Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG LAKUNA : SESUATU YANG HILANG

Hallo Semuanya, selamat sore dan selamat menikmati akhir pekan bersama keluarga dan orang terkasih, semoga suhu dan pembaca semua selalu diberikan kesehatan dan kebahagiaan.

Berikut saya lampirkan untuk update bagian 10 ya, maaf jika memang rentang updatenya semakin molor antara bagian satu dengan bagian lainnya, sebab semenjak sembuh dari kecelakaan tempo hari, saya memfokuskan diri untuk menyelesaikan tugas-tugas kantor yang sempat terbengkalai, sekali lagi mohon dimaafkan ya :ampun:

Terimakasih untuk seluruh pembaca dan suhu-suhu yang sudah menyempatkan waktunya untuk membaca coretan asal-asalan ini, mohon dimaafkan jika masih banyak kekurangan, mohon dimaklumi jika memang dirasa terlalu lamban dalam penceritaan, sebab memang saya memproyeksikan cerita ini untuk menemani keseharian saya :ampun:

Pokoknya ya itu lah, saya berterimakasih dan meminta maaf sekaligus ya, matur sembah nuwun yo :ampun:
Makasih bang, cerita luar biasa,, harus sampe tamat...
 
BAGIAN 11 : BEBAN MASA LALU

***

POV REGAN

*

Aku mengepalkan tanganku keras-keras, mengatur posisi pijakan kakiku, memusatkan pandanganku tajam-tajam ke arah pintu. Langkah-langkah itu semakin dekat, semakin dekat dan semakin dekat. Kemudian seorang lelaki dengan bagian mulut tertutup masker medis berwarna hijau di ambang pintu kamar ini, ia mengenakan kaos hitam dengan luaran jaket kulit berwarna hitam juga, sedang bawahannya sendiri adalah celana jeans berwarna biru gelap.

Di bagian kerah kaos hitamnya, tergantung kaca mata hitam. Rambutnya rapih dan klimis. Di belakang lelaki itu berdiri tiga orang dengan wajah tegang dan napas terengah, mereka semua kompak menatap ke satu arah, ke arahku.

“Halo Regan..” Ucap lelaki yang necis yang memimpin tiga orang di belakangnya itu, bersamaan dengan itu ia tarik turun maskernya, membuat wajahnya terekspos jelas di depan mataku. Senyumnya mengembang kecil, tatapannya datar menghujam mataku.

Heh..?


***

“Tolong bawa orang ini ke rumah sakit, pastikan juga enggak ada warga yang mendekat ke sini, nanti akan saya kabari untuk tindakan selanjutnya. Sisanya biar saya yang urus..”

Anjir.. kenapa orang paling menyeramkan di muka bumi ini bisa ada di sini? Setelah belasan purnama enggak nunjukin batang hidunnya, jsutru sekarang dia muncul di sini? Mengapa ia muncul di saat menjengkelkan seperti ini?

Mampus aku.. mampus udah.. asli..

Dan tepat setelah The Scarie Man itu memberikan perintah, ketiga orang di belakangnya pun segera mengevakuasi Si Gembyor sercara bergotong royong. Setelah itu, aku dipandanginya dengan tatapan tajam yang menyeramkan, kakinya mulai melangkah.

Oh iya.. sialanlah.. biar sekalian saja kuperkenalkan kepada salah satu lelaki paling aku hormati, segani, takuti namun tetap sedikit kusayangi di seluruh bumi pertiwi ini. Beliau adalah Om Damar, nama lengkapnya Damar Raksa Aliendra. Dia ini.. sialan gemetaran aku ini.. sial banget sih ketemu Om Damar di waktu yang salah ini.. bangsatlah..

Beliau ini.. glek.. bentar aku nelan ludah dulu, seret langsung rasanya tenggorokanku ini.. fuuhh,, beliau ini Om-ku, iya Om-ku! Adik kandung dari Ayahku.

rio-dewanto_20181005_110644.jpg

Damar Raksa Aliendra

Selain itu, kata Mang Diman dan Nenekku, Om Damar ini dulunya adalah guruku dalam belajar ciat-ciat waktu kecil, tapi waktu kecil aja, karena aku sendiri kan enggak ingek, jadi ya aku sejujurnya enggak pernah ngerasain gimana rasanya kalau Om Damar lagi jadi sensei, karena ya itu.. memori masa kecilku kan udah ke reset pasca kecelakaan di Bukit itu.

Dan setelahnya sih, boro-boro jadi Damar-Sensei kaya cerita dari Mang Diman maupun Nenekku, Om Damar malah seperti guru BK yang tingkat keseraman dan kebringasannya di atas guru BK manapun yang ada di muka Bumi Ini. Intinya ya.. Om Damar hanya Om Damar, ia hanya Omku aja. Om yang menyeramkan dan penuh tempramen tepatnya. Hihhh..

Tapi ini bener-bener Kampreto ini.. kenapa Om Damar bisa ada di sini sih?!

Matanya itu loh, sama tajemnya kaya mata Ayah. Tapi bedanya, kalau Ayah kan walau pun sangar, tapi hatinya lembut. Sama satu lagi sih, Om damar keliatan lebih putih dikit aja dari Ayahku, dikit lho ya, engga banyak. Itu mungkin karena dia sering faisal wajah.. eh maksudku facial. Enggak tahu sih, aku nebak aja.

Tapi kalau misalnya Om Damar tahu kalau aku nganggep dia facial wajah.. kira-kira aku bakal diapain ya? Dimutilasi? Cincang halus? Atau malah dibakar hidup-hidup? Ihhhh.. enggak kebayang deh aku.

Tapi sumpah, dibanding harus berhadapan dengan Om Damar ini.. hihhh.. aku lebih baik dicabik-cabik Bogi, dimakan hidup-hidup dan dikentutin Si Kepin dibanding harus berhadapan dengan Om Damar, asli deh enggak bohong aku.

“Terimakasih ya..” Ucap Om Damar yang sudah berada di hadapanku. Glek.. aku menelan ludahku dengan berat. Tu.. tumben dia bi.. bilang makasih sa.. sama aku? Ealah bangsat kok jadi gagap gini sih!

“Sa.. sama-sama Om..” Sahutku terbata dengan tetap berusaha mengangkat kepalaku, tetap berusaha menatap matanya. Karena Om Damar ini paling enggak suka sama orang yang kalau diajak bicara tapi matanya kemana-mana, apalagi kalau sampai nunduk, abis pasti.

“Minggir! Aku ndak bicara sama kamu..” Ujar Om Damar dingin seraya menggerakkan kepalanya agar aku bergeser dari posisiku.

Sialan.. matanya itu menatapku tapi dia bilang enggak ngomong sama aku? Anj.. eh enggak boleh maki, bisa mati aku kalau kebanyakan gerutu kaya gini. Jadi tanpa menunggu perintah kedua, aku segera menggeser sedikit posisi tubuhku, membuat posisi Budeh yang berada di belakangku langsung terbuka. Om Damar pun maju mendekat ke ranjang, kemudian membungkukkan tubuhnya, memberi gesture penghormatan kaya orang-orang Nipon sana.

“Terimakasih banyak karena sudah menahan orang ini agar bertindak lebih jauh, saya juga minta maaf jika orang ini sudah menyusahkan.” Om Damar berkata dengan punggung membungkuk, setelah kata-katanya selesai, barulah ia mengangkat kembali tubuhnya. Sedang Budeh yang diajak bicara terlihat kikuk, wajahnya yang tadi ketakutan kini menampilkan raut kebiungungan.

Tapi sialan enggak sih.. Dia bilang apa barusan? Orang ini? Ampas bajigur.. udah enggak dianggap kah aku sebagai keponakan tertampannya? Atau karena sudah beberapa bulan kami enggak ketemu, jadinya Om Damar ini lupa sama wajah mempesonaku ini? Kampret..

Eh bentar.. malah bagus dong kalau seperti itu? Jadi aku enggak perlu khawatir bakal kena cut cut dor dari Omku ini kan? Wah mantep ini hohoho

“Sa.. saya yang harusnya berterimakasih.. karena Regan sudah menolong saya..” Sahut Budeh dengan sedikit terbata, mendengar kata-kata dari Budeh, Om Damar sempat melirikku sebentar, tatapannya dipenuhi aura hitam pekat yang menakutkan.

“Oh iya, sebelumnya izinkan saya memperkenalkan diri, nama saya Damar, dan kehadiran saya berserta tim saya di sini dikarenakan ada panggilan darurat ke pihak kepolisian. Harap maafkan saya jika sudah lancang masuk ke rumah ini..” Om Damar memperkenalkan dirinya pada Budeh, bersamaan dengan itu ia tunjukkan lencana miliknya. Budeh mengangguk ragu-ragu.

Heleh.. pamer! Eh tapi bentar.. Panggilan darurat? Tapi siapa coba yang melakukan panggilan darurat? Aku? Lah kan belom sempet diangkat sama pihak kepolisian keburu dihantem vas bunga tadi. Budeh? Ya mana mungkin.. Budeh aja baru aku lepasin iketannya. Eh ngemeng-ngemeng panggilan darurat, ini BB-ku mana ya? Ke lempar kemana dia tadi.

“Kalau begitu saya akan tunggu di luar, Ibu silahkan berpakaian dahulu, karena setelah ini saya butuh bicara dengan Ibu.” Ucap Om Damar seraya mundur dan berbalik badan tanpa menunggu persetujuan Budeh.

Huh.. aku membuang napasku lega, mengusap dadaku pelan. Kayanya mungkin Om Damar mengalami mal fungsi otak ketika bertugas, mungkin kepalanya itu terantuk gagang pistol atau ketabrak kontainer, jadinya dia benar-benar enggak inget akan keponakannya ini. Kiw kiw.. mantap ini.. hohoho.. Selamat aku ckckck..

Sekarang aku tinggal nyari BB-ku, abis itu beres Ckckckck

“Regan..” Tiba-tiba suara Om Damar kembali terdengar. Anjing… kok dia tau namaku? Padahal aku beneran ngarep Om ku itu amnesia, asli. Lebih bagus begitu..

Aku yang tadinya berniat melongok kolong ranjang pun kembali menatap ke arah pintu, di sana Om Damar berdiri mematung membelakangiku. Sialan.. keringat dingin langsung turun ke bijiku ini.

“Satu menit.. lebih dari itu kamu tahu risikonya.” Ujar Om-ku itu dengan dinginnya seraya melanjutkan langkah, menghilang di balik pintu. Mampus.. dia enggak amnesia njir ternyata.. sialan.. sialan.. pupus sudah harapanku.. hancur sudah masa depanku.. aarrrggghh

Eh tadi Omku bilang apa? Satu menit? anjir satu menit doang coy.. mampus aku..

“Sudah Cah Bagus, sana.. nanti handphone kamu biar Budeh yang carikan..” Budeh berucap seraya mengelus lembut kepalaku dengan tangan kanannya, aku menatap Budeh dengan lembut, kemudian tersenyum dan bangkit dari jongkokku.

Reflek aku pun segera memegang telapak tangan Budeh yang tengah mengelusi kepalaku, mencium punggung telapak tangannya berkali-keli, menyampaikan terimakasihku, sembari menikmati kelembutan kulit tangan Budeh hihihi.

Setelah itu aku pun berlari keluar kamar, menyusul Om Damar yang pasti sedang menungguku. Jagat Dewa Batara.. kenapa harus kau hadirkan iblis menyeramkan itu di saat seperti ini? Engkau tak sayangkah pada anak lelaki yang menggemaskan ini? Kejam kau batara dewa!

Aku berlari kecil menuju ruang tamu rumah ini, enggak ada, berarti di luar nih. Dan setelah sampai di teras kulihat satu dari dua mobil yang terparkir di halaman melaju pergi. Pasti Si gembyor laknat ada di dalam mobil itu, bajigur.. harusnya aku kelarin aja dia itu, biar enggak usah jadi beban buat pemerintah ketika di penjara nanti.

Aku menyapukan pandanganku, dan terlihat beberapa orang yang sepertinya rekan dari Om Damar sudah menyebar di beberapa titik, seperti tengah berjaga. Dan di sudut lain halaman ini, dan kulihat Om Damar sudah menungguku di sudut halaman, berdiri di samping sebuah motor lawas berwarna hitam pekat. Bodohnya aku, kenapa aku enggak mengenali suara mesin motor Om Damar ketika tiba tadi ya? Padahal motor Om-ku ini masih sama.

Sebuah naked bike 4 tak lawas keluaran Suzuki, bermesin 4 silinder berkapastisas 400cc. Suzuki Bandit GSF400, motor laki pada jamannya, dan langka sekali di negeri ini pastinya. Aku sih biasa menyebut motor itu dengan sebutan Si Bandit Hitam. Suaranya? Beuhh.. Merdu menggelegar gitu, tapi adem. Pokoknya mantep deh.

Suzuki_gsf400_94_01.jpg

Si Bandit Hitam

01508800337rx-king-special-edition.jpg

Si Kopet (Paling ganteng enggak mau tau)

Oh iya, yang menjadi ciri khas motor Omku itu adalah jok-nya yang dibuat single seat alias enggak ada boncengannya. Enggak tahu apa niatannya, padahal dari parbrikannya sih ada boncengannya (aku sempet browsing tentang motor ini di internet, karena aku emang tertarik sebenarnya hehehe). Sayang banget emang, motor bagus tapi enggak ada boncengannya, sejomblo itu memang Omku ini.

Iya Jomblo, Omku ini jomblo tingkat akhir, jomblo karatan, jomblo paling senior se bumi pertiwi. Aneh ya? Padahal umurnya udah enggak muda lagi, tampang? Bolehlah bolehlah.. adalah bakat jadi playboy.. tapi ya tetap tampanan aku dong hohooho.. Eh udah dulu bahas ini nya, entar kalau kelamaan bisa-bisa kena hukum aku.

Aku pun melangkahkan kaki ke arah Om ku yang berdiri membelakangiku, hatiku dag dig dug ser bukan main ini.

Dan seolah tahu kedatanganku, Om Damar pun memutar tubuhnya perlahan, menghadapku. Di jemari tangan kanannya terselip batang rokok yang sudah menyala, bibirnya menghembuskan asap tembakau tinggi-tinggi ke udara. Kemudian ia merogoh kantong jaketnya, lalu melemparkan bungkusan rokok miliknya kepadaku.

Tap

Aku menangkap bungkusan rokok dengan warna hitam koombinasi biru itu dengan satu tangan, kutatap sebentar, dan kupandangi rokok merk Bentoel itu dengan datar, Om-ku ini.. dia beneran engak amnesia ya? Sayang banget sih.. buktinya dia masih saja setia menghisap bentoel biru yang sudah jarang ada di warung-warung ini. Aku mengembuskan napasku lemas.. membuka bagian atas bungkus rokok itu, mengeluarkan sebatang, menyelipkan filter rokok itu di bibirku, kemudian dengan cepatnya Om Damar menyalakan korek untuk menyulut rokok di bibirku itu.

Sembari menyalakan api di ujung rokokku, tangan Om Damar yang lain menyentuh pelan bagian belakang kepalaku, mengusapnya sedikit, kemudian menarik tangannya kembali. Ia sepertinya hendak mengecek luka di kepala bagian belakangku. Aih.. tumben Omku so sweet kaya gini hihii.. beneran enggak amnesia kah dia ini? Jarang jarang loh.. asli..

“Cukup ditutup perban, ndak perlu dijahit..” Ucap Om Damar sembari mengantongi korek dan menjempit rokok di jemarinya. Aku mengangguk, ikut mengamini ucapan Om Damar, karena memang kurasakan darah yang keluar enggak terlalu banyak.

Aku pun menghisap dalam-dalam asap tembakau dari rokok yang sudah melegenda itu dalam-dalam, kusesapi baik-baik rasa rokok ini. Sebenarnya enggak berbeda jauh dengan rasa garpit yang menjadi rokok tetapku, hanya saja rasanya sedikit lebih tajam dan lebih spicy dari garpitku, tarikannya juga sedikit lebih berat, tapi overall memang lumayan enak sih rokok Om-ku ini.

Setelah rokokku menyala matang, Om Damar pun mematikan nyala apa dari koreknya, bersamaan itu kuserahkan kembali bungkusan rokok miliknya. Kami sejenak saling diam, berusaha menikmati sejenak asap rokok yang masuk ke paru-paru kami. Setelah itu, tepat di embusan ketiga asap rokok keluar dari bibirku, Om Damar berdehem pelan. Itu pertanda bahwa ia ingin aku mendengarkan ucapannya.

“Kalau Ibu tadi ndak berhasil nahan kamu buat bertindak lebih jauh, kira-kira.. apa kita bisa rokok-an bareng kaya gini Nggan?” Tanya Om Damar dengan tatapan datar, raut wajahnya menunjukkan keseriusan pekat. Aku terdiam sejenak, kuhela napasku dalam-dalam, mencoba mengajak paru-paruku beradaptasi pada asap dari pembakaran tembakau bentoel biru milik Om Damar.

“Bi.. bisa Om, tapi rokokannya enggak berdiri kaya gini..” Jawabku sembari mencoba menenangkan diriku. Ngerti kan maksud dari perkataanku ini? Iyap.. aku dan Om Damar tetap bisa rokokan bareng, tapi pasti posisiku udah terduduk babak belur pastinya.

Kenapa aku bisa bilang gitu? Karena terakhir aku ketahuan bikin ‘masalah’, itu ketika aku SMP, moment sebelum aku dipindahkan ke kampung Uwakku dulu. Saat itu, di ruang kepala sekolah, Om Damar menghajarku habis-habisan sampai aku luruh tersandar di tembok, barulah setelah puas menghajarku, Om Damar mengajakku untuk ngobrol sambil rokokan (saat itu aku memang sudah mengenal rokok), rokokannya juga tetep di situ, di ruang kepala sekolah, di depan kepala sekolahku, di depan wali kelasku, dan di depan guru BK-ku.

Pokoknya Om-ku ini emang gitu orangnya, kalau menurut dia aku udah kelewatan nih, udah.. dia itu bakal bikin aku ngdelesor dulu, baru deh nanya-nanyain aku. Dan aku enggak pernah ngelawan lho, mau sesakit apapun hantaman dari Omku ini, aku bakal terima, enggak akan nepis-nepis, karena aku tahu, kalau Om Damar udah kaya gitu, itu artinya aku emang salah, apa yang aku lakukan ya pasti udah kelewatan. Lagian, mau nepis dan nangkis juga percuma, buang-buang tenaga doang, karena ujung-ujungnya ya aku bakal dibikin tepar juga.

Jadi ya.. udahlah, terima aja intinya kalau Om Damar lagi ngamuk, bahkan Ayah, Ibu, Hani dan Mang Diman yang waktu itu ada di luar ruangan kepsek aja enggak berani belain dan mencoba menyelamatkan aku kok, dibiarinin aja aku dihajar Om Damar. dan aku juga enggak nyalahin kedua orangtuaku sih, terlebih Hani, apalagi Mang Diman, karena bagaimana ya.. intinya aku salah aja gitu, udah. Lah wong waktu itu setelah kejadian itu aja kan Ayah sama Ibu langsung sepakat mindahin aku ke kampung karena saking kelewatannya kesalahanku.

“Good kalau kamu tahu, sayang banget emang, kenapa kamu harus nurut sama Ibu itu. coba aja kalau kamu tetep gasak orang tadi, pasti malam ini aku dapet samsak idup buat sparing.” Ucap Om Damar dengan bibir yang dibubuhi senyum kecil nyeremin. Aku menelan ludahku lagi dengan berat, enggak kebayang sih kalau aku harus dijadiin samsak hidup lagi, bisa abis aku.

“Kamu apa kabar Nggan?” Tanya Om Damar.

“Ba.. baik Om.. Om sendiri apa kabar?”

“Lumayan..”

Senyap.. enggak ada suara dulu untuk beberapa saat, hanya ada suara kretekan daun tembakau yang mengisi lengang di antara kami.

Shit.. gini nih kalau ngobrol ama Om Damar, kaku, serem soalnya. Makanya kan aku pernah bilang, aku itu lebih seneng main sama kerabat dari garis Ibuku, karena ya ini.. kalau kerabat dari garis Ayah ya gini, serem-serem, dan Om Damar ini, adalah yang paling seram menurutku. Hih.. beneran deh..

Tapi sumpah sih, aku masih penasaran, kira-kira siapa yang menelpon pihak kepolisian ya? Kan teleponku belum sempet keangkat tadi. Dan lagi, kenapa justru Om Damar yang dateng coba? Ya aku tahu dia emang anggota polisi, intel atau pun semacamnya itulah aku enggak urus. Cuma kan.. Om Damar ini pangkatnya udah bukan buat ngurusin hal-hal kroco kaya gini, udah bukan mainannya lah ibaratnya. Karena Omku ini adalah polisi yang.. gimana ya.. polisi tapi enggak pernah pakai seragam polisi, tapi aku tahu Omku ini polisi, tapi.. ya enggak pernah pake seragam.. gitu deh pokoknya.

“Ndak usah bingung Nggan, nomor darurat yang kamu dapet dari Ayahmu itu benar adalah nomor pihak kepolisian, jadi itu bukan nomor rahasiaku. Cuma memang ya.. aku dan Ayahmu sudah menyetting sedemikian rupa, jadi jika kamu menelpon nomor itu, otomatis aku akan langsung tahu dan bisa langsung melacak posisimu.. terkoneksi lah ibaratnya..” Om Damar berkata dengan santainya, dari hidungnya asap tembakau keluar dengan lembut.

Aku mengernyitkan dahi, sialan.. pantas saja Om Damar bisa berada di sini, karena ternyata secara enggak langsung, akulah yang udah manggil amukan badai ini kesini. Wuaseem emang Ayah ini, kenapa dia melakukan ini kepada anak tertampannya ini? Kenapa Ayah melakukan hal seperti ini sih? Enggak kasihan kah dia sama aku?

“Kenapa? Kamu keberatan dengan apa yang aku dan Ayahmu lakukan?” Tanya Om Damar dengan tatapan di tajamkan, rokoknya ia hisap perlahan, kemudian dijepit dengan jemari tangan kirinya.

“Eh enggak kok Om.. enggak.. beneran.. enggak..” Jawabku terbata dengan sedikit kepanikan, karena gimana ya.. aku diem aja dia masih bisa memperkirakan apa yang sedang aku pikirkan. Kan bajigur ya?

Tapi ya.. aku harus bisa mengendalikan diriku, aku enggak boleh kelihatan kaya tersangka yang ketakutan di depan Om Damar. karena memang aku enggak salah kan? Aku kan Cuma nolong Budeh? Jadi harusnya aku enggak perlu khawatir bakal dimarahi Om Damar kan? Iya kan?

PEEKKHHH

“Heeikkkhh..” Aku tercekat ketika dengan begitu cepatnya telapak tangan kanan Om Damar sudah mencengkeram leherku, mencekik kuat di batang tenggorokanku, sembari mengangkat tubuhku perlahan, membuat pijakanku mau enggak mau harus mengatakan say goodbye pada tanah halaman ini.

Sialan.. kok aku kena cekik sih? aku enggak bisa napas ini..

“Kamu sentuh kulit telapak tanganku, selesai hidupmu. Kamu jatuhkan rokok langka di jari kamu, kelar riwayatmu. Kamu meronta-rontakan kakimu, aku habisi kamu di sini.”

Hep.. pesan macam apa itu? Errrggghhh..

Aku menahan napasku kuat-kuat, mengeratkan urat-urat leherku untuk melawan rasa tercekik yang sekarang menghinggapiku. Sialan.. Om Damar mengatakan hal-hal itu dengan amat santai dan datarnya, dengan tatapan yang benar-benar setajam anak panah. Membuatku mau enggak mau hanya berdiam diri ketika kini tubuhku benar-benar sudah diangkat oleh Om Damar, sialan.. kuat banget sih Omku ini, dia bisa bikin kakiku terangkat dari tanah hanya dengan satu tangan. Kan kampret..

Sakit coy.. asli.. enggak boong.. sesek juga.. rasanya kaya mau mati aku..

Cekikan ini seperti menghambat laju peredaran darah dari tubuh menuju otakku, membuat urat-urat di kepalaku seperti menegang dan siap pecah secara bersamaan. Arrgghh.. mau ngebunuh aku kah Om Damar ini? Bajigur..

“Aku sama sekali ndak peduli alasan di balik perbuatan kamu malam ini. Tapi yang jelas, aku benci tiap kali kamu lemah dan berhasil dikalahkan oleh nafsumu sendiri..” Om Damar berujar seraya terus mengangkat tubuhku, membuat laju napasku benar-benar terhenti, sekujur tubuhku rasanya menegang sebab sirkulasi darah ke otakku yang tersumbat. Aku mengeratkan gigiku kuat-kuat, mencoba menahan tumbukkan rasa sakit yang menghujam syaraf-syraf pendeteksi rasa sakitku saat ini.

“Sampai kapan hah? Sampai kapan kamu mau mengandalkan orang lain buat ngeredam kebringasanmu sendiri, hah?! Sampai kapan kamu mau jadi orang lemah kaya gini, hah? Cuihhhh.. Memalukan!” Maki Om Damar sembari meludah ke samping, setelah itu kurasakan cekikan Omku ini semakin erat. Mati aku ini lama-lama.. asli..

Hepp..

“Mmpphh..” Aku mengeram pelan, mencoba terus meredam dan mempertahankan kesadaranku agar enggak buru-buru mencapai batasnya.

“CUKUP!! SUDAH.. TOLONG LEPASIN REGAN..” Terdengar teriakan Budeh melengking dari arah belakangku, namun hal tersebut sama sekali enggak membuat Om Damar bergeming, matanya tetap terkunci menusuk bola mataku.

Sayup-sayup terdengar suara keributan di belakangku, sepertinya itu berasal dari Budeh yang tengah ditahan oleh rekan-rekan dari Om Damar yang memang sigap berjaga. Sial.. aku enggak mau sampe Budeh ngeliat aku tengah ditatar sama Om Damar sebenarnya. Arrggghh..

“Kamu pikir kamu bisa jadi pahlawan dengan mengandalkan nafsumu itu hah? Selama kamu belum mampu ngendaliin diri kamu sendiri, kamu Cuma bakal jadi beban buat orang-orang di sekitarmu! Kamu Cuma bakal nyusahin orang-orang di sekelilingmu!”

“Mmmpphh..”

“Sudah.. Cukup.. saya mohon.. sudah hiks..” Kembali terdengar tangisan lirih Budeh dari kejauhan.

“Dengar anak lemah.. selama kamu masih kalah sama nafsumu itu, kamu Cuma bakal jadi beban buat orang lain. Dan kamu tahu kan? Beban itu sama saja kaya onggokan sampah. Ndak ada gunanya, Cuma jadi perusak tatanan alam!” Tukas Om Damar dengan geramnya, namun aku bener-bener enggak bisa mencerna seluruh makian dari Omku ini, sebab tengah berfokus dengan rasa sakit yang benar-benar sudah menjalar ke sekujur kepalaku sat ini.

Kepalaku mau meledak ini coy, asli. Napasku juga bener-bener udah sampai batas akhir, sialan.. mati aku ini.. asli.. mati aku..

Kulihat Om Damar menghisap kembali rokoknya dengan santai, seolah ia benar-benar enggak peduli kalau aku bisa mati di dalam cekikannya saat ini. Ia hembuskan asap rokoknya ke udara, lalu tiba-tiba..

DUGGHH

“Aarrrgghh..” Aku mengerjat menahan rasa sakit ketika tiba-tiba Om Damar menarik tubuhku ke depan, dan mengadu keningnya dengan hidungku, menghantam kuat-kuat, membuat rasa sakit yang menderaku semakin menjadi-jadi saja rasanya.

Sialan.. patah enggak ini hidungku? Arrggghhh.. anjing..

Di tengah rasa sakit di batang leher dan hidungku, napas yang sesak dan kepala yang serasa akan meledak, kurasakan tubuhku diangkat kembali oleh Om Damar tinggi-tinggi, membuatku kian merasakan tercekik yang begitu sakit. Lalu dengan sedikit sentakan kecil, tubuhku terlepas dari cekikannya, melonjak dan melayang sebentar di atas tenah sebelum akhirnya..

BUGGGHHH..

Tubuhku terlempar kencang ke belakang ketika tendangan lurus masuk dengan kerasnya di perutku. Tendangan Omku ini.. eerggghh salah satu tendangan paling keras yang aku akui hingga saat ini.

Kurasakan tubuhku terdorong dengan kaki enggak berpijak di atas tanah, melayang dan meluncur dengan begitu cepatnya, macam batu yang tengah dilemparkan, lalu..

BAAGGHHH

Tubuh bagian belakangku baru berhenti saat menghantam bagian samping mobil yang datang bersama Om Damar dan rombongannya. Napasku terengah, sekujur tubuhku rasanya sakit bukan main. Aku luruh terduduk dengan kepala tertunduk, kudapati darah mengucur dari hidungku dengan derasnya. Bajigur.. habis aku.

Di tengah napasku yang sudah kembang kempis, kulihat sepasang kaki sudah berdiri di hadapanku, membuatku lekas mengangkat kepalaku, menatap wajah Om Damar yang dengan santai menghisap rokok bentoel birunya. Ia kemudian berjongkok tepat di hadapanku, matanya melirik ke rokok yang masih terselip di jemariku, lalu tersenyum.

“Good boy..” Ucap Om Damar sambil menepuk-nepuk pipiku. Kemudian ia bangkit dari posisi jongkoknya dan berjalan meninggalkanku dengan langkah santai.

“Tandaskan rokok itu, aku membelinya dengan uang dan perjuangan. Jangan disia-siakan..” Terdengar saura Om Damar yang kian menjauh, membuatku tersenyum getir sendiri.

Sakitku bukan main rasanya, namun mendengar kata-kata Om Damar aku akhirnya tersenyum juga. Karena aku tahu, amarah Om Damar sudah selesai padaku, juga karena aku tahu, rokok yang masih menyala di selipan jemariku ini adalah rokok yang dibeli Om Damar dengan susah payah, karena ya itu.. udah jarang banget yang ngejual.

Aku pun mengelap hidung dan bibirku dengan punggung telapak tangan, kemudian menghisap sisa-sisa nyala rokok bentoel biru milik Om Damar, menikmati asap tembakau yang perlahan menyelasap ke paru-paru. Fyuhhh.. kampret Om-ku itu. Habis menghajarku dia pergi gitu aja hehehe

Pasti dia hendak mengajak Budeh bicara, dan semoga.. Om Damar bisa menghadapi pertanyaan-pertanyaan Budeh tentang perlakuannya kepadaku ini ckckck

Tapi tenang, meski nyeremin dan kejam bukan main, dia kaya gitu Cuma ke aku doang kok.. kalau ke orang lain ya sebatas dingin aja.. ya bisa dibilang Om Damar itu aslinya baik, Cuma emang dia tutupi dengan segala sikap kerasnya, dan kalian juga enggak perlu khawatir, Om Damar enggak akan ngapa-ngapain Budeh kok, paling Cuma ngajak Budeh bicara mengenai apa yang terjadi malam ini aja.

“Uhuk.. hah.. hah..” Aku terbatuk pelan dengan senyuman, napasku terengah, kuhisap dalam-dalam lagi rokok bentoel biru ini, kuhembuskan asapnya tinggi-tinggi ke udara.

Seorang rekan dari Om Damar datang padaku, menyerahkan sapu tangan dan sebotol air mineral tanpa berkata sepatah katapun. Namun ia terlihat melempar senyum dan menepuk-nepuk bahuku pelan, setelah itu pergi kembali. Aku mengelap hidung dan bibirku dari tetesan darah, khusus hidungku, aku mengelapnya amat pelan karena sepertinya tulang hidungku bengkok ke samping, atau mungkin patah? Entahlah.. yang jelas setelah meminum air dan sedeikit membasuh wajahku, kupegang tulang hidungku kuat-kuat, kutahan napasku sejenak lalu..

CLERRRKK

“Bangsat!” Makiku sendiri ketika aku berhasil meluruskan kembali bentuk hidungku, sakit? Jangan ditanya coyy.. napasku rasanya mau copot ini. Huh.. huh.. huh..

Tapi perlu dicatat, aku sama sekali enggak marah dengan apa yang sudah dilakukan Om Damar padaku, karena meski keras dan nyeremin, aku tahu Om Damar itu sebenarnya sayang banget sama aku. Dan dia melakukan ini semua juga demi kebaikanku agar enggak ngulangin kesalahan yang sama seperti waktu SMP dulu.

Hah… masa itu.. itu adalah saat dimana aku benar-benar melakukan kesalahan besar, walaupun aku sendiri masih bertanya-tanya mengapa aku bisa seperti itu, tapi yang jelas itu benar adalah kesalahanku, dan kesalahan itu sampai sekarang masih terus aku sesali setiap kali mengingatnya, kesalahan yang hampir membuatku mendapatkan label sebagai seorang pembunuh.

Sembari menunggu Om Damar selesai mengobrol dengan Budeh, apa kalian mau kuceritakan tentang kesalahanku itu? Aku jarang-jarang lho nyeritain ini ke orang lain hehehe..

***

Waktu itu aku menginjak kelas 2 SMP, tepatnya di awal semester dua, aku masih di SMP lamaku, belum dipindahin. Dan kesalahan itu juga terjadi pasca meninggalnya Nenekku beberapa bulan sebelumnya. Di masa itu, tawuran tuh lagi ngetrend-ngetrendnya. Hampir di setiap sudut jalan kota ini selalu dihiasi tawuran antar siswa di sore hari. Dari tingkat SMP, sampai yang tingkat SMA.

Dan sekolahku saat itu termasuk salah satu SMP yang paling disegani di selatan, kami beraliansi dengan beberapa SMP lain yang sudah berhasil kami taklukan dan menjadi cunguk sekolah kami pada akhirnya. Lebih dari itu, SMP-ku juga menjadi anak emas dari salah satu STM yang paling disegani di kota ini, STM PERWIRA namanya. Sebuah STM yang menghasilkan prajurit-prajurit tangguh bagi instansi kepolisian dan militer negeri ini.

Bisa dibilang, hampir setengah dari setiap kelulusan anak lelaki di SMP-ku meneruskan ke STM tersebut, dan tentunya kami sangat mendewakan STM yang berbasis di daerah pusat kota itu. Banyak alumni dari SMP-ku yang meneruskan pendidikan di sana, kemudian ketika kembali ke SMP-ku untuk sekedar nongkrong pasti menceritakan ‘kebanggaan’ menjadi murid STM PERWIRA.

Dan bisa dibilang hubungan SMPku saat itu persis kaya hubungan Munchen sama Dortmund di bursa transfer pemain, di mana Munchen demen banget ngebajak pemain dari Dortmund. Nah SMP-ku ini adalah Dortmund-nya, jadi remaja-remaja ‘bertalenta’ dari SMP-ku pasti akan dibujuk sedemikian rupa oleh alumni kami untuk masuk STM PERWIRA.

Nah waktu itu aku termasuk murid yang cukup menonjol di SMP lamaku, aku yang saat itu masih kelas 2 sudah dipercayakan untuk memegang komando di garda terdepan setiap kali tawuran berlangsung. Dan hal itu membuatku cukup memiliki nama, terlebih aku sering sekali nongkrong bareng anak kelas 3.

Dan kesalahan terbesarku itu berawal dari sebuah kejadian yang sebenarnya sepele, namun sangat membuatku emosi. Aku sudah ceritakan kalau aku dan Hani itu sudah dekat dari jaman SMP? Nah ini melibatkan Hani.

Saat itu, aku inget banget, aku baru aja selesai menjalani skorsingku. Aku diskors satu minggu karena tertangkap tangan melakukan penyerangan ke SMP negeri yang menjadi musuh bebuyutan SMP-ku. Tapi kesalahan fatal yang kumaksud sama sekali enggak ada hubungannya dengan penyeranganku itu, sama sekali enggak ada.

Waktu itu, di hari pertama aku kembali setelah skorsingku selesai, aku justru membolos bersama beberapa teman sekelasku untuk bergabung dengan anak kelas 3. Katanya sih, ada alumni yang lagi ‘melakukan kunjungan’, dan sudah jadi tradisi untuk menyambut alumni-alumni itu.

Jadi setelah jam istirahat selesai, kami bukannya masuk kelas tapi malah ngambil tas lalu ngebolos lewat tembok belakang. Semua berjalan lancar, kami nongkrong bersama anak kelas 3 dan alumni SMPku yang.. kalau enggak salah baru kelas 2 di STM PERWIRA. Kami nongkrong di belakang sebuah warnet, terlindung dari jalan raya, ngobrol asik sambil diselingi rokok dan minuman keras, intisari namanya, rasanya enggak enak, tapi mendingan itu dibandingkan ciu, kalau ciu aku enggak deh.

Kami duduk melingkari meja kayu lapuk yang selalu menjadi alas bagi gelas-gelas plastik, bungkusan kacang, rokok dan tentunya intisari yang sudah dipindahkan dalam kemasan plastik. Semuanya berjalan lancar tuh, kami have fun aja ngedengerin cerita dari alumni-alumni kami yang nyombongnya minta ampun hahaha.

Nah sekitar jam sebelas lewat kalau enggak salah, pas kita lagi asik-asiknya haha hihi, tiba-tiba Hani datang menyusulku. Ia datang sendirian. Tujuan dia jelas, hendak mengajakku untuk kembali ke sekolah.

Oh iya, aku mau kasih tau dikit, Hani itu paling enggak suka kalau aku tawur-tawuran dan nongkrong minum-minum kaya gini, pokoknya dia tuh paling enggak suka kalau aku ngebandel di luar batas. Oke lanjut..

Nah Hani dateng tuh, sambil manyun-manyun dan agak ketus minta aku udahan minum dan balik ke sekolah. Tapi ya namanya lagi nongkrong kan? Mana ada sih cowok yang demen digituin? Disuruh-suruh pulang? Enggak ada kan? Aku juga kaya gitu.

Aku tolak tuh berkali-kali suruhannya Hani, dan aku suruh dia balik ke sekolah, enggak usah nungguin aku. Tapi Hani nya batu, tetep aja nyuruh aku balik, sampe akhirnya aku kacangin kan, terserahlah dia mau ngomong apa, mau bentak-bentak aku juga aku niatnya enggak peduli, mau bodoamatan.

Sampai tiba-tiba, alumniku yang saat itu sudah mabuk parah angkat bicara..

“Dari pada nyuruh Regan balik, mending elu ikut minum sama kita sini..” Ujar salah satu alumniku yang memiliki potongan rambut macam emo-emo gitu. Aku enggak tahu nama aslinya, Cuma dia biasa kami panggil dengan panggilan Joni, dan anak-anak SMPku tentu saja memanggilnya Bang Joni.

Perawakannya tinggi menjulang, tubuhnya kurus dengan kulit putih.

“Nggan.. ayo..” Hani enggak menggubris tuh saat itu, dia malah tetep ngebujuk aku buat udahan nongkrongnya, tapi aku ya masih nolak.

“Udah mending lu balik ke sekolah deh Han.. gua masih mao di sini..” Ucapku dengan nada pelan, berusaha memberikan pengertian pada Hani.

“Lah ngapain disuruh balik? Udah mending ikut nongkrong sama kita di sini, kita party bareng-bareng, nanti elu gua pangku deh duduknya hahaha..” Sahut Bang Joni lagi yang langsung disambut gelak tawa oleh teman-temannya (teman alumninya, ada 4 orang, jadi sama Bang Joni jadi ber5).

Sedang aku dan teman-temanku (termasuk anak kelas3) hanya diam enggak menanggapi candaan itu, karena bagaimana pun mereka tentunya mengharagai Hani yang statusnya dekat denganku. Aku jujur, sudah mulai terganggu atas godaan-godaan alumniku itu, namun aku masih menahan diri.

“Elu baru banget masuk Nggan.. nanti kena skors lagi.. udah ayo.. balik..” Hani kembali mengabaikan rayuan Bang Joni, dan tetap membujukku untuk ikut dengannya, ia bahkan sudah melembutkan suaranya dan memegang lemah bagian bawah lengan seragamku.

Dan menilik situasi yang semakin membuatku jengah, aku tadinya tuh udah niat ngiyain ajakan Hani, udah mau bangun buat pamit sama yang laen, tapi tiba-tiba Bang Joni bangun, dia yang duduk di seberangku langsung menarik tangan Hani untuk ikut bergabung bersama kami.

“Elu tuh kalau diajak ngomong sama senior yang sopan! Jangan sok jual mahal lu!” Bentak Bang Joni seraya menarik tubuh Hani, aku pun segera berdiri dan langsung memegang lengan Bang Joni. Jujur, saat itu aku sudah mulai terpancing, karena memang dari beberapa kali pertemuan sebelum ini dengan Bang Joni, dia ini tipe senior yang ngebangsat banget, nyebelin deh pokoknya.

“Cukup Bang..” Ucapku datar seraya menatap Bang Joni lamat-lamat, kueratkan cengkeramanku di tulang hasta tangannya, membuat ia mau enggak mau mengendurkan pegangan pada telapak tangan Hani. Beberapa kawanku dari kelas 3 pun ikut berdiri, pun dua kawan Bang Joni.

Mereka berdiri mencoba menengahi kami. Namun melihat aku yang masih santai, mereka menahan diri. Bersamaan itu Hani pun langsung menyentak tangannya, wajahnya memerah ketakutan, matanya sudah menahan bening-bening air mata.

“Lu berani ama gua hah?” Tanya Bang Joni mencoba melepaskan tangannya dari cengkeramanku, namun belum berhasil karena aku tetap mempererat cengkeramanku.

“Bukan gitu Bang, Cuma gimana pun dia ini temen gua.. jadi gua minta tolong, jangan kaya gitu.” Ucapku seraya mulai mengendurkan cengkeramanku, terlihat wajah Bang Joni memerah, tanda ia enggak suka dengan ucapanku.

“Lu masih bocah aja udah belagu ye, elu berani ngelawan alumni lu sendiri Cuma buat cabe-cabean kaya gini?” Bang Joni yang tangannya sudah terlepas langsung memepetkan tubuhnya padaku, aroma alcohol jelas saja langsung tercium saat itu.

“Jon udah Jon.. lu ngapain sih! Udah..” Satu teman seangkatan Bang Joni pun lekas menahannya, sedikit menarik tubuh alumniku itu supaya enggak terus memepetku.

Aku benar-benar tersinggung sebenarnya mendengar Hani dibilang cabe-cabean, tapi aku benar-benar mencoba agar enggak dikuasai emosi saat itu. Sebab aku selalu ingat pesan Om Damar, yang selalu mewanti-wantiku supaya enggak gampang dikonfrontasi, juga supaya aku bisa memanage emosi dan amarahku. Juga pesan dari Nenekku yang selalu bilang kalau aku enggak boleh ngebiarin emosiku naik terlalu drastis. Jadi ya, sampai detik itu aku masih bisa nahan emosiku.

“Gua cabut.. lu pada lanjut aja..” Ucapku kepada teman sekelas dan anak kelas 3 SMPku, langsung menyambar tangan Hani, dan berbalik meninggalkan tempat tersebut.

“Cemen lu! Pengecut! Nyampah aja lu di sini! Cuihhh..” Terdengar makian dari alumniku itu ketika aku baru saja membalikkan tubuh dan menggandeng tangan Hani, emosi? Jelas.. lelaki mana enggak merasa emosi dikatain cemen? Pengecut? Sampah? Cuma aku benar-benar enggak mau bikin masalah saat itu.

Biarlah aku direndahkan kaya gimana juga, enggak penting juga omongan dia buatku, yang penting sekarang ya ngajak Hani buat cabut dari sini. Aku enggak tega ngeliat matanya dia mulai merah. Aku juga merasa sedikit bersalah karena enggak ngebelain dia pas tadi bang joni ngatain.

“CUMA DEMI CABE-CABEAN MODEL BEGITU AJA LU NINGGALIN TONGKRONGAN LU.. DASAR SAMPAH.. DIKASIH APA SIH LU SAMA ITU JABLAY? DIKASIH SEPONGAN? APA UDAH DIKASIH MEMEK? EMANG KALO COWOK UDAH DIKASIH MEMEK SAMA PEREK, BEGITU MODELANNYA.. SAMPAH!”

Aku langsung menghentikan langkahku, seketika kulepas genggaman tanganku pada telapak tangan Hani, dan tanpa menunggu detik berlalu.. aku langsung memutar tubuhku, melonjakkan tubuhku seraya menarik kepalan tanganku ke belakang.

BUGGGHHH

Cepatnya pergerakanku waktu itu membuat Bang Joni enggak sempet buat bereaksi, begitu pun teman-temanku, mereka hanya terperangah ketika menyaksikan tubuh Bang Joni terpental ke belakang dan jatuh berdebum memporak-porandakan meja kayu lapuk yang di atasnya berisi gelas plastik dan bungkusan intisari.

Tanganku terkepal keras sekali. Anjing ini.. bangsat.. Itu udah kelewatan banget anjingnya, dia ngehina aku yo monggo. Aku bisa tahan, tapi dia dengan bangsatnya ngatain Hani sampe sebegitunya? Anjing enggak sih?

Tanpa menunggu lama, aku langsung menjejakkan kakiku di dada alumniku itu dengan kerasnya, membuat ia yang hendak bangkit, harus terlentang lagi. Aku injak berkali-kali sampai kurasakan tubuhku ditahan beberapa orang, entah siapa aku enggak ingat.

“Bangsat!” Maki dua alumniku yang lain, yang sedari tadi sebenarnya duduk tenang saja enggak ikut campur sama urusan Bang Joni yang ngegodain Hani. Satu diantara mereka langsung melayangkan pukulan ke rusukku. Satu yang lainnya menendangku tepat di bagian perut, membuatku sedikit termundur, sakit? Lumayan.

Sebelum menunggu gelombang serangan kedua, aku langsung menyentakkan tanganku, membuat tubuhku terlepas dari pegangan kawan-kawan yang menahanku, langsung menyongsong serangan lanjutan dari orang yang tadi memukul rusukku. Kutendang dengan kuat lututnya, membuat ia langsung berlutut, kemudian dengan cepatnya kuhantam wajahnya dengan kuat.

DUGGHH..

BUGHH..

Orang yang memukul rusukku itu terlempar ke belakang, namun bersamaan dengan itu kepalaku mendapatkan pukulan keras dari orang yang tadi menendang perutku, membuatku sedikit oleng. Dengan cepat orang itu pun langsung mengayunkan kakinya untuk menyasar pinggangku, namun ia kalah cepat, karena secepat kilat kutendang paha bagian dalamnya dengan keras.

Dan begitu tubuhnya melintir ke samping, langsung kubuka kepalan tanganku, kulebarkan telapak tanganku lalu kuhantam kepala sampingnya, tepat di bagian telinganya dengan sekuat tenaga.

PAAAKKKKKKHHHH

“Aarrrgghh..” Orang itu berguling-guling sembari memegangi telinganya, aku pun langsung mengalihkan pandanganku pada Bang Joni yang sudah mulai berdiri, kutatap ia dengan penuh amarah, karena memang sasaran utamaku ya dia, bukan dua temannya tadi.

“Hehehe.. ternyata kebringasan lu bukan isapan jempol doang ya? Hebat juga lu! Tapi lu enggak tau siapa gua..” Ucap Bang Joni dengan senyum dibibirnya yang bercampur darah, bersamaan itu ia meraba bagian lehernya, kemudian mengeluarkan kalung bertali hitam dengan bandul kain berwarna coklat, khas pedesaan.

Ia memegang bandul kalungnya itu kuat-kuat, lalu tiba-tiba ia bergerak dengan sangat cepat, berpindah dari posisi berdirinya tadi. Bukan.. ia bukan menyongsongku, melainkan ia berlari dengan sangat cepat dan kini sudah berada di belakang Hani yang tadinya tengah berusaha mendekat padaku.

Bang Joni saat itu memiting leher Hani dengan lengannya, sedang tangannya yang lain sudah memegang pisau dan di hunuskan kepadaku. Sialan.. banget enggak? Bangsat emang kalau orang udah mabok itu. Dan sialnya, ini dia pakai ‘wapak kijang’ anjir.. ituloh kaya jimat gitu, yang bisa bikin penggunanya lari secepat kijang. Eh anjing.. anjing.. dia punya begituan ternyata.. babi..

“Lu begerak, cewe lu gua matiin..” Ancam Bang Joni seraya mengeratkan pitingannya di leher Hani, dan itu tentu saja langsung membuat wajah Hani memerah.

“Ng.. gan..” Ucap Hani parau karena tercekik, air mata menetes dari pipinya, dan entah mengapa, saat itu melihat air mata Hani rasanya hatiku seperti ditikam seribu sembilu, hatiku rasanya ditikam puluhan belati sekaligus. Dadaku memanas, napasku langsung memburu, dan perlahan.. entah mengapa pandanganku perlahan memudar saat itu, bukan buram ya, tapi memudar.

Dimana aku seperti kehilangan kemampuanku melihat warna secara perlahan, semuanya menguning sebelum akhirnya benar-benar berubah menjadi hitam putih. Dan bersamaan dengan itu,kurasakan ada sesuatu yang melonjak dengan cepatnya dari dalam tubuhku, terlepas dengan begitu keras, dan langsung mengalirkan hawa panas di sekujur tubuhku, benar-benar panas saat itu, sampai rasanya aku seperti dibakar hidup-hidup.

Seingatku, aku langsung kehilangan kesadaran saat itu, pandanganku langsung gelap gulita. Dikepalaku hanya terdengar teiakan-teriakan, jeritan-jeritan, namun aku enggak terlalu memperdulikan, karena rasa terbakar itu benar-benar sakit dan begitu menyiksaku.

Rasa terbakarku itu baru berhenti ketika kurasakan tubuhku dikunci oleh seseorang dengan begitu kuat, lalu ada telapak tangan yang menekan di dadaku, bersamaan dengan itu kuraskan ujung jemari menempel dan menekan kuat bagian tengah keningku, mengalirkan hawa dingin yang berangsur-angsur mengembalikan penglihatanku.

Dan betapa terkejutnya aku ketika penglihatanku kembali, Ibu sudah berada di hadapanku. Wajahnya menampilkan raut kesedihan, pun sudah berlinangan dengan air mata. Ternyata telapak tangan yang ada di dadaku, dan jemari yang menekan keningku itu adalah milik Ibu. Dan orang yang mengunciku adalah Mang Diman. Di belakang Ibu kulihat Hani berdiri dengan air mata membasahi wajahnya, kedua tangannya terkatup menutup bibirnya.

Lepas kesadaranku kembali, Mang Diman pun langsung melepas kunciannya, berlari menuju sudut tanah ini dan heboh sendiri uwak uwek memuntahkan isi perutnya, lah.. bingung enggak karena tiba-tiba Ibuku dan Mang Diman sudah ada di situ waktu itu? Awalnya aku bingung, Cuma melihat Mang Diman yang heboh uwak uwek membuatku berpikir, kalau mungkin Ibuku habis nemenin Mang Diman ke dokter karena masuk angin. Mungkin kali ya..

Namun bukan itu saja, yang membuatku bingung. Melainkan ketika aku menggerakkan bola mataku untuk menyisir sekeliling, kulihat semua teman-temanku sudah terkapar di atas tanah. Teman sekelasku, anak-anak kelas 3, alumni-alumniku termasuk Bang Joni sudah terkulai lemas di atas tanah, merintih kesakitan bahkan sebagian sudah enggak bergerak sama sekali. Ada yang bentuk tangan sama kakinya aneh gitu, kaya patah gitu deh pokoknya, ngeri.. ngilu aku ngeliatnya asli..

Dan itu benar-benar membuatku bingung, bagaimana bisa? Dan yang menjadi pertanyaanku saat itu adalah, siapa yang melakukan itu semua? Karena rasanya cepat sekali, seperti baru beberapa detik penglihatanku menggelap, dan tahu-tahu semuanya udah berantakan.

Di dalam kebingunganku saat itu, Ibu langsung memelukku erat, Ibu menangis sesegukkan saat itu, mengelus-elus kepalaku dengan bahu berguncang. Setelah Ibu giliran Hani yang memelukku, ia menangis jauh lebih heboh dari Ibu, asli aku enggak bohong.

Hani nangisnya kenceng banget waktu itu, aku aja ampe bingung. Tapi untungnya dia enggak kenapa-kenapa, padahal aku khawatir banget kalau dia terluka karena sebelum aku ‘kebakar’ kan dia berada dalam pitingannya bang joni.

Dan setelah itu ya kejadiannya kaya yang aku ceritain, setelah teman-temanku yang tepar dievakuasi, aku langsung dibawa kembali ke sekolah oleh Ibu dan Mang Diman. Hani ikut juga waktu itu, dan dia nangisnya beneran lanjut enggak kelar-kelar sampe di sekolah dong.

Singkat cerita satu sekolah heboh kan tuh, murid-murid dipulangin lebih awal. Polisi pada dateng tuh ke sekolahku. Lah aku mah bingung ya kan? Duduk aja diem di ruang kepsek sama Hani sama Ibu. Terus Ayah dateng deh, bareng sama Om Damar. Abis itu kalian tahulah apa yang terjadi, habis aku digasak dan digosok sama Om Damar.

Intinya kisahku di sekolah itu selesai, karena besoknya aku udah enggak masuk sekolah, dan lusanya aku langsung dikirim ke kampung Uwak. Bingung enggak kalian kalau jadi aku? Bingung kan pastinya? Udah iyain aja, emang aku bingung kok waktu itu.

Namun pada akhirnya aku tahu, bahwa akulah yang menghajar kawan-kawan dan alumniku itu, akulah orang yang udah menyebabkan kekacauan itu. Om Damar yang ngasih tahu aku. Hani juga sih, Ibu, Ayah sama Mang Diman mah enggak pernah terlalu ngebahas itu.

Aku dikirim ke kampung Uwak juga karena Ayah dan Ibu sepakat agar aku dididik sementara disana, untuk menjauhkan masalah-masalah lanjutan juga sih katanya. Tapi kalau kata Om Damar sih, biar aku bisa tobat. Aneh kan? Aku aja enggak tahu persis apa yang aku lakuin, tapi ya dari penuturan Hani dan Om damar, ya aku yang udah ngelakuin itu semua.

Aku yang udah ngelukain temen-temenku, dan itu bener-bener jadi penyesalan terbesarku, terus menghantuiku sampai sekarang. Mungkin itulah yang dibilang Om Damar tentang emosi dan amarah, bahwa mungkin ketika aku dikendalikan emosi, maka aku akan kehilangan kesadaranku sendiri, sampai-sampai aku melukai teman-temanku sendiri.

Kalau korbannya Cuma para alumni dan sibangsat Joni sih, mungkin aku enggak akan nyesel, tapi ya gimana.. udah kejadian juga, tapi aku tetep nyesel, tetep bertanya-tanya kenapa aku bisa sampe kaya gitu. Apa aku kesurupan setan penunggu warnet ya saat itu? Ya enggak tahulah, pokoknya aku ngamuk aja katanya.

Aneh kan? Aku aja bingung.

Tapi yang jelas, semenjak kejadian itu, aku kehilangan semua teman-teman SMP lamaku, mereka enggak ada yang mau berteman denganku. Dan jujur, aku juga merasa bersalah dan enggak punya keberanian buat nemuin mereka lagi. Cuma ada satu orang aja yang berasal dari kehidupanku di jaman SMP itu, dan orang itu adalah Maharani Sukma a.k.a Hani.

***


“Bagi Garpitmu..” Lamunanku tentang masa laluku itu pun buyar ketika suara Om Damar terdengar mengudara memecah keheningan malam. Aku melirik ke samping, ke arah bagian depan mobil yang tengah kusandari ini, dan kulihat Om Damar tengah berdiri di bagian depan mobil sana, bersandar membelakangi posisiku.

Sudah selesai bicara dengan Budeh sepertinya dia, cepat juga, atau mungkin karena lamunanku tadi membuat waktu terasa lebih cepat bergulir? Entahlah. Tapi yang jelas aku bingung, karena aku enggak tahu maksud ucapan Om Damar barusan ditujukan untuk siapa. Untukku kah? Atau untuk salah satu rekannya?

“Sepuluh detik kamu ndak nganterin garpit ke sini, akan ku buat patah lagi hidungmu..”

Sial.. itu kata-kata buatku ternyata, wuaseemmm..

Aku pun lekas menekuk kakiku, dan berangsur bangkit dari posisiku saat ini. Kusambar botol air mineral yang tadi diberikan oleh rekan Om Damar, kuselipkan di kantong belakanhg celanaku, kemudian berjalan ke arah Om Damar sembari merogoh saku bagian depan celanaku. Kukeluarkan bungkusan garpitku kemudian kubuka bagian penutupnya, lalu kusodorkan pada Om Damar. Ia pun segera mengambilnya sebatang, diselipkan di bibirnya.

Aku lekas menyalakan korekku untuk menyulut rokok yang berada di bibir Om Damar, dan enggak lupa untuk ikut menyelipkan batang rokok di bibirku, kembali menghangatkan paru-paruku pada dingin malam di tengah kebun pisang ini. Aku kini ikut bersandar pada bemper mobil Pajero hitam ini, sejajar dengan Om Damar.

Fyuh.. asap-asap putih membumbung ke udara.

“Setelah aku tau alesan di balik perbuatanmu, maka aku putusin buat ndak ngasih tahu Ayah dan Ibumu..” Gumam Om Damar tanpa menoleh padaku. Aku terbatuk-batuk kecil sambil tersenyum, senang mendengar ucapan dari Om ter-ngeriku ini.

“Jangan tersenyum seperti itu, kamu pikir aku membenarkan perbuatanmu yang hampir melampaui batas itu?” Tegur Om Damar dengan nada dinginnya, membuatku lekas menghilangkan senyum dari bibirku.

“Iya Om.. maaf..” ucapku pelan.

“Jujur Cuk.. aku sedikit bangga karena kamu udah berani melakukan sesuatu untuk menolong orang lain. Tapi mengetahui kamu hampir menyelesaikan orang tadi, itu benar-benar membuatku kecewa..”

Aku terpekur dengan wajah tertunduk mendengar kata-kata dari Om Damar.

“Gunakan hati nuranimu.. jangan terlalu sering terbawa arus emosimu yang maha deras itu, kamu harus bisa mengendalikan itu. Karena untuk sekarang mungkin belum terlalu jadi masalah, tapi nanti.. ketika tanggung jawab di pundakmu semakin besar, kamu akan mengalami kesulitan jika terus menerus menyerah pada belenggu amarahmu itu..”

Aku tertunduk dalam, setiap menasehatiku tentang pengendalian diri, Om Damar selalu menyinggung tentang tanggung jawab besar yang akan aku emban, namun meski begitu, aku enggak pernah nanya tanggung jawab apa yang dimaksud. Karena mungkin maksud Om damar adalah kehidupan di masa dewasa nanti, di mana aku sudah enggak bisa bergantung pada kedua orangtuaku.

“Weslah.. aku bukan orang yang pinter ceramah kaya Ayahmu. Jadi aku harap otakmu yang dangkal dan ndak seberapa itu bisa mencerna setiap kata-kataku dengan baik.” Om Damar berujar sembari menegakkan tubuhnya, dibumbungkannya tinggi-tinggi asap garpit ke udara. Kemudian ia mulai melangkahkan kakinya, tangan Om Damar terangkat, memberikan gesture jari pada rekan-rekannya yang menyebar. Dan tak perlu menunggu dua kali, satu persatu rekan Omku pun mulai berjalan mendekat ke arah mobil.

Aku pun menggeser tubuhku ke samping mobil ini, berdiri memandangi Om Damar yang kini sudah menaiki bandit hitam miliknya, tengah mengenakan helmnya. Motor warna hitam, jaket hitam, semua serba hitam, mirip pembunuh bayaran di film-film memang omku ini hihhhh..

Dan setelah selesai mengenakan helm half-face model retronya itu, Om Damar pun menyalakan mesin si bandit hitam, dan..

BRRUUMM.. BRRUUMM.. DEBH DEBH DEBH..

Beuuhh.. merdu banget coy asli. Bersamaan itu satu persatu dari rekan Om Damar pun memasuki mobil, sebelum itu mereka sempatkan untuk menegurku dengan anggukkan kepala, yang tentu aku balas juga dengan anggukkan.

“BB-mu layarnya pecah, dan karena aku tahu kamu belum berniat ganti hape, jadi hapemu aku bawa dulu. Besok atau lusa akan kukirim ke rumah.” Om Damar menghampiriku dengan menggunakan motornya, aku menganggukkan kepala, karena meski galak-galak begini, kutahu Om Damar itu pengertian banget orangnya. Buktinya dia bisa tahu, walau si davis pecah LCD-nya aku belum berniat buat ganti handphone.

“Jangan lupa obati kepalamu..”

BRRUUUMMMM..

Om Damar pun berlalu meninggalkan halaman rumah ini, langsung menggas motornya begitu saja, tanpa say goodbye maupun kecup kening denganku, dan mobil pajero hitam di sampingku pun langsung mengekor. Aku tersenyum, kuhisap lagi garpit di jemariku, menghembuskan asapnya ke udara.

Omku ini kampret juga ya, masa dia Cuma nyuruh aku ngobatin luka di kepalaku yang enggak seberapa ini. Tapi dia enggak nyuruh aku buat ngobatin hidungku, leherku serta perutku yang mendapatkan ‘luapan kekesalannya’ malam ini. Kampreet.. kampreett..

Bunyi dari knalpot Om Damar pun semakin sayup dan menjauh, namun aku masih berdiri diam di halaman ini memandangi arah kepergian Omku itu. Setelah berbulan-bulan enggak ketemu, sekalinya ketemu Cuma buat ngehajar aku, bangke emang hahaha

“Cah bagus..”

Di tengah senyumanku yang melepas kepergian Om damar, terdengar suara lembut yang memanggilku, membuatku langsung menoleh ke arah suara yang berasal dari arah pintu rumah ini. Dan sejenak aku tertegun ketika mendapati Budeh tengah melangkahkan kaki menuju ke arahku.

Artis_Penyanyi_Audi.jpg

Budeh Sekar

Budeh terlihat anggun mengenakan gaun tidur selutut yang dibalut dengan sweater berwarna abu-abu. Rambutnya yang bergelombang itu digerai. Auranya sungguh mempesona, entahlah.. mungkin karena aku biasanya melihat Budeh berkebaya rapih lengkap dengan rambut disanggul, jadi ketika mendapati Budeh berpakaian enggak kaya biasanya plus rambut yang tergerai panjang, membuatku langsung tertegun menelan ludahku sendiri.

Dan ketika Budeh semakin dekat ke arahku, kesadaranku langsung kembali. Bukan karena apa-apa, namun karena aku kembali bisa melihat memar biru di pelipis mata dan tepian bibir Budeh, meski sesungguhnya itu sama sekali enggak mengurangi kecantikannya, tapi tetap saja aku merasa begitu sedih ketika harus teringat kembali tentang apa yang menimpa Budeh hari ini.

“Maafin saya Budeh.. Saya udah bikin rame rumah Budeh, sampe Budeh harus ngeliat..”

“Ssssttt..” Budeh lekas menghentikan ucapanku dengan menempatkan jari telunjuk dan jari tengahnya di bibirku, kepalanya menggeleng pelan, senyumnya ia kembangkan.

“Terimakasih ya Nggan.. terimakasih untuk semua yang udah kamu lakuin buat Budeh..” Budeh melanjutkan kata-katanya dengan tatapan syahdu, jemarinya kini bahkan sudah mengelusi tepian bibirku.

Aseemmm.. Budeh kok cantik banget ya malem ini kelihatannya? Bajingan ini.. aarggghh..

Andai aja aku lahir seangkatan sama Budeh, atau enggak Budeh yang laihrnya seangkatan sama aku, asli sih.. pasti bakal aku jadiin incaran utama nih Budeh. Lah bayangin aja, di usianya yang pasti sudah melewati angka 40, tapi penampilan Budeh masih sangat ‘solid’ dalam segala aspek.

Di wajahnya belum ada kerutan, kulitnya yang putih itu masih kencang, bentuk tubuhnya.. dah enggak perlu ditanyakan dah. Meski tubuh Budeh enggak selangsing dan se singset Ibu, tapi justru itu yang menjadikannya begitu menarik perhatian. Sekali lagi aku ingatkan ya, tubuh Budeh enggak gemuk, tapi enggak kurus kerempeng gitu juga lho. Apa ya bahasa enaknya? Bahenol? Semlohai? Pokoknya semacam itu lah.

Aku dan Budeh saling melempar senyum, hingga akhirnya ia menarik tangannya dari bibirku, merapatkan bagian depan sweaternya sebab angin yang berembus pasti membawa hawa dingin ke tubuh indahnya itu. Et dah kampret.. pikiranku kok malah kemana-mana sih bangsat..

“Hhmm.. kalo gitu saya pamit ya Budeh.. sekali lagi maaf kalau saya udah bikin gaduh di sini”

Sialan.. kok aku malah pamit sih? Eh tapi emang harusnya pamit kan? Mau ngapain coba?

“Masuk dulu ya Cah bagus.. bair Budeh obatin dulu luka-luka kamu”

YESSS!!! Eh maksudnya itu.. apa.. anu.. arrgghh kok aku gugup gini ya?

“Enggak usah Budeh, nanti ngerepotin. Saya langsung pamit aja, masalah luka saya gampang, saya bisa mampir di klinik dulu nanti.”

Aduh bodoh.. kok bibirku malah nolak sih? Sialan.. eh tapi bener kan ya? Yang dilakuin bibirku itu bener kan?

“Cah bagus.. tolong izinin Budeh ngobatin kamu ya, karena bagaimana pun, luka-luka kamu ini.. ini karena Budeh..”

Coy coy coy.. Budeh malah majuin tubuhnya coy.. wuanjir.. deg degan aku..

“Ta.. tapi Budeh..”

“Budeh mohon.. izinin Budeh ngobatin kamu..”

Glek.. sialan.. kok putih banget itu.. iya itu.. lembah yang menggintip di balik gaun tidur Budeh.. belahannya beuh.. eh kampret.. fokus fokus..

“I.. iya Budeh..” Jawabku terbata dengan pikiran kemana-mana. Budeh pun akhirnya tersenyum lebar, kemudian ia menggenggam pergelangan tanganku dan menarikku untuk mengikuti langkahnya, berjalan masuk ke rumah.

Sesampainya di dalam, Budeh memintaku duduk di sofa yang tersedia di ruang tamu, memintaku menunggu sebentar, setelah itu ia berlalu meninggalkanku. Aku pun meletakkan botol air mineral yang sedari tadi bersarang di kantong belakang celanaku, meletakannya di atas meja, lalu duduk bersandar dalam-dalam, kunikmati batang rokokku yang masih bersisa setengah, kuhangatkan paru-paruku untuk mengentaskan perasaan gugup dan gelisah di dalam dadaku.

Fyuhh.. hari yang benar-benar panjang ya..

Lari pagi bareng Dira, membolos bersama, diambekin Hani dan Teh Arum, terlibat baku hantam dengan si gembyor, lalu dianiaya Om Damar.. beuhh nano nano banget sih hari ini itu, rame dan padat banget rasanya huhhh

Tak lama Budeh sudah kembali dengan membawa baskop kecil yang sudah diisi air hangat, di dalam baskom tersebut juga sudah ada handuk kecilnya. Plus sebuah kotak kecil yang sepertinya adalah kotak P3K, kotaknya bening, jadi aku bisa melihat dalamnya yang berisi botol betadine dan lain-lain.

“Duh Budeh.. jadi ngerepotin kan..” Ucapku seraya menyisihkan rokokku ke samping agar asapnya enggak ngengganggu pernapasan Budeh.

“Apa sih cah bagus.. yang ada tuh Budeh yang udah ngerepotin kamu..” Sahut Budeh seraya menatapku penuh rasa bersalah. Aduh duh.. jadi enggak enak aku sama Budeh.

Okelah, aku enggak akan nyinggung-nyinggung banget tentang apa yang sudah terjadi malam ini. Aku enggak mau ngeliat Budeh sedih kaya gini soalnya.

“Hhhmm.. saya perlu matiin rokok saya dulu enggak Budeh?” Ujarku mencoba mengalihkan topik pembicaraan, Budeh tersenyum kecil kemudian menggeleng pelan.

“Tapi kalau rokoknya udah habis, kamu ikut Budeh ya ke kamar mandi..”

“Uhuk.. uhuk..” Aku yang sedang menghisap asap rokok pun langsung tersedak. Gilla.. buat kalian yang pernah kesedak asap rokok pasti tahu kan pedih dan panasnya kaya apa?

“Pelan-pelan dong Cah bagus.. ini minum dulu..” Budeh menyerahkan botol air mineralku yang tutupnya sudah ia buka. Tangannya yang lain terasa mengusap-usap lembut punggungku.

Aku pun meneguk air mineral itu dengan perasaan campur aduk. Gimana enggak campur aduk coy.. bayangin aja gimana kagetnya aku karena ujug-ujug Budeh ngajak aku ke kamar mandi. Apa enggak blingsatan pikiranku? Mau ngapain coba? Mandi bareng? Buset dah.. mau banget aku hohoho

“besok-besok rokoknya tuh dikurangin.. biar enggak batuk-batuk kaya tadi..” Budeh menasihatiku dengan tangan yang masih mengelusi punggungku. Ealah.. kok rokok yang disalahin sih?

“Apa sih Budeh.. aku loh keselek gara-gara kaget..”

“Hah? Kaget? Kaget kenapa?”

“Gimana enggak kaget.. Budeh loh tiba-tiba ngajakin mandi bareng..” Jawabku santai sembari meletakkan botol air mineral di meja. Dan aku langsung menangkap raut wajah Budeh yang tiba-tiba bersemu merah. Eh salahkah ucapanku barusan? Apa kelewat kurang ajar aku ya?

“Isshhh.. siapa yang mau mandi bareng coba?” Budeh protes kecil dengan tangannya yang sudah mencubit pinggangku.

“Loh barusan kan Budeh yang ngajak aku ke kamar mandi?” Tanyaku balik tanpa memedulikan cubitan Budeh yang memang enggak sakit sama sekali.

“Ih pikiran kamu itu Nggan.. ngeres aja.. wong budeh itu mau bersihin kepala kamu..”

“Loh.. emang pikiran ngeres bisa dibersihin ya Budeh?”

“Ihhhhh.. bukan itu maksudnya. Luka kamu loh.. dibersihin dulu..” Budeh berakata dengan gemasnya, seraya tangannya kembali mencubit pinggangku jauh lebih kuat dari sebelumnya.

“Aduh duh duh.. iya Budeh ampun.. saya enggak mudeng barusan.. ampun..” Aku berkelit sembari menahan tangan Budeh, membuatku kini justru memegang lembut kulit pergelangan tangan Budeh Sekar yang.. uhh.. kenyal lembut dan hangat gitu coy..

Sejenak kami saling berdiam diri dengan posisi sebelah tanganku memegang tangan Budeh, dan dia entah mengapa justru menundukkan wajah, membuatku reflek langsung menarik tanganku.

“Maaf Budeh..”

“Apa sih Nggan.. wes.. Budeh tunggu kamar mandi ya, sekalian nyiapin air hangatnya dulu..” Budeh berkata seraya bangkit dan langsung meninggalkanku, membuatku bingung sendiri jadinya karena ditinggalin gitu aja.

Huh.. aku benar-benar harus membersihkan pikiranku ini, bahaya banget kalau aku terus-terusan ngeres kaya gini. Tapi ya gimana, emang aku pernah bisa berpikir jernih kalau deket Budeh selama ini? Lah kalau lagi makan di warung aja pikiranku sering kemana-mana kok.. wuhhh.. tapi aku harus bisa.. aku harus bisa berpikir jernih ini.. huhhh..

Oke.. aku pasti bisa.. aku pasti bisa..

Aku pun berjalan ke pintu rumah ini, mematikan puntung rokokku di tepian ubin teras, lalu kututup kembali pintu rumah Budeh, kemudian berjalan masuk menuju bagian belakang rumah ini. Aku susuri ubin demi ubin, hingga akhirnya aku sampai di dapur rumah Budeh, dan di ujung dapur ini kudapati kamar mandi di mana terdengar suara gemericik air di dalam sana, aku pun melanjutkan langkahku hingga akhirnya aku tiba di ambang pintu kamar mandi ini.

Namun tiba-tiba tubuhku membeku hebat, sebab mataku disajikan pemandangan maha dahsyat yang benar-benar membuat Si Marco yang sedari tadi sudah bangun-bangun ayam langsung berdesir hebat. Coy.. gila coy.. Budeh lagi membungkukkan tubuhnya coy.. dia lagi nyiduk air panas di panci besar, nah pancinya itu di taruh di atas lantai kamar mandi, diciduknya sedikit demi sedikit untuk dipindahkan ke bak kamar mandi ini yang berbentuk kolam, dengan tinggi pembatas bak itu adalah sepinggang palingan.

Coy.. asli.. posisinya yang membelakangiku membuat bokong Budeh yang memang sudah indah dari sananya terpampang jelas di mataku saat ini. Gaun tidurnya yang model bahan licin itu mencetak jelas sepasang bongkahan indah nan memukau itu, ditambah paha Budeh yang.. astaga dragon.. putih dan menggiyurkan banget coy.. nelen ludah berkali-kali aku, asli..

“Ehem..” Aku berdehem pelan untuk memberitahu Budeh akan kedatanganku, dan itu langsung membuat Budeh sedikit menolehkan kepalanya, tanpa mengubah posisinya.

“Bentar ya Cah Bagus.. ini airnya lagi Budeh campur dulu..” Ucap Budeh dengan senyuman manis yang membuat matanya menyipit, kemudian lanjut mencampur air tanpa memikirkan betapa blingsatannya Marco-ku saat ini.

Oke.. atur napas Nggan.. jangan ngeres.. jangan ngeres..

“Lagian Budeh mah.. pake air panas segala, air biasa aja juga enggak apa-apa kok..” Ucapku dengan mata menyapu langit-langit kamar mandi ini, berusaha enggak menikmati sajian indah di hadapanku saat ini.

Aku akan berusaha menikmati pemandangan sepasang cicak yang ada di langit-langit kamar mandi, sepasang cicak yang sepertinya sedang terlibat tatapan tajam, mungkin sedang berebut mangsa, karena memang kebetulan di dekat nyala lampu kamar mandi ini banyak diterbangi oleh serangga-serangga kecil.

Dasar binatang, itu serangganya banyak tapi mereka malah bresitegang, kaya enggak mau bagi-bagi gitu, padahal kan serangganya lumayan banyak, mereka bisa bagi dua dan bekerja sama. Ini malah saling mendekat dengan tatapan tajam kaya gitu, lagian kalau cicak berantem itu bagaimana sih? Gigitan gitu? Emang mereka punya gigi? Atau sabet-sabetan buntut kaya buaya? Tapi emang sakit? Perasaan buntut mereka kan rapuh, paling putus dua-duanya itu kalau beneran berantem.

Xianjing!

Aku memaki seanjing-anjingnya di dalam hatiku, karena ternyata dua cicak itu enggak berantem coy, mereka malah saling tindih menindih! Alias kawin! Anjing enggak itu.. malah menyatukan kelamin di sini loh mereka. Emang mereka enggak punya sarang gitu? Harus banget mereka melakukan publix sex kaya gini? Enggak ada akhlak bener, bajigur ini..

“Buka dulu ya bajunya Cah Bagus..”

“Eh iya Budeh.. ayo!”

“Heh?” Budeh terpekur dengan wajah bingung.

Krriikkk..

Aduh ******, tolol, bego, bangsat.. keceplosan karena enggak fokus ini anjir. Liat tuh mukanya Budeh, melongo kan. Jagat dewa batara.. kenapa hambamu ini begitu bodoh bin bebel??

“Duh maaf Budeh, saya lagi banyak banget pikiran. Budeh keluar aja enggak apa-apa, biar saya bersihin sendiri..” Ucapku tergugup dan merasa bersalah, ku mundurkan kakiku selangkah dari pintu supaya Budeh bisa keluar. Sumpah sih.. otakku lagi meluber banget ini.

“Udah sini Budeh bantu..” Ucap Budeh seraya maju selangkah, kemudian menggenggam tanganku dan menarikku masuk ke kamar mandi. Tanpa banyak bicara, Budeh segera memegang bagian bawah kaosku, kemudian di tariknya ke atas dengan hati-hati.

Aku yang bingung harus bagaimana akhirnya hanya menurut saja pada Budeh, kuangkat kedua tanganku untuk membantu Budeh melepaskan kaosku. Ketika di bagian kepala, Budeh sangat hati-hati, mungkin agar enggak kena luka di hidung maupun di kepala bagian belakangku. Dan setelah kaosku terlepas, Budeh menutup pintu yang kamar mandi, karena gantungan bajunya ternyata ada di belakang pintu.

Jadi sekarang aku dan Budeh ada di dalam kamar mandi yang pintunya sudah tertutup, tapi enggak dikunci ya.

Setelah menggantungkan kaosku, sejenak Budeh memandangi tubuhku dengan bisu yang begitu keluh, seperti gadis perawan yang baru pertama kali melihat tubuh seorang pria. Huhh.. jangan gerogi.. please jangan gerogi..

Budeh perlahan merapatkan tubuhnya, kemudian telapak tangannya terangkat dengan ujung jemari yang hendak menyentuh kulit tubuhku, tepatnya di bagian ulu hatiku, yang kulihat memang sedikit membiru akibat dari tendangan yang disarangkan Om Damar tadi.

“Sampai kaya gini Nggan.. maafin Budeh ya..” Ucap Budeh terdengar begitu parau dan lirih, ujung jemarinya berhenti tepat di depan kulitku, seolah mengurungkan niatnya untuk menyentuh lebam biru di sana.

Dan entah setan dari mana, aku justru dengan kurang ajarnya memegang jemari tersebut, meremasnya lembut, mengusap punggung telapak tangan Budeh dengan ibu jariku.

“Budeh enggak perlu minta maaf, Om saya emang dari dulu kaya gitu kok, tapi aslinya dia baik banget. Dia kaya gitu, karena dia sayang sama saya..” Ucapku menenangkan kecamuk rasa bersalah yang mungkin tengah mendera Budeh saat ini, matanya menampilkan bening-bening air mata yang siap tumpah, dan sebelum itu terjadi, aku pun segera memberikan usapan lembut di bahunya menggunakan tanganku yang lain.

“Dah.. bahasnya nanti aja Budeh.. katanya mau bantu saya bersihin kepala hihi..” Aku berkata seraya melapaskan pegangan tanganku, itu kulakukan karena jujur.. aku juga rada gugup sebenarnya. Jadi aku enggak kuat natap budeh lama-lama.

Alhasil aku pun segera menempatkan kedua tanganku memegang tepian kolam yang berfungsi sebagai bak mandi, kemudian memundurkan kaki, dan memposisikan tubuhku setengah membungkuk dengan kepala tertunduk ke bawah. Budeh pun seperti enggak mau buang-buang waktu, ia segera menempatkan handuk di punggungku, kemudian mulai membasuhkan air di kepala belakangku, hangat air yang disiapkan Budeh rasanya pas sekali.

Ia membasuh kepalaku sembari mengusap rambutku lembut menggunakan semacam sapu tangan, mungkin khawatir jika ada sisa-sisa pecahan kecil vas bunga yang bersarang di sana. Budeh melakukan itu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dari bibirnya, dan ia melakukannya dengan amat lembut, sedang aku hanya bisa memejamkan mata.

Menikmati guyuran demi guyuran hangat di kepalaku, yang membuat rambutku turun dan menutup bagian samping wajahku. Bermenit-menit lamanya aku berdiam, hingga akhirnya Budeh bilang sudah selesai membasuh kepalaku, dan memintaku untuk menegakkan tubuh kembali.

Kemudian dia pun mulai membasuh wajahku dengan sapu tangan basah yang terasa hangat, berputar di sekitar hidung dan bibirku, membersihkan sisa-sisa darah yang mungkin mengering dan tersangkut di sudut-sudut lubang hidung bagian luarku, atau juga di helaian-helian kumis tipisku. Budeh melakukan itu dengan amat lembut dan telaten, sedang aku menikmati betul itu dengan memejamkan mata.

Dari wajah, budeh beralih mengelapi leherku, turun ke dadaku, perutku dan pinggangku. Ia juga mengalp punggungku hingga tanpa terasa, hawa segar benar-benar sudah menyelimutiku saat ini. Setelah semuanya selesai, ia juga memberikan handuk baru kepadaku, bahkan ia enggak segan-segan buat membantuku mengeringkan rambutku, dan ketika Budeh melakukan itu, aku hanya bisa terdiam dengan mata yang terpusat menatapi wajahnya. Sungguh.. bidadari aja enggak ada yang semolek ini kayanya.

“Sudah.. sekarang kita obati luka kamu yuk..” Budeh mengusap-usap kulit bahuku dengan lembut, yang segera aku balas dengan anggukkan kepala, setelah itu kami pun berjalan keluar dari kamar mandi dengan tanganku yang digandeng Budeh. Aku enggak diizinin Budeh mengenakan kembali kaosku dulu, nanti saja setelah luka-lukaku sudah selesai diobati katanya.

Setelah sampai di ruang tamu, aku pun didudukkan oleh Budeh, dengan posisi memunggunginya, dan ia dengan telaten mulai mengobati luka di kepala belakangku dengan menggunakan kapas dan cairan alkohol. Ia tekan-tekan lembut di sana, sedang aku hanya diam sembari sesekali meringis perih karena efek alkohol yang menyapa luka-lukaku.

Aku sempet bingung sih, kenapa kok Budeh bisa punya kotak P3K lengkap kaya gini. Dalemnya ada alkohol, obat merah, kapas, kain perban, dan pleseter gitu. Kaya anak pramuka aja deh pokoknya.

“Cah bagus..” Terdengar panggilan pelan Budeh yang tengah membersihkan lukaku.

“Ya Budeh?” Tanyaku tanpa menolehkan kepala.

“Mengenai orang yang tadi itu..” Budeh menggantung kalimatnya sejenak, terdengar helaan napasnya agak berat, dan entah kenapa.. aku seperti enggak mengharapkan Budeh membicarakan ini, karena entah kenapa, aku kaya enggak siap aja gitu.

“Benar kalau dia itu suami Budeh..”

DEGG..

Shit.. kok aku jadi ngerasa gimana gitu mendengar kata-kata Budeh ya? Kaya ada perasaan yang enggak nyaman gitu. Seolah perkiraanku yang sedari tadi aku tepiskan kebenarannya, langsung terkonfirmasi dengan begitu nyebelin.

“Maaf Budeh.. saya enggak tahu..” Sahutku lemah dengan wajah mulai tertunduk. Sialan.. berarti aku tadi menghajar suami Budeh dong? Jangan-jangan aku salah paham ya? Bagaimana kalau benar tadi sebenarnya bukan pemerkosanan, tapi aliran BDSM gitu? Tapi masa iya sih? Kenapa tadi Budeh minta tolong? Tau gitu enggak usah minta tolong kan harusnya?

“Dengerin Budeh dulu..” Ujar Budeh lirih seraya menghentikan aktifitasnya mengobati lukaku, aku menghela napas dalam, kemudian kurasakan bahuku dipegang lembut oleh Budeh, tubuhku diputarnya lembut agar berhadap-hadapan dengannya.

“Ini enggak seperti yang kamu pikirin Nggan..” Tukas Budeh setelah tubuh kami saling berhadapan, aku mengulum bibir bawahku dengan penuh rasa bersalah.

“Iya Budeh.. dari itu saya minta maaf..” sahutku pelan.

“Kamu enggak perlu minta maaf Cah Bagus.. tolong dengerin penjelasan Budeh dulu ya..” Budeh Sekar pun berujar dengan begitu lembutnya, ia sisihkan kapas yang berwarna jingga kekuningan, kemudian ia mulai mengambil handuk yang berada di baskom, memerasnya lembut, kemudian mulai membasuh lebam di ulun hatiku dengan lembut.

“Lelaki yang kamu hajar tadi itu Mas Erwin, dan dia adalah suami Budeh. Tepatnya Suami kedua Budeh..” Budeh mulai bercerita dengan wajah yang sedikit ditundukkan.

“Suami pertama Budeh sudah lama meninggal, sekitar lima belas tahun kalau enggak salah. Budeh menjanda cukup lama, karena memang enggak kepikiran buat nikah lagi. Tapi akhirnya, tiga tahun yang lalu Budeh memutuskan menikah dengan Mas Erwin, tapi hanya menikah siri..”

“Lalu kenapa Budeh minta tolong kalau emang dia suami Budeh?” Aku menyela dengan perasaan jengah di hati, membuat Budeh mengangkat wajahnya dengan memberikan senyuman kecil keterpaksaan.

“Biarkan Budeh menyelesaikan cerita Budeh dulu ya..” Ujar Budeh lembut sembari kembali mencelupkan handuk ke dalam baskom, memerasnya lagi.

“Budeh bersedia dinikahin lelaki itu karena kejadian yang persis seperti malam ini, dia memperkosa Budeh waktu Budeh sedang tutup warung..” Ujar Budeh getir, aku entah mengapa segera menggenggam tangan Budeh, memintanya untuk enggak melanjutkan cerita. Tapi Budeh menggeleng pelan, ia tetap bersikukuh ingin melanjutkan ceritanya.

“Waktu itu warung Budeh belum sebesar dan serame sekarang, karyawan Budeh juga baru dua orang. Pelanggan juga belum serame sekarang. Budeh masih ingat banget, waktu itu jam sebelas malam, Mas Erwin ini pelanggan terakhir yang makan di warung, sebelumnya dia emang udah beberapa kali makan di warung Budeh. Tapi malam itu dia datang mepet banget sama jam tutup warung, jadinya pas Budeh sama karyawan mulai beres-beres, dia masih makan. Abis makan dia juga enggak langsung bayar, tapi ngerokok sambil telfonan gitu.”

“Karena emang udah malem banget, dan semuanya juga udah beres. Budeh bilang ke karyawan Budeh buat pulang duluan aja, biar sisanya Budeh yang beres-beres, karena mereka juga kan udah ditunggu sama keluarganya. Awalnya mereka enggak mau, tapi Budeh paksa, dan akhirnya mereka pulang kan. Nah enggak lama mereka pulang, Mas Erwin ini baru deh selesai makannya, dia jalan ke depan mau bayar, ngobrol-ngobrol dikit, nanya-nanya tentang karyawan Budeh yang tadi udah pulang. Dan abis itu..”

“Udah Budeh cukup..” Aku yang merasakan napasku agak sesak mencoba menghentikan Budeh, namun ia kembali menggelengkan kepalanya.

“Mungkin karena melihat situasi yang sepi, dan enggak ada orang selain kita berdua. Dia jadi berani melakukan itu, dia masuk ke bagian dalam dapur, langsung meluk dan nutup mulut Budeh. Dia juga mukulin Budeh berkali-kali, serta ngancem Budeh pakai pisau yang ada di dapur. Budeh yang udah lemes dan ketakutan Cuma bisa pasrah pas dia nyeret Budeh ke bagian belakang warung yang gelap, di sanalah dia memperkosa Budeh..”

“Budeh enggak bisa ngelawan, Cuma bisa nangis, itu juga pelan. Karena kalau Budeh nangis kenceng dikit dia pasti langsung mukul Budeh. Dia juga ngancem Budeh, kalau sampai Budeh cerita ke orang lain, apalagi sampai lapor polisi, dia bakal nyakitin Budeh sama karayawan-karyawan Budeh. Jadi Budeh Cuma bisa bungkam Nggan..”

“Singkat cerita, setelah memperkosa Budeh malam itu, dia masih beberapa kali dateng ke warung. Tapi budeh selalu ngindar, Budeh selalu minta temenin sama karyawan Budeh sampai dia selesai makan. Sampai setelah beberapa minggu, Budeh mulai ngerasa mual-mual, awalnya Budeh coba buat nepis kemungkinan kalau Budeh hamil, tapi semakin berjalannya waktu mual-mual itu enggak kunjung hilang. Dan akhirnya benar, setelah Budeh cek pakai testpack ternyata Budeh hamil..”

Aku terpekur mendengar cerita Budeh, sekujur tubuhku rasanya lemas namun terbakar di saat bersamaan.

“Akhirnya pas dia dateng lagi ke warung Budeh putusin buat ngomong, dia dateng di waktu yang selalu sama, menjelang tutup warung. Dan malam itu Budeh minta buat kedua karyawan Budeh pulang lebih dulu, setelah itu baru Budeh ngomong sama dia empat mata. Budeh sampein kalau Budeh hamil, dia seneng, dan bilang mau bertanggung jawab, dia juga ngaku duda sama Budeh. Jadi budeh pikir, dibanding nanti anak budeh lahir tanpa Ayah, mending budeh menikah sama dia.”

“Akhirnya seminggu setelah Budeh ngasih tahu itu kita nikah, nikah siri tapinya, dia yang minta. Biar cepet aja kata dia. Budeh nurut, walaupun Mas Erwin kasar, tapi Budeh tetep enggak mempermasalahkan itu, karena yang penting anak Budeh nanti lahir punya Ayah..”

“Tapi ada yang janggal setelah seminggu menikah, karena Mas Erwin enggak setiap malam pulang. Seminggu mungkin Cuma 3-4 kali. Dan setiap pulang itu dia pasti nyetubuhin Budeh, dia enggak peduli sama janin di rahim Budeh, dia Cuma taunya Budeh harus ngelayanin dia selayaknya pengantin baru. Tapi cara dia menyetubuhi Budeh bener-bener enggak berubah Nggan.. dia tetap kasar dan ringan tangan, dia memperlakukan Budeh bukan seperti seorang suami ke istrinya, dia memperlakukan Budeh dengan kasar, sama seperti waktu dia memperkosa Budeh di warung..”

“Tapi Budeh masih bertahan waktu itu, sampai ketika kehamilan Budeh menginjak bulan keempat, dan Mas Erwin semakin jarang pulang. Akhirnya Budeh tahu, kalau ternyata Mas Erwin itu bohong mengenai status dudanya, dia masih punya istri Nggan.. ternyata Budeh Cuma istri keduanya dia.. hiks..” Budeh mulai meneteskan air matanya, membuatku semakin megngeratkan genggaman tanganku.

“Budeh udah minta cerai begitu tau, tapi dia menolak, alesannya karena budeh lagi hamil. Yaudah budeh terima, dan Budeh tetep ngelayanin dia sebagaimana mestinya seorang istri, walaupun Budeh harus nahan segala perlakuan kasar dia. Dan puncaknya, waktu itu kehamilan Budeh udah menginjak bulan ke enam, Mas Erwin pulang tengah malam dengan keadaan mabuk, dia minta budeh buat ngelayanin dia, tapi Budeh nolak halus, karena budeh khawatir sama keadaan bayi di dalam kandungan budeh, tapi dia maksa. Dia bahkan mukulin dan nendangin Budeh, sampai Budeh setengah sadar, habis itu dia setubuhin Budeh, setelah puas Budeh ditinggal gitu aja di lantai dapur..”

“Udah Budeh..” Hatiku teriris rasanya, sudah enggak usah dilanjut aja deh cerita ini, aku enggak tega beneran.

“Malam itu.. Budeh keguguran, janin Budeh enggak bisa diselamatkan. Budeh syok, dan ngurung diri berhari-hari, warung Budeh tutup. Tapi dia, dia sama sekali enggak merasa bersalah Nggan, sama sekali enggak merasa sedih. Akhirnya diam-diam Budeh pasang spiral, karena Budeh enggak mau mengandung anak dia lagi. Waktu itu dia masih tetap meruda paksa Budeh, dan akhirnya Budeh nyerah, Budeh minta dia menceraikan Budeh, tapi dia enggak mau.. dia enggak mau Nggan..”

“Dan karena pernikahan Budeh Cuma pernikahan siri, Budeh enggak bisa ngajuin gugatan cerai. Satu-satunya jalan Cuma bergantung dari talaknya dia. Ada cara lain sebenarnya, yaitu Budeh dan Mas Erwin harus ijab kabul ulang, menikah ulang secara resmi dan tercatat oleh negara, dengan begitu Budeh bisa mengajukan gugatan..”

“Tapi dia enggak pernah mau Nggan.. dia enggak pernah mau.. dia selalu ngehindar, dan selalu mukulin Budeh. Tapi budeh tetep kekeuh minta pisah sama dia, Budeh usir dia dari rumah. Budeh pindah dari rumah lama Budeh ke sini waktu itu, budeh ajak beberapa karyawan perempuan Budeh buat nemenin Budeh di sini, Budeh juga bilang ke rt sini tentang permasalahan Budeh dengan Mas Erwin, rt di sini mau ngerti itu. Dan akhirnya selama ini Budeh tinggal di sini, tapi meski begitu Mas Erwin sesekali tetep kesini, tapi karena karyawan Budeh makin banyak, jadi dia udah enggak berani buat macem-macem sama Budeh. Tapi sesekali dia berhasil meruda paksa Budeh, biasanya ketika Budeh sendirian di rumah. Budeh enggak bisa ngapa-ngapain Nggan, Biudeh Cuma bisa pasarah.

“tapi semakin berjalannya waktu, budeh mulai bisa menjaga diri Budeh dari dia. Budeh selalu berangkat dan pulang bareng sama karyawan-karyawan Budeh, yang pada akhrinya bikin Mas Erwin bener-bener enggak punya kesempatan buat ngapa-ngapain Budeh lagi. tapi ya itu.. dia tetap enggak mau menceraikan Budeh. Status budeh digantung sama dia.”

“Dan setelah sekian lama Budeh berhasil ngejauhin dia dari kehidupan Budeh, tadi sore, karena kepala Budeh sedikit pusing, budeh akhirnya minta dianter pulang lebih cepet, Budeh juga tadi sempet dikerokin sama tetangga Budeh, tapi nasib buruk lagi berpihak sama Budeh. Mas Erwin dateng lagi, dan mendapati Budeh sendiri di rumah, dia pun memaksa Budeh buat ngelayanin nafsu dia. Budeh melawan, budeh teriak, tapi dia jauh lebih kuat. Budeh dipukulin, terus diikat seperti yang tadi kamu lihat, mulut budeh disumpal dan dia.. dia..”

“Udah Budeh cukup.. cukup.. Udah Budeh.. udah..” Aku pada akhirnya benar-benar enggak sanggup untuk membiarkan Budeh melanjutkan ceritanya. Kupeluk Budeh erat-erat, dan kurengkuh tubuhnya dalam-dalam, kuusap punggung Budeh dengan lembut, dan kubiarkan ia menangis tersedu di dalam pelukanku.

“Dia memperkosa Budeh lagi Nggan.. hiks.. dia memperkosa Budeh lagi.. hiks..” Budeh membalas pelukanku dengan begitu erat, ia menangis meluapkan segala kesedihannya dengan teramat sesak, dan sesak itu sampai juga rasanya ke inti-inti terdalam perasaanku.

“hiks.. hikss.. budeh benci banget sama dia Nggan.. Budeh mau cerai dari dia.. hiks..” Budeh terus menangis dalam pelukanku, dan rasanya aku juga begitu diterpa badai kesedihan, yang aku bisa lakukan saat ini hanyalah merengkuh perempuan berkalang nasib buruk ini, kuusap lembut punggungnya, kubelai halus rambutnya, berusaha memberikan ketenangan baginya.

Bersamaan dengan tangisan lirih Budeh Sekar di pelukanku, perasaan sesal dari dalam hatiku mencuat, seandainya tadi aku mengetahui ini, sudah pasti takkan kuberi ampun lelaki jahanam itu. Persetan dengan Om Damar yang akan menghabisiku, aku enggak peduli sama sekali.

Lebih sepuluh menit lamanya Budeh menangis dalam pelukanku, kini ia sudah mulai lebih tenang, aku pun merenggangkan pelukanku, menarik dadaku dari pipi Budeh Sekar yang menempel lembut di sana. Kuangkat wajah Budeh sekar dengan lembut, kupandanginya dengan wajahku yang sedikit tertunduk, kurapihkan anak-anak rambutnya yang blingsatan dan berantakan, kuusap sisa-sisa air mata yang membasah di pipinya. Mata dan hidung Budeh memerah bak tomat masak, menandakan betapa dalam kesedihan yang ia simpan selama ini.

“Maafin Budeh karena melibatkan kamu dalam masalah ini Cah Bagus..” Ujar Budeh sekar lirih, aku melemparkan senyum kecil padanya, kembali kuusap tepian kelopak matanya. Kurasakan embusan napas Budeh begitu harum dan menghangat.

“Enggak ada yang dimaafin Budeh, maaf karena saya.. Budeh jadi harus menguak kembali luka di hati Budeh..” Ujarku lembut.

“Entah mengapa, tapi Budeh justru ngerasa lega banget karena udah cerita tentang ini semua ke kamu Nggan.. Budeh Cuma enggak mau kamu salah paham apalagi sampai ngerasa bersalah..” Budeh berkata dengan tatapan yang dihujamkan dalam-dalam, aku tersenyum kecil, jemariku turun mengusap pipi cabi kemerahan Budeh Sekar.

“Budeh tenang aja, setelah ini.. enggak akan ada seorang pun yang akan ganggu Budeh lagi, Budeh Sekar bisa pegang janji saya” Sahutku seraya menatap dalam-dalam mata Budeh, dalam hatiku benar-benar menguarkan janji, bahwa setelah ini, aku enggak akan ngebiarin lelaki manapun berbuat enggak pantas apalagi sampai mengasari Budeh Sekar lagi.

Jalan hidup Budeh Sekar sudah kadung pahit, jangan sampai ada lagi yang membuat kepahitan terasa semakin getir.

Budeh sekar tersenyum, tangannya yang masih berada di punggungku terasa meraba dengan begitu lembut, bola matanya yang hitam legam bak malam benar-benar begitu mengunci bola mataku. Seolah aku dibawa tenggelam dalam palung gelap yang terasa begitu dalam.
.
.
 
Terakhir diubah:
.
.
Dan entah siapa yang memulai, entah wajahku yang perlahan kian turun ke bawah, atau wajah budeh yang terasa kian terangkat, atau justru kedua-duanya sama-sama mendekat? Entahlah.. yang jelas wajah kami terasa kian mendekat, hingga bisa kurasakan hangat napas Budeh Sekar kian menguar di ranah wajahku. Mata Budeh Sekar begitu indah, dan itu benar-benar membiusku untuk tenggelam dalam.

Hingga di detik ke sekian ketika wajah kami kian merapat, tiba-tiba secara lembut budeh sekar menutup kelopak matanya, dan seolah terhipnotis aku pun melakukan hal yang sama. Menutup kelopak mataku, lalu..

CUPPP

Kutangkap bibir lembut nan hangat milik budeh dengan bibirku, kesesap lembut dan dalam-dalam, kupagut mesra bibir dari perempuan yang berkalang duka itu. Terasa Budeh Sekar pun membalas pagutan bibirku, dihisapnya lembut-lembut bibir atasku.

MMMPPHH.. CUUPP..

Suara tertahan dari masing-masing bibir kami berpadu dengan kecupan dan pagutan lembut ini, tanganku tanpa sadar kembali mengeratkan pelukan, sedang tangan Budeh kurasakan mulai terkalung di leherku. Dalam mesranya pagutan itu pula, tanpa sadar aku kian mendorong tubuh Budeh ke belakang, membuat posisinya kian rebah ke belakang.

MUAACCHHH

Suara pagutan bibir kami yang terlepas mengisi ruangan ini, deru napasku entah kenapa cepat sekali memburu, membuat tubuhku benar-benar serasa dibakar untaian gelora nafsu. Kubuka mataku perlahan, dan seketika saja langsung kudapati senyuman Budeh terpampang di depan mataku, senyumannya manis sekali, seolah mengundangku untuk kembali dan kembali lagi untuk tenggelam pada hangat dan lembut bibirnya.

“Budeh..” Aku menggelengkan pelan kepalaku dengan nafas semakin terpacu, aku berusaha mengendalikan diriku. Karena aku terus mengikuti arus nafsuku ini? Bukankah itu aku sama saja seperti lelaki bangsat yang meruda paksa Budeh itu?

Aku hendak menegakkan kembali tubuhku, namun tiba-tiba Budeh justru memajukan kembali wajahnya, kembali menempelkan bibirnya dengan bibirku, memberi pagutan lembut seraya tubuhnya ia jatuhkan ke belakang, manarik tubuhku untuk ikut jatuh dan menindih tubuhnya.

“Mmmpphh..” Terdengar rintihan Budeh tertahan, bersamaan dengan itu ia menyapu bibirku, melumatnya dengan begitu gemas. Budeh mulai membuka bibirnya, seolah mengundangku untuk masuk ke sana.

Dan bak naluri ilmiah, aku pun lekas membuka bibirku, langsung kupagut dengan mesra bibir Budeh yang sudah terbuka itu, kujulurkan lidahku untuk bertandang ke rongga mulut perempuan dalam dekapanku ini.

CUPP.. MMPPHH.. MUAACCHH.. CUP..

Bunyi pagutan kami semakin rapat, dan kini lidahku sudah menyapu bagian dalam rongga mulut budeh, mencari pasangannya di dalam sana. Hingga kemudian lidahku pun disambut oleh sang tuan rumah, dibelit dengan penuh kemesraan oleh lidah Budeh yang seolah sudah menunggu kedatanganku.

Kami terus berpagutan mesra, terus bertukar liur dengan begitu nikmatnya, dan entah mendapat keberanian dari mana, perlahan tangan kananku merayap ke samping tubuh budeh, mengusap lembut di sana, kemudian dengan beraninya tangan kananku sudah hinggap di bagian samping payudara Budeh sekar yang terasa begitu padat menantang. Kuberi usapan lembut di sana, sebelum akhirnya kuberanikan mengelus penuh payudara yang terasa begitu besar ini.

“Mmppphh…” Budeh terasa merintih tertahan, tubuhnya menggeliat ketika tanganku mulai meremas lembut payudaranya, pagutannya kurasakan semakin liar. Tangannya kini bahkan sudah bermain di sekitar pipiku, kakinya membelit pinggulku dengan erat.

Kini, kutarik juga tangan kiriku dari punggung Budeh Sekar, kutempatkan di atas gunung besar yang entah mengapa, meski posisi pemiliknya sudah dibaringkan, namun tetap tegak menantang. Kuberikan remasan lembut di kedua payudara Budeh sekar yang jelas sekali enggak menggunakan bra, sebab putingnya terasa tegap menantang.

“Sssshhhh.. Cah Bagus.. aahhh..” Budeh Sekar langsung melepaskan pagutan kami, kepalanya terdangak dengan bibir merintih terbuka, lehernya yang putih jenjang pun terpamer di hadapanku, dan segera saja kubenamkan wajahku di sana, mengecupi dan membaui harum leher Budeh yang terasa begitu memabukkan.

“Ouuhhhh.. mmmpphh.. Ngggann.. Sshhh..” Rintihan Budeh Sekar kian terasa kencang ketika aku mulai menjilati kulit lehernya, dikombinasikan dengan remasan-remasanku di sepasang payudaranya, sepertinya Budeh sekar benar-benar sudah berada dala kungkungan birahi.

Tangannya sudah meremas-remas rambutku, pinggulnya terus bergerak-gerak menggesek bagian depan selangkanganku, membangunkan Si marco yang sedari tadi sudah tegang tanggung itu. Aku terus meremasi lembut dan padatnya payudara besar Budeh Sekar, dan bibirku terus menjilati setiap inchi kulit leher Budeh, naik perlahan menuju telinganya.

“Sshhhh.. Jangan di sini Cah Bagus.. mmpphh..” Budeh mendekatkan bibirnya di telingaku, berbisik dengan mesranya. Aku seketika menghentikan segala aktivitasku, remasanku di kedua payudara Budeh pun terjeda, kepalaku pun terangkat, menatap wajah Budeh lamat-lamat.

“Apa Budeh yakin? Huh..huh..” Tanyaku memastikan, sebab aku takut jika pindah ke kamar nanti, aku akan sulit mengendalikan diriku. Dan dengan wajah sayu memerah, Budeh menganggukkan kepalanya pelan, bibirnya tersenyum dengan begitu tulusnya.

“Biarkan aku membalas kebaikanmu Cah Bagus.. biarkan aku membalas semua pengorbananmu untukku malam ini..” Ucap Budeh Sekar dengan suara begitu parau namun terasa menghangatkan sanubariku.

Ia sudah enggak menggunakan kata budeh untuk penyebutan dirinya, melainkan sudah menggunakan kata aku. Dan entah mengapa, itu benar-benar menaikkan gejolak birahiku begitu tinggi.

“Aku enggak mengharapkan balasan sama sekali atas perbuatanku..” Ucaku lirih bergetar, namun Budeh lekas mengelus pipiku dengan begitu lembutnya. Aku entah mengapa terangsang untuk ikut menggunakan kata aku sebagai penyebutan, seolah aku mengentaskan sisi formal dari kata saya yang selama ini aku gunakan jika sedang berbicara dengan budeh.

“Tapi aku benar-benar ingin memberikan hadiah padamu, tolong jangan ditolak ya, Cah Bagusku..”

CUPPP..

Budeh langsung mengecup bibirku dengan lembut, namun hanya dalam kurun waktu sebentar saja, karena setelah itu ia kembali membaringkan tubuhnya pasrah, dan mendengar kata-kata Cah Bagusku yang dilafalkan oleh Budeh barusan, benar-benar menjadi doping bagi birahiku saat ini. Aku pun segera bangkit dari posisiku yang menindih Budeh, aku langsung setengah berdiri dengan kedua tangan kutempatkan di tubuh bagian bawah perempuan matang yang sudah terbaring pasrah itu.

Lalu kuangkat tubuhnya dengan tegap, Budeh pun lekas mengalungkan lengannya di leherku, seraya mengangkat sedikit kepalanya untuk mengecup pipiku, aku membalasnya dengan mengecup hidung Budeh, dan mulai melangkahkan kaki menuju kamar.

“Ke kamar itu saja Nggan..” Ujar Budeh ketika aku hendak mengarahkan langkahku ke kamar yang tadi menjadi saksi baku hantamku dengan si laknat Erwin. Tangan Budeh menunjuk ke arah satu kamar yang terletak paling belakang, dekat dengan dapur, aku pun mengangguk dan berjalan ke arah kamar itu. Seraya sesekali kami saling mengecup bibir.

Sesampainya di pintu kamar itu, Budeh pun membantuku dengan membuka pintu kamar tersebut, dan aku langsung membawa Budeh masuk ke dalam. Keadaan lampu kamar ini sudah menyala, jadi aku langsung bisa melihat interior kamar ini yang dihiasi sebuah ranjang besar modil dipan. Aku pun menutup pintu kamar itu menggunakan kakiku, berjalan menuju ranjang yang terlihat sudah lama enggak dipakai, karena spreinya begitu lurus rapih.

Aku tadinya hendak menurunkan Budeh di ranjang, namun ia memintaku untuk menurunkannya di samping ranjang, jadi kuturunkan tubuh Budeh dengan kaki terlebih dahulu, agar posisinya berdiri. Dan dengan cepat ia segera mengecup bibirku, tubuhku yang lebih tinggi membuat Budeh harus menjinjitkan kaki, aku pun segera membalas pagutannya dengan langsung mengirim lidahku untuk membelit lidahnya, tanganku kembali bermain di kedua payudara besar Budeh Sekar, bersamaan dengan itu ia tanggalkan sweater yang menutupi gaun tidurnya, memamerkan indah bahunya yang terbuka sebab gaun tidurnya hanya bermodel tali saja.

MMMPPHH.. MUAACCHH..

Ciuman kami terlepas, dan Budeh sekar pun menurunkan kembali tubuhnya, kemudian ia mundur selangkah. Dengan tatapan mata yang begitu sayu, ia mulai meloloskan gaun tidurnya itu, dimulai dari tali yang berada di bahu kanannya, kemudian tali yang berada di bahu sebelah kirinya, dan setelah itu.. gaun itu diturnkannya ke bawah, sampai benar-benar jatuh di mata kakinya.

Dan terang saja, tubuhku langsung terpaku begitu hebatnya, sebab disuguhi pemandangan indah dari sepasang gunung kembar milik Budeh sekar yang bentuknya benar-benar menawan mata siapa saja. Payudara Budeh benar-benar besar, mungkin 36C atau D, entahlah, tapi yang jelas payudara Budeh benar-benar sekal dipandang mata, posisinya pun kencang dan padat, enggak terlalu turun. Dan yang jelas, kedua payudara Budeh benar-benar membulat dengan indahnya.

Kini ditubuh budeh hanya tersisa celana dalam berwarna hitam dengan model renda-renda bunga, membungkus gundukan daging gemuk yang terlindung di dalam sana, daging gemuk yang tadi sudah sempat aku lihat.

“Jangan liatin aku kaya gitu Cah Bagus.. aku malu..” Ujar Budeh lirih seraya menyilangkan tangannya di depan dada, wajahnya sedikit tertunduk. Mambuatku lekas mendekat. Kuangkat dagu budeh, lalu kukecup keningnya lembut.

“Mengapa harus malu Budeh? Tubuh Budeh indah sekali, sangat indah..” Pujiku seraya memegang kedua lengan Budeh, dan membuka penutup dari payudara putih nan menggiyurkan di hadapanku, dengan cepat aku langsung menciumi bagian atas payudara Budeh Sekar, kukecupi lembut bergantian. Membuat perempuan di hadapanku ini mendesah manja.

“Nggann.. ssshh..”

Tanganku enggak mau tinggal diam, kuusapi perut berisi nan seksi milik budeh sekar, kuusap begitu lembut kemudian naik untuk mengusapi bagian bawah payudaranya. Sebelah tanganku yang lain sudah berada di pinggang bagian belakang Budeh, memeluknya agar tubuh Budeh kian merapat padaku, kemudian aku mulai mendorong tubuh Budeh ke ranjang, lalu kudorong lembut tubuh Budeh untuk berbaring di tepiannya dengan kaki terjuntai.

Aku pun menindih tubuh Budeh sekara, kedua tanganku mulai meremasi kembali payudaranya, sedang bibirku mulai mendaki ke puncak gunung yang berhiaskan putting coklat kemerahan yang sudah tegak menantang tersebut, kuremas dengan berirama, seraya lidahku menari di sekitar aerola payudara Budeh dengan lembutnya.

“Hhhhmm.. kamu lembut sekali sayang.. ssshhh..” Desahan Budeh terdengar bak pujian yang begitu menyanjungku, membuatku semakin bersemangat untuk menguleni payudara indah yang berada di tangkupanku kini. Bersamaan dengan itu, lidahku pun sampai di putting payudara budeh sekar, dan langsung kulahap bagian puncak gunung yang maha sempurna itu dengan hisapan yang kubuat semesra mungkin.

“Aaahhhhh.. ssshhhh.. Ngggannn..”

CUUPP… MMPPHH.. SLLUURRPP..

Aku terus menghisap dan menjilati putting payudara Budeh, membuatnya tak henti-henti mendesah dan merintih. Ditambah tanganku yang tak berhenti memberikan remasan, terang saja itu membuat Budeh merasa dilambungkan kenikmatan.

Hampir sepuluh menit lamanya aku bermain-main dengan payudara Budeh, dan aku memutuskan untuk menyudahinya sementara, tubuhku kubawa turun menyusuri perut indah budeh, menjilat dan menyapukan jejak basah di sana, kucucuk sejenak pusar budeh dengan lidahku, kusapukan dengan kombinasi usapan-usapan lembut di perut bagian sampingnya.

“Ahh.. sshhh.. Mmpphh..” Budeh terus merintih lirih, dan bersamaan dengan itu kupegang kedua sisi celana dalam hitam milik Budeh, lalu kuturunka dengan pelan, Budeh membantuku dengan mengangkat sedikit pinggulnya, dan meloloskan kaki indahnya. Dan setelah terlepas, aku langsung membuang sembarang celana dalam Budeh, kupandangi dengan baik dan seksama keindahan lembah surgawi yang terpampang di hadapanku kini.

Sebuah vagina gemuk yang dihiasi bulu-bulu hitam di bagian atasnya, tersusun teratur dan terlihat sudah basah tentunya. Warna vagina Budeh juga begitu seksi, vagina putih kemerahan dengan bibir vagina yang merekah indah. Kontan saja aku lekas memegang kedua paha Budeh Sekar, merenggangkan sepasang paha tersebut, dan langusng mendekatkan wajahku ke vagina Budeh yang begitu menghipnotisku.

Kucium pangkal paha Budeh terlebih dahulu, sebelum akhirnya ciumanku pun hinggap di bibir vagina Budeh yang begitu harum sabun, ditambah lendir pelumas yang keluar, benar-benar terasa bak oasis di tengah gurun.

“AAHHHH… NNGGANNN.. JA.. JANGAN.. KOTOR.. SSHHH..” Budeh terpekik kencang dengan pinggul bergetak ketika hidungku hinggap di belahan vaginanya, namun aku enggak mempedulikan itu, malah aku mulai menyapukan lidahku di belahan vagina Budeh, menjilati lendir-lendir yang keluar dari dalam sana.

Enggak ada rasa jijik sedikit pun di hatiku, meski aku tahu, vagina Budeh ini tadi sudah sempat dimasuki si erwin bangsat itu. Karena aku yakin, Budeh juga pasti sudah membersihkannya secara baik, dan aku enggak akan meragukan itu. Kusapukan lidahku lebih kuat dan lebih kuat lagi.

SLUURRPP..

“Ah.. ahhh… Nggann.. Ouuhhh..” Budeh semakin kencang mengeluarkan desahannya, pinggulnya pun semakin blingsatan, dan rambutku sudah habis menjadi sasaran remasannya. Aku terus menjilati vagina Budeh dengan lidahku, menciumi dan melumat habis bibir vaginanya, jemariku pun ikut bermain dengan menusuk-nusuk lembut liang vagina Budeh, membuatnya semakin blingsatan saja.

Terlebih ketika lidahku menyapu daging kecil yang mencuat di bagian puncak vaginanya, Budeh seolah menegang tersengat listrik, kepalaku pun dibenamkan dalam-dalam seolah tak ingin terlepas.

“OOUUHHHH.. SSHHH..” Laungan Budeh kencang membelah keheningan malam ini, pinggulnya bergoyang ke sana kemari, kepalanya kulirik tertoleh ke sana kemari. Hingga ketika aku sedang asik-asiknya memainkan vagina Budeh, kuraskan kedua tangan Budeh Sekar memegang lembut pipiku, menariknya perlahan seolah memintaku untuk menjeda dulu kegiatan asik ini.

Aku pun menurut, kubawa lagi tubuhku untuk naik ke atas tubuh Budeh, mengecup dan melumat bibir hangatnya yang dipenuhi liur nikmat.

“Mmmmpphhh.. ahh.. kamu enggak boleh curang ya Cah Bagus..” Ucap Budeh seraya menggigit bibir bawahnya yang basah, aku tersenyum kecil, kemudian kuremas pelan payudara Budeh Sekar, membuatnya mendesis manja dan begitu seksi di mataku saat ini.

“Kalau kita meneruskan ini, apa bedanya aku dengan lelaki bangsat itu, Budeh?” Tanyaku dengan suara berat tertahan, dengan tenganku yang lain kupegang tepian pipi Budeh Sekar seraya mengelusnya dengan ibu jariku.

“Tentu saja berbeda Cah Bagus.. aku melakukan ini sebab aku memang menginginkannya, tanpa paksaan.. mmpphhh..” Setelah mengucapkan kata-katanya Budeh langsung melumat kembali bibirku seraya memutar tubuh kami, membuat posisinya kini berada di menindihku.

Tangan Budeh kini bermain-main di dadaku, seraya dibelitnya lidahku dengan erat-erat, dihisap dan dipagut dengan begitu mesra. Aku enggak mau berdiam diri, tanganku kini enggak Cuma meremas-remas payudara Budeh, melainkan sudah memilin-milin putingnya dengan jemariku, membuat Budeh semakin liar saja melumat bibirku.

“Aaahhhhh.. hhhmm..” Budeh mendesah dengan manjanya, membuat pagutan bibir kami terlepas, kemudian ia menyambar leherku dan menciumi, mengecupi serta menjilat-jilat di sana, membuat seluruh bulu kudukku meremang bukan main.

Perlahan Budeh pun mulai membawa tubuhnya turun, lidahnya bak ujung kuas yang tengah menggores kanvas, membasahi kulit leherku seraya turun menuju dadaku, berhenti sejenak di sana untuk menghisap putting dadaku, membuat tubuhku benar-benar terbakar birahi ketika ia melakukan hal itu.

“Ssshh..” Aku mendesis pelan ketika dengan jahilnya ia menggigit putting dadaku, setelah itu ia terus membawa lidah dan bibirnya turun menyapu perutku, membuat aku pada akhirnya harus melepaskan sementara kenyal dan lembutnya kulit payudara Budeh Sekar yang begitu membuaiku.

Sesampainya di bawah sana, Budeh langsung menciumi resleting celanaku, menciumi tepat di batang penisku yang sudah menegang keras dan sedikit salah kiblat di bawah sana, rasanya sungguh menggetarkan sanubariku ketika Budeh menekan-nekan Si Marco dari luar celana jeansku dengan bibirnya.

Lalu dengan yakinnya Budeh mulai melepaskan kancing celana jeansku, menurunkan resletingnya, kemudian menarik celanaku turun sekaligus bersama celana dalamku, aku membantunya dengan mengangkat pinggangku, oleh budeh kakiku pun diluruskan untuk melepaskan penutup terakhir tubuhku secara utuh. Aku menyaksikan itu dengan penuh kekaguman, terlebih ketika Budeh memandangi Si Marco dengan tatapan bisu, diam seribu bahasa.

“Cah bagus..” Ujar Budeh masih dalam keterpanaannya, matanya terkunci menatap batang penisku yang tegak menjulang bak tugu kota.

“Ya Budeh?” sahutku sembari mengelus rambutnya.

“Punyamu besar sekali..” Ucap Budeh seraya mulai melingkarkan jemarinya di batang penisku, sayangnya lingkar jari Budeh enggak mampu melingkari keseluruhan batang penisku.

“Apa Budeh keberatan? Kalau iya enggak apa-apa, aku enggak akan memaksa budeh untuk.. Shhh..” kata-kataku enggak sampai selesai karena Budeh tiba-tiba meremas lembut batang penisku, membuat darahku berdesir kencang saking nikmatnya.

“Aku belum pernah melihat kontol sebesar ini Nggan..”

Cupp..

Tubuhku bergetar bukan main ketika Budeh mulai mengocok penisku dengan lembut, sembari mengecup kepala penisku dengan lembutnya. Aku terbang.. seluruh darahku seperti melaju dengan cepat dari biasanya..

“Ssshh.. enak Budeh..” Racauku dengan mata terpejam, menikmati kocokan dari tangan Budeh di kemaluanku. Ditambah kecupan dan jilatan-jilatan lembut di bagian kepala penisku, benar-benar mengalirkan kenikmatan tiada tara di bawah sana.

Dan kenikmatan itu semakin menjadi-jadi ketika kurasakan sesuatu yang lembut dan hangat menyelimuti kepala penisku, tubuhku bergetar, dan mataku langsung terbuka.

Aku pun memandang ke bagian selangkanganku, dan betapa terpananya aku ketika melihat Budeh tengah berusaha melahap kepala penisku dengan bibir mungilnya.

“Ssshh.. jangan dipaksa Budeh.. sshh… mmpphh..” Aku menahan pipi Budeh agar tidak semakin membenamkan kepala penisku di mulutnya, karena aku tahu, ukuran penisku yang di atas rata-rata pasti menyulitkan bagi siapapun untuk melahapnya.

Namun dengan lembut Budeh Sekar justru menepis tanganku, seraya ia melebarkan mulutnya lebih lebar lagi, lalu mulai menurunkan kepalanya, melahap kemaluanku hingga hilang bagian kepalanya.

“Mmmmpphh.. ahhhh..” Aku menyerah, kujatuhkan kepalaku ke atas kasur, sebab kuraskan hangat dan lembutnya mulut bagian dalam Budeh yang tengah menghisap-hisap kepala penisku.

Budeh terus menurunkan kepalanya, membuat penisku semakin terbenam di dalam liang mulutnya, rasa hangat dan lembut pun mulai menjalari batang penisku, hingga akhirnya Budeh berhenti, memberikan hisapan kuat yang benar-benar membuat kakiku kelojotan bukan main. Kuangkat kepalaku untuk menatapnya lagi, dan betapa tertegunnya aku ketika mendapati setengah bagian penisku sudah terbenam di dalam mulut Budeh Sekar.

Pipi perempuan anggun nan cantik itu terlihat sedikit menggelembung penuh, ujung bibirnya menyatu dengan kulit batang penisku, matanya terlihat sedikit berair, tanda ini sudah menjadi batas baginya dalam melahap kemaluanku. Dan meski ini sangat nikmat, aku selalu merasa bersalah tiap kali ada perempuan yang bersusah payah menampung batang kejantananku di dalam mulutnya. Dan hal itulah salah satu alasanku mengapa sampai sekarang enggak pernah bermain lebih jauh dengan Hani, karena aku tahu, jika aku meneruskan, itu akan sangat menyakiti Hani pastinya.

“Sshhh.. sudah Budeh jangan dipaksa.. aku enggak mau ngeliat Budeh tersik.. uuhhh..” kembali kata-kataku enggak selesai karena tiba-tiba Budeh menaikkan kepalanya, lalu menurunkannya kembali, mulai memompa batang penisku di mulutnya.

Dan meski hanya mampu menampung setengah batang penisku, itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku terbawa terbang ke langit ke tujuh.

CRROOKK.. CROOK.. CROOKK..

Uuhh.. Dinding atas serta pangkal lidah Budeh benar-benar menyalurkan kenikmatan tiada tara, kepalanya naik turun dengan konstan, membuatku harus berkali-kali menahan kenikmatan lirih. Ditambah lagi hisapan-hisapannya, benar-benar membuatku mabuk bukan main.

Hampir sepuluh menit lamanya Budeh mengoral penisku, hingga akhirnya aku memutuskan cukup, aku enggak mau membuat Budeh tersiksa lebih lama. Kupegang lembut pipinya, kuangkat kepalanya agar melepaskan batang penisku, hingga akhirnya..

FLOOPP

Kepala penisku pun terlepas dari jepitan bibir Budeh Sekar, dan segera kuangkat punggugku dan menyambar bibir berbalur liur yang menggairahkan itu, kusesap kuat-kuat lidah Budeh, kelumat habis bibirnya dalam posisi duduk. Budeh enggak mau kalah, ia balas pagutanku dengan membelitkan lidahnya, sembari menghisap-hisap kuat di sana, seolah tengah menggali sumur dan berharap menemukan sumber air di sana.

Lalu aku pun melingkarkan lenganku di punggung dan pinggan Budeh, mengangkatnya lembut untuk naik ke bagian tengah kasur ini, kemudian kubaringkan ia dengan hati-hati, setelah itu kutindih tubuhnya, kupandangi wajahnya sembari tangan kananku merapihkan anak-anak rambutnya, sedang tangan kiriku memainkan putting payudaranya.

“Kalau memang ini sebagai bentuk terimakasih Budeh atas pertolonganku, apa ini enggak terlalu berlebihan Budeh?” Tanyaku sembari membelaikan jemariku turun, melewati pipi nya, dan berhenti di tepian bibir Budeh yang masih menyisakan memar biru.

“Apa tubuhku enggak indah Cah Bagus? Sampai kamu berkali-kali meragu seperti ini?” Tanya Budeh balik dengan raut wajah sendu. Aku membatin di dalam hati, tentu saja enggak, aku kan Cuma memastikan saja, apa Budeh benar-benar yakin akan pilihannya.

“Tubuh Budeh terlalu indah, itulah yang membuatku meragu. Karena apakah aku benar-benar pantas mendapatkan tubuh indah nan sempurna bak bidadari khayangan ini?” Sahutku sembari memberikan remasan lembut di payudara Budeh Sekar, tak lupa kuberikan kecupan dikeningnya, membuat ia terpejam sejenak dengan lelaha air mata keluar di tepian pipinya.

“Kenapa Budeh menangis? Kalau memang ini berat bagi Budeh, enggak apa-apa, kita bisa hentikan ini sekarang. Aku enggak akan..”

“Enggak Cah Bagus.. enggak.. air mata ini bukan air mata kesedihan, tapi air mata bahagia. Karena seumur hidup, baru kali ini ada lelaki yang memperlakukanku selembut ini, baru kali ini ada lelaki yang memperlakukanku sebagaimana seharusnya seorang perempuan diperlakukan oleh lelakinya, lembut dan penuh kasih. Bukan hanya sebagai alat pemuas nafsu belaka..”

Aku tertegun mendengar kata-kata Budeh, apa ini artinya bukan hanya suami keduanya yang memperlakukan Budeh secara kasar? Tetapi juga mendiang suami pertamanya? Karena jika memang begitu adanya, maka aku akan berikan apa yang selama ini mungkin belum pernah budeh dapatkan, kelembutan dari seorang laki-laki kepada perempuannya.

“Dengar Sekar, kamu itu salah satu perempuan terindah yang diciptakan tuhan untuk dunia, jadi sudah seharusnya kamu mendapatkan perlakuan sebagaimana mestinya dewa-dewi diperlakukan. Dan aku berjanji.. aku enggak akan memperlakukan kamu sebagaimana orang-orang sebelumku memperlakukanmu..” Ucapku sengaja memanggil Budeh dengan namanya langsung, seraya ku ikrarkan apa yang seharusnya lelaki setiap lelaki ikrarkan ketika mendapati seorang perempuan indah macam Budeh Sekar berada di pelukannya.

Dan ucapanku itu lantas saja langsung disambut haru oleh Budeh, ia pun langsung melingkarkan tangannya untuk memelukku, membawa tubuhku untuk lebih merapat pada tubuh indahnya, terdengar isakan kecil yang ia sembunyikan di bahuku, sedang aku hanya bisa meresponya dengan memberikan kecupan-kecupan lembut di leher putih nan indah miliknya.

“Terimakasih Nggan.. terimakasih banyak..” Bisik Budeh di telingaku, aku membalasnya dengan kecupan lama di pipi sebelah kirinya, seraya merebahkan kembali tubuh Budeh di atas kasur. Kupandangi wajahnya yang berseri bak putik bunga di musim semi, kukecup bibirnya sebentar untuk mengabarkan betapa aku bersyukur bisa ada bersamanya malam ini.

“Lakukanlah cah bagus.. buatlah aku menjadi perempuan seutuhnya, buatlah aku menjadi perempuan sebagaimana mestinya..” Ujar Budeh lirih seraya semakin melebarkan rentang pahanya. Aku mengerti maksud Budeh sekar, ia ingin aku memperlakukannya sebagai seorang perempuan, bukan sebagai alat pemuas nafsu belaka.

“Aku akan berusaha melakukannya selembut mungkin Sayang.. jika memang dirasa terlalu sakit, tolong sampaikan ya, aku enggak mau membuatmu berada di ambang keterpaksaan..” Ujarku yakin seraya mulai mengangkat tubuhku, memberi jarak agar kepala si marco bisa kutempatkan di gerbang surgawi nan indah dan menyejukkan milik Budeh Sekar. Sempat kulihat Budeh Sekar tersenyum dan mengangguk mendengar kata-kataku.

Dan ketika kepala si marco sudah menempel dengan gerbang vagina milik Budeh sekar, sang pemilik sempat mendesis lirih. Aku tersenyum, dan kuberikan belaian lembut dan kecupan kening padanya, kemudian kupegang batang penisku seraya menggesek-gesekkan dahulu di ambang liang vagina Budeh, berusaha memperbanyak lendir-lendir pelumas miliknya agar mengurangi efek perih ketika penetrasiku nanti.

“Ssshhh.. masukkanlah Cah Bagus.. sempurnakan aku..Mmpphh..” Desah Budeh seraya memegang kedua pipiku, ditatapnya mataku dalam-dalam, diberikan senyuman termanisnya. Aku mengangguk, kemudian kukecup lembut bibirnya, seraya mulai menurunkan pinggulku.

Kedua tanganku sudah bertumpu di kanan dan kiri tubuh Budeh Sekar, sedang mataku kukunci ke matanya, seolah tengah menyelami lautan dalam yang begitu dalam. Bersamaan dengan itu, pinggulku yang kian terturun membuat kepala kejantananku mulai menguak bibir vagina milik perempuan indah dalam lamunanku ini, terus kutekan pelan-pelan untuk menyeruakkan kepala marco-ku itu ke dalam liang vagina milik Budeh Sekar. Hangat, basah dan lembut, itu saja yang mulai terasa melingkupi kepala penisku saat ini.

“Mmmmpphh..” Suara budeh tertahan ketika kepala penisku sudah menyeruak setengahnya, tubuhnya kuraskan sedikit menegang, matanya terkatup rapat-rapat. Aku sudah beberapa kali melihat ekspresi seperti ini, ekspresi kesakitan sebab kepala penisku yang mulai mengoyak liang vagina seorang perempuan. Dari itu aku mulai memberikan remasan-remasan lembut dan pilinan halus di putting payudara budeh sekar, bersamaan dengan itu kukecupi bahunya, lehernya, serta kuberikan pagutan di bibirnya untuk mengurangi efek pedih dari penetrasiku ini.

“Mmmpphhh.. oouhhh..” Rintih Budeh dengan wajah sulit untuk kuterjemahkan. Kepala penisku sudah masuk seluruhnya. Kudiamkan sejenak, memberikan waktu untuk liang vagina Budeh beradaptasi. Remasan-remasan kuat kurasakan begitu mencengkeram kepala penisku saat ini.

Sssshhh.. Shit.. masih rapet gini ya liang vagina Budeh? Sampai gemetar rasanya lututku saking nikmatnya pijatan-pijatan yang terasa di kepala penisku ini.

“Budeh..” Panggilku lembut sembari mengelusi tepian kelopak mata Budeh Sekar yang meneteskan bulir air mata, ia yang tadinya memejamkan mata rapat-rapat mulai membuka kelopak matanya dan menatapku sayu penuh kemesraan.

“Apa aku menyakiti Budeh?” Tanyaku padanya dengan lembut, kubelai halus kulit pipinya menggunakan ujung-ujung jemariku. Budeh langsung membalasku dengan gelengan pelan.

“Enggak Cah Bagus.. Ssshh.. Cuma memang.. Mmmpphh.. aku belum pernah dimasuki kontol sebesar ini sebelumnya.. euuuhh..” Budeh menjawabku dengan wajah enggak karuan, antar pedih dan nikmat begitu mudah kuterjemahkan di ranah wajahnya. Darahku berdesir lebih kencang ketika mendengar kata-kata vulgar keluar dari bibir perempuan yang tengah berada di bawah tindihanku ini, kurasakan kepala penisku benar-benar berdenyut hebat.

“Budeh ngomong jorok hihihi..” Candaku seraya menempelkan ujung jari telunjukku di batang hidungnya, lalu kugerakkan ujung jariku itu untuk mentoel-toel ujung hidung Budeh yang mancung itu. Hal tersebut kadung saja membuat pipi Budeh bersemu merah, senyum di bibirnya mengembang anggun dan cantik sekali.

“Kamu enggak suka ya Cah Bagus?” Tanya Budeh seraya telapak tangannya kurasakan mengusap lembut punggungku, menggelitik dengan ujung-ujung jemarinya yang terasa lentik, menyalurkan rasa geli di kulit-kulit punggungku. Aku lekas menggelengkan kepalaku dengan senyum mengembang.

“Aku malah suka, Budeh kelihatan seksi banget hihihi..” Sahutku seraya mendorong pelan si marco untuk terbenam lebih dalam. Kulihat wajah Budeh sedikit meringis, namun senyumnya tetap mengembang manis.

“Sshhh.. kamu ternyata pintar sekali merayu perempuan ya Nggan?” Tanyanya dengan mata disipitkan.

“Kalau perempuannya sesempurna dan sebaik Budeh Sekar, aku enggak keberatan untuk membeli buku-buku yang berisi tentang cara-cara memuji perempuan. Biar aku semakin mahir dalam menyampaikan pujian-pujian atas kesempurnaan yang dimiliki perempuan indah di hadapanku ini..” Tukasku sambil menatap dalam-dalam mata Budeh Sekar, bersamaan itu terus kuberikan remasan-remasan lembut di payudaranya, dan terus kuberikan belaian mesra di pipi putih kemerahannya, serta tak lupa terus kutekan perlahan batang penisku untuk terus menyeruak lebih dalam dan lebih dalam lagi.

“Mmmpphh.. kamu benar-benar pandai merangkai kata-kata manis ya Cah Bagus? Bibirmu ini lihai sekali dalam menjatuhkan hati perempuan..” Budeh berujar seraya menarik sebelah tangannya dari punggungku, kemudian ia menempatkan telapak tangannya di rahang wajahku, ibu jarinya lembut mengelus tepian bibirku.

Tubuhnya terasa sudah jauh lebih rileks saat ini, dan itu amat baik untuk penetrasi yang kini tengah kulakukan di bawah sana, sebab otot-otot dinding vagina Budeh Sekar udah enggak setegang sebelumnya. Meski tetap saja, remasan-remasan dan pijatan-pijatan kuat itu terasa nikmat sekali memilin batang penisku yang sudah mulai tenggelam seperempatnya.

“Bukan bibirku yang pandai merangkai kata-kata Budeh, tapi keindahan dan kesempurnaan Budeh lah yang membuatku tak henti-hentinya mengucap syukur. Lagi pula apa Budeh tahu, selama ini tuh aku diam-diam selalu memperhatikan Budeh lho..” Ujarku lagi seraya terus memberikan rangsangan di payudara Budeh Sekar, bersamaan itu terus ku kuak liang surgawi Budeh agar kujelajahi lebih dalam lagi.

Gesekan antara dinding vagina budeh dengan bagian topi penisku benar-benar menyalurkan getaran nikmat yang sungguh tiadalah bisa digambarkan dengan kata-kata. Remasan dinding-dinding vaginanya benar-benar membuatku harus meneguhkan hati untuk memperkuat rasa sabarku supaya enggak terbawa nafsu yang akan menyakiti Budeh pada akhirnya.

“Hhhhhmm.. pantas tiap mampir ke warung matamu itu selalu jelalatan ngeliatin tubuhku, dasar bandel.. Sshhh..” Budeh berkata dengan raut wajah seperti orang yang habis menyantap makanan pedas, sesekali matanya terpejam lembut.

Cupp..

Aku mengecup pipi Budeh Sekar, membelai bahunya pelan seraya memandangi terus menerus hitam legam bola mata indahnya.

“Budeh enggak suka ya kalau aku memandangi Budeh?” Tanyaku dengan batang penis yang terus kudorong pelan di bawah sana, sekarang rasanya sudah lebih dari setengah batang penisku yang terbenam di dalam vagina rapat nan legit milik Budeh sekar pujaanku ini.

Wajah Budeh kadung saja menampilkan senyum (meski ada raut meringis di sana), kepalanya menggeleng pelan, telapak tangannya mengusap pipiku lembut, lalu diangkat sedikit wajahnya untuk menyambar bibirku.

CUPP.. MMPPHH.. MUACHH..

Budeh memagut bibirku sejenak, menghisap lembut bibir bawahku, lalu dilepasnya dengan gemas seraya kembali menjatuhkan kepalanya di atas bantal. Matanya begitu sayu dan pasrah menatapku, menampilkan keseksian yang maha utuh.

“Entah kenapa ya Nggan.. hhmm.. aku tuh biasanya jengah tau kalau ada lelaki yang lagi makan di warung tapi matanya jelalatan gitu kaya nelanjangin tubuhku. Sshh.. tapi beda kalau sama kamu, aku juga enggak tau kenapa. Tapi kalau kamu yang mandangin tubuhku, aku malah seneng masa? Mmphh” Tukas Budeh dengan senyuman manisnya, membuatku entah mengapa merasa tersanjung bukan main ketika mendengar kata-katanya. Apalagi Budeh sudah benar-benar nyaman menggunakan kata aku dalam pembicaraan ini, benar-benar membuatku semakin tenggelam dan tenggelam di dalam samudera kemesraan yang tak bisa ku ukur kedalamannya.

Dan itu membuatku semakin teguh dalam menanam batang penisku di dalam sumur kenikmatan yang kian menyalurkan hangat di bawah sana. Penisku saat ini sudah masuk ¾-nya, sudah hampir tandas dan terbenam keseluruhan, sudah benar-benar dibekap seribu kenikmatan dan kehangatan tiada tara di dalam sana, di dalam vagina hangat nan legit milik perempuan betubuh sintal yang sering menjadi bahan imajinasiku ini.

“Tapi tetep ya kamu tuh bandel!” Sambung Budeh dengan bibir diruncingkan, seperti ia tengah merajuk akan sesuatu. Khawatir? Enggak lah.. gemes yang ada. Membuatku langsung mendekatkan wajahku dan memagut bibir Budeh lembut.

Mmmpphh.. muaahh..

Bunyi pagutan bibir kami yang terlepas begitu mesra di gendang telingaku, kuarahkan ciumanku turun ke leher harum milik Budeh, kuberikan hisapan lembut di sana.

“Ahhhhh.. geli Sayang.. hhhmm..” Budeh menggeliatkan tubuhnya lembut, membuatku segera mengangkat kembali wajahku dan menatap lagi wajahnya.

“Bandel di mana nya coba?” Tanyaku menyambung obrolan kami sebelumnya, kutempelkan ujung hidungku dengan ujung hidung Budeh Sekar. Sedikit nyeri sih hidungku ini, Cuma enggak tahu kenapa, seneng aja kalau wajahku bisa deket-deket kaya gini.

“Kamu itu kalau dateng ke warung sama pacarmu mbok ya ditahan sedikit matanya ituloh.. Aku kan jadi enggak enak, takut nanti kamu dimarahin pacarmu..” Ujar Budeh dengan manjanya. Aku menarik sedikit wajahku, melempar senyum kepadanya. Kurasakan batang kejantananku hampir terbenam seluruhnya.

“Aku enggak punya pacar Budeh..” Tukasku seraya memilin gemas putting payudara Budeh Sekar, kemudian kukecup lembut bagian atas payudaranya.

“Aahhhh.. ssshhh.. bohong.. itu Hani yang sering kamu bawa ke warung siapa kamu? Sama yang tadi siang itu juga siapa? Hhmmm..” Tanyanya seraya mengelusi rambutku, aku pun segera mengangkat wajahku dari payudaranya.

“Hani itu sahabatku dari jaman SMP, Sayang. kalau yang tadi siang itu Dira, Budeh kan udah kenalan.. dia adik kelasku..” Jawabku sembari lebih memperlambat tekanan penisku, sudah benar-benar hampir seluruhnya masuk kurasakan. Hangat dan nikmat sekali.

“Tapi kamu suka kan sama mereka? Hhhhmm..” Tanya Budeh dengan wajah sedikit ditekuk. Aku tersenyum kemudian mendaratkan kecupan di pipinya.

“Apa Budeh cemburu?” Godaku seraya menghentikan laju dorongan penisku yang sedari tadi benar-benar menguji kesabaranku, sudah tertanam seluruhnya batang penisku di liang senggama nikmat milik Budeh Sekar. Dan kurasakan ujung kepala penisku menyentuh sesuatu, entahlah apa, mungkin saja itu pangkal rahim Budehku ini.

“Siapa yang cemburu? Aku cuma.. ooouugghhh.. ssshhhh.. mmmpphhh..” Budeh enggak sampai menyelesaikan kata-katanya, sebab ketika ia hendak memukul lembut dadaku, pinggulnya tanpa sadar menggeliat, meremas dan mencengkeram semakin dalam batang kejantananku di bawah sana. Kepala Budeh yang tadinya tersandar di atas bantal kini terangkat, wajahnya menatap ke arah pertautan selangkangan kami di bawah sana, raut wajahnya sedikit menegang dengan mata membelalak lebar.

“Sudah masuk semua Nggan? Ssshhh.. sejak kapan? Ouuhh.. kok aku enggak engeh? Mmpphh..” Tanya Budeh dengan wajah semakin memerah bak kepiting rebus, aku tersenyum kemudian kuciumi pipi Budeh Sekar dan kukecupi daun telinganya, terasa kontraksi hebat meremas-remas si marco di bawah sana, membuat seluruh persendianku bergetar bukan main, aku pun akhirnya menjatuhkan tubuhku dan menindih sepenuhnya tubuh Budeh, kuangkat telapak tanganku dari payudaranya dan kupeluk tubuh Budeh erat-erat.

“Aku enggak mau terlalu menyakiti Budeh, aku enggak mau ngeliat Budeh terlalu dibekap kesakitan..” Bisikku di telinganya, kemudian kuangkat wajahku dan kutempelkan keningku dengan kening Budeh. Napasku pun kembali memburu sebab sudah kulepas segala batasan-batasan diriku yang sedari tadi kukencangkan supaya enggak menyakiti Budeh ketika penetrasiku berlangsung. Hal yang sama pun terjadi pada Budeh, perlahan napasnya kurasakan memburu hangat di ranah wajahku.

“Kamu melakukannya ketika kita mengobrol tadi, Sayang? Mmmpphh.. kamu benar-benar lelaki paling lembut sepanjang perjalanan hidupku Cah Bagus.. ssshhh..” Ujar Budeh dengan suara parau dan bergetar, kedua tangannya pun sudah kembali melingkar di punggungku, membalas pelukanku dengan tak kalah eratnya.

“Apa masih terasa sakit, Sayang?” Tanyaku dengan nafsu tertahan hebat.

“Hhmm.. enggak Sayang.. tapi.. uhhhh.. rasanya memek-ku penuh sekali.. heuhh..”

Mendengar ucapan Budeh Sekar yang kembali melafalkan kata-kata vulgar membuatku gemas sekali, kudekatkan bibirku dan kupagut lagi bibir Budeh dengan lembut, kumainkan lidahku ketika bibir Budeh terbuka untuk membalas pagutanku, kusapukan lidahku di dinding atas rongga mulutnya.

MUAACCHHH

“Aku enggak nyangka di dunia ini ternyata masih ada lelaki selembut kamu, Sayang..” Tukas Budeh dengan senyum mengembang, setitik air mata kulihat kembali meluncur dari kelopak matanya.

“Aku ingin kamu menikmati ini juga, Sekar.. aku ingin kita bersama-sama mencapai kenikmatan surgawi ini. Aku ingin wanitaku juga menikmati persetubuhan ini, Sayang. Bukan hannya aku..” Sahutku tulus sembari menatap dalam-dalam mata Budeh, sengaja kutanggalkan sementara panggilan Budeh dari kata-kataku, sebab aku ingin perempuan di hadapanku ini merasa dikasihi seutuhnya, sebagai mana dua insan saling mengasihi.

“Terimakasih Sayang.. terimakasih.. mmpphh..” Budeh kembali melumat bibirku dengan mesra, menyalurkan kehangatan dalam setiap inchi di lembap bibirnya. Kubalas ciuman Budeh dengan tak kalah mesra, kusambut uluran lidahnya yang menyalurkan desir-desir asmara yang penuh akan kemesraan ini.

Bermenit-menit lamanya kami saling memagut dan saling mencumbu, dengan diirngi pijatan-pijatan dan remasan-remasan dinding vagina Budeh Sekar yang terasa semakin hangat dan basah di bawah sana. Sepertinya vagina perempua di dalam pelukanku ini sudah benar-benar mampu beradaptasi dengan kejantananku, dan itu membuatku amat bahagia. Ku lepaskan pelukanku dari punggungnya, kuangkat sedikit tubuhku, dan kulepas pagutan bibir kami.

Napas kami sama-sama memburu lembut, tubuh kami sudah sama-sama bermandikan peluh. Budeh Sekar menyandarkan kepalany di atas bantal dengan senyum menenangkan, matanya berkaca-kaca, lalu kepalanya mengangguk pelan, seolah memintaku untuk segara membawa kemesraan ini ke tingkat selanjutnya.

“Aku milikmu Sayang, Hhhmm.. aku wanitamu sekarang..” Ucap Budeh dengan wajah penuh kepasrahan.

“Kamu wanitaku, Sekar.. dan aku adalah lelakimu. Bukan hanya sekarang, bukan untuk malam ini saja, tapi untuk esok juga, untuk lusa juga, untuk hari-hari setelah hari lusa juga..” Sahutku seraya mulai menaikkan pinggulku perlahan, menarik keluar inchi demi inchi batang kemaluanku dari genggaman lembut nan nikmat vagina perempuanku ini.

“Ahhhh.. kamu..mmmpphh.. kamu lelakiku. Sayang.. ouhhh..” Budeh merintih menikmati tiap gesekan di dinding vaginanya, sedang aku berusaha mengendalikan diriku sekuat tenaga, kutarik pelan sampai penisku menyisakan hanya bagian kepalanya saja, lalu kudorong lagi perlahan-lahan agar kembali terbenam dalam liang surgawi yang nikmatnya sungguh amat tak terbayangkan.

“Heeiiikkk… Ooouugghhh.. ssshhh..” Budeh kembali merintih ketika batang penisku menyeruak kembali dinding bagian dalam vaginanya, menyeruak semakin dalam hingga kembali menyentuh pangkal rahimnya, napas Budeh tertahan, merah di rona pipinya menampilkan keindahan yang maha agung di mataku saat ini.

Kutarik keluar lagi marco-ku dari dalam sana, dengan tempo yang tidak selambat sebelumnya, lalu kembali kutahan sebatas kepalanya, sebelum akhirnya kulesakkan lagi ke pangkal vagina hangat yang terasa begitu mencengkeram ini. Kuulangi itu beberapa kali, sembari mataku menatap pertautan alat kelamin kami.

Indah.. itu saja yang ada di kepalaku ketika melihat bibir vagina Budeh tertarik keluar ketika penisku kuangkat, lalu bibir vagina itu melesak ke dalam ketika penisku kubenamkan perlahan.

Terasa liang senggama Budeh Sekar semakin basah saja, membuat laju penisku terasa lancar jaya tanpa hambatan berarti di sana. Dan setelah sepuluh menit lamanya bermain dengan tempo amat lambat yang menguras tenaga dan kesabaranku itu, aku pun mulai mempercepat goyangan pinggulku, mulai mengayuh kenikmatan lebih dari liang senggama yang begitu memabukkan akal dan birahiku ini.

“Ah.. Ah.. ah.. ah.. terus sayang.. ouuhhh.. ya.. hhhmm.. terus.. mmmppphhh…” Budeh mulai meracau dengan kepala tertoleh ke kanan dan ke kiri, membuatku semakin bersemangat dalam menyelami samudera hangat lubang vagina budeh sekar. Kuhujamkan dalam-dalam dengan tempo yang mulai kutambah lagi kecepatannya.

PLOK.. PLOK.. PLOKK..

“Ahhh.. enak Nggan… ooohhhh.. terus.. terus.. ssshhh.. setubuhi aku sayang.. aahhh..”

Bunyi peraduan kelamin kami berpadu dengan rintihan suara kenikmatan yang keluar dari bibir Budeh Sekar yang terdengar menggelitik merdu di sepenjuru kamar ini. Nikmat.. vagina Budeh Sekar benar-benar nikmat sekali untuk diterabas lagi dan lagi, membuatku benar-benar candu untuk terus mengayuh kenikmatan di malam yang sepi dan penuh gairah ini.

“Memek kamu nikmat sekali, Sekar.. ssshhh.. kamu benar-benar wanita sempurna.. aahhh..” Aku pada akhirnya tak bisa untuk membuat bibirku bungkam dari pujian, sudah tak ada lagi batas-batas kesopanan bagiku saat ini, yang ada hanya pacuan birahi untuk memuaskan perempuan yang vaginanya tengah aku kayuh dengan batang kejantananku ini.

“Aahhh.. ah.. ah.. kontol kamu.. sshh.. ooouuhhh.. aku.. hhmmm.. enak… Ah ah ah..” Rintihan dan desahan dari bibir budeh sekar sudah semakin tak beraturan, tubuhnya terguncang-guncang sebab sodokan pinggulku yang konstan menghujam liang senggamanya.

Indah payudara yang membusung di hadapanku pun tak kusia-siakan, kuremas-remas dengan diselingi pilinan kuat di putting coklat kemerahannya yang tegak menantang. Nikmat.. vagina.. bukan.. memek.. ya.. memek perempuan ini benar-benar nikmat tak terhingga..

PLOK. PLOKK.. PLOK.. PLOK.. PLOKK..

“Ah.. ah.. ah.. Nggan.. ah.. enak sayang… ooouuuhhh.. terus.. hheuuhh..”

Tumbukanku pada pangkal paha Budeh sekar kian terasa tegas, terlebih rintihan demi rintihan yang keluar dari bibirna benar-benar bak bensin yang menyiram nyala api, membuatku semakin terbakar dalam balutan selimut birahi. Kurasakan memek milik betinaku ini semakin basah dan licin, dan pijatan-pijatan dinding vaginanya pun semakin kuat. Ditambah rintihan dan desahannya terdengar kian nyaring melaung, membuatku mengerti, bahwa perempuan yang lubang memeknya tengah kukayuh ini sudah bersiap menyambut puncak kenikmatan surgawinya.

PLOK.. PLOK.. PLOK..

“YA.. YA.. TERUS.. OUHHH.. AKU.. AKU.. OOUHH..” Kurasakan pinggul Budeh Sekar semakin bergerak tak karuan, desahan dan rintihannya pun semakin lantang, dari itu kutegakkan sedikit tubuhku, kupindahkan telapak tanganku dari payudaranya, lalu kutempatkan di kedua paha perempuan yang memiliki tubuh menggairahkan ini.

Kulebarkan rentang pahanya, dan mulai kupercepat lagi tempo sodokkan kelaminku di liang senggamanya.

“AH.. AH.. AH.. TERUS.. OUUHH.. AKU.. SSHHH..” Kulihat kepala Budeh Sekar semakin cepat menoleh ke kanan dan kekiri. Kedua tangannya terentang mencengkeram kuat-kuat sprei ranjang ini. Aku tersenyum, terus kuhujamkan si marco dalam-dalam dan kencang menerabas vagina ranum yang dihiasi bulu-bulu halus itu.

Hingga teriakan Budeh pun semakin lantang terdengar, goyangan pinggulnya semakin tak beraturan, kepalanya sudah tak jelas ingin diposisikan seperti apa. Aku tersenyum, aku paling menyukai hal ini, melihat betapa perempuan yang vaginanya tengah kukayuh menggelepar-gelepar liar menyambut orgasmenya, aku selalu suka hal ini..

PLOK.. PLOK.. PLOK.. PLOK..

“AH.. AH.. AKU OUUHH.. AKU SAMPAI.. AKU SAMPAI.. AAAAAAHHHHHHHHH…”

Srrreeeett.. srretttt.. ssrrettt.. srrrrttt…

Aku membenamkan dalam-dalam batang penisku, kutekan kuat-kuat sampai benar-benar mentok di bagian terdalam memek betina liar di hadapanku ini. Bersamaan dengan itu kurasakan semburan hangat menyirami tiap inci batang kejantananku, seirama dengan remasan-remasan yang begitu kuat menggiling penis yang kuberi nama si marco itu. Seiring dengan itu, tubuh perempuanku sudah melengkung dan terangkat, dengan kepala terdangak ke belakang, bibirnya terbuka lebar melaungkan desahan panjang, pinggulnya tersentak dan menegang tinggi-tinggi.

Aku semakin menahan paha bagian dalam milik Budeh, menahan usahanya untuk merapatkan rentang paha indah ini. Sebab aku senang melihat ini, melihat pemandangan perempuan yang tengah mencapai orgasme dengan tubuh mengerjat-ngerjat seperti ini. Terlihat sangat seksi dan menggairahkan bagiku.

Sialan.. legit dan nikmat sekali remasan dinding vagina perempuan ini.. membuatku benar-benar didera gelombang birahi yang sebegitu tinggi..

Setelah beberapa saat kubiarkan Budeh menggelepar sendiri, aku pun akhirnya melepaskan peganganku pada pahanya, kukembalikan lagi telapak tanganku pada sepasang indah payudaranya yang naik turun seirama deru nafas budeh sekar, kuturunkan tubuhku sampai benar-benar merapat, lalu kupagut bibir Budeh Sekar yang masih sedikit terbuka menikmati sisa-sisa orgasmenya.

CUPPP.. MMMMPPHH..

Kulumat lembut bibir dan lidah perempuan di bawahku ini, kusapukan keseluruhan rongga mulutnya seraya memberikan remasan-remasan di sepasang payudaranya. Dan Budeh awalnya tak membalas lumatanku, ia hanya membiarkan aku mengobrak-abrik liang mulutnya, hanya deru napas terengah yang kudapati, sebelum akhirnya kurasakan ia mulai membalas lembut pagutan bibirku, dengan tangan yang mulai dilingkarkan di batang leherku.

MUAACCHHH..

Tautan bibir kami terlepas, dan mata kami langsung bersitatap dalam kuncian mesra yang penuh bahasa kebisuan, senyum di bibir Budeh mengembang, dan elusan-elusan lembut di kepala belakangku menandakan betapa kemesraan ini lebih dari sekedar pertautan birahi, lebih dari sekedar persenggamaan nafsu, lebih dari sekedar penyatuan dua tubuh dalam tautan kelamin, sebab ada desir-desir perasaan yang menyelimuti kami saat ini, perasaan saling mengasihi antar dua insan yang saling memberikan remasan dan kedutan di dalam liang senggama yang menjelma bak taman-taman surgawi.

“Terimakasih Cah Bagus.. terimakasih atas kenikmatan terindah yang sudah membuat Budeh merasa menjadi wanita yang utuh seutuh-utuhnya..” Ucap Budeh Sekar dengan tatapan dalam dan mesra, aku membalas senyumannya, seraya mengusap lembut putting payudaranya dengan telapak tanganku, lalu kukecup sebentar bagian atas dada budeh yang membusung indah itu, kujilat sejenak belahannya, lalu kembali mengecup bibir peremuanku ini.

“Aku suka senyum ini.. senyum dari perempuan hebat yang begitu tabah dan cantik ini..” Pujiku seraya membelai lembut tepian bibir Budeh yang membiru, sangat lembut agar ia tidak merasakan sakit akan belaianku itu. Budeh tersenyum, kemudian ia menarik kepalaku lagi untuk menjadi sesuatu yang dapat ia peluk. Kemudian ia mulai menenggelamkan wajahnya di leherku, terdiam di sana sampai berangsur-angsur mulai terdengar isakkan tangis lembut dari bibirnya.

Aku memindahkan kedua tanganku dari payudaranya, merengkuh tubuh tabah sekaligus rapuh di bawahku ini, mengelus lembut rambut hitam bergelombang yang tengah memberikan remasan-remasan lembut pada batang kejantananku yang tengah kuredam birahinya itu.

“Ssssttt.. sudah Budeh.. sudah.. aku di sini sekarang.. aku di sini.. dan aku akan jadi lelaki yang melindungimu.. Budeh sekarang adalah wanitaku.. dan aku enggak akan membiarkan wanitaku disakiti oleh siapun.. sudah ya..” Kubelai lembut dan kubisikan kata-kataku di telinganya, membuat Budeh berangsur-angsur menyudahi tangisannya dan melepas pelukan kami, menjatuhkan kembali kepalanya di atas bantal.

Aku pun lekas menghapus air mata dari kedua kelopak matanya, juga menghasup basah yang ada di sepasang pipinya, lalu secara bergantian kuberikan kecupan di masing-masing kelopak matanya. Kupandang dalam-dalam senyum manis yang tengah Budeh pugar.

“Apa kamu percaya padaku? Apa kamu percaya bahwa lelakimu ini akan menjadi pelindungmu setelah malam ini?” Tanyaku padanya, Budeh menganggukkan kepala dengan senyum diperlebar.

“Jangan sedih-sedih lagi ya, Sekar.. aku enggak mau kamu membuang-buang air matamu itu untuk sebuah kesedihan. Aku inginnya, air mata dari perempuanku ini menetes tiap ia merasakan kebahagiaan saja. Dan aku janji, aku akan menjadi salah satu sumber dari kebahagiaanmu itu, tapi pertanyaannya, apakah kamu mengizinkan aku untuk melakukan itu? Untuk membahagiakanmu?”

Ku tatap dalam-dalam mata Budeh Sekar, dan senyumnya kini berubah menjadi sebuah keharuan, tatapannya berkaca kemudian kembali ia peluk diriku seraya melumat bibirku lembut.

Muaacchhh..

“Ya.. iya sayang.. iya.. mmpphh..” dengan mesra ia kembali memagut bibirku, bersamaan dengan itu kurasakan vaginanya mulai kembali membasah dan berdenyut-denyut. Dan untuk mempercepat kembalinya syahwat dari perempuan yang tengah jatuh dalam dekapanku ini, kuberikan remasan dan pilinan di payudaranya dengan tangan kiriku, sedang tangan kananku mulai mengusapi tubuh bagian sampingnya, mengusapi pinggul serta perut seksi dan menggemaskannya itu.

“Ssshhh.. aku mau lagi, sayang..” Bisik Budeh Sekar ketika ciuman kami terlepas, aku tersenyum, dan menganggukkan kepalaku.

“Aku enggak akan mungkin menolak permintaan wanitaku ini, bukan?” Godaku seraya merengkuh tubuhnya, lalu mengangkat tubuh Budeh Sekar untuk duduk di atas pangkuanku. Ia terlihat tertawa bahagia seraya terus mengalungkan tangannya di leherku. Kemudian aku atur posisi kakiku agar lurus, dan Budeh pun perlahan mengatur posisi kakinya agar tubuhnya berjongkok di atas pangkuanku.

Dalam posisi duduk memangku, bibir kami kembali saling memagut, dengan kedua tanganku yang kini sudah hinggap di bokong padat nan kenyal milik Budeh sekar, dan perlahan kurasakan ia mulai menggoyang-goyangkan lembut pinggulnya, kemudian goyangan itu dikombinasikan dengan gerakan naik turun yang begitu terasa meremas batang kemaluanku. Kuturunkan bibirku untuk melahap payudaranya, sedang terlingaku olehnya dikecup dan dijilati dengan mesra, bisikan-bisakan dan rintihan mesra mulai terdengar dari bibir perempuanku ini, birahinya mulai terpacu kembali seiring goyangan pinggulnya yang tengah mengulek kemaluanku ini.

“Memekmu benar-benar nikmat sayang.. ssshhh..” Pujiku tanpa ditengah kegiatanku melumat putting payudaranya.

“Ahhh.. Shhh.. kontolmu rasanya benar-benar mentok sampai rahimku.. ooouuggghh.. hhhmmm..” Goyangan Budeh Sekar semakin cepat menghujam penisku, menyalurkan rasa nikmat ke seluruh syaraf yang ada di batang kejantananku. Bermenit-menit berlalu, aku memutuskan merubah posisi persetubuhan kami, kuputar tubuh Budeh Sekar untuk duduk membelakangiku tanpa melepas pertautan kelamin kami, kemudian aku bangkit dan mendorongnya lembut sampai ia menungging dan memamerkan bongkahan indah nan bokong besarnya yang putih dan padat itu.

Aku yang tadinya berniat langsung menggoyangkan pinggulku pun menyerah, aku menyerah pada keindahan bokong putih yang bentuknya begitu padat dan sekal ini, dengan yakin kutarik batang kejantananku keluar dari liang senggamanya, benar-benar keluar secara utuh setelah sekian puluhan menit tertanam di dalam liang hangat nan nikmat tersebut.

FLOPP..

“Uhhhhhh.. kenapa dicabut sayang?” Tanya Budeh seraya menolehkan kepalanya, wajahnya benar-benar sudah kembali dikuasai birahi hebat.

“Pantat kamu begitu indah Sekar, dan aku selalu mendambanya..” Sahutku seraya membenamkan wajahku di belahan indah dari bokong Budeh Sekar. Kuciumi dan kuremas-remas gemas bokong tersebut.

“Uhhhh.. Nggan.. aahh..” Budeh melenguh ketika aku mulai menyapukan lidahku naik turun.

SLURRPP.. SLURRP.. MUAACHH..

Kujilat dan kulepaskan dengan gemas belahan vagina Budeh, kemudian kutegakkan lagi tubuhku, dan kudekatkan kepala si marco ke belahan vagina Budeh Sekar. Kemudian dengan pelan kudorong masuk kepala penisku, menguak liang senggama Budeh dengan lembut.

BREETT.. BREETT.. SLEEBB..

“AAAHHHH…”

Akhirnya penisku pun kembali bersarang di dalam liang vagina Budeh, sedikit sulit ketika penetrasi, namun kondisi vagina Budeh yang sudah amat basah membuatku tak takut akan menyakitinya. Ia melenguh keras, dan kembali mulai kayunkan pinggulku menikmati jepitan-jepitan vagina ini. Uhhh.. asli sih.. ini rapet dan nikmat banget..

“Ya.. terus sayang.. uhhh..”

PLOK. PLOKK.. PLOKK..

Desahan dan rintihan budeh sahut menyahut dengan bunyi peraduan pinggulku dengan bokongnya, membuatku semakin bersemangat memompa tubuh indah nan ranum bak remaja belasan tahun ini.

Menit demi menit terlewati, kecepatan pinggulku pun kian bertambah seiring kenikmatan yang menjalar memenuhi kepala penisku. Jeritan-jeritan budeh sekar menjadi kidung yang melengkapi nikmat dan gemuruhnya persetubuhan ini. Kupompa dengan jumawa, terus menerus dan penuh semangat.

Vagina budeh pun semakin basah dan becek rasanya, membuat alur keluar masuk si marco kian lancar jaya tanpa hambatan berarti (selain remasan dan jepitan kuat vagina budeh tentunya).

Hingga Budeh sepertinya sudah benar-benar dikuasai birahi tinggi, tubuh bagian depannya sudah turun menyentuh kasur ranjang ini, kedua tangannya sudah tak mampu menopang gundukan payudaranya itu mungkin. Aku pun menghentikan pompaanku sejenak, kumiringkan tubuh Budeh sekar dan kurebahkan tubuhku di belakangnya, kurapatkan kedua pahanya ke depan, kemudian mulai mengayuh kembali kenikmatan yang mendera batang penisku saat ini.

PLOK. PLOKK.. PLOKK..

“Ah.. ah.. terus sayang.. aku hampir sampai lagi.. oouhhhh..”

Mendengar teriakan Budeh aku semakin memfokuskan fikiranku, aku berusaha meereguk puncak kenikmatan ini bersama-sama, tak ingin memperpanjang durasi persetubuhan ini, karena budeh sepertinya sudah amat kelelahan saat ini.

Kupeluk tubuhnya dan kuremasi payudara Budeh dari belakang, kutolehkan sedikit wajahnya dan kulumat habis bibir ranum nan menggiyurkan ini. Napasku pun kian memburu, sahut menyahut dengan desahan dan rintihan Budeh, hingga kurasakan jepitan liang senggama Budeh kian terasa kuat, rintihannya pun kian hebat mengisi langit-langit kamar ini.

“AAHHH.. AKU SAMPAI! AKU SAMPAI! OOOOOUUUUUGGGHHHHHH” Budeh melenguh kuat, kembali jepitan hebat yang diiringi siraman hangat terasa di batang kejantananku. Membuat bius-bius kenikmatan kian terasa di ujung kepala penisku.

Aku tak mengendurkan pompaanku sama sekali, kupacu semakin cepat pompaanku, membuat Budeh kian berteriak-teriak sebab orgasmenya justru kutimpah dengan hujaman-hujaman keras. Aku hampir sam[pai!

“AAIIIIHHHHHH.. NNGGGANNN.. OOOHHHH..” Lenguhan Budeh kujadikan bara api pembakar birahiku kini, kupacu dengan cepat dan bersemangat menyambut kenikmatan yang mendera ujung-ujung syaraf kejantananku di dalam sana.

PLOK. PLOKK.. PLOKK.. PLOK. PLOKK.. PLOKK..

“Errggghhhh.. huhhh..” Aku mengeram menyambut orgasmeku, lalu ketika lesakkan panas sudah benar-benar membuncah di kepala penisku, kuhujamkan dalam-dalam marco-ku menghantam pangkal rahim Budeh Sekar.

“Arrrrggghhhhh…”

CROOOTT.. CROOTT.. CROOOT… CROOTT..

Kupejamkan mataku rapat-rapat, kupeluk tubeh budeh sekar dengan begitu erat, kutenggelamkan wajahku di leher putihnya dan kusemburkan benih-benih spermaku ke dalam liang senggamanya. Tak terhitung berapa kali kutembakan spermaku untuk mengisi rahim Budeh Sekar, yang jelas tak terhitung sebab memang sudah lama aku tak mengeluarkan spermaku selama ini.

“Mmmmpphh.. aahhhhh.. huhhhh..” Budeh melenguh menerima semburan spermaku, kepalanya tertoleh kurasakan kecupan dan jilatan-jilatan di telingaku. Yang dikombinasikan dengan remasan-remasan nikmat di sekujur batang penisku.

Kami berdiam lama dalam gelombang orgasme yang mendera raga, berpelukan dengan mesra seolah tiadalah hari esok akan datang jua bagi kami. Peluh mengucur, berbaur dengan hangat perasaan yang melingkupi titik-titik syaraf tubuh kami yang bersatu padu dalam kemesraan kasih.

Beremenit-menit lamanya.. ya.. bermenit-menit lamanya..

.

.

POV 3D

Aswatama terengah hebat, napasnya bersisa satu dua, langkahnya limbung, tatapannya berkunang parah. Di belakangnya ada lima tubuh yang terkapar tak bergerak, raga yang sudah terpisah dari sukma. Pemuda itu tak memedulikan lagi kelima tubuh itu, yang ia butuh saat ini adalah menjauh sejauh-jauhnya dari tempat ini.

Pakaiannya sudah tidak utuh lagi, lengan bagian kiri bajunya sudah compang-camping, hangus sisa-sisa terbakar. Begitu pun kulitnya, dari bahu kiri hingga pergelangan tangannya mengalami luka bakar hebat, wajahnya kotor dan menghitam, seolah ia habis berkalang asap dari pelita yang menghitam pekat.

Hidung dan bibir pemuda itu mengeluarkan darah, pun rambut di kepalanya yang basah darahnya sendiri.

“AAARRRRGGGGHHHH…” Ia berteriak keras menengadahkan kepalanya ke langit, lelah.. ia merasa amat lelah.

Langkahnya terseret megikuti bunyi gemericik air. Sungai.. hanya itu yang ada di pikirannya saat ini, ia perlu menuju sungai itu untuk mengentaskan bahu dan lengannya yang terbakar, serta untuk membersihkan dirinya dari kesemerawutan dirinya ini.

Ia menggenggam anggaraksa, tongkat yang susah payah ia jaga dengan tangan kanan, menjadikan tongkat kayu itu sebagai pembantu langkahnya. Pandangannya semakin samar, ditambah gelap malam yang pekat merundung, membuat langkahnya benar-benar terseok begitu berat.

Hingga akhirnya ia pun tiba di bibir sungai, ia buang napasnya dengan begitu sesak, ia selampirkan kembali anggaraksa di punggungnya, dengan hati-hati ia berjongkok di tepian sungai tersebut, hendak mencelupkan tangannya yang masih terasa panas terbakar bukan main.

Namun apa daya, kondisi tubuhnya yang melemah semakin membawa kesadaran pemuda itu ke titik terendahnya, dan seolah kehilangan seluruh tenaganya, tubuh pemuda itu tiba-tiba limbung dan tersungkur ke depan, langsung jatuh ke dalam sungai yang memiliki arus tenang itu.

Dengan sisa-sisa kesadaran yang ia miliki, Aswatama mencoba menggerakkan kaki dan lengannya untuk menggapai permukaan air, napasnya kembang kempis tak teratur, setitik dua titik air memasuki paru-parunya.

“Tidak.. saya tidak boleh berakhir seperti ini.. saya tidak boleh berakhir seperti ini..” Aswatama membatin dengan penuh perasaan lelah. Ia terus mencoba menggapai permukaan air, yang samar-samar menampilkan bayang samar sang rembulan di atas langit.

“Oorrrggghhh.. uhuk..” Pemuda itu terbatuk hebat di dalam air, kelopak matanya terbuka dan menutup beberapa kali. Hatinya memaki, seharusnya berenang bukanlah hal yang sulit baginya, selama ini ia bahkan bisa berenang di tengah ganasnya ombak ketika sedang melaut, namun apa daya, kondisi tubuhnya saat ini sangatlah lemah.

Dan di sisa-sisa kesadarannya ia bergumam lirih di dalam hatinya..

“Setelah mengantar tongkat ini, harusnya tugas saya sudah selesai. Dan saya bisa mencari keberadaanmu.. kita akan seperti dulu lagi.. berboncengan sepeda menyusuri lereng bukit, atau tepian pasir pantai yang basah. Tapi sepertinya memang tiadalah jalan untuk kita bersama lagi, Sayang.. tiadalah saya memiliki kesempatan untuk bisa bersama denganmu.. lagi..”

Pemuda itu perlahan menghentikan seluruh usahanya untuk menggapai permukaan, matanya perlahan terpejam, dan ia benar-benar sudah membiarkan aliran sungai membawanya pergi, ia menyerah pada batasan-batasan yang ia rasakan saat ini.

Air pun mulai memasuki paru-parunya, dalam ketidaksadarannya, tubuhnya berkejat-kejat kehabisan udara. Detak jantung pemuda itu perlahan melemah, dan tubuhnya perlahan tenggelam, menjauh dari permukaan, terdorong aliran sungai yang maha dalam.



Bersambung..
 
Selamat pagi semuanya, tak bosan-bosannya saya haturkan terimakasih untuk seluruh suhu dan pembaca di sini, berikut saya update untuk bagian 11, mohon dimaafkan jika banyak kekurangan 🙏

Karena Regan ikut campur banyak dalam penulisan update ini, jadi mohon dimaafkan kalau ada beberapa hal yang terasa dipaksakan (mulustrasi si kopet adalah hal yang gak saya setujui sebenarnya, karena di update ini enggak ada nyinggung si kopet sama sekali, tapi si anak jahanam maksa, enggak mau kalah sama bandit yang saya tongolin di sini).

Sekali lagi terimakasih banyak dan happy friday every one, selamat menyambut akhir pekan, see you..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd