, meninggalkan tiga tubuh yang sedari tadi berada di dalam balutan asap hitam tersebut. Dan merasakan embusan angin dingin kembali menerpa tubuh, Saka, Rengganis, dan Mang Diman pun perlahan membuka matanya. Terkhusus Saka dan Rengganis, senyum kecil tertampil di bibir mereka, karena setelah sekian lama, akhirnya mereka bisa kembali merasakan senasi berpindah tempat dalam sekejap. Namun tidak dengan Mang Diman, lelaki paruh baya itu segera melepaskan pegangan tangannya pada telapak tangan Saka, dan berlarik tak tentu arah menuju sebuah semak belukar yang berada di samping mereka.
“UWEEKKK… UWWWEEEKKK.. UWEEKKK..”
Kepala Mang Diman seolah berputar hebat, perutnya seperti dikocok-kocok dengan kuat. Mual, pusing, dan masuk angin hebat langsung ia rasakan. Seolah ia tengah mabuk laut dengan sebegitu parahnya.
Melihat itu Rengganis justru tertawa geli, sedang Saka hanya geleng-geleng kepala kecil.
“Kamu itu Dek.. bahagia banget kalau liat Mang Diman kaya gitu..” Tegur Saka lembut pada istrinya.
“Hihihi.. ya maaf, abis Mang Diman lucu.. gimana dong? Xixixixi” Rengganis malah semakin tertawa mendapat teguran dari Saka.
“JANGAN.. UWEEKK.. PAKSA MAMANG.. UWEEKK.. KAYA GITU LAGI.. UWEEKK..” Teriak Mang Diman tanpa menolehkan kepala, tetap fokus pada aktivitas muntah memuntahkannya.
“Hihihi.. Iya Mang.. Maaf..” Seru Rengganis bahagia.
“Yaudah Dek.. biar aku yang bantu Mang Diman, kamu silahkan mulai..” Ujar Saka dengan kedua tangan memegang bahu istrinya, membuat Rengganis lekas menyudahi tawanya dan menganggukkan kepala. Kemudian dijinjitkan kakinya untuk mencium bibir Saka, dilumatnya sebentar dengan kedua tangan merangkul leher sang suami.
Saka membalasnya dengan lumatan lembut, kedua tangannya mengusapi lembut lengan atas Rengganis. Ciuman itu tidaklah lebih dari 15 detik lamanya, karena mereka tentu tak bisa berlama-lama, harus segera menjalankan rencana mereka.
Rengganis menyudahi pagutannya, menurunkan kembali tubuhnya, dan menepuk-nepuk dada Saka dengan senyuman bahagia.
“Urusin Mang Diman ya Mas..” Pesan Rengganis riang seraya hendak berbalik badan, namun oleh Saka tengannya lekas di tahan.
“Ingat janji kamu Dek, jangan terlalu mamaksakan dirimu nanti..” Pesan Saka dengan suara berat dan tatapan sayu.
“Iya Sayang.. aku janji..” Sahut Rengganis dengan senyuman yang dibuat melebar, yang mau tidak mau harus membuat Saka melepaskan genggamannya. Dipandanginya tubuh Rengganis yang berjalan pelan dengan kepala terangkat menatap langit, selah tengah berusaha mencari arah terbaik.
Fyuhh..
Saka membuang napasnya dan mulai berjalan menuju Mang Diman yang masih sibuk memuntahkan isi perutnya, ibarat kata mungkin sedang mabuk perjalanan.
Sedang Rengganis kini sudah berhenti, tubuhnya ia tegapkan, kakinya ia rentangkan sedikit untuk menjadi tumpuan tubuhnya. Kemudian ia mulai memejamkan mata, seraya menyatukan ujung jari tengah dan ibu jarinya di masing-masing tangannya. Bersamaan dengan itu, ia alirkan seluruh energi yang ia miliki ke tangannya, ia fokuskan di sana.
Dan di balik matanya yang terpejam, kilatan-kilatan putih halus nan redup terlihat di kulit kelopak matanya, bergerak-gerak lembut, merespon aliran energi yang tengah mengalir deras ke pergelangan-pergelangan tangannya.
Dan perlahan namun pasti, urat-urat nadi di pergelangan tangan Rengganis pun bersinar redup-terang kebiru-biruan, dan sinar itu pun lama-lama semakin terang, semakin terang dan semakin terang. HIngga di detik yang ke sekian, dengan mata yang tetap terpejam, kedua tangan rengganis terangkat ke udara, tautan ujung jari tengah dan Ibu jarinya terlepas, dan telapak tangannya kini terbuka ke depan dengan jari-jari yang ia posisikan lurus.
Dan tiba-tiba, kepulan-kepulan kabut tebal melesat keluar dari ujung-ujung jemarinya, meluncur dengan deras ke udara dan membentuk lingkaran-lingkaran kecil bak cincin emas yang membumbung banyak ke udara. Rengganis terus memfokuskan pikirannya, terus mengeluarkan kabut dari ujung-ujung jemarinya, menerbangkan dan menebarkan kabut-kabut berbentuk cincin itu ke angkasa, mengirim kabut itu ke langit tinggi di atasnya.
Dan Saka yang tengah memijati tengkuk Mang Diman hanya bisa terpana melihat apa yang dilakukan istrinya, bibirnya terbuka, matanya terbelalak dengan keindahan yang ada di ambang pandangnya kini. Bagaimana tidak, siapa yang tidak akan terpana ketika melihat ribuan atau bahkan puluhan ribu.. tidak malah mungkin ratusan ribu cincin kabut terbang mengudara ke angkasa, menyajikan fenomena indah nan elok di pandang. Cincin-cincin kabut itu terlihat kontras dengan lingkungan sekitar lembah ini yang serba hijau. Indah.. begitu indah..
“Sawur lamuk..” Gumam Saka di dalam hatinya.
“Pak..” Panggil Mang Diman yang sudah mulai tenang dari mabuk perjalanannya.
“Ada apa Mang?” Tanya Saka tanpa memalingkan pandangan dari istrinya yang terus mengeluarkan kabut dari ujung-ujung jemarinya.
“Kenapa Ibu enggak masang
Segara Lamuk dulu Pak? Bukannya kalau kaya gini, terlalu mencolok? Mamang khawatir ini akan menarik perhatian penduduk, atau yang terburuk, menarik perhatian orang-orang Hematala untuk ke sini..” Tanya Mang Diman yang ikut terpana pada apa yang tengah ia saksikan kini. Bagaimana tidak, ini pertamakalinya bagi lelaki paruh baya itu melihat Rengganis menggunakan
Sawur Lamuk, karena selama ini ia hanya pernah melihat Rengganis menggunakan
segara lamuk dan
sashara lamuk saja, itu pun sudah lama sekali.
“Tenaga Rengganis ndak cukup Mang, dari itu.. sudah tugas kita untuk menjaganya selama ia melakukan ini..” Ujar Saka dengan tatapan tajam dan hati yang resah dibalut gundah gulana. Mang Diman pun mengangguk denga yakin, sudah tak lagi ia pedulikan mual yang tengah menggoncang-goncang isi perutnya saat ini.
“Kalau gitu aku ke atas dulu Mang.. aku masih punya satu tugas lagi dari Rengganis, aku harus bisa menemukan titik laut teraman untuk membuang abu-abu sialan ini. Sekalian aku juga akan ngecek keadaan sekitar. Mamang istirahat aja sembari pantau kondisi Rengganis ya..” Pamit Saka pada Mang Diman, yang oleh lelaki tua itu segera disambut dangan anggukkan kepala. Setelah itu Saka pun segera membawa tubuhnya untuk menaiki tepian lembah ini, hendak mencari dahan tertinggi.
Kembali ke Rengganis, ia terus menyebarkan kabutnya untuk menjangkau seluruh abu-abu panas yang berada di atas langit derah ini, menyelasap butir demi butir abu-abu tersebut tanpa terlewatkan satu butir pun. Dan setelah hampir sepuluh menit lamanya, cincin-cincin kabut yang keluar dari jemarinya pun terhenti, ia sudah selesai memetakan keseluruhan abu-abu yang mengapung di angkasa tersebut, mengambil jeda sejenak, mengatur napasnya yang mulai terasa kembang kempis kelelahan.
Setelah dirasa cukup, Rengganis pun dengan perlahan memutaar telapak tangannya menghadap ke angkasa, ia fokuskan kembali pikirannya untuk mengirimkan energi ke syaraf-syaraf yang ada di telapak tangannya. Ia tengah bersiap untuk mengeluarkan kemampuan
Sabuk Lamuk yang selama ini jarang sekali ia gunakan, jemarinya mulai bergerak-gerak lembut, membuat kabut-kabut nya yang berada di angkasa mulai saling merapat.
“Uhuk.. Huhhh..” Rengganis terbatuk sebab merasakan energinya sudah mulai terkuras, namun ia tak bisa berhenti, karena sebagai
tetangga terdekat tanah ini, ia memiliki tanggung jawab untuk menggantikan peran melindungi tanah pesisir selatan dari ancaman tak kasat mata seperti ini.
Ia hela napasnya dalam-dalam, ia kuatkan pijakan kakinya di atas tanah, bahunya ia gerakkan lembut, kemudian dengan seluruh sisa tenaganya, ia satukan lembaran-lembaran kabut di angkasa sana dengan kemampuan Sabuk Lamuknya, membuat kabut-kabut yang mengikat abu letusan gunung itu mulai saling menyatukan diri mereka, ibarat manusia, kabut-kabut itu berusaha untuk saling bergandengan tangan dan merapatkan barisan.
Beralih ke Saka yang saat ini sudah berada di atas lembah, sudah berdiri di sebuah dahan pohon cemara gunung yang terlihat menjulang, dengan mata terpejam dan kedua tangan terkatup di dada. Ia tengah membaca pergerakan tanah yang berada di laut sana, mencoba mencari titik teraman untuk membuang abu-abu yang tengah dikumpulkan oleh sang istri, kepalanya sesekali bergerak kecil ke kanan dan ke kiri, berusaha menjangkau sebaik mungkin bagian bawah laut daerah ini, membaca bagian laut mana yang paling sedikit memiliki kehidupan. Dan setelah di dapatkannya areal yang menurutnya paling aman, Saka pun membuka matanya, napasnya sedikit terseok-seok, ia pun sama seperti sang istri, terlalu banyak mengerahkan tenaganya dua hari ini.
Setelah itu tubuhnya kembali melesat menuruni lembah dengan cepat, membawanya kembali ke dasar lembah tersebut untuk bergabung dengan Rengganis dan Mang Diman.
“Bagaimana Pak?” Tanya Mang Diman dengan cepat.
“Aku udah nemuin titik laut teraman untuk abu-abu ini, aku juga udah mantau daerah ini, ndak ada pergerakan berarti. Jadi kita cuma tinggal nunggu Rengganis selesai dengan urusannya..” Jawab Saka seraya berjalan mendekat pada tubuh sang istri, terlihat sekali olehnya betapa Rengganis tengah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mempersempit persebaran abu-abu di atas kepala mereka saat ini.
“Dua puluh kilometer ke barat laut Dek.. kamu bisa giring abu-abu ini ke sana..” Bisik Saka pada Rengganis yang masih berusaha mempersempit persebaran abu-abu dengan
Sabuk Lamuknya. Mendengar perkataan suaminya, Rengganis pun segera menganggukkan kepala.
“Apa kamu baik-baik aja Dek?” Tanya Saka lagi mengkhawatirkan sang istri, karena ia tahu, saat ini istrinya tidak hanya sekedar mengikat abu-abu di atas dengan kemampuannya, tapi juga tengah tarik ulur kekuatan dengan orang-orang yang mengendalikan abu-abu ini.
“Aku baik-baik aja Mas.. uhuk.. dari yang aku rasain, Cuma ada dua energi yang coba melawan
sabuk lamukku saat ini, satu di timur dan satu lagi di selatan. Mereka mencoba menghambat aku. Tapi.. uhuk.. aku masih bisa mengatasinya..” Jawab Rengganis dengan napas terengah, Saka mengangguk pelan, ia tak bisa membantu banyak saat ini.
Sekali pun ia tahu posisi kedua pengendali
Liris Kisma dari penuturan sang istri, namun ia tak bisa menyambangi kedua orang tersebut, karena terlalu riskan jika ia dan Mang Diman pergi meninggalkan Rengganis sendiri di sini, sebab itu akan menjadikan Rengganis sasaran empuk pastinya.
Saka pun mundur teratur, berdiri membelakangi sang istri sembari mengamati situasi sekitar, ia tak boleh kecolongan jika ada seseorang yang datang. Begitu pun Mang Diman, lelaki tua itu terlihat awas menyapu pandang ke segala penjuru, seolah bersiap akan apa saja yang kemungkinan mengganggu usaha mereka mengentaskan abu-abu ini.
“Hhhhmmpphh..” Rengganis berdehem tertahan, ia merasakan sedikit kesulitan untuk sekedar merapatkan abu-abu ini, perlawanan dari para liris kisma sebenarnya amat menghambat usahanya saati ini, namun tentu saja, ia tak bisa menyampaikan ini pada Saka. Ia tak mau membuat sang suami harus pergi dari sisinya, bukan karena ia takut posisinya terbuka, bukan.. melainkan ia khawatir pada Saka.
Perlahan, darah pun mengucur pelan dari hidung perempuan tersebut, pertanda bahwa ia benar-benar mendorong paksa dirinya untuk melakukan hal ini. Ia sudah amat mendekati batas akhir tubuhnya, namun ia terus memaksa agar tubuhnya tidak menyerah saat ini. Meski sejatinya ia mulai mempertanyakan dirinya sendiri, mampukah ia menyelesaikan rencana ini? Mungkin kekuatannya masih cukup untuk mengikat dan merapatkan keseluruhan kabutnya yang tengah menangkap butir-butir debu di atas sana. Namun ia sedikit tidak yakin, apakah ia bisa mengirim abu-abu itu ke titik yang sudah ditentukan Saka. Ia menyangsikan kekuatannya sendiri saat ini?
Kini darah segar pun kembali turun dari lubang hidungnya, membasahi kulit bibirnya dengan hangat, ia tak boleh menyerah saat ini. Tidak boleh sama sekali.
“Aku bisa.. aku bisa melakukan ini.. Ibu.. aku bisa melakukan ini kan Bu? Aku pasti bisa menjadi perempuan kuat seperti Ibu, kan?” Rengganis membatin di dalam hati, ia merasakan napasnya semakin sesak dan tubuhnya semakin melemah. Dan untuk saat ini, ia sudah hampir selesai merapatkan keseluruhan kabut-kabutnya, hanya tinggal memikirkan cara agar ia bisa mengirimkan kabut-kabut bercampur abu panas ini ke tengah laut.
Sialnya perlawanan dari kedua liris kisma di timur dan selatan benar-benar menyulitkannya saat ini. Membuat perempuan itu harus mengerahkan lebih banyak lagi energi nya untuk merampungkan hal ini.
Hingga di detik ke sekian, setelah tetes demi tetes darah semakin banyak keluar dari lubang hidungnya, ia merasakan gangguan dari timur dan selatan tiba-tiba menghilang begitu saja, seolah kedua liris kisma itu menyerah dan melepaskan kendali mereka terhadap abu-abu yang tengah Rengganis kumpulkan. Rengganis membuang napas lega, meski batinnya bertanya mengapa kedua liris kisma itu menyerah, namun jawaban dari pertanyaan itu bukanlah prioritasnya. Ia pun bergegas mempercepat ikatan-ikatan sabuknya, memfokuskan pikirannya dengan penuh.
Sementara itu, Saka yang sedari tadi mengawasi seksama setiap pergerakan di sekitar areal ini merasakan ada kejanggalan. Ia pun segera memasang sikap waspada dengan pikiran ia pusatkan keras-keras sekuat tenaga.
“Ada yang datang Mang.. merapat..” Pekik Saka pada Mang Diman, lelaki itu merasakan kedatangan seseorang dengan energi yang cukup kuat. Mang Diman pun segera merapatkan tubuhnya, mereka kini sudah mengelilingi Rengganis yang kakinya sudah mulai goyah sesekali.
“Sialan ini.. Mamang bakal habisin mereka Pak..” Geram Mang Diman seraya mengeluarkan sebuah kujang dari bagian belakang pinggangnya, digenggamnya baik-baik kujang tersebut di tangan kanan, sedang tangan kirinya terbuka bersiaga.
“Arah jam 9 Mang.. ojo gegabah..” Sahut Saka seraya memusatkan energinya di kedua kepalan telapak tangannya, mata kedua lelaki itu awas dan nyalak. Seolah siap menyambut apa saja yang datang pada mereka.
Tik
Tok
Tik
Tok
Denting jam seolah terdengar melaung di kepala mereka masing-masing, ketika dari rimbut pepohonan lembah ini, dahan-dahan dan dedaunan mulai bergoyang tak seirama dengan angin, Seperti ada yang menerabas di sana. Lalu..
SRRAAAAKKK.. DAABBB…
Seorang lelaki paruh baya keluar dari rimbun pepohonan dan langsung menjejakkan kakinya dengan tegas di atas tanah dasar lembah ini. Perawakannya tidak terlalu tinggi, tubuhnya pun kurus dengan pakaian adat khas timur pulau ini melekat di tubuhnya, plus blangkon menutupi kepalanya.
Tatapan lelaki itu datar-datar saja, kedua tangannya terjuntai ke bawah, dengan mata perlahan ia sapukan ke langit di atasnya. Memandangi kabut-kabut yang menaungi langit seantero wilayah ini.
Bersamaan dengan itu Mang Diman yang sudah terbakar emosi segera memusatkan energinya, lalu..
TREERRRTT..
Kepulan asap hitam melingkupi tubuh Mang Diman dengan cepat, diiringi suara sengatan listrik, dan seketika itu pula Mang Diman lenyap dari samping tubuh Saka bersama asap hitamnya.
TRREERRTT..
Sedetik kemudian, asap hitam yang diiringi kilatan itu muncul di belakang Lelaki berblangkon yang baru datang tersebut, membuat ia tersentak kaget dan segera memasang sikap waspada tingkat tinggi.
“KYYAAAAA!!!!” Tiba-tiba saja hunusan kujang Mang Diman keluar dari asap hitam itu, bersamaan dengan loncatan tubuhnya berusaha menyerang bagian punggung lelaki berblangkon tersebut.
Namun lelaki itu sudah bersiap dan lekas mengelak, meski ia terkejut akan serangan dadakan itu, ia tetap bisa menghindari sapuan kujang dari Mang Diman yang terlihat begitu penuh tenaga dengan berguling ke depan. Membuat kujang Mang Diman hanya menemui kosong udara. Dan dalam posisi setengah berjongkok, lelaki berblangkon itu pun dengan sigap memutar tubuhnya, lalu..
BUGGHH..
Mang Diman dengan cepat mengayunkan kakinya menyamping ke arah kepala sang tamu yang tak diundang, oleh lelaki itu direspon dengan menyilangkan tangan di samping kepalanya, mencoba memblok tendangan Mang Diman. Namun kencangnya tenaga yang terkumpul di kaki pembantu bagi keluarga Saka dan Rengganis itu, membuat tubuh sang lawan terpental beberapa meter ke samping, tersungkur di atas tanah dengan lengan yang terasa nyeri.
“Kehed Sia!” Mang Diman seperti tak memberikan waktu bagi sang tamu untuk bernapas, ia segera melonjak dengan kaki di arah kan untuk menginjak tubuh sang lawan. Sedang lelaki berblangkon itu gesit bangkit dan hendak menghindar, namun sepertinya ia tak memiliki waktu yang cukup untuk berkelit. Hingga..
WUSSHHH
TAP..
“Cukup!” Dengan cepat Saka melesat dan langsung berada di antara Mang Diman dan lelaki berblangkon yang sedang berusaha membuat blok tangan itu, satu tangannya sigap menahan betis Mang Diman, sedang tangannya yang lain langsung mencengkeram kuat bahu lelaki berblangkon agar tidak bergerak kemana-mana.
Mata Mang Diman seketika terbelalak, sedang lelaki berblangkon yang bahunya dicengkeram Saka dengan kuat pun membuang napasnya pelan, lega karena selamat dari sambaran kaki Mang Diman. Namun meski begitu, mata lelaki berblangkon itu juga terbuka lebar, karena melihat betapa cepat pergerakan Saka yang kini berada di depannya.
Mendapati serangannya ditahan oleh Saka, Mang Diman pun segera menarik kakinya kembali.
“Maaf Pak, tapi kenapa Bapak nahan Mamang?” Tanya Mang Diman dengan tatapan masih nyalak.
“Ojo gegabah Mang..” Ujar Saka dengan dinginnya seraya memutar tubuh dan menatap lelaki paruh baya dengan blangkon di kepala itu, posisi sang tamu yang tak diundang itu sudah terduduk dengan napas sedikit terengah.
“Katakan apa tujuan sampean ke sini? Karena sepengamatan saya, sampean ndak berniat buat nyerang kami to?” Tanya Saka dengan dinginnya, bersamaan itu ia kendurkan cengkeramannya, membuat lelaki berblangkon di hadapannya perlahan menegakkan posisi duduknya. Kemudian perlahan bangkit berdiri.
“Matur nuwun atas pengertiannya Den.. perkenalkan saya Kusno dari Parung Wetan. Saya ke sini atas perintah dari Pimpinan untuk mengurus kekacauan yang ditimbulkan oleh pembelot-pembelot kami.” Ucap Lelaki paruh baya yang mengaku bernama Kusno tersebut seraya menyerahkan sebuah koin berwarna hijau lumut pucat ke pada Saka.
Dan melihat lelaki tersebut membawa koin yang kemudian diserahkan kepada Saka, sontak saja hal itu membuat Mang Diman langsung adem wajahnya, ia simpan kujangnya kembali ke belakang pinggang. Pun Saka, langsung melepas cengkeramannya seraya mengambil jarak dan menerima koin pemeberian lelaki berblangkon itu.
Koin tersebut bukanlah koin sembarangan, bukan pula koin yang dipergunakan untuk membeli sesuatu, koin tersebut merupakan koin langka yang hanya dimiliki oleh pemimpin-pemimpin suatu wilayah. Dan yang memiliki warna hijau lumut padam itu adalah koin dari Pimpinan Parung Wetan, dan itu sudah cukup untuk membuktikan bahwa lelaki berblangkon di hadapan Saka dan Mang Diman benar adalah utusan langsung dari Pimpinan lembah timur pulau ini.
“Kalau begitu saya mohon maaf atas sambutan yang kurang baik ini..” Ujar Saka seraya langsung menyerahkan kembali koin tersebut kepada Pak Kusno, setelah itu ia pun membungkukkan tubuhnya. Diikuti oleh Mang Diman yang juga menghaturkan maaf atas kesalah pahamannya.
“Tidak perlu minta maaf Den.. saya yang harusnya minta maaf, karena orang-orang dari Parung Wetan sudah ikut andil dalam kekacauan ini. Sungguh.. Saya sangat minta maaf..” Ujar Pak Kusno seraya ikut membungkukkan tubuhnya. Setelah itu mereka pun saling bersalaman dan memperkenalkan diri.
“Suatu kehormatan untuk saya karena bisa bertemu langsung dengan Den Saka, selaku garis terakhir dari
Gana Taraksa.” Tukas Pak Kusno dengan penuh penghormatan kepada Saka.
Namun bagi Saka, mendengar gelarnya disebut sudah lebih dari cukup untuk membuat hatinya bergetar lirih. Beruntungnya, ia bisa dengan cepat mengendalikan isi hatinya agar tak terbawa suasana ringkih ini.
( Gana Taraksa : Pasukan Serigala, gelar yang disematkan untuk suatu trah istimewa pemilik kemampuan sensor paling ulung di pulau ini )
“Suatu kehormatan juga bagi saya, karena Pimpinan Parung Wetan sudah repot-repot mengirim Pak Kusno untuk membantu masalah yang ada di sini.” Jawab Saka.
“Maaf Den.. tapi saya hanya menyampaikan pesan dari Pimpinan saya, agar tidak ada kesalahpahaman. Kehadiran saya di sini bukan karena Parung Wetan hendak terlibat dalam konflik ini, tapi hanya untuk membereskan masalah yang ditimbulkan dari para pembelot tanah kami. Itu saja, selebihnya, Pimpinan saya belum memutuskan untuk mengambil tindakan. Saya harap Den Saka maklum akan hal itu..” Sahut Pak Kusno dengan amat tenang, yang oleh Saka segera dibalas dengan anggukkan kepala pelan.
Saka mengerti betul akan hal ini, meski ia sejujurnya amat berharap bahwa Lembah Timur akan ikut andil bagian di situasi ini, namun ia sadar, Parung Wetan sedari dulu selalu menempatkan diri sebagai titik netral di antara tiga daerah lain. Bisa disebut seperti itu, atau jika ingin lebih kasarnya, Parung Wetan tidak perduli akan dunia luar, jika itu tidak berkaitan dengan diri mereka sendiri tentunya.
“Untuk Mas Diman.. suatu kehormatan besar juga bagi saya karena bisa melihat langsung kehebatan dari ajian Lipat Jagat. Saya sangat merasa terhormat karena bisa melihat ajian yang hampir punah tersebut dengan mata kepala saya sendiri..” Ucap Pak Kusno kepada Mang Diman yang beberapa menit lalu sudah mengancam nyawanya.
“Sekali lagi maafkan saya karena menyerang Mas Kusno membabi buta..” Sahut Mang Diman dengan tenang.
“Tidak apa-apa Mas.. wajar bila..” Kata-kata Pak Kusno tak sampai selesai karena tiba-tiba Mang Diman berlari meninggalkannya dan Saka.
“UWEK.. UWEKK..” Mang Diman yang sudah berlari ke semak-semak langsung memuntahkan kembali isi perutnya. Ia yang sedari tadi tidak mual, tiba-tiba saja teringat bahwa ia baru menggunakan kembali kemampuan lipat jagatnya, dan itu langsung berdampak pada psikisnya, dan membuat lambungnya seketika tergoncang.
Hal tersebut langsung menghasilkan senyuman kecil di bibir Saka, seraya memberi penjelasan kepada Pak Kusno perihal kondisi Mang Diman tersebut.
“Dua pembelot dari Parung Wetan sudah diurus oleh kawan-kawan saya Den.. jadi Den Saka tidak perlu khawatir. Mereka pun akan langsung kami bawa pulang untuk menjalani peradilan. Tapi maaf Den, dua orang lain yang berasal dari Hematala tidak berhasil kami ringkus, dan memang kewajiban kami untuk melakukan itu.” Pak Kusno berkata dengan tenang kepada Saka.
Mereka berdua pun berbincang sebentar sembari menunggui Mang Diman yang tengah mengeluarkan isi perutnya. Dan setelah beberapa saat, dan pembahasan mengenai detail tentang kedatangan Pak Kusno, Mang Diman pun sudah selesai dengan isi perutnya, dan segera bergabung kembali.
Setelah itu, perhatian mereka pun teralihkan kepada Rengganis yang terlihat semakin lemah kuda-kudanya, pun darah di hidungnya yang terus menerus keluar dan membasahi sekitar bibir hingga menetes ke bawah dagunya. Menyadari itu, terang saja langsung membuat Saka diliputi kekhawatiran. Suami mana yang tidak khawatir melihat istrinya berjuang keras hingga meneteskan darah dari hidung seperti itu?
“Kekuatan
Lamuk dari Raden Ayu sungguh luar biasa.. beliau bahkan bisa mengungguli Liris Kisma dari dua pembelot kami yang tingkatannya sudah cukup tinggi.. ” Ujar Pak Kusno dengan tatapan takjub. Raden Ayu yang ia ucapkan sendiri merujuk pada diri Rengganis.
Sedang Saka mendekat perlahan ke arah Rengganis yang jelas sekali terlihat sudah hampir mencapai ambang batasnya. Langkah Saka diikuti oleh Mang Diman dan Pak Kusno di belakangnya.
“Dek.. uwes cukup Dek.. jangan dipaksakan..” Ujar Saka lemah. Setitik senyum terlihat mengembang dari bibir Rengganis.
“Aku hampir selesai Mas.. tinggal mengirimkan abu-abu ini ke tengah laut saja kok.. uhuk.. uhukk..” Sahut Rengganis terdengar ceria, namun ditutup dengan batuk yang mengeluarkan darah dari mulutnya, membuat Saka bergegas mendekat dan hendak memegangi bahu sang istri, namun oleh Rengganis lekas ditahan dengan gelengan kepala, isyarat agar Saka tidak terlalu merapatkan tubuh padanya.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja Pak Kusno menurunkan tubuhnya, membuat sebelah lututnya menyentuh tanah sebagai tumpuan, memberikan sembah penghormatan kepada Rengganis yang berada di hadapannya.
“Hormat saya untuk Raden Ayu, perkenalkan Saya Kusno.. kehadiran saya di sini untuk membereskan masalah yang ditimbulkan para pembelot dari Parung Wetan. Mohon dimaafkan atas kelancangan ini.” Ujar Pak Kusno dengan wajah ditundukkan, dan setelah mendapatkan anggukkan kepala, ia pun kembali bangkit dan berdiri.
“Raden Ayu.. mohon izinkan saya mengambil alih tugas ini, karena bagaimana pun.. ini sepenuhnya tanggung jawab Parung Wetan..” Sambung Pak Kusno kembali dengan bungkukkan tubuh, dan kembali juga Rengganis meresponnya dengan anggukkan.
Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir perempuan itu, sebab sesungguhnya, ia benar-benar sudah mencapai batas akhir dirinya. Dan hatinya sungguh amat bersyukur sebab pertolongan yang datang padanya saat ini.
“Mohon ditahan sebentar lagi Raden Ayu..” Ujar Pak Kusno seraya berdiri sejajar dengan Rengganis, ia pun segera mengarahkan telapak tangannya ke angkasa, dan bergegas membuka gerbang energinya untuk menjangkau abu-abu di atas langit sana. Jemarinya bergerak-gerak seperti orang yang tengah meraba-raba sesuatu, hingga setelah hampir satu menit lamanya, lelaki berblangkon itu pun berhasil mengalirkan tenaga dalamnya ke seluruh persebaran abu di atas sana.
“Sudah cukup Raden Ayu.. dari sini biar saya yang ambil alih..” Ucap Pak Kusno dengan alis tertaut dalam, ia tengah memasuki mode utama pengendalian Liris Kisma-nya, itu terlihat dari urat-urat di telapak tangannya yang memancarkan semburat garis-garis hitam samar.
“Terimakasih Pak.. uhuk..” Ucap Rengganis seraya mulai memutus aliran tenaga dalamnya dengan kabut-kabut di pengikat abu-abu di atas sana, selesai sudah
sabuk lamuk yang ia keluarkan.
Tangan Rengganis langsung tersentak, tubuhnya pun terdorong limbung tak bertenaga ke arah belakang, yang oleh Saka lekas ditangkap dalam rengkuhan. Cahaya-cahaya putih yang berkelibatan di urat-urat nadi rengganis pun meredup perlahan, seiring tubuhnya yang kehilangan tenaga dan lunglai dalam pelukan sang suami, dibaringkan dengan hati-hati.
“Bertahanlah Dek..” Ucap Saka khawatir seraya membersihkan darah yang berada di sekitar hidung dan bibir Rengganis. Matanya dipenuhi kekhawatiran, telapak tangannya langsung memerah darah. Sedang Rengganis hanya tersenyum sayu, apalagi ketika ia mendapati sang suami meneteskan air mata untuknya.
“Den Saka sebaiknya segera membawa Raden Ayu pergi dari sini. Untuk masalah abu-abu ini, percayakan pada saya.” Ucap Pak Kusno tanpa menoleh pada Saka, tatapan lelaki bertutup kepala blangkon itu nyalak ke angkasa.
“Baik Pak.. terimakasih.. Tolong tempatkan abu-abu ini di barat laut, dua puluh kilometer dari sini..” Sahut Saka seraya bangkit membopong Rengganis. Mang Diman yang sedari tadi diam kebingungan pun segera menyodorkan sapu tangan dan mengelami sisa-sisa darah di bibir dan hidung Rengganis dengan telaten, mata lelaki tua itu juga berkaca-kaca, karena bagaimana pun, ia sudah menganggap Rengganis sebagai anaknya sendiri.
“Dua puluh kilometer ke barat laut.. baik.. titah Raden saya terima..” Ujar Pak Kusno dengan suara berat, bersamaan itu kedua kakinya melebar memasang kuda-kuda, menjejak kuat ke tanah, urat-urat di telapak tangannya kian menghitam pekat, pertanda aliran energi di sana yang semakin kuat.
Saka pun membopong Rengganis beberapa meter untuk menjauh dari titik di mana Pak Kusno berdiri, sebab ia hendak meminta tolong pada Mang Diman untuk sekali lagi menggunakan ajian lipat jagatnya, agar mereka bisa lekas sampai ke tempat di mana mobil mereka terparkir.
“Mang saya minta tolong satu kali lagi ya, bawa kita langsung ke mobil..” Ucap Saka seraya menghentikan langkahnya. Dan kali ini, Mang Diman mengangguk tanpa penolakan sama sekali. Ia langsung mencukupi kegiatannya membersihkan sisa-sisa darah di bibir Rengganis, memasukkan sapu tangan ke saku.
Kemudian telapak tangan kanannya ia tempatkan di selah satu punggung telapak tangan Saka, sedang telapak tangan kirinya menggenggam jemari Rengganis dengan air mata berderai lembut.
“Hihihi.. pasti nanti Mang Diman muntah lagi deh..uhuk..” Ejek Rengganis lemah dengan mata sayu ke arah Mang Diman.
“Diem Bu.. enggak usah ngeledek Mamang..” Jawab Mang Diman ketus mencoba menyembunyikan kesedihannya.
“Hihihihi.. awas ya.. kalau.. aku.. sampai dimuntahin.. uhuk..” Canda Rengganis lagi seraya terbatuk dan kembali mengeluarkan darah dari bibirnya. Mang Diman tidak menanggapi candaan itu, dan segera berfokus pada aliran energi di urat-urat tubuhnya.
Sedang Saka hanya bisa menatap Rengganis dengan penuh kesedihan dan kekhawatiran, air matanya terus menetes keluar dengan sendirinya. Sesekali ia kecup rambut Rengganis dengan lembut dan bisu, tanpa kata-kata. Karena memang Saka bukanlah tipe lalaki yang pandai bertutur lembut. Rengganis tersenyum lemah membalas tatapan mata Saka, disajikannya senyum terindah seolah hendak mengabarkan bahwa ia tak apa-apa.
“Pak.. tolong eratka pegangan Bapak ke tubuh Ibu.. Mamang akan langsung bawa kalian kembali ke Pendopo..” Ucap Mang Diman dengan mata yang sudah terpejam, dan mendengar itu, Saka langsung tersenyum lega di dalam hatinya. Karena jika memang begitu adanya, itu berarti Rengganis akan lebih cepat diobati.
Sedang Rengganis merasa amat terharu mendengar kata-kata dari seseorang yang sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri itu, karena Rengganis tahu betul, perlu pengorbanan besar tiap kali Mang Diman melakukan lipat jagat, apalagi jika jaraknya jauh, maka pengorbanannya akan semakin besar, dari itu, Rengganis hanya bisa mengucapkan terimakasih mendalam di lubuk hatinya, ia sudah tak mampu berkata-kata lagi.
“Makasih Mang.. Makasih banget..” Sahut Saka ketika asap hitam mulai keluar dari tubuh Mang Diman dan mulai menyelimuti mereka.
“Inget ya Pak.. ini enggak gratis lho.. Selain Mamang enggak mau nyetir pas pulang nanti, mamang juga enggak mau balik lagi buat ngambil mobil di sini, atau tepatnya sih.. tenaga Mamang pasti enggak bakalan cukup hehehe..” Tukas Mang Diman ditutup tawa renyah, dan setelah itu bibirnya mulai berkomat-kamit melafalkan rapalan mantra.
Membuat asap hitam semakin pekat menyelimuti mereka, bahkan volume asapnya kali ini jauh lebih banyak, dengan kilatan-kilatan petir yang jauh lebih rapat, ini mungkin karena jarak lompatan yang amat jauh, membuat Mang Diman harus mengerahkan jauh lebih banyak energinya untuk kali ini. Dan setelah asap hitam dengan kilatan-kilatan itu membumbung pekat dan tebal..
TRREERRRRTT.. TTRREERRRRTT… WWUUSSHHHH
Tubuh ketiga orang tersebut pun menghilang dari dasar lembah seiring dengan bumbungan asap hitam yang tersapu angin perbukitan. Membuat dasar lembah itu kembali melengang dan hanya diisi oleh satu orang lelaki paruh baya yang tengah berjibaku mengarahkan sesuatu di angkasa sana menggunakan energi-energi yang tak nampak di tangannya.
Pak Kusno mengeram berat, meski Liris Kisma-nya termasuk yang cukup disegani di Parung Wetan, namun tetap saja, mengendalikan material sebanyak dan seluas ini bukanlah perkara mudah baginya, terlebih ia harus mengirim abu-abu ini sejauh dua puluh kilometer ke tengah laut, sungguh ini akan menguras banyak tenaganya pasti.
Dan itulah yang membuatnya semakin terkagum dengan Raden Ayu pemilik ajian lamuk tadi. karena dengan luar biasanya perempuan itu mampu mengumpulkan dan mempersempit persebaran abu-abu seluas dan sebanyak ini, tanpa memiliki kemampuan Liris Kisma, melainkan hanya berbekal ajian lamuk saja. Itu jelas menggambarkan betapa kuat dan dahsyatnya kemampuan pengendalian kabut yang dimiliki oleh perempuan yang mewarisi takhta dari Nyai Putri
-Ibu dari Rengganis-, selaku pemangku tanggung jawab atas keseluruhan wilayah barat pulau utama ini.
‘Luar biasa..” Gumam Pak Kusno dengan jujurnya seraya mulai menggerakkan abu-abu di atas langit sana untuk meninggalkan wilayah langit Lemah Kidul.
*
POV REGAN
“Nggan pulang..” Seruku lantang namun penuh hawa kelelahan sembari terduduk di undakan teras rumah, kulepaskan sepatuku dan kusisihkan ke samping. Ku abaikan gonggongan nyalak dari Bogi dan tatapan sayu dari Kepin yang menyambut kepulanganku.
Aku lelah.. amat lelah menghadapi hari ini. Gimana enggak lelah, setelah motoran di tengah hari yang berbalut awan bersama Dira, tertawa dan bergembira melalui dentingan sang waktu, eh di tengah mentari yang mulai menjingga ini, aku malah kepikiran dengan apa yang terjadi pada Hani selepas pulang sekolah tadi. Padahal aku sudah mencoba menghempaskan masalah-masaah yang ada di dalam kepalaku ini dengan menggebuk-gebuk drum dengan emosional.
Iya jadi aku ini abis nge-band Cuy.. inisiatif dari Wawi sih, karena sepertinya ia tahu kalau aku butuh pelampiasan, makanya dia mengajakku dan yang lain untuk merental studio musik yang berada tak jauh dari sekolahku. Dan hebatnya, hari ini tidak ada satu pun lagu dari PADI yang aku bawakan lho, iya kalian enggak salah baca. No PADI PADI Song today..
Jadi hari ini kami membawakan lagu-lagu keras, ada dari SID yang judulnya Tanah Anarki, ada juga lagu NTRL, ada lagunya PWG juga, pokoknya hari ini aku seperti dibebaskan menggebrak drum sekeras aku mau hahaha.
Tapi tetep aja, meski sempat teralihkan, toh sekembalinya aku kerumah, aku kembali kepikiran sama Hani. Dia loh kayanya lagi ngambek sama aku, eh bukan kayaknya deh, emang ngambek pasti. Mana pake segala nangis pula, siapa yang enggak kepikiran coba? Lagian dia itu kenapa harus nangis sih?! Di depan temsan-temanku pula, kan enggak enak dan serba salah jadinya aku ini.
Lagian aku heran, itu sebenarnya Hani nangisin apa? Nangisin aku karena ngebolos bareng Dira gitu? Lah emang masalah gitu buat dia? Dia aja Cuma nganggep aku kekasih bayangan doang, yang bisa dia sayang-sayang, tapi enggak pernah nerima tiap aku tembak. Apa coba namanya kalau bukan pemberi harapan palsu? Arrgghhh..
kehed-lah.. bukan, bukan Hani yang kehed.. aku yang kehed.. dahlah.. capek aku!
Manaan ini Mang Diman ngabarin kalau mereka
-Ibu dan Ayah juga- belum bisa pulang hari ini, katanya masih ada urusan di sana. Urusan apa coba? Kan bilangnya Cuma mau nengokin keluarga Mang Diman aja, kenapa pake segala ada acara-acara tambahan kaya gini coba? Tega banget sama anak sematawayang tertampan ini.
Tahu bakal banyak masalah kaya gini mah mendingan aku ikut aja ke Lemah Kidul sama Ayah sama Ibu. Biar enggak perlu kejebak situasi yang nyebelin kaya gini. Bajigur lah..
“AAUUGGHH.. AAUUGGGHH..” Bogi berlarian ke arahku seraya langsung menerkam tubuhku yang tengah berselonjor kaki, menjilatiku seolah aku ini tulang menggiyurkan di serial tom & jerry. Sialan ini.. enggak sadar diri kah dia ini? Badannya ini loh segede samsak tinju, bajigur..
“Aku cape Bogi.. nanti aja ya mainnya..” Ucapku mencoba memberi pengertian dengan menggaruk-garuk bagian bawah pipi anjingku ini.
“AAUUGGHH.. HEH.. HEH.. HEH..” Sahut Bogi seraya bangkit dan berputar-putar di hadapanku. Gitu dong, pinter, nurut.
Namun kalau aku perhatiin baik-baik nih, kaya ada yang beda gitu di halamanku sore ini. Kalau Bogi sih jelas bukan, dia mah tetap atraktif kaya Yaya Toure kalau lagi drible bola. Masalahnya adalah Si Kepin nih, kok sedari aku masuk tatapannya itu sayu banget ya? Enggak nyebelin kaya biasa gitu. Aneh ini.. asli! Di luar kebiasaan Si Jenderal Pemalas itu.
Terlebih, kuperhatikan Si Kepin ini kok tumben-tumbenan gitu duduk rapih dengan tubuh tegak memandang langit, ngeliatin apa dia coba? Ngeliatin burung gereja kah? Tapi perasaan enggak keliatan ada burung gereja yang terbang-terbangan di sekitar rumahku ini. Mukanya asem lagi, lesu lunglai enggak bersemangat, mirip Torres di depan kotak penalti. Aneh sih ini.. asli.. aneh..
“Mereka berdua udah aku kasih makan tadi, jadi enggak usah dibikinin makan lagi ya, Nggan..”
Di tengah lamunanku, tiba-tiba suara lembut Teh Arum terdengar menghangat di telingaku , dekat sekali, membuatku lekas menolehkan kepala.
“Makasih Teh..” Ucapku datar seraya memandangi Teh Arum dengan seksama. Ia melempar senyum kepadaku yang.. aihhh.. manis kali macam nira kelapa yang baru dipanen dari pohon.
“Kamu kok pulangnya sore banget sih?” Tanya Teh Arum sayupkk-sayup di tengah keterpanaanku.
Dan betapa sungguh aku enggak akan terpana.. karena bahkan jingganya mentari petang ini enggak sebanding dengan keindahan senyum Teh Arum yang sudah duduk di undakkan teras juga, sejajar denganku, tapi agak berjarak. Ia mengenakan gaun yang bagian bawahnya jatuh di bawah lutut, gaun atau daster aku enggak bisa bedain sih, tapi pokoknya ini modelannya kaya gaun, tapi mirip daster karena modelnya batik, pokoknya gitu deh. Ah iya.. mirip model baju adat tionghoa gitu, yang ada kancing di bagian atasnya, apalah itu namanya.
Ditambah rambut hitamnya itu digerai dan disatukan di samping bahunya. Beuuhh.. Pokoknya mah simple.. cantik.. dan mantap..
“Kalau ditanya tuh jawab Nggan.. malah bengong..” Ujar Teh Arum seraya memanyunkan bibirnya, seolah-olah ia tengah merajuk padaku, meski aku tahu, itu hanyalah candaan.
“Apa sih Teh.. lagian Teteh tiba-tiba aja udah duduk di sini.. kan Nggan kaget jadinya..” Jawabku asal seraya mengeluarkan bungkus rokok dari saku celanaku.
“Di mana-mana orang kaget itu ya kaget Nggan.. bukannya malah bengong.” Timpal Teh Arum lagi dengan sudah menatap mataku. Aku tersenyum kecil, mencabut satu batang garpitku dari bungkusnya, lalu menyulut batang tembakau itu dengan santai di depan Teh Arum.
“Kagetnya dikit.. terpesonanya yang banyak Teh.. makanya Nggan sampe bengong barusan.” Jawabku acuh setelah mengembuskan rokokku ke udara.
“Hhhmm.. udah pinter ngegombal ya sekarang..” Teh Arum berkata seraya mencubit lenganku lembut, yang olehku langsung kurespons dengan berpura-pura mengaduh.
“Sakit Teh.. lagian siapa yang ngegombal coba? Emang bener kok Nggan terpesona, abisan cantiknya Teteh ituloh udah kaya Emanuel Adebayor, sering offside..” Sahutku asal yang oleh Teh Arum ditanggapi dengan wajah bingung. Yo.. gimana enggak bingung? Masa perempuan aku puji pake hal-hal berbau sepak bola, mana ngerti xixixi
“Tuh sekarang malah senyam-senyum, dasar Nggan aneh..” Ejek Teh Arum balik padaku, yang hanya kusambut dengan senyuman kecil seraya menghisap kembali asap tembakauku.
“Oh iya Teh, tadi Mang Diman nelpon Nggan.. katanya mereka pulangnya kemungkinan besok, atau malah lusa.” Aku mencoba mencari topik obrolan, berusaha mencairkan suasana secair-cairnya dengan Teh Arum.
“Hhhhmm.. terus?” Ujar Teh Arum dengan kepala sedikit dimiringkan, seolah mengharapkan aku mengatakan sesuatu yang lebih panjang lagi dari kata-kataku sebelumnya.
“Ya enggak ada terus-terusan.. itu doang..” Sahutku agak jengah-jengah sedap ditatap Teh Arum seperti itu. Dan tahu apa responnya? Cuma ngangguk-ngangguk kaya boneka di dashboard mobil!!
“Oh..” Tutupnya santai seraya menatap kembali ke arah depan, ke arah Bogi yang tengah menggoda Kepin.. yang entah kenapa hari ini terlihat agak murung, Mungkin dia lagi patah hati karena kucing anggora punya tetangga selingkuh kali, entahlah.
“Hhhhmm.. Oh iya aku inget.. Teteh kan janji mau cerita ke Nggan..” Seruku bersemangat seraya mencondongkan tubuhku ke depan, menatap wajah Teh Arum.
“Cerita apa?” Tanya Teh Arum seolah pura-pura tak mengingat janjinya yang hendak bercerita mengenai kekalutannya tadi pagi.
“Ituloh.. yang Teteh bilang kalau Teteh lagi kalut.. masalah yang bikin pikiran Teteh kebagi-bagi..” Ujarku bersemangat, mencoba menyudutkan Teh Arum biar enggak bisa ngeles lagi.
“Yang mana ya? Aku lupa tuh hihihi..” Goda Teh Arum kepadaku seraya memalingkan wajahnya. Membuatku harus menghela napas dalam-dalam, digoda ini aku ceritanya? Bajigur..
“Payah.. aku kira Teteh orangnya bisa megang janji sendiri, tapi ternyata enggak, masa tadi pagi dengan entengnya Teteh berjanji, sekarang malah mau ngingkarin.. wooo..” Godaku balik seraya memajukan wajahku lebih ke depan, mencoba memandang wajah Teh Arum yang masih berpaling dari tatapanku, bersiap untuk menerima timpalan godaan dari Teh Arum.
Aku tunggu sedetik.. dua detik.. tiga detik.. eh kok Teh Arum enggak nengok-nengok ya? Wajahnya juga semakin dipalingkan dariku. Ini apa ada yang salah ya sama candaanku barusan?
“Aku ini bukan tipe orang yang gampang bikin janji Nggan.. kalau aku rasa aku enggak akan bisa nepatin janjiku itu, aku enggak akan berani berjanji..” Ujar Teh Arum lirih. Eh kok gini? Anu.. apa.. aku kan Cuma becanda..
“Tapi bukan berarti aku ini orang yang gampang mengingkari janji, pantang bagiku untuk menarik kata-kataku sendiri..” Sambung Teh Arum lirih seraya lekas bangkit dari duduknya, dan di detik itu juga, aku bisa melihat kalau pipi Teh Arum membasah air mata.
Loh.. Teh Arum nangis? Apa candaanku barusan kelewatan ya? Waduh..
Dan karena kebingunganku itu, aku jadi lambat bereaksi, dan terlambat menghaturkan maaf pada Teh Arum. Karena kini ia sudah berlari kecil masuk ke dalam. Aku pun segera meletakkan puntung rokokku dan bangkit, ikut berlari masuk ke dalam, bermaksud mengejar Teh Arum. Namun apa daya, langkahku yang tertinggal waktu, membuat Teh Arum sudah mencapai pintu kamarnya, masuk ke dalam sana, dan langsung menutup pintunya keras, terdengar juga suara pengunci di pintu tersebut.
Wow wow wow.. kok jadi gini sih? Aku kan niatnya Cuma bercanda..
“Teh.. Maafin Nggan Teh.. Nggan enggak bermaksud buat nyinggung perasaan Teteh..” Seruku di depan pintu kamar Teh Arum, seraya aku tekan gagang pintunya, namun memang benar bahwa pintu tersebut terkunci. Shitlah.. kok jadi gini sih?!
“TEEEHHH.. MAAFIN NGGAN TEH.. NGGAN ENGGAK BERMASUD NYINGGUNG PERASAAN TETEH..” Aku berseru semakin lantang, seraya menggedor halus pintu kamar itu. Namun sialnya, enggak ada satu suara sahutan pun yang terdengar dari dalam sana.
Wahh.. beneran marah ini Teh Arum.. duh..
“TEEHHH.. MAAFIN NGGAN TEH..” Seruku seraya menggedor halus pintu kamar itu dengan dua kepalan telapak tanganku. Bodoh ini.. aku bodoh ini.. pasti candaanku tadi udah terlalu kelewatan, sampe Teh Arum tersinggung kaya gini.. Arrrgghh..
“Tehh.. maaf..” Ucapku lemah seraya menempelkan keningku di pintu tersebut, namun tetap saja, enggak ada jawaban dari dalam sana.
Ahh.. kok jadi begini sih.. padahal tadi Teh Arum ceria-ceria aja lho.. ini kok langsung berubah 180% gini Cuma karena candaanku. Itukan berarti candaanku tadi udah kelewatan.. aarrgghh..
“Teehhh..” Panggilku lagi lebih lemah dari sebelumnya.
Sial ini.. sial banget aku.. tapi tunggu.. kalau pintu dikunci, kan masih ada jendela! Iya, tadi pagi juga aku bisa kok membujug Teh Arum lewat jendela, pasti jendelanya dibuka nih. Aku pun segera membawa tubuhku menjauh dari pintu kamar Teh Arum, berjalan cepat setengah berlari ke luar rumah, menuju halaman samping di mana jendela Teh Arum tadi pagi menyelamatkanku.
Namun sial.. jendelanya juga tertutup kali ini! Arrrgghh..
Tok tok tok..
Aku mengetuk kaca jendela kamar itu dengan ujung kuku, berusaha memberitahukan Teh Arum bahwa aku berada di sini.
“Teehh.. maaf Teh.. Nggan enggak ada maksud buat bikin Teh Arum sedih..” Aku berkata seraya mendekatkan wajah ke kaca jendela itu, berusaha melihat aktivitas di dalam sana. Namun lagi-lagi semesta lagi enggak temenan sama aku, gorden jendela kamar Teh Arum terlalu tebal untuk ditembus mataku.
“Teh.. Nggan bener-bener minta maaf Teh..” Ucapku lagi dengan kening menempel di kaca, dan perlahan, sayup-sayup sekali, aku bisa mendengar isak tangis yang tengah diredam sekuat tenaga, dan itu membuatku semakin merasa bersalah. Tangis Teh Arum kayanya dalem banget, itu berarti kan kata-kataku udah terlampau nyelekit di hatinya.
“Teeehh.. jangan nangis Teh.. Nggan salah.. maafin Nggan..” Seruku lemah dan penuh kegetiran. Kepalaku rasanya langsung penuh. Dan tiba-tiba saja, sistem pemikiranku menghadirkan rangkuman masalah hari ini. Mengkombinasikan antara dua tangisan perempuan penting di hidupku hari ini.
Pertama Hani, kedua Teh Arum, dan sialnya aku tahu tangisan itu akulah penyebabnya. Tapi di saat bersamaan, aku sendiri enggak yakin-yakin banget letak kesalahanku dimana. Bangsat enggak tuh? Arrgrghh..
Aku berdiam lama di jendela kamar Teh Arum, mengetuk lagi dan mengetuk lagi, membujuk lagi dan membujuk lagi. Tapi nihil, tidak ada sapatah kata pun yang menyahutiku dari dalam kamar sana. Sampai-sampai kakiku sendiri mulai keram. Ini pasti rokokku udah abis ini di depan, saking lamanya aku di sini.
Ah persetanlah.. ini gimana woyy.. kok hari ini rasanya suram banget ya, tadi Hani, sekarang Teh Arum. Abis ini siapa lagi? Si kepin? Kebetulan dia emang udah murung tuh dari tadi, biar sekalian aja aku bikin nangis. Tambah si Bogi yang hatinya selembut air di atas daun talas, dimarahin dikit juga pasti nangis.
Biar!! Biar aku bikin nangis aja sekalian semuanya! Bajigur..
Oke baik.. mungkin Teh Arum lagi butuh waktu. Mungkin juga dia ini lagi PMS, makanya emosinya naik turun. Biarlah aku kasih waktu dulu dia menenangkan diri, nanti pasti akan keluar kamar juga kan pastinya? Saat itulah aku akan meminta maaf dengan sungguh-sungguh pada Teh Arum, kalau perlu.. aku bersujud di depannya deh. Karena udah bikin Teh Arum nangis.. haiizzz
Aku pun berjalan lemah meninggalkan jendela kamar Teh Arum, kembali ke depan dan mendapati Bogi yang sudah riuh bermain dengan bola. Kaya enggak ada beban banget hidupnya dia itu, riang terus. Enggak kaya hidupku, pasang surut kaya air laut. Hhhhh
Eh tapi kok si bogi maen sendiri ya? Kemana si kepin yang tadi merengut-merengut nahan kentut itu? Ah entahlah.. aku enggak urus.
Aku pun akhirnya masuk menuju kamarku, kubuka jendela kamar lebar-lebar, kunyalakan AC kamarku, lalu melempar tas dengan sembarang dan berbaring lelah dengan kedua tangan dan kaki kurentangkan membentuk bintang, menatap langit-langit kamarku yang rasanya muram kali sore ini. Wuaseemm..
Kupejamkan mataku lembut, kuresapi lagi keruwetan-keruweranku hari ini. Bahagia dan tertawa bersama Dira di pagi dan siang hari, sikap dingin yang ditutup tangisan Hani, ngeband gila bersama 4arah, lalu dijerambapkan pada rasa bersalah karena sudah menyinggung perasaan Teh Arum. Ah lengkap sekali rasanya hariku ini, nano nano banget asli, rame rasanya. Hooaammmss.. ngantuk kan aku jadinya..
*