Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG LAKUNA : SESUATU YANG HILANG

Selamat pagi semuanya, dan selamat merayakan hari raya idul qurban bagi kawan-kawan yang merayakan :semangat:

Berikut saya update untuk bagian 6 ya, terimakasih untuk suhu-suhu dan kawan-kawan yang sudah berkenan membaca dan menunggu kelanjutan cerita ini. Terimakasih juga atas support dan komentar-komentar dan like-nya, maaf karena tidak bisa membalas satu persatu ya

Oh iya, untuk indeks sudah saya update ya, terimakasih banyak kawan-kawan dan suhu-suhu, titip salam dari Kepin untuk kalian semua :papi:
 
BAGIAN 7 : BEGITU INDAH

POV 3D

Di puncak sebuah bukit yang tinggi menjulang, yang sekitarnya diselimuti kabut tebal, tepat di atas sebuah altar batu yang kanan kirinya di apit sebuah obor yang masih menyala, seorang perempuan duduk bersimpuh dengan kaki terlipat ke belakang, menjadi tumpuan tubuhnya. Tubuhnya hanya berbalut kain jarik sebatas dada, menampilkan putih kulit bahu dan lengannya yang mengkilat di antara kabut, segar laksana dedaunan hutan pagi ini yang masih memangku embun-embun perbukitan.

Kedua telapak tangan gadis itu berada di atas pahanya masing-masing, terbuka menghadap langit dengan jari tengah dan Ibu jari yang ujungnya saling menempel. Kelopak matanya masih terkatup rapat, napasnya begitu tenang, seolah ia tak merasakan apapun, tidak hawa dingin puncak bukit, tidak pula merasakan dingin dari uap air yang dibawa helaian kabut di sekitarnya.

Perempuan dengan usia berbilang tiga puluh delapan tahun itu seolah menjelma patung tak bernyawa, hanya ujung-ujung rambutnya saja yang sesekali bergoyang tertiup angin, rambut hitam panjang nan lebat yang tergerai itu bak selimut penutup tubuhnya sendiri. Setia dan amat tenang mengkuti sang pemilik.

Dari ufuk timur, cakrawala mulai menampilkan sorot cahaya putih kemerah-merahan, tanda sang fajar akan datang guna menyebarkan selimut cahaya untuk alam semesta. Dari ufuk timur nun jauh itu juga, jauh di bawah lereng perbukitan tersebut, siluet tepian pantai terlihat indah melengkung, menampilkan biru samudera yang membentang bak permadani raksasa, biru seujung pandang.

Sedang berpindah ke sudut lain puncak bukit tersebut, di tepi jurang terjal yang berjarak sekitar 50 meter dari altar batu tempat perempuan berkain jarik tersebut takzim bersimpuh. Di sebuah pohon cemara gunung dengan tinggi menjulang di antara pohon-pohon lainnya, seorang lelaki berjaket kulit hitam berdiri di dahan tertinggi pohon tersebut. Ia berdiri bak paku yang menancap di sebuah kayu, tak goyah sedikit pun meski sesekali angin membuat puncak pohon tersebut bergerak-gerak kencang.

Mata lelaki itu juga terpejam, dengan telapak tangan kanannya menempel pada pokok utama pohon tersebut, sedang tangan kirinya diposisikan tepat di depan dada, dengan jari telunjuk dan jari tengahnya tegak lurus berdiri, sedang sisa jemarinya terlipat ke dalam. Napasnya pun terembus dengan begitu teratur. Usia lelaki itu pun hanya terpaut dua tahun di atas usia perempuan di atas altar batu tadi, dengan perawakan tubuh yang tegap dan kekar, ditopang dengan bahu lebar yang terlihat kokoh ditempa usia.

Hingga tiba-tiba, mata lelaki itu terbuka lebar, ketika lewat telapak tangannya yang menempel di batang pohon, ia merasakan derap langkah dari kejauhan mendekat. Ya.. ia bisa merasakan pergerakan seluruh pergerakan benda yang ada di sekitarnya, dengan catatan pergerakan tersebut berada dalam jarak tiga kilometer dari tempatnya berdiri, serta apapun yang menjadi sumber gerakan tersebut terhubung dengan tanah. Ia bisa merasakan itu semua, langkah-langkah kecil binatang hutan, rayapan binatang-binatang melata, hinggapan kaki burung-burung di pohon lain, bahkan ia bisa merasakan ketika sebuah daun terjatuh di atas tanah.

Namun dari semalam, ia tak menangkap pergerakan langkah kaki manusia, dan baru pagi ini saja ia merasakan pergerakan itu. Tangan kirinya yang berposisi di depan dada langsung ia turunkan, matanya menatap ke arah kabut tebal yang menutupi puncak bukit di hadapannya, dan kabut tersebut benar-benar tebal, takkan mampu ditembus oleh pandang. Ia tersenyum teduh, lalu mulai mengencangkan tapak tangannya di pokok pohon cemara tersebut. Mencoba menelaah jaraknya dengan jarak langkah yang ia rasakan.

Cukup jauh..

Batin lelaki itu, lalu ketika ia hendak bergerak menuruni puncak pohon tempatnya berdiri. Ia merasakan derap langkah tersebut berhenti, alis lelaki itu tertaut, mencoba berpikir. Sebelum satu detik kemudian ia merasakan dua hentakan kaki rapat, terjeda dua detik, lalu menghentak lagi sebanyak dua kali. Lelaki itu lalu tersenyum lebih lebar.

Mang Diman..

Batin lelaki tersebut ketika mengetahui bahwa langkah yang datang mendekat adalah langkah dari seseorang yang ia kenal. Dengan cepat dan lincah lelaki berjaket kulit tersebut menuruni dahan demi dahan secara ringan, sebelum sedetik kemudian sudah melesat menuruni lereng jurang tersebut. Ia harus turun bukit untuk menemui Mang Diman, sebab tak mungkin bagi lelaki tua tersebut untuk mendaki jurang di mana ia berada. Jikalau pun memaksa untuk ke puncak bukit, orang-orang harus memutari lereng bukit, lalu naik dari arah timur yang lebih landai, itu pun dengan jalur yang masih sangat rapat dan lebat, sebab memang tempat ini bukanlah suatu tempat yang ingin dikunjungi oleh siapa pun.

Sebab tidak ada yang menarik di atas puncak bukit ini, selain hutan berpohon-pohon tinggi dengan vegetasi lebat. Tidak ada air terjun, tidak ada sungai, hanya hutan belantara dengan kontur kemiringan yang benar-benar tak menarik perhatian. Kecuali untuk orang-orang yang memiliki kepentingan khusus saja tentunya.

Lelaki berjaket kulit itu terus menuruni jurang dengan lincahnya, kakinya berpindah dari satu akar ke akar lainnya. Melonjak dari dahan satu ke dahan lainnya. Begitu lihai dan cekatan, tangkas dan penuh kewaspadaan. Kaki-kakinya kuat dan cepat bak serigala yang tengah mengejar mangsa, napasnya tenang, dengan telinga dan mata yang selalu dijaga ketajamannya.

Hingga setelah lebih dari lima menit ia melompat kesana dan kesini, ia pun tiba di bagian jurang yang mulai melandai. Ia memperlambat gerak tubuhnya dengan cepat, ketika pandangannya mendapati seorang lelaki paruh baya dengan napas terengah membawa sebuah rantang dan botol air mineral besar di kedua tangannya. Melihat kedatangan lelaki berjaket tersebut, lelaki paruh baya yang namanya digumamkan sebagai Mang Diman pun menghentikan langkahnya yang berusaha mendaki bukit, langsung lega dan menjatuhkan tubuhnya di rerumputan, mencoba mengatur napas.

Sreeekk.. Dab..

Kaki lelaki berjaket yang turun dari perbukitan pun dengan tegas menghentak tanah, berpijak dengan kuat dan langsung menghentikan lajunya. Sedikit pun.. sedikit pun.. napasnya tak terengah sama sekali. Berbanding terbalik dengan orang di hadapannya yang sudah luruh ke tanah karena kelelahan.

“Huhh.. Hah.. ini Pak.. sara.. pannya.. huh..” Mang Diman yang terduduk dengan berselonjor kaki mengulurkan kedua tangannya, menyodorkan rantang dan botol air mineral besar di kedua tangannya.

“Duh Mang.. kan saya udah bilang.. ndak usah dibawain ke sini, jadi kembang kempis kan napas Mamang..” Sahut lelaki berjaket kulit seraya menerima rantang dan air mineral yang disodorkan padanya, kemudian ikut duduk di atas tanah, bersila kaki. Meski secara status ia adalah tuan dari Mang Diman, namun lelaki berjaket tersebut tak pernah kehilangan adab dan kesopanannya. Karena bagaimana pun umur Mang Diman jauh lebih tua.

“Ya abis Bapak sama Ibu enggak turun-turun.. Mamang kan khawatir..” Ucap Mang Diman sembari meluruskan kakinya, mengurut-ngurut pelan betisnya sendiri.

‘Hehehe.. Nganu Mang.. Maaf.. Rengganis masih belum selesai kayanya.. Masih khusyuk banget..” Timpal lelaki berjaket kulit tersebut seraya mulai membuka tutup botol di tangannya, lalu menyodorkan botol tersebut pada Mang Diman.

“Loh.. ini buat Pak Saka kok.. Mamang nanti minum di rumah aja..”

“Boten nopo-nopo Mang.. diminum dulu.. biar Mamang kuat sampe perkampungan..” Lelaki berjaket kulit tersebut menyentuh tangan Mang Diman seraya memaksa lelaki paruh baya di hadapannya untuk meminum air tersebut. Mang Diman pun mengalah.

“Atuh Pak Saka dulu kalau gitu yang minum,,”

“Uwis.. Mamang dulu aja, aku loh belum haus-haus banget..”

Kedua lelaki berbeda umur hampir 15 tahun itu pun saling melempar senyum, senyum tulus saling mengasihi. Bagi lelaki berjaket tersebut, Mang Diman sudah ia anggap seperti Ayah sendiri. Sedang bagi Mang Diman, tuannya itu sudah ia anggap seperti anaknya sendiri. Seolah sudah pudar hubungan antara Tuan dan bawahan di antara mereka, yang ada adalah kasih sayang laksana keluarga sendiri.

Mang Diman pun mengangguk, dan dengan perasaan segan bercampur haru ia meneguk air tersebut sebatas untuk membasahi tenggorokannya. Setelah itu ia serahkan botol tersebut pada Tuannya, yang langsung diterima dengan senyuman teduh. Lelaki berjaket kulit itu pun gantian meneguk air di botol plastik itu, berusaha mengentaskan dahaganya semalaman ini. Setelah itu ia tutup kembali botol tersebut.

“Uwis.. kalau gitu aku ke atas lagi yo Mang.. Mamang istirahat aja dulu, habis itu baru balik yo..” Lelaki berjaket kulit itu menepuk bahu Mang Diman, lalu berdiri dan pamit untuk kembali ke puncak bukit. Mang Diman mengangguk dan melepas kepergian orang di hadapannya dengan senyum haru.

Sedang Saka, lelaki berjaket kulit yang tengah dipandangi Mang Diman sudah melompat-lompat lincah dari satu pijakan ke pijakan lainnya, kedua tangannya menenteng masing-masing rantang dan air mineral. Kepalanya menengadah, memperhatikan baik-baik jalur curam di hadapannya, berusaha secepat dan selincah yang ia bisa. Hingga tanpa terasa, ia sudah kembali mencapai areal puncak bukit tersebut, tadinya ia hendak naik terlebih dahulu ke atas pohon di mana ia menunggu semalaman.

Nama lengkapnya adalah Saka Agra, yang jika diartikan berarti dahan paling tinggi. Nama tersebut diberikan kedua orangtuanya bukan tanpa alasan, karena selain sebuah nama, dua suku kata tersebut adalah sebuah gelar yang diberikan ketika Saka lahir. Sebuah nama yang pada akhirnya membuat Saka memiliki garis takdir yang sudah ditentukan pakemnya, harus menjadi dahan peling tinggi di tempatnya berasal.

Sedang perempuan yang tengah berkalang pekatnya kabut di puncak bukit sana tak lain adalah pasangan hidupnya, belahan jiwa sang dahan tertinggi, yang selamanya akan terus ia cintai hingga tiada lagi napas yang terhela ke dalam dirinya sendiri. Rengganis.. perempuan itu adalah alasan utama seorang Saka menjelma menjadi Saka yang penuh determinasi dan tanggung jawab seperti sekarang. Dan Saka merasa amat bersyukur karena bisa memperisteri seorang perempuan tersebut. Perempuan yang memiliki garis hidup tak berbeda jauh dengannya. Sudah serba disuratkan dan digariskan.

Saka berhenti sejenak, ia yang tadinya berniat naik kembali ke atas pohon cemara gunung tersebut memutuskan untuk mengurungkan niatannya, itu disebabkan karena kabut yang menyelimuti puncak bukit tersebut sudah tidak setebal sebelumnya, sudah bisa ditembus oleh sapuan matanya. Maka Saka pun segera melonjakkan kaki untuk menggapai puncak utama bukit tersebut, tempat di mana Rengganis tengah khusyuk bermeditasi semalaman.

Dan sesampainya ia di tanah lapang yang menjadi bagian utama puncak bukit tersebut, Saka segera memperlambat langkahnya, karena meski kabut yang menyelimuti sudah tidak sepekat dan setebal sebelumnya, namun tetap saja, mata lelaki itu hanya mampu menangkap visualisasi sebatas tiga meter jauhnya. Dan Saka faham betul, ia takkan bisa masuk tanpa izin.

“Dek..” Seru Saka dengan suara lembut, dan seketika saja, kabut yang menyelimuti pandangannya memudar. Namun hanya kabut yang berada lurus di depannya saja yang pergi, sedang kabut di kanan kiri dan belakangnya tetap mengungkung.

Kabut yang di hadapannya yang menghilang membuat semacam lorong lurus yang menuju pada satu pemandangan indah, dan pemandangan indah tersebut tak lain adalah tubuh indah nan molek milik perempuan yang masih bersimpuh di atas altar batu, membelakanginya. Saka pun tersenyum, dipandanginya bahu putih milik Rengganis dengan penuh untaian syukur, kemudian mulai melangkahkan kaki dengan tegap, membawa tubuhnya untuk mendekat.

Dan setiap langkahnya terayun, di setiap jejak langkah yang ia tinggalkan, kabut di belakangnya pun bergerak saling mendekat, menyatu kembali. Hingga ketika ia sudah berada tepat di belakang Rengganis, kabut di belakangnya pun menutup dengan sempurna. Namun kabut memberi semacam ruang berbentuk kubah di sekitar dua orang tersebut.

Dengan pelan, Saka meletakkan barang bawaannya di atas rerumputan. Kemudian kedua tangannya dengan lembut mengusap sepasang bahu yang terbuka di hadapannya, kepalanya ia dekatkan, lalu bibirnya dengan lembut mengecup puncuk kepala perempuan kecintaannya itu, membuat Rengganis sedikit menggeliat lembut.

“Perkiraan kita benar Mas.. pelindung tanah selatan udah enggak ada..” Rengganis berucap dengan bibir bergetar, matanya yang semalaman tertutup mulai terbuka, dan bersamaan dengan itu, bulir air mata turun menghangat di pipinya.

Sedang Saka di belakangnya terdengar menghela napas berat. Ia dan sang Isteri sudah memperkirakan ini sebelumnya, namun menerima kepastian bahwa sang pelindung tanah selatan benar-benar sudah tak ada, bukanlah sesuatu yang menyenangkan untuk didengar.

“Apa ndak ada yang tersisa Dek? Sesuatu yang mungkin ditinggalkan untuk kita dan yang lain? Atau mungkin pewaris?” Ia bertanya seraya menurunkan kedua telapak tangannya dari bahu, mulai mengelusi lengan Rengganis dengan usapan yang amat lembut, bisa Saka rasakan betapa dingin kulit dari lengan putih nan padat itu, yang halus bak kain sutera.

“Sebagian dari Sashara Lamuk yang aku sebar di sekitar Saung Ageng enggak ngerasain apa-apa Mas.. aku juga udah nyebar sebagian yang lain ke sepenjuru wilayah itu, tapi nihil Mas. Aku enggak menemukan apapun..” Rengganis menjawab dengan suara lirih nan berat.

Sashara Lamuk yang dibicarkan Rengganis tak lain adalah sebuah kemampuan khusus yang keberadaannya hampir punah dewasa ini. Sebuah kemampuan yang membuat seseorang yang menguasainya dapat mengirim kabut ke suatu tempat atau tujuan guna merasakan apa saja yang berada di tempat tersebut. Kurang lebih seperti mengirim suatu alat pengintai, namun bedanya ini bukanlah sebuah teknologi, ini adalah sebuah kuasa kemampuan yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Dalam bahasa leluhur, Sashara Lamuk berarti seribu kabut. Sebuah kemampuan tingkat tinggi yang hanya dikuasai garis keturunan terpilih. Namun faktor darah saja tidaklah cukup, Rengganis tentunya harus menjalani berbagai bentuk latihan berat, latihan yang mengasah fisik maupun jiwanya. Dan perempuan tersebut, bisa dibilang telah mencapai tingkat tertinggi dari ajian lamuk. Karena selain Sashara Lamuk yang ia kirim ke tempat-tempat nun jauh dari keberadaannya saat ini, ia juga menguasai kemampuan lamuk lain.

Dan kabut tebal yang melingkupi puncak bukit tersebut adalah salah satu kemampuan yang ia miliki. Kemampuan membuat kabut tebal nan pekat yang ia lakukan saat ini disebut dengan Segara Lamuk, yang memiliki arti samudera kabut.

Jika Sashara Lamuk berguna untuk mencari informasi, maka Segara Lamuk berfungsi sebagai sebuah perlindungan dan perisai. Kemampuan ini akan mengaburkan pandang orang-orang yang berada dalam jangkauannya. Dan membuat siapapun akan kehilangan indera penglihatannya, dan jika energi orang yang menguasainya diperkuat dan ditingkatkan, maka Segara Lamuk bisa juga berubah menjadi kemampuan yang bisa diandalkan untuk menyerang.

Di mana uap-uap air yang berada di dalam kabut Segara Lamuk akan bertransformasi menjadi uap panas untuk melukai lawan, bahkan lebih dari itu, jika energinya dipusatkan dengan penuh, maka uap-uap di dalam Segara Lamuk akan berubah menjadi semacam cairan asam yang akan merusak paru-paru siapa saja yang menghirupnya, sebuah kemampuan yang benar-benar perlu pengorbanan besar untuk menguasainya. Pun dalam penggunaannya, akan memakan energi yang cukup banyak dari penggunanya.

“Apa yang harus kita lakukan Mas?” Tanya Rengganis seraya menolehkan wajah pada suaminya yang terus mengelusi lengannya dengan lembut. Kepalanya sedikit menengadah, matanya menyelami tajam tatapan lelaki yang selama ini selalu berada di sisinya, mendampinginya, dan mencintainya dengan begitu besar.

“Nanti kita pikirin sama-sama ya Dek, sekarang biarkan Sashara Lamuk menyebar lebih luas mengikuti embusan angin, mungkin dengan begitu, salah satu dari ‘mereka’ akan menemukan sesuatu..” Jawab Saka seraya memberikan kecupan lembut pada kening Rengganis. Lalu ikut duduk di atas altar batu tersebut, bersisian.

Tanpa bantahan, perempuan berkain jarik itu pun kembali menghadapkan wajahnya lurus ke depan, lalu dipejamkan matanya dalam-dalam, samar-samar dari balik kelopak matanya garis-garis cahaya putih bergerak samar-samar, terang-redup treang-redup. Dan bersamaan dengan itu, urat nadi di masing-masing pergelangan tangannya terlihat sedikit bercahaya, seolah ada suatu sinar yang tengah mengalir di masing-masing urat nadinya, memancarkan cahaya kebiru-biruan yang terlihat kontras dengan putih kulit tangannya.

Hingga beberapa detik kemudian, samar-samar cahaya di pergelangan tangannya maupun di kelopak matanya yang tertutup meredup seketika. Bersamaan dengan itu, sebuah lesakkan energi terlepas dari tubuhnya, energi tesebut terasa sedikit menyentak sekitar, membuat kabut di sekeliling mereka seperti terdorong sesuatu.

“Segara lamuknya juga dilepas aja Dek, aku udah ngecek keseluruhan daerah ini.. semuanya aman.. Ndak ada pergerakan energi yang mencurigakan..” Ucap Saka lagi seraya memberi kecupan pada bahu Rengganis. Perempuan itu pun mengangguk, dan dengan perlahan ia melepaskan tautan antara jari tengah dan ibu jarinya, dan perlahan.. pekat kabut pun mulai tersapu angin perbukitan. Mata Rengganis terbuka perlahan, tubuhnya mendadak terasa amat lelah.

Saka sudah lebih dari sekedar hafal kondisi tubuh isterinya, segera menahan tubuh Rengganis dengan sepasang lengan kekarnya. Kemudian dibawanya tubuh Rengganis masuk dan bersandar pada dadanya, dielus lembut rambut perempuan itu, dikecup lembut kening sang isteri, dipeluknya erat-erat tubuh Rengganis, begitu erat dan begitu dalam.

Mereka sama-sama berbagi beban berat yang berada di pundak, berbagi rasa kalut dan kesedihan, berbagi kecamuk batin yang dipenuhi kekhawatiran, menyatu dalam satu rasa satu penanggungan.

“Aku janji.. aku ndak akan biarin orang-orang Hematala nyentuh keluarga kita Dek..” Ucap Saka lirih di telinga Rengganis, perempuan itu dengan pelan mengangkat wajahnya, menatap wajah lelaki yang begitu ia cintai dengan penuh perasaan.

Rengganis memberikan senyuman manis, kemudian tangannya bergerak menyentuh pipi Saka, dielusnya lembut rahang tegas milik Sang Suami. Ditatapnya dalam-dalam mata Saka, lalu didekatkan wajahnya pada wajah lelaki tersebut.

CUPP…

Rengganis mengecup lembut bibir Saka, lalu kembali menenggelamkan wajahnya pada dada lelaki yang menjelma bak tembok kokoh baginya. Dipeluknya erat-erta tubuh Saka, dihirupnya aroma tubuh lelaki tersebut, aroma yang selalu berhasil memabukkan Rengganis, aroma yang selalu membuat Rengganis merasa tenang.

“Kita Mas.. aku dan kamu.. kita jaga keluarga kita sama-sama ya..” Rengganis berucap dengan lirihnya di dalam pelukan sang suami. Sedang Saka yang mendengar itu meneteskan air matanya, tanpa bisa dilihat oleh sang isteri.

Batinnya bergejolak, betapa ia hanya ingin kehidupan yang baik-baik saja, kehidupan seperti kebanyakan keluarga pada umumnya, tanpa perlu khawatir akan bayangan masa lalu yang selalu menghantui masa depan keluarga mereka. Saka menyeka pipinya dengan cepat, tak ingin rengganis melihat bulir air matanya, sebab ia adalah pelindung bagi keluarganya, tak seharusnya ia menangis di depan orang yang berada dalam lindungannya.

“Sarapan dulu ya Dek.. biar badanmu ndak terlalu lemes..” Ujar Saka seraya mulai mengendurkan pelukan pada tubuh isterinya. Rengganis mengangguk, lalu bersama-sama, mereka pun turun dari altar batu itu, duduk beralaskan rerumputan yang masih basah oleh embun.

Ditemani kemilau fajar yang merangkak naik di dari balik perbukitan, kedua insan dengan hati bertautkan cinta kasih dan keinginan saling melindungi itu pun menyantap hidangan yang sudah disediakan. Sebuah panganan tradisional berupa nasi ketan yang dibalur kelapa muda, serta beberapa buahan, mereka mengisi perut mereka yang semalaman tak mendapatkan asupan apa-apa.

Senyum saling mengembang, lirikkan cinta menguar di antara pergi dan datangnya angin perbukitan, hingga tanpa terasa, hidangan-hidangan di hadapan mereka sudah tandas sepenuhnya. Rengganis dan Saka bahu membahu membereskan rantang, bergiliran meneguk air, lalu saling duduk bersandar pada altar batu di belakang mereka, menikmati bentangan alam yang semakin terang terlihat keindahannya.

“Tenang banget ya Dek..” Gumam Saka dengan pandangan menyebar, menikmati siluet laut dengan hiasan perbukitan yang menjulang melingkari.

“Iya Mas.. kapan ya kita bisa wujudin mimpi kita? Tinggal di daerah perbukitan yang sepi, dan jauh dari segala hiruk pikuk kehidupan ini..” sahut Rengganis seraya menyandarkan kepalanya di bahu Saka.

Lelaki itu tersenyum, meski usia mereka sudah tidak semuda dulu, namun cinta kasih dan keromantisan di antara dua insan itu tidak pernah berkurang. Saka menggerakkan lengannya, ditempatkan untuk merangkul rengganis, kemudian ia usap lembut lengan yang bak bunting padi nan mulus itu.

“Nanti Dek.. Setalah semuanya selesai, kita akan wujudin mimpi kita itu.. sama-sama. Tapi sekarang, kita harus memastikan bahwa jalan untuk mewujudkan mimpi tersebut tetap ada.” Ujar Saka seraya memberi kecupan pada kepala Rengganis.

Perempuan itu tersenyum haru, dilingkarkannya kedua lengannya memeluk tubuh sang suami. Dipejamkan matanya dalam-dalam, lalu dialirkan kembali energi dalam dirinya ke ujung-ujung jemari, dan perlahan namun pasti, dari tubuh Rengganis kembali keluar kabut tipis, yang ketika sudah berjarak dua meter darinya, langsung menebal dengan mandiri, menutupi kembali areal puncak bukit tersebut, hanya menyisakan ruang di sekitar altar batu saja.

Sadar akan itu, Saka segera menatap isterinya, wajah Saka khawatir, dengan lembut ia memegang dagu rengganis, mengangkat wajah sang isteri untuk menatapnya.

“Apa aku lalai Dek? Apa ada yang datang? Apa keberadaan kita sudah terdeteksi? Tapi kenapa.. kenapa aku ndak ngerasain ada yang..” Saka berkata panjang lebar dengan penuh kegelisahan. Namun ketika perasaan was-was mulai melingkupi hatinya, jemari Rengganis tiba-tiba sudah diposisikan tepat dikulit bibirnya, membuat Saka menghentikan semua kalimat yang keluar dari bibirnya.

“Sssstt.. enggak akan ada yang datang Mas..” Ujar Rengganis seraya mengelus tepi bibir Sang Dahan Tertinggi. Senyum perempuan itu mengembang, wajahnya perlahan ia dekatkan pada wajah Saka. Sedang lelaki itu seperti terhipnotis, diam tak bergeming.

CUPPP

Rengganis dengan lembut menempelkan bibirnya ke bibir Saka, telapak tangan perempuan itu dengan lembut mengelus pipi sang suami yang ditumbuhi brewok kasar dengan panjang tak lebih dari 1cm. Mendapati lumatan lembut yang diberikan oleh Rengganis, Saka pun membalas lumatan tersebut dengan membuka sedikit bibirnya, dan menangkap bibir bagian atas Rengganis, dikecupnya lembut lalu dilepasnya bibir itu.

Kedua tangan Saka langsung memegang pipi Rengganis, perempuan di hadapannya itu selalu terlihat cantik dan indah bak dewi khayangan. Saka mengelus lembut pipi isterinya, diselipkan rambut bagian samping rengganis ke belakang telinga, diberinya senyum terbaik untuk membalas senyuman indah di hadapannya.

“Apa ndak sebaiknya kamu istirahat dulu Dek? kamu loh udah terlalu banyak ngeluarin energi kamu.. aku masih bisa nunggu kok..” Ujar Saka sungguh-sungguh. Karena meski nafsunya selalu menggebu bak lahar mendidih ketika bersama Rengganis, namun ia tak pernah mengedapankan nafsu birahinya itu, ia selalu mengutamakan sang isteri kecintaannya tersebut.

“Aku yang enggak bisa nunggu Mas.. dan aku enggak mau biarin kamu nunggu aku..” sahut Rengganis seraya melingkarkan lengannya di leher Saka. Wajah mereka kembali mendekat, kini justru Saka yang menyambar terlebih dahulu bibir Rengganis, dilumatnya bibir bagian bawah sang isteri dengan lembut namun penuh akan birahi dan cinta kasih.

Rengganis membalas lumatan Sang suami dengan tak kalah mesranya, bibirnya bak mencari celah di antara batu karang, mencoba masuk menyelusup. Hingga Saka sadar akan itu, diberikannya jalan bagi Rengganis untuk mulai memasuki tubuhnya. Dan tanpa menunggu lama, lidah Rengganis sudah berada di dalam mulut Saka.

Saka menyambut hisapan demi hisapan dari sang isteri dengan tak kalah lihainya, dibelitkan lidahnya pada lidah Rengganis yang menerobos masuk, liur mereka sudah menjadi satu kesatuan. Perlahan namun pasti, kedua tangan Saka yang tadinya berada di pipi Rengganis mulai turun, kini kedua tangan tersebut seperti kompak membagi tugas. Yang kanan mengelusi leher dan tengkuk Rengganis, sedang yang kiri mengelusi bahu Rengganis yang putih dan dingin itu.

“Mass.. Jangan curang..” Ujar Rengganis sembari menarik bibirnya dari pagutan sang suami. Saka mengerti kata-kata tersebut.

“Maaf Dek..” Ujar lelaki itu seraya menarik kedua tangannya dari tubuh Rengganis. Dengan telaten Rengganis pun melepaskan jaket kulit yang dikenakan oleh Saka, meloloskan dari masing-masing lengan suaminya. Lalu dilipastnya jaket tersebut dan diletakkan di atas altar batu. Setelah itu Rengganis lanjut membuka kaos hitam yang melekat ditubuh Saka, menariknya ke atas hingga terlepas. Dan Saka.. ia seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, menurut dan mengangkat kedua tangannya.

Stelah itu, Rengganis membelai lembut bulu dada Saka, digerakkan jemarinya dengan lentik di sana. Saka seperti terbakar lewat belaian itu, nafsunya yang hampir seminggu ini tak tersalurkan pun bergejolak bak api yang melahap jerami.

Direngkuhnya tubuh Rengganis ke dalam pelukannya, dan bibirnya langsung menyergap leher sang isteri, menghirup dalam-dalam harum aroma tubuh Rengganis yang selalu berhasil membuatnya luluh lantak, dikecupnya kulit leher Rengganis dengan lembutnya, dengan sesekali jilatan ia sarangkan di sana, membuat tubuh Rengganis bergidik hebat.

Rengganis menenggelamkan wajahnya di dada Saka, mencium dan menjilati dada berbulu sang suami. Saka yang semakin terbakar nafsunya pun membawa bibirnya turun untuk menciumi bahu terbuka Rengganis, tangannya dengan cekatan mengelusi pungggung Rengganis. Merayap ke bagian samping tubuh perempuan itu, lalu melepas kaitan kain yang berada di bawah ketiak Rengganis.

Bibirnya kini berpindah, kembali naik menyusuri leher Rengganis, terus naik hingga ke telinga sang isteri, dan untuk sesaat bergerilya di sana, mencium dan mengecup telinga Rengganis dengan begitu mesranya.

“Kamu satu kecintaanku Dek..” Bisiknya di tengah gemuruh nafsu.

Mendengar bisikan mesra itu, Rengganis menggerakkan wajahnya, lalu dengan mesra memagut bibir Saka, mengcup dan menyesap bibir dari pria yang selalu dicintainya itu. Saka membalas pagutan Rengganis dengan kuat, tangannya perlahan menurunkan kain yang dengan lemah masih melilit tubuh sang isteri. Tubuh bagian atas rengganis pun akhirnya terbuka dengan penuh, dan seolah tak ingin membuang waktu, Saka langsung menangkupkan kedua telapak tangannya di gundukkan padat nan kencang milik Rengganis, diremas lembut payudara indah itu dengan sepenuh perasaan, membuat Rengganis tak henti-hentinya menggeliat geli.

Napas mereka pun semakin memburu, terlebih ketika jemari Saka dengan nakalnya bermain di sekitar putting merah muda milik Rengganis, namun tak menyentuhnya sama sekali. Membuat Rengganis keblingsatan bukan main. Dan Saka, ia seolah menjelma menjadi pengendali nafsu yang baik tiap kali bercinta dengan sang istri.

Diberikannya remasan lembut di kedua payudara Rengganis, membuat perempuan itu semakin kuat menghisap bibir Saka. Lidah mereka bak dua mahluk yang saling merindu, menari-nari dengan liar di atas sana. Dan Saka tak ingin menyiksa istrinya lebih lama lagi, kedua tangannya yang sedari tadi meremas tanpa menyentuh putting itu mulai tahu diri.

Dengan begitu mesra, Saka pun menempatkan jemarinya untuk memilin putting Rengganis, membuat seketika itu juga ciuman kedua insan itu terlepas, sebab Rengganis seperti tersengat aliran listrik yang maha dahsyat, membuat kepalanya terdongak ke langit dengan mulut terbuka lebar.

“Ahhhh.. Masss..” Pekik Rengganis memecah keheningan puncak perbukitan itu.

Melihat hal tersebut, Saka pun menenggelamkan wajahnya di leher sang istri. Dikecup dan dihisapnya kembali leher putih nan mulus itu, dengan telapak tangan yang terus menerus memberikan remasan di kedua payudara Rengganis, membuat Rengganis semakin mengeratkan pelukannya pada leher Saka, seolah tak ingin kehilangan kenikmatan yang diberikan sang suami kepadanya saat ini.

Bibir Saka pun perlahan turun, inchi demi inchi, hingga kemudian berhenti di bagian atas payudara Rengganis. Dengan gairah yang kian membuncah, Saka mengecup, menghisap dan menjilati payudara bagian atas Rengganis secara konstan, berharmoni dengan kedua telapak tangannya yang terus memberikan remasan.

Kemudian kepala Saka bergerak ke payudara sebelah kanan Rengganis, lidahnya bak pena yang tengah menari di atas kertas putih, menjalar begitu tegas sampai kemudian berhenti di putting sang istri. Dilahapnya putting kemerahan muda yang sudah tegak mengacung tersebut, dengan sesekali lidahnya memberikan jilatan untuk memainkan daging menonjol yang menjadi kegilaannya itu.

“Uhhhh.. Mas… Ssshhh..” Rengganis mendesis dengan parau, tubuhnya menggeliat menikmati rangsangan yang diberikan sang suami, tubuhnya semakin terangkat, punggungnya semakin melenting ke belakang. Seolah meyajikan payudaranya dengan penuh kepada sang suami.

Kini bibir Saka sudah melahap sepenuhnya puncak bukit milik Rengganis, tangan kirinya tetap memberikan remasan di payudara kiri Rengganis. Sedang tangan kanannya perlahan turun ke bagian perut Rengganis, mengusap lembut di sana. Lalu dengan lembut menyingkap kain jarik yang masih tersangkut di bagian bawah tubuh sang istri.

Tanpa menunggu waktu, jemari Saka pun bergerilya menuruni perut Rengganis, bermain sebentar di pusar sang istri, lalu berhenti di bagian atas gundukan daging yang tersembunyi di antara paha Rengganis. Bulu-bulu halus yang ada di bagian atas vagina Rengganis pun seperti meremang mendapatkan sentuhan itu, dan Saka dengan amat telaten memberikan usapan jemari di vagina sang isteri yang selalu membuatnya jatuh lagi dan lagi.

“Msss… sssshhhh..” Rengganis terus mendesis merasakan kenikmatannya, usapan dari Saka benar-benar membuatnya seperti terbang ke ujung khayangan. Usapan di bibir vaginanya yang sudah begitu basah, dikolaborasikan dengan remasan lembut di payudara kirinya, serta hisapan dan jilatan mesra di payudara kanannya, sungguh.. Rengganis benar-benar sudah terbang ke ujung khayangan saat ini.

Jemari Saka yang berada di bawah sana terus bermain, yang tadinya hanya membelai bibir vagina sang isteri, kini salah satunya mulai menyelusup masuk, membuat Rengganis bergetar bukan main ketika dirasakan jari besar berotot menggesek bagian dalam vaginanya. Untuk kesekian kali, kepala Rengganis menengadah ke angkasa, birahinya seperti tengah dibakar ketika dengan lembut jari tersebut mengocok vaginanya, tubuhnya bahkan sesekali terlonjak saking nikmatnya. Lenguhan demi lenguhan terus mengudara dari bibir indah perempuan itu.

Sadar isterinya sudah dikuasai nafsu, Saka berangsur-angsur mengeluarkan jarinya dari vagina Rengganis, kemudian dengan cepat ia merengkuh tubuh Rengganis ke dalam pelukannya, dan Rengganis bak sudah kehilangan segala daya dan upaya, pasrah pada kekar dan kuatnya tenaga dari sang suami.

Kedua tangan Saka kini sudah kembali berada di punggung rengganis, hanya bibirnya saja yang masih sibuk memberikan rangsangan pada kedua payudara sang istri secara bergantian. Lalu dengan lembut, Saka mengangkat tubuhnya, bangkit dari posisinya saat ini, dengan Rengganis yang tetap berada dalam rengkuhannya. Dan seolah mengerti, Rengganis dengan cepat membelitkan kakinya ke tubuh bagian bawah Saka, dengan pelukannya yang dipererat.

Setelah berdiri dengan penuh, Saka pun memutar tubuhnya, kemudian dengan amat lembut ia baringkan Rengganis di atas altar batu. Ia melakukannya dengan amat pelan dan hati-hati, tak ingin menyakiti Rengganis, sebab altar batu ini tidaklah seempuk kasur di kamar mereka. Saka menempatkan kepala Rengganis pada jaket dan kaosnya yang sedari tadi sudah tanggal. Kepalanya ia angkat dari payudara Rengganis, lalu dengan mesra ia pagut sang istri.

“Aku cinta kamu Dek..” Ucap Saka ketika pagutan mereka terlepas, matanya dalam-dalam tenggelam dalam sepasang kolam yang berada di kelopak mata sang isteri.

“Aku juga cinta kamu Mas..” Balas Rengganis dengan tangan mengusap lembut pipi Saka. Lelaki itu menggeliatkan kepalanya, lalu memegang pergelangan tangan Rengganis, kemudian dikecupnya bagian dalam pergelangan tangan tersebut.

Rengganis tersenyum, ia tahu betul bahwa suaminya sudah dibakar oleh birahi, namun Rengganis juga tahu, bahwa Saka bukanlah tipe lelaki yang mau menang sendiri, dari itu.. Rengganis hanya bisa pasrah menunggu pada setiap permainan cinta yang dilakukan oleh Saka.

Saka pun kembali menurunkan tubuhnya, kedua tangannya kembali meremas payudara Rengganis, bibirnya terus bergerilya dari satu puncak bukit, ke puncak bukit yang lain. Memberikan kenikmatan pada Rengganis yang hanya bisa mendesah dan melenguh. Dari payudara, Saka membawa bibirnya turun, dikecupinya inchi demi inchi kulit putih Rengganis, ia mainkan lidahnya sesekali, ia berikan gelitikan pada pusar perempuan tersebut.

Hingga bibirnya kembali turun, dan tipa di bagian atas vagina milik sang istri, kedua tangan Saka lekas membantu dengan merenggangkan paha Rengganis. Kecupan demi kecupan Saka berikan, hisapan demi hisapan di sekitar bibir vagina Rengganis, membuat Rengganis berkejat-kejat karena menahan nikmat. Hingga teriakannya kembali menguar hebat, tatkala lidah Saka mulai menyapu bibir vaginanya, menyalurkan kenikmatan ke tiap-tiap ujung syaraf di tubuhnya, membawa Rengganis terbang ke langit tertinggin.

“Massss… uhhh.. sshhh..” Kepala Rengganis bergerak ke kanan dan ke kiri saking nikmatnya.

Sedang di bawah sana, Saka semakin liar memainkan lidahnya, disapu bagian liar hingga bagian dalam labia Rengganis yang harum bunga itu. Cairan kenikmatan yang keluar pun tak luput dari hisapan lidah Saka, membuat Rengganis benar-benar dimabuk kepayang.

Sapuan lidah Saka pun kini berubah menjadi tusukan-tusukan kecil ke bagian dalam vagina sang istri, membuat Rengganis semakin keras mendesah dan mendesis. Berkali-kali tangannya meremas rambut sang suami yang sejatinya hanya seoanjang satu sampai dua centi meter saja, selalu dipotong pendek.

“Masss.. geli… uhhh..” Lenguh Rengganis sesekali mengangkat kepalanya untuk melihat apa yang dilakukan sang suami. Sedang Saka seperti lupa diri, ia seolah asik sendiri pada aktivitasnya dalam memberi kenikmatan untuk Sang istri. Menyapukan dan menusukkan terus menerus lidahnya ke lubang vagina Rengganis, Saka semakin bergairah tatkala harus mengakui, bahwa vagina Rengganis tak pernah berubah, selalu terlihat sama seperti saat pertama kali mereka bersenggama.

Rengganis semakin dibuat gila, tubuhnya benar-benar menggigil menahan kenikmatan, membuat matanya sesekali terpejam menikmati service yang diberikan oleh suaminya itu.

“Massss… sshh.. enggak.. boleh.. cu.. curang ihhhhh..” Ucap Rengganis di sela-sela kenikmatannya, mendengar itu, Saka perlahan-lahan menghentikan aktivitasnya. Kepalanya terangkat untuk menatap wajah penuh gairah milik Sang Isteri.

“Maaf Dek.. aku kebablasan.. abis punyamu ituloh.. selalu berhasil bikin aku lupa diri..” Terang Saka seraya mengangkat tubuhnya, lalu menindih tubuh Rengganis, kedua tangannya bertopang di altar batu, sedang bibirnya melumat lembut bibir Rengganis.

“Hihihi.. gantian ah..” Bujuk Rengganis dengan kedua lengan sudah terkaliung di leher Saka.

“Dek.. ndak langsung aja? Aku ndak apa-apa kok kalau..”

“Ih mau curang ya! Aku ngambek nih kalau kamu kaya gitu..” Rajuk Rengganis seraya menciumi pipi suaminya. Saka tersenyum, lalu menegcup lembut bibir Rengganis.

“Aku milikmu Dek.. milikmu..” Ucap Saka ketika kecupannya selesai. Rengganis tersenyum, lalu perlahan.. denga bantuan Saka, ia pun bangkit dari posisinya, dan langsung memposisikan kakinya bersimpuh di atas altar batu.

Sedang saka dengan cepat mengakkan tubuhnya, dengan posisi masih di atas altar batu, ia menggunakan kedua lututunya untuk bertumpu. Sakit? Sedikit, namun demi Rengganis, apapun akan ia lakukan.

Rengganis dengan cekatan membuka ikat pinggang Saka, dan langsung menurunkan celana jeans sekaligus celana dalam Sang suami, yang oleh Saka dibantu dengan meluruskan kakinya bergantian, membuat celana tersebut sudah lepas dari tubuhnya. Kontan saja, sebuah benda panjang dan besar langsung terpampang di hadapan Rengganis.

Ukuran benda tersebut yang di atas rata-rata selalu membuat Rengganis harus terbelalak beberapa detik, terlebih.. penis suaminya itu memiliki bentuk kepala yang mirip seperti topi tentara, ditambah urat-urat yang ada di batang penis sang suami, benar-benar membuat Rengganis harus bergetar ketika mencoba untuk menyentuh pusaka milik suaminya itu.

“Ssshh.. Dek..” Desis Saka ketika batang penisnya mulai digenggam oleh Rengganis, meski sesungguhnya, lingkar jari rengganis pun tak cukup untuk menggenggam penis tersebut.

Rengganis tahu, seminggu belakangan ini suaminya sudah menahan gejolak nafsu yang teramat sangat. Dai itu, ia meminta suaminya agar ‘tidak curang’ tadi, karena Rengganis benar-benar ingin melayani suaminya dengan keadaan fit, tidak kepayahan di awal.

Kocockan Rengganis pun diselingi pijatan lembut, membuat Saka bahkan harus berpegangan pada pundak perempuan di hadapannya dengan kepala terdangak ke atas, dan kenikmatan itu semakin menjadi-jadi, tatkala lidah Rengganis mulai menyapu bagian kepala penisnya.

“Dekkkkk… uhhhh..” Lenguh Saka dengan tangan yang semakin mencengkeram bahu istrinya. Melihat suaminya yang mulai terbang di awan-awan kenikmatan, Rengganis pun semaki bersemangat menjilati kepala penis Saka, sesekali lidahnya bahkan mencucuk lubang kencing sang suami, membuat tubuh suaminya bergetar hebat.

Hingga dirasa cukup, Rengganis pun mulai memasukkan topi tentara di hadapannya itu ke dalam mulutnya. Meski sudah ribuan kali ia melakukan ritual pembuka persenggamaan dengan Sang Suami, namun bukan berarti ia akan dengan mudah memasukkan kepala penis tersebut ke dalam mulutnya.

Bahkan ia benar-benar harus melebarkan bibirnya, membuka semampunya gerbang mulutnya, untuk sekedar memasukkan bagian kepala dari pusaka tersebut. Inchi demi inchi, dengan segenap usaha, Akhirnya kepala penis milik Saka berhasil masuk ke dalam mulut Rengganis, menyalurkan kenikmatan yang tiada tara dan tanding ke kantong zakar milik Saka.

“Deeekkkkk… eeuuhhh… ndak usah dipaksa Dek..” Ucap Saka memberi pengertian pada istrinya yang masih berusaha membenamkan lebih dalam penis besar tersebut melewati bibir mungilnya

Dan Rengganis sadar, ukuran kepala penis suaminya yang besar, memang selalu membuatnya kesulitan untuk memberi service ini, bahkan seumur pernikahan mereka, belum pernah Rengganis berhasil mengoral sang suami secara menyeluruh, karena ia hanya mampu melahap sebatas bagian tengah batang penis itu.

Saka memandangi wajah sang istri yang terlihat sedikit kesulitan, dan tanpa terasa air matanya menetes jatuh, karena meski pun ini sebuah kenikmatan yang amat sangat baginya, namun ia tak pernah bisa melihat kecintaannya itu mengalami kesulitan, bahkan jika kesulitan tersebut memberikan kenikmatan bagi dirinya sendiri. Telapak tangan Saka dengan lembut membelai pipi Rengganis, mencoba memberi pengertian bahwa ia tidak perlu melakukan hal tersebut.

Namun Rengganis lebih dari sekedar tahu, meski ini sulit dilakukan, dan sedikit membuat suaminya itu merasa bersalah, sebagai seorang istri, ia memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan terbaik bagi suaminya. Dari itu, tanpa berani mengangkat wajahnya untuk menatap sang suami, Rengganis mulai memaju-mundurkan kepalanya secara pelan, membuat Saka benar-benar harus menahan gema aliran birahi yang menjalar ke ubun-ubunnya.

Rengganis menarik bibirnya sebatas bagian bawah kepala penis milik Saka, lalu memajukan kembali kepalanya, membuat batang milik lelaki tersbeut tenggelam sebagian, mengalirkan kenikmatan yang begitu dahsyat ke inti-inti perasaannya. Dan setelah lima menit lamanya, Rengganis mendapatkan elusan lembut di keningnya, pertanda Saka memintanya untuk menghentikan aktivitasnya.

Dan sebagai isteri yang begitu mencintai suaminya, Rengganis pun dengan lembut menarik kepalanya perlahan, hingga penis Saka pun akhirnya terbebas dari selimut hangat bibir miliknya. Tanpa menunggu lama, Saka langsung menurunkan tubuh dan memagut Rengganis dengan lembut, tangannya kembali membimbing Rengganis untuk berbaring, setelah itu ia terus melumat dan menghisap bibir istrinya.

Kedua tangannya pun sibuk dengan kegiatannya masing-masing, yang kiri sibuk meremasi bergantian payudara sang istri, sedang yang kanan sudah sibuk menari di vagina Rengganis yang sudah sangat basah, sesekali jarinya pun kembali masuk ke liang senggama sang isteri, mencoba mengeluarkan sebanyak mungkin. Setelah di rasa cukup, Saka pun merenggangkan paha Rengganis lebar-lebar, memposisikan dirianya di antara paha indah nan putih itu, ia tempatkan kedua sikunya di kanan dan kiri tubuh renggani, ia angkat wajahnya untuk melukis baik-baik indah wajah sang bidadari hatinya.

“Terimakasih ya Dek..” Ucap Saka seraya memberikan kecupan di kening Rengganis, perempuan itu tersenyum bahagia.

“Aku milikmu Mas.. hanya milikmu..” Sahut Rengganis dengan pasrahnya. Saka tersenyum, lalu mulai menurunkan tubuh bagian bawahnya, penisnya yang memang sudah berada di pintu gua milik Rengganis mulai ia tekan perlahan.

Membuat bibir vagina Rengganis mulai terbuka perlahan, baik Rengganis maupun Saka selalu menikmati ritual di mana kepala penis nan gagah itu menyeruak masuk. Bagi Rengganis, moment ini adalah moment di mana ia akan merasakan sensasi perih yang berbalur segunung desir kenikmatan, sedang bagi Saka, moment tersebut adalah moment di mana kelelakiannya di uji, karena Saka harus bisa sepenuh hati mengendalikan laju kenikmatan yang menyelimuti kepala penisnya agar tidak menyakiti sang istri,

“Uhhhhh,, sshhhh..” Rengganis mendesah dengan begitu lirih tatkala kepala penis Saka mulai memasuki lembah mungil miliknya.

Dengan perlahan, Saka terus melesakkan penisnya ke dalam liang kenikmatan milik Rengganis, membuat ujung-ujung kepala penisnya dialiri seribu kenikmatan sebab cengkeraman dinding-dinding vagina Rengganis yang terasa sesak.

Hingga akhirnya, kepala penis lelaki itu sudah masuk seluruhnya, membuat Saka menghentika tekanannya sejenak, memberikan waktu bagi liang senggama Rengganis beradaptasi terlebih dahulu. Tubuh Rengganis mengejan kuat,, kenikmatan yang bercampur sedikit rasa pedih membuat liang senggamanya semakin dialiri cairan pelumasnya sendiri.

Dan Saka yang selalu berusaha selembut mungkin pun membelai pipi istrinya dengan ujung-ujung jemarinya, menatap dalam-dalam hitam bola mata Rengganis yang berkaca-kaca sebab dilanda kenikmatan yang amat sangat. Bibir Rengganis tersenyum, kedua tangannya yang melingkar di leher Saka perlahan memberikan usapan di kepala bagian belakang sang suami.

“Aku beruntung banget memiliki kamu di ranah kehidupanku Mas..” Ucap Rengganis dengan sedikit menggeliatkan pinggulnya, membuat penis Saka beberapa inchi tenggelam lebih dalam.

“Aku yang beruntung bisa memiliki bidadari seindah dan sesempurna kamu Dek..” Balas Saka dengan jemari yang kini bergerak di kening istrinya, mengusapi keringat yang terlihat muncul di sana. Mendengar pujian dari Sang suami, Rengganis lekas mengangkat wajahnya untuk melumat bibir lelaki yang menjadi kecintaannya itu.

Kakinya yang sedari tadi terbuka lebar perlahan melingkar di pinggul Saka, lalu dengan lembut menekan pinggul Sang Suami agar tenggelam lebih dalam di lembah senggama miliknya. Mengerti akan keinginan sang isteri, Saka pun perlahan-lahan menurunkan pinggulnya, membuat penisnya mulai tenggelam perlahan di liang surgawi milik Rengganis.

Tubuh Rengganis kembali menegang tatkala dirasa liang senggamanya penuh sesak terisi kejantanan Sang Suami, bibirnya kian ganas melumat bibir Saka, lidahnya kian membelit lidah sang suami dengan kuat. Sedang Saka seperti diterpa badai kenikmatan yang tiada tara hebatnya, pinggulnya bergetar meresapi remasan otot vagina Sang Isteri, lidahnya tak mau kalah membelit lidah Rengganis, mencecap dalam-dalam bibir mungil perempuan kecintaannya itu.

Dan kali ini, tanpa jeda lagi, penis Saka terus melesak pelan, terus tenggelam perlahan ke dalam palung indah nan sempit milik Rengganis, terus masuk, terus masuk, hingga benar-benar tenggelam seluruh batang penisnya. Saka meraskan kepala penisnya menghantam suatu dinding di dalam sana, yang tak lain adalah pangkal rahim dari sang istri.

Merasakan vaginanya yang sudah terisi dengan penuh, membuat Rengganis melepaskan pagutan pada bibir suaminya, kepalanya menengadah, kenikmatan yang begitu besar mendera setiap ujung-ujung syaraf yang ada di liang senggamanya.

“Uuuhhh.. Massss… ssshhh.. enak.. banget Mas…” Lenguh Rengganis dengan mata terpejam, melihat itu Saka tersenyum, jemari tangan kanannya kembali mengelusi pipi Rengganis, sedang tangan kirinya turun ke payudara Sang isteri, meremas-remas lembut gundukkan kenyal nan padat itu, kepalanya ia turunkan, ikut bermain di payudara Rengganis, menghisap dan menyesap kuat putting milik perempuan yang jiwanya tengah dibawa terbang tinggi oleh kidung kenikmatan yang maha tinggi.

“Shhhh. Masss.. uhhhh..” Rengganis terus melenguh tatkala merasakan hisapan dan remasan di payudaranya seolah berkolaborasi dengan lesakkan penis di bawah sana, berkonspirasi untuk membawanya ke puncak kenikmatakan tertinggi. Bermenit lamanya Saka membiarkan Rengganis beradaptasi, sebelum akhirnya ia mulai menggerakkan pinggulnya ke atas, menarik keluar batang kejantaannya hingga sebatas kepala kemudian ditenggelamkannya lagi batang tersebut secara perlahan, membuat bulu-bulu roma Rengganis berdiri keseluruhan.

“Uhhhh… nikmat banget punyamu Mas.. sssshhh.. serasa penuh banget punyaku.. euhhh..” Racau Rengganis ketika kepala penis Saka kembali menyentuh pangkal Rahimnya.

“Sssshh.. punyamu enak banget Dek.. uhhh.. Serasa diremas-remas punyaku.. sshhh..” Sahut Saka sembari menarik kembali batang penisnya. Kedua insan itu tak lelah-lelahnya saling melempar pujian jujur, memuja dan mengagungkan pasangan masing-masing. Menandakan betapa besar cinta dan kenikmatan yang saat ini membaur diri mereka.

Gerakan tarik ulur Saka itu berlangsung berulang, sampai ia rasa Rengganis sudah siap untuk memulai permainan yang lebih jauh. Benar seperti yang ada di pikiran Rengganis, Saka memang bukan tipe pria yang egois dalam percintaan, ia bisa dengan gila menakan desakan nafsunya sendiri demi menunggu Rengganis siap untuk digagahi lebih jauh lagi, dan hal tersebutlah yang selalu membuat Rengganis jatuh lagi dan lagi pada lelaki yang sudah ribuan kali memasuki liang senggamanya ini.

“Sshhhh… Masss… Aku mau.. uhhh.. aku mau keluar Mass..” Rengganis merinding hebat tatkla dirasakan desakkan nikmat seolah berkumpul di pangkal perutnya. Melihat itu, Saka sedikit menaikkan tempo keluar tarikan dan dorongan batang penisnya, berusaha membantu Rengganis mencapai klimaks pertamanya. Remasan di liang senggama Rengganis pun semakin terasa mencengkeram, dan Saka tau, tinggal menunggu detik hingga Rengganis tiba di puncak kenikmatan pertamanya pagi ini.

“AKU KELUAR MASSSSS… OOUUUHHHHH….” Rengganis melenguh hebat, setengah berteriak sembari menarik tubuh suaminya untuk menindihnya lebih dalam, lengannya memeluk semakin erat, giginya bergemeratak, pinggulnya berkejat-kejat dengan hebat.

Bersamaan itu, Saka melesakkan batang kejantanannya dalam-dalam, seraya merasakan siraman hangat yang menyelimuti tiap-tiap inci kulit penisnya. Klimaks.. Rengganis mencapai orgasme pertamanya hanya lewat alunan lembut batang penis Saka.

Saka membiarkan Rengganis menikmati dahulu gelombang orgasmenya, ia mendiamkan penisnya yang tenggelam dalam itu, remasan-remasan dinding vagina Rengganis yang begitu nikmat tak menggoda Saka untuk segera mengayuh kenikmatan lebih, ia ingin Rengganis menikmati puncak kenikmatannya tanpa gangguan keegoisan. Melihat Rengganis yang terpejam dengan wajah kemerahan membuat Saka begitu bahagia, lelaki itu pun berkali kali melayangkan ciuman ke kening dan rambut sang isteri, membelai lembut pipi Rengganis dengan penuh rasa cinta kasih.

Hingga di menit ke sekian, Rengganis akhirnya membuka mata, membuat mata kedua insan itu kembali bertemu. Senyum langsung terpugar di bibir perempuan itu, matanya berkaca haru karena salalu diperlakukan sebegitu lembutnya oleh Saka.

“Kenapa Dek? Kenapa kamu nangis? Kalau punya kamu kerasa perih.. kita udahin aja ya..” Ucap Saka ketika melihat bulir bening menetes dari ujung mata Rengganis.

“Enggak Mas.. Aku terharu aja.. karena kamu memperlakukan dengan lembut.. karena kamu selalu ngutamain aku dibanding diri kamu sendiri.. dan aku.. aku bener-bener bahagia karena punya kamu sebagai pendampingku Mas..” Jawab Rengganis tulus, seraya mengangkat wajahnya untuk mengecup pipi Saka. Mendengar itu, kini justru Saka yang matanya berkaca-kaca, ia bahkan langsung menenggelamkan wajahnya di leher Rengganis, mencoba menyembunyikan tangis bahagianya dari sang isteri.

“Aku sayang kamu Dek.. sayang banget..” Ucap Saka sedikit bergetar, Rengganis tahu, pergumulan kali ini memang terasa berbeda dari sebelum-sebelumnya. Salain karena dilakukan di atas bukit tempat pertamakali mereka bertemu dahulu, juga karena dibayangi rasa takut akan hari esok yang semakin dekat dengan Aruhara, sebuah huru-hara yang sudah mereka ketahui akan datang itu kian terasa dekat setelah apa yang terjadi di tanah selatan ini.

Rengganis mengusap lembut kepala suaminya, kemudian diangkatnya wajah Saka dari lehernya, dipandangi gurat-gurat usia yang berada di sana, diusap lembut tepian kelopak mata Saka, lalu dikecupnya bibir sang suami dengan teramat sangat lembut.

“Aku enggak akan kemana-mana Mas, aku akan selalu nemenin kamu.. kita akan sama-sama sampai kakek nenek kan?” Ujar Rengganis dengan senyum merekah, Saka mengulum bibirnya sendiri, kemudian menganggukkan kepala.

“Aku di sini Dek.. dan aku juga mau kamu tetep di sini.. sama aku.. setelah semua ini selesai, kita akan pindah ke sini Dek, kita akan tinggal di sini..” Timpal Saka dengan bibir bergetar. Rengganis tersenyum, dianggukkan kepalanya pelan, kemudian dipeluknya tubuh Saka lekat-lekat, hal yang sama dilakukan oelh Saka, dipeluknya erat-erat tubuh Rengganis.

Dan tanpa diketahui oleh pasangannya masing-masing, kedua insan tersebut sama-sama meneteskan air mata di pipi mereka. Dan sebelum ketakutan serta kekhawatiran ini kian menenggelamkan mereka, Rengganis pun melepaskan pelukannya, ia sadar, seperti Saka, ia pun tak boleh egois dalam persenggamaan ini.

“Aku gantian di atas ya..” Pinta Rengganis dengan manja, membuat Saka lekas mengangguk dan menukar posisi mereka tanpa melepaskan penisnya dari liang senggama Rengganis.

Saka kembali terdiam tatkala disajikan pemandangan indah dari Sang Isteri, wajah cantik yang paripurna seolah tak terbawa waktu, payudara besar yang tetap padat dan kencang, serta kulit tubuh yang serupa mawar putih, serta hitam rambut yang begitu indah benar-benar membuat Saka tak pernah selesai mensyukuri anugerah di hadapannya itu.

Tahu jika suaminya tengah memandanginya dalam-dalam, Rengganis pun tersipu. Dan untuk mengentaskan kegugupannya itu, ia mulai mengangkat tubuhnya ke atas, membuat dinding-dinding vaginanya kebali digesek dengan penuh kenikmatan. Ia angkat vaginanya sebatas kepala penis Saka, lalu diturunkan tubuhnya hingga kulit pantatnya menyentuh kulit pinggul Saka. Membuat ia dan lelaki di hadapannya sama-sama melenguh kencang.

“Deeekkk… uhhhh…”

“Ahhh Massss..”

Desah mereka bersamaan, gerakan itu dilakukan berulang kali oleh Rengganis, ia menunggu pelumas di liang seggamanya kembali mengalir, dan setelah dirasa cukup licin, Rengganis yang gairahnya sudah naik kembali pun mulai menaik turunkan tubuhnya dengan tempo yang lebih cepat. Membuat desahan dari bibirnya dan Saka menggema ke udara, menembus kabut pekat yang sedari awal sengaja disebar Rengganis untuk menutupi pergumulan mereka ini.

Tangan Saka yang sedari tadi berada di pinggang Rengganis, kini mulai bergerak ke belakang, ke bongkahan indah bokong milik sang isteri, meremas kenyal dan padatnya daging tersebut dengan gemas. Membuat Rengganis kian diburu nafsunya lagi, remasan itu di bokong padat tersebut sesekali dikombinasikan Saka dengan usapan jemari di lubang dubur sang isteri, membuat Rengganis semakin mempercepat tempo naik turun tubuhnya.

“Maassss.. uhhh.. enak banget mas..” Pekik Rengganis dengan payudara yang berguncang.

Tangan Saka pun berpindah dari bokokng padat sang isteri ke sepasang payudara indah yang terguncang-guncang bebas. Diremas dan dipilinnya putting payudara Rengganis dengan sedikit kuat, membuat perempuan itu semakin mempercepat laju naik turun tubuhnya.

“Ssshhh… Mass… Aku.. Aku…” Ucap Rengganis terbata-bata, kedua tangannya sudah bertopang di perut Saka, tubuhnya kian tak berarturan dalam ritme naik turun tersebut, Saka yang mengerti bahwa isterinya tengah menuju orgasme kedua, segera menaikkan tubuhnya.

Tanpa merubah posisi mereka, ia memindahkan satu tangannya untuk turun kembali ke bokong indah nan padat itu, meremas-remas lembut di sana, sedang tangannya yang satu tetap meremasi dan memelintir putting Rengganis dengan telaten, sedang bibirnya langsung menciumi dan menghisap-hisap lembut payudara yang satunya lagi.

Mendapati rangsangan yang datang dari segala lini, membuat Rengganis benar-benar sudah kehilangan kontrol akan dirinya. Bokongnya semakin naik turun tak beraturan, cepat menghujam dan mengocok kejantaan Saka. Hingga Saka benar-benar merasakan batangnya semakin diremas-remas kuat oleh dinding-dinding vagina isterinya, membuat kenikmatan yang tiada dua seolah tak selesai-selesai ia rasakan.

Hingga tiba-tiba, Rengganis membenamkan dalam-dalam batang penis Saka di dalam vaginanya, menyentak kuat, dengan tubuh bergetar hebat, terasa cairan hangat kembali menyirami batang kejantaan milik Saka, membuat Saka melenguh menahan kenikmatan yang begitu hangat menjalar di ruang-ruang perasaannya.

“UUHHHHH… MASSSSS… SSSHHHHHH…” Rengganis mendesah keras sekali lagi sembari membenamkan wajah di bahu Saka, kenikmatan orgasme kembali melandanya, membuat tubuhnya berkejat-kejat hebat di atas paha sang suami. Tangan rengganis memeluk erat-erat kepala Saka, bahkan tanpa sadar ia menggigit bahu Saka dengan sedikit kuat, saking nikmat dan luar biasanya orgasme kedua yang melandanya itu.

Dan Saka benar-benar tak mempermasalahkan hal itu, meski ia pada akhirnya harus ikut menengadahkan wajah sebab menahan kenikmatan dari remasan liang vagina isternya, yang dikombinasikan dengan gigitan di bahu yang terasa sedikit pedih. Kedua tangan Saka sudah berposisi memeluk Rengganis, merengkuh tubuh mungil sang isteri dengan penis yang tertanam begitu dalam.

Sadar bahwa gigitannya menyakiti sang suami, Rengganis segera melepaskan gigitannya itu, dan begitu terlepas, dengan cepat ia menyambar bibir Saka dan melumatnya dengan penuh gairah, pinggulnya sesekali ia gerakkan, menikmati sisa-sisa orgasmenya yang kedua. Bibir mereka pun kembali saling melumat, dengan lidah yang saling membelit, tubuh Rengganis benar-benar seperti tak bertulang lagi, jika saja Saka tak memeluknya, ia pasti sudah terkulai lemah saat ini. Sebab kejantanan Saka benar-benar membuat tulang-tulang ditubuhnya serasa kehilangan kromosom, membuatnya benar-benar bak bunga layu yang kehilangan unsur hara.

Mengetahui sang isteri sudah begitu lemas, Saka pun lekas memutar kembali tubuhnya, dan membaringkan Rengganis di altar batu lagi, mengganjal kepala Rengganis dengan jaketnya. Terlihat senyum bahagia terpampang di wajah Rengganis, dan itu sudah lebih dari cukup bagi seorang Saka. Meski ia merasa, bahwa puncaknya sendiri sudah sedikit lagi tercapai, namun melihat tubuh Rengganis yang sudah letih, Saka pun segera mengangkat tubuhnya, berniat menarik keluar penisnya dari sangkar.

Rengganis meringis ketika gesekan terjadi antara dinding vaginanya dan batang penis Saka, tak memprotes meski ngilu terasa di sana. Hingga ketika kepala penisnya sudah setengah tertarik keluar, Rengganis segera melilitkan kembali kakinya di pinggul Saka, membuat Saka menatap istrinya bingung.

“Enggak Mas.. kamu belum sampai..” Ucap Rengganis lirih seraya menekan sedikit pinggul Saka dengan kakinya, memasukkan kembali kepala penis besar itu ke dalam bibir vaginanya.

“Tapi Dek.. kamu udah..”

“Masss.. aku masih mau ihhh..” Ucap Rengganis memotong perkataan suaminya, nadanya dibuat semanja mungkin.

“Jangan memaksa tubuh kamu Dek.. aku bisa nunggu..”

“Masss ih…” Rengganis kembali memotong kata-kata suaminya, membuat Saka mengalah dan menganggukkan kepala. Namun ketika Saka hendak melesakkan kembali penisnya, Rengganis menahan Saka.

“Bentar Mas..” Ucap Rengganis seraya menarik pinggulnya, membuat penis Saka terlepas dari jeratan vaginya. Tanpa menunggu lama, Rengganis langsung memutar tubuhnya, memposisikan dirinya menungging di depan sang suami.

Mengerti akan itu, Saka segera mendekatkan kembali penisnya ke liang kewanitaan milik Rengganis, dengan mata dipenuhi ketakjuban atas indah bentuk bokong isterinya itu. Dimasukkan perlahan kepala kejantaannya, membuat Rengganis menoleh dengan wajah yang sulit diterjemahkan, antara nikmat, dan sakit ada di sana.

Bahkan Rengganis harus mengejan kuat ketika kepala penis itu menyeruak, membuat lututnya sampai bergetar menahan kenikmatan yang bercampur dengan rasa ngilu. Dan begitu kepala penis Saka masuk. Karena ia tahu Sang suami akan berusaha selembut mungkin, jadi tanpa menunggu penetrasi lanjutan dari sang suami, Rengganis justru menghentakkan bokongnya ke belakang dengan sedikit keras, membuat penis Saka langsung hilang tertelan bibir mungil vaginanya.

“OOOUUGGHHH..” Teriak Rengganis meresapi ngilu dan nikmat di liang vaginanya.

“Sssshhhh… Dekkkk..” Desis Saka bersamaan seraya memegang kedua bokong indah Rengganis, meremasnya kuat-kuat, meresapi kenikmatan yang mekingkupi batang penisnya.

“Goyang Masss.. uhhhh… punya kamu bikin aku terasa utuh Masss.. ahhh..” Ucap Rengganis seraya mengerat-ngeratkan otat dinding vaginanya, membuat Saka seketika melenguh kemabali.

“Dekkk… Ssshhh..” Desis Saka seraya mempererat pegangannya pada bokong padat nan indah itu.

Dan tak perlu menunggu Rengganis meminta lagi, Saka segera memaju mundurkan tubuhnya untuk mengayuh kenikmatan dari legit dinding vagina mungil sang isteri. Di awal-awal, ritmenya begitu lembut, namun seiring waktu, temponya dipercepat sedikit-sedikit, membuat Rengganis sampai terdongak karena kembali didera birahi.

Sedang Saka merasakan kenikmatan yang tiada tara, penisnya seperti diremas-remas degan bgeitu kuat, ditambah pemandanga bokong indah yang berada dalam remasannya, plus teriakan-teriakan serta lenguhan manja Rengganis di telinganya benar-benar membuat Saka mabuk kepayang. Kecepatannya sodokannya ia buat sestabil mungkin, mencoba mendayung puncak kenikmatan bersama sambutan bokong Rengganis.

Nikmaattt.. sangat nikmat.. sampai Saka reflek mencondongkan tubuhnya ke depan, mnciumi tengkuk Rengganis dengan mesra, sedang isterinya terlihat mulai kembali menggial dikarenakan birahi. Goyangan rengganis pun semakin tak beraturan. Sepasang suami istri itu benar-benar sudah berada di ambang puncak kenikmatan.

Saka pun memindahkan kedua tangannya untuk memeluk Rengganis, sedang hujamannya kian dalam dan kian rapat, membuat tubuh Rengganis sampai melenting ke belakang, bibirnya coba menggapai bibir sang suami, dengan kedua payudara yang sudah diremas-remas oleh Saka, benar-benar membuat perempuan itu berteriak amat keras, melenguh amat hebat, dan mendesah tanpa putus.

“Massss… uuhhh.. aku mau sampe lagi mas… sshhh..”

Mendengar itu, dengan sigap Saka memutar tubuh Rengganis untuk berbaring, kemudian merenggangkan keuda paha Rengganis lebar-lebar dan kembali mengayuh vagina tersebut dengan tempo yang cukup cepat dan hentakkan yang begitu kuat.

“Massss.. ougghh.. aku dikit lagi Masss… ooohhhh…” Gumam Rengganis dengan kepala bergerak ke kanan dan ke kiri, Saka lekas merespon hal tersebut dengan menurunkan tubuhnya dan langsung melahap payudara Rengganis, sebab ia pun sama, merasakan puncaknya sudah hampir tiba.

Saka mencoba mempercepat orgasmenya, karena ia tahu Rengganis sudah di ambang klimaks, dan ia tak ingin jika isterinya itu harus menunggu ie kambali.

“Dekkk… punyamu sempit banget Dek.. uhhh… enak banget…” Ucap Saka ketika melepaskan bibirnya dari payudara Rengganis, menggantinya dengan remasan penuh birahi, bibirnya kini mencium dan menghisapi leher Rengganis.

“Masss.. oouggghh… Aku.. aku… AAAAHHHHH…” Rengganis berteriak hebat dengan pinggul melonjak-lonjak, remasan kuat dirasakan Saka di dalam sana, bersamaan dengan siraman hangat dari lendir cinta milik Rengganis.

Saka yang juga sudah dekat dengan orgasmenya, semakin mempercepat goyangan pinggulnya, remasan kuat dari dinding vagina Rengganis benar-benar membantunya untuk semakin dekat dengan puncak kenikmatannya.

“Mass mass… uuuhhhh aku…” Rengganis memeluk tubuh Saka dengan begitu kuat, vaginanya begitu ngilu karena gelombang orgasmenya belum selesai, namun ada yang aneh, ia seperti merasakan akan mencapai puncak lagi. Membuat ia sampai harus menutup matanya ketika badai itu mulai merambat di sekitar pahanya.

“Dekkk.. aku.. uhhh.. Aku.., sayang kamu Dek..” Ucap Saka tatkala melihat wajah isterinya memerah, dan bersamaan dengan itu, sesuatu terasa berkumpul di kepala penisnya, siap meledakkan sesuatu.

“Massss… ouhhhh.. aku mau lagi…” Seru Rengganis dengan lirih dan penuh lonjakan gairah. Bibirnya dengan cepat disambar oleh sang suami, seraya dirasakan hujaman cepat nan dalam menghantam vaginanya. Napas Saka terdengar memburu, dengan remasan yang kian terasa kuat di payudaranya, bersamaan dengan itu dirasakan gelombang orgasme benar-benar sudah berada di liang kewanitaannya.

Bunyi kecipak kian terdengar nyaring, berkolaborasi dengan bunyi benturan kulit yang kian terasa menggema. Saka sudah berada di ambangnya, ia semakin mempercepat genjotannya, hingga dalam sekali sentakkan, ia membenamkan batang penisnya dalam-dalam, membuat tubuh Rengganis bahkan ikut tersentak

“OUHHH DEKKKKKK….” Teriak Saka seraya melepaskan pagutannya dan mengangkat kepalanya tingggi-tinggi menatap langit.

CROOTTT… CROOTT… CROOT…

Tak terhitung berapa tepatnya sperma yang tersembur di dalam vagina Rengganis, yang jelas cukup banyak sampai rahimnya terasa menghangat, bahkan cenderung panas. Bersamaan dengan itu, ia meraskan gelombang orgamse yang begitu hebat datang. Dan..

“MASSSSSSSSSSSS AAAAAHHHH…”

SRREETT.. SRRETTT.. SRRETTT…

Benar saja, Renganis mengalami orgasme keempatnya, namun orgasme kali ini berbeda, sebab ia merasakan senasi seperti ingin buang air kecil yang amat kuat, dan meledak bersamaan dengan gelombang orgasmenya. Ya.. Rengganis mengalami squirt!!

Hal tersebut membuat pinggulnya menghentak-hentak hebat, cairan yang jauh lebih hangat langsung membasahi batang penis Saka. Sedang Rengganis meringis menahan sensasi orgasme yang becampur ngilu dan geli yang begitu hebat di waktu yang bersamaan.

Nikmat sekali.. sangat nikmat sekali.

Mengatahui bahwa isterinya mengalami squirt, Saka dengan terharu melumat bibir Rengganis, membiarkan kejantannya terendam hangat dibawah sana dengan pinggul sang isteri yang terus menggeliat mengirimkan remasan-remasan kuat.

Napas mereka sama-sama membiru, kepuasan sama-sama mereka dapatkan dengan begitu sempurna. Membuat lumatan bibir mereka semakin bergelimang indah dan paripurnanya sebuah romansa cinta yang dinaungi perasaan saling memiliki yang teramat besar. Tak ada kata-kata yang terucap, hanya lumatan bibir yang begitu dalam dan hangat yang mereka saling berikan.

Hati mereka sama-sama mengucap syukur, karena bisa merasakan cinta yang seindah sesempurna ini

**

POV REGAN

Alam raya sudah sepenuhnya terlihat, garis-garis cahaya putih kekuningan menjalar dari balik rimbun dedaunan. Dan salah satu garis cahaya itu jatuh tepat di samping wajah seorang gadis manis yang tengah sibuk menyantap lontong sayur putih dengan kuah berwarna kuning cerah yang berada di dalam mangkuk putih berlogo ayam jago.

Duh Gusti nu agung.. Pemilik kayangan kok sombong banget ya.. bisa-bisanya dia mengasingkan malaikat seimut dan semenggemaskan ini ke muka bumi.. bodohnya itu bajigur sekali..

Terang saja aku menantinya..

Terang saja aku mendambanya..

Oh terang saja aku merindunya..

Karena dia.. Karena dia..


“Begitu indaaaah..”

“Apa Kak?” Tanya Dira yang seketika membuatku langsung terkesiap.

Sialan.. kok bisa lagu Begitu Indah-nya dari Padi yang melaung di ruang-ruang kepalaku malah terucap lewat bibir di bagian ujungngnya? Bah.. bodoh ini.. gila ini..

“Eh itu.. anu.. lagu Padi.. iya.. tadi lagunya Padi.. saya suka banget sama Padi soalnya..” Kilahku seraya dengan kaku menyuap potongan lontong ke dalam mulut, membhuat Dira mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kak Regan ngefans banget ya sama Padi? Soalnya aku beberapa kali tiap aku lewat studio.. Kak Regan sama temen-temennya sering bawain lagu Padi..” Ucap Dira dengan wajah antusias.

“Hehehe iya..” Sahutku sedikit kaku karena masih berusaha menenangkan diri dari bibirku yang keceplosan tadi.

“Kenapa kok sukanya sama Padi? Maksud aku, kan kebanyakan pada sukanya kaya Peterpan, Ungu, sama ST12.. tapi kok Kakak malah senengnya sama Padi?” Tanya Dira masih dengan wajah antusias, aku yang berangsur-angsur sudah mulai tenang pun menatapnya dengan alis tertaut.

“Kenapa kok nanya gitu?” Tanyaku balik karena agak bingung aja.. kaya seolah aku salah aja gitu ngefans sama Padi. Iya enggak sih? Apa aku aja yang salah tanggep sama ucapannya Dira?

Melihat ekspresiku Dira tersenyum lebih lebar, ia menyelesaikan dulu kunyahannya, setelah itu memiringkan sedikit kepalanya, menatapku dalam-dalam.

“Maaf Kak.. aku enggak maksud kaya gitu..”

Eh? Apa nih? Apa ini? Kok dia minta maaf? Apa dia jangan-jangan bisa membaca pikiranku? Eh yakali?

“Kok malah minta maaf?” Tanyaku pada akhirnya, Dira terlihat menghela napasnya pelan. Kemudian meletakkan mangkuk ayam jago yang sedari tadi berada di sanggahan telapak tangannya ke tanah. Ya.. kami memang mengambil posisi makan agak jauh dari orang-orang, sebab aku enggak enak jika harus makan dekat gerobak penjual lontong sayur ini. Bisa-bisa enggak ada yang beli karena takut sama Si Bogi.

“Aku takut Kak Regan salah paham, terus ngira kalau aku nyepelein band kesukaan Kakak. Aku enggak ada maksud ke sana.” Terang Dira dengan wajah bersungguh-sungguh.

Oh I see..

“Maaf ya kalau respon saya bikin kamu mikir kaya gitu. Saya juga enggak ada maksud ke sana sebenernya” Terangku dengan tak kalah bersungguh-sungguh. Membuat untuk sesaat suasana lengang menjelma di antara aku dan DIra. Hanya ada senyum-senyum kaku dan perasaan sedikit segan yang tercipta.

Oh iya, menyinggung kata segan.. aku juga agak heran, kenapa aku berusaha terlihat sesopan mungkin ya di depan Dira? Kalian sadar kan kalau dari tadi aku menggunakan kata ‘saya’ untuk mengobrol dengan Dira?

Aneh enggak sih? Aku sih ngerasanya agak aneh aja. Maksudku, biasanya kalau sama orang yang seumuran aku mah gua-elu gua-elu aja., tapi entah kenapa aku ke Dira kok rasanya segan ya mau ngomong gua elu? Apa karena dia menggunakan ‘aku-kamu’? Makanya aku berusaha mengimbangi itu? Ah entahlah.

“Auughhh.. aughh.. heh heh heh..” Bogi yang tali kekangnya kuikatkan pada ruas pagar taman, menggonggong ke arah kami. Jaraknya sebenarnya Cuma dua meter, Cuma karena ada Dira di hadapanku, jadi rasanya Bogi seperti jauh sekali hehehe.

“Udah abis lagi Bog? Astaga.. rakus banget dah..” Gertutuku sembari mengambil bagian paha ayam di mangkukku, memang aku biasanya menyisakan bagian paling nkmat itu untuk penutupan, kaya makan bakso aja, pasti di antara kalian ada kan yang kalau makan bakso.. terus bakso yang gedenya dibelakangin? Nah aku juga kaya gitu tuh, tapi ini kayanya enggak akan bisa sesuai ekspektasiku.

Si Bogi loh.. udah aku beliin dua paha tapi masih minta lagi. Beda sama Kepin yang aku kasih satu paha aja, sampe sekarang belum habis betul. Ya tapi mau enggak mau aku harus menyerahkan paha ayamku ini pada Bogi, dari pada dia berisik terus dan ganggu kesibukanku kan? Kesibukan apa coba? Ya kesibukan menikmati keindahan Dira lah hohoho

“Bogi nurut banget ya sama Kakak?” Tanya Dira ketika aku tengah menyerahkan paha ayamku pada Bogi, aku menoleh padanya.

“Nurut apaan.. tadi aja buktinya ngabur kan? Bikin saya engap ngejar-ngejar…” Jawabku dengan sembari menyuap potongan lontong terakhir ke mulutku.

“Makanya Kak jangan ngerokok terus, jadi nos-ngosan kan kalau dibawa lari dikit?”

“Uhuk.. uhuk..”

Aku langsung terbatuk-batuk ketika mendengar ucapan Dira, beruntung Dira lekas menyodorkan botol air miliknya, yang olehku langsung kutenggak banyak-banyak. Gila kah? Aku loh baru kenal dan ngobrol banyak sama dia pagi ini, tapi kok dia bisa tahu aku perokok? Padahal aku aja sepagian ini belum kena rokok sama sekali, bawa aja enggak.

“Pelan-pelan dong Kak kalau makan..” Ujar Dira yang terlihat sibuk mengusapi dadaku. Gila ini.. yang diusap kaos bagian dadaku, tapi kok hatiku yang tersembunyi di dalamnya malah ikut menghangat? Aseemm ini..

“Apasih Ra.. orang saya kaget aja..” Ucapku sambil membersihka tepian bibir.

“Kaget? Emanga Kakak abis liat apa?” Tanya Dira sembari menoleh ke kanan dan ke kiri. Uh.. ini dia beneran polos apa gimana ya? Kok ngegemesin banget?

“Apasih.. saya kaget karena kamu kok bisa tau kalau saya ngerokok..” Terangku berusaha membawa perhatian Dira kembali padaku. Mendengar itu, Dira langsung menggerakkan matanya ke atas, seperti tengah berpikir.

“Loh kaget dari mananya coba? Kakak kan kalau di sekolah sering ngerokok.. kadang di belakang kantin, kadang di gudang belakang kan?”

“Loh kok kamu bisa tau?” Tanyaku cepat sembari menyelidik lebih dalam, ini malah lebih mengagetkan loh.. karena selain tahu aku merokok, dia juga tahu tempatku biasa merokok kalau di sekolah.

“Hihihi.. nebak aja..” Jawabnya malu-malu. Seperti tengah menyembunyikan sesuatu. Aku tadinya hendak bertanya lebih lanjut, namun tiba-tiba Kepin mendekat padaku, seraya mengangkat wajahnya menatap mataku.

“Mauw mauw.. mauw..” Ucap Kepin seraya berjalan pelan meninggalkanku. Ini kok Kepin ngeselin ya? Dari tadi loh dia anteng-anteng aja, kenapa giliran aku sedang serius ingin mengobrol dengan Dira, dia malah ngajak pulang? Bangke banget ya.

“Yuk Kak.. Kepin udah ngajak pulang tuh, lagian nanti kalau kelamaan di sini, bisa telat nanti..” Ajak Dira seraya berdiri dan mengambil mangkuk kosong di tanganku, lalu menumpuk mangkuk tersebut dengan mangkuknya. Aku hanya bisa menghela napas, tak bisa mengelak.

Yaudahlah ya.. toh nanti juga ketemu lagi di sekolah..

Aku pun langsung melepas ikatan Bogi, dan membawanya untuk berjalan menyusul Kepin yang sudah berlenggak-lenggok bak pentolan genk motor. Dira berjalan di samping kiriku, terlihat sesekali menggoda Bogi yang berada di kananku.

“Berapa Bu?” Tanyaku ketika sudah berada di depan Ibu penjual lontong sayur.

“Semuanya?” Tanya Ibu tersebut, aku mengangguk, dan segera meloloskan tanganku untuk merogoh saku celanaku.

“Lontongnya dua, pake ayam dua-duanya ya, terus gorengannya dua, sama nambah ayamnya tiga ya? Semuanya jadi 40..” Terang Ibu tersebut sembari tersenyum ke arahku. Sedang aku masih sibuk merogoh saku celana training, kemudian memindahnkan tanganku ke saku sebelahnya. Tapi kok, tipis-tipis aja ya? Kaya ngelos aja gitu.. enggak ada yang ngeganjel-ganjel sama sekali.

“Ini Bu.. makasih ya..” Tiba-tiba di tengah kesibukanku, Dira sudah menyodorkan dua lembar uang dua pilih ribuan kepada Ibu penjual, membuatku langsung menatapnya, protes kecil.

“Uangnya pas ya Neng.. makasih ya..” Ucap Ibu penjual tersebut, sedang aku yang masih menatap Dira dengan tatapan protes, olehnya tanganku yang masih berada di saku kemudian ditarik keluar, digenggam dan segera diajak menjauh dari gerobak lontong sayur yang juga menjual nasi uduk itu.

“Kok gitu? Kan saya yang ngajak sarapan..” Protesku masih sibuk mengikuti langkah Dira. Sialan ini, kayanya aku lupa bawa dompet ini. Tadiloh pas aku lagi ngecek sakuku, enggak ada apa-apa. Malu.. malu..

“Udah enggak apa-apa, Kakak lupa bawa dompet kan? Hihihi..” Tebak Dira seraya melepaskan genggaman tangan kami. Aku hanya bisa menggaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya enggak gatal. Malu sendiri jadinya.

“Hehehe maaf ya.. tadi soalnya saya buru-buru.. makanya banyak yang kelupaan..” Aku berkata dengan malu yang begitu sangat. Namun Dira justru tersenyum lebih lebar, kemudian dengan lembut ia mengusap lengan bagian atasku.

“Enggak usah minta maaf Kak.. next time aja gantian..” Ucap Dira menenangkanku. Aku terdiam sejenak, selain karena usapan lembut yang aku rasakan. Juga karena mendengar kata next time yang keluar dari bibir Dira. Apa itu artinya kami akan makan bareng lagi? Eh iya dong harus! Harus itu.. harus!

“Next time ya.. next time pasti saya bawa dompet.. enggak kelupaan.. janji!” Ucapku menggebu-gebu, seraya mengangkat kedua jariku, membentuk tanda piece.

Dira terlihat tersenyum semakin lebar, membuat matanya yang minimalis itu semakin terlihat menjadi satu garis. Uhhh.. ngegemesin ini.. ngegemesin banget asli.

“Next time oke?” Ujar Dira seraya menyodorkan jari kelingkingnya di depanku, aku tersenyum lebar, mengangguk, lalu mengaitkan jari kelingkingku ke jari kelingkingnya.

“Next time, janji!” Ujarku yakin. Lalu kami pun sama-sama tertawa.

“Yaudah kalau gitu aku pulang ya.. see you Kak Regan.. dadah Bogi.. dadah Kepin..”

“Oughhh..” Seru Bogi terdengar ramah sekali.

“Mauw mauw..” Aum Kepin dengan tubuh tegap menatap Dira.

Sedang aku hanya bisa mengangguk melepas kepulangan Dira. Sembari melambaikan tangan dengan kaku. Kemudian mengajak Bogi dan Kepin untuk pulang Dan di persimpangan jalan itu, aku berpisah dengan seseorang yang entah mengapa.. membuat pagiku kali ini terasa lebih berwarna.

Oh iya, dari obrolan kami pagi ini, aku jadi tahu, kalau Dira ternyata di komplek militer tempat aku lari pagi tadi, baru pindah beberapa bulan ke kota ini. Dira bilang, tepat menjelang kelulusannya, Ayahnya mendapat kenaikan pangkat dan dipindah tugaskan ke kota ini.

Dira adalah anak bungsu dari dua bersaudara, Kakaknya laki-laki, dan berkuliah di kota pendidikan yang berada nun jauh sana. Aku sempat bertanya mengapa dia malah bersekolah di sekolah kami, yang notabennya bukanlah sekolah yang terlalu mentereng. Padahal bisa saja ia bersekolah di sekolah favorit.

Namun Dira bilang, alasannya masuk SMK kejuruan ekonomi adalah untuk mewujudkan mimpinya. Dan mimpi dia enggak muluk-muluk, dia Cuma kepingin bekerja kantoran dan bisa pulang setiap hari ke rumah, berkumpul dengan keluarga. Sebab kata dia, Ayahnya sering dikirim tugas ke tempat-tempat jauh, sedang Ibunya yang seorang dokter, membuat waktu kumpul bersama keluarga sangat minim katanya.

Ah.. mimpi.. Meski mimpi Dira terdengar klise, tapi justru itu yang membuatku berpikir lagi dan lagi. Dira saja punya mimpi, nah kalau aku.. apa sebenarnya mimpiku? Apa aku punya mimpi? Punya cita-cita untuk masa depanku? Apakah aku punya itu?

*

Sesampaiya kami di rumah, aku pun langsung melepas tali kekang di leher Bogi, membebaskan anjing itu mau berbuat apa saja setelahnya. Sedang Kepin sendiri langsung berlari ke bawah pohon beringin di halaman, tempat favoritnya ngadem. Biarlah mereka mau ngapain juga, yang penting aku harus segera mandi, karena matahari sudah semakin meninggi ini Bung!

Setelah melepas sepatu, aku pun berjalan ke ruang tengah. Di mana aku melihat Teh Arum tengah berdiri menatapku, seperti sudah menunggu kedatanganku. Beruntungnya ia sudah berganti setelan, sudah enggak menggunakan baju tidur yang tadi pagi itu. Coba kalau masih.. apa enggak seneng aku nanti? Hohoho

“Kepin sama Bogi tadi udah sarapan Teh, jadi Nggan enggak kasih makan lagi. Paling nanti siang pas pulang sekolah aja baru Nggan kasih makan ya..” Ucapku ketika sudah berada lebih dekat dengan Teh Arum. Namun sepertinya ada yang enggak beres nih, kok Teh Arum kaya lagi.. hhhm.. aku enggak abis bikin kesalahan kan ya? Tadi sebelum lari pagi, gerbang sudah aku tutup lagi kan? Iya ah perasaan..

“Lain kali kalau abis sarapan itu minum, kamu mau kesedak pas lagi lari?” Ujar Teh Arum seraya menyodorkan botol tupperware kepadaku, langsung ditempelkan ke dadaku, seolah memintaku untuk segera menerimanya.

Setelah itu Teh Arum langsug pergi begitu saja meninggalkanku, masuk ke dalam kamarnya dengan sedikit membanting pintu. Loh.. loh.. loh.. aya naon ie teh? Kok Teh Arum kaya ngambek gitu?

Aku yang masih terkesiap hanya bisa memandangi pintu kamar Teh Arum, kemudian beralih menatap botol tupperware yang berada dalam genggamanku. Aku pandangi dalam-dalam, sebelum akhirnya aku teringat, bahwa tadi ketika Teh Arum memberiku sarapan, ia juga berpesan bahwa minumnya diletakkan di depan. Wuaseemmm.. lupa aku Bung! Pantes Teh Arum kaya ngambek gitu.. eh bukan kaya lagi deh, emang ngambek itu. Waduh.. jadi enggak enak ini.

Terlebih ketika aku membuka tutup tupperware tersebut, yang isinya ternyata milo coklat kesukaanku. Sudah dingin sih, tapi pasti pas Teh Arum bikinin mah masih anget. Aduh.. gimana ini? Enggak enak juga..

Aku pun akhirnya memberanikan diri mendekat ke pintu kamar Teh Arum, mengetuknya dua kali.

“Teh.. maafin Nggan.. Nggan beneran lupa tadi..” Seruku lantang, namun tak ada jawaban dari arah dalam. Aku ketuk lagi sebanyak tiga kali.

“Teh.. bukain dong.. Nggan mau minta maaf ini..” Seruku sekali lagi, namun masih enggak ada jawaban. Membuatku yakin seyakin-yakinnya kalau Teh Arum pasti udah ngambek akut. Haduh.. gimana ini? Dikunci lagi ini..

Duh jadi ngerasa bersalah gini ya? Apalagi mengingat Teh Arum sedang enggak enak hati gara-gara enggak diajak pulang kampung kemarin, udah sedih makin sedih dah Tetehku itu. Dan setelah dipikir-pikir, bisa aja alesan Mang Diman, enggak ngajak Teh Arum supaya ada yang ngurus aku di sini kan? Ah bajigur lah ini, pikiranku malah jadi kemana-mana kok ya?

Ah iya.. lewat samping, siapa tahu jendela Teh Arum kebuka yakan? Jadi aku bisa masuk lewat sana.. hiya.. hiya.. pepatah memang benar.. banyak jalan menuju kamar Teh Arum hohoho

Aku segera berlarian kecil ke pintu depan, kemudian berbelok ke halaman samping kiri yang sebenarnya jarang aku tengok, sebab selain karena tidak semenarik halaman samping kanan yang berbatasan dengan jendela kamarku, halaman kiri rumahku juga cenderung lebih kecil, karena hanya menyisakan ruang sekitar tiga meter saja dengan tembok pembatas. Ya tetap hijau dan enak dipandang sih, karena tembok-tembok rumahku memang diselimuti tanaman daun sirih.

Dan seolah dinaungi keberuntungan dari dewi fortuna, kulihat daun jendela kamar Teh Arum tergantung ke arah luar, membuat senyumku langsung mengembang. Dan dengan cepat aku berjalan senyap ke sana, mengenda[-ngendap. Hingga aku berhasil berdiri di samping jendela kamar Teh Arum, aku intip sedikit bagian dalam kamar ini, dan berhasil mendapati Teh Arum yang tengah berbaring miring membelakangiku.

Oke.. aku harus masuk dulu setidaknya, karena kalau Cuma ngomong dari sini, bisa-bisa sama Teh Arum langsung ditutup lagi jendela ini. Dan dengan amat hati-hati, aku menyeberangkan kakiku melewati kusen jendela, kubuat sesenyap mungkin, hingga akhirnya kedua kakiku sudah berada di dalam kamar Teh Arum, bokongku yang masih menempel di kusen jendela segera ku angkat. Dan setelah itu…

Setelah itu aku harus ngapain ini? Masa iya aku naik ke kasur? Kalau nanti keterusan gimana? Kan jadi enggak enak sama Teh Arum nanti, aku mah enak-enak aja sebenarnya hehe. Huhh.. huhh.. aku mengatur napasku, lalu berdehem satu kali.

“maafin Nggan dong Teh..” Ucapku ketika kulhat Teh Arum mulai memutar tubuhnya karena mendengar dehemanku tadi. Dan begitu ia sudah menghadapku, bukannya terkejut atau marah, ia malah kembali membalikkan tubuhnya, kembali memunggungiku.

Duh gusti.. ada enggak sih buku yang bisa ngajarin tata cara menjinakkan perempuan yang lagi marah kaya gini?

Aku mengangkat tubuhku, mulai berjalan mendekat ke arah ranjang di mana Teh Arum tengah berbaring mendekap gulingnya. Lalu dengan tak sopannya, aku duduk di tepian ranjang, tepat di seberang tubuh Teh Arum.

“Nggan beneran lupa Teh tadi.. Nggan bener-bener minta maaf ya Teh..” Haturku lagi dengan tangan menggeggam erat tupperware.

“Kamu itu udah gede Nggan.. kamu udah seharusnya belajar menghargai apa yang orang lain kasih ke kamu.. kamu kan enggak tahu kalau tadi stock milo kamu habis, dan aku harus jalan dulu ke minimarket buat beli itu. Aku sampe lari-lari takut kamu keburu dibangunin Bogi sama Kepin..” Ujar Teh Arum lirih tanpa membalikkan tubuhnya, membuatku semakin bersalah.

Beneran ini? Teh Arum sampe keluar subuh-subuh Cuma buat beli milpo yang enggak aku minum ini? Sialan kamu Nggan.. sialan bener ini..

“Maaf Teh.. Nggan bener-ben..” Aku kembali menghaturkan maafku, namun oleh Teh Arum segera dipotong.

“Aku tau aku Cuma numpang hidup di sini.. aku tau kalau aku itu Cuma pemban..”

“Cukup Teh!”

Sebelum Teh Arum menyelesaikan kata-katanya, aku segera beringsut ke tengah ranjang, tanganku segera memegang bahunya, memotong balik kalimat yang hendak terlontar dari bibirnya. Membuat Teh Arum tak lagi mampu melanjutkan kata-katanya. Kutarik lembut bahu Teh Arum untuk menghadapku, dan tanpa penolakan sama sekali, ia pun sudah terlentang dengan wajah sendu.

“Jangan pernah ngomong kaya gitu lagi Teh.. jangan..” Ucapku dengan parau, dan entah mengapa rasanya sauraku seperti berat sekali. Napasku pun berangsur mulai memburu. Emosi? Mengapa aku tiba-tiba emosi mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Teh Arum tadi?

Setelah berhasil membuat Teh Arum menghadap padaku, aku segera menarik tanganku dari bahunya, membuka tutu[p tupperware dan segera mengirim milo yang sudah tak hangat itu ke dalam perutku. Meski sejatinya perutku masih sedikit agak penuh, tapi aku paksakan untuk meneguk habis isi botol tersebut.

Glek.. glek.. glek..

Aku terus memaksa lambungku untuk menampung milo yang tersalur dari tenggorokanku, sudah setengah habis, masih sisa setengah lagi. Aku harus bisa menyelesaikan ini, aku tak ingin membuat Teh Arum makin bersedih dan merasa bahwa aku enggak menghargainya.

Hingga beberapa detik kemudian, aku rasakan jemari lembut memeluk punggung telapak tanganku, dan dengan begitu pelan menurunkan tupperware yang masih berada di bibirku. Entah sejak kapan, Teh Arum sudah terduduk tepat di hadapanku, matanya sayu. Lalu tanpa kata-kata ia merebut halus tupperware tersebut, membuat botol itu berpindah ke tangannya.

Tanpa kata-kata, Teh Arum gantian meneguk isi dari botol tersebut, posisi minumnya yang sedikit mendongak ke atas, membuat leher putihnya tersaji indah di ujung pandangku. Membuatku tertegun karena menyaksikan keindahan yang maha agung terpampang di hadapanku. Aku mematung, aku membisu, aku terpaku dalam-dalam.

Hingga akhirnya isi botol tersebut pun tandas, Teh Arum kembali menurunkan wajahnya, merebut halus tutup botol yang masih berada di tanagnku lalu mulai menutup tupperware tersebut. Ia melakukan itu tanpa berani mentap mataku, membuat rasa bersalah itu sedikit banyak masih menghantuiku.

Dan entah mendapatkan keberanian dari mana, aku menggerakkan tangan kananku, lalu kutempelkan telapak tanganku di pipinya, kemudian ibu jariku dengan kembut mengusap tepian bibir Teh Arum yang menyisakan sedikit bekas milo di sana. Kini gantian Teh Arum yang mematung, ditatapnya mataku dalam-dalam, seolah mencari jawaban atas apa yang aku lakukan saat ini kepadanya.

“Teh Arum bukan pembantu di sini.. bukan numpang hidup di sini.. Teh Arum.. Mang Diman.. adalah bagian dari keluarga ini.. tolong Teh.. tolong jangan pernah berpikir kaya gitu lagi ya.. Nggan mohon..” Ucapku begitu lembut dengan mata yang terikat pada mata Teh Arum.

Dan tiba-tiba, bulir bening meluncur di pipi Teh Arum, membuatku segera menyeka pipinya dan mendekatkan wajahku.

“Nggan sayang sama Teh Arum.. sayang sama Mang Diman.. sama sayangnya Nggan sama Ayah dan Ibu..” Ucapku lagi sembari mataku terus menyelami bola mata Teh Arum yang sudah berkaca-kaca.

“Nggan…” Ucap Teh Arum lirih.

“Nggan tau.. Nggan salah.. makanya Nggan minta maaf. Nggan juga minta maaf karena udah bikin Teh Arum ngeliat apa yang Nggan sama Hani lakuin kemaren. Nggan juga minta maaf karena semalem Nggan malah diem di kamar enggak nemenin Teh Arum nonton tv, itu Nggan lakuin karena Nggan malu sama Teh Arum. Bukan karena apa-apa. Sekali lagi Nggan minta maaf ya Teh, terutama buat milo tadi..” Ucapku sungguh-sungguh dengan menanggalkan segala rasa maluku, sudahlah, biar sekalian saja aku minta maaf atas segala keresahanku ini.

“Nggan..”

“Nggan juga minta maaf.. karena gara-gara Nggan.. Teh Arum enggak bisa pulang kampung.. kalau aja sekolah Nggan lagi libur, pasti kita semua bakal berangkat ke kampung Teteh. Tapi karena Nggan sekolah, Teteh jadi kepaksa ngurusin Nggan di sini.. enggak bisa ikut ke kampung.. Nggan bener-bener minta maaf Teh..” Sambungku seraya mulai menundukkan wajah, namun dengan cepat, kurasakan telapak tangan Teh Arum menempel di pipiku. Membawa wajahku untuk terangkat kembali, menatap matanya lagi.

“Jangan mikir kaya gitu Nggan.. Maafin aku.. aku enggak tahu kalau kamu sampai mikir sejauh itu, aku enggak tahu kalau kamu sampai negrasa se bersalah itu.. Maafin aku Nggan..” Kini gantian Teh Arum yang meminta maaf padaku, namun dengan cepat aku menggelengkan kepalaku. Ini loh emang aku yang salah.

“Enggak Teh.. Nggan emang salah kok.. makanya Teteh sampe marah kaya tadi..” Sahutku cepat dengan telapak tanganku yang sudah kutarik dari pipinya. Kini balik Teh Arum yang menggeleng.

“Enggak Nggan.. aku yang salah.. pikiranku lagi kebagi-bagi banget soalnya.. dan aku tanpa sadar malah jadiin kamu pelampiasan kalut aku..”

“Ya.. Teh Arum kan kalut juga karena enggak bisa pulang ke kampung, dan Teh Arum enggak bisa pulang kampung karena harus ngurusin Nggan di sini, jadi..”

“Enggak Nggan.. enggak.. bukan kamu.. aku juga udah enggak terlalu mikirin banget.. Cuma emang ada hal lain yang ngengganggu pikiran aku, dan itu sama sekali enggak ada hubungannya sama itu..” Terang Teh Arum dengan telapak tangannya yang lain ikut menempel di pipiku, wajahnya memulas senyum. Namun meski begitu, ini semua pastilah hanya alibi dari Teh Arum, agar aku enggak sedih aja.

“Teteh enggak lagi bohong kan? Nggan takutnya Teteh Cuma berusaha biar Nggan enggak nyalahi diri Nggan sendiri..”

“Enggak Nggan.. Teteh enggak bohong.”

“Kalau gitu.. cerita ke Nggan apa yang bikin Teteh kalut.. Nggan mau tau.. Nggan mau Teteh berbagi beban pikiran itu ke Nggan..” Ucapku dengan seriusnya, selain karena kau ingin membuktikan bahwa memang bukan karena aku Teteh bersedih, juga karena jika benar yang dikatannya, bahwa pikirannya sedang kalut dan memikirkan sesuatu, aku ingin ia bercerita padaku.

Bukan karena aku lancang ingin mengetahui urusannya, melainkan aku ingin Teh Arum berbagi kepadaku agar beban di pikirannya bisa sedikit berkurang. Bukankah bercerita itu bagus bagi mereka yang tengah merasa terbebani pikiran?

“Iya.. asal kamu enggak terus nyalahin diri kamu sendiri.. aku bakal cerita..”

Mendengar ucapan Teh Arum, aku langsung tersenyum, baik.. aku akan berusaha menjadi pengengar terbaik yang bisa dijadikan tempat berkeluh kesah bagi Teh Arum. Karena setelah dipikir-pikir, selama setahun lebih aku mengenal Teh Arum (semenjak aku kembali ke kota ini), aku perhatikan Teh Arum tidak pernah memiliki teman yang bisa diajak bercerita. Tidak dengan tetangga-tetangga, tidak dengan Mang diman selaku Ayahnya juga, paling sesekali hany terlibat obrolan ringan dengan Ibu. Yang aku yakin, pasti tidaklah sampai ke titik terdalam pikiran dari Teh Arum.

“Tapi kamu sekolah dulu ya.. nanti telat lagi loh..” Ucap Teh Arum seraya menoyor lembut pipiku.

“Enggak masuk dulu lah hari ini.. mau nemenin Teh Arum aja Nggan mah..” Ucapku cepat, membuat Teh Arum langsung mendelik menataku.

“Nggan.. kalau kamu enggak sekolah, aku enggak mau lagi ngoomong sama kamu..” Ancam Teh Arum dengan nada serius, membuatku langsung menelan ludahku sendiri. Ngeri juga ya..

“Iya iya Nggan sekolah.. tapi janji ya.. nanti Nggan pulang langsung cerita..” Ucapku mencoba membuat kesepakatan. Teh Arum mengangguk, tanda setuju. Lalu aku pun segera beringsut turun dari kasur berjalan ke arah jendela kamar Teh Arum.

“Nggan..”

Aku menghentikan langkahku karena Teh Arum memanggil, dan begitu menoleh, ia sudah tengah beringsut turun juga dari kasur, lalu berjalan mendekat padaku.

“Apa lagi Teh? Katanya Nggan suruh sekol..”

CUPPP

Teh Arum dengan lembut mengecup pipi kananku, membuatku langsung mematung seketika, tubuhku membeku, ujung-ujungt kuku-ku yang baru kupotong dua hari yang lalu seperti terkena gempa tremor. Ini aku dicium woy.. Dicium!! Bajigur.. kenapa nyiumnya di pipi? Bukan di bibir? Kan kalau di bibir kemungkinan besar bisa berlanjut ke yang lain.

“Nggan boleh bales cium enggak?” Tanyaku dengan spontan, yang membuat Teh Arum langsung tertawa kecil.

“Husshh.. hushh.. sekolah sana.. hushh..” Usir Teh Arum seraya mendorong-dorong tubuhku lembut, membuatku akhirnya terpaksa melangkahi lagi kusen jendela itu, membawaku kembali berada di luar kamar Teh Arum.

“Nggan boleh cium enggak Teh? Gantian gitu?” Tanyaku lagi dengan wajah yang kubuat semengenaskan mungkin, berharap Teh Arum berbaik hati dan memberiku kesempatan lebih di pagi yang cerah tanpa awan ini.

“Isshh maunya! Husshh hushh sana sekolah..” Sahut Teh Arum seraya kembali mendorong mundur dadaku, membuatku menjauh dari jendela, setelah itu ia tarik kedua daun jendela, dan langsung ditutup tepat di hadapanku, langsung di kunci juga.

Namun aku tak mau menyerah, kudekatkan kembali tubuhku ke kaca jendela, di mana Teh Arum masih berada di sana dengan senyuman manisnya, kemudian aku mengangkat kedua telapak tanganku, menautakannya di depan dada, kemudian mengadu-ngadu jari telunjukku, gesture orang gugup penuh harap ituloh, yang kaya Hinata kalau mau ngomong sama Naruto.

Namun olehku, arti gesture tersebut kulengkapi dengan memaju-majukan bibir, seolah menuntut ciuman balasanku. Teh Arum tertawa kecil melihat tingkahku itu, lalu menjulurkan lidahnya di hadapanku, dan langsung menutup tirai jendela, seola mengakhiri usahaku untuk dapat menciumnya pagi ini.

Duhhh.. meletnya barusan kok ya bikin Marco bergetar dan berdenyut seketika ya? Tiba-tiba terasa ada yang tegang, tapi bukan aliran listrik. Kan.. kan salah kiblat kan.. sialan.. benerin dulu lah..


Bersambung..
 
Terakhir diubah:
Hallo semuanya selamat pagi dan salam sejahtera ya, sebelumnya kembali saya sampaikan terimakasih pada suhu-suhu dan agan-agan di mari yang sudah bersedia memantau cerita ini. Hatur nuhun pisan pokokna mah. Oh iya kalian dapet salam dari Bogi, dia bilang dia mau sembunyi dulu karena takut dikiran kambing Qurban. Soo lets oenjoy uhuh :beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd