BAGIAN 11 : BEBAN MASA LALU
***
POV REGAN
*
Aku mengepalkan tanganku keras-keras, mengatur posisi pijakan kakiku, memusatkan pandanganku tajam-tajam ke arah pintu. Langkah-langkah itu semakin dekat, semakin dekat dan semakin dekat. Kemudian seorang lelaki dengan bagian mulut tertutup masker medis berwarna hijau di ambang pintu kamar ini, ia mengenakan kaos hitam dengan luaran jaket kulit berwarna hitam juga, sedang bawahannya sendiri adalah celana jeans berwarna biru gelap.
Di bagian kerah kaos hitamnya, tergantung kaca mata hitam. Rambutnya rapih dan klimis. Di belakang lelaki itu berdiri tiga orang dengan wajah tegang dan napas terengah, mereka semua kompak menatap ke satu arah, ke arahku.
“Halo Regan..” Ucap lelaki yang necis yang memimpin tiga orang di belakangnya itu, bersamaan dengan itu ia tarik turun maskernya, membuat wajahnya terekspos jelas di depan mataku. Senyumnya mengembang kecil, tatapannya datar menghujam mataku.
Heh..?
***
“Tolong bawa orang ini ke rumah sakit, pastikan juga enggak ada warga yang mendekat ke sini, nanti akan saya kabari untuk tindakan selanjutnya. Sisanya biar saya yang urus..”
Anjir.. kenapa orang paling menyeramkan di muka bumi ini bisa ada di sini? Setelah belasan purnama enggak nunjukin batang hidunnya, jsutru sekarang dia muncul di sini? Mengapa ia muncul di saat menjengkelkan seperti ini?
Mampus aku.. mampus udah.. asli..
Dan tepat setelah
The Scarie Man itu memberikan perintah, ketiga orang di belakangnya pun segera mengevakuasi Si Gembyor sercara bergotong royong. Setelah itu, aku dipandanginya dengan tatapan tajam yang menyeramkan, kakinya mulai melangkah.
Oh iya.. sialanlah.. biar sekalian saja kuperkenalkan kepada salah satu lelaki paling aku hormati, segani, takuti namun tetap sedikit kusayangi di seluruh bumi pertiwi ini. Beliau adalah Om Damar, nama lengkapnya Damar Raksa Aliendra. Dia ini.. sialan gemetaran aku ini.. sial banget sih ketemu Om Damar di waktu yang salah ini.. bangsatlah..
Beliau ini.. glek.. bentar aku nelan ludah dulu, seret langsung rasanya tenggorokanku ini.. fuuhh,, beliau ini Om-ku, iya Om-ku! Adik kandung dari Ayahku.
Selain itu, kata Mang Diman dan Nenekku, Om Damar ini dulunya adalah guruku dalam belajar ciat-ciat waktu kecil, tapi waktu kecil aja, karena aku sendiri kan enggak ingek, jadi ya aku sejujurnya enggak pernah ngerasain gimana rasanya kalau Om Damar lagi jadi
sensei, karena ya itu.. memori masa kecilku kan udah ke reset pasca kecelakaan di Bukit itu.
Dan setelahnya sih, boro-boro jadi
Damar-Sensei kaya cerita dari Mang Diman maupun Nenekku, Om Damar malah seperti guru BK yang tingkat keseraman dan kebringasannya di atas guru BK manapun yang ada di muka Bumi Ini. Intinya ya.. Om Damar hanya Om Damar, ia hanya Omku aja. Om yang menyeramkan dan penuh tempramen tepatnya. Hihhh..
Tapi ini bener-bener Kampreto ini.. kenapa Om Damar bisa ada di sini sih?!
Matanya itu loh, sama tajemnya kaya mata Ayah. Tapi bedanya, kalau Ayah kan walau pun sangar, tapi hatinya lembut. Sama satu lagi sih, Om damar keliatan lebih putih dikit aja dari Ayahku, dikit lho ya, engga banyak. Itu mungkin karena dia sering faisal wajah.. eh maksudku facial. Enggak tahu sih, aku nebak aja.
Tapi kalau misalnya Om Damar tahu kalau aku nganggep dia facial wajah.. kira-kira aku bakal diapain ya? Dimutilasi? Cincang halus? Atau malah dibakar hidup-hidup? Ihhhh.. enggak kebayang deh aku.
Tapi sumpah, dibanding harus berhadapan dengan Om Damar ini.. hihhh.. aku lebih baik dicabik-cabik Bogi, dimakan hidup-hidup dan dikentutin Si Kepin dibanding harus berhadapan dengan Om Damar, asli deh enggak bohong aku.
“Terimakasih ya..” Ucap Om Damar yang sudah berada di hadapanku. Glek.. aku menelan ludahku dengan berat. Tu.. tumben dia bi.. bilang makasih sa.. sama aku? Ealah bangsat kok jadi gagap gini sih!
“Sa.. sama-sama Om..” Sahutku terbata dengan tetap berusaha mengangkat kepalaku, tetap berusaha menatap matanya. Karena Om Damar ini paling enggak suka sama orang yang kalau diajak bicara tapi matanya kemana-mana, apalagi kalau sampai nunduk, abis pasti.
“Minggir! Aku ndak bicara sama kamu..” Ujar Om Damar dingin seraya menggerakkan kepalanya agar aku bergeser dari posisiku.
Sialan.. matanya itu menatapku tapi dia bilang enggak ngomong sama aku? Anj.. eh enggak boleh maki, bisa mati aku kalau kebanyakan gerutu kaya gini. Jadi tanpa menunggu perintah kedua, aku segera menggeser sedikit posisi tubuhku, membuat posisi Budeh yang berada di belakangku langsung terbuka. Om Damar pun maju mendekat ke ranjang, kemudian membungkukkan tubuhnya, memberi gesture penghormatan kaya orang-orang Nipon sana.
“Terimakasih banyak karena sudah menahan orang ini agar bertindak lebih jauh, saya juga minta maaf jika orang ini sudah menyusahkan.” Om Damar berkata dengan punggung membungkuk, setelah kata-katanya selesai, barulah ia mengangkat kembali tubuhnya. Sedang Budeh yang diajak bicara terlihat kikuk, wajahnya yang tadi ketakutan kini menampilkan raut kebiungungan.
Tapi sialan enggak sih.. Dia bilang apa barusan? Orang ini? Ampas bajigur.. udah enggak dianggap kah aku sebagai keponakan tertampannya? Atau karena sudah beberapa bulan kami enggak ketemu, jadinya Om Damar ini lupa sama wajah mempesonaku ini? Kampret..
Eh bentar.. malah bagus dong kalau seperti itu? Jadi aku enggak perlu khawatir bakal kena cut cut dor dari Omku ini kan? Wah mantep ini hohoho
“Sa.. saya yang harusnya berterimakasih.. karena Regan sudah menolong saya..” Sahut Budeh dengan sedikit terbata, mendengar kata-kata dari Budeh, Om Damar sempat melirikku sebentar, tatapannya dipenuhi aura hitam pekat yang menakutkan.
“Oh iya, sebelumnya izinkan saya memperkenalkan diri, nama saya Damar, dan kehadiran saya berserta tim saya di sini dikarenakan ada panggilan darurat ke pihak kepolisian. Harap maafkan saya jika sudah lancang masuk ke rumah ini..” Om Damar memperkenalkan dirinya pada Budeh, bersamaan dengan itu ia tunjukkan lencana miliknya. Budeh mengangguk ragu-ragu.
Heleh.. pamer! Eh tapi bentar.. Panggilan darurat? Tapi siapa coba yang melakukan panggilan darurat? Aku? Lah kan belom sempet diangkat sama pihak kepolisian keburu dihantem vas bunga tadi. Budeh? Ya mana mungkin.. Budeh aja baru aku lepasin iketannya. Eh ngemeng-ngemeng panggilan darurat, ini BB-ku mana ya? Ke lempar kemana dia tadi.
“Kalau begitu saya akan tunggu di luar, Ibu silahkan berpakaian dahulu, karena setelah ini saya butuh bicara dengan Ibu.” Ucap Om Damar seraya mundur dan berbalik badan tanpa menunggu persetujuan Budeh.
Huh.. aku membuang napasku lega, mengusap dadaku pelan. Kayanya mungkin Om Damar mengalami mal fungsi otak ketika bertugas, mungkin kepalanya itu terantuk gagang pistol atau ketabrak kontainer, jadinya dia benar-benar enggak inget akan keponakannya ini. Kiw kiw.. mantap ini.. hohoho.. Selamat aku ckckck..
Sekarang aku tinggal nyari BB-ku, abis itu beres Ckckckck
“Regan..” Tiba-tiba suara Om Damar kembali terdengar. Anjing… kok dia tau namaku? Padahal aku beneran ngarep Om ku itu amnesia, asli. Lebih bagus begitu..
Aku yang tadinya berniat melongok kolong ranjang pun kembali menatap ke arah pintu, di sana Om Damar berdiri mematung membelakangiku. Sialan.. keringat dingin langsung turun ke bijiku ini.
“Satu menit.. lebih dari itu kamu tahu risikonya.” Ujar Om-ku itu dengan dinginnya seraya melanjutkan langkah, menghilang di balik pintu. Mampus.. dia enggak amnesia njir ternyata.. sialan.. sialan.. pupus sudah harapanku.. hancur sudah masa depanku.. aarrrggghh
Eh tadi Omku bilang apa? Satu menit? anjir satu menit doang coy.. mampus aku..
“Sudah Cah Bagus, sana.. nanti handphone kamu biar Budeh yang carikan..” Budeh berucap seraya mengelus lembut kepalaku dengan tangan kanannya, aku menatap Budeh dengan lembut, kemudian tersenyum dan bangkit dari jongkokku.
Reflek aku pun segera memegang telapak tangan Budeh yang tengah mengelusi kepalaku, mencium punggung telapak tangannya berkali-keli, menyampaikan terimakasihku, sembari menikmati kelembutan kulit tangan Budeh hihihi.
Setelah itu aku pun berlari keluar kamar, menyusul Om Damar yang pasti sedang menungguku. Jagat Dewa Batara.. kenapa harus kau hadirkan iblis menyeramkan itu di saat seperti ini? Engkau tak sayangkah pada anak lelaki yang menggemaskan ini? Kejam kau batara dewa!
Aku berlari kecil menuju ruang tamu rumah ini, enggak ada, berarti di luar nih. Dan setelah sampai di teras kulihat satu dari dua mobil yang terparkir di halaman melaju pergi. Pasti Si gembyor laknat ada di dalam mobil itu, bajigur.. harusnya aku kelarin aja dia itu, biar enggak usah jadi beban buat pemerintah ketika di penjara nanti.
Aku menyapukan pandanganku, dan terlihat beberapa orang yang sepertinya rekan dari Om Damar sudah menyebar di beberapa titik, seperti tengah berjaga. Dan di sudut lain halaman ini, dan kulihat Om Damar sudah menungguku di sudut halaman, berdiri di samping sebuah motor lawas berwarna hitam pekat. Bodohnya aku, kenapa aku enggak mengenali suara mesin motor Om Damar ketika tiba tadi ya? Padahal motor Om-ku ini masih sama.
Sebuah naked bike 4 tak lawas keluaran Suzuki, bermesin 4 silinder berkapastisas 400cc. Suzuki Bandit GSF400, motor laki pada jamannya, dan langka sekali di negeri ini pastinya. Aku sih biasa menyebut motor itu dengan sebutan
Si Bandit Hitam. Suaranya? Beuhh.. Merdu menggelegar gitu, tapi adem. Pokoknya mantep deh.
Si Bandit Hitam
Si Kopet (Paling ganteng enggak mau tau)
Oh iya, yang menjadi ciri khas motor Omku itu adalah jok-nya yang dibuat
single seat alias enggak ada boncengannya. Enggak tahu apa niatannya, padahal dari parbrikannya sih ada boncengannya (aku sempet browsing tentang motor ini di internet, karena aku emang tertarik sebenarnya hehehe). Sayang banget emang, motor bagus tapi enggak ada boncengannya, sejomblo itu memang Omku ini.
Iya Jomblo, Omku ini jomblo tingkat akhir, jomblo karatan, jomblo paling senior se bumi pertiwi. Aneh ya? Padahal umurnya udah enggak muda lagi, tampang? Bolehlah bolehlah.. adalah bakat jadi playboy.. tapi ya tetap tampanan aku dong hohooho.. Eh udah dulu bahas ini nya, entar kalau kelamaan bisa-bisa kena hukum aku.
Aku pun melangkahkan kaki ke arah Om ku yang berdiri membelakangiku, hatiku dag dig dug ser bukan main ini.
Dan seolah tahu kedatanganku, Om Damar pun memutar tubuhnya perlahan, menghadapku. Di jemari tangan kanannya terselip batang rokok yang sudah menyala, bibirnya menghembuskan asap tembakau tinggi-tinggi ke udara. Kemudian ia merogoh kantong jaketnya, lalu melemparkan bungkusan rokok miliknya kepadaku.
Tap
Aku menangkap bungkusan rokok dengan warna hitam koombinasi biru itu dengan satu tangan, kutatap sebentar, dan kupandangi rokok merk Bentoel itu dengan datar, Om-ku ini.. dia beneran engak amnesia ya? Sayang banget sih.. buktinya dia masih saja setia menghisap bentoel biru yang sudah jarang ada di warung-warung ini. Aku mengembuskan napasku lemas.. membuka bagian atas bungkus rokok itu, mengeluarkan sebatang, menyelipkan filter rokok itu di bibirku, kemudian dengan cepatnya Om Damar menyalakan korek untuk menyulut rokok di bibirku itu.
Sembari menyalakan api di ujung rokokku, tangan Om Damar yang lain menyentuh pelan bagian belakang kepalaku, mengusapnya sedikit, kemudian menarik tangannya kembali. Ia sepertinya hendak mengecek luka di kepala bagian belakangku. Aih.. tumben Omku so sweet kaya gini hihii.. beneran enggak amnesia kah dia ini? Jarang jarang loh.. asli..
“Cukup ditutup perban, ndak perlu dijahit..” Ucap Om Damar sembari mengantongi korek dan menjempit rokok di jemarinya. Aku mengangguk, ikut mengamini ucapan Om Damar, karena memang kurasakan darah yang keluar enggak terlalu banyak.
Aku pun menghisap dalam-dalam asap tembakau dari rokok yang sudah melegenda itu dalam-dalam, kusesapi baik-baik rasa rokok ini. Sebenarnya enggak berbeda jauh dengan rasa
garpit yang menjadi rokok tetapku, hanya saja rasanya sedikit lebih tajam dan lebih
spicy dari garpitku, tarikannya juga sedikit lebih berat, tapi overall memang lumayan enak sih rokok Om-ku ini.
Setelah rokokku menyala matang, Om Damar pun mematikan nyala apa dari koreknya, bersamaan itu kuserahkan kembali bungkusan rokok miliknya. Kami sejenak saling diam, berusaha menikmati sejenak asap rokok yang masuk ke paru-paru kami. Setelah itu, tepat di embusan ketiga asap rokok keluar dari bibirku, Om Damar berdehem pelan. Itu pertanda bahwa ia ingin aku mendengarkan ucapannya.
“Kalau Ibu tadi ndak berhasil nahan kamu buat bertindak lebih jauh, kira-kira.. apa kita bisa
rokok-an bareng kaya gini Nggan?” Tanya Om Damar dengan tatapan datar, raut wajahnya menunjukkan keseriusan pekat. Aku terdiam sejenak, kuhela napasku dalam-dalam, mencoba mengajak paru-paruku beradaptasi pada asap dari pembakaran tembakau bentoel biru milik Om Damar.
“Bi.. bisa Om, tapi rokokannya enggak berdiri kaya gini..” Jawabku sembari mencoba menenangkan diriku. Ngerti kan maksud dari perkataanku ini? Iyap.. aku dan Om Damar tetap bisa rokokan bareng, tapi pasti posisiku udah terduduk babak belur pastinya.
Kenapa aku bisa bilang gitu? Karena terakhir aku ketahuan bikin ‘masalah’, itu ketika aku SMP, moment sebelum aku dipindahkan ke kampung Uwakku dulu. Saat itu, di ruang kepala sekolah, Om Damar menghajarku habis-habisan sampai aku luruh tersandar di tembok, barulah setelah puas menghajarku, Om Damar mengajakku untuk ngobrol sambil rokokan (saat itu aku memang sudah mengenal rokok), rokokannya juga tetep di situ, di ruang kepala sekolah, di depan kepala sekolahku, di depan wali kelasku, dan di depan guru BK-ku.
Pokoknya Om-ku ini emang gitu orangnya, kalau menurut dia aku udah kelewatan nih, udah.. dia itu bakal bikin aku
ngdelesor dulu, baru deh nanya-nanyain aku. Dan aku enggak pernah ngelawan lho, mau sesakit apapun hantaman dari Omku ini, aku bakal terima, enggak akan nepis-nepis, karena aku tahu, kalau Om Damar udah kaya gitu, itu artinya aku emang salah, apa yang aku lakukan ya pasti udah kelewatan. Lagian, mau nepis dan nangkis juga percuma, buang-buang tenaga doang, karena ujung-ujungnya ya aku bakal dibikin tepar juga.
Jadi ya.. udahlah, terima aja intinya kalau Om Damar lagi ngamuk, bahkan Ayah, Ibu, Hani dan Mang Diman yang waktu itu ada di luar ruangan kepsek aja enggak berani belain dan mencoba menyelamatkan aku kok, dibiarinin aja aku dihajar Om Damar. dan aku juga enggak nyalahin kedua orangtuaku sih, terlebih Hani, apalagi Mang Diman, karena bagaimana ya.. intinya aku salah aja gitu, udah. Lah wong waktu itu setelah kejadian itu aja kan Ayah sama Ibu langsung sepakat mindahin aku ke kampung karena saking kelewatannya kesalahanku.
“Good kalau kamu tahu, sayang banget emang, kenapa kamu harus nurut sama Ibu itu. coba aja kalau kamu tetep gasak orang tadi, pasti malam ini aku dapet samsak idup buat sparing.” Ucap Om Damar dengan bibir yang dibubuhi senyum kecil nyeremin. Aku menelan ludahku lagi dengan berat, enggak kebayang sih kalau aku harus dijadiin samsak hidup lagi, bisa abis aku.
“Kamu apa kabar Nggan?” Tanya Om Damar.
“Ba.. baik Om.. Om sendiri apa kabar?”
“Lumayan..”
Senyap.. enggak ada suara dulu untuk beberapa saat, hanya ada suara kretekan daun tembakau yang mengisi lengang di antara kami.
Shit.. gini nih kalau ngobrol ama Om Damar, kaku, serem soalnya. Makanya kan aku pernah bilang, aku itu lebih seneng main sama kerabat dari garis Ibuku, karena ya ini.. kalau kerabat dari garis Ayah ya gini, serem-serem, dan Om Damar ini, adalah yang paling seram menurutku. Hih.. beneran deh..
Tapi sumpah sih, aku masih penasaran, kira-kira siapa yang menelpon pihak kepolisian ya? Kan teleponku belum sempet keangkat tadi. Dan lagi, kenapa justru Om Damar yang dateng coba? Ya aku tahu dia emang anggota polisi, intel atau pun semacamnya itulah aku enggak urus. Cuma kan.. Om Damar ini pangkatnya udah bukan buat ngurusin hal-hal kroco kaya gini, udah bukan mainannya lah ibaratnya. Karena Omku ini adalah polisi yang.. gimana ya.. polisi tapi enggak pernah pakai seragam polisi, tapi aku tahu Omku ini polisi, tapi.. ya enggak pernah pake seragam.. gitu deh pokoknya.
“Ndak usah bingung Nggan, nomor darurat yang kamu dapet dari Ayahmu itu benar adalah nomor pihak kepolisian, jadi itu bukan nomor rahasiaku. Cuma memang ya.. aku dan Ayahmu sudah menyetting sedemikian rupa, jadi jika kamu menelpon nomor itu, otomatis aku akan langsung tahu dan bisa langsung melacak posisimu.. terkoneksi lah ibaratnya..” Om Damar berkata dengan santainya, dari hidungnya asap tembakau keluar dengan lembut.
Aku mengernyitkan dahi, sialan.. pantas saja Om Damar bisa berada di sini, karena ternyata secara enggak langsung, akulah yang udah manggil
amukan badai ini kesini. Wuaseem emang Ayah ini, kenapa dia melakukan ini kepada anak tertampannya ini? Kenapa Ayah melakukan hal seperti ini sih? Enggak kasihan kah dia sama aku?
“Kenapa? Kamu keberatan dengan apa yang aku dan Ayahmu lakukan?” Tanya Om Damar dengan tatapan di tajamkan, rokoknya ia hisap perlahan, kemudian dijepit dengan jemari tangan kirinya.
“Eh enggak kok Om.. enggak.. beneran.. enggak..” Jawabku terbata dengan sedikit kepanikan, karena gimana ya.. aku diem aja dia masih bisa memperkirakan apa yang sedang aku pikirkan. Kan bajigur ya?
Tapi ya.. aku harus bisa mengendalikan diriku, aku enggak boleh kelihatan kaya tersangka yang ketakutan di depan Om Damar. karena memang aku enggak salah kan? Aku kan Cuma nolong Budeh? Jadi harusnya aku enggak perlu khawatir bakal dimarahi Om Damar kan? Iya kan?
PEEKKHHH
“Heeikkkhh..” Aku tercekat ketika dengan begitu cepatnya telapak tangan kanan Om Damar sudah mencengkeram leherku, mencekik kuat di batang tenggorokanku, sembari mengangkat tubuhku perlahan, membuat pijakanku mau enggak mau harus mengatakan say goodbye pada tanah halaman ini.
Sialan.. kok aku kena cekik sih? aku enggak bisa napas ini..
“Kamu sentuh kulit telapak tanganku, selesai hidupmu. Kamu jatuhkan rokok langka di jari kamu, kelar riwayatmu. Kamu meronta-rontakan kakimu, aku habisi kamu di sini.”
Hep.. pesan macam apa itu? Errrggghhh..
Aku menahan napasku kuat-kuat, mengeratkan urat-urat leherku untuk melawan rasa tercekik yang sekarang menghinggapiku. Sialan.. Om Damar mengatakan hal-hal itu dengan amat santai dan datarnya, dengan tatapan yang benar-benar setajam anak panah. Membuatku mau enggak mau hanya berdiam diri ketika kini tubuhku benar-benar sudah diangkat oleh Om Damar, sialan.. kuat banget sih Omku ini, dia bisa bikin kakiku terangkat dari tanah hanya dengan satu tangan. Kan kampret..
Sakit coy.. asli.. enggak boong.. sesek juga.. rasanya kaya mau mati aku..
Cekikan ini seperti menghambat laju peredaran darah dari tubuh menuju otakku, membuat urat-urat di kepalaku seperti menegang dan siap pecah secara bersamaan. Arrgghh.. mau ngebunuh aku kah Om Damar ini? Bajigur..
“Aku sama sekali ndak peduli alasan di balik perbuatan kamu malam ini. Tapi yang jelas, aku benci tiap kali kamu lemah dan berhasil dikalahkan oleh nafsumu sendiri..” Om Damar berujar seraya terus mengangkat tubuhku, membuat laju napasku benar-benar terhenti, sekujur tubuhku rasanya menegang sebab sirkulasi darah ke otakku yang tersumbat. Aku mengeratkan gigiku kuat-kuat, mencoba menahan tumbukkan rasa sakit yang menghujam syaraf-syraf pendeteksi rasa sakitku saat ini.
“Sampai kapan hah? Sampai kapan kamu mau mengandalkan orang lain buat ngeredam kebringasanmu sendiri, hah?! Sampai kapan kamu mau jadi orang lemah kaya gini, hah? Cuihhhh.. Memalukan!” Maki Om Damar sembari meludah ke samping, setelah itu kurasakan cekikan Omku ini semakin erat. Mati aku ini lama-lama.. asli..
Hepp..
“Mmpphh..” Aku mengeram pelan, mencoba terus meredam dan mempertahankan kesadaranku agar enggak buru-buru mencapai batasnya.
“CUKUP!! SUDAH.. TOLONG LEPASIN REGAN..” Terdengar teriakan Budeh melengking dari arah belakangku, namun hal tersebut sama sekali enggak membuat Om Damar bergeming, matanya tetap terkunci menusuk bola mataku.
Sayup-sayup terdengar suara keributan di belakangku, sepertinya itu berasal dari Budeh yang tengah ditahan oleh rekan-rekan dari Om Damar yang memang sigap berjaga. Sial.. aku enggak mau sampe Budeh ngeliat aku tengah ditatar sama Om Damar sebenarnya. Arrggghh..
“Kamu pikir kamu bisa jadi pahlawan dengan mengandalkan nafsumu itu hah? Selama kamu belum mampu ngendaliin diri kamu sendiri, kamu Cuma bakal jadi beban buat orang-orang di sekitarmu! Kamu Cuma bakal nyusahin orang-orang di sekelilingmu!”
“Mmmpphh..”
“Sudah.. Cukup.. saya mohon.. sudah hiks..” Kembali terdengar tangisan lirih Budeh dari kejauhan.
“Dengar anak lemah.. selama kamu masih kalah sama nafsumu itu, kamu Cuma bakal jadi beban buat orang lain. Dan kamu tahu kan? Beban itu sama saja kaya onggokan sampah. Ndak ada gunanya, Cuma jadi perusak tatanan alam!” Tukas Om Damar dengan geramnya, namun aku bener-bener enggak bisa mencerna seluruh makian dari Omku ini, sebab tengah berfokus dengan rasa sakit yang benar-benar sudah menjalar ke sekujur kepalaku sat ini.
Kepalaku mau meledak ini coy, asli. Napasku juga bener-bener udah sampai batas akhir, sialan.. mati aku ini.. asli.. mati aku..
Kulihat Om Damar menghisap kembali rokoknya dengan santai, seolah ia benar-benar enggak peduli kalau aku bisa mati di dalam cekikannya saat ini. Ia hembuskan asap rokoknya ke udara, lalu tiba-tiba..
DUGGHH
“Aarrrgghh..” Aku mengerjat menahan rasa sakit ketika tiba-tiba Om Damar menarik tubuhku ke depan, dan mengadu keningnya dengan hidungku, menghantam kuat-kuat, membuat rasa sakit yang menderaku semakin menjadi-jadi saja rasanya.
Sialan.. patah enggak ini hidungku? Arrggghhh.. anjing..
Di tengah rasa sakit di batang leher dan hidungku, napas yang sesak dan kepala yang serasa akan meledak, kurasakan tubuhku diangkat kembali oleh Om Damar tinggi-tinggi, membuatku kian merasakan tercekik yang begitu sakit. Lalu dengan sedikit sentakan kecil, tubuhku terlepas dari cekikannya, melonjak dan melayang sebentar di atas tenah sebelum akhirnya..
BUGGGHHH..
Tubuhku terlempar kencang ke belakang ketika tendangan lurus masuk dengan kerasnya di perutku. Tendangan Omku ini.. eerggghh salah satu tendangan paling keras yang aku akui hingga saat ini.
Kurasakan tubuhku terdorong dengan kaki enggak berpijak di atas tanah, melayang dan meluncur dengan begitu cepatnya, macam batu yang tengah dilemparkan, lalu..
BAAGGHHH
Tubuh bagian belakangku baru berhenti saat menghantam bagian samping mobil yang datang bersama Om Damar dan rombongannya. Napasku terengah, sekujur tubuhku rasanya sakit bukan main. Aku luruh terduduk dengan kepala tertunduk, kudapati darah mengucur dari hidungku dengan derasnya. Bajigur.. habis aku.
Di tengah napasku yang sudah kembang kempis, kulihat sepasang kaki sudah berdiri di hadapanku, membuatku lekas mengangkat kepalaku, menatap wajah Om Damar yang dengan santai menghisap rokok bentoel birunya. Ia kemudian berjongkok tepat di hadapanku, matanya melirik ke rokok yang masih terselip di jemariku, lalu tersenyum.
“Good boy..” Ucap Om Damar sambil menepuk-nepuk pipiku. Kemudian ia bangkit dari posisi jongkoknya dan berjalan meninggalkanku dengan langkah santai.
“Tandaskan rokok itu, aku membelinya dengan uang dan perjuangan. Jangan disia-siakan..” Terdengar saura Om Damar yang kian menjauh, membuatku tersenyum getir sendiri.
Sakitku bukan main rasanya, namun mendengar kata-kata Om Damar aku akhirnya tersenyum juga. Karena aku tahu, amarah Om Damar sudah selesai padaku, juga karena aku tahu, rokok yang masih menyala di selipan jemariku ini adalah rokok yang dibeli Om Damar dengan susah payah, karena ya itu.. udah jarang banget yang ngejual.
Aku pun mengelap hidung dan bibirku dengan punggung telapak tangan, kemudian menghisap sisa-sisa nyala rokok bentoel biru milik Om Damar, menikmati asap tembakau yang perlahan menyelasap ke paru-paru. Fyuhhh.. kampret Om-ku itu. Habis menghajarku dia pergi gitu aja hehehe
Pasti dia hendak mengajak Budeh bicara, dan semoga.. Om Damar bisa menghadapi pertanyaan-pertanyaan Budeh tentang perlakuannya kepadaku ini ckckck
Tapi tenang, meski nyeremin dan kejam bukan main, dia kaya gitu Cuma ke aku doang kok.. kalau ke orang lain ya sebatas dingin aja.. ya bisa dibilang Om Damar itu aslinya baik, Cuma emang dia tutupi dengan segala sikap kerasnya, dan kalian juga enggak perlu khawatir, Om Damar enggak akan ngapa-ngapain Budeh kok, paling Cuma ngajak Budeh bicara mengenai apa yang terjadi malam ini aja.
“Uhuk.. hah.. hah..” Aku terbatuk pelan dengan senyuman, napasku terengah, kuhisap dalam-dalam lagi rokok bentoel biru ini, kuhembuskan asapnya tinggi-tinggi ke udara.
Seorang rekan dari Om Damar datang padaku, menyerahkan sapu tangan dan sebotol air mineral tanpa berkata sepatah katapun. Namun ia terlihat melempar senyum dan menepuk-nepuk bahuku pelan, setelah itu pergi kembali. Aku mengelap hidung dan bibirku dari tetesan darah, khusus hidungku, aku mengelapnya amat pelan karena sepertinya tulang hidungku bengkok ke samping, atau mungkin patah? Entahlah.. yang jelas setelah meminum air dan sedeikit membasuh wajahku, kupegang tulang hidungku kuat-kuat, kutahan napasku sejenak lalu..
CLERRRKK
“Bangsat!” Makiku sendiri ketika aku berhasil meluruskan kembali bentuk hidungku, sakit? Jangan ditanya coyy.. napasku rasanya mau copot ini. Huh.. huh.. huh..
Tapi perlu dicatat, aku sama sekali enggak marah dengan apa yang sudah dilakukan Om Damar padaku, karena meski keras dan nyeremin, aku tahu Om Damar itu sebenarnya sayang banget sama aku. Dan dia melakukan ini semua juga demi kebaikanku agar enggak ngulangin kesalahan yang sama seperti waktu SMP dulu.
Hah… masa itu.. itu adalah saat dimana aku benar-benar melakukan kesalahan besar, walaupun aku sendiri masih bertanya-tanya mengapa aku bisa seperti itu, tapi yang jelas itu benar adalah kesalahanku, dan kesalahan itu sampai sekarang masih terus aku sesali setiap kali mengingatnya, kesalahan yang hampir membuatku mendapatkan label sebagai seorang pembunuh.
Sembari menunggu Om Damar selesai mengobrol dengan Budeh, apa kalian mau kuceritakan tentang kesalahanku itu? Aku jarang-jarang lho nyeritain ini ke orang lain hehehe..
***
Waktu itu aku menginjak kelas 2 SMP, tepatnya di awal semester dua, aku masih di SMP lamaku, belum dipindahin. Dan kesalahan itu juga terjadi pasca meninggalnya Nenekku beberapa bulan sebelumnya. Di masa itu, tawuran tuh lagi ngetrend-ngetrendnya. Hampir di setiap sudut jalan kota ini selalu dihiasi tawuran antar siswa di sore hari. Dari tingkat SMP, sampai yang tingkat SMA.
Dan sekolahku saat itu termasuk salah satu SMP yang paling disegani di selatan, kami beraliansi dengan beberapa SMP lain yang sudah berhasil kami taklukan dan menjadi cunguk sekolah kami pada akhirnya. Lebih dari itu, SMP-ku juga menjadi anak emas dari salah satu STM yang paling disegani di kota ini, STM PERWIRA namanya. Sebuah STM yang menghasilkan prajurit-prajurit tangguh bagi instansi kepolisian dan militer negeri ini.
Bisa dibilang, hampir setengah dari setiap kelulusan anak lelaki di SMP-ku meneruskan ke STM tersebut, dan tentunya kami sangat mendewakan STM yang berbasis di daerah pusat kota itu. Banyak alumni dari SMP-ku yang meneruskan pendidikan di sana, kemudian ketika kembali ke SMP-ku untuk sekedar nongkrong pasti menceritakan ‘kebanggaan’ menjadi murid STM PERWIRA.
Dan bisa dibilang hubungan SMPku saat itu persis kaya hubungan Munchen sama Dortmund di bursa transfer pemain, di mana Munchen demen banget ngebajak pemain dari Dortmund. Nah SMP-ku ini adalah Dortmund-nya, jadi remaja-remaja ‘bertalenta’ dari SMP-ku pasti akan dibujuk sedemikian rupa oleh alumni kami untuk masuk STM PERWIRA.
Nah waktu itu aku termasuk murid yang cukup menonjol di SMP lamaku, aku yang saat itu masih kelas 2 sudah dipercayakan untuk memegang komando di garda terdepan setiap kali tawuran berlangsung. Dan hal itu membuatku cukup memiliki nama, terlebih aku sering sekali nongkrong bareng anak kelas 3.
Dan kesalahan terbesarku itu berawal dari sebuah kejadian yang sebenarnya sepele, namun sangat membuatku emosi. Aku sudah ceritakan kalau aku dan Hani itu sudah dekat dari jaman SMP? Nah ini melibatkan Hani.
Saat itu, aku inget banget, aku baru aja selesai menjalani skorsingku. Aku diskors satu minggu karena tertangkap tangan melakukan penyerangan ke SMP negeri yang menjadi musuh bebuyutan SMP-ku. Tapi kesalahan fatal yang kumaksud sama sekali enggak ada hubungannya dengan penyeranganku itu, sama sekali enggak ada.
Waktu itu, di hari pertama aku kembali setelah skorsingku selesai, aku justru membolos bersama beberapa teman sekelasku untuk bergabung dengan anak kelas 3. Katanya sih, ada alumni yang lagi ‘melakukan kunjungan’, dan sudah jadi tradisi untuk menyambut alumni-alumni itu.
Jadi setelah jam istirahat selesai, kami bukannya masuk kelas tapi malah ngambil tas lalu ngebolos lewat tembok belakang. Semua berjalan lancar, kami nongkrong bersama anak kelas 3 dan alumni SMPku yang.. kalau enggak salah baru kelas 2 di STM PERWIRA. Kami nongkrong di belakang sebuah warnet, terlindung dari jalan raya, ngobrol asik sambil diselingi rokok dan minuman keras, intisari namanya, rasanya enggak enak, tapi mendingan itu dibandingkan ciu, kalau ciu aku enggak deh.
Kami duduk melingkari meja kayu lapuk yang selalu menjadi alas bagi gelas-gelas plastik, bungkusan kacang, rokok dan tentunya intisari yang sudah dipindahkan dalam kemasan plastik. Semuanya berjalan lancar tuh, kami have fun aja ngedengerin cerita dari alumni-alumni kami yang nyombongnya minta ampun hahaha.
Nah sekitar jam sebelas lewat kalau enggak salah, pas kita lagi asik-asiknya haha hihi, tiba-tiba Hani datang menyusulku. Ia datang sendirian. Tujuan dia jelas, hendak mengajakku untuk kembali ke sekolah.
Oh iya, aku mau kasih tau dikit, Hani itu paling enggak suka kalau aku tawur-tawuran dan nongkrong minum-minum kaya gini, pokoknya dia tuh paling enggak suka kalau aku ngebandel di luar batas. Oke lanjut..
Nah Hani dateng tuh, sambil manyun-manyun dan agak ketus minta aku udahan minum dan balik ke sekolah. Tapi ya namanya lagi nongkrong kan? Mana ada sih cowok yang demen digituin? Disuruh-suruh pulang? Enggak ada kan? Aku juga kaya gitu.
Aku tolak tuh berkali-kali suruhannya Hani, dan aku suruh dia balik ke sekolah, enggak usah nungguin aku. Tapi Hani nya batu, tetep aja nyuruh aku balik, sampe akhirnya aku kacangin kan, terserahlah dia mau ngomong apa, mau bentak-bentak aku juga aku niatnya enggak peduli, mau bodoamatan.
Sampai tiba-tiba, alumniku yang saat itu sudah mabuk parah angkat bicara..
“Dari pada nyuruh Regan balik, mending elu ikut minum sama kita sini..” Ujar salah satu alumniku yang memiliki potongan rambut macam emo-emo gitu. Aku enggak tahu nama aslinya, Cuma dia biasa kami panggil dengan panggilan Joni, dan anak-anak SMPku tentu saja memanggilnya Bang Joni.
Perawakannya tinggi menjulang, tubuhnya kurus dengan kulit putih.
“Nggan.. ayo..” Hani enggak menggubris tuh saat itu, dia malah tetep ngebujuk aku buat udahan nongkrongnya, tapi aku ya masih nolak.
“Udah mending lu balik ke sekolah deh Han.. gua masih mao di sini..” Ucapku dengan nada pelan, berusaha memberikan pengertian pada Hani.
“Lah ngapain disuruh balik? Udah mending ikut nongkrong sama kita di sini, kita party bareng-bareng, nanti elu gua pangku deh duduknya hahaha..” Sahut Bang Joni lagi yang langsung disambut gelak tawa oleh teman-temannya (teman alumninya, ada 4 orang, jadi sama Bang Joni jadi ber5).
Sedang aku dan teman-temanku (termasuk anak kelas3) hanya diam enggak menanggapi candaan itu, karena bagaimana pun mereka tentunya mengharagai Hani yang statusnya dekat denganku. Aku jujur, sudah mulai terganggu atas godaan-godaan alumniku itu, namun aku masih menahan diri.
“Elu baru banget masuk Nggan.. nanti kena skors lagi.. udah ayo.. balik..” Hani kembali mengabaikan rayuan Bang Joni, dan tetap membujukku untuk ikut dengannya, ia bahkan sudah melembutkan suaranya dan memegang lemah bagian bawah lengan seragamku.
Dan menilik situasi yang semakin membuatku jengah, aku tadinya tuh udah niat ngiyain ajakan Hani, udah mau bangun buat pamit sama yang laen, tapi tiba-tiba Bang Joni bangun, dia yang duduk di seberangku langsung menarik tangan Hani untuk ikut bergabung bersama kami.
“Elu tuh kalau diajak ngomong sama senior yang sopan! Jangan sok jual mahal lu!” Bentak Bang Joni seraya menarik tubuh Hani, aku pun segera berdiri dan langsung memegang lengan Bang Joni. Jujur, saat itu aku sudah mulai terpancing, karena memang dari beberapa kali pertemuan sebelum ini dengan Bang Joni, dia ini tipe senior yang ngebangsat banget, nyebelin deh pokoknya.
“Cukup Bang..” Ucapku datar seraya menatap Bang Joni lamat-lamat, kueratkan cengkeramanku di tulang hasta tangannya, membuat ia mau enggak mau mengendurkan pegangan pada telapak tangan Hani. Beberapa kawanku dari kelas 3 pun ikut berdiri, pun dua kawan Bang Joni.
Mereka berdiri mencoba menengahi kami. Namun melihat aku yang masih santai, mereka menahan diri. Bersamaan itu Hani pun langsung menyentak tangannya, wajahnya memerah ketakutan, matanya sudah menahan bening-bening air mata.
“Lu berani ama gua hah?” Tanya Bang Joni mencoba melepaskan tangannya dari cengkeramanku, namun belum berhasil karena aku tetap mempererat cengkeramanku.
“Bukan gitu Bang, Cuma gimana pun dia ini temen gua.. jadi gua minta tolong, jangan kaya gitu.” Ucapku seraya mulai mengendurkan cengkeramanku, terlihat wajah Bang Joni memerah, tanda ia enggak suka dengan ucapanku.
“Lu masih bocah aja udah belagu ye, elu berani ngelawan alumni lu sendiri Cuma buat cabe-cabean kaya gini?” Bang Joni yang tangannya sudah terlepas langsung memepetkan tubuhnya padaku, aroma alcohol jelas saja langsung tercium saat itu.
“Jon udah Jon.. lu ngapain sih! Udah..” Satu teman seangkatan Bang Joni pun lekas menahannya, sedikit menarik tubuh alumniku itu supaya enggak terus memepetku.
Aku benar-benar tersinggung sebenarnya mendengar Hani dibilang cabe-cabean, tapi aku benar-benar mencoba agar enggak dikuasai emosi saat itu. Sebab aku selalu ingat pesan Om Damar, yang selalu mewanti-wantiku supaya enggak gampang dikonfrontasi, juga supaya aku bisa memanage emosi dan amarahku. Juga pesan dari Nenekku yang selalu bilang kalau aku enggak boleh ngebiarin emosiku naik terlalu drastis. Jadi ya, sampai detik itu aku masih bisa nahan emosiku.
“Gua cabut.. lu pada lanjut aja..” Ucapku kepada teman sekelas dan anak kelas 3 SMPku, langsung menyambar tangan Hani, dan berbalik meninggalkan tempat tersebut.
“Cemen lu! Pengecut! Nyampah aja lu di sini! Cuihhh..” Terdengar makian dari alumniku itu ketika aku baru saja membalikkan tubuh dan menggandeng tangan Hani, emosi? Jelas.. lelaki mana enggak merasa emosi dikatain cemen? Pengecut? Sampah? Cuma aku benar-benar enggak mau bikin masalah saat itu.
Biarlah aku direndahkan kaya gimana juga, enggak penting juga omongan dia buatku, yang penting sekarang ya ngajak Hani buat cabut dari sini. Aku enggak tega ngeliat matanya dia mulai merah. Aku juga merasa sedikit bersalah karena enggak ngebelain dia pas tadi bang joni ngatain.
“CUMA DEMI CABE-CABEAN MODEL BEGITU AJA LU NINGGALIN TONGKRONGAN LU.. DASAR SAMPAH.. DIKASIH APA SIH LU SAMA ITU JABLAY? DIKASIH SEPONGAN? APA UDAH DIKASIH MEMEK? EMANG KALO COWOK UDAH DIKASIH MEMEK SAMA PEREK, BEGITU MODELANNYA.. SAMPAH!”
Aku langsung menghentikan langkahku, seketika kulepas genggaman tanganku pada telapak tangan Hani, dan tanpa menunggu detik berlalu.. aku langsung memutar tubuhku, melonjakkan tubuhku seraya menarik kepalan tanganku ke belakang.
BUGGGHHH
Cepatnya pergerakanku waktu itu membuat Bang Joni enggak sempet buat bereaksi, begitu pun teman-temanku, mereka hanya terperangah ketika menyaksikan tubuh Bang Joni terpental ke belakang dan jatuh berdebum memporak-porandakan meja kayu lapuk yang di atasnya berisi gelas plastik dan bungkusan intisari.
Tanganku terkepal keras sekali. Anjing ini.. bangsat.. Itu udah kelewatan banget anjingnya, dia ngehina aku yo monggo. Aku bisa tahan, tapi dia dengan bangsatnya ngatain Hani sampe sebegitunya? Anjing enggak sih?
Tanpa menunggu lama, aku langsung menjejakkan kakiku di dada alumniku itu dengan kerasnya, membuat ia yang hendak bangkit, harus terlentang lagi. Aku injak berkali-kali sampai kurasakan tubuhku ditahan beberapa orang, entah siapa aku enggak ingat.
“Bangsat!” Maki dua alumniku yang lain, yang sedari tadi sebenarnya duduk tenang saja enggak ikut campur sama urusan Bang Joni yang ngegodain Hani. Satu diantara mereka langsung melayangkan pukulan ke rusukku. Satu yang lainnya menendangku tepat di bagian perut, membuatku sedikit termundur, sakit? Lumayan.
Sebelum menunggu gelombang serangan kedua, aku langsung menyentakkan tanganku, membuat tubuhku terlepas dari pegangan kawan-kawan yang menahanku, langsung menyongsong serangan lanjutan dari orang yang tadi memukul rusukku. Kutendang dengan kuat lututnya, membuat ia langsung berlutut, kemudian dengan cepatnya kuhantam wajahnya dengan kuat.
DUGGHH..
BUGHH..
Orang yang memukul rusukku itu terlempar ke belakang, namun bersamaan dengan itu kepalaku mendapatkan pukulan keras dari orang yang tadi menendang perutku, membuatku sedikit oleng. Dengan cepat orang itu pun langsung mengayunkan kakinya untuk menyasar pinggangku, namun ia kalah cepat, karena secepat kilat kutendang paha bagian dalamnya dengan keras.
Dan begitu tubuhnya melintir ke samping, langsung kubuka kepalan tanganku, kulebarkan telapak tanganku lalu kuhantam kepala sampingnya, tepat di bagian telinganya dengan sekuat tenaga.
PAAAKKKKKKHHHH
“Aarrrgghh..” Orang itu berguling-guling sembari memegangi telinganya, aku pun langsung mengalihkan pandanganku pada Bang Joni yang sudah mulai berdiri, kutatap ia dengan penuh amarah, karena memang sasaran utamaku ya dia, bukan dua temannya tadi.
“Hehehe.. ternyata kebringasan lu bukan isapan jempol doang ya? Hebat juga lu! Tapi lu enggak tau siapa gua..” Ucap Bang Joni dengan senyum dibibirnya yang bercampur darah, bersamaan itu ia meraba bagian lehernya, kemudian mengeluarkan kalung bertali hitam dengan bandul kain berwarna coklat, khas pedesaan.
Ia memegang bandul kalungnya itu kuat-kuat, lalu tiba-tiba ia bergerak dengan sangat cepat, berpindah dari posisi berdirinya tadi. Bukan.. ia bukan menyongsongku, melainkan ia berlari dengan sangat cepat dan kini sudah berada di belakang Hani yang tadinya tengah berusaha mendekat padaku.
Bang Joni saat itu memiting leher Hani dengan lengannya, sedang tangannya yang lain sudah memegang pisau dan di hunuskan kepadaku. Sialan.. banget enggak? Bangsat emang kalau orang udah mabok itu. Dan sialnya, ini dia pakai ‘wapak kijang’ anjir.. ituloh kaya jimat gitu, yang bisa bikin penggunanya lari secepat kijang. Eh anjing.. anjing.. dia punya begituan ternyata.. babi..
“Lu begerak, cewe lu gua matiin..” Ancam Bang Joni seraya mengeratkan pitingannya di leher Hani, dan itu tentu saja langsung membuat wajah Hani memerah.
“Ng.. gan..” Ucap Hani parau karena tercekik, air mata menetes dari pipinya, dan entah mengapa, saat itu melihat air mata Hani rasanya hatiku seperti ditikam seribu sembilu, hatiku rasanya ditikam puluhan belati sekaligus. Dadaku memanas, napasku langsung memburu, dan perlahan.. entah mengapa pandanganku perlahan memudar saat itu, bukan buram ya, tapi memudar.
Dimana aku seperti kehilangan kemampuanku melihat warna secara perlahan, semuanya menguning sebelum akhirnya benar-benar berubah menjadi hitam putih. Dan bersamaan dengan itu,kurasakan ada sesuatu yang melonjak dengan cepatnya dari dalam tubuhku, terlepas dengan begitu keras, dan langsung mengalirkan hawa panas di sekujur tubuhku, benar-benar panas saat itu, sampai rasanya aku seperti dibakar hidup-hidup.
Seingatku, aku langsung kehilangan kesadaran saat itu, pandanganku langsung gelap gulita. Dikepalaku hanya terdengar teiakan-teriakan, jeritan-jeritan, namun aku enggak terlalu memperdulikan, karena rasa terbakar itu benar-benar sakit dan begitu menyiksaku.
Rasa terbakarku itu baru berhenti ketika kurasakan tubuhku dikunci oleh seseorang dengan begitu kuat, lalu ada telapak tangan yang menekan di dadaku, bersamaan dengan itu kuraskan ujung jemari menempel dan menekan kuat bagian tengah keningku, mengalirkan hawa dingin yang berangsur-angsur mengembalikan penglihatanku.
Dan betapa terkejutnya aku ketika penglihatanku kembali, Ibu sudah berada di hadapanku. Wajahnya menampilkan raut kesedihan, pun sudah berlinangan dengan air mata. Ternyata telapak tangan yang ada di dadaku, dan jemari yang menekan keningku itu adalah milik Ibu. Dan orang yang mengunciku adalah Mang Diman. Di belakang Ibu kulihat Hani berdiri dengan air mata membasahi wajahnya, kedua tangannya terkatup menutup bibirnya.
Lepas kesadaranku kembali, Mang Diman pun langsung melepas kunciannya, berlari menuju sudut tanah ini dan heboh sendiri uwak uwek memuntahkan isi perutnya, lah.. bingung enggak karena tiba-tiba Ibuku dan Mang Diman sudah ada di situ waktu itu? Awalnya aku bingung, Cuma melihat Mang Diman yang heboh uwak uwek membuatku berpikir, kalau mungkin Ibuku habis nemenin Mang Diman ke dokter karena masuk angin. Mungkin kali ya..
Namun bukan itu saja, yang membuatku bingung. Melainkan ketika aku menggerakkan bola mataku untuk menyisir sekeliling, kulihat semua teman-temanku sudah terkapar di atas tanah. Teman sekelasku, anak-anak kelas 3, alumni-alumniku termasuk Bang Joni sudah terkulai lemas di atas tanah, merintih kesakitan bahkan sebagian sudah enggak bergerak sama sekali. Ada yang bentuk tangan sama kakinya aneh gitu, kaya patah gitu deh pokoknya, ngeri.. ngilu aku ngeliatnya asli..
Dan itu benar-benar membuatku bingung, bagaimana bisa? Dan yang menjadi pertanyaanku saat itu adalah, siapa yang melakukan itu semua? Karena rasanya cepat sekali, seperti baru beberapa detik penglihatanku menggelap, dan tahu-tahu semuanya udah berantakan.
Di dalam kebingunganku saat itu, Ibu langsung memelukku erat, Ibu menangis sesegukkan saat itu, mengelus-elus kepalaku dengan bahu berguncang. Setelah Ibu giliran Hani yang memelukku, ia menangis jauh lebih heboh dari Ibu, asli aku enggak bohong.
Hani nangisnya kenceng banget waktu itu, aku aja ampe bingung. Tapi untungnya dia enggak kenapa-kenapa, padahal aku khawatir banget kalau dia terluka karena sebelum aku ‘kebakar’ kan dia berada dalam pitingannya bang joni.
Dan setelah itu ya kejadiannya kaya yang aku ceritain, setelah teman-temanku yang tepar dievakuasi, aku langsung dibawa kembali ke sekolah oleh Ibu dan Mang Diman. Hani ikut juga waktu itu, dan dia nangisnya beneran lanjut enggak kelar-kelar sampe di sekolah dong.
Singkat cerita satu sekolah heboh kan tuh, murid-murid dipulangin lebih awal. Polisi pada dateng tuh ke sekolahku. Lah aku mah bingung ya kan? Duduk aja diem di ruang kepsek sama Hani sama Ibu. Terus Ayah dateng deh, bareng sama Om Damar. Abis itu kalian tahulah apa yang terjadi, habis aku digasak dan digosok sama Om Damar.
Intinya kisahku di sekolah itu selesai, karena besoknya aku udah enggak masuk sekolah, dan lusanya aku langsung dikirim ke kampung Uwak. Bingung enggak kalian kalau jadi aku? Bingung kan pastinya? Udah iyain aja, emang aku bingung kok waktu itu.
Namun pada akhirnya aku tahu, bahwa akulah yang menghajar kawan-kawan dan alumniku itu, akulah orang yang udah menyebabkan kekacauan itu. Om Damar yang ngasih tahu aku. Hani juga sih, Ibu, Ayah sama Mang Diman mah enggak pernah terlalu ngebahas itu.
Aku dikirim ke kampung Uwak juga karena Ayah dan Ibu sepakat agar aku dididik sementara disana, untuk menjauhkan masalah-masalah lanjutan juga sih katanya. Tapi kalau kata Om Damar sih, biar aku bisa tobat. Aneh kan? Aku aja enggak tahu persis apa yang aku lakuin, tapi ya dari penuturan Hani dan Om damar, ya aku yang udah ngelakuin itu semua.
Aku yang udah ngelukain temen-temenku, dan itu bener-bener jadi penyesalan terbesarku, terus menghantuiku sampai sekarang. Mungkin itulah yang dibilang Om Damar tentang emosi dan amarah, bahwa mungkin ketika aku dikendalikan emosi, maka aku akan kehilangan kesadaranku sendiri, sampai-sampai aku melukai teman-temanku sendiri.
Kalau korbannya Cuma para alumni dan sibangsat Joni sih, mungkin aku enggak akan nyesel, tapi ya gimana.. udah kejadian juga, tapi aku tetep nyesel, tetep bertanya-tanya kenapa aku bisa sampe kaya gitu. Apa aku kesurupan setan penunggu warnet ya saat itu? Ya enggak tahulah, pokoknya aku ngamuk aja katanya.
Aneh kan? Aku aja bingung.
Tapi yang jelas, semenjak kejadian itu, aku kehilangan semua teman-teman SMP lamaku, mereka enggak ada yang mau berteman denganku. Dan jujur, aku juga merasa bersalah dan enggak punya keberanian buat nemuin mereka lagi. Cuma ada satu orang aja yang berasal dari kehidupanku di jaman SMP itu, dan orang itu adalah Maharani Sukma a.k.a Hani.
***
“Bagi Garpitmu..” Lamunanku tentang masa laluku itu pun buyar ketika suara Om Damar terdengar mengudara memecah keheningan malam. Aku melirik ke samping, ke arah bagian depan mobil yang tengah kusandari ini, dan kulihat Om Damar tengah berdiri di bagian depan mobil sana, bersandar membelakangi posisiku.
Sudah selesai bicara dengan Budeh sepertinya dia, cepat juga, atau mungkin karena lamunanku tadi membuat waktu terasa lebih cepat bergulir? Entahlah. Tapi yang jelas aku bingung, karena aku enggak tahu maksud ucapan Om Damar barusan ditujukan untuk siapa. Untukku kah? Atau untuk salah satu rekannya?
“Sepuluh detik kamu ndak nganterin garpit ke sini, akan ku buat patah lagi hidungmu..”
Sial.. itu kata-kata buatku ternyata, wuaseemmm..
Aku pun lekas menekuk kakiku, dan berangsur bangkit dari posisiku saat ini. Kusambar botol air mineral yang tadi diberikan oleh rekan Om Damar, kuselipkan di kantong belakanhg celanaku, kemudian berjalan ke arah Om Damar sembari merogoh saku bagian depan celanaku. Kukeluarkan bungkusan garpitku kemudian kubuka bagian penutupnya, lalu kusodorkan pada Om Damar. Ia pun segera mengambilnya sebatang, diselipkan di bibirnya.
Aku lekas menyalakan korekku untuk menyulut rokok yang berada di bibir Om Damar, dan enggak lupa untuk ikut menyelipkan batang rokok di bibirku, kembali menghangatkan paru-paruku pada dingin malam di tengah kebun pisang ini. Aku kini ikut bersandar pada bemper mobil Pajero hitam ini, sejajar dengan Om Damar.
Fyuh.. asap-asap putih membumbung ke udara.
“Setelah aku tau alesan di balik perbuatanmu, maka aku putusin buat ndak ngasih tahu Ayah dan Ibumu..” Gumam Om Damar tanpa menoleh padaku. Aku terbatuk-batuk kecil sambil tersenyum, senang mendengar ucapan dari Om ter-ngeriku ini.
“Jangan tersenyum seperti itu, kamu pikir aku membenarkan perbuatanmu yang hampir melampaui batas itu?” Tegur Om Damar dengan nada dinginnya, membuatku lekas menghilangkan senyum dari bibirku.
“Iya Om.. maaf..” ucapku pelan.
“Jujur Cuk.. aku sedikit bangga karena kamu udah berani melakukan sesuatu untuk menolong orang lain. Tapi mengetahui kamu hampir menyelesaikan orang tadi, itu benar-benar membuatku kecewa..”
Aku terpekur dengan wajah tertunduk mendengar kata-kata dari Om Damar.
“Gunakan hati nuranimu.. jangan terlalu sering terbawa arus emosimu yang maha deras itu, kamu harus bisa mengendalikan itu. Karena untuk sekarang mungkin belum terlalu jadi masalah, tapi nanti.. ketika tanggung jawab di pundakmu semakin besar, kamu akan mengalami kesulitan jika terus menerus menyerah pada belenggu amarahmu itu..”
Aku tertunduk dalam, setiap menasehatiku tentang pengendalian diri, Om Damar selalu menyinggung tentang tanggung jawab besar yang akan aku emban, namun meski begitu, aku enggak pernah nanya tanggung jawab apa yang dimaksud. Karena mungkin maksud Om damar adalah kehidupan di masa dewasa nanti, di mana aku sudah enggak bisa bergantung pada kedua orangtuaku.
“Weslah.. aku bukan orang yang pinter ceramah kaya Ayahmu. Jadi aku harap otakmu yang dangkal dan ndak seberapa itu bisa mencerna setiap kata-kataku dengan baik.” Om Damar berujar sembari menegakkan tubuhnya, dibumbungkannya tinggi-tinggi asap garpit ke udara. Kemudian ia mulai melangkahkan kakinya, tangan Om Damar terangkat, memberikan gesture jari pada rekan-rekannya yang menyebar. Dan tak perlu menunggu dua kali, satu persatu rekan Omku pun mulai berjalan mendekat ke arah mobil.
Aku pun menggeser tubuhku ke samping mobil ini, berdiri memandangi Om Damar yang kini sudah menaiki
bandit hitam miliknya, tengah mengenakan helmnya. Motor warna hitam, jaket hitam, semua serba hitam, mirip pembunuh bayaran di film-film memang omku ini hihhhh..
Dan setelah selesai mengenakan helm half-face model retronya itu, Om Damar pun menyalakan mesin si bandit hitam, dan..
BRRUUMM.. BRRUUMM.. DEBH DEBH DEBH..
Beuuhh.. merdu banget coy asli. Bersamaan itu satu persatu dari rekan Om Damar pun memasuki mobil, sebelum itu mereka sempatkan untuk menegurku dengan anggukkan kepala, yang tentu aku balas juga dengan anggukkan.
“BB-mu layarnya pecah, dan karena aku tahu kamu belum berniat ganti hape, jadi hapemu aku bawa dulu. Besok atau lusa akan kukirim ke rumah.” Om Damar menghampiriku dengan menggunakan motornya, aku menganggukkan kepala, karena meski galak-galak begini, kutahu Om Damar itu pengertian banget orangnya. Buktinya dia bisa tahu, walau si davis pecah LCD-nya aku belum berniat buat ganti handphone.
“Jangan lupa obati kepalamu..”
BRRUUUMMMM..
Om Damar pun berlalu meninggalkan halaman rumah ini, langsung menggas motornya begitu saja, tanpa say goodbye maupun kecup kening denganku, dan mobil pajero hitam di sampingku pun langsung mengekor. Aku tersenyum, kuhisap lagi garpit di jemariku, menghembuskan asapnya ke udara.
Omku ini kampret juga ya, masa dia Cuma nyuruh aku ngobatin luka di kepalaku yang enggak seberapa ini. Tapi dia enggak nyuruh aku buat ngobatin hidungku, leherku serta perutku yang mendapatkan ‘luapan kekesalannya’ malam ini. Kampreet.. kampreett..
Bunyi dari knalpot Om Damar pun semakin sayup dan menjauh, namun aku masih berdiri diam di halaman ini memandangi arah kepergian Omku itu. Setelah berbulan-bulan enggak ketemu, sekalinya ketemu Cuma buat ngehajar aku, bangke emang hahaha
“Cah bagus..”
Di tengah senyumanku yang melepas kepergian Om damar, terdengar suara lembut yang memanggilku, membuatku langsung menoleh ke arah suara yang berasal dari arah pintu rumah ini. Dan sejenak aku tertegun ketika mendapati Budeh tengah melangkahkan kaki menuju ke arahku.
Budeh terlihat anggun mengenakan gaun tidur selutut yang dibalut dengan sweater berwarna abu-abu. Rambutnya yang bergelombang itu digerai. Auranya sungguh mempesona, entahlah.. mungkin karena aku biasanya melihat Budeh berkebaya rapih lengkap dengan rambut disanggul, jadi ketika mendapati Budeh berpakaian enggak kaya biasanya plus rambut yang tergerai panjang, membuatku langsung tertegun menelan ludahku sendiri.
Dan ketika Budeh semakin dekat ke arahku, kesadaranku langsung kembali. Bukan karena apa-apa, namun karena aku kembali bisa melihat memar biru di pelipis mata dan tepian bibir Budeh, meski sesungguhnya itu sama sekali enggak mengurangi kecantikannya, tapi tetap saja aku merasa begitu sedih ketika harus teringat kembali tentang apa yang menimpa Budeh hari ini.
“Maafin saya Budeh.. Saya udah bikin rame rumah Budeh, sampe Budeh harus ngeliat..”
“Ssssttt..” Budeh lekas menghentikan ucapanku dengan menempatkan jari telunjuk dan jari tengahnya di bibirku, kepalanya menggeleng pelan, senyumnya ia kembangkan.
“Terimakasih ya Nggan.. terimakasih untuk semua yang udah kamu lakuin buat Budeh..” Budeh melanjutkan kata-katanya dengan tatapan syahdu, jemarinya kini bahkan sudah mengelusi tepian bibirku.
Aseemmm.. Budeh kok cantik banget ya malem ini kelihatannya? Bajingan ini.. aarggghh..
Andai aja aku lahir seangkatan sama Budeh, atau enggak Budeh yang laihrnya seangkatan sama aku, asli sih.. pasti bakal aku jadiin incaran utama nih Budeh. Lah bayangin aja, di usianya yang pasti sudah melewati angka 40, tapi penampilan Budeh masih sangat ‘solid’ dalam segala aspek.
Di wajahnya belum ada kerutan, kulitnya yang putih itu masih kencang, bentuk tubuhnya.. dah enggak perlu ditanyakan dah. Meski tubuh Budeh enggak selangsing dan se singset Ibu, tapi justru itu yang menjadikannya begitu menarik perhatian. Sekali lagi aku ingatkan ya, tubuh Budeh enggak gemuk, tapi enggak kurus kerempeng gitu juga lho. Apa ya bahasa enaknya? Bahenol? Semlohai? Pokoknya semacam itu lah.
Aku dan Budeh saling melempar senyum, hingga akhirnya ia menarik tangannya dari bibirku, merapatkan bagian depan sweaternya sebab angin yang berembus pasti membawa hawa dingin ke tubuh indahnya itu. Et dah kampret.. pikiranku kok malah kemana-mana sih bangsat..
“Hhmm.. kalo gitu saya pamit ya Budeh.. sekali lagi maaf kalau saya udah bikin gaduh di sini”
Sialan.. kok aku malah pamit sih? Eh tapi emang harusnya pamit kan? Mau ngapain coba?
“Masuk dulu ya Cah bagus.. bair Budeh obatin dulu luka-luka kamu”
YESSS!!! Eh maksudnya itu.. apa.. anu.. arrgghh kok aku gugup gini ya?
“Enggak usah Budeh, nanti ngerepotin. Saya langsung pamit aja, masalah luka saya gampang, saya bisa mampir di klinik dulu nanti.”
Aduh bodoh.. kok bibirku malah nolak sih? Sialan.. eh tapi bener kan ya? Yang dilakuin bibirku itu bener kan?
“Cah bagus.. tolong izinin Budeh ngobatin kamu ya, karena bagaimana pun, luka-luka kamu ini.. ini karena Budeh..”
Coy coy coy.. Budeh malah majuin tubuhnya coy.. wuanjir.. deg degan aku..
“Ta.. tapi Budeh..”
“Budeh mohon.. izinin Budeh ngobatin kamu..”
Glek.. sialan.. kok putih banget itu.. iya itu.. lembah yang menggintip di balik gaun tidur Budeh.. belahannya beuh.. eh kampret.. fokus fokus..
“I.. iya Budeh..” Jawabku terbata dengan pikiran kemana-mana. Budeh pun akhirnya tersenyum lebar, kemudian ia menggenggam pergelangan tanganku dan menarikku untuk mengikuti langkahnya, berjalan masuk ke rumah.
Sesampainya di dalam, Budeh memintaku duduk di sofa yang tersedia di ruang tamu, memintaku menunggu sebentar, setelah itu ia berlalu meninggalkanku. Aku pun meletakkan botol air mineral yang sedari tadi bersarang di kantong belakang celanaku, meletakannya di atas meja, lalu duduk bersandar dalam-dalam, kunikmati batang rokokku yang masih bersisa setengah, kuhangatkan paru-paruku untuk mengentaskan perasaan gugup dan gelisah di dalam dadaku.
Fyuhh.. hari yang benar-benar panjang ya..
Lari pagi bareng Dira, membolos bersama, diambekin Hani dan Teh Arum, terlibat baku hantam dengan si gembyor, lalu dianiaya Om Damar.. beuhh nano nano banget sih hari ini itu, rame dan padat banget rasanya huhhh
Tak lama Budeh sudah kembali dengan membawa baskop kecil yang sudah diisi air hangat, di dalam baskom tersebut juga sudah ada handuk kecilnya. Plus sebuah kotak kecil yang sepertinya adalah kotak P3K, kotaknya bening, jadi aku bisa melihat dalamnya yang berisi botol betadine dan lain-lain.
“Duh Budeh.. jadi ngerepotin kan..” Ucapku seraya menyisihkan rokokku ke samping agar asapnya enggak ngengganggu pernapasan Budeh.
“Apa sih cah bagus.. yang ada tuh Budeh yang udah ngerepotin kamu..” Sahut Budeh seraya menatapku penuh rasa bersalah. Aduh duh.. jadi enggak enak aku sama Budeh.
Okelah, aku enggak akan nyinggung-nyinggung banget tentang apa yang sudah terjadi malam ini. Aku enggak mau ngeliat Budeh sedih kaya gini soalnya.
“Hhhmm.. saya perlu matiin rokok saya dulu enggak Budeh?” Ujarku mencoba mengalihkan topik pembicaraan, Budeh tersenyum kecil kemudian menggeleng pelan.
“Tapi kalau rokoknya udah habis, kamu ikut Budeh ya ke kamar mandi..”
“Uhuk.. uhuk..” Aku yang sedang menghisap asap rokok pun langsung tersedak. Gilla.. buat kalian yang pernah kesedak asap rokok pasti tahu kan pedih dan panasnya kaya apa?
“Pelan-pelan dong Cah bagus.. ini minum dulu..” Budeh menyerahkan botol air mineralku yang tutupnya sudah ia buka. Tangannya yang lain terasa mengusap-usap lembut punggungku.
Aku pun meneguk air mineral itu dengan perasaan campur aduk. Gimana enggak campur aduk coy.. bayangin aja gimana kagetnya aku karena ujug-ujug Budeh ngajak aku ke kamar mandi. Apa enggak blingsatan pikiranku? Mau ngapain coba? Mandi bareng? Buset dah.. mau banget aku hohoho
“besok-besok rokoknya tuh dikurangin.. biar enggak batuk-batuk kaya tadi..” Budeh menasihatiku dengan tangan yang masih mengelusi punggungku. Ealah.. kok rokok yang disalahin sih?
“Apa sih Budeh.. aku loh keselek gara-gara kaget..”
“Hah? Kaget? Kaget kenapa?”
“Gimana enggak kaget.. Budeh loh tiba-tiba ngajakin mandi bareng..” Jawabku santai sembari meletakkan botol air mineral di meja. Dan aku langsung menangkap raut wajah Budeh yang tiba-tiba bersemu merah. Eh salahkah ucapanku barusan? Apa kelewat kurang ajar aku ya?
“Isshhh.. siapa yang mau mandi bareng coba?” Budeh protes kecil dengan tangannya yang sudah mencubit pinggangku.
“Loh barusan kan Budeh yang ngajak aku ke kamar mandi?” Tanyaku balik tanpa memedulikan cubitan Budeh yang memang enggak sakit sama sekali.
“Ih pikiran kamu itu Nggan.. ngeres aja.. wong budeh itu mau bersihin kepala kamu..”
“Loh.. emang pikiran ngeres bisa dibersihin ya Budeh?”
“Ihhhhh.. bukan itu maksudnya. Luka kamu loh.. dibersihin dulu..” Budeh berakata dengan gemasnya, seraya tangannya kembali mencubit pinggangku jauh lebih kuat dari sebelumnya.
“Aduh duh duh.. iya Budeh ampun.. saya enggak mudeng barusan.. ampun..” Aku berkelit sembari menahan tangan Budeh, membuatku kini justru memegang lembut kulit pergelangan tangan Budeh Sekar yang.. uhh.. kenyal lembut dan hangat gitu coy..
Sejenak kami saling berdiam diri dengan posisi sebelah tanganku memegang tangan Budeh, dan dia entah mengapa justru menundukkan wajah, membuatku reflek langsung menarik tanganku.
“Maaf Budeh..”
“Apa sih Nggan.. wes.. Budeh tunggu kamar mandi ya, sekalian nyiapin air hangatnya dulu..” Budeh berkata seraya bangkit dan langsung meninggalkanku, membuatku bingung sendiri jadinya karena ditinggalin gitu aja.
Huh.. aku benar-benar harus membersihkan pikiranku ini, bahaya banget kalau aku terus-terusan ngeres kaya gini. Tapi ya gimana, emang aku pernah bisa berpikir jernih kalau deket Budeh selama ini? Lah kalau lagi makan di warung aja pikiranku sering kemana-mana kok.. wuhhh.. tapi aku harus bisa.. aku harus bisa berpikir jernih ini.. huhhh..
Oke.. aku pasti bisa.. aku pasti bisa..
Aku pun berjalan ke pintu rumah ini, mematikan puntung rokokku di tepian ubin teras, lalu kututup kembali pintu rumah Budeh, kemudian berjalan masuk menuju bagian belakang rumah ini. Aku susuri ubin demi ubin, hingga akhirnya aku sampai di dapur rumah Budeh, dan di ujung dapur ini kudapati kamar mandi di mana terdengar suara gemericik air di dalam sana, aku pun melanjutkan langkahku hingga akhirnya aku tiba di ambang pintu kamar mandi ini.
Namun tiba-tiba tubuhku membeku hebat, sebab mataku disajikan pemandangan maha dahsyat yang benar-benar membuat
Si Marco yang sedari tadi sudah bangun-bangun ayam langsung berdesir hebat. Coy.. gila coy.. Budeh lagi membungkukkan tubuhnya coy.. dia lagi nyiduk air panas di panci besar, nah pancinya itu di taruh di atas lantai kamar mandi, diciduknya sedikit demi sedikit untuk dipindahkan ke bak kamar mandi ini yang berbentuk kolam, dengan tinggi pembatas bak itu adalah sepinggang palingan.
Coy.. asli.. posisinya yang membelakangiku membuat bokong Budeh yang memang sudah indah dari sananya terpampang jelas di mataku saat ini. Gaun tidurnya yang model bahan licin itu mencetak jelas sepasang bongkahan indah nan memukau itu, ditambah paha Budeh yang.. astaga dragon.. putih dan menggiyurkan banget coy.. nelen ludah berkali-kali aku, asli..
“Ehem..” Aku berdehem pelan untuk memberitahu Budeh akan kedatanganku, dan itu langsung membuat Budeh sedikit menolehkan kepalanya, tanpa mengubah posisinya.
“Bentar ya Cah Bagus.. ini airnya lagi Budeh campur dulu..” Ucap Budeh dengan senyuman manis yang membuat matanya menyipit, kemudian lanjut mencampur air tanpa memikirkan betapa blingsatannya
Marco-ku saat ini.
Oke.. atur napas Nggan.. jangan ngeres.. jangan ngeres..
“Lagian Budeh mah.. pake air panas segala, air biasa aja juga enggak apa-apa kok..” Ucapku dengan mata menyapu langit-langit kamar mandi ini, berusaha enggak menikmati sajian indah di hadapanku saat ini.
Aku akan berusaha menikmati pemandangan sepasang cicak yang ada di langit-langit kamar mandi, sepasang cicak yang sepertinya sedang terlibat tatapan tajam, mungkin sedang berebut mangsa, karena memang kebetulan di dekat nyala lampu kamar mandi ini banyak diterbangi oleh serangga-serangga kecil.
Dasar binatang, itu serangganya banyak tapi mereka malah bresitegang, kaya enggak mau bagi-bagi gitu, padahal kan serangganya lumayan banyak, mereka bisa bagi dua dan bekerja sama. Ini malah saling mendekat dengan tatapan tajam kaya gitu, lagian kalau cicak berantem itu bagaimana sih? Gigitan gitu? Emang mereka punya gigi? Atau sabet-sabetan buntut kaya buaya? Tapi emang sakit? Perasaan buntut mereka kan rapuh, paling putus dua-duanya itu kalau beneran berantem.
Xianjing!
Aku memaki seanjing-anjingnya di dalam hatiku, karena ternyata dua cicak itu enggak berantem coy, mereka malah saling tindih menindih! Alias kawin! Anjing enggak itu.. malah menyatukan kelamin di sini loh mereka. Emang mereka enggak punya sarang gitu? Harus banget mereka melakukan
publix sex kaya gini? Enggak ada akhlak bener, bajigur ini..
“Buka dulu ya bajunya Cah Bagus..”
“Eh iya Budeh.. ayo!”
“Heh?” Budeh terpekur dengan wajah bingung.
Krriikkk..
Aduh ******, tolol, bego, bangsat.. keceplosan karena enggak fokus ini anjir. Liat tuh mukanya Budeh, melongo kan. Jagat dewa batara.. kenapa hambamu ini begitu bodoh bin bebel??
“Duh maaf Budeh, saya lagi banyak banget pikiran. Budeh keluar aja enggak apa-apa, biar saya bersihin sendiri..” Ucapku tergugup dan merasa bersalah, ku mundurkan kakiku selangkah dari pintu supaya Budeh bisa keluar. Sumpah sih.. otakku lagi meluber banget ini.
“Udah sini Budeh bantu..” Ucap Budeh seraya maju selangkah, kemudian menggenggam tanganku dan menarikku masuk ke kamar mandi. Tanpa banyak bicara, Budeh segera memegang bagian bawah kaosku, kemudian di tariknya ke atas dengan hati-hati.
Aku yang bingung harus bagaimana akhirnya hanya menurut saja pada Budeh, kuangkat kedua tanganku untuk membantu Budeh melepaskan kaosku. Ketika di bagian kepala, Budeh sangat hati-hati, mungkin agar enggak kena luka di hidung maupun di kepala bagian belakangku. Dan setelah kaosku terlepas, Budeh menutup pintu yang kamar mandi, karena gantungan bajunya ternyata ada di belakang pintu.
Jadi sekarang aku dan Budeh ada di dalam kamar mandi yang pintunya sudah tertutup, tapi enggak dikunci ya.
Setelah menggantungkan kaosku, sejenak Budeh memandangi tubuhku dengan bisu yang begitu keluh, seperti gadis perawan yang baru pertama kali melihat tubuh seorang pria. Huhh.. jangan gerogi.. please jangan gerogi..
Budeh perlahan merapatkan tubuhnya, kemudian telapak tangannya terangkat dengan ujung jemari yang hendak menyentuh kulit tubuhku, tepatnya di bagian ulu hatiku, yang kulihat memang sedikit membiru akibat dari tendangan yang disarangkan Om Damar tadi.
“Sampai kaya gini Nggan.. maafin Budeh ya..” Ucap Budeh terdengar begitu parau dan lirih, ujung jemarinya berhenti tepat di depan kulitku, seolah mengurungkan niatnya untuk menyentuh lebam biru di sana.
Dan entah setan dari mana, aku justru dengan kurang ajarnya memegang jemari tersebut, meremasnya lembut, mengusap punggung telapak tangan Budeh dengan ibu jariku.
“Budeh enggak perlu minta maaf, Om saya emang dari dulu kaya gitu kok, tapi aslinya dia baik banget. Dia kaya gitu, karena dia sayang sama saya..” Ucapku menenangkan kecamuk rasa bersalah yang mungkin tengah mendera Budeh saat ini, matanya menampilkan bening-bening air mata yang siap tumpah, dan sebelum itu terjadi, aku pun segera memberikan usapan lembut di bahunya menggunakan tanganku yang lain.
“Dah.. bahasnya nanti aja Budeh.. katanya mau bantu saya bersihin kepala hihi..” Aku berkata seraya melapaskan pegangan tanganku, itu kulakukan karena jujur.. aku juga rada gugup sebenarnya. Jadi aku enggak kuat natap budeh lama-lama.
Alhasil aku pun segera menempatkan kedua tanganku memegang tepian kolam yang berfungsi sebagai bak mandi, kemudian memundurkan kaki, dan memposisikan tubuhku setengah membungkuk dengan kepala tertunduk ke bawah. Budeh pun seperti enggak mau buang-buang waktu, ia segera menempatkan handuk di punggungku, kemudian mulai membasuhkan air di kepala belakangku, hangat air yang disiapkan Budeh rasanya pas sekali.
Ia membasuh kepalaku sembari mengusap rambutku lembut menggunakan semacam sapu tangan, mungkin khawatir jika ada sisa-sisa pecahan kecil vas bunga yang bersarang di sana. Budeh melakukan itu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dari bibirnya, dan ia melakukannya dengan amat lembut, sedang aku hanya bisa memejamkan mata.
Menikmati guyuran demi guyuran hangat di kepalaku, yang membuat rambutku turun dan menutup bagian samping wajahku. Bermenit-menit lamanya aku berdiam, hingga akhirnya Budeh bilang sudah selesai membasuh kepalaku, dan memintaku untuk menegakkan tubuh kembali.
Kemudian dia pun mulai membasuh wajahku dengan sapu tangan basah yang terasa hangat, berputar di sekitar hidung dan bibirku, membersihkan sisa-sisa darah yang mungkin mengering dan tersangkut di sudut-sudut lubang hidung bagian luarku, atau juga di helaian-helian kumis tipisku. Budeh melakukan itu dengan amat lembut dan telaten, sedang aku menikmati betul itu dengan memejamkan mata.
Dari wajah, budeh beralih mengelapi leherku, turun ke dadaku, perutku dan pinggangku. Ia juga mengalp punggungku hingga tanpa terasa, hawa segar benar-benar sudah menyelimutiku saat ini. Setelah semuanya selesai, ia juga memberikan handuk baru kepadaku, bahkan ia enggak segan-segan buat membantuku mengeringkan rambutku, dan ketika Budeh melakukan itu, aku hanya bisa terdiam dengan mata yang terpusat menatapi wajahnya. Sungguh.. bidadari aja enggak ada yang semolek ini kayanya.
“Sudah.. sekarang kita obati luka kamu yuk..” Budeh mengusap-usap kulit bahuku dengan lembut, yang segera aku balas dengan anggukkan kepala, setelah itu kami pun berjalan keluar dari kamar mandi dengan tanganku yang digandeng Budeh. Aku enggak diizinin Budeh mengenakan kembali kaosku dulu, nanti saja setelah luka-lukaku sudah selesai diobati katanya.
Setelah sampai di ruang tamu, aku pun didudukkan oleh Budeh, dengan posisi memunggunginya, dan ia dengan telaten mulai mengobati luka di kepala belakangku dengan menggunakan kapas dan cairan alkohol. Ia tekan-tekan lembut di sana, sedang aku hanya diam sembari sesekali meringis perih karena efek alkohol yang menyapa luka-lukaku.
Aku sempet bingung sih, kenapa kok Budeh bisa punya kotak P3K lengkap kaya gini. Dalemnya ada alkohol, obat merah, kapas, kain perban, dan pleseter gitu. Kaya anak pramuka aja deh pokoknya.
“Cah bagus..” Terdengar panggilan pelan Budeh yang tengah membersihkan lukaku.
“Ya Budeh?” Tanyaku tanpa menolehkan kepala.
“Mengenai orang yang tadi itu..” Budeh menggantung kalimatnya sejenak, terdengar helaan napasnya agak berat, dan entah kenapa.. aku seperti enggak mengharapkan Budeh membicarakan ini, karena entah kenapa, aku kaya enggak siap aja gitu.
“Benar kalau dia itu suami Budeh..”
DEGG..
Shit.. kok aku jadi ngerasa gimana gitu mendengar kata-kata Budeh ya? Kaya ada perasaan yang enggak nyaman gitu. Seolah perkiraanku yang sedari tadi aku tepiskan kebenarannya, langsung terkonfirmasi dengan begitu nyebelin.
“Maaf Budeh.. saya enggak tahu..” Sahutku lemah dengan wajah mulai tertunduk. Sialan.. berarti aku tadi menghajar suami Budeh dong? Jangan-jangan aku salah paham ya? Bagaimana kalau benar tadi sebenarnya bukan pemerkosanan, tapi aliran BDSM gitu? Tapi masa iya sih? Kenapa tadi Budeh minta tolong? Tau gitu enggak usah minta tolong kan harusnya?
“Dengerin Budeh dulu..” Ujar Budeh lirih seraya menghentikan aktifitasnya mengobati lukaku, aku menghela napas dalam, kemudian kurasakan bahuku dipegang lembut oleh Budeh, tubuhku diputarnya lembut agar berhadap-hadapan dengannya.
“Ini enggak seperti yang kamu pikirin Nggan..” Tukas Budeh setelah tubuh kami saling berhadapan, aku mengulum bibir bawahku dengan penuh rasa bersalah.
“Iya Budeh.. dari itu saya minta maaf..” sahutku pelan.
“Kamu enggak perlu minta maaf Cah Bagus.. tolong dengerin penjelasan Budeh dulu ya..” Budeh Sekar pun berujar dengan begitu lembutnya, ia sisihkan kapas yang berwarna jingga kekuningan, kemudian ia mulai mengambil handuk yang berada di baskom, memerasnya lembut, kemudian mulai membasuh lebam di ulun hatiku dengan lembut.
“Lelaki yang kamu hajar tadi itu Mas Erwin, dan dia adalah suami Budeh. Tepatnya Suami kedua Budeh..” Budeh mulai bercerita dengan wajah yang sedikit ditundukkan.
“Suami pertama Budeh sudah lama meninggal, sekitar lima belas tahun kalau enggak salah. Budeh menjanda cukup lama, karena memang enggak kepikiran buat nikah lagi. Tapi akhirnya, tiga tahun yang lalu Budeh memutuskan menikah dengan Mas Erwin, tapi hanya menikah siri..”
“Lalu kenapa Budeh minta tolong kalau emang dia suami Budeh?” Aku menyela dengan perasaan jengah di hati, membuat Budeh mengangkat wajahnya dengan memberikan senyuman kecil keterpaksaan.
“Biarkan Budeh menyelesaikan cerita Budeh dulu ya..” Ujar Budeh lembut sembari kembali mencelupkan handuk ke dalam baskom, memerasnya lagi.
“Budeh bersedia dinikahin lelaki itu karena kejadian yang persis seperti malam ini, dia memperkosa Budeh waktu Budeh sedang tutup warung..” Ujar Budeh getir, aku entah mengapa segera menggenggam tangan Budeh, memintanya untuk enggak melanjutkan cerita. Tapi Budeh menggeleng pelan, ia tetap bersikukuh ingin melanjutkan ceritanya.
“Waktu itu warung Budeh belum sebesar dan serame sekarang, karyawan Budeh juga baru dua orang. Pelanggan juga belum serame sekarang. Budeh masih ingat banget, waktu itu jam sebelas malam, Mas Erwin ini pelanggan terakhir yang makan di warung, sebelumnya dia emang udah beberapa kali makan di warung Budeh. Tapi malam itu dia datang mepet banget sama jam tutup warung, jadinya pas Budeh sama karyawan mulai beres-beres, dia masih makan. Abis makan dia juga enggak langsung bayar, tapi ngerokok sambil telfonan gitu.”
“Karena emang udah malem banget, dan semuanya juga udah beres. Budeh bilang ke karyawan Budeh buat pulang duluan aja, biar sisanya Budeh yang beres-beres, karena mereka juga kan udah ditunggu sama keluarganya. Awalnya mereka enggak mau, tapi Budeh paksa, dan akhirnya mereka pulang kan. Nah enggak lama mereka pulang, Mas Erwin ini baru deh selesai makannya, dia jalan ke depan mau bayar, ngobrol-ngobrol dikit, nanya-nanya tentang karyawan Budeh yang tadi udah pulang. Dan abis itu..”
“Udah Budeh cukup..” Aku yang merasakan napasku agak sesak mencoba menghentikan Budeh, namun ia kembali menggelengkan kepalanya.
“Mungkin karena melihat situasi yang sepi, dan enggak ada orang selain kita berdua. Dia jadi berani melakukan itu, dia masuk ke bagian dalam dapur, langsung meluk dan nutup mulut Budeh. Dia juga mukulin Budeh berkali-kali, serta ngancem Budeh pakai pisau yang ada di dapur. Budeh yang udah lemes dan ketakutan Cuma bisa pasrah pas dia nyeret Budeh ke bagian belakang warung yang gelap, di sanalah dia memperkosa Budeh..”
“Budeh enggak bisa ngelawan, Cuma bisa nangis, itu juga pelan. Karena kalau Budeh nangis kenceng dikit dia pasti langsung mukul Budeh. Dia juga ngancem Budeh, kalau sampai Budeh cerita ke orang lain, apalagi sampai lapor polisi, dia bakal nyakitin Budeh sama karayawan-karyawan Budeh. Jadi Budeh Cuma bisa bungkam Nggan..”
“Singkat cerita, setelah memperkosa Budeh malam itu, dia masih beberapa kali dateng ke warung. Tapi budeh selalu ngindar, Budeh selalu minta temenin sama karyawan Budeh sampai dia selesai makan. Sampai setelah beberapa minggu, Budeh mulai ngerasa mual-mual, awalnya Budeh coba buat nepis kemungkinan kalau Budeh hamil, tapi semakin berjalannya waktu mual-mual itu enggak kunjung hilang. Dan akhirnya benar, setelah Budeh cek pakai testpack ternyata Budeh hamil..”
Aku terpekur mendengar cerita Budeh, sekujur tubuhku rasanya lemas namun terbakar di saat bersamaan.
“Akhirnya pas dia dateng lagi ke warung Budeh putusin buat ngomong, dia dateng di waktu yang selalu sama, menjelang tutup warung. Dan malam itu Budeh minta buat kedua karyawan Budeh pulang lebih dulu, setelah itu baru Budeh ngomong sama dia empat mata. Budeh sampein kalau Budeh hamil, dia seneng, dan bilang mau bertanggung jawab, dia juga ngaku duda sama Budeh. Jadi budeh pikir, dibanding nanti anak budeh lahir tanpa Ayah, mending budeh menikah sama dia.”
“Akhirnya seminggu setelah Budeh ngasih tahu itu kita nikah, nikah siri tapinya, dia yang minta. Biar cepet aja kata dia. Budeh nurut, walaupun Mas Erwin kasar, tapi Budeh tetep enggak mempermasalahkan itu, karena yang penting anak Budeh nanti lahir punya Ayah..”
“Tapi ada yang janggal setelah seminggu menikah, karena Mas Erwin enggak setiap malam pulang. Seminggu mungkin Cuma 3-4 kali. Dan setiap pulang itu dia pasti nyetubuhin Budeh, dia enggak peduli sama janin di rahim Budeh, dia Cuma taunya Budeh harus ngelayanin dia selayaknya pengantin baru. Tapi cara dia menyetubuhi Budeh bener-bener enggak berubah Nggan.. dia tetap kasar dan ringan tangan, dia memperlakukan Budeh bukan seperti seorang suami ke istrinya, dia memperlakukan Budeh dengan kasar, sama seperti waktu dia memperkosa Budeh di warung..”
“Tapi Budeh masih bertahan waktu itu, sampai ketika kehamilan Budeh menginjak bulan keempat, dan Mas Erwin semakin jarang pulang. Akhirnya Budeh tahu, kalau ternyata Mas Erwin itu bohong mengenai status dudanya, dia masih punya istri Nggan.. ternyata Budeh Cuma istri keduanya dia.. hiks..” Budeh mulai meneteskan air matanya, membuatku semakin megngeratkan genggaman tanganku.
“Budeh udah minta cerai begitu tau, tapi dia menolak, alesannya karena budeh lagi hamil. Yaudah budeh terima, dan Budeh tetep ngelayanin dia sebagaimana mestinya seorang istri, walaupun Budeh harus nahan segala perlakuan kasar dia. Dan puncaknya, waktu itu kehamilan Budeh udah menginjak bulan ke enam, Mas Erwin pulang tengah malam dengan keadaan mabuk, dia minta budeh buat ngelayanin dia, tapi Budeh nolak halus, karena budeh khawatir sama keadaan bayi di dalam kandungan budeh, tapi dia maksa. Dia bahkan mukulin dan nendangin Budeh, sampai Budeh setengah sadar, habis itu dia setubuhin Budeh, setelah puas Budeh ditinggal gitu aja di lantai dapur..”
“Udah Budeh..” Hatiku teriris rasanya, sudah enggak usah dilanjut aja deh cerita ini, aku enggak tega beneran.
“Malam itu.. Budeh keguguran, janin Budeh enggak bisa diselamatkan. Budeh syok, dan ngurung diri berhari-hari, warung Budeh tutup. Tapi dia, dia sama sekali enggak merasa bersalah Nggan, sama sekali enggak merasa sedih. Akhirnya diam-diam Budeh pasang spiral, karena Budeh enggak mau mengandung anak dia lagi. Waktu itu dia masih tetap meruda paksa Budeh, dan akhirnya Budeh nyerah, Budeh minta dia menceraikan Budeh, tapi dia enggak mau.. dia enggak mau Nggan..”
“Dan karena pernikahan Budeh Cuma pernikahan siri, Budeh enggak bisa ngajuin gugatan cerai. Satu-satunya jalan Cuma bergantung dari talaknya dia. Ada cara lain sebenarnya, yaitu Budeh dan Mas Erwin harus ijab kabul ulang, menikah ulang secara resmi dan tercatat oleh negara, dengan begitu Budeh bisa mengajukan gugatan..”
“Tapi dia enggak pernah mau Nggan.. dia enggak pernah mau.. dia selalu ngehindar, dan selalu mukulin Budeh. Tapi budeh tetep kekeuh minta pisah sama dia, Budeh usir dia dari rumah. Budeh pindah dari rumah lama Budeh ke sini waktu itu, budeh ajak beberapa karyawan perempuan Budeh buat nemenin Budeh di sini, Budeh juga bilang ke rt sini tentang permasalahan Budeh dengan Mas Erwin, rt di sini mau ngerti itu. Dan akhirnya selama ini Budeh tinggal di sini, tapi meski begitu Mas Erwin sesekali tetep kesini, tapi karena karyawan Budeh makin banyak, jadi dia udah enggak berani buat macem-macem sama Budeh. Tapi sesekali dia berhasil meruda paksa Budeh, biasanya ketika Budeh sendirian di rumah. Budeh enggak bisa ngapa-ngapain Nggan, Biudeh Cuma bisa pasarah.
“tapi semakin berjalannya waktu, budeh mulai bisa menjaga diri Budeh dari dia. Budeh selalu berangkat dan pulang bareng sama karyawan-karyawan Budeh, yang pada akhrinya bikin Mas Erwin bener-bener enggak punya kesempatan buat ngapa-ngapain Budeh lagi. tapi ya itu.. dia tetap enggak mau menceraikan Budeh. Status budeh digantung sama dia.”
“Dan setelah sekian lama Budeh berhasil ngejauhin dia dari kehidupan Budeh, tadi sore, karena kepala Budeh sedikit pusing, budeh akhirnya minta dianter pulang lebih cepet, Budeh juga tadi sempet dikerokin sama tetangga Budeh, tapi nasib buruk lagi berpihak sama Budeh. Mas Erwin dateng lagi, dan mendapati Budeh sendiri di rumah, dia pun memaksa Budeh buat ngelayanin nafsu dia. Budeh melawan, budeh teriak, tapi dia jauh lebih kuat. Budeh dipukulin, terus diikat seperti yang tadi kamu lihat, mulut budeh disumpal dan dia.. dia..”
“Udah Budeh cukup.. cukup.. Udah Budeh.. udah..” Aku pada akhirnya benar-benar enggak sanggup untuk membiarkan Budeh melanjutkan ceritanya. Kupeluk Budeh erat-erat, dan kurengkuh tubuhnya dalam-dalam, kuusap punggung Budeh dengan lembut, dan kubiarkan ia menangis tersedu di dalam pelukanku.
“Dia memperkosa Budeh lagi Nggan.. hiks.. dia memperkosa Budeh lagi.. hiks..” Budeh membalas pelukanku dengan begitu erat, ia menangis meluapkan segala kesedihannya dengan teramat sesak, dan sesak itu sampai juga rasanya ke inti-inti terdalam perasaanku.
“hiks.. hikss.. budeh benci banget sama dia Nggan.. Budeh mau cerai dari dia.. hiks..” Budeh terus menangis dalam pelukanku, dan rasanya aku juga begitu diterpa badai kesedihan, yang aku bisa lakukan saat ini hanyalah merengkuh perempuan berkalang nasib buruk ini, kuusap lembut punggungnya, kubelai halus rambutnya, berusaha memberikan ketenangan baginya.
Bersamaan dengan tangisan lirih Budeh Sekar di pelukanku, perasaan sesal dari dalam hatiku mencuat, seandainya tadi aku mengetahui ini, sudah pasti takkan kuberi ampun lelaki jahanam itu. Persetan dengan Om Damar yang akan menghabisiku, aku enggak peduli sama sekali.
Lebih sepuluh menit lamanya Budeh menangis dalam pelukanku, kini ia sudah mulai lebih tenang, aku pun merenggangkan pelukanku, menarik dadaku dari pipi Budeh Sekar yang menempel lembut di sana. Kuangkat wajah Budeh sekar dengan lembut, kupandanginya dengan wajahku yang sedikit tertunduk, kurapihkan anak-anak rambutnya yang blingsatan dan berantakan, kuusap sisa-sisa air mata yang membasah di pipinya. Mata dan hidung Budeh memerah bak tomat masak, menandakan betapa dalam kesedihan yang ia simpan selama ini.
“Maafin Budeh karena melibatkan kamu dalam masalah ini Cah Bagus..” Ujar Budeh sekar lirih, aku melemparkan senyum kecil padanya, kembali kuusap tepian kelopak matanya. Kurasakan embusan napas Budeh begitu harum dan menghangat.
“Enggak ada yang dimaafin Budeh, maaf karena saya.. Budeh jadi harus menguak kembali luka di hati Budeh..” Ujarku lembut.
“Entah mengapa, tapi Budeh justru ngerasa lega banget karena udah cerita tentang ini semua ke kamu Nggan.. Budeh Cuma enggak mau kamu salah paham apalagi sampai ngerasa bersalah..” Budeh berkata dengan tatapan yang dihujamkan dalam-dalam, aku tersenyum kecil, jemariku turun mengusap pipi cabi kemerahan Budeh Sekar.
“Budeh tenang aja, setelah ini.. enggak akan ada seorang pun yang akan ganggu Budeh lagi, Budeh Sekar bisa pegang janji saya” Sahutku seraya menatap dalam-dalam mata Budeh, dalam hatiku benar-benar menguarkan janji, bahwa setelah ini, aku enggak akan ngebiarin lelaki manapun berbuat enggak pantas apalagi sampai mengasari Budeh Sekar lagi.
Jalan hidup Budeh Sekar sudah kadung pahit, jangan sampai ada lagi yang membuat kepahitan terasa semakin getir.
Budeh sekar tersenyum, tangannya yang masih berada di punggungku terasa meraba dengan begitu lembut, bola matanya yang hitam legam bak malam benar-benar begitu mengunci bola mataku. Seolah aku dibawa tenggelam dalam palung gelap yang terasa begitu dalam.
.
.