BAGIAN 9 : DARI BALIK PEGUNUNGAN UTARA
POV3D
Angin perbukitan mesra membelai rimbun pepohonan, menggerakkan dahan-dahan untuk membahagiakan dedaunan yang riang tertawa karena merasa diajak bermain. Kicau burung terdengar sahut menyahut dengan merdu, menertawakan hewan-hewan kecil yang sembunyi-sembunyi berlari di antara semak belukar.
Di bawah rindang pepohonan yang berada di sebuah lereng bukit, terdapat sebuah bangunan megah yang dikelilingi tembok tinggi menjulang, bangunan bergaya rumah joglo itu terletak jauh dari pemukiman, dengan bebarapa bangunan kecil di sekelilingnya. Orang-orang terlihat beraktivitas di sekitar bangunan tersebut, ada yang sedang memahat kayu menjadi ukiran, ada yang sedang berolah tubuh, ada juga yang sedang beraltih bela diri dengan kawan-kawannya, dan sisanya terlihat sedang mengobrol santai.
Mayoritas yang beraktivitas di luar adalah para pria, sedang para wanita yang jumlahnya tak seberapa lebih memilih beraktivitas di dalam, ada yang tengah sibuk membatik, ada yang menyulam, sedang sisanya hanya bertukar obrolan. Semuanya terlihat amat harmonis, selaras dengan alam sekitar tempat itu yang memang lekat dengan kesan perkampungan di tengah bukit. Sangat damai, sangat tenang, dan sangat alami.
Beralih ke bagian dalam bangunan tersebut, terdapat sebuang ruangan besar yang berada tepat di bagian tengah bangunan. Karena berada tepat di bagian tengah bangunan tersebut, membuat ruangan itu tak memiliki jendela sama sekali, pun tak seperti ruangan lain yang memiliki lampu dan aliran listrik untuk menerangi ketika malam, ruangan tersebut justru tak memiliki hal-hal tersebut. Di mana untuk pencahayaannya, ruangan itu hanya mengandalkan cahaya dari lilin-lilin yang diletakkan di setiap tepi ruangan.
Dan meski terang mentari masih menyinari bangunan ini, namun tidak dengan ruangan itu, ruangan itu tetap gelap dan hanya mengandalkan samar-samar cahaya lilin. Salah satu ruangan tertutup yang tak boleh sembarang orang masuk.
Dan di dalam ruangan gelap yang samar cahaya itu, seorang perempuan berusia 40 tahun dengan kecantikan yang tak pudar dimakan usia duduk bersimpuh dengan takzim di atas sebuah permadani berbahan sutra lembut berukuran 3x3 meter, matanya terpejam, sedang kedua telapak tangannya masing-masing tertangkup di lututnya sendiri. Napas perempuan dengan kecantikan seindah dewi-dewi khayangan tersebut lembut tertarik, kemudian dikeluarkan dengan tak kalah lembutnya pula, dengan bibir melantunkan kidung yang terdengar amat merdu di telinga, mungkin bahasa populernya adalah
nembang.
Rambut panjangnya yang hitam bak malam disanggul sederhana, dengan telinga kanannya terselip sebuah bunga melati yang sudah mulai melayu sebab belum diganti sedari pagi hingga lewat tengah hari ini. Perempuan tersebut mengenakan kebaya berwarna kuning cerah dengan potongan panjang se lutut jika ia berdiri, disandingkan dengan kain jarik berwarna putih dengan aksen batik warna coklat, sungguhlah benar-benar menyempurnakan aura kecantikan perempuan matang tersebut.
Perempuan tersebut terlihat begitu menikmati tiap lirik kidung yang keluar dari bibirnya, seolah dirinya benar-benar menyatu bersama nyanyian alam yang ada di sekitarnya. Hingga beberapa detik kemudian, bibirnya tiba-tiba berhenti bersenandung, matanya perlahan terbuka, ia merasakan aura kuat tengah mendekat. Dan benar saja, tak lama kemudian terdengar ketukan sebanyak tiga kali di pintu kayu ruangan tersebut.
Tok tok tok..
“Nyimas..” Panggil seseorang dengan suara berat namun terdengar lembut dari luar ruangan, suara ini.. Nyimas lebih dari sekedar hapal dengan pemilik suara ini.
Karena menyadari siapa yang datang, perempuan yang dipanggil Nyimas itu pun tersenyum kecil, hatinya bahagia sebab suara yang amat ia rindukan kini terdengar lembut membelai telinganya. Maka dari itu ia pun segera bangkit dari posisinya, berdiri dengan anggunnya, dengan bagian belakang kain jariknya terjuntai ke lantai.
Setelah itu, perempuan tersebut pun berjalan ke arah pintu, membuka pintu tersebut riang. Dan senyum perempuan tersebut pun semakin terkembang lebar tatkala mendapati seorang pemuda dengan usia terpaut 18 tahun lebih muda darinya tengah berdiri di ambang pintu.
Usia pemuda tersebut baru menginjak angka 22, perawakannya tinggi tegap, dengan kulit kuning langsat dan wajah bersih berhiaskan kaca mata berwarna hitam
doff model, dengan model frame membulat. Tatapan matanya sayu namun terlihat tajam di waktu bersamaan, dengan raut wajah datar tanpa ekspresi namun memiliki kharisma tersendiri.
Jika dilihat lebih jauh, penampilan pemuda itu benar-benar kontras jika dibandingkan penampilan para lelaki yang ada di sini, pakaiannya terlihat rapih dan necis, kemeja lengan panjang berwarna merah maroon yang terlihat gelap nan redup, berpadu dengan celana bahan model
chino berwarna cream, benar-benar menampilkan karakter pria metropolis. Ditambah potongan rambutnya panjang, dengan ujung-ujung rambut yang jatuh di sekitar bahunya, membuat pemuda itu terlihat sangat maskulin.
“Maaf jika saya mengganggu Nyimas..” Ucap Pemuda itu dengan badan sedikit dibungkukkan, memberi hormat setinggi-tingginya pada perempuan yang berada di hadapannya.
“Tidak perlu terlalu formal Sena, silahkan masuk..” Ujar perempuan tersebut seraya mempersilahkan pemuda bernam Sena itu masuk ke ruangannya.
“Terimakasih Nyimas..” Sahut pemuda itu seraya melangkah masuk dengan tubuh diturunkan, sebelah tangannya pun diposisikan lurus ke arah lantai, membuat gesture permisi seperti yang dilakukan kebanyakan orang ketika lewat di depan orang lain.
Perempuan yang dipanggil Nyimas oleh sang pemuda itu bernama lengkap Ajeng Dayana Arshavina, namun orang-orang selalu memanggilnya dengan sebutan Nyimas, hanya beberapa orang tertentu yang boleh dan berani menyebut namanya, itu pun tetap dengan sebutan Nyimas di depannya, Nyimas Ajeng.
Ia adalah seorang perempuan yang kecantikan dan pesonanya tak pernah pudar termakan usia. Terkenal seantero wilayah, parasnya bak dewi-dewi khayangan di cerita-cerita legenda, yang tertinggal di bumi sebab selendangnya hilang ketika mandi di Sungai. Dan di usianya yang sudah menyentuh kepala empat ini, sedikit pun kecantikannya tak pudar sama sekali. Ia tetap terlihat segar dengan kulit kencang, sungguh potret sesungguhnya dari keabadian indah di muka bumi.
Meski begitu, di balik segala kecantikan, keindahan dan kesempurnaannya, ada beban tanggung jawab yang teremban tak terhingga di bahu ringkihnya, beban yang selalu membuatnya meluka sekaligus membuatnya mampu bertahan dan tetap hidup, beban yang selalu membuatnya bertekad, untuk tak menyerah pada apapun yang akan dihadapinya. Tetap tersenyum demi garis takdir yang sudah ditentukan oleh para leluhurnya.
Nyimas Ajeng.. senyumnya seindah bulan sabit di langit malam, tatapnya seteduh bintang-bintang.. dan saat ini, senyum indah nan elok itu sedang terpugar ketika mendapati kedatangan dari seorang pemuda yang beberapa bulan belakangan tak berada di sisinya.
Andhra Nawasena
-nama lengkap pemuda itu- adalah keponakan Nyimas Ajeng, keponakan yang ia rawat sedari kecil, dan tumbuh menjadi salah satu orang yang paling ia percaya. Salah satu dari sedikitnya orang yang bisa diandalkan untuk membantu jalan takdir yang tengah ia jalani.
Sena pun bagi Nyimas Ajeng adalah pemuda yang amat istimewa, karena meski sudah lama keponakannya itu sudah tidak tinggal di sini bersamanya, namun pemuda itu tak pernah melupakan dari mana ia berasal, hal itulah yang selalu membuat perempuan berkebaya kuning cerah memuji di dalam hatinya, pemuda itu selalu ingat di mana rumahnya.
Dan meski berstatus sbeagai keponakan, namun ketahuilah bahwa sedari kecil, Sena sudah terbiasa memanggil Bibi-nya itu dengan panggilan seperti orang-orang di sini memanggil beliau, Nyimas
Setelah menutup pintu, Nyimas Ajeng dengan anggun berjalan menyusul Sena yang kini tengah berdiri menatap dinding ruangan ini, yang mana di dinding tersebut tergantung sebuah lukisan besar yang menampilkan pemandangan alam di kala malam hari, dengan langit berbintang dan bulan sabit yang elok dipandangi, serta siluet kecil dari lima tubuh manusia yang seolah tengah berdiri membelakangi orang yang melukis lukisan tersebut.
Kini, Nyimas Ajeng sudah berdiri tepat di samping Sena, matanya ikut terarah ke lukisan besar tersebut. Senyum di bibirnya masih tersungging dengan sebegitu cantiknya, dengan kedua tangan yang ia tangkupkan ke belakang.
“Kamu kapan sampai, Sena?” Tanya perempuan itu dengan tatapan tetap tertuju ke lukisan.
“Baru saja Nyimas, saya langsung ke sini untuk menemui Nyimas..” Jawab Sena dengan nada yang amat lembut dan sopan, tatapannya pun ia alihkan dari lukisan indah di hadapannya, ke wajah perempuan matang yang berdiri tepat di sampingnya.
Untuk sejenak pemuda itu pun terhenyak, kecantikan segala pesona yang keluar dari Nyimas Ajeng tentu saja akan selalu membuat setiap pria yang takjub, ditambah harum tubuh perempuan itu yang menguarkan aroma bunga, pastilah membuat lelaki mana pun terdistraksi dalam-dalam.
“Kamu itu.. harusnya istirahat dulu.. baru ke sini. Sekarang duduklah.. biar kubuatkan minum untuk..” Ucap Nyimas Ajeng seraya memutar tubuh dan berjalan, namun kata-katanya tidak sempat selesai karena Sena memotong kalimatnya.
“Tidak perlu repot-repot Nyimas..”
Hening, seketika semesta terasa menghening seiring langkah Nyimas Ajeng yang terhenti. Lengang, ruangan ini seperti melengang ketika Sena menyadari, bahwa tak seharusnya ia memotong sembarang kalimat seseorang yang sedang berbicara. Sena menundukkan wajahnya, ia kepalkan tangannya keras-keras, menyesali perkataanya.
Sedang Nyimas Ajeng terpekur sejenak, perempuan berparas dewi dengan tubuh indah bak gadis muda primadona desa itu memejamkan matanya lembut, menghela napasnya dalam-dalam, untuk kemudian dihembuskan secara perlahan, mencoba menenangkan dirinya.
“Duduklah Andhra Nawasena.. aku akan membuatkanmu minum..” Kata-kata keluar dari bibir Nyimas Ajeng dengan pelannya, namun nadanya terdengar berbeda dari sebelumnya, kata-kata dari perempuan tersebut terdengar lebih dingin. Bersamaan dengan itu, tanpa menoleh lagi, Nyimas Ajeng meneruskan langkahnya, berjalan ke sudut lain ruangan remang ini, menuju ke sebuah meja kecil yang terletak di samping ranjang pembaringan, hendak menyiapkan suguhan untuk tamunya.
Sedang Sena.. mendengar namanya disebut secara lengkap sudah lebih dari cukup untuk membuat pemuda itu tahu, ia tak punya pilihan lain, dan tak seharusnya pula ia menyela pembicaraan sang bibi. Terlebih, ketika Nyimas mengatakan itu, dirasakan sekujur tubuhnya meremang, bulu kuduknya bangkit, aura perempuan itu tidak main-main.
Dan tanpa menunggu perintah lanjutan, Sena pun memutar tubuhnya dan melangkah ke permadani sutra berwarna putih bersih yang tadi digunakan oleh Nyimas Ajeng untuk bermeditasi.
Dengan napas yang dibuat seteratur mungkin, Sena pun duduk bersila dengan posisi tubuh tegap di tengah-tengah permadani itu. Mata pemuda itu kini terarah pada tubuh indah berbalut kebaya yang berkilatan diterpa cahaya lilin. Tubuh itu dengan anggun terlihat tengah mengisi sebuah gelas kecil dengan air yang berasal dari kendi tanah liat. Bersamaan dengan itu uap mengepul dari gelas, berpadu dengan dentingan sendok yang beradu dengan dinding gelas yang terbuat dari batang bambu yang sudah dikreasikan sedemikian rupa hingga menjadi gelas cantik nan elegan dipandang mata. Dari gelas bambu itu aroma segar yang begitu khas dari seduhan daun teh dan beberapa putik melati kering yang diseduh dengan cara tradisional menguar mengisi ruangan ini.
Mata Sena lekat dan terkunci di sana, pada sosok indah yang kini sudah berjalan menujunya dengan gelas bambu mengepulkan asap teh di tangan. Senyum di bibir perempuan itu sudah kembali hadir, bersama tatapan sejuk yang diarahkan ke mata tajam dari pemuda yang tengah duduk bersila di tengah permadani.
Nyimas Ajeng pun ikut duduk, bersimpuh di atas permadani lembut itu, tepat di hadapan Sena yang masih memandangi dengan tatapan datar tanpa ekspresi. Kemudian Nyimas pun menyodorkan gelas teh di genggamannya ke Sena, mendekatkan bibir gelas tersebut ke bibir sang pemuda yang terpekur diam seribu malam.
Sena mengangguk, kemudian disesapnya teh yang disodorkan Nyimas Ajeng dengan tangan yang tetap takzim di atas kedua lututnya sendiri. Suhu teh yang dibuat agak hangat, aroma kuat melati, serta rasa manis langsung masuk menyambangi bagian dalam tubuh pemuda itu.
Teh ini.. bagi Sena seduhan teh dari Nyimas Ajeng adalah seduhan teh terbaik di muka bumi. Dan ia begitu rindu akan seduhan teh ini, sebab beberapa tahun belakangan sejak ia tidak lagi menjadikan rumah ini sebagai tempat tinggal utamanya, ia selalu mencari-cari dan mencoba berbagai seduhan teh dari tempat dan orang-orang berbeda hanya untuk mengentaskan candunya akan teh khas buatan perempuan di hadapannya kini.
Ya.. selepas masa sekolahnya selesai, pemuda itu harus menempuh pendidikan yang jauh dari tanah di mana ia lahir dan dibesarkan, membuatnya hanya sesekali pulang untuk menengok rumah dan juga bibi kesayangannya. Tidak hanya itu, selepas kuliahnya selesai pun ia langsung melanjutkan pengembaraannya di dunia luar, bekerja di suatu tempat yang amat sangat penting fungsinya untuk negeri ini. Membuatnya semakin jarang pulang, bahkan terakhir ia pulang sekitar tiga bulan yang lalu, dan baru sekaranglah ia kembali lagi.
Dan setelah hampir tiga bulan lamanya tenggelam dalam kesibukan dan rutinitas padat di tempat ia bekerja kini, Sena akhirnya memutuskan untuk pulang menyambangi tempat di mana ia dibesarkan selama ini, mengunjungi keluarga yang selalu ia bawa di dalam hati kemana pun ia pergi, mengunjungi orang-orang yang menjadi bagian penting dari ranah kehidupannya ini, mengunjungi Nyimas Ajeng yang selama ini selalu ada di sisinya sejak Sena kecil.
Dan pemuda itu pun mencukupkan sesapan nikmat yang membasahi lorong dahaganya, menggerakkan kedua tangannya untuk menangkup telapak tangan Nyimas Ajeng yang tengah memeluk gelas, menggenggam lembut punggung telapak tangan perempuan yang oleh Sena sudah dianggap lebih dari seorang Bibi, sudah seperti Ibu sekaligus gurunya sendiri.
Sena menarik bibirnya dari bibir gelas, melempar senyum kecil seraya mendorong lembut gelas tersebut mendekat ke bibir Sang Bibi, dan tanpa menunggu lama, Nyimas Ajeng pun segera menyesap teh yang disodorkan Sena kepadanya, meski sebenarnya teh tersebut adalah teh buatannya sendiri, yang tentu saja kapanpun ia mau, ia bisa membuatnya sendiri.
Oleh Nyimas Ajeng teh tersebut disesap sebatas untuk membasahi tenggorokannya, setelah itu ia langsung cukupkan.
Dan bersama-sama, mereka pun menyisihkan gelas bambu tersebut ke samping. Sena sudah menarik tangannya dari punggung telapak tangan Sang Bibi, kedua telapak tangannya kembali ia letakkan di atas paha, hal yang sama dilakukan oleh Nyimas Ajeng. Hanya saja posisi duduk mereka yang berbeda, Sena duduk bersila, sedang Nyimas Ajeng duduk bersimpuh anggun sebagai mana perempuan-perempuan pada umumnya.
“Sena..”
“Nyimas..”
Nyimas Ajeng dan Sena berucap di waktu bersamaan, membuat mereka langsung berhenti bersuara untuk sejenak. Mereka hendak menyampaikan sesuatu yang ada di kepala mereka masing-masing.
“Silahkan Nyimas..” Ujar Sena untuk mempersilahkan Nyimas untuk bicara lebih dahulu. Nyimas Ajeng pun tersenyum kecil dan menganggukkan kepalanya lembut.
“Bagaimana keadaan Istana Sena? Apakah ada hambatan yang mengganggumu di sana?” Tanya Nyimas Ajeng dengan tatapan yang bagi Sena selalu meneduhkan.
“Tidak ada Nyimas, semuanya baik-baik saja, hanya saja orang-orang penting dari Badan Penanggulangan Bencana beberapa kali terlihat menghadap pada Perdana Menteri. Dan mengenai hambatan, untuk saat ini tidak ada Nyimas.” Jawab Sena dengan nada datar, dan meski wajahnya terangkat menghadap ke wajah Nyimas Ajeng, namun matanya tak pernah sanggup untuk bersitatap dengan mata sang perempuan beraura kuat di hadapannya.
“Hanya orang-orang tersebut? Atau ada pihak lain, Sena?” Tanya Nyimas Ajeng dengan nada yang terdengar lembut di telinga. Sena menghela napas dalam, mencoba menenangkan kegugupannya.
“Semalam menteri pertahanan juga berkunjung ke Istana, beliau didampingi Jenderal Utama..” Jawab Sena lagi dengan kejujuran hatinya yang sudah bulat.
Mendengar jawaban dari Sena, Nyimas Ajeng pun tersenyum semakin lebar, tangan kanannya bergerak membelai kepala Sena dengan ujung-ujung jemari lentiknya. Membuat sekujur tubuh pemuda itu merasakan sebuah perasaan tenang, membuat Sena tanpa sadar menutup matanya sejenak.
“Lalu bagaimana rencana S2-mu Sena? Apa kamu sudah menentukan kampus mana yang akan kamu pilih?” Nyimas Ajeng membelokkan topik pembicaraan seraya menarik kembali jemari lentiknya dari pipi Sena, membuat mata pemuda itu kembali terbuka.
“Apakah saya benar-benar harus melanjutkan pendidikan Nyimas? Bukankah dengan posisi saya sekarang ini sudah cukup? Lagi pula.. saya takut jika saya melanjutkan pendidikan, maka saya akan semakin sulit untuk menjenguk Nyimas di sini..” Tukas Sena dengan raut wajah yang mulai menampilkan ekspresi, tidak sedatar dan sedingin sebelumnya.
“Jangan jadikan aku dan rumahmu ini sebagai batu sandungan, Sena. Kau harus tetap melanjutkan pendidikan untuk bekalmu kedepannya, itu juga berguna untuk memantapkan posisimu di Istana..” Nyimas Ajeng berkata dengan raut wajah yang lebih serius, senyum di bibirnya sudah tidak nampak lagi, ekspresinya kembali mendingin.
“Tapi Nyimas.. saya tidak mau bertahan di Istana lebih lama lagi. Bukankah Nyimas sudah tahu itu? Setelah purnama darah tiba, dan rencana kita rampung, saya ingin pulang Nyimas.. saya ingin menjaga Nyimas dan semua orang di sini. Saya ingin..” Sena meracau panjang, menumpahkan keluh kesah yang selama ini ia pendam.
“Sena..” Potong Nyimas Ajeng dengan nada lembut seraya menggenggam telapak tangan kiri Sena, membuat Sena langsung menghentikan kata-katanya. Mata Sena pun pada akhirnya terikat pada sepasang bola mata indah kepunyaan Nyimas Ajeng.
Meski nada suara Nyimas terdengar lembut, namun tidak dengan raut wajahnya. Sebab perempuan dengan kharisma kuat nan pekat itu menatap Sena tajam, mimik wajah serius, membuat Sena tergetar sendiri.
“Maaf, Sena. Tapi jawabanku tetap sama, apapun yang terjadi setelah purnama darah, kamu harus tetap bertahan di sana. Kamu sudah tahu betul, bahwa aku menempatkanmu di sana bukan sekedar untuk menjadi telik sandi, lebih dari itu.. aku mau kamu belajar hal-hal di luar pemahaman yang sudah kamu dapatkan dari rumah ini, maupun dari pendidikan-pendidikan yang sudah kamu tempuh selama ini..” Nyimas Ajeng menghela napasnya sejenak, ia mencoba mengatur intonasi bicaranya agar tak membuat Sena bersedih lebih dalam.
“Kamu masih ingat kan mengapa Eyangmu memberikanmu nama yang begitu indah bukan, Sena?” Tanya Nyimas masih dengan telapak tangannya yang menggenggam punggung telapak tangan sang pemuda, membuat pemuda itu lekas menganggukkan kepala.
“Bagus.. jangan pernah lupakan itu. Kelak jika kamu merasa bimbang akan keputusanku terhadap jalan hidupmu, ingatlah kembali alasan di balik semua keputusanku ini. Dan jika satu waktu hatimu melemah dan mempertanyakan keputusanku ini, ingatlah bahwa aku hanya ingin mewujudkan apa yang sudah Eyang amanatkan kepadaku. Sekarang tolong ingatkan aku, akan makna dan amanat besar di balik namamu, ingatkan aku lagi, Sena..” Nyimas Ajeng memindahkan telapak tangannya untuk mengelus lengan berisi sang pemuda, sedikit demi sedikit ia tarik sudut bibirnya untuk menyajikan senyum bagi Sena.
Sedang Sena terpekur lagi dan lagi, meresapi usapan di lengan bagian atasnya yang menyalurkan hangat ke seluruh inti jiwa yang ia miliki. Terlebih, senyum Nyimas Ajeng yang teramat manis tersaji di hadapan wajahnya, lengkap dengan sepasang lesung pipi yang menambah kesan indah di ambang mata sang pemuda. Sena menghela napasnya pelan, lalu mengembuskannya perlahan.
“Dalam kamus bahasa lampau, Andhra memiliki arti kuat dan berani, sedang Nawasena memiliki arti masa depan yang cerah.. dan sesuai amanat Eyang lewat nama ini, saya.. Andhra Nawasena, bersumpah untuk selalu tegap dan tegak dalam menjalani titian kehidupan ini, dan berjanji akan membawa masa depan yang jauh lebih cerah bagi keluarga ini, juga bagi tanah ini, tanah Hematala yang akan selalu saya cintai dengan sepenuh hati.”
Dengan punggung tegap, Sena melafalkan kembali makna dan amanat besar yang ia emban di belakang namanya, dengan susunan kata yang selalu sama sedari ia kecil. Dan baginya, kata-kata yang terucap tersebut adalah sumpah dan baktinya pada keluarga besar yang sudah memberikan kehidupan baginya selama ini. Dahulu, ketika kecil, sumpah dan baktinya selalu ia lafalkan kepada Sang Kakek, atau yang lebih sering Sena panggil sebagai Eyang.
Namun setelah satu peristiwa besar beberapa tahun silam, yang membuat Sang Kakek harus berpulang, kini Rapalan sumpah dan baktinya selalu ia haturkan kepada Nyimas Ajeng, selaku pemegang tampuk amanat dan penjaga tanah ini, sebuah tanah penuh sejarah di pegunungan utara.
“Jalan hidup kita sudah digariskan. Aku, kamu, dan semua orang di tanah ini. Tak perduli seberapa pun pahit dan getirnya jalan hidup yang kita lalui, kita harus tetap tegar menjalaninya. Dan aku mohon, jangan pernah lupakan itu, Sena.” Dengan mata berkaca-kaca, Nyimas Ajeng berusaha menguatkan hati Sena yang hingga kini masih sering goyah. Dipandanginya wajah pemuda di hadapannya dalam-dalam.
Nyimas tertegun sendiri, rasanya seperti baru kemarin ia menyaksikan Sena kecil belajar berjalan di teras rumah, seperti baru kemarin ia menenangkan tangisan Sena kecil yang terjatuh dari pohon mangga akibat diserang semut, seperti baru kemarin ia dititipkan bayi mungil kemerahan oleh mendiang Kakaknya, Putri Laksmi Zarani, yang meninggal beberapa saat setelah melahirkan sang putra dua puluh dua tahun yang lalu.
Ingatan-ingatan tersebut tanpa sadar membuat air mata Nyimas Ajeng turun membasahi pipinya, dan hal tersebut membuat Sena lekas menggerakkan tangannya yang sedari tadi diam terpaku di atas paha, menghapus air mata dari seorang perempuan yang selalu melimpahkan cinta kasih kepadanya selama ini. Dielusnya lembut kedua pipi Nyimas Ajeng, kemudian ditariknya kepala perempuan tersebut ke dalam pelukannya, direngkuhnya erat-erat punggung perempuan yang selalu terlihat tegar dan tegas itu, dielus-elusnya secara lembut untuk memberikan kenyamanan bagi Nyimas Ajeng, mencoba membagi beban dari bahu masing-masing.
“Maafkan saya Nyimas.. maafkan jika keegoisan saya membuat Nyimas bersedih..” Bisik Sena tepat di telinga Nyimas Ajeng dengan lembutnya, untuk beberapa saat dirasakan olehnya jika Nyimas membalas pelukannya dengan lembut, mengusap punggung pemuda itu bak seorang Ibu yang tengah menenangkan anaknya.
Lengang.. ruangan itu terasa lengang. Hanya deru napas keduanya yang terdengar tenang. Ruangan itu menghening, bahkan angin saja seolah tak berani masuk, membuat nyala lilin terlihat tegak tanpa gangguan berarti.
Dan setelah beberapa menit lamanya terlarut dalam pelukan, Nyimas Ajeng pun beringsut menarik tubuhnya seraya melepaskan pelukannya pada Sena. Mereka sama-sama tersenyum, sama-sama menatap mata dengan dalam, seolah pikiran-pikiran mereka yang terbebani terasa lebih terbagi.
“Terimakasih Sena..” Ucap Nyimas dengan penuh ketulusan. Yang oleh Sena lekas dibalas dengan anggukkan kepala.
“Saya yang harusnya berterimakasih kepada Nyimas, karena Nyimas selalu ada untuk saya.” Sahut Sena dengan ketulusan penuh. Tangannya bergerak merapikan helai-helai anak rambut Nyimas Ajeng di sekitar kening, menyelipkan anak-anak rambut tersebut ke belakang telinga perempuan cantik nan mempesona di tanah utara tersebut.
Kemudian Sena mengambil bunga melati yang sudah melayu di selipan telinga Sang Bibi, membawa bunga tersebut untuk mendekat ke hidungnya, lalu mencium dalam-dalam harum melati itu, Setelahnya melati tersebut disimpan di saku kemeja.
“Saya rindu pada Nyimas.. rindu sekali..” Sena berucap dengan jemarinya kembali mendekat ke wajah Nyimasnya, mengelusi lembut tepian pipi Nyimas Ajeng.
“Aku tahu Sena.. aku tahu..” Jawab Nyimas Ajeng seraya menangkap telapak tangan Sena yang berada di sekitar wajahnya, menggenggam telapak tangan pemuda itu dengan lembut.
“Apa Nyimas juga merindukan saya, seperti saya merindukan Nyimas?” Tanya Sena dengan lirihnya, membiarkan telapak tangannya merasakan remasan-remasan lembut dari Nyimas Ajeng.
“Jangan menanyakan sesuatu yang kamu sendiri sudah tahu jawabannya, Sena..” Nyimas menyahuti Sena dengan tatapan dalam, membuat pemuda itu kembali tersenyum karena merasakan haru mulai menyelimuti hatinya.
Mata mereka mulai terikat semakin kuat, dan perlahan, Sena mendekatkan wajahnya pada wajah Sang Bibi. Kemduian memberikan kecupan lembut di pipi perempuan yang selalu melimpahkannya dengan cinta kasih. Membuat tubuh Nyimas Ajeng menggeliat lembut.
Dan merasakan lembut pipi perempuan yang umurnya hampir dua kali lipat dari umurnya sendiri, membuat Sena sungguh merasakan ketenangan. Ditambah aroma bunga yang semerbak keluar dari tubuh Nyimas Ajeng benar-benar menjadi aroma kegemaran pemuda itu. Bagi Sena, parfum terharum di muka bumi adalah aroma tubuh dari Nyimas Ajeng. Dan Sena selalu luluh akan itu, semerbak harum bunga Nyimasnya.
Setelah mencium lembut pipi sang bibi, Sena pun menjatuhkan wajahnya pada leher putih jenjang yang harumnya selalu ia rindukan.
“Kamu masih sulit mengendalikan dirimu ya, Sena?” Tanya Nyimas Ajeng seraya mengelus lembut kepala bagian belakang keponakannya itu.
“Jika di luaran sana, itu bukanlah hal yang sulit saya lakukan Nyimas.. sangat mudah.. namun berbeda ketika bersama Nyimas.. Nyimas tahu itu, bukan?” Dengan wajah yang tetap tenggelam di leher Nyimas, Sena berusaha mengendalikan laju napasnya, di akhir kalimatnya, ia berikan kecupan lembut pada kulit leher putih tersebut.
Cupp..
Kecupan lembut itu sungguh mampu membuat aliran darah di tubuh Nyimas Ajeng sedikit berdesir, kepalanya sedikit ia miringkan untuk memperluas ruang bagi keponakannya dalam menciumi lehernya. Dirasakannya tangan Sena yang satu lagi mulai mengelusi lengannya, membuat Nyimas Ajeng tersenyum penuh arti.
“Aku tahu Sena.. aku tahu..” Tukas Nyimas dengan telapak tangan terus mengelusi rambut panjang Sena. Disisirnya rambut hitam bergelombang milik keponakannya itu dengan ruas-ruas jemarinya. Ditahannya rasa geli dari ciuman-ciuman bibir Sena di lehernya.
“Jika Nyimas tahu.. mengapa Nyimas membiarkan saya tersisak sendiri di kejauhan sana Nyimas?” Sena tiba-tiba mengangkat wajahnya dari leher Nyimas Ajeng, langsung menghadapkan wajahnya pada wajah sang bibi dengan tatapan lirih penuh kesedihan.
“Apa kamu pikir hanya dirimu saja yang tersiksa, Sena?” Tanya Nyimas balik dengan tatapan dalam, dan cukup hanya dengan kalimat tersebut, Sena langsung tersadar dari pemikiran di kepalanya yang terlalu egois.
Bahwa selama ini ia selalu berpikir jika hanya ia yang merasakan tersakiti, bahwa hanya ia yang merasakan kerinduan yang begitu sepi, tanpa pernah memikirkan, betapa perempuan di hadapannya juga pasti merasakan hal yang sama seperti apa yang ia rasakan selama ini.
“Maaf Nyimas..” Lirih Sena dengan wajah ditundukkan.
“Tidak perlu meminta maaf, Sena. Akulah yang sudah membuatmu menjalani apa yang kamu jalani saat ini, jikalau pun harus ada yang meminta maaf di antara kita, tentu akulah orangnya, bukan kamu.” Sahut Nyimas Ajeng sembari mengigit lembut bibirnya sendiri, mencoba menahan perasaan bersalahnya akan tanggung jawab besar yang diemban sang keponakan saat ini.
“Tidak Nyimas.. ini sudah menjadi suratan takdir saya, Nyimas tidak salah apa-apa. Dan jikalau pun ada yang harus disalahkan, itu adalah saya, karena hingga saat ini, saya belum sepenuhnya mampu untuk meneguhkan hati saya.” Ujar Sena dengan wajah masih ditundukkan. Nyimas tersenyum haru melihat itu, kemudian dengan lembut, jemarinya menyentuh dagu Sena, mengangkat wajah pemuda itu agar tidak terus menunduk dalam-dalam.
Mata mereka pun kembali tertaut, meski wajah Sena menampilkan raut kesedihan yang amat kental, namun sebisa mungkin Nyimas tetap menampilkan senyum terindahnya untuk pemuda tersebut. Kemudian dengan perlahan namun pasti, Nyimas Ajeng mendekatkan wajahnya pada wajah Sena, inchi demi inchi, hingga ia mulai bisa merasakan embusan napas dari Sena menghangat di wajahnya.
Dan ketika wajahnya semakin dekat, seolah sudah mengerti isi hati masing-masing, baik Nyimas Ajeng maupun Sena, mereka sama-sama memejamkan mata mereka. Hingga beberapa detik kemudian, dengan begitu lembut dan mesranya, Nyimas Ajeng memagut bibir Sena dalam-dalam, menyesap dengan lembut bagian bawah bibir pemuda di hadapannya. Dan seolah tak rela membiarkan Nyimas bergerilya sendiri, Sena pun lekas membalas pagutan itu, dilumatnya bibir bagian atas Nyimas Ajeng dengan tak kalah lembutnya.
Mereka terus berpagut dalam, dengan napas yang berangsur-angsur terasa lebih cepat di tiap helaannya. Kedua tangan mereka yang sempat saling menggenggam pun sudah terlepas. Kedua telapak tangan Nyimas Ajeng kini sudah menempel di kedua pipi Sena, sedang kedua telapak tangan pemuda itu sudah berada di sepasang lengan kencang bak bunting padi milik Nyimas Ajeng, mengelusi lengan tersebut dari luar kain kebaya yang menutupinya. Menyalurkan kelembutan yang menghangat hingga ke relung-relung terdalam perasaan Nyimas Ajeng.
Kini, ciuman tabu dua insan sedarah itu sudah melangkah ke jenjang yang lebih jauh. Masing-masing dari mereka sudah membuka bibir agar bisa saling memasuki, hal tersebut tentu membuat lidah mereka lekas melakukan silahturahmi tanpa perlu menunggu lebih lama lagi.
Untuk detik ini, lidah Nyimas yang tengah menerobos ke dalam mulut Sena, menyapu bagian-bagian dalam dari mulut pemuda itu dengan lembutnya, hingga lidah mereka pun bertemu dan saling membelit dengan mesranya. Liur mereka sudah saling bermigrasi, berpindah dan saling tersalur untuk membasahi kerinduan yang terpendam selama tiga bulan belakangan ini, napas mereka pun kian memburu, gelora dari dalam diri mereka sudah bangkit dengan begitu tegasnya, terlepas dan menuntut pengentasan.
Nyimas menarik lidahnya keluar dari rongga mulut Sena, melumat bibir bagian bawah Sena dengan penuh perasaan, kedua tangan Nyimas kemudian berpindah dari pipi Sena, kini melingkar di leher Sena dengan manja, setelah itu Nyimas pun memberikan gigitan lembut pada bibir bagian bawah Sena dengan campuran sedikit rasa gemas.
“Sssshhh..”
Sena mendesis tertahan ketika ia rasakan sensasi sakit di bibirnya, kemudian kedua tangan Sena kini langsung berpindah ke pipi Nyimas Ajeng, seolah ingin menahan wajah perempuan itu agar tidak pergi kemana-mana. Dilumatnya bibir Nyimas Ajeng kuat-kuat, dengan lidah menyapu bagian luar bibir, kemudian dengan lembut lidah Sena pun menerabas masuk ke rongga bagian dalam mulut Nyimas.
Melumat, menghisap, dengan penuh perasaan. Sena seolah penyamun di tengah gurun yang kehabisan persediaan air, begitu dahaga akan liur dari oasis yang kini berada di hadapannya.
CUPP.. MMMPPHH.. SLURRPP… HHMM..
Hanya ketiga bunyi tersebut yang berharmonisasi di dalam ruangan ini, terlebih Sena kian diburu perasaannya sendiri. Tanpa sadar, gejolak di dalam dada Sena membuat dirinya semakin mendorong tubuh Nyimas Ajeng ke arah belakang, membuat posisi Nyimas Ajeng kini sudah setengah merebahkan diri ke belakang, tertahan sebab tangannya yang melingkar di leher Sena.
MUAACHH
Bunyi merdu terdengar ketika pagutan dari dua insan dengan rentang usia cukup jauh itu terlepas, napas mereka sedikit memburu, detak jantung mereka berdegup bak pelari di tengah lomba. Namun ada cukup perbedaan dari kecepatan napas antara Sena dan Nyimas Ajeng, di mana Sena terdengar jauh lebih memburu napasnya, degup jantungnya pun berdetak lebih rapat dibandingkan detak jantung Nyimas. Dan Nyimas tahu betul apa yang terjadi, ia sudah hafal luar dalam tentang pemuda di hadapannya kini.
“huh.. huh.. huh..” Sena mencoba mengatur napasnya, ia tempelkan keningnya ke kening Nyimas, berusaha menenangkan gejolak liar dari dalam dirinya yang tengah merangkak naik ke permukaan. Perlahan Sena pun menegakkan kembali posisi tubuhnya, sadar bahwa ia terlalu condong mendorong tubuh Nyimas Ajeng ke belakang.
“Aku tidak bisa membayangkan betapa tersiksanya kamu dengan perempuan-perempuanmu di sana Sena, maafkan aku.” Ujar Nyimas Ajeng serya mulai membuka matanya, menatap sayu wajah Sena yang berada tepat di depan matanya. Bisa terlihat jelas oleh Nyimas, betapa kelopak mata Sena terkatup amat kuat di balik bening lensa kacamatanya, seolah tengah berusaha mengendalikan sesuatu di dalam dirinya sendiri.
“Saya.. huh.. hah.. saya hanya menginginkan Nyimas.. huh.. hanya Nyimas yang bisa mengerti saya.. saya membutuhkan.. huh.. Nyimas..” Sahut Sena memburu, kelopak matanya masih ia katupkan rapat-rapat, keningnya ia tempelkan lekat-lekat, pemuda itu bisa merasakan telapak tangannya yang mulai menghangat tengah menyentuh pipi Nyimas Ajeng yang terasa kian menyalurkan hawa dingin dan sejuk.
“Aku tahu Sena.. aku tahu..” Ucap Nyimas Ajeng dengan lembut seraya menarik keningnya dari kening pemuda itu, kemudian dengan lembut kedua telapak tangannya bergerak menyusur bagian belakang kepala Sena, menuju ke kedua telinga Sena, lalu dengan jemari-jemari lentiknya, Nyimas memegang gagang kacamata pemuda itu, dan menariknya hingga lepas dari kepala Sang pemuda.
Oleh Nyimas kecamata tersebut di lipat rapih, kemudian disisihkan agak jauh dari tubuh mereka, setelah itu jemari kanan Nyimas mengusap lembut kedua kelopak mata Sena bergantian, sedang jemari tangan kirinya turun ke dada sena, mulai melepaskan kancing bagian atas kemeja pemuda itu.
“Sekarang kamu bisa menjadi dirimu sendiri Sena.. bersamaku kamu tak perlu menjadi orang lain.. tak perlu khawatir pada apa yang tengah merangkak naik dari tubuhmu kini.. aku akan menjagamu Sena.. akan menjagamu..”
Embusan napas Nyimas yang harum dan hangat menerpa wajah Sena tatkala kata-kata itu keluar, dan bersamaan dengan kancing ketiga yang sudah berhasil dilepaskan oleh Nyimas, Sena merasakan kelopak matanya dikecup bergantian oleh bibir hangat yang begitu lembut, membuat Sena seketika seperti dibakar oleh nafsunya sendiri, membuat napasnya kembali memburu hebat.
Dirasakan oleh Sena tubuhnya mulai panas, seolah seluruh darah di tubuhnya mulai mendidih.
“Tak apa Sena.. kamu tahu betul itu.. tak apa..” Ujar Nyimas Ajeng dengan begitu lembut, bibirnya tepat berada di telinga Sena, menciumi lembut areal itu. Sedang jemari lentik Nyimas sudah berhasil melepas seluruh kancing kemeja pemuda itu, membuat telapak tangannya kini mendarat di perut kekar milik pemuda tersebut, mengusap kulit hangat Sena yang terasa kian meranggas bak sabana rumput di puncak kemarau.
“Nyi.. nyimas.. Sssshh..” Ucap Sena terbata dengan mata yang masih dikatupkan. Merinding ketika merasakan jemari lentik Nyimas merayap lembut dan naik ke kulit dadanya yang bidang.
“Tak apa Sena.. tak apa..” Sahut Nyimas yang kini sudah berpindah menciumi leher sang pemuda. Dan tepat saat itu juga, Sena akhirnya menyerah akan dirinya sendiri. Ia membuka kedua matanya lebar-lebar, membiarkan napasnya memburu tak tertahan.
Kedua tangan Sena dengan cepat langsung memegang bahu Nyimas, kemudian dengan sekali dorongan tubuh Nyimas pun dibuatnya tegak kembali. Nyimas sempat tersentak dengan raut wajah sedikit kaget tatkala tubuhnya ditegakkan dengan kasar, namun sedikit pun tak ada niatan protes di hatinya.
Dpandangnya baik-baik wajah Sena yang sedikit tertunduk dengan rambut bagian samping tergerai ke depan, membuat wajah pemuda tersebut bak kamar yang tertutup sepasang tirai. Dan Nyimas tahu betul apa yang akan ia hadapi di detik berikutnya, terlebih ia rasakan cengkeraman di bahunya kian kuat dan sedikit menyaktikan.
Kemudian dengan perlahan Sena mengangkat wajahnya, dan saat itu juga, Nyimas Ajeng langsung terpekur dalam. Mata Sena.. mata pemuda itu terlihat nyalak menatapnya. Terlebih ada yang berubah dari Sena saat ini, yaitu matanya.
Ya.. mata sebelah kiri Sena terlihat sedikit menyeramkan, bahkan bagi seorang Ajeng Dayana Arshavina sendiri.
Bola mata sebelah kiri milik Sena sudah tak sewarna dengan bola mata kanannya. Dimana Sklera atau bagian putih di bola mata kirinya sudah berubah warna menjadi hitam pekat, sedang pupil matanya tadinya hitam, kini berubah menjadi kuning kejingga-jinggan yang terlihat menyala redup-menyala redup, dengan garis-garis halus bergelombang yang mengelilingi iris hitam di tengah pupil mata Sena.
( Iris : titik hitam kecil di bagian tengah pupil mata manusia )
Namun sekali lagi, perubahan warna bola mata Sena itu hanya terjadi pada mata sebelah kiri saja, sedang yang sebelah kanan tetap normal seperti warna mata pada umumnya.
Dan sungguh.. sklera mata yang harusnya putih kini berubah menghitam, pupil mata yang harusnya hitam kini justru berubah kuning kejinggaan, mengelilingi titik hitam kecil di tengah-tengahnya. Mungkin jika mata tersebut dimiliki oleh Serigala, tentunya terlihat indah dan memukau. Namun mata ini justru dimiliki seorang manusia yang tengah dikendalikan oleh nafsu buasnya, ini tidak indah sama sekali, tidak sama sekali.
Dari mata kiri, Nyimas Ajeng beralih ke dahi sang pemuda, sebab “sesuatu” yang terlepas dari inti jiwa Sena bukan hanya merubah mata kiri pemuda tersebut, melainkan juga memunculkan sebuah pola samar yang sedikit menyala, bentuk pola tersebut adalah tiga susunan garis tebal miring yang membentuk nyala api. Seperti tatto namun terlihat memancarkan cahaya kemerah-merahan nan redup.
Takut.. meski ini sudah kesekian kalinya ia menghadapi Sena yang tengah berada di bawah kendali hawa nafsunya, namun tetap saja rasa takut masih sedikit bersisa di hati Nyimas.
Dengan tangan bergetar, Nyimas memberanikan diri untuk mencoba menyentuh pola merah redup di dahi Sena, namun ketika jemarinya baru terangkat sebatas mata, pergelangan tangannya langsung dicengkeram dengan kuat oleh pemuda itu, membuat rasa sakit dan panas menjalar di sekitar urat nadi Nyimas Ajeng.
“Gggrr…. Huhhh.. heehhhmmm…” Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir Sena, hanya dengusan napas berat yang nyalak terdengar ke sepenjuru ruangan.
“Tak apa Sena.. tak apa..” Ujar Nyimas lirih dengan mata menatap dalam-dalam bola mata Sena yang terlihat nyalak dengan perbedaan warna yang amat signifikan, dan tentunya sedikit menyeramkan.
Sena masih bergeming, ia tetap mencengkeram pergelangan tangan Nyimas dengan kuat, bahkan semakin kuat. Membuat aliran darah di sekitar urat nadi perempuan itu tersendat, mengakibatkan telapak tangan putih Nyimas Ajeng kian menguning pucat.
“Aku di sini Sena.. kamu percaya padaku, kan?” Tanya Nyimas Ajeng dengan tatapan mata yang terus dipusatkan ke sepasang mata indah namun menyeramkan di hadapannya. Dan sepertinya kata-katanya berhasil, perlahan cengkeraman tangan Sena pun mengendur, melemah.
Hal itu langsung dimanfaatkan perempuan tersebut dengan menggerakkan kembali tangannya, mendekatkan dua jemarinya
-jari telunjuk dan jari tengah- ke kening milik Sena. dan tepat beberapa inchi sebelum kedua ujung jarinya bersentuhan dengan pola api di dahi sang keponakan, bibirnya dengan lembut melafalkan kata-kata.
“..Kembang darsana kang munggwing jarijiningong.. kapurancak ri kuku.. nyangga geni..”
CESSHH…
Tepat saat Nyimas selesai melafalkan rapalannya, ujung kedua jemarinya menyentuh tepat di pola api memerah di dahi Sena, sontak saja.. pola tersebut langsung mengeluarkan asap tipis mengepul.
“Heeiikk..” Nyimas menahan napasnya kuat-kuat, wajahnya seperti menahan kesakitan, dan itu bukan berasal dari cengkeraman tangan Sena yang memang sudah melembut, melainkan karena aliran energi di ujung jemarinya yang berbenturan dengan pancaran energi di dahi sang keponakan.
Setelah bisa meredam rasa sakit yang mengalir dari ujung jemari ke seluruh tubuhnya, Nyimas pun menarik kembali jemarinya dari kening Sena, dan hebatnya. Kini pola yang berada di dahi Sena sudah tidak lagi berwarna merah yang menyala samar, melainkan hanya bersisa garis-garis hitam seperti tatto kebanyakan. Sedang Sena sepertinya sudah lebih tenang dari sebelumnya, meski napasnya tetap memburu, dan matanya tetap tak sewarna.
“Aku menginginkanmu yang aku kenal, Sena.. bukan yang lain..” Ucap Nyimas dengan napas terengah, bersamaan dengan itu mata Sena terarah ke telapak tangannya yang masih menggenggam lembut pergelangan tangan Nyimas, dan betapa merasa bersalahnya ia, tatkala ia membuka cengkeraman tangannya dan mendapati lebam biru di pergelangan tangan Sang Bibi, sisa cengkeraman kuatnya tadi.
Wajah Sena terangkat, matanya sayu menatap mata Nyimas. Sesuatu yang merangkak naik dari tubuhnya seketika jatuh terjerambap. Nafsunya yang buas seperti berangsur-angsur mereda.
“Maafkan saya Nyimas..” Terdengar permohonan maaf dari Sena mengudara, dengan suaranya yang masih serak dan berat. Nyimas tersenyum kecil, mencoba mengatur napas dan gesture tubuhnya agar tidak terlihat tengah kelelahan.
“Tak apa.. itu sudah jadi kewajibanku, Sena..” Sahut Nyimas dengan senyumnya yang diperlebar. Sedang Sena masih merenung dan berperang dengan dirinya sendiri, sebelum akhirnya dengan lembut Nyimas menairik tangannya dari genggaman telapak tangan Sena, kemudian menggerakkan kedua tangannya untuk melepaskan secara tuntas kemeja di tubuh Sena yang sudah terlepas semua kancingnya.
Sena hanya menurut saja, dengan perasaan campur aduk ia membantu Nyimas dengan mengangkat kedua tangannya untuk melolosi lengan kemejanya. Setelah itu Sena merasakan dagunya diangkat oleh Nyimas Ajeng, membuat wajahnya kembali menghadap wajah sang bibi.
Kemudian dengan lembut, Nyimas kembali menempelkan bibirnya di bibir Sena, melumat lembut bibir pemuda yang masih kaku tanpa respon itu. Kedua tangan Nyimas kembali melingkar di leher Sena, tubuhnya beringsut merapat ke tubuh sang keponakan.
“Percayakan padaku, Sena.. aku berjanji bahwa kamu takkan kehilangan dirimu..” Nyimas berkata di tengah-tengah pagutannya, dan tepat sedetik kemudian, Nyimas merasakan bibir Sena mulai membalas lumatannya. Bergerak lembut menyalurkan kehangatan lewat sapuan-sapuan bibirnya.
Perlahan panas di tubuh Sena mulai terasa lagi, membuat kedua tangannya tak bisa untuk tidak ikut tergerak meramaikan percumbuan ini. Oleh Sena, tangan kirinya langsung bergerak memegang pipi Nyimas, mengelus dan menahan kepala perempuan tersebut agar tetap berada di posisinya. Sedang tangan kanan Sena tanpa ba bi bu langsung merayap ke gundukan gunung Nyimas Ajeng yang masih terbalut ketatnya kebaya yang digunakan.
“Sssshh.. Ahhh..” Desah Nyimas Ajeng dengan kepala terangkat ketika Sena dengan lembut meresap payudara sebelah kirinya, meremas-remas dengan tekanan yang cukup kuat seperti hendak meluluh-lantakkan gunung besar nan kencang tersebut, membuat lumatan bibir mereka terlepas sejenak.
Dan seolah tak memberikan waktu, Sena langsung membenamkan wajahnya di leher jenjang nan putih milik dewi khayangan itu, mencium, melumat, dan memberikan jilatan lembut di sana, membuat Nyimas benar-benar merasakan geli yang bercampur dengan kenikmatan hakiki. Oleh Sena, remasannya kian dimantapkan, seolah tengah menguleni adonan kue, ia tak henti-hentinya meremas, memijat, dan menekan payudara kenyal yang berada di telapak tangannya, meski sesungguhnya, ukuran payudara tersebut cukup besar hingga tak seluruh telapak tangan Sena mampu menampungnya.
“Sssshhh.. Hmmmpphh..” Nyimas terus mendesis perlahan, tangannya yang tadi hanya terkalung di leher Sena mulai mengacak-acak rambut bagian belakang pemuda itu, meremas dan menjambak, menikmati kenikmatan yang hampir tiga bulan ini tak pernah lagi ia rasakan.
Sena tak berniat berlama-lama menikmati kulit putih nan harum di leher Nyimas, ia segera mengangkat kembali kepalanya untuk mengejar bibir Nyimas yang terbuka merekah, memasukan lidahnya ke rongga mulut dari penguasa tanah pegunungan utara itu dengan beringasnya. Menghisap, menyapu dan mebelit lidah yang bagi Sena terasa amat manis untuk diselami. Nyimas pun tak berdiam diri, ia membalas lumatan bibir dan sapuan lidah Sena dengan tak kalah memburu. Oleh Nyimas, ia seperti tengah berusaha mereguk sebanyak mungkin liur milik Sena yang tercampur dengan liurnya, mencoba mengentaskan dahaga syahwat yang berbulan-bulan belakangan ia tahan dengan begitu keras.
Di tengah cumbuan panas tersebut, tangan Sena terus meremas-remas payudara Nyimas dari luar kebayanya, membuat perempuan tersebut sesekali menggeliat geli karena putting payudaranya tergesek-gesek pakaiannya sendiri, menegang dan menyalurkan kenikmatan yang benar-benar membuatnya terbang ke langit tertinggi.
Puas bermain dengan payudara sang pujaan, kedua tangan Sena kemudian bergerak ke arah belakang tubuh Nyimas, memeluk tubuh perempuan tersebut agar semakin merapat ke tubuhnya. membuat dada bidangnya yang terbuka merasakan himpitan dari payudara Nyimas yang membusung dan masih tertutup kebaya.
Lumatan bibir mereka pun semakin menjadi jadi, sapuan dan jilatan lidah, pertukaran liur yang begitu basah, serta hisapan-hisapan kuat mewarnai percumbuan panas ini. Mata mereka yang kini sudah terpejam, benar-benar menikmati cumbuan yang kian detik kian terasa membangkitkan kenikmatan. Tangan Sena kini bahkan sudah bergerak mengusapi punggung bibinya, dan perlahan naik mencari resleting kebaya yang dikenakan Nyimas Ajeng. setelah mendapatkan apa yang dicarinya, tangan Sena dengan cepat menurunkan resleting kebaya tersebut, membuat kulit punggung Nyimas yang putih bak kembang melati memerah tersapu nyala lilin di ruangan ini.
Diusapnya oleh Sena kulit punggung Nyimas Ajeng yang memang hanya mengenakan bra sebagai dalaman, dengan lumatan bibir yang kian hebat dan jumawa. Hingga dilumatan yang kesekian, Sena pun menghadiahi gigitan kecil di bibir bagian bawah Nyimas Ajeng, untuk kemudian menarik kepalanya ke belakang, membuat tautan bibir mereka terlepas.
Kini napas Nyimas pun sudah tak kalah memburunya dengan Sena, dan ketika Sena membuka matanya, ia bisa melihat Nyimas Ajeng masih terpejam menaan kenikmatan. Kemudian tanpa meminta izin terlebih dahulu, Sena pun menanggalkan kebaya bibinya itu, yang oleh Nyimas dibantu dengan meloloskan tangan.
Dan tepat ketika kebaya itu sudah terlepas dan dilempar Sena dengan sembarang, mata Nyimas pun terbuka dengan sayunya, dipandangi Sena yang terlihat mematung takjub dengan mata bergerak menyapu tubuh bagian atasnya. Mendapati dirinya dipandangi sebegitu dalamnya, membuat perasaan malu namun bercampur kebanggan menguar di dalam hati perempuan yang sudah menginjak usia kepala empat tersebut.
Ia pandangi baik-baik tiap detail wajah Sena, terlebih.. di mata Nyimas Ajeng, Sena dengan sebelah mata berwarna hitam kuning itu benar-benar rupawan, ditambah simbol api di dahinya, plus kontur tubuh yang tegap bak benteng pertahanan, benar-benar membangkitkan gairah yang begitu hebat dari relung terdalam perempuan itu. Sudah hilang kesan menyeramkan dari Sena saat ini, bagi Nyimas hanya bersisa keindahan yang amat utuh.
“Apa kamu berniat membuatku menunggu lebih lama lagi, Sena?” Tanya Nyimas seraya menggerakkan tangannya ke belakang, hendak lepas kaitan bra berwarna kremnya. Namun belum sampai tangannya di tujuan, Sena lekas menahan kedua tangannya, menarik tangan Nyimas untuk kembali ke depan, menggenggamnya jemarinya dengan lembut.
“Biar saya saja Nyimas..” Ujar Sena dengan lembut, kemudian ia angkat kedua telapak tangan Nyimas Ajeng yang berada dalam genggamannya, dikecupinya jemari perempuan itu dengan begitu mesra. Sena.. meski napas dan gairah tengah memburu hebat saat ini, ia benar-benar berusaha agar Nyimas mendapatkan perlakuan lembut terlebih dahulu.
Setelah menciumi jemari Nyimas Ajeng, Sena pun kembali mendekatkan wajahnya ke wajah Nyimas, kembali memagut bibir Nyimas Ajeng. Dihisap, dilumat, dan disesap dalam-dalam bibir tebal Nyimas yang selalu terlihat sensual di matanya. Kemudian genggaman tangannya pun terlepas.
Nyimas segera menempatkan kedua telapak tangannya di dada Sena, mengusap lembut dada bidang nan tegap pemuda tersebut. Sedang tangan Sena bergerak ke belakang, mencari kaitan bra Nyimas Ajeng, dan langsung melepasnya dengan mudah. Dengan bibir masih saling melumat, Sena pun menurunkan tali bra milik perempuan yang tak lain adalah bibinya itu. Meloloskan hingga tanggal, dan dilempar begitu saja ke sembarang arah.
Dan kembali, Sena menyudahi pagutan bibir mereka, memundurkan kembali kepalanya, memandangi indah dan memukaunya sepasang gunung kembar yang besar nan bulat, padat dan begitu kencang, putih payudara Nyimas Ajeng dihiasi sepasang putting berwarna merah muda sedikit kecoklatan. Putting tersebut memang kecil, namun posisinya tegak menjulang karena dilanda birahi sang pemilik. Keindahan itu diperlengkap dengan perut langsing Nyimas Ajeng yang begitu kencang dan putih membius, membuat siapapun pasti menyangsikan usianya saat ini.
Melihat Sena yang kembali terpana, membuat Nyimas Ajeng tersenyum dengan napas memburu. Gairahnya kian naik, rongga kewanitaannya pastilah sudah semakin basah kini. Lembap.. Nyimas merasakan bagian bawah tubuhnya begitu lembap.
“Jangan melihatku seperti itu, Sena.. aku malu..” Ujar Nyimas salah tingkah sendiri, namun tak berusaha menutupi sepasang payudaranya yang terbuka sebegitu bebasnya.
“Jangan berkata seperti itu Nyimas.. saya seperti ini karena sungguh terpukau akan keindahan tubuh Nyimas..” Ucap Sena dengan kedua telapak tangan mengusap lembut bahu Nyimas Ajeng.
“Jangan menggombal.. perempuan-perempuanmu di luar sana pasti memiliki tubuh yang jauh lebih indah dariku, Sena..” Nyimas menyahuti ucapan Sena dengan mata yang tertuju pada indah dan muramnya bola mata kiri Sena, yang menghitam dengan hiasan kuning di tengahnya. Dan mendengar kata-kata Nyimas, Sena lekas menggelengkan kencang kepalanya.
“Tidak Nyimas.. bagi saya Nyimas adalah perempuan terindah dan paling sempurna.. tidak ada perempuan mana pun yang bisa menandingi keindahan dan kesempurnaan Nyimas di mata saya..” Sena berkata dengan kesungguhan yang bulat, napasnya kian memburu, karena bagaimana pun, keindahan tubuh terbuka di hadapannya dengan aroma semerbak bunga benar-benar menyesakkan celana.
“Jangan menggombal, Sena..” Tepis Nyimas lagi seraya menundukkan wajahnya. Karena meski ia menepiskan pujian tersebut di bibirnya, namun tentu hatinya tidaklah bisa berbohong, ia melambung sebab pujian tersebut.
“Apa Nyimas cemburu?” Tanya Sena dengan raut begitu tulus memikirkan perasaan Nyimas-nya saat ini. pertanyaan Sena itu jelas saja langsung membuat wajah Nyimas Ajeng terangkat menatap kembali wajah Sena, pipinya memerah, kemudian wajahnya pun dipalingkan dari wajah Sena.
“Mana mungkin aku cemburu? Toh aku yang memintamu mencari pelampiasan untuk meredam nafsu buasmu itu. Jadi, tidak mungkin aku cemburu atas keputusanku sendiri.” Kilah Nyimas Ajeng dengan perasaan berkecamuk, antara gairah memuncak dengan kecemburuan hebat di relung hatinya.
Karena wajahnya yang sedang berpaling, Nyimas Ajeng tidak sadar bahwa Sena sudah kembali merapatkan tubuh mereka. Nyimas baru sadar ketika dirasakan tubuhnya direngkuh dengan hangat oleh Sena, serta pundaknya dikecupi dengan mesra oleh pemuda tersebut.
“Ssshhh..” Nyimas bergidik tatkala kecupan dari bibir Sena mendarat di lehernya, menghisap dan menjilati di sana, kemudian merambat naik ke atas, menuju telinga Nyimas Ajeng.
“Perempuan lain mungkin bisa mendapatkan tubuh saya, Nyimas. Tapi tidak hati dan jiwa saya. Karena hati dan jiwa saya.. sepenuhnya hanya untuk Ajeng Dayana Arshavina seorang..” Bisik Sena lembut tepat di telinga Nyimas Ajeng, dan tentunya kata-kata itu adalah sebuah ketulusan mutlak dari pemuda tersebut.
Sedang mendengar nama lengkapnya disebut tanpa embel-embel kata “Nyimas” di depannya, benar-benar membuat hati Nyimas langsung luruh seluruh-luruhnya, tubuhnya bergetar, dan tanpa terasa air matanya turun membasahi pipi, dipeluknya erat-erat tubuh sang keponakan, ditenggelamkan wajahnya di leher Sena.
“Aku tahu Sena.. Sssshhh.. aku.. tahu.. ahhhh..” Desis Nyimas dengan lirihnya tatkala payudara kirinya diremas-remas lembut oleh Sena, ditambah lidah Sena mulai bermain di telinganya, benar-benar membuat Nyimas menggeliat kenikmatan.
Sedang Sena memuji takjub dalam hati, ketika telapak tangan pemuda itu akhirnya bisa kembali menyentuh kulit lembut payudara Nyimas Ajeng yang sudah tiga bulan terakhir tak ia rasakan. Padat dan kenyalnya payudara perempuan dalam rengkuhannya itu benar-benar pas, ditambah ukurannya yang besar dan tak mampu ditampung secara keseluruhan, sungguh.. bagi Sena Nyimas Ajeng adalah permata hidupnya.
Dengan sebelah tangan menopang punggung Nyimas, dan tangan yang lain meremasi bergantian kedua payudara indah perempuan itu, Sena terus menciumi wajah ayu dari pemangku kuasa tanah utara tersebut, bibirnya kini bahkan sudah kembali memagut lembut bibir Nyimas, menyapukan lidah dan membelit dengan begitu buas.
“Saya ingin menyusu Nyimas..” Sena menyudahi lumatannya, dan segera menempelkan keningnya pada kening Nyimas Ajeng, napasnya kian memburu.
“Ssshhh.. berbaringlah Sena..” Jawab Nyimas dengan mata mulai terbuka, Sena tersenyum, dengan tangan yang masih meremas-remas lembut, ia kecup bibir Nyimas sejenak. Kemudian ia lepaskan sangghan tangannya di punggung sang bibi, juga ia lepas tangkupannya pada payudara indah tersebut.
Setalah itu, ia pun berbaring menyintang dengan kepala berada di atas paha Nyimas yang posisinya masih bersimpuh. Sena memandangi baik-baik keindahan payudara bibinya tersebut dari bagian bawah, kencang dan begitu menantang penuh keindahan.
Lalu dengan lembut, Nyimas memegang bagian bawah payudara kanannya, kemudian menyodorkan putting merah muda kecoklatan tersebut pada Sena yang sudah menunggu tak sabaran. Dan benar-benar seperti bayi kecil yang tengah disusui Ibunya, Sena lekas mencaplok putting yang disodorkan Nyimas dengan semangat tinggi, dihisap dan disesapnya kuat sesekali, seolah benar-benar tengah menyusu pada payudara yang sejatinya belum pernah memiliki ASI tersebut.
“Pelan-pelan sayang.. Ssshh…” Desah Nyimas dengan sebelah tangan masih berada di payudaranya, sedang tangan yang lain mengelusi rambut Sena dengan lembut, ditatapnya dalam-dalam wajah pemuda tampan dengan simbol api di dahi dan mata kiri yang menghitam itu dengan penuh kasih sayang, seolah Nyimas siap memberikan apa saja yang pemuda itu inginkan dari tubuhnya.
SLURRPP.. MMPPHH.. SLURRPP.. MMPPHH..
Sedang mendengar kata
Sayang keluar dari bibir Nyimas Ajeng, Sena justru semakin menggila dan menambah kuat hisapannya pada putting payudara sang bibi, berpindah dari payudara yang satu ke payudara yang satunya. Membuat Nyimas benar-benar harus menahan geli dan ngilu bercampur kenikmatan yang seolah berkumpul di satu titik di bagian bawah bawah tubuhnya. Bahkan kini kedua tangan Sena ikut meremasi payudara tersebut, seolah menemukan kebahagiaan terbesar dari payudara indah yang sudah sejak lama menjadi kepunyaannya ini.
“Ssshhhh.. Sena.. pelan-pelan Sayang.. geli…hhhmmpphh…” Desis Nyimas Ajeng dengan wajah yang kian memerah, sedang Sena tak bergeming, ia terus menguleni sepasang payudara di hadapannya. Kedua putting payudara nyimas seperti tak memiliki kesempatan untuk bernapas, jika satunya dihisap, maka putting yang satunya pasti dipilin dan diputar-putar nakal oleh Sena, membuat Nyimas Ajeng benar-benar tak berhenti mendesah dan menggigit bibir bawahnya.
Remasan dan pijatan di payudara, ditambah pilinan dan hisapan yang disertai gigitan kecil benar-benar membuat Nyimas Ajeng mabuk kepayang, apalagi.. sesekali Sena memberikan jilatan dan kecupan di perut ramping milik Nyimas, kadang juga menjilati lubang pusar perempuan itu dengan telaten. Namun tentu saja, Sena tetap menjadikan payudara Nyimas Ajeng sebagai sajian utama yang tak boleh terlalu lama diabaikan.
Remas lagi, pilin lagi, hisap lagis.. hal itu benar-benar melambungkan Nyimas ke antah berantah, kepala perempuan itu sesekali bahkan harus terdongak mengahadap langit-langit ruangan ini, sebab rasa geli, ngilu dan nikmat benar-benar telah menjalari sekujur tubuhnya, tangan Nyimas bahkan sudah tidak lagi mengelusi rambut Sena, melainkan kini sudah meremas-remas rambut pemuda yang kepalanya kian tenggelam dalam sepasang payudara indah milik Nyimas.
“Sena.. sena.. sshhhh.. aku.. mmmpphhh..” Nyimas merasakan bahwa birahinya kian membuncah, hal tersebut membuatnya tiba-tiba membungkukkan tubuh dan memelek kepala Sena erat-erat, menekan payudaranya agar tidak lepas dari garapan mulut keponakannya itu.
Sadar jika bibinya itu semakin mendekati puncak birahi, Sena pun semakin menguatkan hisapan, remasan, dan pilinannnya. Terus berusaha memompa inti gairah yang sudah berada di ambang gerbang kenikmatan sang bibi. Meski sedikit sulit mengambil napas, namun itu bukanlah masalah yang berarti bagi Sena. dan bahasa tubuh Nyimas yang kian menggeliat dan tak bisa diam, benar-benar membuat Sena bersemangat untuk menjamah payudra indah dalam tangkupannya itu. Hingga beberapa saat kemudian..
“AKU.. HHMMPPHH… AAAHHHHHHH…”
Srreettt.. sreett.. sreeett… sreeettt… sreett..
Nyimas Ajeng berteriak sekencang-kencangnya ketika dirasakan cairan kenikmatan terlepas keluar dari relung kewanitaan yang sejatinya masih tersembunyi dibalik bungkusan kain jariknya, tersembunyi di balik katupan rapat pahanya. Tubuhnya berkejat-kejat, keseimbangannya mulai goyah, beruntung Sena lanngsung melingkarkan kedua lengannya di pinggang sang Bibi, menjaga tubuh Nyimas agar tetap seimbang.
“Isssshhhhh.. Sena.. Geli.. Uhhhhhh..” Nyimas masih bergelut dengan gelombang orgasme hebat yang melandanya, terlebih bibir Sena masih lahap menggarap putting payudaranya, membuat rasa geli bercampur ngilu kenikmatan benar-benar melemaskan otot-otot tubuhnya. Yang Nyimas bisa lakukan saat ini hanya memeluk kepala Sena erat-erat seraya meremasi dan sedikit menjambak rambut pemuda itu.
Dan seolah tak ingin menyiksa Nyimas-nya lebih lama, Sena pun menyudahi kulumannya pada putting Nyimas, kini ia hanya menenggelamkan wajahnya pada perut ramping nan harum milik Sang Bibi, dipeluknya erat-erat pinggul Nyimas Ajeng, dibiarkannya perempuan cantik itu menikmati sisa-sisa orgasme yang melanda, meski sesungguhnya.. batang kejantanan milik Sena sudah terasa sesak karena tegang dengan posisi yang sedikit melenceng di dalam celananya, namun Sena lebih dari kuat untuk menahan kesakitan akibat kesalahan arah dari kejantanannya.
Sena lebih memilih menciumi lembut dan menghirup dalam-dalam aroma tubuh Nyimas Ajeng, terlebih ia merasakan ciuman-ciuman lembut dari sang bibi mendarat di rambutnya, yang disertai dengan gerakan menyisir helaian panjang rambutnya dengan jemari.
“Kamu memang nakal, Sena.. hihihi..” Nyimas berkata dengan penuh kebahagiaan dari dalam hatinya, dikecupnya telinga Sena. Sena perlahan menarik wajahnya yang tenggelam dari perut Nyimas Ajeng, menghadapkan kembali wajahnya ke atas, membuat wajahnya kini berhadap-hadapan dengan wajah Nyimas yang memang sedikit menunduk menatapinya.
“Saya hanya menyusu pada Nyimas.. di mana letak kenakalan saya?” Sahut Sena dengan senyum kecil mengembang, dan jawaban Sena terang saja membuat Nyimas Ajeng gemas, maka dicubitnya hidup pemuda itu dengan gemas, digoyang-goyangkan ke kanan dan ke kiri. Membuat tawa pun seketika hadir melengkapi kemesraan mereka. Sesekali Sena mendapatkan hadiah kecupan di bibir, kening, dan pipi. Sungguh kehangatan yang amat tulus teruntai di antara mereka.
“Angkat kepalamu, Sena. Kakiku mulai keram..” Ucap Nyimas dengan tangan mencubit pelan putting dada Sena, dan tak perlu menunggu perintah kedua, Sena pun lekas bangkit duduk.
Setelah itu, Nyimas Ajeng pun lekas mengubah posisinya, betis basahnya yang sedari tadi terlipat di bawah paha dan menjadi tumpuan tubuhnya pun setengah di luruskan kesamping, kemudian ia menjatuhkan pantatnya ke lantai, dengan posisi paha tetap menghadap ke depan. Sebenarnya Nyimas berbohong mengenai keram yang tadi ia katakan, ia hanya tak ingin berlama-lama membiarkan pejantannya tersiksa di atas pahanya, terlebih ia merasa paha dan betisnya sudah amat basah dan sedikit lengket sebab cairan pelumas dan cairan orgasme yang keluar dari liang kewanitaanya.
“Kakiku keram Sena, kamu bisa bopong aku ke ranjang atau tidak?” Nyimas Ajeng bertanya dengan mata yang lekat menatap mata hitam kuning Sena.
“Jangan menanyakan sesuatu yang Nyimas sendiri sudah tahu jawabannya..” Jawab Sena dengan senyum mengembang. Jawaban pemuda itu membuat Nyimas Ajeng tersenyum, karena jelas Sena sedang mengulang kalimat yang sempat Nyimas ucapkan sebelum percumbuan mereka barusan.
Dan tanpa menunggu lama, Sena pun lekas mengangkat tubuh Nyimas Ajeng dari atas permadani yang menjadi saksi desahan demi desahan yang keluar dari bibir Nyimas tadi. Sena berdiri tegak dengan kedua tangan menopang bagian belakang tubuh Nyimas, satu tangannya di bawah paha, dekat dengan lutut, sedang tangan lainnya di di belakang punggung bagian atas Nyimas. Sedang Nyimas lekas mengalungkan lengannya di leher Sena, menempelkan kepalanya di dada luas pemuda tegap tersebut.
“Kainnya basah sekali Nyimas..” Canda Sena dengan diakhiri kecupan lembut di kening Nyimas Ajeng.
“Jangan menggodaku, Sena. ini semua kan karena kenakalan kamu..” Sahut Nyimas dengan senyum tertahan.
“Hahaha..” Sena tertawa bahagia dengan langkah yang tegap dan tegas mengarah ke ranjang pembaringan yang terletak tak seberapa jauh dari permadani tadi.
“Di sini saja, Sena. Aku mau membuka kain ini dahulu..” Pinta Nyimas pada Sena, sebelum pemuda itu membaringkan tubuhnya di atas ranjang dengan kasur berbahan kapuk yang baru saja dijemur dua hari sebelumnya, tentunya hal tersebut akan membuat ranjang itu terasa lebih nyaman untuk ditiduri.
Sena pun mengangguk, ia turunkan Nyimas di samping ranjang dengan posisi berdiri. Setelah itu, Nyimas memutar tubuhnya membelakangi Snea, dan ketika Nyimas hendak membuka lilitan kainnya, dari arah belakang, Sena lekas menahan tangan sang bibi.
“Biar saya saja, Nyimas..” Sena berkata dengan lembut tepat di belakang Nyimas Ajeng, kemudian dengan telaten tangannya membuka kaitan kain Nyimas, dan melepaskan lilitan kain jarik itu dari tubuh Bibinya.
Dan begitu sudah terlepas sepenuhnya, Sena pun membiarkan kain tersebut terjatuh begitu saja ke lantai. Membuat pinggul yang berhiaskan bokong besar dan sekal langsung terpampang di hadapannya, sebab jika memang sedang bermeditasi, Nyimas jarang sekali mengenakan celana dalam, baginya lilitan kain jarik sudah amat lebih dari cukup.
Melihat keindahan di hadapannya, tanpa pikir panjang, Sena pun meremas lembut sepasang bokong indah itu, tubuhnya ia rapatkan ke tubuh Nyimas, ia kecup dengan lembut tengkuk perempuan pujaannya itu.
“Hhhhmm.. kamu benar-benar nakal, Sena..” Nyimas menggeliat manja dan segera memutar tubuhnya menghadap Sena, langsung menjinjitkan kaki dan menyambar bibir pemuda Sena dengan lembut, beruntungnya Sena membantu Nyimas untuk menggapai bibirnya dengan sedikit membungkukkan tubuh.
Ciuman mereka kali ini terasa lebih lembut dari sebelumnya, seolah ada perasaan bahagia yang tercurah di sana. namun meski begitu, tangan Sena yang nakal langsung menyambar bongkahan bokong Nyimas, meremas-remas bokong putih nan indah itu dengan semangat juang yang amat tinggi.
MUAACCHHH
Merdunya bunyi pagutan bibir mereka yang terlepas mengisi ruangan ini, Nyimas kini menapakkan kembali kakinya, menahan sedikit dada Sena yang hendak mengejar bibirnya.
“Aku suka mata kamu, Sena..” Ucap Nyimas Ajeng seraya mengelusi pelipis sebelah kiri pemuda itu. Senyumnya mengembang menatap mata kiri Sena, hitam legam dengan kuning kejinggan.
“Apa hanya mata saya saja Nyimas?” Tanya Sena menggoda.
“Jangan menanyakan sesuatu yang kamu sendiri sudah tahu jawabannya, Sena..” Sahut Nyimas membalas kembali ucapan Sena, membuat Sena tersenyum lebar dan mengeraskan sedikit remasan di bokong bibinya itu, membuat Nyimas menjerit kecil.
“Iseng ya..” Protes Nyimas seraya tangannya langsung ditempatkan di selangkangan Sena, meremas batang tegang yang berada di dalamnya. Hal tersebut langsung membuat Sena mendesis tertahan, karena akhirnya pusakanya itu mendapatkan sentuhan pertamanya.
Dan seolah mengerti yang dirasakan Sena, Nyimas pun dengan cepat menurunkan tubuhnya, membuat wajahnya kini berada tepat di depan selangkangan pemuda itu. Kemudian dengan cekatan, Nyimas pun membuka kepala ikat pinggang Sena, berlanjut kancing celana dan resleting pemuda itu, dan langsung menurunkan celana chinos pemuda itu sekaligus dengan celana dalamnya.
Kontan saja, sebuah benda panjang besar yang sedikit melengkung ke atas teracung tepat di hadapan Nyimas, membuat mata Nyimas harus terbelalak setiap kali melihat penis perkasa kepunyaan Sena. ditambah kepala penis pemuda itu bak puncuk jamur, ukurannya sedikit lebih lebar dari ukuran batangnya sendiri
-yang jelas-jelas sudah besar-.
“Perasaanku saja, atau memang kontolmu ini makin besar dan makin bengkok, Sena?” Tanya Nyimas dengan wajah terangkat menatap wajah Sena, ia masih belum menyentuh pusaka gagah milik Sena yang memiliki panjang 22cm, dengan diameter batang penis 5cm, dan diameter kepala penisnya tentu jauh lebih besar dari batangnya sendiri.
“Nyimas kok ngomong jorok?” Protes Sena lembut, karena bagaimana pun ia menghormati Nyimas sebagai pemimpin tanah ini, jadi rasanya aneh saja jika mendengar Nyimas berbicara tidak senonoh. Meski harus Sena akui, ia sangat terangsang jika perempuan yang ia puja itu berbicara kotor, seolah menambah keseksian Nyimas Ajeng
-yang memang sudah seksi dari sananya-
“Tapi kamu suka kan, Sena?” Tanya Nyimas balik tanpa berniat menanggapi protes dari pemuda itu, kemudian Nyimas mendorong paha Sena agar duduk di tepian ranjang, yang oleh Sena dituruti saja.
Setelah itu Nyimas Ajeng pun memposisikan tubuhnya di kedua paha Sena, ia sendiri bertumpu dengan kedua lututnya. Tanpa banyak bicara, Nyimas langsung menghadiahi kecupan di kepala penis Sena, membuat penis pemuda itu mengangguk-angguk menahan rangsangan. Melihat posisi kepala penis Sena yang terayun bebas, akhirnya membuat Nyimas Ajeng memutuskan untuk menggenggam batang penis pemuda itu
-meski lingkar genggamannya tak cukup untuk menggenggam keseluruhan penis itu-, bersamaan itu pula, Nyimas memberikan pijatan lembut di batang penis milik keponakannya.
Hal tersebut oleh Sena direspon dengan mencengkeram bahu kiri Nyimas Ajeng dengan tangan kanannya, terlebih ketika ia merasakan batang penisnya mendapatkan kecupan dan jilatan hangat dari bibir dan lidah Nyimas Ajeng, membuat gairahnya seolah langsung meroket. Dan itu membuat Sena tanpa sadar semakin menguatkan cengkeramannya pada bahu Nyimas Ajeng, mata Sena terpejam, dengan kepala terdangak ke atas, menikmati kenikmatan dari jilatan dan kocokan yang diselingi pijatan serta remasan di batang kejantanannya.
Sedang Nyimas sadar, bahwa Sena bisa kapan saja membuat bahunya dislokasi, dari itu, dengan tangan yang satunya lagi, ia mengelus lembut punggung telapak tangan pemuda itu, membuat Sena tersadar dari kenikmatan yang membuainya, segera melepaskan cengkeramannya dari bahu Nyimas.
“Maaf Nyimas..” Ujar Sena di tengah birahinya, Nyimas hanya membalasnya dengan senyuman kecil yang penuh arti, tangannya masih mengocok-ngocok lembut batang penis Sena, bibirnya kini sudah berpindah mengecupi kepala penih pemuda tanggung itu, lidahnya pun ikut terjulur untuk menyapu kepala batang Sena yang kian membengkak.
“Sssshhh..” Desis Sena dengan kedua tangan sudah mencengkeram tepian ranjang dengan kuat, nikmat.. ini sangat nikmat baginya, terlebih ketika ia merasakan bahwa tangan Nyimas yang lain meremas-remas lembut buah zakarnya, plus lidah Nyimas yang sesekali mencucuk lubang kencingnya.
Sungguh.. nikmatnya seperti dibawa terbang ke langit tertinggi.
Tidak cukup sampai di situ saja, Nyimas kini mulai memposisikan bibirnya tepat di depan kepala penis Sena, menghela napasnya panjang kemudian mulai membuka bibirnya untuk membawa penis keponakannya itu masuk ke dalam rongga mulutnya.
Dan menyadari bahwa ada kehangatan yang mulai menjalar di ujung kepala penisnya, Sena membuka mata lebar-lebar dan menatap ke arah bawah, di mana Nyimas terlihat tengah berusaha memasukkan kepala penisnya dengan susah payah.
“Sssttt.. tak apa Nyimas.. uuuhhh.. Nyimas tak perlu Ahhhh…” Kata-kata Sena tak selesai karena kepala penisnya yang bak jamur itu sudah masuk sepenuhnya ke dalam mulut Nyimas Ajeng, membuat rasa geli bercampur ngilu menjalar ke ujung-ujung syaraf yang berada di sekitar selangkangannya. Membuat ia harus menahan sekuat tenaga kenikmatan yang amat sangat, dicengkeramnya pinggiran ranjang itu lebih kencang dari sebelumnya, dipejamkan matanya lebih kencang dari sebelumnya.
Hangat.. geli.. ngilu.. nikmat.. semua sensasi itu melebur jadi satu bagi Sena kini.
Sedang Nyimas Ajeng yang melihat itu amat bahagia, meski sejujurnya ia harus bersusah payah untuk sekedar memasukkan kepala penis tersebut ke mulutnya, namun ia begitu terharu ketika melihat wajah bergairah menahan kenikmatan yang ditampilkan Sena saat ini. Dari itu, seolah mendapatkan ia pun mulai menurunkan kepalanya untuk melahap batang penis itu lebih dalam, seinchi demi seinchi, dengan diiringi desahan dari Sena, akhirnya separuh batang penis itu sudah masuk ke dalam rongga mulut Nyimas Ajeng, ia berhenti sejanak karena merasa bagian dalam mulutnya sedikit kebas, ia pun berhenti untuk mengambil oksigen lebih banyak.
“Nyimas… Ouughhh.. Sssstt..” Sedang Sena meraskan kenikmatan tiada tara dari kehangatan rongga mulut Nyimas saat ini, dan ketika merasakan Nyimas tengah mengambil jeda, ia pun membuka matanya lagi untuk menatap perempuan yang tengah melahap kejantanannya saat ini.
Dan ketika melihat perjuangan Nyimas yang bibir-bibirnya terlihat menempel di batang penisnya, seketika langsung membuat birahi Sena melonjak ke tahap lebih tinggi. Digerakkan tangannya untuk mengelus punggung Nyimas, dan dengan lihainya, Sena pun melepas tusuk konde yang menjadi pancang bagi sanggulan rambut sang bibi, kemudian dilepaskan lilitan rambut Nyimas dengan tak kalah lihainya, lalu digeraikan rambut hitam panjang milik Nyimas Ajeng, diusap-usap dan dibelai dengan penuh perasaan oleh Sena.
Setelah berhasil menggerai rambut sang bibi, sebelah tangan Sena pun merayap ke pipi Nyimas yang terlihat menggelembung, terisi penuh oleh kepala penis miliknya. Kemudian Sena pun mengelusi lembut dengan jemari. Terlebih, ia merasakan hisapan-hisapan kuat di kepala penihsnya, membuat birahi Sena seperti melonjak kencang dan melesat ke udara.
Nikmat.. ini begitu nikmat..
Tubuh Sena bergetar, tatapannya meredup terang seketika, ia merasakan suatu desakkan merasuk dan menghimpit dadanya, membuat tatapannya kian redup meski kelopak matanya terbuka lebar.
Dan entah mengapa, Sena tiba-tiba menyudahi belaiannya di pipi sang bibi, seraya kemudian kedua tangannya dengan tegas memegang kedua sisi kepala Nyimas Ajeng. Tatapannya sudah meredup sepenuhnya, namun birahi dan nafsunya sudah membuncah di seluruh peredaran darahnya.
Merasakan kepalanya dicengkram sedikit kuat oleh Sena, membuat Nyimas Ajeng seketika mengangkat sudut pandang matanya, menatap wajah Sena dengan rongga mulut terasa penuh sesak. Lalu tatapannya beralih menatap mata kiri Sena, dan ia pun mendapati bahwa kuning kejinggaan bola mata Sena sedikit mengalami perubahan warna, di mana kini lebih dominan berwarna jingga kemerahan dengan pancaran cahaya yang lebih terang dari sebelumnya. Sadar akan perubahan warna pupil mata itu, serta sadar bahwa kepalanya sudah berada di dalam cengkeraman tangan Sena, Nyimas Ajeng pun langsung menghela napasnya dalam-dalam seraya mempersiapkan diri, tidak ada jalan lain baginya kini.
Dan benar saja, Sena tiba-tiba berdiri dari posisi duduknya, menyeringai dengan wajah dingin yang sudah sangat Nyimas hafal gelagatnya.
“Oorrgghhh.. Mmpphhh..” Suara Nyimas terdengar tertahan ketika Sena mulai memajukan pinggulnya untuk memasukkan lebih dalam batang penis raksasa tersebut. Dan meski kedua telapak tangan Nyimas sudah menahan paha Sena, namun tetap saja, batang besar nan panjang itu terus melesak semakin dalam hingga amblas sepenuhnya di dalam mulut Nyimas. Membuat Nyimas tersedak dan terasa sulit sekali untuk sekedar menghela napas.
Kulit bibir Nyimas saat ini bahkan benar-benar menyentuh pangkal penis milik Sena, menempel pada bulu-bulu kemaluan milik keponakannya itu. Air mata Nyimas pun seketika keluar ketika ujung kepala penis itu menyentuh tenggorokannya, bahkan ia merasakan masuk hingga ke rongga atas tenggorokannya, membuatnya berkali-kali tersedak sebab mual karena anak lidahnya terdorong dan terhimpit di dinding pangkal tenggorokannya.
( Anak lidah : sebuah daging kecil yang tergantung di belakang lidah. Dalam bahasa ilmiah disebut uvula. Kebanyakan orang menyebutnya amandel, meskipun sebenarnya amandel sendiri berbeda dengan uvula)
Sedang Sena, ia benar-benar sudah terbuai, kenikmatan akan hangatnya rongga mulut Nyimas membuat kepala terdongak tinggi, matanya terpejam kuat-kuat dan mulutnya menganga lebar.
“AARRRGGGGHHH… SSSHHHH..” Sena melenguh dengan kerasnya seraya terus menekan pinggulnya ke depan, membuat batang penisnya yang sudah amblas itu terus menyentak-nyentak ambang tenggorokkan bibinya, membuat Nyimas Ajeng benar-benar tersedak terus menerus. Sesak dan terasa sakit tenggorokannya saat ini.
Nyimas sejatinya berusaha untuk memundurkan kepalanya, bukan untuk melepaskan oralannya, namun hanya berusaha untuk mengambil napasnya yang mulai berkurang. Namun apa daya, cengkeraman tangan Sena di kepalanya benar-benar bak rantai kekang, tak bisa digoyahkan. Otot-otot pipinya pun terasa semakin kebas, dengan napas yang kian mencapai batasnya.
“SSHHH.. HUHHH..” Dengus Sena dengan kerasnya seraya kembali menatap wajah perempuan yang tengah melahap penisnya itu, seringaian senyum terpampang di bibir Sena, dan sedetik kemudian ia mulai menarik keluar batang penisnya, hal tersebut dimanfaatkan Nyimas untuk menarik napas lewat hidung sebanyak-banyaknya, karena benar saja, ketika sebatas tersisa kepala penisnya, Sena kembali melesakkan penisnya secara keseluruhan ke dalam rongga mulut Nyimas, membuat air mata terus menerus menetes dari kelopak mata perempuan tersebut.
Dan tanpa menunggu lama, Sena mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur untuk menyetubuhi bibir Nyimas Ajeng yang begitu sensual kini, menggenjot bibir tersebut dengan penuh semangat membara.
Sena mencengkeram kuat-kuat kepala Nyimas, dan terus menyetubuhi bibir Nyimas dengan tempo yang cukup cepat, melesakkan dalam-dalam batang kejantannya dengan begitu beringas.
CLLORRKK.. CLORRKK.. CLORRKK..
“Oorrgghh.. oorrgghh.. orrgghh..”
Nikmat.. itu saja yang ada di kepala Sena saat ini, ia tak perduli pada semua hal kecuali rasa nikmat yang tengah menjalar di batang kejantananya kini. Ia genjot terus, ia lesakkan terus, ia pompa terus bibir Nyimas-nya dengan penuh birahi.
Sadar jika Sena semakin lepas kendali, Nyimas Ajeng pun akhirnya memutuskan untuk melakukan lagi hal yang selama ini ia lakukan tiap kali Sena kehilangan kendali ketika tengah mengejar birahi, dengan mengabaikan perasaan mual dan kebas di pipinya, Nyimas mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada, matanya pun perlahan terpejam, dan dengan lirih, hatinya melafalkan rapalan-rapalan. Lalu tiba-tiba..
Wussshhh..
Nyimas merasakan dirinya terdorong ke belakang, dan bersamaan dengan itu sebuah bayangan keluar dari tubuh Nyimas, bayangan yang sama persis dengan tubuh tersebut. Bayangan tersebut tak lain adalah Nyimas Ajeng sendiri, namun dalam bentuk sukma saja. Sebab tubuhnya saat ini tak mungkin bisa menghentikan Sena tanpa melukai pemuda tersebut, dari itu ia pun selalu memilih jalan ini jika sedang terdesak.
Setelah itu Nyimas pun memandang penuh haru ke arah Sena saat ini, wajah Sena terlihat begitu menikmati, dengan mata yang terpejam rapat-rapat dan bibir yang terbuka melaungkan desahan.
Lalu dengan posisinya yang setengah melayang, Nyimas pun mendekat, ia masih mengamati Sena yang dengan beringasnya melesakkan penisnya dalam-dalam, memompanya dengan penuh birahi. Nyimas Ajeng pun memandangi raganya yang masih menjadi pelampiasan nafsu dari Sena, raga itu sejatinya tengah kosong, sebab sukma dari Nyimas Ajeng kini tengah terlepas.
Dan seolah tak ingi membuang waktu, Nyimas pun segera mengarahkan telapak tangannya ke arah dada pemuda itu, lalu melesakkan telapak tangannya ke dalam rongga dada Sena, kemudian menahannya sebatas pergelangan tangan. Setelah itu Nyimas pun memejamkan matanya.
“Kembalilah Sena.. aku mencintaimu.. kembalilah..” Setelah mengatakan hal tersebut, bibir Nyimas pun mulai menghembuskan udara untuk menyapu wajah Sena yang terlihat semakin liar dan buas. Dan seketika itu juga, gerakkan pinggul Sena mulai melambat perlahan, seringaian dari wajah pemuda itu pun pudar, berganti dengan raut seperti bertanya-tanya. Bersamaan itu pula, simbol api yang tadi sempat terlihat mulai menyala kembali meredup, hanya bersisa tatto hitam samar saja.
Melihat itu, Nyimas pun tersenyum lega, dan sebelum Sena sempat membuka matanya, sukma dari Nyimas pun melesat dengan cepat kembali ke raganya, membuat raga tak berdaya Nyimas itu tersentak seketika, menandakan kehidupan sudah kembali mengisi raga tersebut.
Setelah itu ia lekas menggerakkan tangannya untuk mengusap air mata yang sempat membasah di pipinya, hal tersebut mudah saja dilakukan karena gerakkan pinggul Sena saat ini benar-benar sudah melambat, bahkan terkesan ragu-ragu. Dan tepat ketika Sena menundukkan wajahnya untuk memandang Nyimas Ajeng, perempuan itu sudah menampilkan binar mata bahagia, selain karena ia memang tak berniat membuat Sena merasa bersalah, ia juga senang karena pupil di bola mata kiri Sena sudah kembali menguning, tidak jingga kemerahan seperti tadi.
Wajah pemuda itu terlihat bingung, gerakkan pinggulnya sudah terhenti total, birahinya sedikit menurun akibat kebingungannya itu. Dan seolah tak ingin menjerambapkan Sena lebih dalam kebingungan, Nyimas pun mulai memaju mundurkan kepalanya dengan lembut, mengoral penis Sena dengan penuh ketulusan.
“Sssshhhh.. Nyimas..” Desis Sena tertahan seraya mengelusi lembut rambut bagian atas Nyimas yang tertarik rapih ke belakang, mengikuti arah kepanagan rambutnya.
Nyimas membalas desahan Sena itu dengan tatapan bahagia, kemudian ia hadiahi hisapan kuat yang membuat Sena langsung bergidik menahan kenikmatan, setelah itu Nyimas pun menarik kepalanya hingga membuat penis Sena terlepas dari kurungan kenikmatan. Ia tampilkan senyuman indah kepada keponakannya itu, yang oleh Sena langsung dibalas dengan senyuman juga, Sena pun membungkukkan tubuhnya seraya memagut bibir Nyimas Ajeng dengan lembut, dibawanya Nyimas bangkit dari posisi bersimpuhnya, kemudian dipeluknya erat-erat Nyimas oleh Sena.
“Maafkan saya Nyimas.. tadi saya pasti..”
“Sssstt…” Nyimas segera menempatkan jemarinya di depan bibir Sena yang baru saja selesai memagutnya, disajikannnya senyum terindah untuk sang pemuda dengan penuh keihlasan.
“Yang penting kamu sudah di sini, Sayang..” Ujar Nyimas lembut seraya menyambar bibir Sena, kemudian dengan menggunakan jemari-jemari kakinya, Nyimas semakin menurunkan celana Sena sampai ke mata kaki, hal tersebut pun disadari oleh Sena, membuat pemuda itu lekas membantu dengan mengangkat bergantian kakinya, melepas celana sekaligus celana dalamnya...