Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG LAKUNA : SESUATU YANG HILANG

Wkwkwk ketahuan Teh Arum! Nice story hu, bikin nagih
 
menarik ceritanya...
ditunggu update selanjunya...
 
Selamat malam semuanya, selamat malam suhu-suhu, Alhamdulillah lapak ini cukup ramai ternyata, terimakasih kembali saya haturkan pada seluruh pembaca.

Wabilahi khusus saya haturkan untuk suhu @fq_lex yang sudah membimbing saya untuk membuat indeks, terimakasih banyak-banyak ya Hu. Jadi malam ini saya hanya merapihkan indeks saja, agar lebih mudah untuk dibaca nantinya. Pokoknya hatur nuhun pisan ya suhu @fq_lex . 🙏🙏🙏

Oh iya, sebelumnya maaf jikalau agak lambat dalam penceritaan, dan belum kunjung sampai exe, karena memang cerita ini saya bangun dengan pakem alon-alon sing penting ujungne kelon.

Untuk update bagian 6 saya usahakan besok malam (sekitar tengah malam) sudah rilis ya, karena malam ini saya harus menuntaskan hasrat dengan tetangga yang baru saja kembali dari kampung karena efek pandemi ini, muehehe.


Sekali lagi terimakasih semuanya, Salam cinta dari Kepin dan Bogi untuk semua pembaca di sini. Stay tune ya..
 
Selamat malam semuanya, selamat malam suhu-suhu, Alhamdulillah lapak ini cukup ramai ternyata, terimakasih kembali saya haturkan pada seluruh pembaca.

Wabilahi khusus saya haturkan untuk suhu @fq_lex yang sudah membimbing saya untuk membuat indeks, terimakasih banyak-banyak ya Hu. Jadi malam ini saya hanya merapihkan indeks saja, agar lebih mudah untuk dibaca nantinya. Pokoknya hatur nuhun pisan ya suhu @fq_lex . 🙏🙏🙏

Oh iya, sebelumnya maaf jikalau agak lambat dalam penceritaan, dan belum kunjung sampai exe, karena memang cerita ini saya bangun dengan pakem alon-alon sing penting ujungne kelon.

Untuk update bagian 6 saya usahakan besok malam (sekitar tengah malam) sudah rilis ya, karena malam ini saya harus menuntaskan hasrat dengan tetangga yang baru saja kembali dari kampung karena efek pandemi ini, muehehe.


Sekali lagi terimakasih semuanya, Salam cinta dari Kepin dan Bogi untuk semua pembaca di sini. Stay tune ya..
Aman hu, ena2 dl aja, yg penting ada FR ;):tegang:
 
Bimabet
BAGIAN 6 : PENYINTANG DAN PENDATANG

POV 3D

Di bawah langit malam yang dihiasi gemerlap titik-titik cahaya nan indah, di balik gema merdu kidung alam yang dibangun oleh serangga dan binatang-binatang malam, di antara syahdu dan anggunnya dedaunan yang menari bersama angin, tepat di salah atas dahan sebuah pohon besar yang tinggi menjulang, Aswatama terduduk dengan punggung bersandar pada pokok utama pohon tersebut, sedang sebelah kakinya lurus selaras dengan arah tumbuh dahan, sedang sebelah kakinya lagi tertekuk. Tepat di sebelah kanan pemuda tersebut, di sebuah dahan yang baru bertumbuh, tergantung sebuah tongkat yang di bagian atas dan bawahnya diberi ikatan tali yang berasal dari pelepah pisang.

Mata pemuda itu mengawang ke angkasa raya, takzim memandangi kelap-kelip cahaya gemintang yang selalu menjadi sumber ketenangan baginya. Terhitung hampir setiap malam ia lalui hanya untuk memandangi kelap-kelip taburan bintang di langit malam, hampir setiap malam, kecuali ketika purnama sedang sempurna-sempurnanya, sebab ketika purnama berada di puncak kedigdayaan, pemuda itu harus melalui malam bersama Abah Natha dengan kelopak mata terkatup rapat, dan kesadaran yang berada di antara batas nyata dan maya.

Dan malam ini, berpuluh kilometer jauhnya dari tempat ia biasa memandangi bintang-bintang, pemuda itu harus menerima kenyataan yang begitu pahit untuk sekedar ia kecap dengan ujung lidahnya, di mana ia harus menyaksikan lukisan terindah Sang Pencipta, dalam situasi dan keadaan sekitar yang berbeda dari biasanya. Karena sebelum-sebelumnya, ketika ia memandangi langit malam, ia selalu ditemani debur ombak yang merdu bergumuruh, datang silih berganti, tak bisa di hitung jari.

Namun malam ini, untuk pertama kali dalam hidupnya, ia menikmati gugus gemintang dengan suasana yang begitu sepi, hanya ada suara serangga malam yang samar-samar terdengar dari bawah sana. Dan ia benci sekali, harus kehilangan riuh ombak yang biasa menemani.

“Huh..”

Pemuda itu membuang napasnya dengan resah, hari ini ia sudah berjalan amat jauh, dan seumur hidup ia belum pernah pergi sejauh ini dari rumah. Pikirannya terbang kembali pada apa yang terjadi hari ini, pada bencana yang menimpah tanah tempat ia tumbuh selama ini. Senyum di wajah Abah Natha membayang di ruang-ruang imajinya, senyum dari lelaki tua yang selama ini telah memberikan kehidupan baginya.

Meski tak memiliki ikatan darah dengan lelaki tua itu, namun bagi Aswatama, Abah Natha adalah figure Ayah sekaligus guru baginya. Meski ia sendiri tak pernah tahu, seperti apa sebenarnya figure seorang Ayah itu. Sebab sedari kecil ia sudah hidup sebatang kara, menurut cerita dari Abah Natha, Ayah dan Ibu pemuda tersebut hilang ketika tengah berlayar, tertelan dalam sebuah badai, tak pernah kembali, hanya bersisa nama.

Pemuda itu bahkan tak mengenali wajah orang tuanya, tak ada foto, tak ada lukisan, hanya ada ingatan samar nan berbayang. Beruntung, Abah Natha bersedia mengurusnya. Bisa dibilang, ia diangkat oleh lelaki tua nan sepuh itu. Namun bukan berarti ia ikut tinggal di Saung Ageng (Sebutan untuk rumah Abah Natha), Aswatama tetap tingggal di rumah warisan orangtuanya yang berada di tepi pantai, dengan Abah Natha yang selalu mengirim orang untuk memenuhi kebutuhan pemuda itu sewaktu kecil.

Makanan, sedikit uang, serta pakian-pakian selalu datang di waktu-waktu tertentu ke rumahnya, kiriman dari Abah Natha yang sekali pun tak pernah berkunjung ke rumah pemuda itu. Hanya ia yang selalu diminta untuk datang ke Saung Ageng, entah hanya untuk mengobrol atau bermain dengan Abah Natha, hingga berlatih di bawah bimbingan lelaki tua itu. Latihan yang menempa Aswatama menjadi pemuda kuat nan gagah.

Selepas masa kanak-kanaknya, Aswatama yang sudah biasa mengurus dirinya sendiri pun mulai bisa memenuhi kebutuhannya. Dari ikut melaut bersama para nelayan di kampungnya, sampai memanen rumput laut bersama para Ibu ketika sore menjelang. Semua pekerjaan ia lakukan untuk bisa memenuhi kebutuhannya, meski sejatinya, uang dari Abah Natha tidak pernah berhenti datang untuknya.

Di malam purnama yang ke sekian, selepas berlatih dengan lelaki tua itu, Aswatama pernah meminta agar Abah Natha tak perlu lagi memberinya uang, bahkan ia meminta izin agar diperbolehkan untuk sedikit menyisihkan uang hasil melaut dan memanen rumput lautnya, untuk diberikan ke Abah Natha, sebagai balas jasa dan ungkapan terimakasih.

Namun oleh lelaki tua itu justru ditolak halus, terngiang di kepalanya ketika Abah Natha melontarkan kata-kata yang membuat pemuda itu selalu merasa dikasihi..

Jang.. Abah ini adalah pengganti orangtuamu, jangan pernah berpikir macam-macam, kau tabung saja uangmu Jang.. untuk bekalmu nanti..

Mengingat itu, tanpa terasa air mata menetes di pipi kiri pemuda tersebut, membuat ia itu lekas menyeka wajahnya. Kepalanya sedikit tertunduk, batinnya pedih merenungi jalan takdir yang harus dijalaninya kini, jalan takdir yang sejatinya sudah dari jauh-jauh hari di sampaikan oleh Abah Natha, jalan takdir yang sudah dari jauh-jauh ia tunggu kedatangannya dengan berlatih dan mengabdi pada Sang Guru.

Dan perpisahan di tebing pagi tadi.. itu benar-benar perihal terberat yang pernah ia alami, bahkan jauh lebih berat dari kenyataan bahwa ia dulu pernah kehilangan orangtuanya sendiri, ketika ia bahkan belum terlalu mampu menampung memori. Mungkin yang membuat saat itu tidak sakit karena pemuda itu belum mengerti apa yang terjadi, berbeda dengan saat ini, di mana ia benar-benar merasakan kehampaan yang begitu sunyi.

Ia mengutuk dirinya sendiri karena tak bisa membantu Abah Natha lebih dari sekedar berlari seperti yang ia lakukan saat ini, namun perintah adalah perintah, tugas adalah tugas, sekalipun berat dijalani, jika itu berasal dari bibir Sang Guru yang sudah ia anggap sebagai Ayahnya sendiri, maka tiadalah bantahan di hatinya, ia akan menuruti apapun titah yang diamanatkan padanya.

Pemuda itu menghela napas dalam, lalu mengencangkan ikatan sulur tanaman di pinggangnya, sulur tanaman yang mengikatnya dengan dahan pohon yang kini menjadi tempat peristirahatannya. Ia sadar, ia harus segera memejamkan mata, tubuhnya sudah terlalu lelah, dan esok ia masih harus berlari sebagai kuda utama pesisir selatan, membawa pesan dan mencari seseorang yang semoga bisa membantunya menjalani takdir yang sudah tergariskkan ini.

Namun baru saja matanya terpejam, telinganya menangkap sebuah suara yang mengacaukan harmonisasi kidung hutan yang sedari tadi konstan terdengar. Bukan suara serangga, atau binatang malam, tapi suara derap langkah. Pemuda itu segera melepas sulur di pinggangnya, menempatkan sulur tersebut serapih mungkin agar tak terlihat dari arah bawah. Ia segera berdiri, menyambar Anggaraksa yang sedari tadi ia gantungkan, dan segera menyangkilkan tongkat warisan tersebut di punggungnya.

Matanya awas, telinganya bersiaga, meski dalam gelap seperti ini, penghilatannya termasuk tajam. Ia tengah menimang-nimang siapa kira-kira pemilik derap langkah tersebut.

Satu,dua, tiga, tidak.. empat orang..

Gumam pemuda itu setelah yakin akan perkiraannya, matanya ia picingkan ke arah datangnya suara. Samar-samar terlihat cahaya timbul dan hilang di antara daun dan semak belukar, ia tengah menghitung jarak, terlalu tanggung baginya.

Jika ia lari dan menghindari kemungkinan bahwa orang-orang tersebut adalah orang-orang Hematala, maka gerakannya akan langsung memancing keempat orang tersebut untuk mengejar. Tapi posisinya di sini pun terlalu terbuka, hanya dengan mengangkat sedikit pandangan, tentu ia kan mudah ditemukan.

Kepala Aswatama terdongak ke atas, lalu dengan amat senyap, ia mulai membawa tubuhnya naik ke dahan yang lebih tinggi. Sangat pelan dan senyap ketika ia menggerakkan kaki dan tangannya untuk memanjat lebih tinggi dari tempatnya tadi, ia tak ingin membuat gerakkan yang akan mengacaukan harmonisasi dahan dan dedaunan terganggu, karena jika memang itu adalah orang-orang Hematala yang tengah mengejarnya, maka gerakan sekecil apapun bisa menjadi ancaman baginya.

Setelah bersusah payah, Aswatama akhirnya berhenti bergerak ketika sudah mencapai dahan ke empat. Ia kini sudah berada cukup tinggi dan cukup terlindung dari pandangan, ia sebenarnya masih bisa naik hingga dua sampai tiga dahan lagi, tetapi suara derap langkah tersebut sudah semakin dekat, ia tak mau mengambil risiko.

Setelah itu, dengan gerakan amat pelan, ia kembali melepaskan sangkilan tali di bahunya, membawa Anggaraksa untuk berada dalam genggamannya. Karena bagaimana pun, ia harus mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Ia genggam dengan mantap bagian tengah tongkat tersebut, disekanya keringat di dahi dan dagunya, ditajamkan terus matanya ke arah empat orang lelaki yang tengah berjalan dengan senter di masing-masing ditangannya, serta tangan yang lain menenteng sesuatu.

Aswatama memicingkan matanya lebih kuat, dan langsung mengenali benda panjang yang berada di bawa ke empat orang tersebut.

Senapan..

Gumam pemuda itu dalam hati, tangannya terkepal kuat. Posisinya benar-benar tidak menguntungkan. Asta Braja miliknya bukanlah tipe “senjata” jarak jauh. Hal ini membuat ia harus benar-benar berpikir keras untuk mengatasi situasi jika nanti berjalan semakin buruk.

Pemuda itu mengatur napasnya, kembali menyembunyikan diri ketika cahaya dari senter tersebut sesekali disorotkan ke arah atas, membuat pemuda itu semakin yakin bahwa ke empat orang tersebut adalah orang-orang Hematala yang berusaha mengejarnya. Ia atur napasnya sebaik mungkin, ia usahakan agar posisinya semakin terlindungi.

Mungkin bukan perkara sulit baginya mengurus empat orang di bawah sana, meski ia harus sedikiit memutar otak untuk menyelesaikan itu, dan tentunya harus bersusah payah. Namun bukan itu yang ia khawatirkan, tetapi karena ia berusaha membuat seminimal mungkin kontak dengan orang-orang, selain agar perjalanannya menuju Purantara lancar, juga karena ia ingin agar orang-orang Hematala berpikir bahwa tidak pernah ada yang keluar dari kampungnya, larut bersama gelombang tinggi yang berasal dari Gunung Putra Mandar tadi pagi.

Hingga saat ini, keempat orang tersebut sudah berjalan tepat di bawah pohon besar tempat ia bersembunyi, sesekali terdengar obrolan yang diselingi tawa, bersamaan dengan cahaya senter menyorot ke atas dan bergerak-gerak, Aswatama terus berusaha menyembunyikan dirinya sebaik mungkin. Napasnya berderu, sorot cahaya sudah berhenti bergerak dan berada tepat di samping tubuhnya yang tersembunyi di balik tubuh utama pohon ini.

Ia sudah tidak bisa bergeser lagi, sudah sampai di ujung dahan. Sorot itu terus diam, tak bergerak, membuat Aswatama benar-benar harus bersiap dengan kemungkinan terburuk. Hingga..

DSIIIINGGG

Bunyi tembakan menguar di sepenjuru hutan itu, dan Aswatama bisa merasakan ketika lesakkan udara dengan cepat lewat tepat di sampingnya. Apakah tembakan itu meleset? Atau hanya sebagai pancingan saja? Pemuda itu menahan napasnya, ketika bersamaan dengan itu, dari arah depannya, sesuatu terjatuh di antara dedaunan dan dahan pohon. Matanya mendelik, ketika seekor elang bido atau lebih dikenal dengan elang ular terjatuh luruh ke arah bawah.

Dan ketika elang tersebut sudah jatuh ke tanah, ke empat orang di bawah sana segera berlarian kecil dengan suara bahagia dan sesekali tawa riang mengudara. Empat orang di itu pun terlihat amat bahagia, bahkan sesekali melompat-lompat, bangga akan hasil tembakan mereka. Satu di antaranya bahkan berfoto dengan tubuh elang yang tengah sekarat tersebut, merentangkan paksa sayap sang burung pemangsa yang mungkin sudah kehilangan nyawanya saat ini.

Aswatama dengan lega menghembuskan napasnya, kekhawatirannya ternyata tak terbukti, keempat orang tersebut ternyata hanyalah pemburu hutan. Meski di dalam hatinya jengkel dan menaruh ketidaksukaan pada mereka karena sudah membunuh elang tak berdosa itu, namun demi tugas yang tengah ia emban, ia meredam setitik amarahnya itu, tetap bersembunyi hingga keempat pemburu itu pergi membawa hasil buruan mereka.

Setelah di rasa aman, Aswatama pun mulai menuruni dahan demi dahan tempat ia tadi menyembunyikan diri, hendak kembali ke dahan utama di mana ia mengistirahatkan tubuhnya tadi. Namun baru saja kakinya menjejak di dahan besar tersebut, tiba-tiba..

“Kamu itu terlalu mudah berpuas diri Le, seharusnya kamu ndak mengendurkan kewaspadaanmu..”

Aswatama terlonjak, tatkala dari rerimbunan semak di bawah sana, terdengar suara mengudara, merambat jelas hingga sampai ke telinganya. Setelah itu, dari semak belukar dan rimbun pepohonan, muncul dua orang lelaki. Satu di antara mereka mengenakan sweater dengan penutup kepala, sedang satunya lagi mengenakan jaket kulit berwarna coklat.

Dua orang tersebut sudah berdiri tepat di bawah naungan pohon tempat Aswatama berdiri, yang mengenakan tudung di kepala terlihat menunduk dingin, sedang yang mengenakan jaket kulit berwarna cokelat menengadahkan kepala menatap mata sang kuda utama pesisir selatan tersebut.

“Turunlah.. kami tidak akan menyakitimu Le.. kami hanya ingin mengambil benda yang berada dalam gengamanmu itu..”

Aswatama terpekur sejenak, diliriknya Anggaraksa dengan cepat, digenggamnya tokat warisan Sang Guru dengan kuat.

Baiklah.. tidak ada jalan lain saat ini..

Pemuda itu membatin, lalu dengan satu hentakkan kaki, ia melompat turun ke bawah dan mendarat dengan posisi tubuh setengah diturunkan, langsung memasang kuda-kuda setengah badan. Di tatapnya kedua orang di hadapannya, kedua orang tersebut sudah jelas bukan pemburu seperti empat orang yang lewat sebelumnya. Mereka tidak membawa senapan, bahkan tidak membawa alat bantu pencahayaan, dan itu sudah jelas bahwa mereka adalah orang-orang Hematala yang seharian ini dihindari oleh Sang pemuda itu.

Dari perawakan kedua orang tersebut, Aswatama bisa menebak usia mereka. Yang mengenakan jaket kulit berwarna cokelat kemungkinan berusia sekitar 40an, terlihat dari garis wajahnya yang sudah menuju kata paruh baya. Sedang yang kepalanya ditutup itu, sepertinya seumuran dengan dirinya sendiri, Aswatama memasang sikap waspada, kedua tangannya ditempatkan selaras di samping tubuhnya.

“Ada pepatah mengatakan, tak kenal maka tak sayang. Dari itu.. perkenalkan, namaku Gandi, dan pemuda di sebelahku ini..”

“Jangan terlalu banyak omong!” Kata-kata dari lelaki mengaku bernama Gandi tak sempat selesai, sebab pemuda bertudung di sampingnya dengan cepat menyela. Membuat Gandi sedikit mendengus sebal.

“Kamu ndak bisa sopan sedikit? Bagaimana pun aku ini jauh lebih tua dibanding kamu bocah!” Pemuda bertudung itu tak menghiraukan ocehan dari Gandi, ia kini justru mengangkat sedikit wajahnya, menatap tajam ke arah Aswatama. Membuat Gandi mendengus sebal di sampingnya.

“Serahkan tongkat itu, maka kami akan melepaskanmu..” Ucap pemuda bertudung itu dengan suara datar namun terdengar mengintimidasi, sedang yang diajak bicara hanya diam membisu, membalas tajam tatapan dari pemuda bertudung tersebut. Dan perlahan-lahan, hawa dingin di hutan ini berganti menjadi sedikit pengap, angin seolah memilih menghindari areal tempat tiga orang itu berada, binatang-binatang dan serangga malam seperti menyingkir. Membangkitkan suasana hening nan mencekam.

“Le.. Le.. memang ada peribahasa yang mengatakan bahwa diam itu emas, tapi diammu kali ini hanya akan membawamu ke liang kubur..” Lelaki berjaket kulit itu mulai naik emosinya tatkala pemuda di hadapannya tersebut hanya diam, tak memberikan respons apa-apa. Gigi Gandi pun mengerat kuat, kedua tangannya dengan cepat menyilang dan menyelusup ke bagian dalam jaketnya, kemudian sepasang benda pun keluar dari sana.

Sebuah benda kecil dengan bentuk melengkung seperti kuku harimau pun kini sudah berada di kedua tangan lelaki itu, bagian pangkal benda tersebut terbuat dari kayu yang diukir, dengan bagian tengah yang berlubang sebatas jari. Lelaki berjaket kulit itu pun menyelusupkan masing-masing jari telunjuknya ke gagang senjata kecil tersbut, kemudian digenggamnya kuat-kuat dengan bagian bawah yang melengkung tajam itu menghunus ke depan. Senyum dari bibir nya pun terpampang.

“Kuku Bima milikku ini sudah lama ndak dimandikan, dan sepertinya.. malam ini darahmu yang akan memandikannya..” Ucap Gandi jumawa, sedang pemuda bertudung di sampingnya masih diam, seolah tengah mengamati dalam-dalam Aswatma.

Namun Aswatama sedikit pun tak merasa gentar, perlahan kedua kakinya melebar, tongkat di tangannya segera ia sangkilkan kembali, menyimpannya di belakang punggung, kedua tangan pemuda itu bergerak tegas. Tangan kanannya bergerak ke depan dengan telapak tangan terbuka, sedang tangan kirinya tertekuk tepat di samping tubuhnya, mengepal kuat.

Kepalanya masih menimang-nimang, apakah ia harus mengeluarkan kemampuan yang selama ini selalu ia sembunyikan, kemampuan yang hanya ia keluarkan ketika berlatih dengan Sang Guru. Ia berperang sendiri dengan hatinya, sebab ketika ia memutuskan untuk menggunakan Asta Braja, itu akan sangat berisiko, karena jika orang-orang Hematala mengetahui kemampuannya ini, maka perjalanannya menuju Purantara akan semakin terjal pastinya.

“Hiyaaa..” Gandi membuka pertarungan tersebut dengan dengusan napas keras, kaki lelaki itu yang sedari tadi mantap memijak tanah langsung menghentak kuat, membawa tubuhnya melonjak ke depan seraya tangan kanannya mengayun tegas dari bawah ke atas, dengan arah sedikit menyamping, bermaksud mencabik lawan di hadapannya dengan kuku besi yang diberi nama Kuku Bima itu.

Namun Aswatama bukanlah sembarang orang yang dipilih oleh Abah Natha untuk membawa Anggaraksa, pemuda itu sudah ditempa belasan tahun lamanya, sudah beratus purnama dipersiapkan untuk mengemban tugas ini, dari itu selama helaan napasnya masih terhela, selama itu juga ia akan menjaga tongkat warisan Sang Guru dengan segenap nyawa.

Aswatama dengan cepat memundurkan tubuhnya, seraya tangannya yang sedari tadi menghunus ke depan sigap menepis lengan lawannya, menjauhkannya dari jangkauan kuku besi tersebut.

Gandi yang sadar jika serangan pembukanya mentah, dengan cepat mengayunkan tangan kirinya dengan arah menyamping, bermaksud merobek lengan bagian luar Aswatama yang masih tersilang ke arah kiri, sisa menepis hunusan pembuka tadi.

Namun sebelum kuku besi melengkung itu sampai di lengannya, pemuda itu dengan cepat dan keras mendorong kepalan tangan kirinya yang sedari tadi tersimpan, mengirimkan pukulan kuat ke arah lengan bagian dalam lawannya. Membuat lengan Gandi terhentak kuat, kuku besi yang sudah mengarah padanya pun tersentak ke atas. Dan tanpa menunggu waktu, Aswatama lekas mengangkat kaki dan melayangkan tendangan yang mengarah ke bagian rusuk.

Namun Gandi sigap memblok tendangan tersebut dengan menekuk lengannya, lalu dengan begitu cepat kembali merangsek ke depan dengan kedua tangan yang terayun bergantian dengan sesekali diselingi sapuan kaki.

Kanan ke kiri.. bawah ke atas.. kiri ke kanan, bertubi-tubi dengan tempo yang begitu rapat. Namun semua serangan itu berhasil dimentahkan Aswatama, kedua tangan dan kakinya laksana sebuah harmoni yang silih berganti bergerak untuk menghindari ujung tajam senjata di tangan Gandi itu.

Pemuda yang diberi julukan kuda utama pesisir selatan oleh Sang Guru pun cukup cepat membaca situasi, ia langsung tahu mengenai pola menyerangorang yang berada di hadapannya ini, dominasi serangan selalu datang dengan arah menyamping, serta dari arah bawah menyapu ke atas. Dari itu, Aswatama tak henti-hentinya mengayunkan tangan guna menepis setiap serangan yang datang. Kakinya lincah bergerak ke belakang bergantian, membawa tubuhnya termundur dari posisi pertama ia berpijak.

Hal tersebut dilakukannya selain untuk menghindari serangan lelaki berjaket kulit di hadapannya, juga untuk membuat jarak yang cukup jauh dari lawan lainnya, pemuda dengan penutup kepala yang masih diam mematung. Ujung matanya sesekali terarah ke pemuda bertudung tersebut, memastikan ia siap jika sewaktu-waktu orang tersebut bergerak. Dan entah karena pikirannya yang terbagi, atau memang karena ia lengah, lawan di hadapannya mengirimkan tendangan lurus ke arah perut pemuda itu.

BUGGHHH

Tendangan itu dengan mulus bersarang di perut sang pemuda dengan tongkat di punggung, membuat tubuh Aswatama terlempar ke belakang, dengan punggungnya menghantam keras sebuah pohon. Dengan tongkat di punggungnya, tentu saja rasa sakit di punggungnya teras berkali-kali lipat lebih sakit dari seharusnya. Dan tak ingin membuang kesempatan, Gandi segera merangsek lagi dengan hunusan kuku besi yang terayun dengan kuat dan cepatnya.

Aswatama lekas berkelit dengan melompat ke samping, mendorong tubuhnya sekuat tenaga hingga ia berguling di atas dedaunan kering. Kuku besi yang dihunuskan pun hanya mengenai pohon, menyisakan sayatan dalam yang tak bisa Aswatama bayangkan jika saja ia terlambat menghindar. Dan sang kuda pesisir pun sadar, lelaki berjaket kulit di hadapannya bukanlah lelaki sembarangan. Dan kuku besi digenggaman lawannya dialiri semacam energi yang membuat daya robek benda itu benar-benar dapat mengoyak dagingnya dengan mudah.

*Sial..* Batin Aswatama dengan geram.

Seolah tak ingin memberikan Aswatama waktu untuk menarik napas, atau untuk sekedar meresapi sakit di perut dan punggung, Gandi kembali melonjak dengan kaki terangkat, hendak menghantam kepala Aswatama yang baru saja hendak berdiri.

Sadar posisinya sulit, Aswatama lekas menyilangkan kedua tangannya di kepala, namun belum sempurna blok yang hendak ia buat, belum sempat ia menguatkan silangan tangan tersebut, telapak kaki lawan sudah tiba, menghantam kuat kedua lengannya, membuat tubuh pemuda itu terpelanting ke samping dan terdorong dua meter jauhnya, seketika rasa sakit yang amat hebat menjalar di kedua lengannya.

Namun kembali, belum cukup puas menikmati sakit di kedua lengannya, sang lawan sudah melompat seraya mengarahkan telapak kaki, menyasar kepala Aswatama yang masih terbaring menyentuh tanah.

BUMM

Beberapa inchi sebelum telapak kaki lelaki itu bersarang di wajahnya, pemuda itu memaksa tubuhnya berguling ke samping, bersamaan dengan itu kaki kanannya terayun kuat, menyasar kaki lawannya yang baru saja memijak tanah.

BAGHH

Tumit Aswatama menghantam keras betis bagian samping lelaki itu, membuat pemegang kuku besi itu kehilangan keseimbangan dan jatuh berdebum ke tanah. Aswatama tak menyia-nyiakan itu, segera ia angkat kakinya yang tadi menyapu tinggi-tinggi ke udara, lalu diarahkan ke bawah sekuat tenaga, namun pemuda pesisir itu kalah pengalaman. Sebab di saat bersamaan, Gandi menyeringai seraya mengarahkan kedua kuku besi digenggamannya ke udara, menyambut ayunan kaki pemuda tersebut. Dan..

BUGHHH SRETTT

Tepat saat ujung-ujung runcing nan tajam kuku besi baru tertancap sedikit di kaki Aswatama, sebuah sepakan keras dari bawah ke atas menghantam kaki pemuda itu, membuat kaki Si Kuda pesisir terlempar ke atas dengan keras. Sepakan itu berasal dari pemuda bertudung yang sedari tadi hanya diam mengamati.

Tubuh Aswatama terpelanting satu meter jauhnya, napasnya terembus dengan sedikit syukur yang terngiang dari hatinya. Karena tendangan pemuda bertudung itu membuat kakinya bergetar dengan rasa sakit bak disambar palu godam, namun justru karena sepakan pemuda bertudung itulah kaki Aswatama tidak harus terkoyak oleh kuku besi melengkung di tangan Gandi.

“Bajingan! Jangan ikut campur urusanku bocah!” Geram Gandi seraya berguling dan bangkit. Ia benar-benar geram karena peluangnya mengoyak kaki Aswatama hilang.

“Tulang-tulang dadamu bisa remuk jika aku terlambat bergerak, berterimakasihlah sedikit orang tua..” Sahut pemuda bertudung tersebut dengan suara datar, mata pemuda itu tajam menatap Aswatama yang tengah bangkit dari kejatuhannya.

“Cihh.. kamu pikir aku selemah itu? Keparat..” Maki Gandi dengan dengusan napas sebal, walau sebenarnya, hati terdalam lelaki itu ikut mengiyakan kata-kata pemuda bertudung tersebut.

Aswatama sedikit meringis menahan rasa perih di kaki bagian kanannya yang tadi sempat tersayat, darah hangat pun terasa mulai merambat turun menyentuh mata kakinya. Si Kuda pesisir pun akhirnya sadar, ia tak bisa menghadapi kedua orang di hadapannya jika terus menerus menahan diri. Dari itu, ia pun memutuskan untuk melepaskan kemampuannya.

Kedua tangan pemuda itu pun mengepal keras, wajahnya sedikit ia tundukkan, bibirnya terbuka, lalu kata-kata yang begitu lirih terdengar dari sana, yang saking begitu lirihnya, kedua lawannya pun takkan bisa mendengar apa yang tengah ia rapalkan.

“..nihan tapak walar.. nu sang hyang mulia.." Aswatama mulai merpal kalimat lembut dari bibirnya, wajahnya tertunduk dalam-dalam, konsentrasinya seketika terfokus dengan sangat.

“..nyurup ka sungsumna.. getih sabadan.. nyurup ka badana.. ngalir ka leungeun..”

Rapalan kata yang terucap pelan itu seperti sebuah kunci pintu yang terputar, membangkitkan semacam getaran nan hangat di balik setiap inchi kulit pemuda itu. Sadar ada perubahan aura dari pemuda dengan tongkat terlampir di punggung tersebut, Gandi dan pemuda bertudung tersebut pun segera memasang sikap waspada. Bahkan pemuda bertudung itu sudah mengubah posisinya, memasang kuda-kuda kuat dengan tapak kaki menjejak bumi lekat-lekat.

“Hiyaaa..”

Lalu seolah tak ingin diserang lebih dulu, kedua orang tersebut lekas melonjak ke depan, berusaha melumpuhkan pemuda di hadapannya yang berdiri menundukkan wajah bak patung tak bernyawa.

“..Tepi Alur.. Asta Braja..” Aswatama menutup kata-katanya seraya cepat mengangkat wajah, kedua tangannya yang seketika terasa lebih hangat, dan jauh lebih ringan. Bersamaan itu, suara guntur terdengar sayup-sayup di telinga, suara itu seperti berasal dari kejauhan dan hanya bersisa saja ketika sampai di tengah hutan tersebut.

Sementara itu, ayunan kuku besi tearah menyamping dari atas ke bawah, hendak mengait bagian perut pemuda itu, sedangkan kepalan tangan dari pemuda bertudung meluncur bak lokomotif kereta, cepat memecah udara, mengarah ke wajah Aswatama.

Pemuda itu menyeringai, lalu dengan cepat memutar tubuhnya, berkelit dari kepalan tangan yang mengarah ke wajahnya seraya tangannya menghantam lengan bagian dalam dekat siku dari Gandi yang sudah yakin akan dapat memandikan kuku besinya dengan darah lawan.

DEBBBHH..

Hantaman tangan Aswatama bak lumpang padi yang diayunkan kuat ke dalam alu, membuat tubuh Gandi langsung terlonjak dengan kaki terangkat dari udara, kemudian terpelanting dengan kuat ke belakang. Sedang begitu tubuhnya terputar menyamping membelakangi kedua lawan, kaki Aswatama dengan ringan terayun ke arah pemuda bertudung, sadar bahwa partnernya sudah terlempar ke belakang, sedang pukulannya hanya menghantam kekosongan, ditambah matanya mendapati gerakan dari kaki Aswatama yang terayun dengan cepat, pemuda bertudung itu segara membuat blok dengan kedua tangannya, melindungi tubuhnya.

BUGGGHH

Tendangan Aswatama menghantam blok silang dari pemuda bertudung tersebut, membuat kaki sang lawang sampai termundur selangkah. Namun Aswatama sedang tak berniat membuang waktu, begitu kakinya berpijak ia segera menyongsong ke arah lawan, ia sadar, tendangan bukanlah muara energi di tubuhnya, dari itu ia segera mengayunkan tangan kiri menyasar kepala lawan.

Dan sang lawan juga sadar, melihat efek pukulan Aswatama yang langsung membuat partnernya, Gandi terlempar, tentu pukulan itu bukanlah sembarang pukulan. Pemuda itu pun lekas mengayunkan kepalanya ke samping seraya merendahkan tubuh, bersamaan itu ia mengirimkan pukulan ke perut Aswatama.

DEBBHH

Pukulan pemuda itu bersarang tepat di perut Aswatama, namun betapa herannya ia ketika pukulan tersebut tak berefek sama sekali. Padahal pukulannya miliknya terkenal sebagai salah satu pukulan kuat di daerah asalnya. Dan belum sempat pemuda bertudung itu meresapi keterkejutannya, tiba-tiba..

BAAGGHHH

Kepalan tangan kanan Aswatama menghantam keras kepala bagian samping pemuda bertudung itu, dan pemuda bertudung yang sedari tadi berwajah datar dan masam itu langsung menampilkan mimik kesakitan yang maha dahsyat, matanya terbelalak lebar dengan mulut terbuka ketika tubuhnya seperti melayang di udara untuk beberapa saat, sebelum kemudian ia jatuh dengan keras di atas dedaunan.

“Bajingan!!”

Tepat ketika tubuh pemuda bertudung mendarat di tanah, Gandi muncul dari tempat sama yang ditinggalkan pemuda bertudung, sudah merangsek maju dengan tangan kanan terangkat tinggi-tinggi, menampilkan kuku besi yang posisinya sudah dirubah, bagian ujungnya melengkung ke dalam, kemunculannya yang tiba-tiba dan tak terlihat oleh Aswatama, membuat Sang Kuda Pesisir tak memiliki cukup waktu untuk menghindar, bahkan untuk sekedar menangkap kuku besi itu pun takkan sempat.

Dan kuku besi di tangan Gandi pun berhasil masuk ke bahu bagian luar sang lawan, seolah tak ingin berpasrah, Aswatama segera menurunkan tubuhnya seraya menyentak tangan Gandi menggunakan punggung lengannya dengan kuat, hal tersebut pun berhasil membawa kuku besi di bahunya tercabut, namun bentuk senjata itu yang melengkung, membuat kulit dan daging di bagian bahu Aswatama robek cukup dalam dan agak lebar.

Gandi termundur sembari memutar bagian dalam lengannya ke udara, ia menatap lengannya sendiri, rasa sakit yang mirip seperti sebelumnya ketika bahunya dihantam oleh sang lawan kembali terasa, sakitnya seperti ditusuk ribuan jarum secara bersamaan, membuat kaki lelaki itu bergetar lalu luruh ke tanah dengan lutut tertumpu.

*Siapa sebenarnya pemuda ini? Mengapa pukulannya bisa sangat menyakitkan seperti ini?*

Gandi membatin dengan napas memburu, wajahnya meringis menahan rasa sakit, lalu ditatapnya Aswatama yang berdiri sembari memegangi robekan di bahu kirinya dengan tangan kanan. Gandi tiba-tiba tersadar akan sesuatu, di kening lawannya, samar-samar terlihat pola berbentuk limas segitiga terbalik. Pola tersebut mirip seperti tatto, namun seperti ada cahaya redup yang sesekali nampak di sana. Pola tersebut tentunya tidak berada di sana sebelumnya, baru muncul ketika Aswatama selesai merapal kata-kata halusnya tadi.

“Ndak mungkin..” Gandi berkata dengan tubuh mulai bergetar hebat, kini tubuhnya sudah benar-benar terjatuh ke tanah, kakinya dengan bergetar mendorong tubuhnya untuk mundur. Terlebih ketika dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat kepalan tangan kiri lawannya seperti mengeluarkan asap putih tipis, asap putih yang meliuk-liuk ke udara, persis seperti asap dari puntung rokok yang didiamkan oleh penikmatnya.

Di tatapnya lagi wajah Aswatama yang terlihat jauh lebih mengintimidasi dari sebelumnya, entah karena efek keterkejutannya akan pola samar di dahi sang lawan, atau kepulan asap tipis yang keluar dari kepalan tangan Aswatama, Gandi pun tidak tahu akan itu, namun ia tetap menanamkan di kepalanya, bahwa kegentarannya saat ini hanya karena rasa sakit yang menjalar di tubuhnya yang membuat ia sebegitu ketakutannya.

“Bangsat!”
Dari arah lainnya, pemuda bertudung sudah bangkit dan berlari dengan kedua tangannya menenteng senjata berbentuk seperti tombak, namun dengan gagang pendek, yang jika dilihat lebih mirip kunai namun dengan ukuran lebih besar, seukuran golok.

Aswatama lekas memutar tubuhnya untuk menyambut kedatangan sang lawan, dan dengan membabi uta, pemuda bertudung tersebut mengayunkan kedua senjatanya dengan penuh emosi. Emosi tersebut adalah kombinasi dari rasa sakit yang mendera kepalanya tadi, serta rasa terhina sebab pukulan andalannya tidak sedikit pun berefek.

Kanan.. kiri.. kanan.. kiri.. atas.. bawah..

Pemuda bertudung tersebut seperti kesetanan menyerang Aswatama, sikapnya berbanding terbalik dengan sikapnya sebelum turun gelanggang tadi. Sayatan menyamping dari kanan ke kiri, atas dan bawah, yang sesekali dikombinasikan dengan hujaman serta hunusan, namun seluruh serangannya seolah mentah begitu saja, bukannya mampu melukai lawan, pemuda bertudung itu justru mulai merasakan kesakitan di lengan-lengannya tiap kali tepisan tangan dari Aswatama menyentuh lengannya, seperti ditusuk ribuan jarum disaat bersamaan.

Namun pemuda bertudung itu tak mau mundur, ia terus merangsek maju seraya terus berusaha menyarangkan ujung tomboknya ke tubuh sang lawan, hingga tiba-tiba, dengan gerakan yang begitu cepat dan tanpa ia duga. Aswatama memiringkan tubuhnya searah hunusan tombak yang di arahkan oleh pemuda bertudung itu, menyasar dada dari sang kuda utama pesisir selatan.

Lalu tanpa sempat pemuda bertudung itu mengedipkan mata, Aswatma langsung mengait lengan pemuda tersebut, lalu bergerak ke depan, menarik pemuda bertudung untuk maju selangkah. Kini posisi berubah, kedua pemuda tersebut sama-sema membelakangi, namun bedanya, lengan Aswatama terakit ke siku si pemuda bertudung, dan oleh Aswatama, dengan cepat sedikit di tarik ke belakang, membuat tubuh sang lawan sedikit melenting sembari meronta, berusaha melepaskan kaitan di lengannya.

Pemuda bertudung itu mencoba mengikuti arah tarikan dari lawannya, dan hendak memutar tubuhnya searah tarikan dari Aswatama, untuk kemudian menyarangkan tusukan ke perut bagian samping. Namun belum sempat ia melakukan hal itu, Aswatama dengan tubuhnya terlihat jauh lebih ringan dan lentur sudah melayangkan sikutan keras menggunakan tangannya yang lain, menyasar tepat ke kepala bagian belakang lawannya.

DUGGG..

Bunyi peraduan antara siku dan tengkorak kepala itu benar-benar terdengar nyaring, kepala pemuda tersebut bahkan sampai terdorong ke depan, membuat tudung di kepalanya tertinggal, dan hanya tersangkut sedikit di ujung kepala bagian atasnya.

Sikutan tersebut terlalu kencang baginya, yang saking kencangnya sentakkan sikut tersebut, bola mata pemuda yang lengannya masih berada dalam kaitan sang kuda pesisir pun langsung memutih, mulutnya terbuka lebar, dan kesadarannya langsung hilang saat itu juga. Kemudian sesaat sebelum tubuh pemuda bertudung itu luruh ke tanah, dengan cepat Aswatama memutar tubuhnya, ditarik kebelakang tudung yang tersisa di kepala lawannya. Lalu..

KRAKKK

BEGHHH

Tubuh pemuda bertudung itu tersungkur ke depan, dengan wajah tertoleh ke samping, kesadarannya sudah hilang sepenuhnya, dan benar-benar takkan kembali lagi. Sementara itu, Sang Kuda Pesisir langsung mengangkat wajahnya ke langit malam, memejamkan matanya kuat-kuat, lalu melepaskan kedua kepalan tangannya yang masih mengeluarkan asap.

Sedang Gandi yang menyaksikan partnernya ambruk, langsung memucat pasi. Ditatapnya dengan ngeri pemuda yang tengah menengadahkan kepala ke langit malam, hawa ini, aura ini, Gandi seolah tahu bahwa ia sudah amat salah karena menganggap pemuda yang ia cari hanyalah seorang pengantar pesan biasa, seseorang dengan ilmu rata-rata, namun sekarang apa?

Di hadapannya justru terpampang seorang pemuda pembawa pesan dengan pola limas segitiga terbalik di keningnya, pola yang pagi ini ia pikir sudah musnah, namun nyatanya justru ia dapati di kening sang pembawa pesan.

Tubuh Gandi gemetar hebat, dan dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki, ia berdiri kemudian berjalan mundur perlahan, hendak meninggalkan areal dengan hawa pengap ini, namun baru dua langkah kakinya termundur, ia menginjak sebuah ranting kering, bunyinya yang cukup nyaring itu seketika membuat kepala Aswatama menoleh ke belakang, pandangan Sang pembawa pesan itu langsung tajam menyudut pada Gandi.

“Tolong.. a.. a.. am.. pu.. ni.. heikk..”

Belum selesai Gandi dengan kata-katanya, tiba-tiba Aswatama yang tadi masih berada sekitar sepuluh meter jauhnya sudah berada di hadapan Gandi, dan langsung mencengkeram leher lelaki berjaket kulit itu dengan kuat, hingga kedua tak lagi menapak tanah. Tubuhnya berkejat-kejat, kaki dan tangannya seolah kehilangan daya saat itu juga.

Jika saja cekikan itu berasal dari orang biasa, niscahya mudah bagi Gandi untuk melepaskan diri, terlebih di kedua tangannya masih terdapat kuku besi, biasanya cukup dengan menggerakkan kedua kuku besi tersebut menyayat lengan lawan, maka cekikan sudah pasti terlepas. Tapi itu tak bisa ia lakukan saat ini, karena ketika di detik pertama cengkeraman Aswatama mendarat di lehernya, saat itu juga perasaan sakit maha dahsyat yang setara seperti seribu jarum yang sudah dipanaskan menghujam batang lehernya, sakit yang tak pernah dirasakan Gandi sebelumnya.

“Kenapa Kang? Bukankah tadi Akang bilang ingin memandikan kuku bima itu dengan darah saya?”

Dan setelah setelah pertemuan dan pertarungan yang terjadi, akhirnya Aswatama membuka bibirnya dan mengeluarkan kata-kata, suaranya yang menggeram seolah menandakan bahwa ia sudah sulit untuk mengendalikan dirinya sendiri saat ini.

“Heerrkhh.. herkkhh..” Gandi hanya menyahut dengan suara tercekik yang begitu menyiksa telinga, tubuhnya kejat-kejat di tubuhnya semakin melemah, hingga bebera detik kemudian tubuh lelaki itu benar-benar berhenti bergerak, lemas dalam cengkeraman tangan Sang Kuda Pesisir.

Dan seperti tak merasakan beban tubuh dari orang yang berada dalam cekikannya, Aswatama melempar begitu saja tubuh tak bernyawa itu dengan ringannya, kemudian ia berjalan ke tubuh lawan pertama yang berhasil ia tumbangkan, mengambil dua tombak yang tergeletak di tanah, lalu memsukkan ke dalam sweater sang lawan yang sudah tidak bergerak.

Lalu Aswatama memegang salah satu kaki orang tersebut, dan diseretnya dengan santai ke arah Gandi yang juga sudah tidak bergerak, hal yang sama pun dilakukan oleh Aswatama pada tubuh Gandi, tentu setelah memastikan kuku besi di telunjuk lawan tak tertinggal.

Dan dengan santainya Aswatama menarik kedua tubuh tersebut secara bersamaan menuju sebuah jurang yang ia sudah tahu letaknya ketika ia berada di atas pohon tadi, ia seret tanpa memedulikan jika sesekali kedua tubuh tersebut harus terantuk akar pohon, hingga kini Aswatama pun sudah mencapai bibir jurang yang terlihat tak berujung dan gelap.

Dan secara bergantian, ia lemparkan tubuh-tubuh itu ke dasar jurang, satu demi satu, dan bersamaan dengan itu, tiba-tiba petir terdengar menggelegar tanpa kilatan cahaya, lalu tanpa gerimis terlebih dahulu hujan langsung turun begitu saja, dengan deras dan begitu banyak. Aswatama mengangkat wajahnya ke atas, meresapi tetes demi tetes bulir hujan yang jatuh begitu kecangnya.

Dan seiring tubuhnya yang membasah, pola limas segilima di dahinya pun meredup, hingga berangsur hilang sepenuhnya. Seketika itu saja, pemuda itu langsung jatuh terduduk dengan lemas, wajahnya perlahan-lahan tertunduk, dan bahunya berangsur-angsur berguncang hebat, Sang Kuda Utama Pesisir Selatan itu menangis dibawah guyuran dan riuhnya hujan yang mendera seisi hutan tersebut.

“Hiks.. kenapa? Kenapa..” Pemuda itu bertanya pada dirinya sendiri, suaranya lirih tertahan, dadanya sesak bukan main. Ia selalu benci jika harus membangkitkan apa yang sudah ia redam selama ini. Terlebih, ia merasakan sesuatu yang lain hari ini.

Sesuatu yang berbeda dengan sebelum-sebelumnya ketika ia membangkitkan Asta Braja, sesuatu yang begitu terasa kuat dan penuh kuasa, yang membuatnya bahkan tak bisa untuk sekedar menghentikan setiap hasrat yang ada di dalam dirinya. Aswatama belum menyadari, bahwa ada sesuatu yang malam ini ikut bangkit bersama pelepasan alur bagian tepi, atau bisa dibilang gerbang terluar Asta Braja miliknya, sesuatu yang entah akan menjadi anugerah, atau justru musibah bagi dirinya sendiri.

Dan sesuatu itu adalah pemberian terakhir dari Sang Guru kepada dirinya, pemberian yang bahkan Aswatama sendiri tidak menyadari bahwa sudah menerimanya. Dan sesuatu itu berasal dari sebuah benda, yang tergantung di punggung sang kuda utama pesisir selatan, sesuatu itu dititipkan bersama Anggaraksa, tongkat yang diwariskan Abah Natha kepadanya.

**

POV REGAN

“OUGHH!! OUGGGHH!! OUGGGHH!! OUGGGHHH!!”

Aku membuka mataku dengan malas, mataku terasa masih berat sekali, sungguh.. rasanya seperti ada belasan monyet yang bergelantungan di bulu mataku, membuat kelopak mataku terasa amat berat untuk dibuka.

“OUUGGHH!! OUUGGHH!! OOUGGHH!!”

Aarrggh.. kenapa sih monyet-monyet ini menggelantungi bulu mataku saja? Kenapa enggak sekalian dempet-dempetan gitu di lubang telingaku? Biar gonggongan Si Bogi di luar jendela enggak kedengeran. Lagian Bogi kenapa sih berisik banget? Ini loh masih gelap kayanya.

“NGAAOOOOONGGGG… NGEOOONGGG…”

Aku seketika membuka mataku selebar-lebarnya ketika bising di luar justru diperkeruh dengan raungan Si Kepin, bukannya apa-apa nih, Si Kepin ini kalau udah bersuara, pasti harus cepat di sahutin, kalau enggak.. beuh.. bisa pecah gendang telingaku ngedengerin raungan kucing oren itu.

Aku segera bangkit dan menyambar Si Davis, kulihat jam baru menunjukkan pukul lima pagi, tapi kenapa mereka berdua sudah sebegitu rusuhnya mengganggu tidurku. Aku pun langsung membuka jendelaku lebar-lebar, membawa hawa dingin langsung masuk ke dalam kamarku, bahkan saking dinginnya, rasa-rasanya AC kamarku seperti enggak ada harga dirinya, kalah dingin Bung!

“Ough.. ough.. heh.. heh.. heh..” Gonggongan riang Bogi langsung menyambutku, ia melompat-lompat kegirangan, sedang Kepin kulihat berada di samping Bogi, dengan posisi duduk santai sambil sesekali menguap lebar. Bajigur mereka berdua ini, kenapa harus bikin ribut sepagi ini?

Akuloh tadi malem baru bisa tidur jam dua, entahlah kenapa malam ini aku sulit sekali tertidur, bahkan selepas mengantar pulang Hani, aku langsung mengunci diriku di kamar, sembari menatap langit-langit rumah dengan alunan lagu Padi yang sengaja kusetel keras-keras. Jujur, faktor utamaku susah tidur ya karena kepikiran sama kejadian kemarin maghrib. Tentang itu loh.. Teh Arum yang ternyata memergokiku sedang.. ahsudahlah, lupakan!

“SSSTT!! Berisik tau gak?” Protesku sebal sembari menatap Bogi, ia segera berhenti menggonggong, serta berhenti melompat-lompat. Namun kini ia mendekat ke arah jendela, kemudian tubuh bagian depannya dinaikkan, lidahnya terjulur dengan senyuman lebar.

Aku hanya mendengus sebal, lalu memberikan elusan pada kepala Bogi, yang olehnya langsung dorespon dengan kembali melompat-lompat, namun tanpa gonggongan tentunya.

Oh aku tahu kenapa dua semprul ini mengganggu tidurku, ini kan waktu mereka jalan-jalan pagi, biasanya sih Mang Diman yang ngajak mereka olahraga, tapi mungkin karena Mang Diman sedang pergi bersama kedua orangtuaku, mereka akhirnya sepakat menggangguku, aseem sekali ini!

“Tunggu depan sana..” Seruku mengalah, dan ucapanku langsung disambut Bogi dengan gonggongan riuh seraya mulai berlari geal-geol menghilang dari pandanganku, sedang Kepin dengan santainya bangun dari posisi setengah rebahnya, aku pun langsung memutar tubuhku, dan menjauh dari jendela.

Aku sih niatnya tadi mau nyalain lampu, terus cuci muka dan nyusul kedua semprul itu ke depan, tapi eh tapi, tubuhku malah mengkhianatiku, jatuh terlentang kembali ke atas kasur dengan kaki tergantung. Ahhh.. kok rasanya kasurku ini posesif sekali ya? Sampe-sampe enggak mau ditinggal gini? Uhhh.. empuk lagi.. meremin mata semenit dua menit enggak apa-apa kali ya? Nyegerin doang,,

Ah iya.. kan enak nih begini..

“NNGGEOOONGGG!!!”

“Astaga Kepin!” Aku tersentak kaget dan langsung terduduk ketika auman makhluk yang konon terlahir dari bersin singa itu menyalak nyaring. Terlihat Kepin tengah duduk dengan posisi tegap di kusen jendela kamarku, matanya yang menyala dalam gelap itu tajam menatapku.

“NGGAAUUWW” Bentaknya lagi padaku.

“Iya iya.. ini juga aku mau cuci muka..” Jawabku seraya berdiri dan langsung menyalakan lampu, sontak saja wajah kucing oren yang kalau marah mirip Pak Gopur itu langsung terpampang jelas. Ia menatapku dengan masam, sedang aku membalas tatapannya dengan bersungut-sungut sambil membuka lemariku, mengambil celana training dan kaos putih polos dari sana, sembari mataku membalas tatapan Kepin dengan sebal.

“NGGAOOWW!!!” Aum Kepin lagi seolah tengah memerintahku.

“HEUUH!! BAWEL!!” Seruku kesal seraya membuka pintu kamarku dan membantingnya agak keras.

Sembari bersungut-sungut aku pun berjalan ke kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Bagaimana enggak sebel? Kepin ituloh udah kaya majikan yang suka nyuruh sambil marah-marah, dan bodohnya lagi, aku kok ya mau-mau aja gitu dimarahin sama kucing jelmaan kampret itu? Aseem emang.. bajigur sekali..

Di dalam kamar mandi aku pun langsung membasuh wajahku, menggosok gigi, serta berkumur dengan cairan pembersih mulut. Setelah itu kubuka kaos poloku, dan kukenakan kaos putih polos yang sudah kubawa. Kemudian tanpa melepas celana dalam model boxer yang menyelimuti Si Marco, akupun langsung mengenakan celana training model gantung setengah betis, menyisir rambutku asal dengan jemari, kemudian membuka pintu kamar mandi dengan hati yang masih sedikit sebel-sebel eneg sama Kepin. Namun baru saja aku melangkah keluar dari kamar mandi, aku dikagetkan dengan kehadiran Teh Arum yang tiba-tiba sudah berada di hadapanku.

“Di isi dulu perutnya Nggan, sama minumnya udah aku siapin di teras ya..” Ucap Teh Arum yang pagi ini terlihat segar sekali. Gimana enggak seger? Gaun tidur tanpa lengan, dengan bagian bawah yang jatuh tepat di atas lutut, ditambah belahan yang cukup rendah, memamerkan belahan dadanya yang putih, ranum, dan kencang di pandangan mataku. Di tambah, cetakan putting di bagian bawahnya, plus harum shampo yang bercampur dengan wangi sabun membuatku seperti terombang-ambing di lautan Awan. Uhhh.. seger banget asli, enggak bohong.

“Nggan..” Panggil Teh Arum membuat lamunanku langsung buyar.

“Ya Teh?”

“Tanganku pegel ini..” Ujar Teh Arum lagi karena memang posisi tangannya terangkat, menyodorkan piring berisi roti tawar jenis gandum yang ditumpuk dua.

“Oh iya Teh.. ma.. maaf..” Sahutku sembari mengambil roti tersebut dengan sedikit kikuk. Teh Arum tersenyum, lalu berjalan menuju dapur sembari memamerkan geal-geol pantatnya yang jelas lebih memukau dari geal-geolnya Si Bogi.

Aihhh.. itu kalau diremas bisa langsung jedag-jedug pasti Si Marco. Eh tapi kok, aku enggak ngeliat cetakan CD di sana ya? Apa Teh Arum enggak pakai CD juga? Waduh, bahaya ini..

“NGGGEEOOOOOOOOOOOONNNGGGGGGGG!!!!!!!”

Lagi dan lagi, bacotnya Kepin terdengar nyaring mengisi ruang-ruang di setiap rumah ini, entah dari mana sumber suaranya itu, namun yang jelas itu sangat menggangguku yang tengah menikmati kepingan surga dunia ini.

“Si Kepin teh udah bawel pisan tuh Nggan..” Seru Teh Arum dengan logat halus khas daerahnya, tanpa menoleh ke arahku, ia seolah tahu bahwa aku tengah tersepona dengan body semlehoi yang tengah ia pamerkan.

“I.. iya Teh.. Nggan berangkat dulu kalo gitu..” Sahutku seraya langsung berjalan cepat ke arah kamar. Mencoba membuang pikiran-pikiranku, sembari kubenarkan arah Si Marco yang ternyata sudah bangkit, salah kiblat Bung jadinya ini.

Di dalam kamar, tak lagi kudapati kucing oren nan bar-bar berdiri di kusen jendela, mungkin ia sudah ke depan menyusul partner persemprulannya, laknat memang kau kepin!

Aku segera mengambil sepatu lari bermerk macanku, kemudian mengenakan kaos kakiku, dan menenteng sepatu tersebut ke depan. Ketika sampai di depan aku pun langsung mengenakan sepatuku, sembari memperhatikan Bogi yang berjalan-jalan memutar di sekitar gerbang, ekornya yang pendek ikut bergerak-gerak, mirip seperti ular derik. Tapi tunggu, di mana Kep to the Pin berada? Kok dia enggak kelihatan ya? Jangan-jangan dia tidur lagi nih! Bajigur ini..

“Mauw mauw mauw..”

“Kampret!”

Aku kembali terlonjak, ketika tiba-tiba Kepin sudah berdiri di samping kakiku, dengan giginya menggigit sebuah tali kekang, ornamen wajib jika hendak mengajak pitbull jalan-jalan. Pitbull memang adalah jenis anjing yang kesetiannya di atas rata-rata, dan kesetiannya itu tak ayal menjadikan jenis anjing ini begitu protektif terhadap tuannya, jenis anjing ini takkan membiarkan secuil pun bahaya mendekat ke tuannya, determinasinya yang tinggi, membuat jenis anjing ini akan sangat agresif jika merasa ada bahaya yang mendekat. Jadi, ini sekadar saran bagi kalian yang hendak memelihara jenis anjing ini, sejinak apapun, jika keluar rumah usahakan selalu pasangkan tali kekang ya!

Aku memandang Kepin dengan senyuman kecil, yang olehnya direspon dengan meletakkan tali kekang tersebut, setelah itu kucing itu pun ngeloyor begitu saja, berjalan sok anggun ke arah Bogi. Aku yang sudah selesai memasang tali sepatu pun segera menyusul dengan menggenggam tali kekang yang dibawa Kepin tadi. Dan melihatku datang, Bogi semakin melonjak-lonjak dan kegirangan bukan main. Seolah mengerti, ia segera menyodorkan kepalanya untuk kupasangkan tali kekang yang kubawa, aku memberika hadiah elusan di kepalanya, serta garukan lembut di bawah dagu, membuat anjing kesayanganku ini tersenyum bahagia dengan lidah menjulur.

Setelah memastikan tali kekangku terpasang secara kuat, aman dan nyaman, aku pun melilitkan bagian pegangan tali di telapak tanganku kuat-kuat, setelah itu menoleh pada Kepin yang terlihat tengah duduk bersantai, setengah rebahan. Aku menoleh pada Bogi, lalu memberinya isyarat kepala, seolah mengerti, Bogi lekas mendekat pada Kepin, dan tanpa permisi langsung menghadiahi jilatan di wajah kucing tersebut. Membuat Kepin terlonjak dan langsung melayangkan cakaran ke arah wajah Bogi, namun Bogi dengan cepat mengelak dan berlindung di belakang tubuhku.

“NGGAAOOONGG.. GGRRRRR..” Protes Kepin sambil mencoba membersihkan liur Bogi di wajahnya, sedang aku hanya tertawa saja melihat wajah masam Kepin.

“Udah ah.. ayo let’s to the go.. let's go!!” Seruku pada kedua hewan yang sudah kuanggap seperti bagian dari keluargaku ini, tanganku sigap membuka gerbang, Bogi menjadi yang pertama keluar, aku mengekor di belakangnya, sedang Kepin menjadi yang terakhir keluar, seperti mau tak mau kucing itu memang. Pemalas akut, kaya.. kaya aku hehehe.

Dan setelah menutup gerbang kembali, kami pun mulai berlari kecil di atas aspal jalan yang masih terlihat basah mengkilap. Udara pagi kota ini lumayan bersih kalau masih pagi begini, tapi beranjak siang sedikit.. jangan harap, asap kendaraan terasa pengap dan sesak mengkungkung kota. Bogi berlari satu meter di depanku, pantatnya yang bahenol bergeal-geol, kaki-kakinya yang pendek terayun dengan bersemangat.

Sedang Kepin berlari tepat di sampingku, kepalanya terangkat tinggi-tinggi, seolah tak membiarkan kewibawaannya turun di mana pun ia berada kini. Tujuan kami adalah sebuah taman yang berada di komplek perumahan militer, karena selain pohon-pohonnya yang banyak dan rindang, juga karena komplek militer yang terbuka untuk umum itu lebih bersahabat untuk berolah raga, minim kendaraan soalnya.

Semakin lama, kurasakan kecepatan lari Bogi semakin bertambah, membuatku juga harus menambah kecepatan ayunan kaki ku, napasku? Jangan ditanya.. sudah mulai ngos-ngosan sebenarnya. Cuma gengsi lah kalau aku harus kalah sama kedua hewan kesayanganku ini. Lihat aja tuh, Bogi berlari-lari dengan wajah amat bahagia dan antusias, sesekali ia menoleh padaku dan memberi gonggongan semangat, tak terlihat lelah sama sekali anjing itu. Sedang Kepin? Jangan ditanya dia mah, wajahnya ya stay cool aja, tapi larinya sedikit pun tak diperlambat, mengimbangi kecepatan lariku dan Bogi, napasnya? Tenang-tenang saja dia itu, seperti tidak merasakan lelah sama sekali. Aseem ini!

Begitu melewati gerbang utama komplek perumahan militer tersebut aku bertukar hormat dan senyuman pada petugas yang berjaga di pos masuk, meminta Bogi untuk memperlambat langkah, sekedar say hello dulu lah sama petugas-petugas di sini, akuloh baru kali ini lagi ke sini, sebelum-sebelumnya mana pernah sih aku lari pagi, ini karena dipaksa dua semprul aja. Aku juga memutuskan memperlambat langkah karena aku memang mengenal beberapa orang yang tinggal di dalam komplek ini, salah satunya adalah petugas militer yang tengah berjaga tersebut, namanya panjang, namun aku biasa memanggilnya Om Yos.

“Bah.. tumben betul ko orang yang ajak lari dua jagoan ini? Kemana Si Diman’e?” Seru Om Yos ketika aku merapat ke Pos. Om Yos ini berasal dari pulau nun jauh di timur negeri, dan sudah tinggal di kota yang menjadi pusat dari segala aktivitas negeri ini semenjak menikah, namun yang aku salut, ia tak kehilangan identitasnya sebagai putra asli daerah sana, logatnya saja masih kental sekali ini. Pssstt.. umurnya memang sepantaran dengan Mang Diman, jadi jangan pikir Om Yos enggak sopan karena manggil Mang Diman hanya dengan nama saja ya.

“Iya Om, Mang Diman pulang kampung, nengokin keluarganya di sana, Ayah sama Ibu juga ikut..” Jawabku seraya menenangkan Bogi, memintanya untuk beristirahat sejenak, sedang Kepin sih tanpa disuruh juga langsung masuk saja ke Pos Jaga, naik ke atas sofa dan merebahkan tubuhnya di sana. Super selaw kucing itu memang.

“Oh iya.. lalu macam mana? Keluarga dia orang baik-baik saja kah?” Tanya Om Yos sembari menyodorkan gelas berisi air yang ia ambil dari dispenser yang ada di sana. Aku menerimanya sembari mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Ia pasti sudah tahulah perihal bencana yang melanda pesisir selatan pulau ini, mimik wajahnya pun terlihat begitu bersimpatik.

“Mang Diman sih bilang kalo tempatnya enggak kena kok Om, agak jauh juga kan dari pantai soalnya..” Terangku dengan bibir mulai meneguk air pemberian Om Yos, lumayan haus juga ternyata aku.

“Bagus kalau macam tu.. semoga semua baik-baik saja.. sa pun dapat kabar dari sa punya kawan yang dikirim ke sana, bahwa korban jiwanya tra terlalu banyak..” Sahut Om Yos dengan tubuh diturunkan untuk mengelus kepala Bogi.

“Iya Om? Tapi bukannya tsunami-nya lumayan tinggi ya Om?” Tanyaku sedikit berpikir.

“Aih.. itu yang aneh, dari sa punya kawan di badan statistik alam, dia orang bilang harusnya itu tsunami dua sampai tiga kali lipat lebih tinggi dari yang dilaporkan. Sebab Putra Mandara pun sampai bersisa sedikit saja, tra sampai setengah badan..” Terang Om Yos dengan wajah terangkat, aku mengernyitkan dahi, sedari kemarinsih aku memang belum mengikuti perkembangan terkait bencana ini.

Tapi kalau benar apa yang dibicarakan Om Yos, berarti aneh enggak sih? Ah taulah, ngapain juga aku sok-sokan mikirin ginian.

“Ya.. itu berita bagus kan Om?” Ucapku berbasa-basi, mencoba tak terlalu memikirkan apa yang Om Yos ucapkan tadi.

“Ya bagus.. tapi tetap saja aneh’e..” Sergah Om Yos seraya berdiri kembali, wajahnya seperti dibuat-buat berpikir keras.

“Aneh di mana nya sih Om? Udah disyukuri aja ah..” Ujarku lagi seraya gantian mengelusi Bogi, aku elus di bagian lehernya, membuat ia mendongakkan kepala dengan raut bahagia.

“Betul yang ko bilang Nggan.. su ko lanjut sana.. jang ko terlalu lama di sini, ko harus sekolah ingat! Jang karna tra ada orang tua, ko malas-malasan’e..” Seru Om Yos padaku, yang langsung kubalas dengan memberikan hormat bendera, setelah itu kuajak kembali Bogi dan Kepin untuk melanjutkan agenda pagi kami ini. Namun… hehehe.. aku minta Bogi enggak usah pake lari-lari, jalan santai aja. Engap euy..

Setibanya di taman komplek ini, terlihat beberapa orang sudah tengah melakukan aktivitas olahraganya masing-masing. Mayoritas tentu saja adalah penghuni komplek ini, dan tidak ada yang membawa anjing, hanya aku saja. Jadi seetidaknya tugasku hari ini akan lebih ringan, karena tidak perlu susah payah menenangkan Bogi jika bertemu dengan anjing lain.

Oh iya, buat catatan aja sih, semua yang kulihat saat ini rata-rata batangan semua, jadi enggak usah deh kalian ngarep ada ciwi-ciwi berdada munjung lari gundal-gandul di sini. Jangan ngadi-ngadi dah pokoknya hahaha.

Aku pun mengajak Bogi dan Kepin untuk berlari-lari kecil mengitari sisi terluar taman ini, sembari napasku menghirup dalam-dalam oksigen yang dihasilkan dari pohon-pohon di sekitar sini. Hhhmm.. Hahhh.. lumayanlah, seger-seger plong gimana gitu. Ditambah, semburat sinar fajar mulai memanjat langit, menyebarkan warna putih kekuningan, sayangnya bangunan-bangunan menutup cakrawala, jadi jangan berharap aku bisa melihat fajar diufuk sana. Tapi tak apa, aku sih bukan senja-senja dan fajar-fajar mania banget kok.

Dan karena ukuran taman yang cukup besar, butuh setidaknya waktu sekitar sepuluh menit lebih untukku dapat kembali ke titik awal kami mulai berlari. Bogi masih bersemangat dengan riang dan menggemaskan, Kepin masih stay cool sok ganteng, sedang aku? Huh.. huh.. mulai ngos-ngosan lagi sih jujur. Aku bahkan akhirnya meminta break pada kedua semprul itu, hendak menormalkan napasku dulu, terlebih tali kekang di telapak kananku mulai terasa perih, jadi lebih baik aku pindahkan sejenak ke tanga kiri.

Aku loloskan tali tersebut dari telapak tanganku, dan begitu terlepas aku hendak langsung melilitkan di telapak tangan kiriku. Namun tiba-tiba..

“OUGGGHH…”

Bogi menyalak dan melonjak dari tempatnya berdiri, membuat tali kekang yang baru berada di dalam genggamanku langsung terlepas. Aku terkesiap, Bogi berlari dengan kencang dan nyalak gonggongannya. Sialan.. ngejar apa sih Si Bogi itu?

“BOGII!!!!!!!!” Aku segera berlari kencang, berusaha mengejar Bogi yang sudah berjarak sepuluh meter lebih di depanku. Kepin juga ikut berlari, ia bahkan berada 2-3 meter di depanku, berusaha mengejar Bogi juga.

“OUGGHH GGRRR… OUGGHH..” Suara Bogi menggema di seisi taman, membuat orang-orang yang tengah berolah raga langsug mengarahkan mata kepada kami. Melihat seekor pitbull lepas dari pemiliknya dan berlari bebas tentu bukanlah pemandangan yang ingin dilihat orang-orang tersebut tentunya, beberapa dari mereka bahkan sigap berjaga, bahkan ada yang sigap naik ke tempat lebih tinggi. Ada yang naik ke atas teralis pembatas taman, ada yang naik ke atas tiang ayunan, bahkan ada yang tengah berusaha naik ke atas pohon, berusaha mencari tempat teraman mungkin.

Bahaya ini! Kalau sampai Bogi menggigit orang bagaimana? Arrgghhh bisa ribet ini urusan.. Aku mempercepat langkahan kakiku, mencoba meringankan kakiku, Bogi lalu menghilang dikelokan taman, bersamaan ketika aku berhasil mendahuili lari Kepin. Sialan ini.. aku harus lebih cepat.

“BOGI!!!” Aku terus berusaha memanggil Bogi, sembari sesekali berteriak memperingatkan orang-orang agar jangan sampai diterkam Bogi. Hingga ketika aku sudah mencapai kelokan taman, mendadak langkahku langsung melambat. Mataku nanar membelalak dengan alis tertaut.. bagaimana ini bisa terjadi?

Di hadapanku, terpampang pemandangan yang membuatku langsung diserang shock-effect begitu keras. Bagaiman tidak? Di depan sana, terlihat Bogi sudah berada kembali dalam mode tenangnya, tubuhnya menghadap ke arahku, namun aku tidak bisa dengan jelas keseluruhan tubuh anjing gempal itu, sebab tertutup tubuh seorang gadis yang tengah berjongkok membelakangiku, berhadap-hadapan dengan Bogi. Aku yang tadinya sudah selangkah mendahului Kepin pun kembali berhasil disejajari oleh kucing tersebut, aku menoleh heran padanya, mencoba mencari jawaban siapa gadis yang berhasil menenangkan Bogi itu.

Kepin hanya melirikku sejenak, kemudian berlari kencang meninggalkanku yang sudah tengah berjalan pelan. Aku yang masih dibekap kebingungan pun hanya bisa berjalan pelan ke arah gadis yang semakin dekat jaraknya, semakin terlihat bahwa ia tengah menguyel-uyel wajah Bogi. Kepin bahkan sudah ikut bergabung, membuat ia langsung mendapatkan elusan lembut dikepalanya. Aku melirik sekitar, orang-orang yang tadi sibuk menyelamatkan diri mulai turun dari tempat-tempat aman yang mereka pilih.

Huh.. seneng ya kalian? Tampang garang-garang tapi langsung pada blingsatan cuma gara-gara Bogi kelepas doang..

Aku meenggerutu dalam hati. lalu meneruskan langkahku dengan sedikit terseok-seok, mendekat dengan perasaan heran yang membuncah di kepala, siapa gadis yang rambutnya diikat tinggi-tinggi itu? menampilkan leher putih jenjangnya yang sedikit mengkilat keringat. Bikin deg-deg ser aja kan jadinya. Uhhh..

Aku terus mendekat, dan tak seperti biasanya, Bogi seperti tak peduli pada kedatanganku, ia sama sekali tak menyambut kedatanganku, larut dalam usapan gadis di hadapannya.

“Ma.. maaf Mba.. saya lalai sampai.. eh..” Aku yang berada tepat di belakang gadis itu segera menyampaikan permintaan maaf, entah untuk apa permintaan maaf itu kuutarakan, yang jelas aku merasa lalai saja karena membuat Bogi terlepas. Namun kata-kataku tak sampai selesai, karena ketika gadis di hadapanku menoleh, aku langsung tersirep dalam-dalam. Dia kan..

“Loh ini anjingnya Kakak?” Gadis itu bangkit dengan anggunnya dan berdiri menghadapku, tangannya terlihat sudah memegang tali kekang Bogi, anjingku itu kini berjalan ke samping gadis itu, berdiri dengan tenang, ekornya berayun-ayun cepat, lidahnya terjulur dengan senyum mengembang. Sedang Kepin berjalan mengitari kaki sebelah kiri gadis itu, mendusel-duselkan kepalanya di kaki putih tersebut.

Gadis ini.. gadis yang mengenakan kaus putih pendek pas badan, yang dipadukan dengan celana training polos berwarna senada sebatas bawah lutut ini kan..

“Kak?”

Aku terkesiap tatkala gadis itu kembali memanggilku, aku segera tersadar, dan langsung membungkukkan tubuhku berkali-kali.

“Saya minta maaf.. Dan terimakasih karena udah ngamanin Bogi..” Aku menghaturkan maafku dengan perasaan berdebar, apa ini? Apa ini rasa bersalahku yang tadi, atau ada perasaan lain yang membuat dadaku berdebar hebat.

“Ih.. Kakak enggak perlu minta maaf.. Aku emang udah sering ketemu Bogi kok, tapi aku rada kaget aja pas liat Bogi dateng sendirian, enggak sama Bapak yang biasa ngajak dia jalan..” Ucap Gadis itu dengan wajah sedikit bersemu merah, kontras dengan warna dasar kulitnya yang putih bak melati di pekarangan rumahku.

“Pokoknya makasih ya..” Ucapku lagi dengan sedikit gugup, gadis di hadapanku mengangguk pelan. Senyum kecil di bibirnya tersungging, sialan.. itu senyum apa senyawa glukosa? Manis banget kok dilihatnya.

“Hhhmm.. Oh iya.. Regan.. kelas dua, akuntansi 1.. kamu anak kelas 1 kan?” Aku memberanikan diri menyodorkan tanganku untuk mengajaknya berkenalan. Dan yap.. dia ini anak sekolahku juga, anak kelas satu sih kayanya, beberapa kali aku pernah melihatnya di sekolah. Kaya kemarin misalnya, pas aku lagi dihukum di lapangan, aku sempat melihat dia di koridor lantai atas. Dan lagi pula, rambutnya yang selalu dikuncir itu tentu saja membuatku langsung mudah untuk mengenalinya.

“Ya aku udah tau kok. Aku Dira.. kelas satu Administrasi Perkantoran 1..” Gadis manis nan mungil dengan tinggi hanya sebatas daguku itu menyambut uluran tanganku, menjabat tanganku dengan… uhh.. lembut sekali ini tangannya. Tapi tunggu, dia bilang udah tahu tadi? Bahh.. terkenal juga ya aku ternyata? Hahahaha.

Eh namanya tadi siapa? Dira ya? Uhhh.. enak banget didengernya ya itu nama, entahlah siapa nama lengkapnya, namun yang jelas aku benar-benar baru tahu nama adik kelasku ini.

Dira.. gadis cantik nan manis dengan rambut yang selalu diikat tinggi itu benar-benar mmebuatku terkesima pagi ini. Matanya yang sedikit kecokelatan, cantiknya yang natural, bibir merah mudanya yang tipis, dilengkapi dengan sepasang gigi kelinci yang menambah kesan manis dan imut Dira di mataku.

‘Mauw..” Di tengah keterpanaanku, suara Kepin langsung menyadarkan kami berdua, yang langsung segera melepaskan jabatan tangan kami. Dasar kucing oren enggak ada akhlak emang.. enggak bisa banget gitu ngertiin majikan dikit.. Bajigur banget sih..

Lihat tuh, Dira jadi nunduk-nunduk malu kan.. bangke lah kau Kepin!

“Hmmm.. sebagai permintaan maaf dan rasa terimakasih saya, boleh enggak saya traktir kamu sarapan?” Aku kembali memberanikan diriku, dan entah dari mana keberanian kurang ajar itu datang, menyampaikan niatan tersebut yang bahkan aku sendiri tak mengerti mengapa aku mengatakan itu.

Aku menangkap raut keterkejutan meraga dari wajah Dira, membuat semu merah di pipinya semakin terlihat jelas. Untuk beberapa saat aku melirik Bogi, ia mengangkat wajahnya ke arahku, menampilkan senyum lebar menggemaskan khasnya dengan lidah terjulur, lalu kulirik Kepin, ia terlihat membuang wajahnya acuh seraya menguap dengan santainya. Huh.. aku pandang lagi gadis dihadapanku itu, ia masih diam. Apa ini artinya ia menolak ya? Ya jelaslah, akuloh.. masa tiba-tiba ngajak sarapan bareng. Apa enggak curiga dia nanti?

“tapi pasti kamu udah sarapan ya sebelum ke sini? Enggak apa-apa deh kalau gitu. Mungkin lain..”

“Enggak kok, aku belum sarapan tadi..” Kata-kata perihku seketika terpotong oleh ucapan Dira, membuat senyumku seketika terkembang tanpa bisa kutahan. Ia membalas tatapanku dengan raut antusias. Woo.. mantao ini, enggak jadi tertolak aku Bung!

“Kalau gitu.. kamu mau sarapan apa?” Tanyaku tak kalah antusias. Dira kulihat menggeleng pelan.

“Enggak tahu, terserah Kakak aja..” Jawabnya terdengar begitu syahdu di telingakiu. Baik, ini adalah kebiasaan perempuan yang harusnya aku sudah tidak kaget. Putar otak Nggan.. ayo.. pilih tempat.. pilih pilih pilih.. dan.. ting!!

“Sarapan buras aja ya.. suka kan?” Tanyaku pada Dira, ia sempat menautkan alisnya, bibirnya sedikit terbuka. Apa dia enggak suka buras ya? Jangan-jangan dia sukanya friedchincken, atau burger, atau pizza.. haduh.. di sini yang jual makanan jenis itu jauh lagi.

“Buras itu.. apa Kak?” Tanya Dira dengan wajah polos dan kepala sedikit dimiringkan. Aku menepuk dahikiu dengan keras, lalu tertawa kencang.

“Kak Regan kenapa? kok malah ketawa?” Tanya Dira bingung, aku pun berusaha keras menyudahi tawaku.

“Maaf.. maaf.. maksud saya, lontong sayur.. buras itu lontong sayur Ra..” Ucapku sembari memegangi perutku, Dira mengangguk-anggukkan kepalanya, seperti tengah menimang-nimang.

“Oh.. oke.. yuk!” Ajak Dira antusias, aku mengangguk senang.

“Boleh..” Ucapku sedikit segan dengan tangan terulur, hendak meminta tali kekang Si Bogi yang masih berada dalam genggaman tangannya.

Ya.. bagaima ya.. bukannya aku enggak percaya kalau Bogi sama Dira, Cuma aku rada takut aja kalau nanti Bogi tiba-tiba berulah lagi, pastilah Dira enggak bakal kuat nahanin pitbull bantet kesayanganku itu. Beruntungnya Dira enggak tersinggung dengan uluran tanganku. Ia malah tersenyum lebih lebar dan langsung menganggukkan kepala. Lalu..

TAP..

Aku sedikit terhenyak tatkala ternyata.. bukan tali kekang Bogi yang diberikan Dira kepadaku. Melainkan telapak tangannya. Iya! Telapak tangannya! Ia menyambut uluran tanganku itu dengan genggaman tangan! Gila! Bukan itu maksudku sebenarnya.

“Ouuuuuughhhh..”

“Maaaauuuwww…”

Terdengar suara dua semprul seolah berseru bahagia melihat wajah kagetku, dan itu seperti menyadarkanku langsung dari ruang-ruang pikiran yang sempat membekap kepalaku. Kupugar senyumku, kubalas genggaman tangan Dira seraya memutar tubuhku untuk mengajaknya beranjak dari tempat itu.

Senang? Yaiyalah.. lelaki mana yang enggak senang saat ada gadis yang baru ia tahu namanya pagi ini, namiun langsung memberikan genggaman tangannya? Bodoh banget aku kalau nolak. Duh mimpi apa sih aku semalam? Perasaan enggak mimpi aneh-aneh, enggak mimpi anu-anu juga, dan enggak mimpi basah juga. Uhhh..

Jagat dewa batara… mimpi apa sih aku ini semalam?

Bersambung..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd