Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG LAKUNA : SESUATU YANG HILANG

BAGIAN 8 : TETAP DENGANKU
***

POV3D

Pada semesta yang kian temaram, dengan sinar mentari yang hanya bersisa semburat merah padam keunguan-unguan di batas cakrwala, batas yang menjadi garis temu antara langit dan laut. Semilir angin penyambut malam lembut berembus menerpa daratan, membawa baris demi baris ombak untuk menyapa pasir-pasir pantai yang padat membasah. Sesekali terlihat satu dua burung camar terbang rendah, seolah masih berusaha mendapatkan satu dua ikan untuk dibawa pulang ke sarangnya, ke tempat di mana mungkin burung-burung camar kecil tengah menunggu dengan kelaparan.

Dan di antara riuhnya ombak dan sunyinya tepian pantai yang bersiap menyambut kedatangan malam, seorang pemuda terlihat duduk bersisian dengan seorang gadis yang rambutnya tergerai anggun di depan bahu, sepasang anak manusia itu duduk beralaskan pasir pantai nan dingin, dekat dengan jangkauan buih-buih ombak yang menjelma tangan-tangan ringkih samudera.

“Aku masih mau di sini..” Ucap gadis muda dengan rambut tergelung di bahu, suaranya lirih tersamar deburan ombak, kepalanya rapuh tersandar di bahu pemuda yang terduduk dengan memeluk lutut. Bersamaan dengan itu, setetes air mata turun membasah di pipinya, membuat dingin angin terasa semakin menyesap di ruang-ruang wajahnya.

“Aku enggak mau pergi..” Sambung gadis itu lagi, dengan bibir yang sedikit bergetar, hatinya berkecamuk hebat, napasnya terasa kian sesak. Bulir air mata kembali turun membasahi pipinya, membuat temaram laut di hadapannya kian tersamar.

Sedang pemuda di sampingnya tetap terpekur diam bak karang tegar penantang ombak, tak menanggapi ucapan sang gadis yang jelas sekali menampilkan seribu kesesakan yang maha pilu.

“Aku enggak mau.. hiks.. enggak mau..” Gadis itu kembali berkata dengan sesak, kali ini sudah tak bisa lagi ia tahan bendungan tangisnya, terlepas begitu saja, sesak karena harus menghadapi kenyataan bahwa setelah ini ia harus terpisah dengan pemuda di sampingnya. Pemuda yang sudah memenjarakan hatinya selama puluhan purnama ke belakang.

Wajah gadis itu tertunduk perlahan. Dengan sekuat tenaga ia coba redam tangisannya agar tak semakin menguar, sebab ia tahu.. seberapa banyak dan keras pun ia menangis, jalan hidup yang berada di ambang matanya takkan bisa ia rubah, kenyataan adalah sebuah kenyataan, seberapa pahit dan getir pun itu, tetap harus ia kecap, tak ada pilihan.

Dan tanpa gadis itu tahu, pemuda di sampingnya sudah tak lagi memeluk lutut, lengan pemuda itu perlahan berpindah ke bahunya, ke bahu gadis yang tengah menangis pilu karena harus menjalani jalan takdir yang sejatinya tak ingin ia jalani.

Dan dengan lembut, gadis itu merasakan tubuhnya dibawa masuk ke dalam sebuah pelukan yang begitu hangat, yang justru semakin membuat sesak alur napasnya, tangis yang coba ia redam justru pecah sepecah-pecahnya, dibalasnya pelukan pemuda itu dengan erat, ditenggelamkan wajahnya dalam-dalam di dada pemuda itu, ditumpahkan segala tangis yang ada di relung hatinya kini.

Kini, suara tangisnya sudah membaur bersama riuh rendah debur ombak, menyatu dengan kidung senja yang kian beranjak pergi meninggalkan mereka berdua. Namun gadis itu bukanlah satu-satunya orang yang merasakan sakit akan jalinan takdir, bukan hanya gadis itu yang merasakan perih jalan kehidupan, bukan hanya gadis itu yang menangis di bentangan senja yang kian redup sore ini.

Karena pemuda yang tengah merengkuh tubuh gadis itu pun tak kalah sakit, ia bahkan sudah merasakan hancur berkeping-keping ketika tahu bahwa ia harus berpisah dengan seseorang yang begitu ia cintai, bahkan pemuda itu mengutuki dirinya sendiri, pemuda itu juga menangis, ia menangis dalam kebisuannnya sendiri, menangis pilu dalam raungan hati yang ia pendam dalam-dalam di dasar perasaannya.

Wajah pemuda itu menengadah ke langit senja yang kian kehilangan cahaya, berusaha keras agar air mata yang berada di ambang kolamnya tidak tumpah, ia harus kuat, hatinya harus tegar agar gadis di pelukannya tidak semakin merasakan kesakitan.

“Berjanjilah.. di mana pun kamu berada nanti, kamu tidak akan tenggelam dalam tangisan seperti ini.. berjanjilah bahwa kamu akan tetap menjadi kamu yang saya kenal selama ini.. berjanjilah bahwa kamu akan berbahagia nanti..” Ucap pemuda itu setelah sekian lama membisu menguatkan diri, dieratkan pelukannya pada tubuh sang gadis, diresapinya baik-baik harum rambut gadis kecintaannya itu baik-baik, pemuda itu sesungguhnya benar-benar takut, ia takut jika kelak ia takkan pernah lagi bisa untuk membaui harum rambut dari gadis yang begitu sangat amat ia cintai dengan sepenuh hati ini, ia takut.. bahwa takdir yang kini memisahkan mereka, benar-benar takkan berbaik hati untuk mempertemukan mereka lagi setelah ini.

“Berjanjilah.. satu hari di masa depan nanti.. kamu akan kembali ke saya..” Ucap pemuda itu lagi dengan suara berat tertahan, ia rasakan tangisan gadisnya kian terisak dalam, pelukan gadisnya kian erat terkekang.

“Hikss.. hiks..” Isak gadis di dalam pelukan pemuda itu dengan wajah semakin ditenggelamkan. Hatinya remuk redam mendengar perkataan pemuda tersebut. Gadis itu benar-benar mencintai sang pemuda dengan seluruh hati yang ia miliki, sangat amat mencintai, namun ia sadar, bahwa ia bukanlah penulis takdir, ia sadar bahwa takdir bukanlah sesuatu yang bisa dirubah.

Dan ia tak bisa berjanji untuk sekedar kembali nanti, bagi-baginya.. hari-hari setelah senja ini hanya akan menjadi pelataran rasa sedih yang tak berbatas. Jika saja ia bisa, ia lebih memilih untuk tidak pergi sama sekali, ia lebih ingin menghabiskan hari-harinya di sini, bersama pemuda yang begitu penuh ia cintai. Ia masih sangat ingin meresapi rasa bahagia yang membuncah ketika ia mengayuh sepedanya untuk menemui sang pemuda, ia juga masih sangat ingin membiarkan sang pemuda kemudian memboncengnya untuk sekedar berkeliling lereng bukit, atau menyusuri tepian pantai.

Namun ia benar-benar sadar, detik-detik yang menunggunya setelah senja ini, takkan lagi mengizinkannya untuk merasakan kebahagiaan tersebut, kebahagiaan yang begitu besar ketika ia duduk menyamping di boncengan sepedanya bersama sang pemuda kecintaan terdalamnya.

“Saya tidak akan menyalahkan takdir yang memisahkan kita saat ini, tapi yang jelas, saya tidak akan menyerah untuk kamu. Kita harus sama-sama menjalani ini, kamu dengan takdir kamu, saya dengan takdir saya. Dan entah kamu yang akan kembali ke sini, atau saya yang akan menemukan keberadaan kamu, yang jelas.. suatu hari nanti, kita akan seperti ini lagi, kita akan bersama-sama lagi..” Tukas pemuda itu seraya terus meresapi hangat tubuh sang gadis.

“Hiks.. hiks..” sedang gadis di dalam pelukan pemuda itu hanya bisa menangis dan menangis, seolah tiap kata-kata yang keluar dari bibir pemuda tersebut adalah hujaman belati yang terasa begitu melesak ke ulu hati. Gadis itu benar-benar tidak tahu apakah ia memiliki kesempatan untuk kembali lagi atau tidak, dari itu.. ia tak ingin dan tak bisa berjanji bahwa kelak ia akan kembali, karena jika ia menjanjikan hal yang ia sendiri tak tahu apakah bisa menepatinya atau tidak, itu hanya akan membuat pemuda kecintaannya terjebak dalam penungguan yang mungkin takkan berujung temu. Dan ia tak menginginkan hal tersebut terjadi, ia tak ingin pemuda yang ia cintai menunggui sesuatu yang tak pasti, ia tak ingin sang pemuda menggantungkan harap pada kepulangannya yang mungkin saja takkan pernah terjadi, ia tak ingin pemuda kecintaannya larut dalam lara hati, ia tak ingin pemuda itu menunggunya, karena itu hanya akan menyakiti mereka berdua.

“Berjanjilah.. berjanjilah seperti saya yang berjanji akan selalu menanti waktu agar kita bisa bersama lagi.. berjanjilah..” Pemuda tersebut kembali berkata dengan bibir bergetar, hatinya tersayat ketika setiap kata yang keluar dari bibirnya hanya berbalas dengan isak tangis dari sang gadis.

Dari itu, perlahan pemuda tersebut pun mengendurkan pelukannya, menarik tubuhnya sendiri dari pelukan sang gadis, kemudian dipegangnya lembut dagu gadis tersebut, diangkatnya agar ia bisa melihat mata sang gadis, yang meski sudah menjelma bak kolam di musim penghujan, namun tetap indah baginya. Pemuda itu menyelami sepasang purnama hitam yang bersemayam di dalam kelopak mata sang gadis pujaan, dan ia menyadari sesuatu, tatapan ini.. ini bukan tatapan perpisahan, melainkan tatapan selamat tinggal.

“Berjanjilah..” Lirih bibir pemuda itu terbuka, matanya sayu menatap mata sang gadis, ia masih amat berharap, bahwa ini bukanlah kali terakhir mereka bertemu, ia masih berharap bahwa satu hari di masa depan nanti, sekali pun itu harus bertahun-tahun lamanya, ia akan bersua dalam naungan cinta bersama sang gadis pujaan yang begitu ia cintai. Dan ia butuh sebuah janji, sebuah janji yang bisa ia pegang sebagai penguat hati untuk hari-hari penuh lara yang akan ia jalani esok hari.

Namun gadis tersebut hanya terpekur dalam tangisannya yang mulai coba ia redam sendiri, ia tak bisa menuruti pinta pemuda yang menatapnya dengan penuh harap kini, yang ia bisa lakukan saat ini hanyalah melukis baik-baik setiap lekuk tegas wajah pemuda itu, menyimpan baik-baik siluet wajah sebuah cinta yang akan ia tinggalkan dan tanggalkan setelah ini, namun sinar matahari yang benar-benar sudah kembali ke peraduannya, membuat wajah pemuda di hadapannya tersamar dalam temaram. Dan itu sudah cukup membuat gadis tersebut untuk semakin hancur dalam rasa sakit, karena ketika mentari sudah benar-benar undur diri, itu berarti ia juga harus menyudahi semua kidung kesedihan yang terhampar di tepi pantai dengan riuh ombak ini.

“Saya mohon.. berjanjilah..” Sambung sang pemuda dengan tatapan mengiba, dan itu benar-benar membuat hati sang gadis luluh lantak. Gadis tersebut memberanikan diri untuk menempatka telapak tangannya di pipi sang pemuda, meresapi kehangatan yang begitu menghangatkan hari-harinya selama ini, diusapnya lembut pipi pemuda itu dengan ibu jari, di selaminya balik mata tajam yang terlihat layu di hadapannya kini.

Gadis itu lalu menghela napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk sekedar melafalkan kata-katanya sendiri.

“Maaf..” Dari sekian banyak kata-kata yang ada di kepalanya, hanya satu kata itu yang mampu keluar dari bibir sang gadis, bersamaan dengan itu, setetes air mata tergelincir dari kelopak sang pemuda, jatuh membasah di pipinya. Bukan kata-kata itu yang ditunggu oleh sang pemuda, bukan kata-kata itu.

Dan seolah tak membiarkan keterkejutan reda dari wajah sang pemuda, gadis itu pun segera menarik telapak tangannya dari pipi pemuda kecintaanya, lalu menepis lembut jemari pemuda itu yang sedari tadi menempel di dagunya, kemudian dengan cepat gadis itu pun bangkit dari duduknya, berlari menjauhi bibir pantai, berlari dengan tangisan yang kembali tumpah, ia berlari dengan hati yang begitu porak poranda, meninggalkan sang pemuda yang masih tergugu dalam, meninggalkan sang pemuda yang masih tenggelam dalam, kini.. pemuda itu tak ubahnya sebuah patung mati, diam seribu bahasa dengan kehampaan yang tiba-tiba menguasai dirinya.

Sedang di kejauhan, Sang gadis yang tangisannya sudah tumpah ruah itu terus berlari menjauh, gadis itu pun merasakan perasaan sesak yang terasa begitu menyaitkan membekap ruang-ruang dadanya kini, kakinya terayun lemah, ia sangat ingin menoleh untuk terakhir kali, namun ia melawan dirinya sendiri, ia ayunkan terus langkahnya menuju sepeda yang tersandar di bawah sebuah pohon ketapang, sepeda itu.. sepeda yang selama ini selalu membawanya untuk mengentaskan rindu pada sang kekasih hati, kali ini justru akan menjadi sesuatu yang membawanya pergi.. pergi dan mungkin tak akan kembali lagi.

Gadis itu segera mendorong sepeda itu, langkahnya cepat, seolah berpacu dengan debar jantung dan helaan napasnya, di wajahnya air mata tumpah ruah membasah, membuat ia sesekali harus menutup bibirnya sendiri. Ia terus mendorong sepeda tersebut melewati pasir pantai yang semakin jauh dari bibir ombak maka semakin terasa mencengkeram kaki, tak padat lagi saat dipijak. Lemah langkahnya terseok, luruh hatinya terasa sesak merajamkan kesakitan, hingga ketika ia sudah sampai di jalan setapak yang dilapisi kerikil-kerikil kecil, ia pun segera menaiki sepedanya, mengayuhnya dengan limbung, ia tarik napasnya berkali-kali, mencoba mengentaskan rasa sesak yang benar-benar menusuk-nusuk relung perasaannya kini.

Ia menangis.. terus menangis.. dan semakin menangis ketika di kepalanya justru terbayang wajah sang pemuda yang ia tinggalkan sendiri di bibir pantai tadi, terbayang senyum kecil sang pemuda, terbayang punggung tegap sang pemuda ketika ia duduk menyamping di boncengan sepeda, terbayang genggaman lembut telapak tangan sang pemuda ketika mereka berjalan bersisian di bibir pantai maupun di lereng perbukitan, dan itu benar-benar membuat hatinya semakin hancur berkping-keping.

Seolah ia pergi dengan meninggalkan separuh jiwanya di pantai ini, sakit.. amat sakit baginya karena harus melakukan semua ini.. dan sakit tersebut bahkan membuat bibirnya bergetar menahan isak tangis, namun dengan sekuat tenaga ia terus memaksakan kakinya untuk mengayuh pedal sepeda, meski limbung.. ia tak boleh berhenti, apalagi kembali, tak boleh terjadi.

“Maaf.. hiks..”

**




POV REGAN.

TREEEEEEEEENNNGGGG.. TREENG.. TENG.. TENG.. TREEEEEENNGGG…

Sialan.. cempreng banget sih..


Makiku sendiri dalam hati ketika nyaring dan bisingnya knalpot motork membelah jalan raya, meliak-liuk bak ular yang tengah memburu tikus di persawahan, aku abaikan dulu makian serta tatapan kesal orng-orang ketika aku menyalip. Sebenarnya aku mau minta maaf, Cuma ya gimana.. aku ini lagi buru-buru. Ibarat aku ini ular sawah yang sedang kelaparan, memburu mangsa berupa tikus yang seolah semakin dikejar malah semakin terasa jauh, dan bangsatnya tikus yang sedang aku buru itu, tidak lain tidak bukan adalah waktu!

Ya.. waktu!! Dan ya juga.. aku sedang berpacu dengan melodi.. eh maksudku berpacu dengan kemacetan jalan raya untuk memburu gerbang sekolahku!

Ini akibat tadi aku berhaha-hihi dulu di kamar Teh Arum ini.. jadinya aku telat berangkat. Nyesel? Ya enggaklah! Orang mantep gitu kok, pagi-pagi udah bisa ngelus pipi Teh Arum mah mana ada nyeselnya hohoho

Dan karena waktu yang sudah terlalu mepet ketika berangkat, jadi hari ini aku memutuskan enggak ngebis dulu, karena kalau tetep maksa ngebis, bisa habis aku diberangus lagi sama Pak Gopur. Yang membuatku dengan amat terpaksa, mengeluarkan lagi motor 2 tak berkubikasi 135cc kecintaanku, kalian pasti tahu kan? Ituloh motor yang sering dijuluki motor jambret.

Iyap.. bener banget, RX-King!

Dengan warna hitam kinclong berbalut kelir keemasan, yang jok belakangnya semalem diduduki pantat empuk milik Hani. Oh iya, motor ini bukan pure motorku sebenarnya, tapi motor Ayah yang diwariskan kepadaku. Kata Ayah sih.. ini motornya dulu waktu masih bujang, dan motor ini juga adalah motor yang dulu dipakai Ayah waktu pacaran sama Ibu. Tapi berhubung Ayah sudah jarang pakai, jadilah dihibahkan kepadaku.

Waktu dihibahkan pun aku biasa-biasa saja, karena memang sebelum resmi menjadi kepunyaanku, ya sudah sering aku pakai. Tapi aku ya enggak bisa bohong, aku lumayan seneng ketika Ayah mewariskan motor ini padaku, karena berarti aku bisa dengan bebas mengoprek motor ini, dari itu.. setelah resmi diwariskan motor ini, aku langsung melakukan restorasi yang cukup banyak untuk mengembalikan tampilan motor ini supaya terlihat like new.

Dari mulai pengecatan ulang, pergantian beberapa komponen utama, peremajaan sarang lampu serta jok, dan tak lupa peremajaan striping emas yang menghiasi tangki motor ini. Oh iya, sebenarnya Ayah sempat menawarkanku untuk membeli motor sport generasi baru, tapi karena aku enggak terlalu suka motor-motor yang berbodi gendut, jadi aku lebih memilih untuk merawat motor tua ini.

Satu lagi, karena kebiasaanku yang senang menamai barang, seperti Hape BB-ku yang kuberi nama Davis, nah RX-King kesayanganku ini pun memiliki nama lho. Tadinya aku sempat ingin menamai motor ini Kobra, sesuai julukannya di jalan, namun setelah mengamati pergerakan saham dan pergerakan arah mata angin, entah mengapa motor ini malah kuberi nama ‘Kopet’.

Entahlah kenapa.. mungkin karena Si Dito dan Oman sering manggil motor ini dengan julukan motor copet kali ya? Jadinya aku nyari nama yang enggak jauh-jauh aja dari itu. Tapi ya masa aku kasih nama Copet? Kan enggak mungkin ya.. jadi ya.. dengan sedikit memperbaiki frasa, jadi udahlah, kuberi nama Kopet saja.

Nah bisa dibilang aku ini jarang banget naik Si Kopet ke sekolah, karena kan emang seneng aja ngebis sama Dito. Karena kalau ngebis tuh enak, bisa ketemu anak sekolah lain, ya untung-untung bisa ketemu cewek sekolah lain yang rok-nya diketat-ketatin, yang seragam atasnya dikecil-kecilin, beuuhh.. berdenyut rasanya Si Marco kalau udah ngeliat yang begitu.

Oke cukup, Si Kopet ini enggak beda-beda jauh sama Si Davis, gampang besar kepala, jadi mari kembali ke jalan raya yang ramai oleh kendaraan ini. Di mana aku masih memacu kencang motor ini menuju sekolah, seragam batik yang kukenakan pun kubalut dengan kemeja flanel yang tidak kukancingkan, membuat bagian bawah flanelku berkibar ke belakang terbawa angin.

Dan beruntungnya, karena arah sekolahku ini berlawanan dengan arah berangkat kerja, jadi aku bisa menarik dalam-dalam gas motorku, meraung-raungkan bising ke segala penjuru, bising yang dibalut asap putih tipis dari knalpot. Hingga setelah melewati lampu merah terakhir, aku langsung dihadapkan trek lurus nan panjang yang akan bermuara pada sekolahku.

Sontak saja kubebat lebih dalam gas motorku ini, melonjakkan kecepatan hingga mendekati angka 80km/jam, mengundang semua mata untuk menoleh padaku. Tapi perduli setanlah, aku harus sampai sekolah sebelum gerbang besar itu tertutup.

Dan dari kejauhan, aku melihat gerbang sekolahku yang ramai dimasuki siswa-siswi yang terlihat sedikit terburu, penyebabnya tak lain tak bukan adalah Pak Gopur yang sudah berdiri memegangi gerbang tersebut, hendak menutup gerbang itu. Aku yang sudah dekat pun menurunkan kecepatan motorku, sembari meraung-raungkan gasnya, hendak membelah kerumunan serta memberi sinyal pada Pak Gopur bahwa siswa kesayangannya ini enggak terlambat hari ini.

Mendengar pekikan knalpot Si Kopet, siswa siswi yang hendak memasuki gerbang pun terbelah, dengan tatapan ngeri karena walau pun sudah kuperlambat laju motorku, tetap saja lajunya cukup untuk membuat Pak Gopur menarik napas karena kelakuanku. Dan tepat ketika bagian depan Si Kopet sudah berada di bagian dalam gerbang, aku menarik remku dalam-dalam, membuat laju motorku langsung terhenti tepat di depan Pak Gopur.

Aku memamerkan senyum terindah yang kupunya, menyuguhkan sepasang lesung pipi-ku untuk meredakan tatapa jengkel dari Pak Gopur yang wajahnya asem itu.

“Pagi Pak Gopur.. Guru BK tertampan seantero SMK Luhur Purantara..” Ucapku cengengesan seraya meraih telapak tangan Pak Gopur, kupuji dengan penuh kemunafikan dalam diri, kusebut lantang-lantang nama sekolah tempatku bernaung ini, membuat Pak Gopur terlihat memasang wajah yang lebih bersahabat.

Yaelah Pak.. Baru juga dipuji cowok udah luluh.. apalagi kalau..

PLETAKK

“Aduhhh..” Ucapku seraya reflek mengelus kepalaku yang barusan mendapat jitakkan dari Pak Gopur.

“Enggak usah sok manis Nggan.. kamu itu bikin saya senewen terus!” Ketus Pak Gopur seraya mengibas-ngibaskan tangannya yang barusan ‘mencium batok’ kepalaku. Bajigur, aku yang dijitak kok malah dia ikut kesakitan?

“Kok saya dijitak sih Pak? Kan saya enggak telat..” Protesku dengan suara kubuat selembut mungkin, mencoba agar tak mendapatkan jitakan kedua dari Pak Gopur.

“Sakit enggak?” Tanya Pak Gopur dengan entengnya. Gila kali ya.. pake ditanya..

“Sakitlah Pak, namanya dijitak, kalau dicium sama cewek emesh baru enggak sakit..” Jawabku sedikit sebal.

“Hehehe.. baru kena jitak tangan saya aja udah sakit kan? Kebayang enggak kalau batok kepala kamu itu kena jitak aspal? Uhhh.. pasti lebih maknyus itu..” Ujar Pak Gopur dengan santainya. Membuatku langsung menyadari alasan di balik jitakkan tadi.

“Hehehe.. maaf Pak.. lupa.. buru-buru tadi soalnya..” Kekehku sembari garuk-garuk kepala.

“Selamat pagi Pak Gopur..” Di tengah pose monkey yang tengah aku praktekan, tiba-tiba suara merdu lewat tepat di sebelah kiriku, membuatku langsung menoleh cepat. Untuk beberapa saat mataku dan mata pemilik suara tersebut beradu, membuatku seperti tersirep seribu bayangan detik itu juga.

“Selamat pagi juga Bu Mira..” Sahut Pak Gopur dengan nada terdengar amat ramah, entahlah raut wajahnya bagaimana, enggak urus aku. Tapi sialannya, suara Guru BK-ku itu seolah menjadi lonceng pekak yang membuat mata sang pemilik suara langsung terlepas dari mataku. Persetanlah..

Ini masalahnya ada bidadari tak berselendang tengah melewatiku lho.. Bidadari yang menjelma sosok perempuan matang dengan wajah yang sekali lagi harus kuakui, sebelas dua belas dengan member girlband-girlband yang tengah menginvasi jagat permusikan negeri ini. Rok hitam panjang model span dengan belahan tinggi di salah satu sisinya benar-benar membuatku harus terjerambap di lembah terdalam pemikiranku, beuhh.. model roknya sebelas dua belas sama model rok pramugari salah satu maskapai ternama Bung.. Bajigur..

Belum lagi kemeja batik berwarna putih cerah dengan motif mawar birunya yang terlihat pas body, membuat sesuatu yang tergantung di dadanya terlihat sesak tertahan. Di lengannya sebuah sweater hitam tergantung lemah, seolah pasrah dengan kelembutan kulit sang empunya tubuh. Bung.. rambutnya yang tergerai itu wangi semerbak Bung.. Euhhhh.. mantep ini.. mantep banget..

“Mari Pak.. saya duluan ya..” Ucap perempuan tersebut yang tak lain adalah perempuan yang sama dengan perempuan yang memergokiku terlambat kemarin. Ituloh.. yang katanya Si Dito guru baru bahasa indonesia. Dan perempuan tersebut melempar senyum yang aiihhh.. manis banget astaga..

“Silahkan Bu..” Terdengar suara sumbang Pak Gopur dari sebelah kananku, yang sedikit pun enggak bernilai buatku saat ini. Karena yang terpenting ini.. lenggak-lenggok span hitam ketat yang mulai menjauh dari pandanganku ini. Uhhhh.. kenceng banget itu pantat kayanya, sekel marekel..

“Matamu ituloh Nggan.. makin kurang ajar..”

“Awww.. aww… ampun Pak.. ampun..” Aku sedikit tersentak karena tiba-tiba rasa sakit menjalar di telinga kananku, dan tanpa perlu dikonfirmasi lagi, bahwa jeweran yang membuatku yang masih terduduk di atas motor sedikit limbbung tersebut berasal dari guru BK yang sempat aku puji sebagai guru tertamvan seantero sekolah ini.

Terlihat beberapa mata siswa siswi terarah padaku yang tengah merengek memohon ampun pada Pak Gopur, bahkan di antara siswa siswi tersebut ada yang sembunyi-sembunyi tersenyum melihat kesengsaraanku saat ini. Wuaaseemm.. Bajigur bener ini..

“Sudah.. masuk sana.. awas sekali lagi kamu bawa motor ke sekolah tapi enggak pakai helm!” Tegas Pak Gopur sembari menyudahi jeweran yang memekakkan telingaku itu. Dan akhirnya dengan masih mengusapi telinga dan dengan bibir yang berkomat-kamit menggerutu, aku pun memasukkan motorku ke dalam gerbang, dan langsung memarkirkannya di lapangan parkir.

Sialan bener ya.. pagi-pagi gini udah kena telikungan kuping dari Mr.Gopur Al-Khaifur.. Aseemm..

Setelah memarkirkan motor, aku langsung melepas flanelku dan menyampirkannya di setang motor, kemudian mengarahkan langkahku menuju koridor lantai satu, dan begitu aku melewati lapangan utama, aku mengangkat pandanganku ke lantai gedung paling atas, ke koridor lantai tiga di mana kudapati Hani tengah menatapku dengan kedua tangan memegang dinding pembatas. Aku melempar senyum dan mengggerakkan kepalaku menegurnya, yang oleh Hani dibalas dengan senyuman manis.

Gemesin banget sih Hani ini... aargrgghhh pingin aku kecup aja bibir tipisnya itu..

Indah-Permatasari-1.jpg

Maharani Sukma


Aku terus melangkahkan kakiku santai seraya bersiul-siul nyaring menuju tangga kanan gedung sekolahku, sesekali aku meladeni teguran dari anak-anak kelas satu, kelas dua, maupun anak kelas tiga yang berpapasan denganku, mereka hendak ke kantin. Setelah menaiki anak tangga, dan tiba di lantai dua gedung ini, aku langsung berjalan menuju kelasku. Dan setibanya di kelas, suasana ramai langsung mengudara di telingaku, kelas sudah penuh sesak dengan segala kesibukan masing-masing.

Yang cewek-cewek berkumpul menjadi beberapa kelompok, sibuk menggosip dengan tangan memegang kuas untuk menghias alis, sedang yang cowk-cowok juga membentuk beberapa kelompok, sibuk membicarkan pertandingan bola semalam sembari bermain game kejar-kejaran di hape android mereka. Apa aku perduli? Oh tentu tidak.. aku hanya memedulikan tiga orang pemuda yang tengah mengobrol di deret belakang kelas ini, yang ketika melihatku muncul langsung melemparkan anggukkan kepala, ya siapa lagi kalau bukan Dito, Oman dan Wawi.

“Anjing ini.. bangsat.. kemaren pulang kaga bilang-bilang!” Baru saja aku sampai, makian dari Oman langsung menyambutku. Ia memaki seraya bangkit dari duduknya, ia lah harus bangkit dia.. ituloh bangkuku yang tadi dia dudukin.

“Bangke emang.. gua kira mah ke atas lu.. kaga taunya balik..” Kini giliran Dito yang ambil suara, baritonnya kencang memekakkan telingaku. Tapi apa aku terdistraksi akan dua celoteh camar di hadapanku ini? Oh tidak tentunya.

Aku justru langsung sigap menyambar gelas plastik berisikan es teh di atas meja, entah punya siapa, tapi yang jelas akan diketahui beberapa detik kemudian.

“Alah peler.. jangan diabisin bangsat..” Di tengah khusyuknya aku menyeruput es teh manis tersebut, Oman denga lantangnya memprotes seraya hendak menyambar gelas plastik di tanganku, namun aku sigap menahannya hingga acara pelumasan tenggorokkanku selesai.

Oh jadi punya si Oman markoman..

“Jangan medit-medit Man.. ntar kalo mati kuburan lu sempit..” Ucapku ketika selesai melumasi kering tenggorokkanku, menyerahkan es teh yang bersisa seuprit kepada Oman.

“Alah anjing.. pelit kaga pelit yang namanya kuburan ya sempit nyuk!” Pekik Oman seraya menyeruput sisa es tehnya, kemudian dengan santai membuangnya ke kolong meja. Anjing emang dia ini, padahal tong sampah ada di depan kelas. Tapi malah buang di kolong meja.. bajigur bener ini..

“Lu bawa Kopet Nggan?” Kali ini Wawi yang sedari tadi santai mengunyah basreng sambil berdiri dengan pinggul bersandar di tepian meja buka suara, aku mengangguk pelan, menjawab pertanyaan Wawi.

“Kesiangan Wi gua..” Jawabku sedikit berbohong tentang alasanku membawa si kopet hari ini.

“Pantes Si Dito dari tadi ngedumel aja katanya lu di bbm delive doang..” Timpal Wawi santai.

“Ngedumel apaan sih bangsat, gua mah biasa aja kali..” Sergah Dito cepat.

“Untung nih bocah kaga digulung anak STM Nggan.. salah naek katanya tadi dia..” Kini giliran Oman buka suara.

“Apaan sih anjing! Yang ada dia semua yang gua gulung kali..” Sergah Dito lagi dengn cepatnya.

“Ah gila.. siap bang jago..” Timpalku dengan nada mengejek, membuat Dito menggerutu sebal sedang Wawi dan Oman tertawa dengan bahagia.

Tak lama guru yang mengisi jam pertama pun masuk, untuk mata pelajaran pembuka hari ini adalah pengantar akuntansi yang dipenuhi angka-angka perhitungan, lalu setelahnya akan disusul mata pelajaran seni budaya yang biasanya hanya berisikan teori-teori tentang kebudayaan negeri ini.

Aku dan kawan-kawanku pun berusaha mengikuti pelajaran sesunyi mungkin. Karena meski pun kami ni murid deretan meja belakang, kami tetap memiliki rasa hormat pada setiap guru yang mengajar. Setidak sukanya kami dengan suatu mata pelajaran, bukan berarti kami akan membuat onar atau mengganggu kelas kok. Ya tetap mengikuti aja walau berat, dengan sesekali diselingi candaan kecil sebagai pencair suasana.

Hingga tak terasa, sudah dua mata pelajaran kami lewati. Keram di jemariku lumayan terasa tatkala tadi pelajaran seni budaya mengharuskan kami untuk mencatat lumayan banyak, hampir dua halaman. Heran juga sih, padahal ada buku paket dan LKS, tapi beberapa guru di sini memang tetap memberikan catatan tangan, mungkin agar kami-kami ini tidak kehilangan seni menulis tangan kali ya? Entahlah.

Selepas bel berbunyi dan guru berlalu, satu persatu penghuni kelas pun menghambur keluar. Berusaha mengisi perut untuk menghadapi sisa jam perlajaran, hanya beberapa kepala saja yang bertahan karena memang membawa bekal.

“Belakang apa kober nih?” Tanya Wawi ketika kami berjalan menyusuri koridor untuk turun melalui tangga sisi kiri gedung sekolah.

Maksud Wawi adalah kami akan menghabiskan waktu istirahat ini di belakang gedung sekolah, atau di sebuah warkop yang terletak di komplek pemakaman besar (kober) tak jauh dari sekolahku. Jika pilihan dijatuhkan pada opsi pertama, berarti kami harus ke kantin terlebih dahulu untuk membeli makanan, setelah itu kami akan bawa ke belakang gedung di mana menjadi areal “hitam” sekolah ini. Mengapa kusebut hitam? Karena belakang gedung sekolah bisa dikatakan areal bebas sekaligus terlarang.

Bebas dalam artian aman dari campur tangan guru-guru, jadi di sana bisa merokok, malah beberapa murid acap kali menggelar minuman di sana. Aku dan teman-teman sih kalau ke belakang ya Cuma rokok-an aja, engga neko-neko. Lalu beralih mengenai kata terlarang yang aku maksud, itu berkaitan erat dengan alasan ‘bebas’ yang aku singgung sebelumnya, jadi karena terkenal sebagai sarang penyamun sekolah ini, tidak terlalu banyak murid yang berani menginjakkan kaki di sana. Karena ya itu, image enggak bener udah melekat di sana.

Tapi kayanya hari ini aku mau menghabiskan jam istirahat di Kober aja. Karena selain lebih bebas dalam hal merokok, juga karena di wakop kober itu suasananya lebih sejuk dan adem, mungkin karena letaknya yang berada di belakang komplek pemakaman, jadi hawa rindang pepohonan besar membuat tempat tersebut lebih nikmat ditongkrongi, ya walau pun harus berjalan sekitar lima menit dari sekolah.

“Kober ajalah.. lagi butuh udara seger gua..” Ucapku pada Wawi, yang langsung di respon dengan anggukan setuju dari ketiga kawanku.

Namun ketika kami tiba di lantai dasar, tiba-tiba mataku mendapatkan wahyu, visi, dan penglihatan yang membuat niat hatiku untuk ngadem di Kober langsung menguap ke udara. Dan itu dikarenakan sudut mataku menangkap pergerakan indah nan anggun dari selasar koridor yang mengarah ke kantin sekolah.

Di sana, aku melihat seorang gadis manis dengan rambut yang dikuncir kuda tengah berjalan riang di antara ramainya murid-murid yang hendak mengisi perut mereka di kantin. Gadis ini terlihat begitu mencolok di tengah keramaian, rambutnya yang terikat bergoyang ke kanan dan ke kiri mengikuti pergerakan kepalanya, ia terlihat asik bersenda gurau dengan sesekali bertukar dorongan dengan kawan di sampingnya.

Manis.. manis sekali ini.. asli..

“Nyuk.. katanya ke Kober..” Tegur Dito ketika tanpa sadar kakiku justru berbelok menyusuri selasar koridor lantai dasar sekolahku, karena seharusnya jika hendak ke kober, kami langsung memotong saja lewat tengah lapangan.

“Itu.. apa.. anu..” Ucapku gugup.

“Apa? Anu lu kenapa? Burut? Apa turun bero?” Sahut Oman yang sudah menghentikan langkah memandangku.

“Kita nongkrong di belakang aja hari ini, lagi males jalan juga gua.. yok..” Wawi yang selalu terdepan dalam perihal membaca situasi berkata seraya melangkahkan kaki ke arahku. Duh.. paten pisan si wawi mah emang..

“Iya.. bener.. panas juga soalnya..” Timpalku cepat tak ingin menyia-nyiakan bola yang sudah dioper oleh Wawi.

“Lah anjing.. kaga jelas bangat..” Seru Dito mulai melangkahkan kaki mengikutiku dan wawi.

“Et dah.. males ngantrinya gua.. lu mah enak tinggal nunggu di belakang..” Gerutu Oman dengan wajah protes tak terima.

Maksud ucapan Oman tersebut merujuk pada kebiasaan kami berempat jika nongkrong di belakang, di mana, baisanya Oman dan Dito aja yang ke kantin buat beli makan sama minuman. Sedang aku dan Wawi duluan, sebatas nitip sama mereka doang.

“Kali ini gua ama Regan aja yang ke kantin, lu berdua tunggu belakang langsung..” Sela Wawi cepat, membuat dua wajah kawanku langsung berseri bahagia. Ya iyalah bahagia, karena kalau bagian nunggu langsung di belakang itu enak, selain enggak perlu ngantri di kantin, waktu menunggu makanan dan minuman tiba pun bisa dimanfaatkan untuk membakar rokok lebih dulu.

“SETUJU!” Sorak Dito dan Oman bersamaan seraya berlari meninggalkan kami begitu saja sambil sesekali beradu tos tangan. Dan melihat hal tersebut, aku dan Wawi hanya bisa geleng-geleng kepala sambil berjalan pelan bersisian, dengan tatapanku yang terus terarah ke depan, ke arah gadis tersebut yang masih terlihat riang bercanda dengan kawan-kawannya.

Ah DIra.. kenapa nyenengin banget ya diliatnya?

“Inceran lu yang mana Nggan?” Wawi bertanya dengan santainya, namun entah mengapa pertanyaan tersebut langsung membuatku memutar wajah untuk menatap kawanku tersebut.

“Apaan dah..” Sergahku cepat seraya memasang raut wajah setenang mungkin.

“Yaelah, kaku aja..” Cibir Wawi seraya menyenggol bahuku dengan bahunya, sedang aku seperti gugup sendiri karena Wawi dapat membaca niatanku ke kantin hari ini.

“Apaan sih Wi? Enggak jelas dah lu..” Sahutku santai kubuat sedikit cengengesan, membuat Wawi terkekeh kecil sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Oke enggak apa-apa kalo lu belom mao cerita. Tapi yang jelas gua ikut seneng, seenggaknya pikiran lu enggak melulu isinya Hani Hani Hani doang..” Wawi berkata dengan senyum mengembang seraya mempercepat langkahnya, membuatku tertinggal di belakang, karena entah mengapa.. mendengar kalimat Wawi barusan, langkahku melambat perlahan, kepalaku rasanya penuh seketika memikirkan kalimat kawanku itu.

Emang sebegitu keliatannya ya pengharapanku ke Hani selama ini? Arrrgghh.. Bodo lah!

Aku pun mempercepat langkahku untuk menyusul Wawi. Bertukar senyum dan anggukkan padanya. Lalu dengan ringan berjalan ke arah kantin, membaur bersama murid lain. Dan sesampainya di kantin, suasana dan hawa ramai langsung menyambut kami.

Kantin sekolahku bisa dibilang cukup besar dan tertata dengan baik, kios penjual berada satu deret rapih, dengan meja-meja panjang berbaris rapih di depan masing-masing kios. Aku dan Wawi berhenti sejenak, menimang-nimang hendak membeli apa siang ini. Bersamaan dengan itu, mataku pun menyapu keseluruhan areal kantin, mencari keberadaan Dira.

Terlebih, aku teringat bahwa aku mempunyai hutang traktiran yang gagal tadi pagi, jadi aku pikir.. sekalian saja lah siang ini aku bayar lunas nas nas nas dengan ngebayarin makanannya Dira di kantin ini. Dan setelah berkeliling, akhirya sudut pandanganku berhenti ke meja yang berada di tengah-tengah aula kantin ini, di sana.. tepat di depan kios mie ayam bakso kudapati Dira duduk membelakangiku, dengan dua kawan perempuan duduk menghadapnya, satu kawannya memiliki potongan rambut pendek model dora the eksplorer, sedang yang satu lagi rambutnya panjang dijedai ke belakang (bukan diikat ya, hanya dijedai alias dijepit ke belakang).

“Sana samperin.. biar makanan bocah-bocah gua yang urus..” Wawi menepuk bahuku seraya kemudian berlalu begitu saja meninggalkanku yang masih berdiri di tempat semula. Tak jauh kemudian, Wawi memutar tubuhnya, berjalan mundur dengan senyum mengembang ke arahku yang masih agak ling-lung ini.

“Gua cuman mesenin Oman ama Dito, lu bebas mesen sendiri..” Ucap Wawi dengan pengakhiran kalimatnya diberi kerlingan mata, membuatku tersenyum semakin lebar dan memberikan anggukan padanya.

Wawi.. dia itu selalu peka akan situasi dan kondisi.. beruntung bangetlah aku punya temen kaya dia.. yahhh seenggaknya keberadaan Wawi bisa menetralisir kesemerawutan yang sering ditimbulkan oleh dua combo, Dito dan Oman.

Seiring dengan Wawi yang sudah memutar kembali tubuhnya dan membaur di antara para murid, aku pun melangkahkan kakiku menuju aula tengah kantin ini, melangkah mendekat ke meja di mana Dira tengah berhaha-hihi dan tertawa riang bersama kawan-kawannya.

Posisi Dira yang membelakangiku membuat ia tak menyadari kedatanganku, hanya dua kawan perempuan di hadapannya yang sesekali menatapku ketika aku mendekat, hingga ketika aku benar-benar sudah berada di belakang Dira, kedua kawan Dira yang aku tak kenal siapa namanya pun memandangiku dengan tatapan seperti.. apa ya? Shock atau semacamnya lah pokoknya.

Dan seolah tahu bahwa kedua kawan di hadapannya tengah memandang sesuatu, Dira pun segera menoleh ke belakang, membuat rambutnya yang terkuncir tinggi itu bergerak dengan anggun dan lincahnya, pun membuat mata kami bertemu dalam satu titik pandang yang sama. Wajah Dira sedetik kudapati agak menampilkan kekagetan, namun segera memudar dengan senyum yang langsung ia pugar dengan cepatnya, membuatku yang tadinya sempat gugup, mulai semakin… gugup. Duhh pake senyum lagi et..

“Kak Regan? Tumben ke kantin?” Tanya Dira seraya berdiri dari duduknya, aku melebarkan senyum, serta menarik napasku dalam-dalam, mencoba mengentaskan kegugupanku.

“Iya.. lagi pengen aja..” Jawabku asal karena malas merangkai alasan, dan tentunya gengsi untuk menyampaikan alasan sebenarnya bahwa aku kesini karena hendak mendatanginya.

“Temen-temen Kakak mana? Kok sendirian?” Tanyanya lagi seraya memandangi arah belakangku. Duhileh.. itu wajah bingunnya itu kok ngegemesin juga ya lama-lama?

“Oh itu.. mereka.. anu.. apa..” Ucapku masih sedikit gugup, apalagi ketika mataku terpusat pada kolam hitam yang berdiam di sepasang kelopak mata Dira. Uhhh.. rasanya tubuhku diselimuti suatu rasa yang aku pun tak mengerti.

“Hhhmm?” Dira bergumam dengan nada bertanya, kepalanya sedikit dimiringkan dengan alis yang tertaut, seolah menyudutku untuk memberikan jawaban.

“Ra.. Kak Regan suruh duduk dulu.. Enggak enak ngalangin jalan nanti..” Di tengah kekikukan-ku, salah satu kawan perempuan Dira yang rambutnya model Dora buka suara, mengingatkan aku bahwasanya aku berdiri di akses jalan antar meja.

“Oh iya.. duduk Kak..” Dira dengan cepat mempersilahkanku untuk duduk, bersamaan itu ia dengan anggunnya duduk sembari merapihkan bagian bagian bawah roknya. Aku mengangguk dan segera melangkahi kursi panjang dan ikut duduk di samping Dira.

Dan jeda beberapa detik itu kugunakan untuk benar-benar menenangkan diriku dari rasa canggung dan gugup, terlebih kedua teman Dira terus memasang senyum manis, ya walaupun kadar manisnya tetap berada sedikit di bawah kemanisan senyumnya Dira.

Huh.. aku membuang napasku dengan tenang, lalu berinisiatif mengulurkan tanganku untuk mengajak kedua kawan Dira tersebut berkenalan.

“Regan..” Ucapku pada keduanya, yang sempat direspon dengan tatapan bingung plus senyum menyelidik.

“Walaupun kita udah kenal sama elo Kak, tapi kayanya elo belom kenal sama kita ya? Jadi kenalin.. gue Helen” Seloroh kawan Dira yang berambut Dora tersebut dengan ramahnya, dari tipe-tipenya, dia ini sepertinya cewek yang supel kaya Dira, namun ditambah aura nyablak gitu.

Aku tersenyum dan memberi anggukkan pada Helen, lalu mengalihkan tanganku ke kawan Dira yang satunya, yang rambutnya dijedai ke belakang.

“Regan..” Ucapku lagi memperkenalkan diri, yang langsung di sambut dengan ramah jabat tangan.

“Seneng bisa kenal langsung sama elo Kak, gue Riri..” Ucap kawan Dira itu dengan tak kalah ramahnya. Aku mengangguk, lalu menarik tanganku dengan senyum mengembang karena mendapatkan sambutan yang ya.. cukup hangat boleh dibiilang.

“Gua boleh nanya sesuatu enggak sama kalian?” Tanyaku sedikit penasaran pada Helen dan Riri.

“Nanya aja elah.. pake izin segala..” Jawab Helen dengan santainya, yang langsung diamini dengan anggukikan oleh Riri.

“Lu berdua kok bisa tau nama gua? Padahal kan kita baru kenalan..”

Mendengar pertanyaanku, Helen dan Riri sejenak saling berpandangan bingung, sebelum akhirnya tertawa bersama-sama. Yang membuatku kini jadi ikut bingung, aku loh nanya serius, kok mereka berdua malah ketawa?

“Hahaha.. di sekolah ini siapa sih yang enggak kenal elo Kak?” Kekeh Helen dengan tatapan bahagia.

“Hihihi.. Kakak kelas yang paling sering telat dan kena hukum..” Timpal Riri dengan tatapan menggoda, membuatku akhirnya garuk-garuk kepala sendiri. Ya gimana ya.. kirain mereka kenal sama aku gara-gara diceritain sama Dira, eh ternyata kenalnya karena kebiasaanku yang sering terlambat dan kena hukum saban hari. Hahhhh.. madekipeh..

“Apalagi elo kan pala-nya 4arah, ya pasti pada kenal lah..” Timpal Helen lagi. Oh iya, 4arah itu sebenarnya semacam julukan, stigma, atau semacam itulah pokoknya yang disematkan padaku dan tiga kawanku yang lain. Soalnya dulu, waktu kelas satu, ada satu moment di mana aku, Dito, Wawi dan Oman sering telat bareng-bareng gitu, nah terus sering dihukum berdiri telanjang dada di tengah lapangan kan berempat, berdirinya kita itu harus saling memunggungi menghadap empat arah mata angin.

Kenapa saling memunggungi? Ya biar enggak bisa ngobrol lah pastinya. Tapi ya sebenarnya dulu enggak sering-sering banget dihukum berempat, karena Oman dan Wawi kan enggak sejauh kami rumahnya. Tapi ya gimana, itu kaya itu jadi julukan gitu buat kami. Pokoknya kalau Pak Gopur udah bilang: “4arah” ya pasti merujuknya pada aku, Dito, Wawi dan Oman.

Awalnya sih sempet risih, Cuma ya lama-lama masabodo juga, malah kami menamai grup chat bbm kami dengan julukan tersebut, 4arah. Isinya ya kami berempat, isi chat-nya juga gak penting-penting amat, paling share contekan dan share PR aja, sama sesekali buat janjian kalau mau nongkrong di luar.

Dan bukan hanya itu, aku dan Wawi pun sepakat memakai nama 4arah sebagai nama untuk band kami. Dan studio sekolah adalah salah satu markas favorit kami kalau buat jamming, selain karena gratis, ya karena peralatannya juga mumpuni kok, enggak kalah sama rental-rental studio yang ada di luaran.

“Kak..”

“Eh?”

Aku sedikit terkaget saat Dira memanggilku seraya menepuk bahuku pelan, sialan.. perkara 4arah aja bisa langsung bikin aku ngelamun gini.

“Kok bengong?” Tanya Dira dengan kepala yang sedikit dimiringkan.

“Ah enggak kok. Oh iya kamu pesen makan apa Ra?” Tanyaku mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

“Aku pesen jus aja Kak, masih kenyang soalnya” Jawab Dira dengan sedikit memberikan senyum kecil di bibirnya.

“Kalau kalian, udah pesen makan?” Tanyaku pada Helen dan Riri, mereka berdua saling berpandangan, sebelum akhirnya tersenyum dengan anggukkan.

“Eh bentar ya..” Ucap Helen seraya berdiri.

“Eh mau kemana Hel?” Tanya Dira cepat, namun oleh Helen hanya direspon dengan juluran lidah saja, lalu berjalan ke arah gerobak mie ayam.

“Udah biarin, ada yang kelupaan kali” Ucap Riri menenangkan Dira. Yang ditenangkan pun hanya mengangguk-anggukkan kepala saja.

“Oh iya.. Kak Regan udah pesen makan belum?” Tanya Dira kembali menatapku, aku tersenyum, lalu menggelengkan kepala.

“Mau aku pesenin?” Tanya Dira seperti hendak berdiri, namun lekas aku tahan dengan memegang lengannya.

“Enggak usah Ra, nanti saya pesen sendiri aja” Ucapku mulai bisa menguasai diriku sendiri. Dira mengangguk dan kembali membenarkan posisi duduknya, melempar senyum kepadaku.

“Eh Ri.. gua enggak ganggu kalian kan?” Tanyaku pada Riri.

“Ya enggak lah Kak.. ganggu apa coba? Malah kita seneng, iya kan Ra?”

“Eh.. i.. iya..” Jawab Dira sedikit tersendat karena Riri bertanya padanya dengan tatapan menggoda, membuat pipi Dira sedikit bersemu merah. Ini kenapa pipinya Dira bisa memerah kaya gitu Bung? Euuuhhh.. bikin aku pengen ngecup aja niatnya.

“Hola!! I’m comeback..” Helen yang entah habis ngapain tadi, langsung duduk dengan aura hangat dan ramainya. Membuat suasana langsung terasa nyaman dan hangat.

Kami mengobrol banyak tentang diri masing-masing, mencoba saling mengenal satu sama lain. Sebagai catatan saja, yang aku maksud mengobrol banyak tentang diri masing-masing itu bukan Cuma aku dan Dira ya, tapi juga Helen dan Riri. Dira sih entah kenapa kelihatan senang dan selalu mengumbar senyum dan tawa, namun memang ia jarang buka suara, karena mungkin membiarkan Helen dan Riri yang terus saja mengoceh dengan semangat.

Dari ini aku tahu, mereka ini satu kelas, dan bertemu kita masa ospek yang lalu, bekas teman sekelompok kata mereka, dan semakin dekat setelah sekolah mulai berjalan. Dan dari mereka juga aku tahu, kalau ternyata Dira ini ikut ekskul basket. Aku bener-bener baru tahu hal ini, karena memang aku enggak pernah peduli-peduli banget sama apapun yang terjadi di sekolah ini kalau tidak ada urusannya denganku. Egois? Bisa jadi. Tapi aku itu emang bodoamatan gitu sama suatu hal kalau hal tersebut tidak ada sangkut pautnya sama aku. Intinya sih, urusanku ya urusanku, urusan orang lain ya urusan mereka, aku enggak urus.

Dan di tengah obrolan, Mamang penjual mie ayam pun datang dengan membawa dua plastik makanan, kemudian meletakkannya di meja kami, senyumnya ramah, bikin aku tanpa sadar mengucap terimakasih padanya, walaupun sebenarnya kan aku enggak beli ya? Hahaha biarin lah.

“Loh kok dibungkus? Mamangnya salah kali ya? Bentar aku panggil..” Dira entah kenapa tiba-tiba berdiri, hendak berseru, namun oleh Helen lekas ditahan.

“Gue ama Riri mau makan di kelas aja enggak apa-apa kan? Sekalian mau nyalin catetan yang tadi soalnya. Iya kan Ri?”

“Iya Ra.. jadi kita duluan ya. Lo enggak usah ikut-ikutan kita ke atas, di sini aja.. jus lu kan belom jadi hehe”

Aku mengernyit bingung, apa ini? Kenapa kok ternyata mereka harusnya makan di sini tapi malah dibungkus? Apa karena aku ganggu ya?

“Eh bentar, gua ganggu ya? Kalo emang iya enggak apa-apa gua aja yang cabut..” Aku segera ikut berdiri karena merasa bingung dengan situasi ini.

“Ih apaan sih Kak Regan, enggak kok. Gue ama Riri emang beneran mau nyali catetan kok..”

“Iya Kak.. kita juga sebenernya masih pengen di sini, Cuma emang ini urgent hihihi.. titip Dira ya..”

Ucap Helen dan Riri bergiliran seraya melempar senyum kepadaku, mereka mulai merapihkan rok kemudian berjalan melangkahi bangku panjang yang tadi mereka duduki.

“Hel.. Ri..” Ujar Dira yang sepertinya juga masih bingung dengan situasi ini, aku menangkap betul situasi tersebut dari wajahnya.

“Duluan ya Ra.. jangan ditinggal ya Kak Regannya.. Dahhhh” Seru Helen sambil menggandeng tangan Riri untuk berjalan menjauh, membuatku dan Dira kompak memandangi punggung mereka yang mulai hilang ditelan kerumunan siswa siswi. Ini kok aku jadi ngerasa enggak enak gini ya? Bener deh, kesannya kok kaya aku bikin mereka bubaran ya?

“Maaf ya..” Gumamku pelan seraya menundukkan wajah, mengulum bibirku sendiri.

“Heh? Kakak minta maaf buat apa?” Tanya Dira cepat.

“Gara-gara saya.. kamu jadi ditinggal sama temen-temen..” Ucapku lagi masih dengan wajah sedikit kutundukkan. Entahlah, aku benar-benar merasa tidak enak saja karena sudah membubarkan penghuni meja ini. Aku bahkan menunduk ini karena segan loh buat sekedar natap Dira, bener deh sumpah, enggak boong ini.

Dan sepertinya, Dira pun mengamini ucapanku, sebab tak ada tanggapan dari dirinya lagi. Hahh.. niatnya apa kok dapetnya malah apa, menyebalkan sekali ini.

Namun di tengah kekalutanku itu, tiba-tiba sudut mataku melihat satu pergerakan yang sungguh amat sangat berhasil membuatku langsung melebarkan kelopak mata. Dira.. dia dengan senyum mengembang justru munurunkan tubuhnya, kedua tangannya yang terlipat di meja itu kemudian dijadikan bantalan bagi kepalanya yang direbahkan dengan posisi miring, membuat ia kini bisa menatap wajahku dengan jelas tanpa tedeng aling-aling.

“Jangan mikir gitu Kak, temen-temen aku enggak kaya gitu Kok..” Ucap Dira dengan bibir tipisnya bergerak-gerak lambat bak adegan slow motion di film-film action. Membuat suatu gemuruh semakin terasa di balik ruas-ruas tulang dadaku.

Aku menolehkan sedikit kepalaku, memberanikan diri untuk benar-benar menatap matanya, dan hal tersebut membuat Dira semakin melebarkan senyum di ujung bibirnya.

“Maaf.. saya Cuma..”

“Sssttt..” Sela Dira selaya kembali menegakkan tubuhnya, membuat tanpa sadar wajahku ikut terangkat.

“Kak Regan enggak perlu minta maaf.. orang Kakak enggak ada salah juga-an..” Ucap Dira dengan begitu lembutnya, yang membuatku langsung tersenyum seraya memberikan anggukan kepala, mencoba mengikuti apa yang Dira katakan. bersamaan dengan itu pesanan jusnya pun sampai, jus jambu yang ditempatkan di sebuah gelas plastik berpenutup.

“Makasih ya Mas..”

“Makasih ya Mas..”

Ucapku dan Dira berbarengan pada Mas yang tadi mengantar jus, ia membalas ucapanku dengan anggukan ramah seraya berlalu. Sedang aku dan Dira seketika saling berpandangan, lalu tertawa karena mengucapkan tadi mengucapkan terimakasih secara bersamaan.

“kak Regan itu kalau lagi ketawa nyenengin tau..” Ujar Dira seraya mulai menusukkan sedotan ke gelas jus-nya. Ucapannya sih sederhana, namun damage-nya yang enggak nahan. Fyyuhh..

“Rame banget ya Kantin kalau istiraahat kaya gini? Sesek banget keliatannya..” Aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan, berusaha menetralisir perasaanku sebisa mungkin. Dira mengangguk seraya mulai menyeruput jus jambunya. Uhhh.. bibirnya yang tipis merah muda itu terlihat semakin mungil saja jika sedang dikerucutkan seperti itu.

Hhhhmm.. pasti lembut banget itu kalau dikecup.. eh.. apasih! Fokus.. fokus..

“Kakak kan enggak biasa ke kantin.. makanya segini aja Kakak bilang rame”

“Loh.. emang bisa lebih rame dari ini?” Tanyaku mencoba mengikuti alur obrolan ini.

“Bentar lagi juga makin rame.. kan belum semuanya turun Kak..” Jawab Dira seraya menyodorkan jusnya ke arahku, aku menggeleng pelan, namun Dira justru meresponnya dengan gelengan tegas.

“Cobain enggak?!” Ancam Dira seraya mendelikkan matanya, seolah berusaha mengintimidasiku. Namun bukannya takut atau merasa tersudutkan, melihat ekspresi Dira saat ini justru membuatku semakin gemas-gemas gimana gitu.

Dan tanpa menunggu ancaman kedua, aku pun mendekatkan bibirku ke ujung sedotan, dan mulai menyeruput isi gelas plastik tersebut. Hhhhmm..

“Manis..” Ucapku setelah selesai menyeruput jus tersebut.

“Terimakasih..” Sahut Dira dengan bangganya.

“Jus-nya kali..” Balasku dengan santai, yang langsung disambut dengan gelak tawa dari gadis di sampingku ini. Tawanya Dira ituloh.. renyah-renyah gimana gitu..

“Oh iya.. Kakak mau aku pesenin makan apa?” Tanya Dira setelah tawa kami selesai. Membuatku berpikir sejenak tentang niatan awalku ke sini, yaitu hendak mentraktrik Dira makan, namun kalau dilihat ia yang hanya memesan jus, kayanya dia memang belum berniat untuk makan saat ini. Lagian.. masa iya aku makan sendirian gitu?

“Enggak usah.. saya kesini bukan buat makan kok, Cuma pengen ngobrol sama kamu doang..” Jawab bibirku tanpa terkendali, membuat Dira sedikit tersipu. Kurang ajar ini.. bibir sialan ini memang kurang ajar.

“Canda Ra.. saya kesini tuh sebenernya pengen ngelunasin janji next time kita yang tadi pagi..” Ujarku mencoba menenangkan Dira yang terlihat sedikit salah tingkah karena ucapanku tadi.

“Oh.. kirain aku beneran pengen ngajak ngobrol..” Sahut Dira sedikit menampilkan raut murung, namun tetap berusaha tersenyum.

“Ya itu juga niatnya.” Ucapku santai.

“Maksudnya?” Tanya Dira dengan kepala kembali dimiringkan.

“Ya kan kalau berhasil ngajak kamu buat nepatin next time yang tadi, berarti saya bakalan dapet kesempatan buat ngobrol sama kamu lagi” Jawabku sembarang, dan kembali, itu membuat Dira sedikit tersipu, senyumnya samar-samar kembali melebar.

“Maaf ya Kak..”

“Loh.. maaf buat apa?”

“Iya.. Kakak udah ke sini buat next time kita, tapi akunya belum laper..”

“Enggak apa-apa lagi.. kan yang penting udah dapet bonusnya”

“Bonus?” Tanya Dira dengan raut wajah sedikit berpikir.

“Ngobrol sama kamu, itu bonusnya..” Sahut bibirku lagi tanpa bisa dikendalikan.

“Kak Regan ih..” Protes Dira manja dengan wajah sedikit ditundukkan.

“Loh kenapa? Saya ada salah-salah kata ya barusan?”

“Eng.. enggak kok.. enggak..” Ujar Dira cepat mengangkat wajahnya. Aku tersenyum, yang dibalas oleh Dira dengan senyum malu-malu.

“Sambil nunggu kamu laper.. gimana kalau kita jalan-jalan dulu?” Ujarku asal, sekedar menyalurkan kata-kata yang tiba-tiba muncul di ruang kepalaku.

“Jalan-jalan? Kemana?” Tanya Dira dengan kening berkerut.

“Enggak tau kemananya, jalan-jalan aja pokoknya mah..” Tukasku cepat.

“Ih kakak ngajak aku bolos ya?” Tanya Dira lagi dengan senyum dan tatapan menyelidik. Eh iya ya? Kan masih ada kelas. Bodoh aku ini memang. Udahan aku ini dapet predikat badung karena sering telat dan membolos, masa sekarang aku malah ngajak orang lain buat ikut-ikutan ‘jalur prestasiku’ itu? Bodoh!

“Oh iya ya.. saya lupa maaf..” Ujarku sedikit menelan kekecewaanku sendiri. Bersamaan itu Dira tiba-tiba berdiri dari duduknya, lalu melangkahi kursi panjang yang kami duduki ini. Membuatku bingung sendiri.. ini apa dia marah ya karena aku hendak mengajak dia membolos barusan? Waduh..

“Ih Kakak kenapa masih duduk? Katanya mau ngajak aku jalan-jalan?” Seru Dira seraya memandangi wajahku.

“Heh? Itu.. anu.. apa..”

“Ih ayo Kak.. nanti keburu Pak Gopur patroli..” Ucap Dira dengan gesture berbisik, bersamaan dengan itu ia menarik tanganku untuk bangkit dari duduk, dan bak kerbau yang dicucuk hidungnya, aku entah mengapa menurut saja dan mengikuti tarikan tangan Dira yang erat menggenggam telapak tanganku, mengekor langkahnya.

Eh eh bentar, kok ini malah dia yang semangat banget ya?

Dan tentu saja, tanpa perlu diperkirakan dan diperhitungkan lagi, banyak sekali pasang mata yang langsung terarah pada kami. Namun Dira seolah tidak peduli akan tatapan-tatapan heran yang terarah ke kami, ia dengan riangnya terus mengajakku berjalan hingga kami tak terasa sudah keluar dari kantin, terus berjalan dengan semangatnya menyusuri koridor lantai satu sekolah kami ini, dengan tatapan dari beberapa murid yang sedang berjalan ke arah kami menemani.

“Ra.. Ra.. tunggu..” Ucapku seraya menahan lembut langkah Dira, membuat ia akhirnya berhenti dan memutar tubuhnya menghadapku.

“Kenapa Kak?” Tanya Dira seolah tanpa beban.

“Next timenya enggak pas pulang aja? Saya enggak enak kalau gara-gara penepatan janji saya, kamu malah ngebolos..” Jawabku dengan tangan tetap di dalam genggaman Dira. Mendengar jawabanku Dira tersenyum.

“Kelas aku abis istirahat kosong tau Kak.. soalnya Pak Firman enggak masuk hari ini..” Sahut Dira dengan semangatnya. Aku berpikir sejenak, jam kosong ya? Baiklah..

“Yaudah oke.. Kita ambil tas dulu ya kalau gitu..”

“Ih enggak usah.. nanti malah ketahuan.. aku nanti bisa minta tolong Helen buat bawain tas aku pas pulang..”

“Oh gitu ya.. oke deh.. nanti saya juga bisa minta tolong temen saya buat amanin tas saya..” Balasku setuju dengan ide Dira.

“Kita jadi bolos berarti ya Kak? YEEAAHHH!!!” Seru Dira dengan lantang penuh semangat, membuat aku sedikit panik jika ada murid lain yang mendengar ucapan Dira barusan, kemudian mengadukan kami pada Pak Gopur, waduh.. gaswat ini.

“Ssssttt!!” Aku cepat meletakkan jari telunjuk di depan bibirku sendiri, meminta Dira untuk menahan sedikit suaranya. Untungnya Dira mengerti, dan langsung tertawa kecil karena sadar akan keributannya barusan.

“Maaf Kak.. hihihi..”

Aku hanya tersenyum, lalu entah mengapa kuberanikan Diri mengelus punggung telapak tangan Dira dengan ibu jariku. Kemudian melepaskan genggaman kami secara perlahan.

“Yaudah kalau gitu kamu tunggu depan gerbang ya.. saya ambil motor dulu..” Aku berujar sembari memberikan usapan lembut di kepalanya, yang olehnya langsung dibalas dengan anggukkan, setelah itu ia pun langsung berjalan dengan riang meninggalkanku menuju gerbang.

Aku sempat terpekur sejenak memanggangi riang langkah adik kelasku itu, memperhatikan rambutnya yang terkuncir itu bergerak ke kanan dan ke kiri, ujung-ujung rok hitam model rampelnya bergerak mengikuti hembusan angin, menampilkan keanggunan tersendiri di mataku saat ini.

Dira.. mengapa ia begitu ramah padaku? Padahal baru tadi pagi aku resmi menajabat tangannya untuk berkenalan, tapi sekarang kami sudah sepakat untuk membolos bersama saja. Gila ini..

Hahhh.. sudahlah.. kadang di hidup ini, kita akan dihadapkan pada kegilaan-kegilaan yang pada akhirnya membawa kita pada pengalaman-pengalaman yang tak terduga bukan?

Aku akhirnya hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala, setelah itu berlari menuju areal parkir dimana aku memarkirkan Si Kopet, motor kinclong yang hari ini kuberikan kehormatan untuk menjadi tungganganku ke sekolah.

Sesampainya aku di samping motor 2 tak terkinclong seantero sekolah ini, aku sejenak menyapu ke sekeliling, mencoba membaca situasi terkini, kuangkat juga kepalaku untuk melihat areal lantai dua dekat ruang guru, aman.. tidak ada ancaman berarti, membuatku lekas mengeluarkan kunci motorku, kemudian memasukkannya ke lubang kunci, lalu memundurkan tunggangan yang diwariskan Ayah itu secara cepat.

Setelah itu, dengan semangat 45 kudorong RX-King yang selalu terlihat sok gagah itu dengan kecepatan penuh menuju gerbang, mataku tak henti-hentinya menyapu areal sekitar. Tak ada guru yang terlihat, tak ada penjaga gerbang juga yang sepertinya tengah tak di tempat, tak ada juga Pak Gopur tercium keberadaannya. Hhhhmm.. sepertinya semua ini akan berjalan lancar tanpa kendala berarti.

Namun, ketika aku hampir mencapai pintu gerbang, aku tiba-tiba menghentikan laju dorongan motorku ketika dari arah belakang gedung sekolahku, Hani muncul dengan raut wajah seperti sedang sebal. Ia awalnya tidak melihatku, namun karena posisiku yang terbuka, akhirnya bola mata kami pun bertemu. Raut wajah Hani terlihat semakin bikin perasaanku enggak enak, alisnya tertaut keras, senyumnya hilang entah kemana, tangannya perlahan terlipat di depan dada bersama langkahnya yang sudah ia hentikan.

Mendapati ekspresi Hani, aku hanya memasang senyum keterpaksaan yang kubuat selebar mungkin, aku tahu alasan mengapa Hani muncul dari arah belakang gedung sekolah, pasti dia mencariku, dan cemberut karena aku justru tidak ada di sana.

Tersadar dari pikiran-pikiranku tentang kemunculan Hani yang sama sekali tidak kuprediksi, aku akhirnya dengan cepat menempatkan telunjukku di depan bibir, bermaksud agar Hani tidak meneriakkan namaku, dan lebih jauh lagi, agar ia tidak memberitahukan tentang kelakuanku ini pada orangtuaku nantinya. Namun bukannya anggukkan, Hani justru membuang wajahnya, membuatku sedikit tak enak hati sebenarnya.

Rasanya ingin aku standarkan dulu Si Kopet, lalu menghampiri Hani dan pamit dengan wajar dan baik-baik padanya. Tapi ya gimana, kalau makin lama aku di sini, bisa-bisa Pak Gopur keburu patroli. Jadi.. biarlah nanti aku jelaskan padanya, sekarang aku lebih baik melanjutkan aksiku yang tertunda ini.

Dengan sedikit berberat hati karena tidak pamit sebagaimana mestinya pada Hani, aku pun kembali mendorong Si Kopet menuju gerbang, kubulatkan tekadku, hingga akhirnya aku benar-benar sudah melewati gerbang dengan gapura segede gaban itu, langsung mendekati Dira yang berdiri di bawah sebuah pohon angsana.

“Sudah lama nunggunya Non?” Candaku ketika sudah berada di depan Dira, bersamaan itu aku langsung menaiki motorku dengan pegangan mantap.

“Dekat jauh dua ribu kan Mang?” Balas Dira seraya mulai naik ke boncengan motorku.

“Dikira kopaja kali.. nih buat nutupin rok kamu..” Ucapku riang seraya memberikan flanelku padanya, Dira menerimanya dengan senyuman lebar, dan langsung melebarkan flanelku kemudian menggunakan flanel tersebut untuk melapisi roknya yang memang agak tertarik ke atas.

“Udah Ra?” Tanyaku dengan kepala sedikit tertoleh ke belakang, memastikan bahwa kami sudah siap untuk berang-berang makan coklat, alias berangkat.

“Ya..” Jawab Dira sumeringah dengan kepala sedikit dimiringkan, membuatku tak bisa untuk tidak tersenyum bahagia saat ini. Aku pun menyalakan mesin motorku dengan sekali engkolan kaki.

Trengg. Treng.. treng.. treng..

“Kopet.. Bawa kami pergi dari sini..” Gumamku seraya mulai menjalankan motorku meninggalkan gerbang sekolah. Bunyi knalpot Si Kopet pun nyaring membelah jalan raya, membawa tubuhku dan tubuh Dira semakin menjauh dari gedung sekolah tua dengan tiga lantai di mana kami bernaung untuk mengenyam pendidikan.

Senyumku tak henti-hentinya mengembang lebar, seiring terpaan angin yang manabrak wajahku dengan lembutnya, selembut cengkeraman Dira di bagian bawah seragam batikku sekarang. Huhhh.. gila ini.. ada yang mendadak gedebak gedebuk tapi bukan drum set di ruang musik sekolahku.. melainkan hatiku hahaha..

Dan di bawah langit kota yang berawan, aku semakin membawa gadis di boncengan motorku ini menjauh dari tempat yang seharusnya menaungi kami hingga siang nanti. Ditemani angin semilir yang bercampur debu jalanan, dinaungi rindang pepohonan di kanan dan kiri jalan, aku terus melajukan motorku menuju tepi selatan kota, ke suatu tempat yang sudah lama tidak aku kunjungi.

*
640.jpg

Dira

Gemericik air yang pecah di sela-sela bebatuan terdengar bak alunan indah sebuah simphony orkestra, dahan-dahan pohon bergerak dengan anggun mengikuti embusan angin, sesekali lembaran daun jatuh bergiliran dengan lembutnya di atas tanah, di tambah langit yang kian di selimuti awan-awan besar membuat hawa teduh benar-benar melingkupi semesta yang mengurungku bersama seorang gadis yang tengah sibuk mengayun-ayunkan juntaian kakinya, dia duduk tepat di sampingku dengan memeluk flanel milkku.

Ya.. setelah menempuh perjalanan hampir satu jam lamanya, kami akhirnya tiba di sebuah tempat yang sesekali menjadi pelarianku ketika tengah merasa suntuk. Tempat yang berada di perbatasan kota yang sedikit tersembunyi dari hiruk pikuk kendaraan, serta dinaungi rindang pepohonan.

Aku kini tengah terduduk di beton pemancang jembatan gantung, di tanggul sebuah sungai bebatuan yang terlihat mulai bersiap untuk menyambut kemarau yang sesungguhnya. Airnya memang masih ada, namun debit airnya sudah sangat kecil, membuat beberapa bagian dari dasar sungai tak mendapatkan aliran air.

Seperti yang aku bilang tadi, tempat ini terletak di belakang sebuah keomplek perumahan yang berada di perbatasan kota, menjadikan tempat ini terasa begitu tenang karena memang jauh dari jalan utama. Jembatan gantung yang aku maksud pun bukanlah sebuah jembatan gantung berukuran besar, hanya bisa dilalui satu motor saja, jadi jika ada dua motor dari arah berlawanan yang hendak menyeberang, maka harus secara bergantian.

Dan sungainya pun termasuk bersih, airnya masih bening dengan jumlah sampah yang masih minim. Entah mungkin kiriman sampah dari kota hujan sedang berkurang, atau kesadaran masyarakat dan pemerintah yang kian meningkat, yang jelas aku bersyukur, karena tempat ini tetap enak dipandang dan dijadikan tempat menepiku.

“Dulu.. waktu kecil.. aku sering banget mandi di sungai, kadang kalau udah keasikan suka lupa waktu, tau-tau udah mau gelap aja, sampe Mamah nyamperin dan marahin aku hehehe..” Gumam Dira dengan senyum yang terlihat begitu ikhlas.

“Bandel ya ternyata.. pantesan mau aja ngebolos sama saya..” Sahutku ikut tersenyum menatapnya. Membuat Dira tertawa kecil.

Oh iya, tadi pagi waktu kami mengobrol ketika sarapan, aku juga mengetahui Bahwa Dira ini sudah tiga kali pindah rumah, mengikuti penugasan Ayahnya. Namun Dira bilang, ia lahir di sebuah kabupaten yang terletak di bagian tengah pulau ini, lalu ketika SD pindah ke pulau seberang, lalu ketika SMP kembali pindah ke pulau ini, namun bukan ke kota asal kelahirannya, melainkan ke kota yang berada di ujung timur pulau ini, nah barulah beberapa bulan yang lalu, ia pindah ke kota yang menjadi pusat perekenomian sekaligus pusat segala geliat kehidupan negeri ini.

Dan sikap Dira yang mudah mengakrabkan diri dengan orang lain, aku rasa adalah hasil dari tempaan kehidupannya di masa lalu, yang mana harus merasakan beberapa kali berpindah tempat tinggal, dan harus beradaptasi dengan lingkungan dan orang-orang baru, dan aku tahu ini akan sulit dilalui. Aku pernah mengalami itu sekali ketika SMP, dan itu sungguh berat sekali di awal-awal kepindahan, aku aja sampai berikrar, enggak akan bikin masalah yang ngebuat aku harus dipindah sekolah oleh Ayah dan Ibu nantinya. Hihhh.. susah bung sumpah..

“Kalau Kak Regan waktu kecil gimana? Pasti bandel banget ya?” Tanya Dira dengan kepala yang sedikit dimiringkan.

Dan mendengar pertanyaan Dira, entah mengapa tiba-tiba awan yang menutupi langit siang ini seolah berpindah menutupi ruang-ruang perasaanku, mengundang mendung untuk menyelimuti seisi hatiku. Waktu kecil? Aku waktu kecil gimana ya? Apa badung dan bandel kaya sekarang?

Aku mengarahkan pandanganku ke sungai di hadapan kami. Apa waktu kecil aku sering mandi di sungai seperti Dira? Apa aku sering bermain sepakbola sampai menjelang petang jatuh pada jingganya seperti yang sering Dito dan Wawi ceritakan? Apakah temanku waktu kecil banyak? Apa aku sering main petak umpet atau bentengan dengan teman-temanku seperti yang Oman ceritakan?

Teman.. kira-kira waktu kecil aku punya teman enggak ya? Ah Shit.. aku benci sekali jika mengingat bahwa aku tidak memiliki ingatan seperti apa masa kecilku dulu. Aku benar-benar tidak memiliki itu, aku tidak memiliki kenangan bermain dengan kawan-kawan kecilku, aku tidak memiliki itu. Hanya ingatan-ingatan samar berbayang yang sungguh tak bisa kuterjemahkan, apakah itu ingatan nyata atau sekedar mimpi yang berulang-ulang datang.

Dari cerita Ibu, Ayah, Mang Diman, maupun dari mendiang Nenekku, ketika tengah menikmati masa kelulusan sekolah dasar aku mengalami kecelakaan saat tengah liburan bersama orangtuaku, kata mereka aku terjatuh ketika tengah bermain di sebuah puncak bukit yang dijadikan kebun teh, dan masih menurut mereka, jatuhku pun bukan sembarang jatuh, melainkan jatuh menggelinding gitu karena aku jatuhnya di sisi bukit yang agak curam kemiringannya.

Kata mereka sih kondisiku parah banget, sampai harus operasi gitu di bagian kepalaku, mungkin karena pas jatuh menggelinding itu kepalaku menghantam batu, who knows? Aku juga enggak tahu.

Tapi ya yang jelas, memoriku memang sebatas ketika aku tersadar di rumah sakit hingga saat ini, jadi ya.. aku bisa dibilang enggak punya memori sebelum kejadian itu. Tapi ada anehnya, setelah insiden itu, aku tetap bisa langsung mengenali Ayah dan Ibu sebagai orangtuaku, langsung mengenali Nenek juga saat itu, apalagi Mang Diman, langsung kenal aku. Tapi ya.. itu aja, sisanya ngeblank. Aku aja bingung, kenapa bisa kaya gitu, tapi kata Nenek nanti juga ingatanku bakal kembali lagi.

Tapi ya, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pasca insiden itu ingatanku tidak kunjung pulih. Aku sebenarnya sekarang sih udah enggak peduli banget, mau itu ingatan balik lagi atau enggak. Toh hidupku sekarang juga udah fine-fine aja, Cuma memang ada satu yang aku sesali.. karena hingga Nenek meninggal, aku enggak bisa mengingat kenangan masa kecilku yang sering Nenek ceritakan. Dan aku sangat hancur waktu itu, waktu Nenek meninggal, itu ketika aku menginjak kelas dua SMP, dan rasanya jauh lebih sakit dibanding kehilangan ingatan mas kecil ini. Entahlah..

“Kak..”

“Heh?”

Aku tersentak kaget dari lamunanku tatkala Dira menggenggam punggung telapak tanganku, seraya memanggilku, dan itu seolah membawaku kembali pada dunia. Sedang tangannya yang lain didekatkan ke wajahku, kemudian dengan lembut mengusap pipiku, hal tersebut membuatku tersadar, bahwa ternyata ada sebulir air mata yang turun membasah di sana.

“Maaf kalau pertanyaan aku bikin Kakak sedih..” Ucap Dira dengan kedua tangan yang tetap di posisinya masing-masing, satu menggenggam punggung telapak tanganku, yang satu ditempatkan di pipiku.

Seketika aku langsung tersadar, bahwasanya aku menempatkan emosiku di waktu dan tempat yang salah. Dan itu membuatku tanpa sadar langsung memalingkan wajahku, pun menarik tanganku yang berada dalam tangkupan tangan Dira, lekas mengusap wajahku, serta berusaha mengkondisikan relung perasaanku saat ini. Sial.. jika sudah menyangkut tentang Nenek mengapa aku selalu tak bisa mengendalikan hatiku?

Malu ini.. malu banget.. masa aku ketangkep basah mewek di depan orang yang.. bahkan baru hari ini kukenal secara dekat. Sialan.. mau ditaruh di mana wajahku ini? Bajigur..

“Aku minta maaf Kak.. aku enggak ada maksud buat..”

“Apa sih Ra? Siapa coba yang sedih? Saya tuh barusan Cuma kelilipan doang.” Aku lekas memotong ucapan Dira yang terdengar sedikiit parau, segera kupugar wajah paling riangku di hadapannya. Kukembangkan senyumku selebar-lebarnya.

“Kak..” Ujar Dira dengan mata menatap dalam-dalam mataku.

“Anginnya kenceng nih, saya takut kelilipan lagi nanti, pindah yuk?” Ajakku padanya seraya mulai berdiri, sedang Dira hanya menatapku dengan tatapan bingung, tak bergeming dari duduknya.

“Yuk.. ini udah hampir tengah hari, kamu harusnya udah laper kan?” Sambungku lagi seraya mengulurkan tangan pada Dira, ia kulihat menghela napasnya agak dalam, lalu menyambut uluran tanganku dan bangkit dari duduknya.

“Aku bener-bener minta ma..”

“Kita nyebrang yuk?! Di seberang ada warung soto ceker terenak seantero wilayah sini, kalau saya lagi mao makan soto, saya pasti larinya ke sini, karena rasanya bener-bener maknyus asli!” Seruku berapi-api memotong kalimat Dira yang hendak terucap, dan seperti mengerti bahwa aku sedang berusaha mengalihkan topik pembicaraan, Dira pun pada akhirnya mengangguk seraya memasang senyuman.

Hatiku pun melega, dan tanpa menunggu waktu segera kuajak Dira untuk berjalan ke arah jembatan gantung yang masih sepi pengguna ini. Si Kopet yang terparkir di samping tiang pancang jembatan ini tidak akan kubawa, aku akan kutitipkan pada bapak-bapak yang berjaga di ambang jembatan, namanya Pak Karim, beliau memang selalu berjaga di sini, dengan ember putih kecil bekas cat yang teronggok di sampingnya.

Ember tersebut adalah alat penampung untuk uang-uang yang biasa diberikan pengguna jembatan ini secara sukarela, ya semacam uang kopi untuk beliau yang selalu setia mengatur arus lalu lintas motor yang hendak menyebrang di jembatan gantung ini.

“Ke seberang dulu ah Pak.. laper..” Ucapku pada beliau seraya memasukkan selembar uang lima ribuan ke ember di sampingnya.

“Loh motornya enggak dibawa aja Den?” Tanya beliau dengan wajah sumeringahnya, nah ini juga yang menjadi satu ciri khas Pak Karim yang selalu berseragam linmas ini, karena beliau selalu menyebutku dengan panggilan ‘Den’. Aku enggak tahu apa yang mendasari beliau ini manggil aku kaya gitu, mungkin karena usiaku yang masih muda, ,makanya beliau enggak manggilku dengan panggilan ‘Mas’. Ya aku sih enggak ada masalah sebenarnya, toh mungkin Pak Karim manggil Den ke semua anak muda yang lewat di sini kan?

“Enggak usahlah Pak, biarin di sini aja.. ini koncinya Pak..” Tukasku seraya menyerahkan kunci motorku pada beliau. Ini memang jadi kebiasaanku tiap ke sini, karena aku memang enggak pernah ngajak Si Kopet buat nyeberang ke sana, bukan karena apa-apa, aku memang lebih senang jika berjalan santai sembari menikmati angin kencang di atas jembatan gantung ini.

Dan kenapa aku memberikan kunciku pada Pak Karim? Itu supaya kalau beliau hendak pergi membeli sesuatu, atau sekedar hendak pulang ke rumahnya untuk mengambil bekal beliau enggak perlu berjalan kaki. Karena aku tahu rumah beliau memang agak jauh dari sini. Lagian emang aku udah lumayan akrab kok sama Pak Karim, asik dan santai juga orangnya, baik pula.

“Oh yowes.. pasti ta’ jagain Si Kopet..” Ucap beliau seraya menerima kunci motorku, dengan wajah sumeringah beliau lekas memasukkan kunci tersebut ke saku seragamnya.

“Makasih ya Pak Karim.. mari..” Tukasku seraya menganggukkan kepala pada beliau, yang oleh beliau langsung disambut dengan hormat bendera. Pak Karim ini memang selalu begitu, selalu totalitas ketika bertugas, manteplah..

Setelah itu aku dan Dira pun mulai menapaki lantai kayu jembatan ini, embusan angin langsung terasa ketika aku dan Dira berjalan bersisian, dan sesekali embusan angin yang kencang sedikit menggoyangkan jembatan gantung ini, membuat aku tak berniat untuk melepaskan pegangan tanganku pada Dira, berusaha meyakinkannya yang terlihat sedikit takut melangkah.

“Ini engga apa-apa kok, enggak usah takut Ra..” Tukasku pada nya seraya menggerak-gerakkan lembut gandengan tangan kami ke depan dan kebelakang, mengikuti langkah kami.

“Jembatannya goyang-goyang tapi Kak..” Sahut Dira dengan mata sesekali menatap ke arah bawah, sepertinya ia benar-benar gerogi nih menyeberangi jembatan gantung favoritku ini.

“Justru kalau goyang-goyang itu tandanya normal Ra, enggak ada tali yang tegang, nah kalo enggak goyang-goyang sama sekali, itu baru kamu boleh takut..” Terangku pada Dira, mencoba menenangkan hatinya yang mungkin sedang gedebak-gedebuk deg deg ser sekarang.

“Emang gitu ya Kak?” Tanyanya dengan wajah masih sedikit tegang, aku mengangguk cepat, memberikannya senyuman terbaikku.

“Sejak kamu mutusin buat naik ke boncengan motor saya, sejak itu juga kamu adalah tanggung jawab saya Ra.. dan saya enggak mungkin nempatin kamu dalam bahaya, enggak mungkin saya ngajak kamu nyeberang kalau jembatan ini enggak aman.”

Mendengar ucapanku Dira mendadak menghentikan langkahnya, membuat kami kini berdiri tepat di bagian tengah jembatan gantung ini, wajahnya menengadah menyelami bola mataku, genggaman tangannya kurasakan semakin erat membalas genggamanku.

“Kamu percaya kan sama saya?” Tanyaku dengan penuh keyakinan, Dira perlahan mulai menampilkan raut wajah yang tak terlalu tegang, senyuman pun perlahan bertunas dari bibirnya, bersamaan itu ia berikan anggukkan kepala tanda ia sudah berhasil mengatasi ketakutan yang sempat menguasai hatinya.

Melihat senyum Dira yang mengembang entah mengapa membuat hatiku begitu tenang, entahlah.. yang jelas, saat ini aku merasa begitu tenteram ketika bersamanya.

Semilir angin yang bertiup dari arah hlu sungai seolah menari lembut di sekitar pergelangan tangan kami yang terayun, senyum manis Dira yang sesekali memberikan lirikan bahagia benar-benar membuat semesta harus bersusah payah melawan rasa iri terhadapku. Langkah kami ringan menapaki jengkal demi jengkal lantai jembatan ini, dengan kicau burung perkutut yang sesekali terdengar melaung dari rimbun pepohonan.

Tenteram.. tenteram sekali rasanya hatiku saat ini, seolah tanrum yang tadi sempat hadir menguap tak bersisa seiring detik kebersamaanku bersama Dira. Sungguh.. kamus besar bahasa negeri ini butuh kosa kata baru untuk mewakili perasaanku saat ini, kosa kata yang memiliki makna yang jauh lebih dalam dari sekedar nyaman dan bahagia yang kurasakan detik ini.

Dira.. entah mengapa setiap detik yang kulewati bersamanya, semakin membuatku ingin lebih jauh untuk mengenali gadis yang telapak tangannya tengah kugenggam saat ini. Sungguh.. aku sangat ingin..

Dan langkah yang tertinggal di belakang kami pada akhirnya membawaku dan Dira tiba di daerah seberang sungai yang sekelilingnya dinaungi rindang pepohonan. Di hadapan kami kini sudah nampak tanah lapang dengan sebuah bangunan kecil yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu, dengan atap genting merah yang sudah mengkusam ditimpah waktu. Dan di bawah atap genting tersebut, beberapa meja terlihat rapih berjajar, dengan kursi-kursi kayu sebagai kawan yang setia menemani. Beberapa meja terlihat sudah penuh terisi, hanya menyisakan satu dua meja kosong untuk orang-orang yang hendak singgah untuk mengisi perut lapar mereka.

Ya.. bangunan yang tengah kami tuju adalah sabuah warung tradisional yang menyajikan aneka olahan soto yang sudah terkenal gaungnya di sekitar daerah ini. Menu utama yang menjadi andalan warung ini adalah soto cekernya, namun ada menu-menu lain juga yang tak kalah menggugah selera para pengunjung setianya.

Selain soto ceker, di sini juga menyediakan soto ayam, soto daging, rawon, sop buntut serta sop iga. Ya, olahan berkuah adalah fokus utama warung ini. Dan aku langsung mengajak Dira untuk ke bilik pemesanan yang sekaligus berfungsi sebagai dapur warung ini, di atas meja pemesanan pun berjejer aneka gorengan yang siap menemani santap soto pengunjung, dari mulai bakwan sayur, tahu isi, tempe goreng, hingga martabak tahu, lengkap tersaji dan selalu ludes sebelum panganan-panganan tersebut kehilangan kehangatannya.

Ibu pemilik warung yang mungkin berusia sekitar 40 tahunan langsung menyambut kedatanganku dan Dira dengan senyuman ramah, senyuman yang selalu membuat para pengunjung merasa di sambut bak orang special, apalagi untuk ukuran wanita seusianya, beliau masih terlihat cantik dan segar dipandang. Oh iya.. aku biasa memanggil beliau dengan ‘Budeh’, dan Budeh ini memiliki ciri khas yang tak dimiliki penjual soto mana pun yang pernah kutemui, karena beliau ini selalu mengenakan setelan kebaya dan kain jarik tiap berjualan, membuat tampilannya semakin terlihat menyegarkan dan enak dipandang pokoknya. Gimana enggak seger? Ituloh dadanya Budeh keliatan penuh dan padat banget diliatnya, ditambah bongkahan pantatnya terlihat benar-benar padat dan sekal. Gila sih.. sebagai anak muda aja aku mengakui kok kalau tubuh Budeh itu memang top markotop.

Enggak heran, banyak Bapak-Bapak yang bekerja dari jauh rela mampir ke sini, karena aku yakin, selain hendak mencicipi soto nikmat racikan Budeh, mereka itu ke sini karena senang memandangi kemolekan tubuh perempuan paruh baya di hadapanku ini, terlebih Budeh kan selalu ramah pada setiap pelanggannya, mestilah itu membuat mereka yang datang semakin betah dan ketagihan datang ke sini, kerenlah Budeh ini memang.

“Eh Cah bagus.. kemana aja kok baru kesini lagi?” Tanya Budeh dengan ramahnya, rambut panjangnya yang dikonde rapih, aku membalas senyum Budeh dengan tak kalah ramahnya.

“Hehehe iya Budeh.. nunggu ada temen ke sini soalnya..” Jawabku sopan seraya mencium tangan beliau, Budeh membalasnya dengan usapan lembut di kepalaku.

“Alah.. biasanya juga sendirian ke sini.. eh.. bentar.. ini siapa? Ayu tenan..” Racau Budeh dengan wajah sumeringah memandangi Dira yang berdiri di sampingku.

“Oh iya.. kenalin Budeh.. ini temen sekolah saya..” Ucapku seraya memandang Dira, dan Dira dengan cepat langsung menyalimi tangan Budeh seraya memperkenalkan dirinya.

“Dira Budeh.. salam kenal ya..” Ujar Dira dengan keramahan khasnya.

“Duh gusti.. namanya bagus nduk.. orangnya cantik dan manis.. Budeh tebak kamu pacarnya ya?”

Et dah.. Budeh ya mulutnya..

Mendengar perkataan Budeh membuat aku dan Dira saling menatap kikuk, sedang Budeh seperti menyadari bahwa situasi sedikit berubah, membuat ia lekas mengalihkan topik pembicaraan. Lagian Budeh ini loh.. enteng banget kok ya nebak Dira pacarku? Kan aku jadi kepikiran ya.. kira-kira enak kali ya jika punya pacar kaya Dira ini, udah cantik, manis, baik, ramah, pengertian pula. Uh.. pasti aku bakal.. Eh.. apasih.. ngaco aja siang-siang..

“Kamu mau pesen apa Ra?” Tanyaku pada Dira ketika Budeh berlalu sebentar untuk melayani pelanggan yang hendak membayar.

“Kakak pesen apa?” Tanya Dira balik dengan wajah bingung setelah membaca daftar menu yang tertera di spanduk kecil yang tergantung.

“Saya mah soto ceker, soalnya kan emang ini yang terkenal ya soto cekernya. Tapi kamu terserah mau pesen apa, kalau kamu enggak suka ceker ada yang lain juga tuh, tinggal pilih.”

“Hhmm.. aku belum pernah makan ceker sih Kak, tapi aku mau coba deh..” Ujar Dira dengan semangat 45-nya.

“Eh.. kalau kamu emang enggak suka ceker yang lain aja Ra, dari pada nanti enggak kemakan..” Sergahku cepat, namun Dira lekas menggelengkan kepala.

“Siapa bilang aku enggak suka? Aku kan Cuma belum pernah nyoba, dan kalau enggak dicoba tau dari mana aku suka ceker atau enggak kan? Lagian kan Kakak bilang yang paling terkenal di sini soto cekernya, aku sekalian mau buktiin ucapan Kakak” Terang Dira dengan senyum mengembang menatapku, aku tersenyum kecil, mengangguk-anggukkan kepalaku setuju.

“Hayooo.. abis ngomongin Budeh ya?” Ucap Budeh yang sudah selesai dengan kegiatan bayar membayarnya.

“Yeeuuhh.. geer..” Cibirku santai seraya mengambil piring kecil di samping nampan gorengan, mulai memilih gorengan yang hendak menjadi temanku makan soto nanti.

“Hihihi.. yaudah mau pesen apa cah ayu?” Tanya Budeh pada Dira.

“Loh kok malah dia yang ditanya, Budeh? Kan harusnya Budeh nanya ke saya dulu, saya kan pelanggan lama di sini..” Protesku dengan memasang raut wajah pura-pura merajuk.

“Justru karena kamu itu pelanggan lama, Budeh udah tau pesenan kamu. Jadi Budeh tinggal nanyain pesenan cah ayu ini..” Sahut Budeh seraya mulai menyiapkan mangkuk.

“Ya kan bisa aja saya mau ganti menu hari ini karena bosen..” Jawabku santai seraya mengisi piringku dengan gorengan.

“Oh jadi kamu udah bosen sama soto ceker Budeh?!” Tanya Budeh sengit menatapku.

“Eh.. itu.. anu.. apa..” Jawabku tergugup dan tergagap.

“Kenapa anu-mu cah bagus? Salah kiblat? Sini biar Budeh benerin pake ulekan sambel, mau?” Tanya Budeh lagi dengan wajah merajuk. Uhh.. Budeh ini, kalau ngomong suka asal jeplak memang. Bikin aku makin gugup aja yang ada.

“Budeh ini.. ngeri banget kalau udah marah hih..” Ucapku bergidik, dan itu membuat Dira terdengar tertawa kecil di sampingku.

“Ih.. cah ayu kalau ketawa tambah cantik loh.. maafin Budeh ya kalau asal ngomongnya, Budeh emang kaya gini orangnya.. jangan diambil hati ya..” Ucap Budeh sudah kembali dengan nada lembutnya.

“Hihihi iya Budeh.. enggak apa-apa.. aku seneng malah, Budeh baik soalnya..” Ujar Dira terdengar ramah, dan itu berhasil membuat pipi Budeh bersemu merah. Heleh baru dipuji Dira dikit aja langsung ngefly, apa lagi kalau aku yang muji ya? Bisa langsung jaipongan kali ya Budeh di sini? Hihihi

Akhirnya setelah Dira memesan pesanannya, aku pun mengajak Dira untuk duduk di meja paling pojok warung ini, kami duduk berhadap-hadapan dengan piring yang sudah penuh kuisi dengan aneka gorengan. Kulihat dari gelagatnya, Dira cukup menikmati hawa teduh warung ini. Dan itu membuatku senang sekali.

Karena memang, selain cita rasa soto dan keramahan Budeh yang membuatku selalu menyempatkan diri untuk datang lagi dan lagi ke sini, juga karena tempat ini memang terasa nyaman sekali. Pemandangan sungai bebatuan yang dialiri air, landskape jembatan gantung yang ciamik, rindang pepohonan yang rapat meneduhkan, serta kesunyian tempat ini selalu berhasil membuatku jatuh hati, lagi dan lagi.

Terlebih, segala keindahan ini semakin diperlengkap dengan hadirnya sesosok malaikat manis yang matanya tengah beredar ke sana ke mari, sibuk menikmati embusan angin yang semakin menyejukkan tempat ini. Huhh.. teduh banget ini, asli.

Oh iya, saking larutnya dalam suasana nyaman bersama Dira, aku sampai lupa mengabari kawan-kawanku di sekolah. Haduh, bisa kena damprat lagi ini aku sama Dito dan Oman. Maka dari itu, aku pun segera mengeluarkan Handphoneku dari saku, dan langsung membuka bbm-ku, benar saja, beberapa pesan sudah memenuhi grup chat yang berisi aku dan tiga kawanku.

Oman
“Bajingan tengik!”

Dito
“Setan alas!”

Oman
“Bangsat!”

Dito
“Anjing!”

Wawi
“Wkwkwk”

MEelihat aneka makian itu aku langsung senyum-senyum sendiri, sesuai prediksi ternyata, Dito dan Oman memang over reaktif kalau aku bikin kesalahan hahaha. Beda dengan Wawi yang sepertinya selalu mengerti situasi dan kondisiku. Aku pun segera mengetikkan pesan balasan untuk kawan-kawan tercintahhhhhh-ku itu.

Aku
“Titip tas ya sayang, bawa ke kober aja, I love you full.. muach..”

Aku nyengir-nyengir sendiri ketika mengirim pesan tersebut, karena pasti akan langsung berbalas dengan makian lanjutan, kemudian aku membuka kontak bbm Wawi, kemudian aku kirimkan pesan secara pribadi, meminta tolong pada kawanku yang paling pengertian itu agar sekalian ke kelasnya Dira untuk mengambil tas milik gadis yang tengah bersamaku sekarang, tak lupa kusebutkan nama kelas beserta nama teman-teman Dira agar lebih mudah. Setelah itu tanpa menunggu balasan, aku segera memasukkan kembali Si Davis ke saku celanaku. Karena kalau tak segera kumasukan, aku yakin sebentar lagi makian-makian dari Dito dan Oman akan langsung menyasar padaku.

“Kenapa kok senyum-senyum gitu Kak?” Tanya Dira ketika aku kembali menatapnya.

“Enggak.. biasalah temen-temen saya pada kangen sama saya..” Jawabku santai, membuat Dira mengangguk-anggukkan kepala.

“Oh iya Ra.. tolong bilang temen-temen kamu, nanti pas pulang ada temen saya yang mau ke situ, ngambil tas kamu. Soalnya enggak enak kalau nanti temen-temen kamu nunggunya kelamaan.” Ucapku pada Dira.

“Enggak apa-apa emang Kak? Aku takut ngerepotin.” Sanggahnya cepat. Namun aku segera menggeleng pelan.

“Enggak ngerepotin kok, santai aja.” Jawabku berusaha meyakinkan. Sejenak kulihat masih ada keraguan di wajahnya, namun dengan cepat Dira berusaha meyakinkan dirinya sendiri, dan memberikan anggukkan padaku, setelah itu ia pun langsung mengirim bbm ke teman sekelasnya, entah Helen atau Riri, pokoknya di antara mereka berdua.

Ketika Dira tengah chatting dengan temannya, dari arah bilik pesanan terlihat Budeh berjalan dengan nampan berisikan soto dan nasi yang mengepul, terlihat jelas bentuk semlohai tubuh Budeh. Kenapa aku bilang semlohai? Karena memang begitulah adanya. Tubuh Budeh ini bentukannya beuhh.. khas banget wanita seumurannya, maksudnya bukan gemuk ya, tapi semlohai bahenol gitu. Udah gitu, kebaya dan kain jarik yang ia kenakan itu semakin mempertegas kemolekan tubuh perempuan matang yang selalu terlihat ramah dan ramai itu.

Kebaya Budeh hari ini berbelahan agak rendah, yang meski hanya menampilkan sedikit celah lembah di antara dua gundukkan payudaranya, namun itu sudah cukup untuk membuat hatiku memuja dan memuji putih akar gunung kembar itu. Ditambah perutnya yang terlihat proposional dengan bentuk payudaranya, membuatku terbayang-bayang, pasti di balik korset yang Budeh kenakan tersimpan perut putih yang sedikit berisi dan menggemaskan. Uhhh..

Belum lagi jalannya, lenggak lenggok geyal geyol melebihi kedemplonan anjing terseksiku, Si Bogi. Kain jariknya terlihat ketat mengikuti lekukan pinggangnya yang terlihat bak gitar spanyol, dengan paha yang terlihat padat berisi, dipercantik dengan betis putih yang terekspos terang-terangan di depan mata para pelanggan yang datang. Uhhh.. menggemaskan.

Oh iya, ini salah satu hal spesialnya lagi, meski ada beberapa pelayan di sini, namun setiap kali aku datang, Budeh selalu menyempatkan diri untuk mengantar pesanannku, meninggalkan ‘markasnya’ demi menyajikan soto ceker favoritku. Entah ia memang hanya sekedar berniat menyajikan olahan masakannya, atau sekalian memamerkan kulit putih lehernya yang menggemaskan itu. Uhhh.. sungguh, jujur-jujuran saja nih, aku sesekali sering membayangkan bentukan tubuh Budeh kalau sedang telanjang tahu.. pasti putih dan mulus banget, belum lagi bodi montoknya yang beuhh.. itu kalau Budeh direbahin, aku yakin payudaranya akan tetap membusung indah.

Ditambah perutnya yang gemulai, dan sekal bokongnya yang menggugah selera, uhhh.. gila sih, mancap cap cap pastinya. Terus aku juga sering berkhayal, entah berkhayal atau berandai-andai, atau malah bermain tebak-tebakkan dengan pikiranku sendiri. Bahwa aku membayangkan bahwa lubang surgawi Budeh itu gemuk kaya di Jav-Jav yang tersimpan di handphoneku, dengan bulu-bulu kemaluan yang tidak rimbun namun tetap terlihat rapat menghiasi vaginanya. Uhhh.. pasti agak kemerahan gimana gitu isi dibalik lipatan vaginanya Budeh itu.

Eh bajigur,, kenapa malah kemana-mana ini pikiranku, bajingan.. bikin sesek celana aja ini mah kampret..

Dan seperti sadar bahwa aku memandanginya dengan begitu dalam, Budeh terlihat membuang wajahnya sembari berusaha menyembunyikan senyum kecil dan rona merah di ranah wajahnya. Dan dengan begitu anggun, ia menyapaku dan Dira seraya mulai menurunkan pesanan demi pesanan kami.

“Cekernya dua ya.. ini yang enggak pake daun bawang buat Cah Bagusnya Budeh.. nah ini buat cah ayu-nya Budeh.. ini nasinya tiga ya..” Terang Budeh dengan nada begitu lembut, tubuhnya yang sedikit dibungkukkan membuat mataku benar-benar sulit untuk tidak hinggap di celah antara dua payudaranya. Putih Bung.. asli.. mulus.. enggak bohong deh..

“Kok nasinya tiga Budeh?” Tanya Dira sedikit heran.

“Oh.. ini yang dua buat Nggan cah ayu.. cah bagus ini kan rakus.. enggak mulutnya, enggak matanya.. sama-sama rakus.. hiihihi” Seloroh Budeh dengan santainya, dan itu langsung membuatku seketika salah tingkah karena tersindir sebegitu dalamnya, aku akhirnya hanya bisa menggaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tidaklah gatal.

“Nah ini minumnya.. nutrisari jeruk buat rakusnya Budeh, nah nutrisari jambu buat cah ayu ini..” Terang Budeh lagi sembari menurunkan dua gelas batang berisikan minumanku dan Dira yang dibawakan oleh pelayan lain.

Tak seperti diriku yang sedikit blingsatan karena kepergok memiliki mata yang rakus oleh Budeh, juga karena ada yang salah menghadap di bawah sana, Dira justru terlihat begitu sumeringah dan bahagia tiap Budeh mengucapkan kalimat-kalimat pamungkasnya. Sepertinya Dira benar-benar tak menyadari arti terselubung dari setiap kalimat-kalimat yang Budeh lontarkan padaku. Ya bagus sih, seenggaknya aku tetap berimage bagus di depan Dira hehehe

Setelah mempersilahkan kami untuk menikmati hidangan yang tersaji, Budeh pun berlalu dengan langkah yang aduhai indahnya, kedua tangannya memeluk nampan di depan, sedang pantatnya yang indah itu bak ombak di pantai selatan, anggun bergerak sepanjang langkahnya. Uhhh.. itu kalau diceples dikit enak banget itu, gemesin.

“Ayo Kak dimakan..”

Lamunanku pun buyar ketika kata-kata Dira menguar di telingaku, membuatku sekali lagi harus garuk-garuk kepala sendiri, sembari berusaha dengan keras agar Si Marco di bawah sana tidak semakin menegakkan diri, karena sungguh.. ini benar-benar menyakitkan dan bikin ngilu banget, salah kiblat ini..

“Eh i.. iya.. ini sambalnya Ra..” Balasku seraya menyodorkan mangkuk sambal yang memang siap sedia di atas meja, bersanding dengan botol kecap, dan mangkuk kecil lain yang berisikan potongan jeruk nipis. Tak lupa Budeh juga memberikan dua mangkuk air kobokan untuk orang-orang yang memesan soto ceker, karena jelas.. makan ceker yo lebih maknyes menggunakan tangan toh? Tak lupa piring kosong untuk menampung tulang cekernya nanti. Pokoknya makan ceker itu memang membutuhkan banyak peralatan hehehe

Setelah meracik bumbu tamnbahan untuk soto kami masing-masing, aku dan Dira pun mulai menikmati kenikmatan yang legendaris nan hakiki dari soto ceker buatan Budeh ini. Kuahnya yang menurutku tidak seperti soto-soto kebanyakan ini benar-benar khas sekali, karena kuah kuning bening yang sedikit berminyak dari soto nya Budeh ini seperti kombinasi soto, garang asem, dan pindang yang dijadikan satu. Gimana ya jelasinnya? Pokoknya gitu deh, emang khas kuah soto Budeh itu, udah terkenal cita rasanya sendiri.

“Kak Regan..” Panggil Dira dengan wajah melongo kepadaku, membuatku seketika menahan napas, apa Dira enggak suka ya dengan soto di sini? Atau dia enggak suka makan cekernya ya? Waduh.. berabe ini, bisa kebadanan ngabisin aku nanti.

“Ini enak banget Kak.. sumpah.. aku tuh selama ini enggak pernah mau makan ceker karena enggak suka bentuknya, tapi kalau diginiin.. hhhmmm.. aku kayanya mau makan ini setiap hari pun enggak akan bosen.. sukkaaaaaaa..” Seru Dira dengan penuh semangat, membuat aku langsung membuang napas lega. Huhhh.. aku kira kenapa..

Syukurlah kalau dia emang suka, aku kan jadi merasa puas sendiri karena berhasil memperkenalkan panganan ini padanya, plus sambutan Dira pun benar-benar begitu membuatku bahagia. Sebagai lelaki, entah mengapa.. puas saja gitu rasanya kalau perempuan yang ia ajak ke suatu tempat menyukai tempat tersebut. Sungguh, ini kebahagiaan kecil yang akan sangat menyenangkan bagi setiap makhluk yang bernama laki-laki.

Apalagi kulihat Dira cukup lahap menyantap hidangannya, seolah hendak berlomba adu rakus denganku yang kini sudah menandaskan piring pertama nasi putihku, sedang menggarap piring kedua. Sesekali kami mengobrol hal-hal kecil untuk semakin saling mengenal, sesekali juga tawa menguar di antara kami, tatap-tatap riang dan bahagia, kenyamanan hati yang tiada tara, serta siluet senyum Dira yang berhasil mengalihkan pemikiran-pemikiran mesumku dari kemolekan tubuh pemilik warung ini hihihi

Detik demi detik berlalu, tawa demi tawa tertinggal, ceker-ceker gemuk pun sudah berpindah ke piring menjadi tulang belulang setelah habis kami santapi. Kini aku menjelma jadi orang bodoh yang tengah menikmati kekenyangan di perutku sendiri, menyender pada bilik bambu yang untungnya dilapisi kayu-kayu penopang agar tidak jebol ketika ada pelanggan yang kekenyangan sepertiku.

Melihatku bersandar dengan raut megap-megap, Dira dengan isengnya memotretku menggunakan handphone android merk brand asal koreanya, membuatku hendak protes namun kekenyangan ini benar-benar membuatku hanya bisa tersenyum-senyum saja. Ini kalau kata pepatah anak sekarang mah.. laper galak, kenyang bego hahaha

Dan karena kebiasaanku yang selalu merokok sehabis makan, membuat bibirku mulai asam, namun sialnya aku lupa kalau rokokku ada di dalam tas yang kutinggalkan di sekolah, namun tenang.. warung soto ini adalah warung soto yang paling pengertian, karena menjual rokok untuk para pelanggannya. Aku tadinya hendak bangkit untuk meminta rokok ke Budeh, namun dasarnya Budeh itu memang pengertian, belum sempat aku melaksanakan niatanku, beliau justru mengirim seorang pelayan untuk mengantarkan sebungkus garpit lengkap dengan koreknya ke mejaku. Peka memang Budeh ini, melihat aku yang tak kunjung menyulut batang rokok sepertinya membuat beliau tahu kalau aku tak membawa rokokku hehehe

Setelah mengucapkan terimakasih pada pelayan, serta mengucapkan terimakasih lewat gesture anggukkan pada Budeh yang tengah memperhatikanku dari meja bilik pembayaran, aku pun meminta izin pada Dira untuk menyalakan rokokku, ia dengan senyum manis pun menganggukkan kepalanya untuk mempersilahkanku. Aku pun tanpa membuang waktu langsung menyelipkan sebatang rokok di bibirku, menyulutnya dan langsung menghela dalam-dalam asap tembakau untuk mengafdolkan acara makan siangku yang terasa istimewa kali ini.

Fyuhhh.. hangat langsung menjalar di paru-paruku, mengalirkan rasa nyaman ke syaraf-syaraf otakku yang tegang setelah bertempur dengan ceker-ceker nikmat olahan Budeh semok nan semlohai idamanku hehehehe

“Aku boleh tanya sesuatu enggak Kak?” Terdengar suara lembut Dira ketika aku tengah menengadahka wajahku ke udara, sedang mengembuskan tinggi-tinggi asap yang keluar dari bibirku. Aku lekas menatapnya dan memberikan anggukan mempersilahkan. Nanya kan tinggal nanya ya? Kenapa pake izin dulu coba? Gemesin banget kan?

“Kakak mulai ngerokok sejak kapan?” Tanya Dira hati-hati, terlihat ia seperti berusaha untuk tidak menyinggung perasaanku, padahal sungguh.. aku sedikit pun tidak merasa terganggu dengan pertanyaannya.

“Sejak kapan ya.. hhhmmm..” Aku bergumam sembari mengingat-ingat sejenak, sedang Dira terlihat menunggu jawabanku dengan penuh harap, seolah ini adalah sesuatu yang amat penting baginya.

Baiklah kalau begitu, jika memang dia sangat ingin mengetahui hal ini. Maka aku akan berusaha menggali ruang-ruang ingatanku. Hhhmm.. sejak kapan ya.. hhmm.. ah iya..

“Kayanya sejak nenek saya meninggal deh, pas mau naik kelas dua SMP kalau enggak salah..” Jawabku ringan dengan punggung tetap bersandar.

Dan entah mengapa, aku sedikit manangkap setitik raut keterkejutan dari Dira. Sebelum sedetik kemudian ia pulas kembali wajahnya untuk ceria seperti sedia kala. Kenapa ya dia kok kaya kaget gitu? Dan aku perhatikan, Dira ini sering sekali menampilkan raut wajah seperti tengah memikirkan sesuatu, namun sedetik kemudian memulasnya dengan wajag ceria nan sumeringah seperti sediakala. Dan jujur.. itu membuatku sedikit bertanya-tanya sih sebenarnya.

“Kenapa kok nanya gitu?” Tanyaku penasaran juga pada akhirnya, tubuhku yang tadinya bersandar pun sudah kubawa untuk kembali tegap. Sebenarnya aku sedang ingin menguji kembali prakiraanku tentang raut wajay Dira yang sesekali cepat berubah drastis itu.

Namun sayangnya aku tak mendapati hal itu lagi, Dira tetap dengan senyumannya yang begitu manis bak gula-gula yang ada di pasar malam. Membuat pertanyaan-pertanyaan di kepalaku menguap jua secara perlahan.

“Enggak apa-apa, mau nanya aja hihihi” Ujar Dira dengan kepala yang sedikit dimiringkan, senyumnya mengembang dengan indah, membuat matanya kian menyipit ketika senyumnya terpugar sebegitu jelasnya. Dan aku hanya bisa tertawa kecil sembari terus menikmati inchi demi inchi ujung tembakauku yang tiap detik kian mendekati filternya.

Hingga pada akhirnya rokokku pun tandas, bersama obrolan yang kian banyak tertinggal dan tertanggal, aku pun mengajak Dira untuk beranjak. Tenang.. kali ini dompetku enggak ketinggalan kok, jadi sesuai niatanku sedari awal, aku akhirnya bisa mentraktir Dira siang ini.

Setelah berhaha-hihi sebentar dengan Budeh, serta berjanji akan datang laagi di lain hari, aku dan Dira pun pamit pulang, berjalan bersisian meninggalkan bangunan tradisional beratapkan bilik bambu dan genting kusam itu. Dan ingatan ini.. ingatan ini akan aku kemas baik-baik dalam ruang-ruang kepalaku. Bahwasanya hari ini, di satu tempat yang jauh dari kediamanku, aku telah melalui waktu yang begitu menyenangkan dengan seseorang yang entah mengapa.. begitu mampu membuat hatiku nyaman berada di dekatnya, sangat nyaman, amat nyaman.

*
 
Terakhir diubah:
*

Motorku melaju dengan pelan menyusuri jalan kecil yang membelah areal taman pemakaman di dekat sekolahku, melintas di bawah rindang pepohonan besar yang menghiasi sepanjang jalan ini. Oh iya, kalian jangan salah paham dulu, taman pemakaman besar yang berada di dekat sekolahku ini memang jauh dari kata seram, pun ada jalan akses untuk warga yang disediakan, dari itulah tempat ini disebut taman pemakaman umum, bukan tempat pemakaman umum, karena memang areal ini dirawat dengan baik agar jauh dari kesan seramnya pemakaman.

Bahkan kalau malam pun areal ini diterangi banyak lampu, membuat banyak pengendara yang tak segan untuk memotong jalan lewat tengah pemakaman ini dibanding harus memutar ke jalan raya yang memang membutuhkan waktu 3 kali lipat lebih lama, kalau aku sih kenapa memilih lewat ini ya jelas karena aku memang mencari jalan-jalan kecil, dan sebisa mungkin menghindari jalan raya, akuloh kan enggak pake helm hehehe.

Dan kalian percaya atau enggak kalau aku bilang selama perjalanan pulang tadi, Dira sudah nemplok dengan nyamannya di punggungku, dengan kedua tangan yang melingkar di perutku, percaya enggak? Percaya lah please.. liat sendiri nih kalau enggak percaya ckckck

Selama perjalanan pun, entah memang terlalu menikmati kebahagiaan atau bagaimana, aku dan Dira hanya sesekali saja bicara, sisanya ya.. meresapi kebersamaan saja. Khusus untukku sih, meresapi hangat pelukan Dira hehehe.

Tapi aku mohon banget sama kalian, mohon bener-bener nih, jangan ngecap Dira macem-macem ya, please banget. Ini pure karena terbawa suasana aja, bukan karena apa-apa, apalagi aku memang membawa motornya agak kencang tadi, karena kawan-kawanku sudah berkoar di grup chat, sudah pada keluar mereka, dan sedang menungguku di warkop belakang pemakaman ini, jadi ya.. mau enggak mau aku usahakan ngebut, enggak enak kalau sampai menahan mereka lama-lama soalnya.

“Ternyata dalamnya enggak seserem yang aku bayangin Kak..” Suara Dira lembut namun jelas terdengar di telingaku, kepalanya tersandar di bahuku, lengannya masih erat memelukku.

“Maksudnya?” Tanyaku mencoba memastikan kalimat yang keluar dari bibir Dira.

“Pemakaman ini Kak.. ini pertama kalinya aku ngeliat bagian dalamnya..” Sahut Dira tanpa sedikit pun menggerakkan kepalanya, seolah ia sudah nyaman di posisinya kini.

“Oh.. ya kan makanya namanya diubah dari Tempat Pemakaman Umum jadi Taman Pemakaman Umum, dan ditata sedimikian rupa sama pemprov, kasih lampu sana sini, biar kesan seremnya ilang..” Terangku pada Dira. Sejenak ada lengang yang meraga di antara kami, namun aku sama sekali tak terusik akan itu, seperti yang aku bilang tadi, aku menikmati tiap hening yang hadir di antara kami, meresapi tiap detik yang hadir untuk menguarkan kebahagiaan dan rasa nyaman ini.

Dan hal tersebut tanpa sadar membuat senyumku sedikit terpugar, bersamaan kami yang sudah melewati gapura besar pemakaman ini, membawa kami keluar dari aral taman pemakaman yang sejuk dan rindang ini. Berbelok ke arah jalan raya, dan langsung berbelok lagi ke arah areal parkir pemakaman ini, tempat di mana warkop yang aku tuju berada.

“Makasih ya Kak..” Dira membuka suaranya lagi, dengan kepala yang tetap rebah di punggungku, tangan yang tetap terlingkar di perutku, membuat senyumku semakin melebar.

“Harusnya saya yang makasih Ra, karena kamu udah mau ikut saya..” Jawabku seraya memperlambat laju motorku, karena warkop yang aku maksud sudah terlihat di ujung sana, lengkap dengan dua motor yang amat aku kenali, satu motor FU150 merah berkepala barong milik Oman, dan satu lagi adalah motor KLX150 warna hijau milik Wawi.

“Pokoknya aku makasih banget karena Kak Regan udah baik sama aku.. aku seneng.. makasih ya Kak..” Ujar Dira lagi seperti tak mau mengalah, yasudahlah, kalau begitu kita sama-sama berterimakasih aja biar gampang.

“Yaudah sama-sama, saya seneng dengernya, makasih ya Dira..” Sahutku seraya membawa motorku semakin mendekat ke warkop, dan seperti sudah tahu bahwa aku datang (Ya iyalah.. knalpot Si Kopet ini pasti dari jauh udah kedengeran haaha), begitu aku sampai di parkiran semua pasang mata yang ada di dalam warkop pun memandang ke arahku.

Namun senyumku mendadak pudar ketika ternyata, bukan hanya Wawi, Dito dan Oman yang ada di dalam warkop tersebut, tapi juga… Hani, dan ia menatapku dengan.. arrgghhh aku paling males nih kalau Hani udah natapku sayu kaya gitu.

“Lama anjing!” Oman membuka makiannya terlebih dahulu.

“Bangsat emang!” Dito menimpali dengan semangatnya. Sedang Wawi hanya melemar senyum padaku. Menyadari bahwa kami sudah tiba, terlebih dengan desingan suara memaki dari Dito dan Oman, membuat Dira perlahan melepaskan pelukannya di tubuhku, perlahan pula kurasakan kepalanya terangkat dari punggungku, ia menegakkan tubuhnya.

Aku tak membalas makian Dito dan Oman, sebab mataku tengah terkunci di tatap sayu milik Hani, sekitarku seperti mengabur dan menghening. Kenapa? Kenapa Hani juga ada di sini? Kenapa dia juga di sini? Shitt.. aku kok jadi enggak enak gini ya.

Aku baru tersadar dari lamunanku ketika Hani tiba-tiba membuang wajahnya ke arah lain, membuatku hanya bisa memandang bagian belakang rambutnya, bahkian tubuhnya juga sedikit dimiringkan, seolah ia ingin menghindari tatapanku saat ini.

“Babi ini.. malah bengong bangke..” Dito kembali memakiku seraya melempar kacang atom ke arahku, dan seperti tak berniat menghindar, kubiarkan kacang atom yang dilempar Dito mendarat tepat di keningku. Dan Dito langsung memasang wajah kaget, karena biasanya jika ia melempar sesuatu, aku akan dengan mudah menepis itu, sekencang dan sekeras apapun.

Tapi kali ini, entahlah.. bukan aku menyalahkan keberadaan Hani di sini, tapi aku merasa bahwa, harusnya ia tidak berada di sini saat ini, harusnya ia tak perlu ke sini, harusnya ia sudah berada di rumah sekarang in, dan tak perlu melihatku yang habis berjalan-jalan bersama Dira, dia tak harus melihat lingkar lengan Dira yang tertaut di tubuhku tadi. Shittt..

“Kak..” Panggil Dira dengan kepala di majukan, membuat posisi wajahnya kini berada tepat di samping kepalaku, dan ketika aku menoleh, wajahku berada dekat sekali dengan wajahnya, membuatku gugup sejenak sebelumnya bisa mengendalikan diri dan kembali menatap ke arah depan.

“Turun dulu ya, biar saya kenalin kamu sama temen-temen saya..” Ucapku pada Dira, ia mengangguk setuju dengan senyumannya, lalu aku pun menurunkan standar motorku, mematikan mesinnya, dan turun dari motor.

Aku mencuri pandang sejenak kepada Hani, ia masih membuang wajahnya, dan entah kenapa itu membuatku sedikit merasa bersalah padanya. Tapi aku bisa apa? Toh semuanya sudah terlanjur, Hani sudah ada di sini, aku tak bisa memutar waktu. Aku mengalihkan pandanganku pada Dira, memberi anggukka kepadanya, seraya berjalan memasuki warkop yang tak seperti warkop pada umumnya. Maksudku tidak tertutup bagian depannya seperti warkop kebanyakan, melainkan sebuah warung yang memiliki beberapa meja di depannya.

“Dari mana Nggan?” Tanya Wawi dengan ramah mencoba mencairkan suasana tegang, ia berdiri dan menggeser duduknya, kepalan tangannya terjulur ke arahku, aku menyambutnya dengan kepalan tanganku, melempar senyum padanya, juga pada Dito dan Oman yang terlihat sedikit memasang raut wajah tak enak padaku.

“Jalan-jalan aja.. gimana tadi, dicariin enggak gua?” Tanyaku balik pada Wawi, merujuk apakah kira-kira ada guru yang sadar kealfa-anku siang ini atau tidak.

“Aman..” Jawab Wawi pendek saja seraya menghisap dunhill putihnya dengan santai. Aku tersenyum lalu beralih menatap Oman dan Dito yang sok-sok buang wajah.

“Ngapa lu bedua? Nahan boker?” Tanyaku dengan nada kubuat seramah mungkin seraya mengulurkan kepalan tanganku pada mereka, yang oleh Oman dan Dito langsung disambut dengan senyuman lega sembari menyambut kepalan tanganku bergantian.

“Tai kali..”

“Kunyuk sekali ini..”

Sahut Dito dan Oman bergilirian, lalu aku menatap Hani, ia masih membuang wajahnya acuh, seraya memainkan sedotan di gelas yang berisi es teh manis di hadapannya. Fyuhh.. ngambek apa gimana ya ini dia?
“Oh iya Ra.. kenalin temen-temen saya..” Aku segera beralih pada Dira yang sedari tadi berdiri di sampingku.

“Oh iya.. Aku Dira..” Ujar Dira terdengar ramah sekali seraya menyodorkan tangannya.

“Hai Dek Dira.. nama Kakak Akroman Sujarih, panggilnya Kak Oman.. Dira anak kelas 1AK kan?” Ucap Oman ketika menjabat tangan Dira. Sialan.. udah tahu tentang Dira ternyata Si Gempal ini.

“Iya Kak.. Kak Oman yang megang melodi 4 arah kan ya.. keren kak..” Sahut Dira ketika jabatan tangan mereka terlepas. Cuy.. selain udah tahu tentang aku, ternyata Dira juga kayanya tahu tentang temen-temenku nih.. emang setenar itu ya 4arah?

“Hihihi.. oh jelas.. titisannya Slash ini.. bukan kaleng-kaleng..” Bangga Oman sambil menepuk-nepuk dadanya,. Haiizzzz.. mulai sengak si gempal cepak ngehe ini, sok-sok’an titisannya SLASH dari Guns N’ Roses, ya emang sih kemampuan Gitar si oman bukan kaleng-kaleng, Cuma kalau disamain sama Slash ya.. agak gimana gitu.

Namun Dira justru tertawa kecil seraya mengacungkan jempol tanda salute ke Oman, kemudian beralih ke Dito yang duduk di sebelah cepak ngehe itu.

“Dito.. Dito Prasetyo.. Dira bisa panggil Kak Dito, Bang Dito, Kang Dito atau Mas Dito, pokoknya senyamannya Dira aja..” Dito menyambut jabatan tangan Dira dengan semangatnya, seraya melafalkan kata-kata yang membuat telingaku entah mengapa terasa gatal-gatal pengen nampol gitu.

“Hihihi.. Kak Dito ini yang pegang bass kan ya.. enggak kalah keren sama Kak Oman hehehe..” Puji Dira dengan senyuman dan tawanya yang khas.

“Oh pasti.. titisannya Yuke DEWA19 ini.. enggak perlu diragukan lagi..” Seloroh Dito dengan bangganya, membuat Dira kembali tertawa seraya mengacungkan jempolnya. Aku? Masabodolah.. enggak urus.

Kini Dira beralih ke Wawi, mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan diri. Oleh Wawi langsung disambut dengan senyum kecil, dan tak seperti Dito maupun Oman yang panjang lebar menebarkan pesona, Wawi hanya santai saja seperti sebelum-sebelumnya.

“Wawi..” Ucap Wawi pendek saja kemudian menarik tangannya.

“Kak Wawi ini yang pegang gitar akustik merambat vokal ya.. keren..” Puji Dira lagi sambil kembali mengacungkan jempolnya, yang oleh Wawi hanya dibalas senyuman kecil, karena kemudian Wawi menatapku seraya memberi gesture kepala agar aku menegur Hani.

Aku lekas mengangguk padanya, Wawi yang sedari tadi duduk di samping Hani dan berhadapan dengan Oman pun berdiri, berpindah dari duduknya. Pengertian banget sih ya Tuhan si Wawi ini, sumpah.. Wawi itu ibarat oasis ditengah dua padang gurun gersang yang dibawa Dito dan Oman, penyeimbang banget asli.

Aku menghela napasku, lalu melangkahkan kakiku mendekat ke Hani, kepalaku berpikir sejenak, enaknya pake kata-kata apa ya biar Hani enggak terlalu nesu-nesu kaya gini? Dan di tengah pemikiranku, tiba-tiba Hani menoleh cepat, bukan.. dia bukan menatapku, namun ia langsung menatap Dira yang masih berdiri di posisi yang sama.

Hal tersebut terang saja langsung membuatku menelan ludah sendiri, ini kok perasaanku langsung enggak enak gini ya ngeliat Hani natap Dira? Bagaimana kalau Hani nanti..

“Hay Dira..” Seru Hani dengan wajah sumeringah dan nada yang amat ramah bersahabat.

Eh? Wait.. wait.. wait.. Kok nada suara Hani langsung ramah lagi? Wajahnya juga langsung memulas senyum riang, ia bahkan sudah berdiri dan menggeser posisinya untuk mendekat pada Dira. Apa ini? Apa-apaan ini?

“Hay Kak Hani..” Jawab Dira dengan tak kalah ramah, ikut mendekat pada Hani, lalu mereka pun saling berpelukan dan bercipika-cipiki. Loh..

Eh bentar.. kok situasinya berubah secepat ini sih? Kok enggak sesuai prediksi sih? Dan rasanya bukan hanya aku yang kaget melihat ini, Oman dan Dito juga, mereka saking kagetnya bahkan sampai membiarkan mulut mereka terbuka, itu lalat bisa bebas keluar masuk itu, asli.

“Kamu apa kabar Ra? Aku denger kamu masuk ekskul basket ya?” Tanya Hani dengan nada ramah, kedua tangannya memegang bahu Dira, yang oleh Dira dijawab dengan anggukkan kepala dan senyuman bahagia.

Setelah selesai berpelukan Hani pun mengajak Dira untuk duduk di kursi kayu panjang ini, dengan tangan mereka yang saling menggenggam, sungguh.. kok mereka kelihatan akrab banget ya?

Oh iya, kalian enggak usah mikir aneh-aneh, Dira itu bukan adeknya hani, dan enggak mungkin adeknya Hani juga kok, enggak usah nebak-nebak asal asli deh.

“Eh kamu mau pesen apa Ra? Mau Indomie enggak? Aku baru aja makan indomie tau..” Ucap Hani dengan posisi duduk merapat pada Dira, tubuhnya pun sedikit dimiringkan, kedua tangannya sudah memegang telapak tangan Dira.

“Aku udah makan Kak, aku pesen minum aja..” Jawab Dira tak kalah bahagia.

“Yaudah mau pesen minum apa? Mau es teh manis kaya aku?” Tanya Hani lagi dengan antusias, Dira menggeleng pelan.

“Aku mau.. hhmm.. nutrisari jambu aja deh.. di sini ada kan Kak?” Sahut Dira antusias.

“Oh tenang, ini tuh warkop terkece dan terlengkap sedaerah sini, jadi kamu enggak usah khawatir..” Ucap Hani lagi. Kemudian tanpa bangkit dari duduknya, ia pun memesankan minuman untuk Dira kepada Bang Jali selaku pemilik warkop ini, setelah itu mereka kembali terlibat obrolan yang berkutat pada pertanyaan-pertanyaan mengenai aktivitas sehari-hari di sekolah.

Aku seperti tercampakkan berdiri sendiri, beruntung siulan Wawi menyadarkanku, hingga aku pun akhirnya ikut duduk, satu baris dengan Hani dan Dira, tepatnya aku menduduki kursi yang tadinya diduduki Hani, sedang Hani duduk di kursi yang tadi diduduki Wawi, kemudian Dira setelahnya. Jadi posisi duduknya adalah aku, Hani ditengah, dan Dira. Hani dan Dira ngobrol asik haha hihi, aku Cuma bisa ngobrol sama tas serta sweater Hani yang teronggok di meja, tepat di samping es teh milik Hani yang tadi ia aduk-aduk enggak jelas pake sedotan ketika aku pertama kali datang.

Dan karena merasa sedikit tercampakkan, aku dengan sedikit sebal menyambar gelas es teh manis di hadapanku, dan langsung menyeruputnya, haus ini.. haus banget. Namun begitu larutan teh dingin melewati tenggorokanku, seketika perasaan sebel dan sedikit jengkel itu pun berangsur-angsur sirna, karena bukankah bagus kalau Hani dan Dira sudah saling mengenal dan akrab sebelumnya? Jadi aku enggak perlu khawatir tuh kalau mereka bakal perang dingin karena aku. Eh tapi benerkan aku? Maksudku ini beneran bagus kan? Kok entah mengapa aku sendiri kaya ragu ya sama kata-kataku..

“Kalian kok kayanya udah akrab banget? Udah pernah kenal sebelumnya?” Wawi yang seolah mengerti kebingunganku pun akhirnya buka suara, ia seolah mewakili suara hatiku yang bergejolak menuntut penjelasan.

Mendengar itu Dira dan Hani pun kompak menghentikan tawa mereka berangsur-angsur, kemudian berpaling menatap Wawi yang terlihat tetap santai sambil menghisap rokoknya.

“Kasih tau Ra..” Ucap Hani seolah meminta Dira yang menjelaskan ikhwal kedekatan mereka, sedang aku memilih membuang pandangan sembari membakar rokok garpit kesayanganku untuk meredakan kebingungan. Namun tentu saja, telingaku kupasang baik-baik agar tak melewatkan sapatah kata pun tentang hal ini.

“Kak Hani kan salah satu Kakak OSIS paling baik pas ospek, sering belain aku kalau kena hukuman, terus waktu itu nemenin aku di UKS juga pas aku pingsan. Pokoknya Kak Hani itu Kakak OSIS paling baik..” Jawab Dira dengan semangat berapi-api, entahlah bagaimana raut wajah mereka saat ini, aku lebih memilih memperhatika deretan poster Valentino Rossi yang tergantung di dinding warkop ini, Bang Jali memang fans berat The Doctor, enggak heran kalau banyak aksesoris berbau pebalap asal Italia itu.

Tapi mengenai Hani dan Dira, pertanyaanku seenggaknya terjawab, karena memang kan Hani ini wakil ketua OSIS di sekolahku, jadi pastilah dia yang mengospek angkatan Dira kemarin, lah wong dia juga yang ngospek angkatan aku kok waktu itu. Kenapa aku bodoh banget ya sok-sok’an heran? Tapi kalau aku bodoh, berarti Dito, Oman, juga Wawi sama bodohnya dong sama aku? Lah itu tadi kan mereka bingung juga.

Aku hisap rokokku lagi dalam-dalam, kemudian berdiri untuk menyambut minuman Dira yang sudah selesai disiapkan, namun baru saja aku berbalik hendak menyerahkan minuman tersebut pada Dira, tiba-tiba Hani sudah duduk menghadapku dan langsung merebut gelas tersebut dari tanganku, langsung ia berikan pada Dira, dan langsung diminum juga oleh adik kelas terimutku itu. Lah aku? Aku benar-benar ngerasa enggak diorangin asli, apalagi Dito dan Oman juga malah asik terlibat obrolan dengan Hani dan Dira, sedang Wawi.. walaupun dia tidak terlalu ikut dalam obrolan dua gadis di sampingku, namun untuk mengobrol denganku pun posisinya terlalu jauh.

Yaudah.. akhirnya aku Cuma bisa jadi kambing congek aja ngeliatin mereka ngobrol, sambil sesekali menghisap rokokku, hingga tak terasa sudah batang kedua yang kini aku hisap, dan kulihat obrolan mereka pun semakin seru saja, dari mulai membahas ekskul, menggosip tentang guru, membahas makanan terenak di kantin, pokoknya membahas segalanya, aku mah Cuma die aja.. sama kaya Wawi.

Tapi ini beneran deh, aku kan harusnya seneng ya Hani dan Dira akur, tapi kok ini aku kaya merasa sebaliknya, karena gimana ya.. kaya ada sesuatu yang enggak pas gitu. Entahlah aku juga enggak tahu.

“Kok lu tumben belom pulang Han?” Aku mencoba masuk ke obrolan Hani dan Dira yang sedang terjeda karena Dira menyeruput minumannya.

“Oh iya.. nanti jangan lupa siapin tubuh kamu ya.. karena minggu depan kan kita LDKS, siapin juga perlengkapannya, jaket yang agak tebel ya kalau bisa, soalnya di sana tuh dingin banget, kalau Cuma sweater mah pasti tembus” Seloroh Hani lagi seolah mengabaikan kata-kataku, dan aku hanya bisa mendengus sebal, ini kok aku kaya terasingkan ya?

Tapi aku enggak sebel ama Hani sumpah, enggak sama sekali, aku Cuma sebel sama diriku sendiri aja, entahlah.. mungkin ini adalah cara Hani untuk melampiaskan kekesalannya padaku? Kayanya sih gitu. Eh bentar, tadi Hani bilang apa LDKS? Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa? Minggu depan? What? Seminggu lagi berarti.. waduh bentar lagi dong..

Nah kalian pasti mikir, kenapa aku memikirkan LDKS ini kan? Itu karena 4arah diminta untuk ikut acara ini Bung. Iya.. ikut acara ini sebagai bintang tamu di malam terakhir nanti.. seneng? Enggaklah..

Orang aku tahu alesan kenapa pihak sekolah ngajak kami, ya karena mereka hendak menghemat budget untuk hiburan pastinya, kan pasti bakal keluar uang banyak kalau harus mengundang penghibur selain kami. Padahal pas LDKS angkatanku tahun kemarin, pihak sekolah mendatangkan penyanyi lokal daerah sana untuk menghibur kami, lah ini.. masa anak sekolah sendiri yang menghibur, kan keliatan banget ngiritnya. Haizzzz

Tapi mau gimana lagi, ini Pak Gopur sendiri yang minta, jadi aku enggak bisa nolak. Apalagi kulihat Dito dan Oman amat senang ketika mendengar ini. Ya jelas sih mereka seneng, kapan lagi tampil di depan adik kelas ya kan? Mereka pasti bakal tebar-tebar pesona ke dede-dede emesh angkatannya Dira nanti. Haizzzz..

“Aku sebenernya masih mau ngobrol sama Kakak-kakak.. Tapi aku harus pulang, kalau kesorean nanti Mamah aku khawatir.. enggak apa-apa kan kalau aku pulang duluan?” Ucap Dira kepada kawan-kawanku, juga kepadaku lewat siratan matanya. Aku menganggukkan kepala, setitik niat untuk mengantarnya pulang pun meraga di hatiku.

“Yaudah bareng kita aja Ra.. itu motornya pas kok..” Ajak Hani semangat, seolah salah satu motor yang terparkir itu adalah motornya.

“Enggak usah Kak, ini bentar lagi ojek langganan aku nyampe kok..” Terang Dira seraya mulai menerima tasnya yang disodorkan oleh Wawi. Dan saat itu juga aku merasakan sedikit kecewa, karena niatku mengantarnya pulang harus pupus.

Dari dalam tas, Dira pun mengeluarkan sweater rajutnya, warnanya kuning cerah, senada dengan auranya yang selalu terlihat ceria, kemudian ketika hendak mengenakan sweaternya, Dira seperti terpekur dalam-dalam, kemudian ia menatapku dengan tatapan dalam. Membuatku bingung apa maksud tatapan Dira itu.

“Kak Regan.. kemeja Kakak..” Ucap Dira terbata dengan raut wajah panik. Kemajaku? Oh iya, aku juga baru sadar, kalau sedari tadi aku enggak ngeliat flaneku itu.

“Udah enggak apa-apa.. nanti juga pasti disempenin sama Budeh..” Ucapku menenangkan Dira, namun wajahnya masih terlihat merasa bersalah.

“Maaf Kak.. aku lupaan banget..” Ujar Dira dengan nada lirih, aku berdiri dari dudukku, lalu berjalan mendekat pada Dira, kuabaikan dulu tatapan dari Hani yang sesekali berubah menajam. Kupegang bahu Dira dengan lembut, mengusapnya agar Dira tak terus merasa bersalah hanya karena meninggalkan kemejaku di warung soto itu.

“Enggak usah dipikirin, enggak akan hilang kok, pasti sama Budeh disimpenin..” Ucapku meyakinkan Dira.

“Tapi Kak..” Dira hendak menyalahkan dirinya lagi, namun aku segera berjongkok di hadapannya, seraya menggenggam telapak tangan Dira, mengusapnya lembut.

“Kamu percaya kan sama saya?”

Ketika aku mengatakan itu, aku barengi dengan menatap mata Dira dalam-dalam, serta kusajikan senyum terbaikku agar ia tak merasa bersalah lagi, dan meski masih sedikit gelisah, namun pada akhirnya Dira menganggukkan kepalanya. Aku pun kembali berdiri, kemudian mengelus lembut kepala Dira.

“Senyum dong, aneh rasanya kalau ngeliat kamu cemberut kaya gini..” Ucapku padanya, yang oleh Dira langsung disambut dengan senyuman khasnya yang selalu membuatku senang.

Kemudian setelah membantunya mengenakan sweater, serta membantunya mengenakan tas sekolah berbentuk boneka kepala kelinci, Dira pun pamit kepada satu persatu kawanku, juga pamit dan berpelukan dengan Hani, setelah itu aku pun mengantarnya ke gerbang sekolah, karena ojek langganannya menunggu di sana. Aku sempat menawarkan untuk memakai motor, namun karena memang jaraknya tak seberapa jauh, maka Dira pun menolak halus, ingin berjalan kaki saja ia bilang.

Sembari berjalan, aku dan Dira sesekali bercanda dan tertawa, kadang ia dengan jahilnya menyenggol tubuhku, bahkan mendorongku ke samping, yang kemudian aku balas dengan menyelengkat lembut kakinya, tentu saja dengan sikap waspada jikalau Dira hendak terjerambap ke depan, namun untungnya selengkatan kakiku hanya sebatas membuat ia tersandung kecil. Kami berjalan di bagian tengah jalan akses masuk parkiran pemakaman ini, tertawa dan bahagia di tengah candaan ini.

Bahkan saking asiknya bercanda, aku sampai harus menarik tubuh Dira lembut agar menepi, karena ada taksi berwarna biru yang melintas masuk menuju areal parkir pemakaman ini, namun setelah itu tentunya kami kembali bercanda dengan bahagianya.

Sesekali Dira membalas selengkatan kakiku dengan pukulan lembut di dada, kadang juga dengan cubitan lembut di lengan, dan tentunya itu dibarengi dengan tawa riang. Dan sepanjang perjalanan menuju sekolah yang penuh tawa itu, sesekali angin kencang berembus, membuat daun-daun pohon sengon di atas kami berguguran, dan entah mengapa rasanya aku bahagia sekali ketika bisa bercanda berdua dengan Dira seperti ini.

Sesampainya di jalan raya depan gapura pemakaman, kami pun berbelok ke kiri untuk menuju pertigaan jalan, menyusuri trotoar yang dihiasi pohon angsana remaja, dengan kabel-kabel listrik menyintang di atasnya, sesekali di kabel listrik tersebut ada tupai kecil yang berjalan malu-malu, membuat aku dan Dira kompak melihat ke arah atas, dan otomatis membuat tupai itu lari bersembunyi dari pandangan kami.

Hingga ketika kami sampai di pertigaan jalan, ketika kami menunggu giliran menyeberang di lampu penyebrangan, aku memberanikan Diri bertanya mengenai hal yang sedikit mengganjal di kepalaku sejak tadi, tentang kedekatan Dira dan Hani di warkop tadi.

“Ra.. kok saya enggak pernah liat kamu sama Hani ngobrol gitu ya di sekolah? Tapi tadi kayanya kalian akrab banget..” Ucapku di tengah bisingnya lalu lalang kendaraan.

“Mungkin karena jarang ketemu kali ya Kak.. lagian Kak Hani kan jarang ke kantin.. paling sesekali ketemu di perpus atau ruang guru aja..” Jawab Dira dengan senyuman mengembang lebar, sedang kedua tangannya memegang tali kekang tasnya di kanan dan kiri bahu.

“Tapi emang kaya gitu tiap ketemu? Peluk-pelukan, cipika-cipiki, rame gitu?” Tanyaku lagi penasaran, yang oleh Dira disambut dengan tawa kecil.

“Hihihihi.. iya.. soalnya Kak Hani tuh baik banget Kak, enggak ke aku aja, ke temen-temen yang lain juga waktu ospek.. pokoknya Kak Hani itu Kak OSIS favoritnya angkatanku tau..” Jawab Dira penuh semangat, sedang aku hanya meresponnya dengan anggukkan kepala dan senyuman.

Kalau masalah baik dan peduli, aku sih setuju sama Dira, apalagi Hani termasuk bintang yang paling bercahaya di angkatannya, tak heran ia menjadi favorit tiap tahun pelajaran baru, waktu tahun kemarin pas aku masuk sekolah ini juga Hani sudah terlihat menonjol di antara senior pembimbing ospek lainnya.

“Udah hijau Kak.. aku duluan ya..” Ucap Dira sembari menggoyangkan tanganku.

“Ayo saya anter sampe gerbang..” Sergahku cepat, namun oleh Dira dijawab dengan gelengan kepala.

“Enggak usah Kak, sampai sini aja..” Ujar Dira seraya hendak melangkahkan kakinya, namun aku segera menahan lengannya, membuat langkahnya terhenti.

“Seenggaknya izinin saya nganter kamu sampai seberang Ra..” Ucapku dengan tatapan kuarahkan langsung ke bola matanya, sejenak Dira sempat terhenyak sebelum akhirnya mengangguk setuju dengan senyuman mengembang.

Aku pun langsung menggenggam tangannya, kemudian mulai menuntun Dira untuk menyebrangi pertigaan ini, dan setelah sampai di seberang jalan aku tak langsung melepaskan genggaman tangan kami, melainkan menempatkan diriku berdiri tepat di hadapan Dira. Dari kejauhan gerbang sekolah sudah terlihat, plus seorang Bapak-bapak yang duduk di atas motor, sepertinya Bapak tersebut adalah ojek langganannya Dira.

“Beneran sampe sini aja?” Tanyaku memastikan lagi, Dira dengan yakin menganggukkan kepalanya.

“Makasih ya Kak.. makasih untuk hari ini..” Sahut Dira, kurasakan tangannya membalas lembut genggamanku.

“Saya juga makasih ya buat hari ini, maaf gara-gara saya kamu jadi ngebolos..” Ujarku menyahuti Dira.

“Yaudah.. kalau gitu aku duluan ya Kak..” Tukas Dira dengan senyuman manisnya, aku mengangguk, lalu dengan sedikit berat kulepaskan genggaman tangan kami.

“Hati hati ya, Dira..”

“Iya.. Kakak juga nanti pulangnya hati-hati ya.. jangan ngebut-ngebutan..” Mendengar perkataan Dira, aku pun segera mengangguk.

“Dah Kak Regan..” Ucap Dira seraya melambaikan tangannya, aku hanya membalasnya dengan anggukan.

Setelah itu Dira pun membalikan tubuhnya untuk kemudian berjalan riang menuju gerbang sekolah, sedang aku masih berdiri mematung memandangi punggunya, gerakkan rambutnya yang terikat begitu indah, seolah menari anggun, ujung-ujung roknya yang tertiup angin, ah.. mengapa aku jadi merasa senang sekali ya tiap melihat Dira?

Dan ketika sudah semakin menjauh dariku, ketika sudah hampir mencapai areal gerbang sekolah, Dira menghentikan langkahnya dan menoleh kepadaku, meski agak jauh, aku masih bisa melihat senyumnya mengembang. Ia pun melambaikan tangannya padaku, yang langsung kubalas dengan lambaian tangan pula.

Setelah itu Dira pun berlari menuju Bapak-bapak yang sudah menunggunya, sedang aku lekas berbalik badan, entahlah.. aku seperti tak mau melepas kepergian Dira hingga detik terakhir, karena rasanya pasti tak menyenangkan, jadi lebih baik aku beranjak dari sini, enggak enak juga kalau ninggalin temen-temenku kelamaan.

Dengan perasaan bahagia, aku pun menyebrang jalan dan berjalan cepat kembali menuju warkop di belakang pemakaman tempat kawan-kawanku sudah menunggu. Bahkan saking senangnya, aku sesekali berlari dan melompat untuk menggapai daun-daun pohon sengon yang menjuntai di atas kepalaku, entahlah.. kaya bersemangat aja gitu.

Dengan wajah riang aku pun memasuki warkop di mana kawan-kawanku sudah menunggu, namun entah mengapa wajah mereka seperti kehilangan sinar kehidupan gitu, muram masam dan enggak worth it buat dipandang.

“Ngapa lu pada?” Tanyaku cengengesan seraya duduk dan menyambar minuman milik Oman, kuseruput hingga tandas minuman itu, karena memang pada dasarnya sudah mau habis juga sih.

Namun entah kenapa, pertanyaanku itu tidak mendapatkan jawaban, mereka bertiga hanya diam seraya seperti saling berpandangan bingung. Terutama Dito dan Oman, kalau Wawi sih masih tersisa aura santainya. Yaudahlah.. mungkin pas aku tinggal tadi, mereka melihat penampakan hantu yekan, makanya mukanya asem gitu.

Aku pun meletakkan gelas milik Oman di meja, kamudian mengeluarkan rokokku dan membakarnya, mumpug Hani enggak ada, mungkin lagi ke toilet yang terletak di belakang warkop ini, karena kalau ada, pasti aku dibawelin, karena sudah membakar batang ketiga hanya dalam kurung waktu sekitar satu jam hehehe.. fyuhhh.. nikmat mana lagi yang aku dustakan siang ini coba?

“Eh Hani udah lama di toilet? Gua mao kencing ini..” Tanyaku kepada ketiga kawanku. Dito dan Oman segera menundukkan wajah, langsung sibuk dengan handphonenya masing-masing, hanya Wawi yang tetap mengangkat kepalanya dan menatap mataku.

“Toilet kosong kok Nggan.. sana kencing.. jangan ditahan-tahan.. malah anyeng-anyengan nati..” Jawab Wawi dengan mimik wajah santainya, namun jawabannya justru membuatku bingung, kok bisa kosong? Terus Hani pake toilet mana coba? Masa iya Hani ke toilet yang ada di mushala pemakaman ini? Kan jauh..

“Nggan..” Panggil Wawi lagi di tengah pemikiranku. Aku segera menatapnya, kemudian Wawi memberikan gesture ke arah tempat duduk yang tadi aku duduki sebelum mengantar Dira ke gerbang sekolah, dan mataku pun segera bergerak mengikuti arah yang ditunjukkan Wawi, namun tak ada apa-apa, padahal aku kira mungkin ada sesuatu gitu.

Tapi tunggu.. tidak apa-apa? Harusnya kan di atas meja ada tas dan sweaternya Hani.. tapi ini kok enggak ada-ada? Masa iya Hani..

“Hani kemana?” Tanyaku pada Wawi dengan cepat. Wawi pun menegakkan tubuhnya.

“Pulang..” Jawab Wawi pendek dengan senyuman santainya.

“Kapan? Naek apaan? Kok dia enggak nungguin gua dulu?” Tanyaku panik karena ternyata Hani pulang lebih dulu.

“Enggak lama elu ama Dira caw ada taksi masuk, terus nurunin penumpang depan toko bunga..” Jawab Wawi dengan raut wajah yang lebih serius. Taksi? Ah iya.. tadi kan ada taksi masuk pas aku lagi nganter Dira.

“Elu enggak nahan dia Wi?” Tanyaku lemas, Wawi langsung mengangkat bahunya.

“Kalau dia pamit-pamitan dulu mungkin gua bisa nahan bentar, tapi berhubung dia langsung caw gitu aja, jadi gua Cuma bisa ngeliatin doang pas dia masuk ke taksi..” Jawab Wawi lagi.

Hani pulang tanpa pamit? Pergi begitu saja? Dia enggak biasanya kaya gitu..

“Ha.. Hani.. dia..” Ucap Dito sedikit terbata, angkat bicara juga dia akhirnya.

“Dia.. nangis Nggan..” Lanjut Dito dengan wajah memelas padaku, dan itu jelas langsung membuat aku terhenyak. Hani menangis? Tapi kenapa? Apa aku ada salah ucap padanya tadi? Padahal kan aku diem aja dari tadi juga.

“Elu enggak mao ngejar Nggan? Emang sih udah jauh.. tapi kalau dikejar pasti masih sempet..” Kini Oman ikut angkat bicara, wajahnya sama seperti Dito, khawatir memelas gitu.

Aku menghela napas dalam, memikirkan mengapa Hani pergi begitu saja sambil menangis. Apa ia cemburu melihatku dan DIra? Tapi apa mungkin? Maksudku.. ya aku tahu ia pasti memiliki sedikit perasaan kepadaku, namun hanya sedikit pastinya, karena kalau banyak pasti ia bersedia dong ketika aku berkali-kali mengajaknya menjalin hubungan? Tapi kan dia selalu menolak, berarti perasaannya enggak seberapa banyak kan?

Dan kalau enggak banyak harusnya dia enggak perlu kaya gini responnya, enggak perlu nangis di depan anak-anak terus pergi begitu saja. Apalagi dia dari tadi kelihatan ceria-ceria saja tuh sama Dira, enggak ada sedih-sedihnya. Tapi kok bisa ya?

“Nggan..” Lamunanku pun buyar ketika Wawi memanggilku.

“Hah?” Tanyaku bingung, apalagi melihat ketiga sahabatku itu menatapku dengan tatapan seperti menunggu jawaban.

“Elu enggak mao nyusul Hani? Pasti masih keburu..” Lanjut Wawi dengan anggukkan kepadaku. Aku sangat ingin mengejar Hani saat ini, tapi.. tapi apa perlu?

Maksudku, perempuan yang sedang dikuasai emosi enggak akan bisa diajak bicara setahuku, dan lagi pula, toh Hani pulangnya naik taksi, lebih aman dan nyaman. Kecuali jika dia naik bis, pasti akan aku langsung kejar.

“Biarinlah.. toh dia naek taksi ini.. udahlah santay.. muka lu tegang-tegang banget dah..” Jawabku kubuat sesantai mungkin, setelah itu aku langsung memalingkan wajahku ke arah Bang Jali yang terlihat tengah mengutak-atik radio bututnya.

“Kopi itemnya satu ya Bang..” Seruku pada Bang Jali.





Bersambung..
 
Terakhir diubah:
Hallo Suhu-suhu dan para pembaca semua, sebelumnya newbie mohon maaf sekali karena baru bisa update hari ini, beneran newbie minta maaf sekali. Karena dua minggu ini kesibukan RL tiba-tiba menggila sekali padatnya. sekali lagi mohon dimaafkan ya :ampun:

berikut newbie update untuk bagian 8-nya, semoga berkenan membaca dan menunggu kelanjutannya ya, untuk tempat dan lokasi jikalau dirasa ada kesamaan, mohon anggap saja kebetulan semata ya :Peace:

Oh iya, untuk bagian 9 doakan sebelum tanggal merah berikutnya sudah bisa rilis ya.
dan enggak lupa, karena ini adalah hari kemerdekaan bangsa tecinta kita, jadi saya mengucapkan DIRGAHAYU INDONESIAKU, tetap cintai negeri ini ya, seberapa buruk dan seberapa menyakitkannya apa yang kita alami di sini, tetap percaya kedepannya Indonesia akan lebih baik dari hari ini ya.. salam bajigur semuanya :semangat:
 
Puas tapi ga puas..! Eh gimana si?? Dira kyanya perempuan dari masa lalu Regan ya??

#SaveJRXSID
#KamiBersamaJRX
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd