*
TRRRREEEEENNGGGG...
Pasca menyebrangi rel kereta dan sampai di jalan raya, aku langsung membebat gas motorku sedalam-dalamnya. Melesat di jalan raya dengan begitu cepatnya. Menyalip satu demi satu pengendara lain, mengabaikan makian dari orang-orang yang terganggu dengan bising raungan si kopet.
Tujuanku saat ini bukanlah pulang ke rumahku, enggak, bukan sama sekali. Karena enggak akan keburu kalau aku harus balik ke rumah dulu. Jadi ketika ngopi di belakang rumah Budeh tadi aku terpikirkan untuk pulang ke rumah Wawi saja. Karena dari daerah rumah Budeh, rumah Wawi lah yang paling dekat untuk kugapai. Kalau dalam keadaan normal, mungkin sekitar 20-25 menit aku sudah sampai, tapi dalam keadaan urgent kaya gini, di mana angka di jam G-Shock milikku sudah menunjukkan angka 06.20, maka aku mau enggak mau harus memakai mode super seiya motor ini, berusaha memangkas waktu sebisa mungkin. Dengan kata lain aku mem-bar-bar-kan diri dulu di jalan raya pagi ini.
Melesat secepat angin, menembus batas dan melampaui ketakutan diri.. wwuusshhhh..
Rumah Wawi sendiri terletak di sebuah daerah yang berada enggak terlalu jauh dari Universitas Utama negeri ini, di daerah Lereng Ageng tepatnya. Dan dengan track lurus jalan raya ini, aku sangat percaya diri untuk sampai di rumah Wawi sebelum kawanku itu berangkat ke sekolah.
Aku berkelak-kelok, overtake demi overtake kasar dan beringas aku lakukan. Sampai akhirnya aku tiba di daerah Lereng Ageng, berbelok ke jalan yang lebih kecil, menghantam kasar polisi tidur yang ada, demi mengejar waktu sambil berharap Wawi belum menggas trailnya ke sekolah. Dan ketika aku hampir mencapai gang rumah sahabatku itu, dari arah berlawanan terlihat pengendara trail hijau dengan seragam putih abu-abu yang dibalut jaket jeans tengah melaju cepat, menyalip sebuah mobil avanza di depannya, itu Wawi!!
Aku pun segera mengambil jalur tengah, tak cukup jika aku harus melambaikan tangan ataupun say hello dan semacamnya. Jadi kuputuskan mencuri perhatiannya dengan membawa motorku ke tengah jalur, sedikit mensejajarkan posisi motorku dengan motornya, dan menggeber knalpotku dalam-dalam, dan..
WUSSSHHHH..
Motorku dan motor Wawi berpapasan tipis dalam kecepatan tinggi. Dia sepertinya terkaget hingga sedikit membanting motornya ke tepi jalan, hal yang sama kulakukan. Wawi menoleh ke arahku, dan langsung menyadari keberadaanku. Aku pun melambaikan tangan padanya, kemudian ia lekas memutar motornya, menghampiriku yang sudah berhenti di tepi jalan. Menyejajarkan posisi motornya dengan motorku. Wajahnya tegang-tegang lega gitu.
“Lu baik-baik aja Nggan?” Tanya Wawi seraya mematikan mesin motornya. Dan seperti biasa, Wawi memang selalu tenang dalam menghadapi sesuatu. Enggak kebayang kalau yang tadi aku gebes itu Oman atau Dito, pasti aku langsung dimaki-maki.
“Yaelah segala-gala bangat nanya nya Wi, kena juga enggak..” Jawabku santai sembari ikut mematikan mesin motorku. Maksudku untuk apa dia nanya kondisiku? Wong tadikan enggak sampai tabrakan, Cuma tipis aja. Kecuali kalau aku serempetan sama dia, terus nyungsep di atas aspal. Baru deh, pantes dia nanya kaya gitu hehehe
“Bukan itu maksud gua..” Ujar Wawi sambil melepas helmnya. Heh? Maksudnya?
“Terus?” Tanyaku bingung.
“Lu dari mana sih? Semaleman ngilang enggak ada kabar, terus tiba-tiba muncul di sini dengan muka lu yang biru-biru kaya gini.” Tukas Wawi dengan nada santai. Heh? Kok dia bisa ngomong kaya gitu? Ada urusan sama aku kah dia semalem? Sampe-sampe kayanya nyariin aku kaya gitu.
“Semaleman Hani khawatirin lu, katanya elu belom pulang-pulang ke rumah. Ada apa sih Men?” Di tengah kebingunganku Wawi kembali melanjutkan kalimatnya, seolah ia bisa membaca pikiranku.
Wait.. Hani? Nyariin aku? Kok bisa? Eh maksudku dari mana Hani tau aku enggak pulang ke rumah coba?
“Hani bilang kalau Teh Arum nelponin dia, karena ngira elu nginep di rumahnya. Kita semua khawatir sama lu Nggan.. gua, Dito sama Oman semaleman mencar nyariin lu keliling kota. Untung belom satu kali dua puluh empat jam, kalau enggak mah gua ama anak-anak pasti udah bikin laporan orang hilang ke kepolisian.” Kembali dan kembali, Wawi seolah bisa membaca pikiranku, ia berkata-kata dengan nada santai khasnya. Membuatku hanya bisa garuk-garuk kepala saja.
Jadi Teh Arum nyariin aku ke Hani? Dan Hani juga nyariin aku ke anak-anak 4arah? Duhh.. jadi enggak enak aku udah bikin heboh.
“Gua minta maaf banget Wi, sumpah.. nanti gua jelasin semuanya. Tapi gua mao minta tolong dulu nih ama lu, gua minjem seragam lu ya. Soalnya enggak bakal keburu kalau pulang ke rumah.” Aku berkata dengan wajah memelas. Dan tanpa banyak tanya Wawi langsung menganggukkan kepalanya.
“Ayodah cepet, biar enggak terlalu telat nanti.” Tukas Wawi seraya menyalakan kembali mesin motornya, aku pun melakukan hal yang sama. Lalu kami pun melajukan motor kami menuju ke rumahnya yang terletak di sebuah gang besar. Aku mengekornya dengan perasaan sedikit enggak enak karena ngebayangin dia, Dito dan Oman keliling kota nyariin aku. Duhh.. Teh Arum mah segala-gala banget dah.
“Taro situ aja motor lu, yo..” Ucap Wawi ketika kami tiba di depan rumahnya yang memang terletak di dalam gang. Jadi enggak ada garasi atau pun halaman untuk parkir kendaraan. Aku mengangguk seraya mematikan mesin motorku, melepas helm dan turun dari tungganganku. Sedang Wawi sudah berada di ambang pintu rumahnya.
“Mao mandi dulu apa gimana lu?” Tanya Wawi ketika aku berjalan menghampirinya. Aku segera menggeleng pelan.
“Langsung aja lah, udah cuci muka juga gua tadi.” Sahutku yang kini sudah di ajak Wawi memasuki rumahnya. Oh iya, Wawi ini hanya tinggal bersama Kakaknya yang nomor tiga, mereka 4 bersaudara, Wawi yang paling bungsu. Sedang kedua orangtua sahabatuku ini sudah meninggal pas Wawi SMP, kecelakaan kata Wawi sih, dan aku enggak pernah nanya lebih jauh, enggak enak juga sama dia, takut bikin dia sedih.
Kalau kakak pertama dan kakak keduanya (laki-laki dua-duanya), sudah menikah dan tinggal bersama keluarganya masing-masing, namun tetap membantu membiayai hidup adik-adiknya. Kalau Kakak perempuannya sih (yang tinggal bareng sama Wawi), masih kuliah, enggak tau semester berapanya. Dan hebatnya kuliah sambil kerja gitu di kedai kopi, part-time mungkin ya, kurang tau sih detailnya.
“Kak Ranti udah berangkat Wi?” Tanyaku berbasa-basi ketika kami sudah berada di kamar. Sahabatku itu tengah membuka lemari bajunya untuk mengambilkan seragam yang akan aku pinjam pagi ini.
“Udah Nggan.. dia bilang ada kelas jam 8, jadi hari ini dia berangkat agak pagi.” Sahut Wawi sembari menolehkan kepalanya. Aku mengangguk-angguk saja. Dan enggak lama Wawi pun menyerahkan satu setel seragam putih abu-abu kepadaku. Plus kaos putih polos di susunan paling atas.
“Mau sekalian gua pinjemin sempak apa gimana nih?” Tanya Wawi santai.
“Bajingan.. geli banget gua.. mending kontol gua gundal-gandul dari pada harus make sempak bekas lu Wi..” Sahutku jengkel seraya meletakkan seragam pemberian Wawi di kasur. Sedang sahabatku itu hanya tertawa dan melangkahkan kakinya ke arah pintu kamar ini.
“Baju kotor lu taro aja di keranjang Nggan, biar entar sekalian dilondry ama Kakak gua..” Seru Wawi seraya berlalu meninggalkanku untuk berganti seragam. Aku hanya tersenyum saja menanggapi kebaikan sahabatku itu.
Enggak banyak omong, enggak banyak tanya, dan enggak terlalu ngegas, jarang-jarang aku punya temen kaya Si Wawi ini hehehe
Aku pun akhirnya menanggalkan kaos dan celana jeansku, hanya menyisakan celana dalamku saja. Lalu mulai mengenakan celana abu-abu pemberian Wawi, yang sedikit kegombrongan, karena memang enggak kaya aku dan kebanyakan murid laki-laki lain yang senang memvermak celana kami agar lebih ngepas di kaki, Wawi memang enggak kaya gitu, dia mah ya lurus-lurus aja ibaratnya.
“WI.. MINTA MINYAK WANGI SEKALIAN YA..” Seruku lantang.
“PAKE AJA..” Terdengar sahutan dari Wawi yang sepertinya menungguku di luar rumah. Hehehe.. okelah kalau gitu, semprot semprot semprot dan kini tubuhku sudah berbalut harum parfume axe milik Wawi.
Setelah itu segera aku kenakan kaos putih, lalu kutimpa dengan seragam Wawi yang lagi-lagi sedikit kegombrongan, tapi enggak apa-apa lah, udah dipinjemin aja aku banyak banget ngebatinnya ckckck.
Setelah merapihkan rambut, aku pun memindahkan isi kantong celana jeansku ke kantong celana abu-abu yang kini kukenakan. Dompet, rokok, korek dan kunci motor pun sudah berpindah sarang. Setelah itu aku segera memasukkan pakian kotorku ke keranjang penampungan. Dan langsung cab markicab ke luar. Aku juga meminjam sepatu Wawi, karena memang aku kan cuma pakai sandal jepit. Ya itung-itung sepaket lah kalau minjem hehe
“Ayo men.. kemon..” Ajakku ketika menemui Wawi di depan pintu. Ia mengangguk dan segera menutup pintu, lalu menguncinya kembali. Sejenak ia memandangiku dengan tatapan aneh. Waduh.. kenapa nih? Apa dia terkesima dengan ketampananku pagi ini? Lah geli banget dong..
“Pala lu kegoprok botol Nggan?”
CUK!!
Buset dah, ini kawanku kok kaya dukun aja lama-lama. Kok dia bisa tahu kalau kepalaku abis digoprok sesuatu?
“Rambut belakang lu keliatan banget bekas darah keringnya, itu juga ada kuning-kuning bekas betadine.” Ujar Wawi seraya melangkahkan kaki menuju motornya. Set dah.. udah kaya detektif aja Si Kalem ini, asli.
“Apapun masalah yang lu hadepin semalem, intinya gua lega lu baik-baik aja Nggan. Dah ayo berangkat, waktu kita sedikit Men..” Di tengah kekikukan-ku Wawi kembali menyambung kata-katanya, dan aku pun segera menganggukkan kepala. Berjalan menuju si kopet dan menaikinya. Kulirik jam di pergelangan tanganku.
Sialan.. udah jam 07.05 aja, sedangkan bel sekolahku berbunyi di pukul 07.15, berarti kami Cuma punya waktu 10 menit lagi. Bangsat.. mana cukup?!
“Selaw Men.. jem lu kan lebih cepet 10 menit, jadi kita masih punya waktu 20 menit. Cukup kok pasti..” Ujar Wawi sembari mengenakan helmnya. Aku mengernyitkan dahi, benar juga ya, kok aku bisa lupa ya kalau jamku ini kusetel maju sepuluh menit?
Dan lagi-lagi, si wawi ini benar-benar kaya bisa baca pikiranku deh asli. Kaya cenayang dia lama-lama. Tapi yaudahlah, emang dasarnya dia peka kan orangnya? Jadi ngapa harus heran coba.
Aku dan Wawi pun kompak menyalakan mesin motor kami, kemudian memutar balik, dan melaju beriringan dengan Wawi yang memimpin jalan. Se keluarnya dari gang, Wawi memberitahu bahwa kami akan mengambil jalan dalam, jadi kami enggak lewat jalan raya utama, melainkan lewat jalan-jalan dalam gitu, yang kelok-kelok deh pokoknya. Aku mengangguk saja, toh dia lebih paham daerah ini.
Dan tanpa membuang waktu, baik aku maupun Wawi langsung membebat gas motor kami agak dalam, melaju kencang membelah jalan raya. Dengan bunyi knalpot dua motor kami yang berbeda jauh, bak langit dan bumi. Di mana trail Wawi ini menggunakan knalpot racing yang membuat suaranya menggelegar dog dog dog gitu, sedang motorku kan bunyinya cempreng treng treng treng. Tapi sih masalah kecepatan, boleh lah diadu ckckck
*
Kini aku dan Wawi sudah berada di lampu merah terakhir menuju sekolah kami. Arus lalu lintas sangat padat merayap. Namun jika sudah melewati lampu merah ini, dan berbelok ke kana, trek lurus dan bersih akan langsung menyambut kami. Sebab arah berangkat kerja datang dari arah sekolah kami menunggu lampu merah ini. Aku melirik Wawi yang berada di sebelahku. Ia mengangkat pergelangan tangannya seraya menarik ke atas sedikit bagian bawah lengan jaket jeansnya. Menunjukkan angka di jam tangan digital berbentuk kotak berwarna hitam berlambang aparel olahraga kenamaan bertagline Just Do It!
Dan ketika ia tekan tombol di samping jam tangannya, deretan angka berwarna merah langsung terpampang di depan mataku, 07.13 AM. Dua menit lagi berarti, malah kemungkinan kurang dari itu sebab detiknya terus berjalan. Aku mengangguk pada Wawi, kembali menatap lampu lalu lintas yang masih berwarna merah. Sebentar lagi, sebentar lagi.. karena setelah lampu hijau untuk kendaraan dari arah sekolahku selesai, maka giliran kamilah yang mendapatkan lampu hijau.
Aku memantapkan pegangan koplingku, menyetel persnelingku, menempatkan gas yang paling enak untuk membawa Si Kopet melonjak jauh. Dan begitu lampu kuning untuk arahku menyala, serta kendaraan dari arah sekolahku berhenti teratur, aku langsung mengayun kopling serta menarik gasku bersamaan. Membuat motorku langsung melonjak cepat, Wawi melakukan hal serupa, ia bersisian denganku.
Kami membebat gas dalam-dalam, menaikkan satu persatu persneling motor kami masing-masing untuk menggapai kecepatan maksimum. Perlahan terlihat jelas gap jarak antara motorku dan motor Wawi, dimana Wawi sedikit demi sedikit tertinggal di belakangku. Deru berdebam knalpot trail milik sahabatku itu sahut menyahut dengan bising dan nyaringnya knalpot motorku. Kami melesat kencang menjemput gerbang sekolah kami yang sebentar lagi akan tertutup
Aku memfokuskan mataku ke depan, menggoyang ke kanan dan ke kiri laju kecepatanku untuk menghindari pengendara lain. Angin seperti tak punya wibawa di sini, sebab lesakkan torsi RX-King ku yang kian menggila di atas aspal.
Terlihat! Gerbang sekolahku sudah terlihat dan masih terbuka tentunya, aku mengurangi sedikit demi sedikit laju motorku, membuat Wawi perlahan bisa menyusulku lagi. Kemudian bersisian kami menggeber-geber gas motor kami untuk memberitahu kedatangan kami yang nyerempet waktu tutup gerbang ini. Terlihat Pak Gopur yang berada di gerbang menyadari kedatangan kami, ia segera menarik lebih lebar gerbang tersebut, membuat aku tersenyum kecil.
Lalu kujejak rem kakiku dalam-dalam, serta kutarik secara mengayun rem tanganku untuk memperlambat kecepatan, beberapa murid lain yang menyadari kedatangan kami pun kompak membuka jalan, pengertian sekali mereka ini memang. Lalu
SRREENNGGG..
Aku dan Wawi melewati gerbang secara bersamaan, langsung menukik ke arah parkiran guru yang masih lapang. Memberikan bunyi decitan di ban kami yang kian kuat dicengkeram cakram rem.
Kebisingan dari knalpot RX-Kingku dan Trail milik Wawi tentu saja menarik perhatian. Murid-murid yang berada di koridor kompak menatap kami, dari lantai satu sampai lantai tiga. Dari adik kelas sampai kakak kelas kami tentunya. Aku menegakkan tubuhku, dan setelah selesai menetralkan persneling Si Kopet aku pun mematikan mesinnya dengan senyum mengembang. Hal yang sama pun dilakukan oleh Wawi, ia bahkan mendahuluiku dalam perihal mematikan mesin motor.
Kami pun membuka helm kami bersamaan, saling melempar senyuman dan anggukan, lalu saling beradu kepalan tangan. Tertawa sendiri karena kegilaan kami di pagi hari ini. Melibas jalanan kota dengan kecepatan yang sungguh nauzubillah. Hahahaha..
Dan bersamaan dengan tawa kami itu, bel sekolah pun berbunyi lantang. Membuat perhatian murid-murid pada ke-grasak-grusukkan kami pun teralihkan. Mata-mata pun akhirnya terlepas, enggak lagi memperhatikan aku dan Wawi. Huhh.. untuk beberapa saat aku merasa famous padahal wkwkwk
“Berasa artis enggak lu Wi?” Tanyaku terkekeh seraya mencabut kunci motorku. Wawi hanya tersenyum simpul, namun tiba-tiba ia mengarahkan pandangannya ke atas seraya menggerakkan kepalanya pelan, memintaku untuk mengikuti arah pandangannya.
Dan ketika aku ikut memandang ke atas, aku sejenak mencari-cari apa maksud dan tujuan Wawi memintaku untuk mengikuti arah pandangannya. Hingga akhirnya mataku berhenti ketika menangkap pergerakan di lantai tiga. Tadi di sana sekilas aku melihat Hani, sekilas saja, sebab ketika aku memandang ke arah tersebut dia sudah berpaling dan menghilang dari pandanganku.
Hani.. apakah benar kata Wawi kalau dia mengkhawatirkanku semalaman tadi?
“Nanti ajak ngomong dia jangan lupa..” Wawi berkata dengan santai seraya turun dari motornya. Aku memandangnya dengan senyuman terpaksa, namun pada akhirnya aku toh juga menganggukkan kepala.
“Jangan lupa juga siapin mental lu buat dengerin ocehannya Oman sama Dito, gua enggak akan bisa bantu banyak soalnya..” Lanjut Wawi sembari melepaskan jaket jeansnya, dan seketika saja aku menepuk dahiku.
“Ribet nih pasti..” Sahutku terkekeh, yang oleh Wawi disambut dengan senyuman kecil. Dan ketika aku hendak turun dari motorku, tiba-tiba..
TAPP..
“Aduh duh duh..” Aku reflek memajukan kepalaku dan berkelit ketika kurasakan bagian belakang kepalaku dicengkeram oleh sebuah telapak tangan besar nan kasar. Aku segera menoleh dan mendapati wajah mengerikan Pak Gopur dengan mata melotot sudah berdiri di belakangku.
“Ampun saya sama kamu ya Regan! Tiap hari selalu aja bikin saya esmosi.. hergghh..” Pak Gopur menggerutu dengan menyeramkan.
“Pak sabar Pak.. jangan kaya gitu..” Wawi dengan wajah panik lekas menengahi, dan itu tentu saja langsung membuat Pak Gopur membara api bukan main.
“Apa kamu Wi? Mau belain dia? Kalian itu berdua sama aja, kerjaannya bikin saya senewen terus!” Bentak Pak Gopur lagi dengan emosi tertahan.
“Bukan gitu Pak, Cuma kepalanya Regan itu ada luka, dan barusan Bapak nyengkerem gitu aja. Kesian dikitlah Pak..” Kembali Wawi membelaku, dan rasanya itu langsung membuat emosi Pak Gopur turun perlahan.
Pelan-pelan ia mengangkat kembali telapak tangannya yang tadi digunakan untuk mencengkeram kepala belakangku, memandangi telapak tangannya sendiri dengan heran. Dan hebatnya, seperti terhipnotis, wajah emosi Pak Gopur berangsur-angsur menghilang.
“Darah..” Pak Gopur bergumam sendiri, sebelum kemudian memandangku dengan tatapan heran.
“Muter muter! Cepet!” Bentak Pak Gopur padaku, memintaku untuk menunjukkan bagian belakang kepalaku.
“Lah ada apa sih Pak?” Tanyaku bingunh seraya turun dari motor.
“Itu kepala kamu berdarah kenapa hah? Muka juga kenapa jadi acak kadut kaya gini? Abis kelahi sama siapa kamu, hah? Sini coba liat..” Ujar Pak Gopur dengan wajah khawatir sembari menunjukkan telapak tangannya yang sedikit menyisakan noda merah darah.
Lah? Kepalaku berdarah lagi? Perasaan tadi udah enggak dah.. apa karena kegesek-gesek helm ya?
“Yehh.. malah bengong.. sini coba liat!” Bentak Pak Gopur lagi seraya memutar tubuhku secara paksa, lalu ia menoel-noel rambut belakangku dengan pelan.
“Regan Regan.. ampun Bapak itu ngadepin kamu! Ini kenapa bisa sampe kaya gini? Kamu ngejambret di mana sampe bisa dipukulin masa kaya gini hah?” Tanya Pak Gopur masih dengan nada tingginya. Sialan enggak? Dibilang apa aku barusan? Ngejambret? Dipukulin masa? Aseemmmm..
“Itu Pak.. anu.. apa.. hhhmm..” Aku terbata sembari mencoba mencari alibi untuk kondisiku saat ini. Namun tiba-tiba Wawi mengambil tongkat pembicaraan.
“Jadi gini Pak, semalem Regan ini maen di rumah saya. Terus pas kita lagi ke warung buat beli rokok ada orang mabok yang nyoba malak kita. Tapi kita enggak kasih karena duitnya emang udah kita beliin rokok, alhasil ya kita berantem deh jadinya. Nah.. itu kepalanya Regan kena koprok botol anggur Pak, makanya sampe begitu.” Wawi memberi penjelasan yang sangat-sangat teramat cerdik kepada Pak Gopur, dan sepertinya Pak Gopur percaya-percaya aja mukanya.
“Tapi kok Cuma dia doang yang mukanya jadi dakocan kaya gini? Kamu kok mulus-mulus aja?” Selidik Pak Gopur sembari menatap Wawi dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“Oh itu jelas.. karena saya lebih jago berantemnya. Kalau Regan ini semalem emang rada keteteran, maklum Pak.. kebanyakan main cewek jadi lupa tata cara baku hantam yang baik dan benar.”
CUKKK!!!
Enteng banget Si Wawi ya kalau ngomong, kampreett.. tumben-tumbenan dia berhasil bikin aku emosi kaya gini. Enggak biasa-biasanya. Ini apa roh-nya Wawi ketuker ama roh-nya Dito atau Oman ya? Kok ngegatelin banget alibinya. Bajigur..
“Hhhmmm.. keliatan sih..” Ucap Pak Gopur sembari kembali memperhatikanku.
Sialan.. kelihatan apanya nih? Keliatan kalau aku lebih nolep dibanding Wawi gitu? Atau kelihatan kalau aku terlalu sering main cewek sampe lupa tata cara baku hantam yang baik dan benar? Wuasseemmm..
Tapi aku mau enggak mau ya Cuma bisa nyengir-nyengir kuda, ya abis gimana? Masa aku mau nyangkal alibi Wawi barusan? Apa enggak bakal jadi panjang nanti? Hahh!!
“Yaudah.. kalau gitu kamu antar dia ke ruang UKS. Nanti biar saya minta tolong Bu Risma buat ngobatin si badung ini.” Perintah Pak Gopur pada Wawi, yang oleh kawanku itu langsung disambut dengan anggukkan kepala.
Bu Risma? Aduh.. lemes aku dengernya. Bukan apa-apa nih, Bu Risma itu guru agama di sekolahku. Udah lumayan sepuh, dan tahu sendiri kan nanti nasibku kaya gimana? Habis aku pasti diceramahin ini. Ini rasanya anjing banget pasti, aarrggghh
“Nganter aja loh Wi, abis itu kamu langsung balik ke kelas..” Sambung Pak Gopur seraya berlalu begitu saja meninggalkan kami. Aku membuang napasku pasrah, yaudahlah mau gimana lagi yakan? Siap-siap nebelin kuping aja udah.
Aku dan Wawi saling berpandangan ketika melepas kepergian Pak Gopur. Bedanya, Si Wawi ini memandangku dengan senyum-senyum mesem, lah aku memandangnya dengan mata malas dan wajah ketekuk.
“Yang penting kan selamet Men..” Ujar Wawi seraya berjalan lebih dulu meninggalkanku.
“Yeh kampret..” Makiku sebal sembari melangkahkan kaki menyusulnya. Kami pun berjalan menuju ruang uks sekolah kami yang terletak di lantai dua, sederet dengan ruang guru. Jadi kami langsung mengambil tangga terdekat dengan ruang guru, yang enggak perlu ngelewatin kelas kami.
Wawi menjalankan amanah Pak Gopur dengan penuh kejujuran, ia benar-benar hanya mengantarku saja ke ruang UKS, setelahnya ia pamit untuk ke kelas.
“Thanks Men..” Seruku ketika Wawi sudah berjalan meninggalkanku. Ia tak menjawabku dengan kata-kata, melainkan hanya mengangkat jempolnya ke udara tanpa menolehkan wajah.
Sok cool banget emang kawanku itu ckckck.. maklum, vokalis kami dia itu, harus cool biar 4arah makin keliatan karakternya hahaha
Ya tiap lumayanlah, aku bisa rebah-rebahan di ruang UKS, tanpa perlu mengikuti pelajaran MTK pagi ini yang pasti akan membuat kepalaku cekat cekot enggak karuan hehehe.
Aku pun masuk ke dalam ruang UKS, langsung naik ke atas ranjang, mencari posisi ternyaman untuk meluruskan punggungku. Aahhh.. mantap.. hehehe..
Gila ya.. dalam tiga hari ini aku udah dua kali rebahan di sini. Baru hari rabu aku tepar dan dirawat di sini, eh sekarang aku udah rebahan di sini lagi. Kayanya bisa bikin member ini aku lama-lama. Member UKS.. hehehe
Semenit dua menit, belom ada yang dateng. Lima menit tujuh menit, masih belom ada yang dateng juga. Waelah.. sibuk kali Bu Risma yang katanya Pak Gopur akan merawat lukaku? Ah biarlah.. mending meremin dikit yakan? Lumayan semenit dua menit, secara tadi malem kan Cuma tidur beberapa jam doang setelah lelah bertempur dengan Budeh Sekar hehehe.
“Hoooaaammss..” Aku menguap lebar seraya mulai memejamkan mataku. Aihh.. mantep ini, mantep banget malahan.
.
.
.
POV3D
Dering bel masuk sudah berlalu sekitar sepuluh menit yang lalu, namun Bu Risma, guru Agama yang seharusnya mengisi jam pertama belum kunjung masuk. Membuat suasana kelas yang berada di lantai tiga gedung sekolah SMK LUHUR PURANTARA itu terlihat ramai dan gaduh. Namun dari segala kegaduhan itu, di meja yang berada di baris terdepan deret paling pinggir dekat jendela, seorang gadis muda memandang kosong kebun kosong yang terlihat meranggas di bawah sana.
Hatinya gundah gulana didera keresahan yang membuat napas sedikit susah dihela, ia sesekali menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan kesedihan hatinya yang begitu mampu untuk mengundang tangisan dari dalam dirinya, namun sekuat tenaga ia menahan itu semua.
Ia merasa tak elok jika menangis di kelas, terlebih di depan teman-temannya. Dari itu ia berusaha sekuat tenaga meredam kesedihannya sendiri. Dan seolah mengerti akan suasana hati gadis manis itu, teman satu meja gadis tersebut serta beberapa temannya yang lain berusaha memberikan ruang untuk gadis tersebut, berusaha memberikan gadis itu ruang sendiri, tanpa bermaksud mengacuhkan suasana hati gadis manis dengan rambut hitam tergerai anggun itu.
Dan gadis itu tak lain tak bukan adalah Maharani Sukma, atau teman-temannya biasa memanggil ia Hani saja. Dan alasannya murung pagi ini adalah Regan, sahabat dekatnya yang sedari malam menghilang tanpa kabar. Semalaman Hani diliputi kekhawatiran yang maha pilu, ia merasa bersalah, sebab semalam Regan sempat bertamu ke rumahnya, namun Hani memilih untuk menutup diri, enggan menemui sahabatnya itu sebab suasana hatinya yang sedari sore kemarin sedang tidak karuan.
Ia bisa melihat betul betapa kecewa Regan ketika hanya bisa bertemu dengan Ibunya, ia bisa melihat raut sedih pemuda itu ketika berusaha memulas senyum keterpaksaan, Hani bisa melihat itu semua karena ia mengintip dari tirai kamarnya yang gelap. Ia mengakui, bahwa semalam ia sudah kelewatan karena tidak menemui Regan, karena tidak menyambut kedatangan sahabatnya, karena tidak mempersilahkan sahabatnya itu bertandang menemuinya, ia mengakui bahwa ia sudah amat kelewatan, dan ia menyesali itu semua.
Karena beberapa jam setelahnya, ia mendapatkan telefon dari Teh Arum, selaku asisten rumah tangga di rumah Regan yang menanyai keberadaan pemuda itu kepadanya. Ketika ia menerima telefon dari Teh Arum, itu sudah hampir setengah sebelas malam, di mana ia hendak beranjak tidur setelah selesai dengan kesedihannya. Namun mendengar bahwa Regan belum kembali ke rumah tentu saja membuat Hani mengurungkan niat awalnya untuk tidur, ia langsung mencoba menghubungi Regan melalui bbm Messenger, namun hanya chat yang ia kirim hanya menampilkan ikon ceklis, tanda belum sampai pada penerimanya.
Ia pun coba menelepon nomor Regan, namun berkali-kali ditelepon, nomor sahabatnya itu tetap tidak bisa dihubungi, hanya suara operator yang memberikan kabar bahwa nomor sahabatnya itu tengah tidak aktif. Dan itu tentu saja menambah rasa khawatirnya. Namun ia tak menyerah, ia mencoba menghubungi satu persatu sahabat sekelas Regan, yakni Wawi, Dito dan Oman yang kebetulan memang sudah berteman di bbm. Ia berharap Regan tengah bersama mereka, atau minimal tengah bersama salah satu dari mereka.
Namun kembali kekecewaan yang harus ia telan, kekhawatiran yang ia coba redam malah semakin membuncah, Regan ternyata tidak bersama mereka juga. Setelah itu yang bisa Hani lakukan hanyalah mencoba untuk terus menghubungi Regan, berkali-kali, entah berapa puluh kali ia bolak-balik dari jendela Bbm-nya ke Bar panggilan. Namun semua nihil, Regan tetap tak bisa dihubungi.
Kekhawatiran dan tangis tertahan, hanya itu yang mengisi malam gadis muda itu. Bahkan ia sampai tertidur dalam kesedihan dan kekhawatirannya, dengan layar handphone yang masih menyala, ia tertidur dalam keresahannya. Bahkan hingga pagi menjelang, Regan belum kunjung bisa dihubungi. Ketika ia coba menghubungi Teh Arum pun sama saja, Regan belum pulang juga.
Gadis itu pun hanya bisa meratap dan menyesal, andai semalam ia menerima kunjungan Regan, mungkin tidak akan seperti ini situasinya. Ia berangkat ke sekolah dengan wajah sendu dan kantung mata yang sedikit menebal, hasil menangis semalam. Barulah Sekira pukul setengah tujuh lebih, ia akhirnya mendapatkan titik terang dari kegelisahannya.
Wawi, salah satu sahabat sekelas dari Regan mengabarinya tentang keberadaan Regan, dan tak terkira betapa lega laju napasnya ketika mendengar kabar itu, bahagia bukan main sampai air matanya tanpa sadar menetes begitu saja. Ia menunggu bak patung selamat datang di pusat kota, berdiri lama di pembatas koridor depan kelasnya, memperhatikan lamat-lamat areal gerbang, menunggu kedatangan Regan yang menurut Wawi berangkat ke sekolah bersamanya.
Satu demi satu murid yang datang ia perhatikan, matanya awas dan tak pernah lepas dari ambang gerbang masuk. Hingga ketika jarum jam di tangannya menunjuk ke pukul 07.14, ia melihat Pak Gopur selaku guru BK sekolahnya membuka gerbang lebih lebar, dan dengan cepat dua motor yang ditunggu-tunggu kedatangannya oleh Hani pun melesat masuk dengan bisingnya.
Senyum haru gadis itu kembali menguar, air matanya menetes kembali dengan harunya. Terlebih melihat Regan dalam kondisi baik-baik saja, terlihat riang bertukar tawa dengan Wawi di bawah sana. Namun setelah itu, rasa bersalah akan perlakuannya semalam kembali hinggap, ia segera menarik tubuhnya dari tepian pembatas koridor, tak siap jika harus bersitatap dengan pemuda yang semalam ia acuhkan dengan sebegitu kejamnya.
Ia langsung berjalan masuk ke kelas, sembari memberi kabar kepada Teh Arum akan kehadiran Regan di sekolah. Kemudian duduk menyendiri dengan tubuh bersandar ke jendela, menatap kosong rimbun belukar dan pepohonan di bagian belakang sekolahnya. Tenggelam dalam lamunan parau kegelisahannya.
“Han..” Lamunan gadis itu buyar tatkala ia rasakan panggilan plus guncangan di bahunya, ia menyeka matanya cepat, dan langsung menoleh ke arah Laras, teman sebangkunya.
“Iya Ras kenapa?” Tanya Hani dengan senyum mengembang namun suaranya terdengar parau.
“Temenin Laras manggil Bu Risma mau enggak?” Tanya kawan gadis itu hati-hati. Laras adalah salah satu sahabat dekat Hani, dengan status di kelas adalah sekertaris, sedang Hani adalah bendahara kelas.
“Emang belum dateng juga?” Tanya Hani mengedarkan pandang. Laras pun menggeleng pelan, gadis berkerudung sahabat Hani itu terlihat agak tak enak telah mengganggu.
“Yaudah yuk.. sekalian gue juga mau ke toilet..” Tukas Hani seraya berdiri, dan hal tersebut langsung membuat Laras tersenyum sumeringah. Tentu saja alasan ke toilet yang dimaksud Hani hanyalah bohong belaka, ia hanya tak ingin melihat sahabatnya itu merasa tidak enak padanya.
Mereka pun akhirnya berjalan keluar kelas dan langsung menuju tangga sebelah kiri gedung sekolah ini, jalur terdekat jika hendak ke ruang guru. Selain itu, mereka tentu tak perlu melewati kelas Regan yang berada di lantai yang sama dengan ruang guru.
“Hani kenapa?” Tanya Laras hati-hati ketika mereka tengah menuruni tangga.
“Enggak apa-apa, Cuma kurang tidur aja semalem.” Elak Hani dengan menabur senyum di bibirnya.
“Regan ya?” Tanya Laras dengan hati-hati. Hani sejenak menghentikan langkahnya, terkejut dengan tebakan sahabatnya itu.
“Apasih Ras.. kok malah ke Regan.. enggak ah.. biasa aja. Semalem gue enggak bisa tidur, makanya rada lemes..” Sanggah Hani seraya melanjutkan langkahnya.
Terlihat Laras menghela napasnya dalam, tak lagi berniat melanjutkan pertanyaannya. Melempar senyum dan mengikuti langkah Hani menuruni anak tangga demi anak tangga gedung ini. Hingga mereka pun tiba di lantai dua dan langsung mengarahkan kaki ke ruang guru, mencari Bu Risma selaku guru Agama yang harusnya mengajar mereka di jam pertama ini.
“Haduhhh.. Sakit apa Bu Risma memang? Kok dadakan banget?”
Begitu Hani dan Laras mendekat ke pintu ruang guru, terdengar suara Pak Gopur lantang bersuara. Membuat Laras seketika menahan lengan Hani. Gadis berkerudung itu sedikit menciut nyalinya ketika mendengar suara Pak Gopur yang terdengar menggelegar dari dalam sana.
“Apa sih Pak Gopur ini, Wong Bu Risma udah ngabarin dari jam 6 tadi kok di grup bbm. Bapak aja kali yang terlalu sibuk sama murid-murid, jadi enggak sempet baca pesan di grup.” Terdengar sahutan lembut dari dalam sana, suara guru perempuan menimpali ucapan Pak Gopur.
Hani dan Laras berpandangan, mereka mengangguk. Sama-sama mengetahui Ikhwal absennya Bu Risma hari ini dikarenakan sakit.
“Terus siapa yang ngurusin dong? Saya soalnya ada jam penjaskes di kelas 2 Ap-1, ini juga udah telat nih..” Tukas Pak Gopur dari dalam sana, Hani dan Laras berpandangan, alis mereka sama-sama tertaut, bahu mereka sama-sama terangkat.
“Ya enggak tahu, saya juga ada quis soalnya di kelas 1 AK-4..” Terdengar suara guru perempuan menyahut dari dalam sana, Laras dan Hani mengenali suara itu, itu suara Bu Lastri, guru Akuntansi sekolah ini.
“Duh.. Si Regan ini bikin bingung dan khawatir aja pagi-pagi..” Pak Gopur terdengar menggelisah pelan.
Mendengar nama Regan disebut dalam obrolan, seketika saja mata Hani langsung melebar, kakinya langsung melangkah mantap menuju pintu ruang guru di sampingnya, masuk begitu saja tapa mengetuk pintu dan mengucap salam, mengabaikan dan meninggalkan Laras di belakangnya yang terlihat kebingungan.
“Regan kenapa Pak? Bu?” Hani bertanya dengan raut khawatir. Dan kehadiran Hani yang tiba-tiba itu tentu saja membuat Pak Gopur maupun Bu Lastri yang tengah mengobrol sambil menyiapkan absen terperanjat kaget. Di belakang Hani muncul Laras yang mengekor bingung.
“Aduh Hani.. kamu itu.. bikin kaget aja..” Gumam Bu Lastri seraya melanjutkan menyiapkan absennya. Melihar respon Bu Lastri yang pasif, Hani pun mengalihkan pandangannya ke Pak Gopur.
“Regan kenapa Pak?” Tanya Hani sembari mendekat.
“Aduh Hani.. kamu itu tenang dulu deh, jangan bikin Bapak tambah bingung.” Tukas Pak Gopur berusaha menurunkan intonasi suaranya. Hani mengepalkan tangannya, entah mengapa perasaannya mendadak teras gelisah.
Laras yang berada di belakang Hani pun mendekat, dipegangnya bahu sahabatnya itu dan diusap lembut.
“Sabar dulu Hani..” Ucap Laras menenangkan Hani yang terlihat sedikit kalut.
“Tapi Ras..” Hani hendak menyanggah, namun oleh Laras segera dipotong kembali.
“Tenang dulu Hani, tenang ya..” Laras berusaha memberikan pengertian pada Hani. Dan itu sepertinya berhasil, Hani mulai menarik napasnya lebih dalam, berusaha menenangkan dirinya.
“Maaf Pak.. memangnya Regan kenapa ya? Kok kayanya Bapak bingung banget?” Laras bertanya lembut pada Pak Gopur, auranya yang tenang seolah membawa ketenangan juga pada ruangan ini.
“Iniloh.. Jadi Si Regan itu dateng ke sekolah dengan kondisi biru-biru gitu mukanya, terus belakang kepalanya kaya berdarah gitu, kata Si Wawi kena pukul botol kalau enggak salah. Jadi Bapak suruh di ke UKS dulu sebelum masuk kelas, niatnya Bapak mau minta tolong Bu Risma buat ngurusin Regan, tapi Bu Rismanya ternyata enggak masuk. Sedang Bapak ada kelas, Bu Lastri juga ada kelas, dan guru-guru yang lain udah pada masuk kelas masing-masing.” Terang Pak Gopur dengan nada tenang, dan seketika itu juga, Hani benar-benar menjelma bak jelangkung pagi ini.
Yang datang enggak dijemput, pulang pun enggak diantar. Datang tanpa permisi, pergi juga nyelonong saja. Meninggalkan Laras begitu saja.
“Duh..” Laras menggumam bingung sendiri.
“Kenapa Si Hani itu?” Gumam Pak Gopur juga, ikut bingung melepas kepergian Hani yang sudah menghilang dari pintu ruang guru.
“Oh iya.. Bu Risma kan ada jam di kelas kamu ya Ras? Yaudah kalau gitu biar Hani aja yang ngobatin Regan Pak, toh mereka kan kayanya pacaran.” Bu Lastri yang dari tadi sibuk dengan absensinya ikut buka suara, siap meninggalkan ruang guru.
“Aih.. enggak kepikiran saya Bu.. bodoh banget ya saya?” Pak Gopur berkata seraya menepuk dahinya sendiri.
“Eh itu Pak.. anu.. mereka enggak pacaran kok..” Laras segera meluruskan pembicaraan, karena memang setahu gadis berkerudung itu, Hani dan Regan hanya bersahabat saja, tidak berpacaran, atau mungkin belum di benaknya.
“Sudah sudah.. biar Si Regan diurus sama Hani, ini Bu Risma ngasih catatan buat kelas kamu. Bukunya ambil ada di meja Bu Risma ya.” Bu Lastri menyerahkan catatan kecil di note berwarna hijau stabilo, menyerahkannya pada Laras dan berlalu pergi. Laras menerimanya dengan kedua tangan, dan mengangguk pelan.
“Ya sudah, coba cari bukunya dulu.. Bapak tungguin..” Sambung Pak Gopur. Laras mengangguk dan segera mencari buku yang dimaksud dalam catatan tersebut di meja Bu Risma, dan setelah menemukannya, ia pun pamit undur diri dari ruangan tersebut.
Pak Gopur melepas kepergian muridnya itu dengan senyum, seraya ikut keluar dari ruang guru, berjalan ringan menyongsong jam pelajarannya. Sudah tenang hatinya karena Regan pasti berada dalam perawatan Hani.
.
.
Hani berdiri mematung di samping ranjang rawat yang ada di dalam ruang UKS, kedua tangannya erat menutup bibir, berusaha meredam suara tangisnya yang sudah pecah semenjak ia mendengar penjelasan Pak Gopur tentang kondisi Regan tadi.
Dan benar saja, di hadapannya kini, pemuda itu tengah terbaring dengan mata terpejam. Napasnya tenang sekali, namun wajahnya benar seperti apa yang dikatakan Pak Gopur, sedikit membiru di beberapa bagian. Terutama di bagian sekitar hidung dan bibirnya.
“Lo kenapa sih Nggan? Kenapa bisa kaya gini sih Bebel?”
Hani membatin lirih di dalam hatinya, ini baru luka yang terlihat saja. Ia belum mengecek bagian kepala belakang Regan yang menurut Pak Gopur berdarah tadi. Namun hal ini sudah cukup untuk membuat dada perempuan itu sesak bukan main. Rasa bersalah, kesedihan dan keresahannya semalaman ini seperti kembali dalam gelombang yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Kekhawatirannya seolah menjelma menjadi sebuah kenyataan, sahabatnya itu ternyata tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Gadis muda itu mendekat, dengan jemari bergetar ia menjulurkan telapak tangannya, menyentuh pelan pipi Regan yang terlihat larut sekali dalam pejamnya.
“
Nggan.. maafin gue semalem ngindarin lo.. gue nyesel.. harusnya gue enggak perlu bersikap kaya gitu.. hikss..” Hani terus membatin dan membatin, dielusnya lembut pipi Regan. Diredamnya suara tangisnya sebisa mungkin.
“Hhhmm..” Regan menggeliat seraya memiringkan kepalanya, hal itu refleks membuat Hani menarik tangannya dari pipi Regan. Tubuhnya terpaku kaku.
“Dia Cuma tidur itu, enggak pingsan kok.”
Hani terperanjat dan segera memutar tubuhnya dan mendapati Wawi sudah berada di ambang pintu ruang UKS ini, pemuda berperawakan tinggi itu menenteng plastik bening berisikan sterofoam makanan.
“Regan kenapa Wi? Kenapa bisa sampe kaya gini?” Hani bertanya dengan lirihnya, kedua tangannya sibuk mengusapi pipi
“Gua juga engak tau. Dia mapasin gua di jalan pas mau berangkat, mau minjem seragam katanya. Dan pas ketemu ya keadaannya udah kaya gitu.” Jawab Wawi santai seraya berjalan ke meja kecil yang berada di samping ranjang di mana Regan nyenyak tertidur.
Hani meredam hati sendiri, ia tahu betul bahwa perkataan Wawi adalah sebuah kejujuran. Ia cukup mengenal kawan sahabatnya itu. Dari itu, ia tahu bahwa ia takkan mendapatkan jawaban atas kondisi Regan saat ini dari Wawi. Hatinya membatin lirih, berkalang sedih yang begitu merasuk ke ulu hati.
“Kenapa bisa sampe kaya gini sih Nggan? Lo ngapain aja semaleman emang?” Hani bertanya di dalam hati.
“Itu gua beliin bubur Mang Dudung, gua enggak tau dia udah sarapan apa belom soalnya.” Ujar Wawi seraya berjalan menuju pintu ruang UKS ini.
Sedang Hani hanya terpekur diam, batinnya berkecamuk bukan main saat ini. Yang ada di kepalanya hanya mengapa Regan bisa dalam kondisi seperti ini.
“Han..” Wawi menghentikan langkahnya, memanggil Hani tanpa menolehkan wajah.
Hani segera menatap punggung Wawi yang beridir di ambang pintu, menunggu kata-kata selanjutnya dari pemuda itu.
“Gua titip Regan..” Tukas Wawi pendek seraya membuka pintu dan menghilang dari pandangan Hani. Meninggalkan gadis muda itu terpekur sendiri dalam hati.
Menitipkan Regan padanya? Kata-kata Wawi benar-benar pendek saja sebenarnya. Namun itu justru sangat menjaram ke inti perasaan Hani. Sebab Wawi bukanlah orang pertama yang melafalkan kalimat tersebut pada Hani, jauh sebelum ini. Ibu dan Ayah Regan pun pernah mengucapkan hal yang sama kepadanya. Menitipkan Regan padanya.
Hani menundukkan wajahnya, mulai kembali terisak. Betapa ia merasa amat gagal mengemban amanah, betapa ia merasa bahwa selama ini justru ia terlalu sering menyakiti Regan. Betapa selama ini malah dia lah yang selalu dilindungi oleh sahabatnya itu. Ingatan Hani pun terbang melesat, mengenang kejadian beberapa tahun lalu ketika Regan menyelamatkannya dari marabahaya.
Masa itu, masa ketika ia dan Regan masih berada di bangku kelas 2 SMP. Memori di mana ia melihat betapa menyeramkannya seorang Regan untuk pertama kali. Regan yang beringas dan kejam, yang begitu jumawa membabat belasan orang sekaligus hanya untuk menyelamatkannya.
Tidak, Hani tidak takut sama sekali dengan sisi lain sahabatnya itu. Ia hanya merasa bersalah, karena ia lah yang sudah menjadi pemicu keberingasan Regan saat itu, ia merasa bahwa ialah yang sudah membuat Regan harus terbuang jauh ke antah berantah setelah kejadian itu. Hani merasa bersalah, dan amat bersalah akan kejadian itu. Dan rasa bersalah itu tak bisa ia pangkas barang sedikit pun.
“Mmmmm.. hhhhhh..” Regan kembali bergumam dalam tidurnya, membuat ingatan Hani seketika kembali ke titik di mana ia berada saat ini. Ia memutuskan untuk mencukupkan kesedihannya ini, memutuskan untuk menyimpan segenap rasa bersalahnya, ia harus melakukan sesuatu pada sahabatnya itu.
Hani berjalan ke lemari besi tempat segala keperluan medis sederhana disimpan. Ia ambil baskom besi, handuk kecil, serta kotak P3K terbesar dari lemari itu. Ia bawa dan letakkan di meja samping ranjang. Lalu hanya dengan membawa baskom ia berjalan ke sudut ruangan, menyalakan dispenser yang memang tersedia di sana. Hendak membuat air hangat untuk membersihkan luka-luka dari sahabatnya itu. Utamanya luka di kepala Regan, yang menurut Pak Gopur mengeluarkan darah sebab terkena hantaman botol.
Setelah itu Hani berjalan kembali ke sisi ranjang, mencelupkan handuk ke dalam baskom yang sudah ia isi air hangat. Memerasnya lembut, dan mulai mengompres lebam biru yang ada di sekitar hidung Regan. Sesekali Regan meringis dan menggeliat kesakitan ketika Hani menekan-nekan lembut lebam biru di pangkal hidung sahabatnya itu.
Sesekali juga air mata menetes dari kelopak mata Hani. Merembes keluar dan tidak berusaha ia hapus, yang ada di pikirannya saat ini hanyalah merawat Regan sebaik dan selembut mungkin. Ia harus menebus kesalahannya semalam, karena sudah mengacuhkan Regan begitu saja, ia ingin menebus itu semua.
Setelah selesai dengan hidung, Hani pun melihat lebam lain, itu berada di bagian atas leher sahabatnya tersebut, bekas cekikan, dan itu membuat Hani harus menahan sesak di dadanya lagi.
“Lu ngapain aja sih semaleman Nggan? Lu berantem sama siapa sampe kaya gini?” Hani membatin lagi dan lagi.
Setelah selesai mengompres leher ia pun berpindah ke bagian belakang kepala Regan, posisi kepala Regan yang memang sudah tertoleh kesamping mempermudah Hani untuk mengecek bagian di mana luka Regan berada. Dan betapa tercenungnya gadis itu ketika ia mengelap rambut bagian belakang Regan, handuk putih di tangannya sedikit menampilkan warna merah muda, pertanda benar adanya apa yang dikatakan Pak Gopur tentang luka di kepala Regan.
Hani menahan sesak tangis di dadanya, terus membersihkan bagian kepala belakang Regan dengan lembut dan telaten. Bilasan demi bilasan, hingga air di baskom besi pun mulai memerah. Hani terus menguatkan hatinya, dan setelah di rasa cukup. Ia menyisihkan baskom itu, mengambil kotak P3K untuk membalut luka tersebut.
Kini dengan hati-hati ia memiringkan tubuh Regan, agar ia bisa mengobati dengan maksimal luka di belakang kepala pemuda tersebut. Beruntungnya Hani hafal betul sifat Regan jika sudah tertidur, sahabatnya itu akan lelap sekali dan sulit dibangunkan. Setelah berhasil memiringkan tubuh Regan, Hani pun mengambil kapas putih, dibubuhkan sedikit cairan alcohol dan mulai menyisihkan helaian-helaian rambut Regan, kemudian kapas itu pun ditekan-tekankan ke bagian kulit kepala Regan.
Setelah itu ia menutup bagian belakang kepala Regan dengan kapas dan kain kasa yang sudah dibubuhi obat merah, kemudian ia balut dengan perban yang dilingkarkan ke kepala sahabatnya itu. Ini adalah bagian sulitnya bagi Hani, sebab ia harus melilitkan perban di kepala Regan yang nyenyak tertidur, mau tidak mau ia harus mengangkat sedikit kepala sahabatnya itu, memeluk kepala Regan dengan hati-hati dan mulai melilitkan perban dengan susah payah di sana.
Bisa ia dengar jelas dengkuran halus sahabatnya itu, bisa ia tatap dengan sebegitu dekat wajah bagian samping Regan yang entah mengapa pagi ini begitu ia rindukan. Dan lagi-lagi hal itu berhasil membuat air mata Hani meluncur kurang ajar ke pipinya, lalu ke dagunya, dan jatuh menetes di kening Regan.
“Kenapa lo bebel banget sih Nggan.. hiks..” Tanpa sadar kata-kata keluar dari bibir Hani dengan penuh getaran perasaan. Buah dari ketulusan yang begitu dalam keluar dari inti perasaannya.
Dan setelah perjuangan yang melelahkan, Hani pun selesai dengan acara lilit melilit kepala Regan. Ia beri plester sebagai perekat sambungan perban tersebut. Kemudian kembali di letakkan kepala Regan di atas bantal dengan hati-hati. Dielusnya pelan pipi Regan.
“Dasar kebo! Badan begini aja masih bisa tidur pules lo.. hiks..” Hani berkata dengan pelan, tak lagi takut bila ia akan membangunkan Regan.
Gadis itu kini tengah membereskan sisa-sisa perlengkapan P3K-nya. Meletakkannya kembali ke tempat semula, lalu berjalan ke luar untuk membuang air di baskom besinya.
Ia hela napasnya berkali-kali, ia seka pipinya berulang kali. Hatinya benar-benar lirih dalam lahunan lara yang bercampur gelisah. Namun di saat bersamaan ia merasakan kelegaan. Ia lega karena Regan sudah ada bersamanya lagi saat ini, walau dalam kondisi tidak baik, setidaknya ia ada di sini, bersamanya, tidak hilang tanpa kebar seperti semalaman tadi.
.
.
.
POVREGAN
TRING TRIIIIIIIIINNNGGG...
TRING TRIIIIIIIIINNNGGG...
TRING TRIIIIIIIIINNNGGG...
Hhhmmm.. berisik banget sih ah! Enggak tau orang baru merem apa? Herman dah. Masih berat ini mata. Baru juga pules, udah harus kebangun aja gara-gara suara bel panjang ini. Padahal baru siap-siap masuk ke alam mimpi ini aku pasti, jadi gagal kan aarrggghh..
Baru tidur udah harus kebangun tuh rasanya gimana ya.. rasanya.. anjing banget. Hhooaammss..
Eh bentar, tuh bel nya panjang amat? Berapa kali itu? Tiga kali ya? Lah.. yakali udah jem istirahat aja?
Aku pun akhirnya membuka mataku lebar-lebar, kudapati tubuhku berbaring miring menghadap tembok putih ruang UKS-ku. Pantesan pegel, tidurku miring tapi enggak dikasih guling, ya kurang manteplah. Aku pun perlahan membaringkan tubuhku, dan seketika itu juga mataku langsung melotot menatap langit-langit ruang UKS ini. Tubuhku segera terduduk seraya tanganku meraba perban yang sudah terpasang di kepalaku.
Lah.. sejak kapan aku diperban kaya gini? Siapa juga yang udah masang perban ini? Perban yang melingkari kepalaku ini, perban penahan untuk kapas yang menutup luka di belakang kepalaku. Oh iya, pasti Bu Risma lah. Eh tapi, kok aku enggak berasa ya? Apa karena saking pulesnya? Woilah.. kebo juga ya aku ternyata hahaha
Eits.. apaan nih? Apa ini yang diplastikin? Hhhmm.. mantep ini kayanya.
Aku mengambil plastik berisikan sterofoam di atas meja kecil, kukeluarkan isinya dari plastik, kubuka penutupnya dan.. wooohhhhh..
Bubur Mang Dadang coy!! Mantep ini.. siapa ini yang beliin? Wooo.. mendadak laper ini ckckck..
Tapi bentar deh, aku haus banget kok ini rasanya. Aku pun meletakkan dahulu bubur favoritku itu di meja, turun dari ranjang dan berjalan menuju dispenser. Ini gelasnya mana ya? Masa iya aku minum pake baskom?
Aku pun clangak-clinguk, duh enggak ada gelasnya coy? Gimana ini? Aus beneran aku ini. Aseeemmm..
Eh tapi kan aku sendirian ya? Jadi ngapa aku pake bingung? Langsung ajalag gaskeuunn..
Aku pun berjongkok dan mendongakkan sedikit kepalaku, memosisikan mulutku yang terbuka di bawah keran berwarna biru dispenser ini, kemudian mulai kutekan gagang keran tersebut ke atas. Dan air pun langsung mengalir keluar, membasahi rongga mulut dan tenggorokanku, mengalir terus.. sampai jauh.. oh..
Glek.. glek.. glek.. aaahhh.. mantap..
“ANJING JEMBER BANGET LU ORANG NYET!!”
CUKK!! Itu suara Dito anjritt..
Aku melirikkan mataku ke arah pintu dan mendapati tiga bayangan besar berjalan masuk dari sana. Perlahan tekananku pada keran dispenser melemah, air yang mengucur pun susut pelan-pelan.
Anjing.. sialan.. enggak tepat banget sih nongolnya mereka-mereka ini!
“Assuuu.. bener-bener enggak ada adab dah lu!” Makian berikutnya kembali datang ketika aku refleks menghentikan kegiatanku, tengah mengelap bibirku. Itu dari Oman, si gempal cepak yang tiap ocehannya membangkitkan gairahku untuk menempeleng kepalanya.
“Udah udah.. enggak dikokop juga kok elah..” Kini Wawi buka suara, membelaku seperti biasa.
Aku bangkit dengan raut salah tingkah sembari menggaruk-garuk kepalaku. Sedang ketiga kawanku sudah berdiri di sekitar ranjang. Oman bahkan sudah naik ke atas ranjang, langsung rebahan.
“Hehehe.. sorry.. gua aus banget soalnya, tapi enggak ada gelas..” Ujarku seraya berjalan mendekat ke arah tiga kawanku itu.
“Duduk lu sini..” Dito menyodorkan kursi kayu yang biasa digunakan untuk menunggui “pasien” di ruang UKS ini. Nadanya enggak ngenakin, bikin aku tau bakal ke arah mana pembicaraan setelah ini.
Aku pun duduk di kursi tersebut, Wawi lekas menyodorkan bubur yang tadi hendak ku santap plus sendok plastiknya. Setelah itu ia berdiri merapat ke tembok, bersandar di sana. Sedang Oman bangun dari rebahnya, duduk bersila di atas ranjang, sementara Dito meletakkan sweater nya di ranjang lalu merapat ke meja, berdiri nyender di sana.
“Kemana lu semalem? Bikin rame bbm gua aja lu asuuu..” Oman berkata dengan mata dipicingkan. Aku menghela napas sejenak, fokus mengaduk buburku dulu.
“Tau lu, bikin kita-kita pusing aja Anjirrr..” Dito menimpali perkataan Oman. Aku memandangi mereka, memasukan suapan pertama ke mulutku. Hhhhmm.. enyaaakkk.. walaupun udah dingin sih sebenarnya..
“Jadi gini.. hhmm.. semalem.. nyaamm..” Aku mencoba menjelaskan sembari mengunyah bubur nikmat di dalam mulutku. Gila sih.. rasanya udah lama banget aku enggak ngerasain bubur ini.
Aku pun mengarang cerita tentang kemana aku semalam. Aku bilang aja kalau semalam aku itu makan ke warung soto ceker yang di seberang jembatan (ini aku enggak terlalu bohong kan?). Lalu pas perjalanan pulang ban Si Kopet bocor, terus pas lagi dorong motor nyari tambel ban malah aku ketemu orang mabok yang mintain aku duit (ini terinspirasi dari alibinya Wawi tadi, modif dikit aja). Terus aku berantem, hapeku kebanting sampe pecah layarnya dan mati, terus aku ditolong sama warga.
Terus aku bilang aja kalau aku dibawa ke rumah RT setempat buat diobatin, tapi karena di sekitar tkp tempat tambal ban Cuma ada satu, dan itu pun yang punya udah pulang, jadi aku harus nunggu sampe pagi sambil istirahat. Beeuuhhh.. bubur Mang Dudung emang gila efeknya, aku sampe bisa mengarang alibi secaem ini lho. Ini kayanya karena efek irisan daun seledrinya ini, langsung bisa menyegarkan otakku.
“Terus kenapa elu enggak minjem hape buat ngasi kabar? Kalau lu ngabarin kan gua gua pada bisa jemput lu, jadinya enggak ada yang khawatir Cuk!” Oman menimpali kisah karangan yang tengah aku bacakan dengan raut wajah sebal. Aku diam sejenak, menelan kunyahan terakhir bubur Mang Dudung yang sudah tandas kusantap.
“Gua kan enggak apal nomor lu lu pada Coyy.. gimana ngabarinnya coba? Orang nomor nyokap bokap sama nomor gua sendiri aja gua enggak apal..” Jawabku cepat seraya bangkit dan memasukkan sterofoam kosong bekas makanku ke plastik, kemudian dengan sigap Wawi menendang pelan tong sampah kecil di dekatnya, mendekatkan tong sampah itu ke arahku. Lalu kumasukan sampah bekas makanku ke sana.
“Gini nih.. bikin gua bawaannya pengen berkata kasar aja sama lu nyet..” Timpal Dito seraya berjalan melewatiku.
“Yeh ngomong tinggal ngomong juga, nih.. kasarrr..” Sahutku acuh, seacuh Dito yang terus berjalan ke lemari penyimpanan kemudian menarik rak paling bawah dari lemari penyimpanan perkakas ruang UKS ini. Kemudian ia melemparkan air mineral kemasan gelas ke arahku.
Tap..
Aku menangkapnya dengan sigap. Lah kampret ya? Tau ada aqua gelas mah aku enggak usah jongkok-jongkok Cuma buat minum kaya tadi. Bajingan..
“Dari itu makanya gua minta maaf banget ama lu lu pada. Wawi udah cerita tadi tentang lu semua yang nyariin gua keliling malem-malem. Asli.. gua enggak enak banget bikin lu semua susah.. maapin gua banget Men..” Haturku tulus tanpa berbohong di bagian ini. Ketiga kawanku saling berpandangan, dan akhirnya sepakat memberi anggukkan.
“Terus orang yang malakin lu itu gimana?” Tanya Dito menegakkan posisi berdirinya.
“Iya Cuk.. pulang sekolah kita 'balikin' lah ayo!” Seru Oman berapi-api.
Sialan.. ngebalikin apaan? Orang itu Cuma tokoh fiksi karanganku kok.
“Udahlah.. udah beres juga, udah dibawa ke polisi mereka ama warga.” Sahutku cepat seraya merobek pinggiran gelas aqua-ku, meneguknya santai.
“Yah anjing enggak seru!” Gerutu Dito.
“Jancuk emang!” Timpal Oman gergetan.
“Udahlah.. udah kelar juga, yang penting Regan fine-fine aja kan? Ayolah ke belakang.. asem kan mulut lu Nggan?” Wawi yang sedari tadi hanya berdiri diam bak patung dirgahayu akhirnya buka suara.
Dito dan Oman langsung tersenyum dengan anggukkan, sedang aku sedikit ragu-ragu. Gimana ya, aku jujur sih malu kalau keluar dengan kondisi kepala kaya begini. Untuk kali ini aku males jadi pusat perhatian.
“Nih pake, biar lu enggak malu dan enggak malu-maluin gua..” Dito berkata seraya menyerahkan sweater hitamnya ke padaku.
Aku tersenyum, dan langsung menerimanya dengan kedua alis kugerak-gerakkan. Sweater Dito adalah sweater yang ada Hoodie-nya, tapi depannya pakai resleting gitu, jadi lumayan senenglah aku hehehe.
“Tumben lu pengertian ama gua To.. Makssih nih hehehe..” Ucapku seraya mulai mengenakan sweater pemberian Dito tersebut.
“Kepaksa aja dia itu, kalo enggak disuruh Wawi juga enggak akan dibawa tuh sweater ke sini..” Timpal Oman dengan wajah mengejek. Oh jadi ini saran dari Wawi, top lah memang vocalis kami itu.
Aku memberikan angkatan alis pada Wawi, yang olehnya dibalas dengan anggukkan kepala. Lalu kunaikan Hoodie untuk menutupi kepalaku, bagian depan sweater ini sengaja enggak aku sletingin, agak ngepas body soalnya, pasti sesek banget nanti.
Kami pun meninggalkan ruangan UKS itu dengan celotehan Oman dan Dito yang enggak ada habis-habisnya. Aku dan Wawi berjalan di depan, sedang Oman dan Dito berjalan di belakang. Sesekali bibir jahil Dito maupun Oman bersiul untuk menggoda adek-adek emesh sekolah kami ini. Kurang ajar memang mulut mereka itu, pakar spesialis cabe-cabean mereka berdua memang.
“Rokok lu masih ada? Kalo enggak gua ke depan dulu, rokok gua abis soalnya..” Ucap Wawi ketika kami tengah menuruni tangga.
“Cukuplah buat istirahat doang Mah..” Jawabku santai, oh iya.. rokokku dan rokoknya Wawi ini sama, jadi kami sering saling tutup-tutupan lah ibaratnya kalau salah satu ada yang kehabisan rokok. Barisan pecinta pedes pedes sedep garpit kami ini.. hehehe..
“Gua kopi item ya To, terus gorengannya banyakin ubi sama pisangnya..” Ucap Wawi ketika kami tiba di lantai 1. Ya seperti biasa ketika kami nongkrong di belakang, yang bertanggung jawab terhadap konsumsi adalah Oman dan Dito, kecuali kemarin ketika aku ingin nyamperin Dira.
Ah Dira.. aku perasaan belum ngeliat dia seharian ini..
“Lu apa Nggan?” Tanya Dito padaku.
“Nutrisari aja kaya biasa, sama tambahin es teh manis buat Wawi..” Jawabku tanpa berbelit-belit.
“Oke..” Jawab Dito sambil merangkul Oman untuk berjalan bersamanya ke arah kantin, sedang aku dan Wawi berjalan menyebrangi lapangan. Langsung menuju ke bagian belakang gedung sekolah kami.
“Alig.. terik banget Wi..” Aku mempercepat langkahku. Sebab cuaca siang ini terasa amat terik. Wawi pun mengangguk dan ikut mempercepat langkahnya.
Sesampainya di belakang gedung sekolah, aku dan Wawi langsung mengambil tempat duduk merapat ke tembok. Bertegur sapa dan anggukan dengan beberapa anak kelas 3 maupun anak seangkatan kami yang menyebar di areal “hitam” sekolah ini. Aku langsung mengeluarkan bungkusan rokokku, mengambilnya sebatang kemudian menyerahkan bungkusan tersebut pada Wawi.
Kusulut dengan khidmat garpitku ini, kuhela dalam-dalam asapnya. Wawi melakukan hal yang sama. Tak ada pembicaraan di antara kami, karena jika sudah menikmati garpit seperti ini, enaknya tuh nyender sambil ngerileks-in badan coy.. lagian juga, aku rada enggak enak sama Wawi.
Enggak enaknya tuh karena.. aku tahu banget Wawi gimana orangnya. Kalai Dito dan Oman, aku sih enggak masalah. Tapi Wawi ini, Dia mana percaya tentang karangan yang ku buat di ruang UKS, atau lebih tepatnya, dia pasti tahu kalau aku Cuma membuat alibi tadi. Gimana ya? Apalagi tadi waktu aku minjem seragamnya aku udah bilang bakal cerita kan?
“Gua kena goprok vas bunga Wi, bukan botol..” Ujarku melepaskan asapku dengan tenang, kulihat Wawi melirikku sejenak, kemudian kembali menatap ke depan namun sebelum itu ia memberikanku anggukan kepala.
“Ikut campur urusan orang?” Tanya Wawi pelan, aku tersenyum kecil. Kawanku ini, benar-benar pintar membaca pikiran atau Cuma nebak asal sih? Tapi kok tepat mulu ya?
“Kurang lebih..” Jawabku pendek. Ada jeda sejenak karena Wawi tengah menghisap dalam-dalam nyala rokoknya.
“Berapa orang?” Tanya Wawi setelah ia selesai mengembuskan asap rokok dari paru-parunya.
“Satu doang..” Jawabku lagi. Wawi kulihat mengernyitkan dahinya.
“Orang yang ribut ama lu bae-bae aja kan tapi?” Tanyanya dengan raut sedikt khawatir. Aku mengangguk pelan, seketika itu Wawi mengembuskan napasnya lega.
“Baguslah..” Tukasnya pendek. Kembali menghisap asap rokoknya, pun aku.
“Dia kayanya kuat banget ya? Sampe bisa nyekek lu?” Tanya Wawi lagi. Aku mengernyit dahi.
“Mungkin yang lain enggak engeh, tapi gua bisa ngeliat jelas bekas cekekkan di leher lu.”
Shit.. asli sih, Wawi ini kaya kriminolog aja, jeli banget matanya. Aku hanya merespons ucapan Wawi dengan senyuman saja. Karena enggak mungkinlah aku bilang kalau sebenarnya mayoritas lukaku ini adalah warisan dari Om Damar. Bisa-bisa jelek nama Omku nanti hehehe.
“Thanks lu udah mau jujur ama gua Men, sisanya lu keep aja. Yang terpenting kan kondisi lu bae-bae aja..” Wawi berucap sembari memberikan tepukan di bahuku. Aku tersenyum, dia ini memang the bestlah.. kawan paling enggak neko-neko ibaratnya.
“Thanks Wi..” Aku balas menepuk bahunya. Lalu kami sama-sama melempar anggukkan kepala.
Begitulah Wawi, tepatnya begitulah obrolanku dengan Wawi kebanyakan. Pendek, namun penuh dengan pemahaman. Setelah itu ya kami mengobrol ringan tentang topik lain, utamanya sih tentang cerita kawan-kawanku ini yang semalam menyebar mencariku. Jadi mereka enggak barengan nyariya, beda-beda arah.
Mereka mendatangi tempat-tempat yang mereka tahu biasa aku datangi. Dan salah satunya tentu mendatangi Warung Soto milik Budeh, namun ya karena aku enggak ada, dan Wawi ini bukan tipe pengumpul informasi melalui lisan, melainkan hanya sebagai pengamat. Jadi begitu ia sampai di parkiran warung dan enggak mendapati motorku, ya dia langsung cabut.
Wawi bilang, mereka baru kembali ke rumah pukul 1 dini hari. Dengan kepala pusing dan hati was-was, mereka memutuskan untuk menungguku saja yang memberi kabar. Dan mendengar itu jujur sih, aku salut sama mereka. Sampe sebegitunya mereka nyariin aku. Jadi merasa bersalah kan.
“Kayanya kita kedatengan tamu Men..” Di tengah lamunanku, Wawi tiba-tiba menyenggol bahuku, matanya terarah ke areal yang kami lewati untuk ke sini tadi, membuatku ikut memandang ke sana.
Dan betapa terkejutnya aku, karena di sana muncul Dito dan Oman yang menenteng plastik-plastik jajanan kami. Bukan.. bukan dua trenggiling itu yang bikin aku kaget sampe menegakkan dudukku, melainkan karena di tengah antara kedua kampret raksasa itu, ada peri manis yang tengah berjalan riang dengan wajah sumeringah.
“Kak!!!” Seru peri cantik itu padaku sembari melambai-lambaikan tangannya, langkahnya dipercepat setengah berlari. Dan tentu saja, suaranya yang merdu nan renyah itu membuat seluruh mata murid yang ada di halaman belakang tertuju padanya.
Gimana enggak? Dia loh teriaknya kenceng banget. Plus jarang-jarang ada murid cewek ke halaman belakang. Kalau pun ada, biasanya Cuma satu dua, dan itu pun masuk dalam kategori 'cabe-cabean' angkatan atau yang memang cowoknya sering nongkrong di sini. Lah tapi ini.. bukan cabe ini mah, ini mah gula kristal yang manisnya berasa sampe ke bagian terdalam ginjal, asli.
“Dira.. ngapain?” Tanyaku seraya bangkit dari dudukku, menyambut kedatangan Dira yang.. eh kok wajahnya Dira enggak kaya biasanya? Tegang gitu.. sampe hilang loh senyumnya.
Iya, yang dateng bareng Dito dan Oman itu Dira. Dira si imut yang rambutnya selalu dikuncir kuda. Dia kini sudah berada tepat di hadapanku, napasnya sedikit terengah, kaya abis lari keliling taman di kompleks perumahannya.
“Nyamperin Kak Regan lah!” Jawabnya masih dengan raut tegang. Aku mengernyit dahi lebih dalam.
“Ada apaan dah? Kok nyariin saya?” Tanyaku bingung sembari menjentikkan puntung rokokku yang sudah hampir habis.
“Tadi pas aku nganter tugas ke ruang guru, aku enggak sengaja denger obrolan Pak Gopur sama guru-guru lain. Katanya Kak Regan abis dipukulin orang..” Terang Dira dengan wajah khawatir. Matanya digerak-gerakkan menyapu wajahku.
Lah? Dipukulin orang? Pak Gopur? Heh.. aku dijadiin bahan gunjingan sama guru-guru ini ceritanya? Wuaseemmm..
“Yaampun Kak.. ternyata bener.. Kak Regan dipukulin sama siapa? Berantem ya? Berantemin apa sih? Emang enggak bisa diomongin baik-baik? Sampe memar-memar gini.. itu juga, kenapa sampe diperban? Kepala kakak bocor ya? Kok tetep berangkat sekolah sih? Harusnya istira..”
“Dira dira dira.. tenang.. tenang.. tarik napas.. tenang.. kita duduk dulu ya..” Aku dengan sigap memotong rentetan kata-kata yang merepet keluar dari bibir Dira. Berusaha mengerem sejenak pertanyaan-pertanyaannya yang.. wagelassh.. berentet kaya tembakan AK-47 di game PB yang dulu pernah aku mainin. Aku melakukan itu sembari memegang kedua bahunya.
Lagian gila sih, aku udah pake hoodie aja masih kelihatan kah perbanannya?
Dira pun akhirnya menurut, ia ikut duduk bersama kami. Ia atur sejenak ujung-ujung roknya agar menutupi lututnya dan sedikit betisnya, sembari terus menatapi wajahku yang katanya 'mimir-mimir ini' hilih...
“Kakak kenapa Kak? Berantem ama siapa?” Tanya Dira lagi dengan raut khawatir. Sedang aku melirik kawan-kawanku, mereka semua berpura-pura sibuk.
Wawi yang tiba-tiba mainin hapenya, serta Oman dan Dito yang sok sibuk jadi seksi perasmanan, riweuh membagi-bagikan minuman dan mengatur gorengan maupun jajanan lain yang mereka bawa.
“Minum dulu ya Ra.. kamu kayanya ngos-ngosan banget..” Ucapku sembari mengambil nutrisariku, mencolokkan sedotan ke gelas cup tersebut, dan kusodorkan untuk Dira. Ia menerimanya dan langsung menyeruput minuman itu seperempat.
“Ya aku kan abis lari-lari nyari Kak Regan. Aku ke ruang UKS enggak ada, aku ke kelas juga enggak ada. Jadi aku putusin buat ke nyari ke sini, tapi aku awalnya takut, untung di depan tadi ketemu Kak Oman sama Kak Dito, jadi aku ada barengannya..” Terang Dira dengan suara lembut masih dibalut kekhawatiran.
“Lagian ngapain sih pake lari-lari..” Sanggahku masih sedikit kebingungan.
“Ya karena aku khawatir..” Sahut Dira.
“Ya kenapa khawatir?” Tanyaku lagi, dan tiba-tiba Dira langsung terdiam. Seolah ada sesuatu yang mencekat tenggorokannya. Perlahan wajahnya pun tertunduk.
Loh kenapa ini? Kok kayanya ada yang salah ya dari ucapanku?
“Nggan..” Wawi tiba-tiba memanggilku pelan sekali, aku memandangnya, juga memandang Oman dan Dito yang kompak menepuk dahinya bersamaan.
Kenapa dua picolo itu? Kenapa mereka nepuk jidatnya coba? Pening kah mereka? Aneh..
Aku pun kembali memusatkan pandanganku ke Wawi, ia terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Lalu menggerakkan tangannya, memberi gesture agar aku menahan diri.
“Dira..” Panggil Wawi pelan, sedang aku bingung aja udah pokoknya. Diam aja udah.
“Ya..” Sahut Dira parau sembari terus menundukkan wajahnya.
“Regan ini semalem dipalak orang pas lagi di jalan, terus berantemlah jadinya. Dan kepalanya kena hantem botol, jadi luka. Tapi lukanya enggak parah kok, Cuma robekan kecil aja. Itu juga udah diobatin kok sama Hani, jadi lu enggak perlu terlalu khawatir. Regan udah bae-bae aja kok, buktinya dia bisa ke sini buat ngerokok bareng kita kan..” Wawi menerangkan dengan pelan kepada Dira, dan sepertinya itu berhasil. Sebab Dira perlahan mengangkat wajahnya.
Wah.. Si Wawi ini memang hebat kalau masalah mengendalikan situasi. Kayanya tadi emang kata-kataku ada yang salah ya? Iya deh kaya.. Wait! Wait wait wait! Tadi Wawi bilang apa? Tadi Wawi bilang apa?
Hani? Aku enggak salah denger kan? Tadi Wawi bilang kalau Hani yang ngobatin? Lah.. emang iya? Bukankah harusnya Bu Risma?
Aku seketika menatap Wawi lebih dalam, bermaksud mengkonfirmasi kata-katanya barusan. Eh tapinya Si Wawi malah natapku balik dengan wajah bingung juga. Lah.. apa-apaan sih ini?
“Beneran yang dibilang Kak Wawi? Kak Regan udah baik-baik aja?” Tiba-tiba Dira menolehkan wajahnya dan bertanya kepadaku.
“Eh itu.. anu.. apa..” Aku pun gelagapan jadinya.
“Iya udah baik-baik aja dia, orang tadi aja pas ke sini dia udah bisa jungkir balik. Iya kan Nggan?” Wawi kembali membantuku dengan jawaban-jawaban cerdasnya. Aku pun segera memugar senyum dan mengiyakan kata-kata sahabtku itu.
“Huh.. syukurlah Kak.. aku takutnya Kak Regan kenapa-kenapa..” Ucap Dira terlihat sudah lebih tenang.
“Hehehe iya Ra.. eng.. enggak kenapa-kenapa kok..” Sahutku kikuk sebab di kepalaku sendiri masih mempertanyakan tentang ucapan Wawi.
“Eh Ra.. nih cobain nih, ubi gorengnya masih anget.. enak banget sumpah..” Oman menyodorkan kertas gorengan yang sudah ia robek sedikit agar mudah ketika diambil kepads Dira. Dira tersenyum dan dengan malu-malu mengambil gorengan tersebut.
Sedang aku tetap dirundung pertanyaan-pertanyaan. Tentang kemungkinan Hani lah yang mengobati luka-lukaku, bukan Bu Risma.
*
Jam istirahat sudah habis, aku, Dira dan kawan-kawan ku pun sudah beranjak dari areal belakang sekolah kami, dan kini tengah berjalan menyintangi lapangan utama. Dira terlihat sudah amat mengakrab dengan kawan-kawanku, terutama dengan Dito dan Oman. Itu tentunya amat membantu buatku, karena sedari tadi aku memang banyak diamnya, masih kepikiran aja.
Sembari berjalan mataku terangkat dan terarah ke lantai tiga gedung sekolah ini, ke koridor yang berada di depan kelas Hani, memang lamat-lamat ke sana, berharap Hani muncul di sana, seperti biasa. Namun nihil, tiada sesiapa di sana.
Panas berganti teduh, aku dan yang lain sudah berada di naungan koridor lantai satu, berbelok ke arah tangga, menitinya dengan perasaan tak karuan.
“Kak aku duluan ya..” Suara Dira sejenak mengalihkan tatapanku. Aku mengangguk, kami sudah sampai di lantai dua, dan Dira harus kembali ke kelasnya.
“Makasih ya Dira udah diizinin ikut nongkrong bareng..” Ucap Dira dengan senyum mengembangnya.
“Jangan kapok-kapok ya Ra..” Dito yang menanggapi pertama.
“Makasih loh udah sudi ngabisin waktu istirahat bareng kita..” Timpal Oman sok manis.
Sedang aku dan Wawi hanya diam memasang senyum, membalas senyum Dira yang matanya kini tengah terarah kepadaku.
“Gws ya Kak Regan..” Tukas Dira kepadaku dengan kepala yang sedikit dimiringkan dan senyum yang dikembangkan sebegitu manisnya. Aku tersenyum lebih lebar, menganggukkan kepalaku pelan
“Dadah 4arah..” Seru Dira bahagia seraya berjalan riang menjauhi kami. Seruan itu hanya disahuti oleh Dito dan Oman.
“Dadah Dira emeshh..” Sahut mereka kompak sekali seperti dua tubuh dengan satu otak yang sama.
“Yang lu bilang tadi tentang Hani, apa itu bener Wi?” Tanyaku pelan dengan tubuh kurapatkan pada Wawi, setengah berbisik.
“Gua kira lu tau..” Jawab Wawi ikut berbisik.
“Gua kan baru bangun pas bel istirahat Men..”
“Oh pantes..” Timpal Wawi mengangguk-angguk.
“Jadi gimana? Bener apa enggak yang lu bilang tadi?” Tanyaku lagi mumpung Dito dan Oman masih bertolak pinggang melepas kepergian Dira sembari mencuri pandang ke cewek-cewek yang lain.
“Iya.. Bu Risma enggak keliatan hari ini soalnya. Sakit kali, makanya Hani tadi yang ngurusin lu.” Jawab Wawi berbisik.
“Siapa sakit?” Tanya Dito sambil menolehkan kepala ke belakang.
“Pala lu sakit lagi?” Timpal Oman cepat.
“Iya, pusing dengerin lu berdua bacot mulu. Udah yo, ke kelas.. biar dia bisa istirahat.” Wawi lekas menyahuti pertanyaan Oman dan Dito, seraya memberi isyarat agar aku lekas berjalan.
Oke oke.. aku ngerti Wi.. Walaupun sebenarnya aku mau ke kelas Hani dulu, tapi kayanya enggak akan keburu, pasti guru bentar lagi pada masuk ke kelas masing-masing.
Pada akhirnya aku hanya bisa melamun dalam mengikuti pembelajaran terakhir hari ini. Iya terakhir, karena hari ini hari jumat, jadi pulangnya lebih awal, jam setengah 12 bel udah bunyi pasti. Dan asiknya, Pak Januar selaku guru IPS yang mengajar di kelasku siang ini, enggak mempermasalahkan mengenai sweater dan hodie yang menutup kepalaku. Kayanya beliau udah tahu perihal keadaanku. Baguslah..
Detik demi detik akhirnya terlewat, bel pulang pun lantang berbunyi. Kami semua bergegas mengemas barang (meski aku sih enggak bawa barang apa-apa, wong nulis aja aku minjem bukunya Dito Hehehe). Dipimpin ketua kelas, kami pun berdoa dan memberi salam kepada Pak Januar, keluar teratur dengan mencium punggung telapak tangan guru IPS tersebut, lalu berjalan ramai-ramai menyambut kepulangan.
Oke ini waktunya aku bicara sama Hani, aku pun meminta ketiga kawanku untuk menungguku di bawah, sedang aku menunggui Hani dulu di tangga. Ketiga kawanku setuju, dan berlalu.
Sedang aku berdiri memandangi tangga yang menghubungkan lantai tiga dengan lantai dua, kutunggu beberapa lama, namun Hani enggak nongol-nongol juga, padahal temen sekelasnya udah pada turun. Sampai akhirnya mataku berbinar karena melihat Laras muncul di tangga, Laras ini teman sebangkunya Hani, pasti Hani di belakang dia deh.
Hehehehe.. akhirnya aku bisa ngobrol juga sama Hani..
“Regan.. nungguin Hani ya?” Tanya Laras seraya menuruni anak tangga, mendekat padaku, namun Hani belum nongol juga.
“Iya.. masih di atas dia?” Tanyaku sumeringah. Laras yang sudah berada di depanku pun segera mengarahkan telunjuknya, ia menunjuk ke arah belakangku, membuatku ikut menatap arah telunjuknya yang ternyata mengarah ke lapangan.
Dan betapa dahiku langsung berkerut ketika di areal lapangan dekat gerbang sana, aku melihat Hani yang berjalan pelan. Aku langsung mengenalinya karena udah hafal diluar kepala tas yang ia kenakan. Sialan.. aku nungguin di sini kok tau-tau dia udah di sono aja?
“Sana Nggan.. kejar ih! Malah bengong..” Suara Laras yang kaya anak kecil langsung menyadarkanku. Dan tanpa mengucapkan terimakasih atau apa pun aku langsung berlari cepat menerabas murid-murid lain yang tengah menuruni tangga.
Shit shit shit.. Hani mah ada-ada aja dah..
Di tangga lantai satu aku sempat bertemu Oman dan Dito yang sepertinya hendak naik ke atas, kemungkinan ia mau memberitahuku bahwa Hani sudah ada di bawah.
“Cuk!” Maki Oman yang bahunya sedikit aku tabrak. Sorry bro.. buru-buru..
Aku terus berlari memecah kerumunan, bertemu Wawi yang berdiri santai melihatku lewat terengah-engah. Ia hanya menggerakkan kepala memintaku untuk bergegas. Aku mengangguk dan terus berlari pelan. Hani sudah di gerbang, ia berjalan menuju jalan raya.
Sialan.. engap juga ya lari segini aja? Huh..
Namun seketika kecepatan lariku langsung menurun, langkahku pun perlahan melambat, ketika tiba-tiba, di depan Hani yang tengah berdiri, mendekat sebuah motor naked kinclong berwarna merah kombinasi hitam, keluaran Yamaha. Yaitu Yamaha New Vixion, generasi terbaru dari Vixion yang lagi naik daun. Sialan.. dijemput siapa Hani?
Dan langkahku semakin pelan, dan akhirnya berhenti ketika Hani menyingsingkan sedikit roknya, kemudian naik ke boncengan motor tersebut. Wajahnya memulas senyum tipis, timbul hilang terhalang punggung-punggung murid lainnya.
Sekelilingku serasa menghening, waktu terasa melambat, mataku menatap benar-benar detik demi detik ketika tangan Hani memegang pinggang lelaki yang memboncengnya kini. Yang kemudian membawa Hani pergi menjauh sedikit demi sedikit.. menjauh terus menerus.. sampai hilang dari pandanganku.
Apa ini? Perasaan apa ini? Mengapa rasanya sesak sekali. Dadaku.. dadaku terasa nyeri, jauh lebih nyeri dari pukulan terkeras Om Damar sekalipun. Dan embusan angin menjelma jarum sembilu yang menusuk tiap pori-pori kulitku. Menyalurkan perasaan yang sangat enggak nyaman di inti perasaanku.
Jagat dewa batara.. enggak ada darah di dadaku sekarang, tapi mengapa ada sakit yang merajam-rajam di sana?
Jadi ini sakit yang dirasain Gaara? Sakit tapi tidak berdarah? Aarrggghhhh..
.
.
.
POV3D
Anggana Raras Rengganis
“Gimana Dek kondisi kamu? Uwes enakkan?” Saka mengelus pelan rambut istrinya, Rengganis, yang tengah duduk bersandar bantal di atas ranjang berkelambu merah. Perempuan yang wajahnya sedikit memucat itu pun mengangguk. Senyuman mengembang dari bibirnya.
“Arum udah ngasih kabar tentang Regan, Mas?” Tanya Rengganis balik sembari mengelus punggung telapak tangan suaminya, ditarik lembut dari rambutnya, dipindahkan ke pipi putihnya, ditempelkan di sana. Meresapi hangat telapak tangan sang suami.
“Sudah.. kata Arum, Hani ngabarin dia kalau Regan wes nyampe ke sekolah. Dan keadaannya baik-baik aja.” Jawab Saka dengan lembutnya.
“Lalu perihal telepon darurat yang Regan lakukan semalam gimana?” Tanya Rengganis lagi.
“Aku juga belum tahu Dek kalau masalah itu, soalnya pas aku tanya Damar, dia Cuma bilang semuanya wes beres, ndak ada masalah serius katanya.” Terang Saka yang kini sudah menempatkan tangannya yang lain untuk mengelus bahu Rengganis.
“Tetep aja aku khawatir sama Regan Mas..”
“Wes to Dek.. kalau ada apa-apa juga, Damar pasti ngabarin kita. Lagi pula anak kita kan udah besar, udah bukan Regan kecil yang dulu sering mimi susu kamu ini loh..” Ucap Saka berusaha menghibur istrinya, dengan jahil jemarinya menggesek bagian samping payudara sang istri. Membuat Rengganis menggeliat geli sambil tertawa kecil.
“Iya.. anaknya emang udah enggak mimi susu lagi, tapi Ayahnya yang sekarang mimi susu terus..” Balas Rengganis sembari mencubit lembut hidung suaminya, lalu mereka tertawa bersama. Terlihat sekali perasaan cinta yang amat besar selalu melingkupi mereka di mana pun berada.
“Oh iya Dek.. aku bawa kabar baru buat kamu..” Ujar Saka yang kini sudah membaringkan kepalanya di paha Rengganis, rebahan menatap wajah sang istri yang terlihat seindah dewi-dewi khayangan.
“Kabar apa Mas?” Tanya Rengganis dengan jemari bermain di pipi Saka.
“Tadi pagi, ditemukan lima mayat lelaki di daerah Herang, kelima-limanya ndak bisa diidentifikasi, karena selain memang ndak ada tanda pengenal, kondisi kelima mayat juga mengalami luka bakar hebat..” Terang Saka dengan wajah sedikit tegang.
“Apa mereka korban orang-orang Hematala Mas?” Tanya Rengganis dengan wajah mulai menampakkan raut kekhawatiran.
“Awalnya aku mikir gitu, aku kira orang-orang Hematala sedang berbuat onar atau semacamnya. Tapi setelah aku dan Mang Diman ke sana..” Saka menghela napasnya sejenak, Rengganis menunggu takzim.
“Justru aku yakin kalau kelima mayat itu adalah mayat orang-orang Hematala. Karena kelima-limanya mengantongi koin yang sama, koin ukiran bulan sabit, khas hematala.” Terang Saka lagi melanjutkan penjelasannya. Terlihat keresahan langsung menggelayut di wajah pasangan suami istri tersebut.
“Tapi siapa kira-kira yang melakukan itu semua Mas? Dan apa yang dilakukan orang-orang Hematala sampai ada di derah Herang?” Tanya Rengganis bingung.
“Aku juga belum tahu Dek, tapi perkiraanku, mereka tengah berusaha mengejar sesuatu” Tukas Saka.
“Mengejar sesuatu?” Tanya Rengganis masih mencoba mencerna informasi ini.
“Ya.. karena setelah aku telusuri, ternyata malam sebelumnya juga ada dua mayat yang ditemukan. Lokasinya penemuannya ada di Dermawangi, di sebuah perkebunan sawit, tepatnya di dasar jurang. Kedua mayat itu juga sama-sama ndak memiliki identitas, tapi kondisinya jauh lebih baik, enggak hangus terbakar kaya yang lima tadi. Dan sebelum pulang aku sempetin ngecek dua mayat itu, aku juga bisa pastiin kalau mereka sama-sama berasal dari Hematala.” Jawab Saka.
“Lalu tentang perkataan Mas yang bilang kalau mereka sedang mengejar sesuatu itu? Maksudnya apa Mas?” Tanya Rengganis.
“Jadi gini Dek.. setelah aku cek lima mayat yang hangus di daerah Herang. Aku bisa simpulkan mereka terbakar bukan karena nyala api, sebab lukanya berbeda dengan luka korban kebakaran api pada umumnya. Lukanya seperti.. seperti terkena sambaran petir..” Terang Saka dengan kening berkerut, hal yang sama juga terjadi pada Rengganis, alisnya tertaut, mulai menyusun kemungkinan-kemungkinan.
“Dan dua mayat yang ada di Dermawangi, kondisi mereka memang ndak mengalami luka bakar di bagian luar. Tapi hasil autopsi nunjukin kalau beberapa organ dalam kedua mayat itu terbakar. Seperti terbakar dari dalam gitu Dek..” Saka menghela napasnya. Sedang Rengganis semakin lengkap menyusun prakiraan dari jawabannya.
“Luka seperti sambaran petir? Organ tubuh terbakar dari dalam? Apa mungkin mereka terkena serangan..” Rengganis menggantung kalimatnya, ia meragu pada jawabannya sendiri.
“Asta Braja?” Gumam Rengganis pelan, yang oleh Saka langsung dibalas dengan anggukkan kepala.
“Aku juga berpikir seperti itu Dek, sebab ciri-ciri lukanya sangat mirip seperti yang aku dengar selama ini.” Timpal Saka dengan senyum yang sudah hilang.
“Tapi bagaimana mungkin Mas? Bukankah Asta Braja sudah lama punah?” Tanya Rengganis sangsi sendiri.
“Harusnya seperti itu Dek, pemilik terakhir Asta Braja adalah Aki Lingga, ayah dari Abah Natha selaku pelindung utama tanah ini. Setelah itu, setahuku ndak ada yang berhasil mewarisi kemampuan itu, bahkan Abah Natha selaku anak dari Aki Lingga pun ndak bisa melakukannya.” Terang Saka lagi.
“Apa mungkin Aki Lingga masih hidup Mas? Arwahnya gitu?”
“Ngawur aja kamu Dek, orang yang sudah mati itu yo wes.. terputus urusannya sama dunia ini. Ada ada aja kamu itu..” Sanggah Saka cepat. Karena bagaimana bisa seseorang hidup begitu lama? Rengganis dan Saka pun jadi terbingung sendiri akhirnya.
Dan mengenai Aki lingga, beliau sendiri adalah ayah dari Abah Natha, selaku pelindung utama tanah selatan. Dan menilik usia Abah Natha sebelum gugur ketika menghalau prahara yang datang dari letusan tempo hari sudah sangat renta. Jadi rasanya aneh jika mereka berasumsi jikalau kasus kemunculan Asta Braja ini berasal dari Aki Lingga.
“Meski terdengar mustahil, tapi bukan ndak mungkin ada seseorang yang berhasil menguasai Asta Braja. Dan tentu saja orang tersebut berasal dari Lemah Kidul Dek..” Setelah keheningan sesaat, Saka kembali membuka pembicaraan.
“Seseorang yang memiliki Asta Braja berarti ia bukan orang sembarangan di tanah ini Mas, mau enggak mau kemampuannya tersebut akan membuat dia berada di posisi penting, bersanding dengan para Natha di sini..” Sahut Rengganis sembari berpikir.
“Dan orang itu yang jelas tengah diburu oleh orang-orang Hematala. Tapi aku yakin, bukan karena orang tersebut memiliki Asta Braja, karena aku yakin, Orang-orang Hematala sekali pun ndak mengetahui tentang Asta Braja yang ternyata belum punah. Dan kalau pun mereka tahu, Hematala akan langsung mengirim beberapa ksatria terbaiknya sekaligus untuk menghadapi seorang yang memiliki kemampuan itu...” Saka ikut bergumam, ia dan Rengganis memang sering melakukan ini, berdiskusi berdua, saling melempar kemungkinan, dan memikirkannya bersama.
“Berarti mereka mengejar sesuatu yang lain Mas..” Tukas Rengganis mulai mengelompokkan kemungkinan-kemungkinan.
“Bener dek, mereka mengejar sesuatu. Dan kemungkinan sesuatu itu dibawa sama Si pemilik Asta Braja ini..” Timpal Saka cepat.
“Tapi salahnya mereka sama kaya kita, ndak tau kalau orang yang mereka kejar ternyata bukan orang sembarangan..” Rengganis lekas mengeluarkan pemikirannya.
“Dengan kata lain.. Para Natha di tanah ini sudah menunjuk orang tersebut untuk melindungi sesuatu dari kejaran orang-orang Hematala, dengan kata lain, masih ada yang tersisa dari pelindung Lemah Kidul Mas!” Sambung Rengganis dengan senyum mulai mengembang. Raut semangat terpancar di wajahnya. Obrolan ini semakin menemui titik terang bagi keduanya.
“Dan sesuatu itu pasti sangat berharga Dek, sampai-sampai harus dilindungi langsung oleh seorang pemilik asta braja..” Potong Saka lagi, mencoba memecahkan pertanyaan berikutnya.
“Sesuatu yang amat berharga dari Lemah Kidul.. hhmm..” Rengganis bergumam, kepalanya kembali memproses hipotesis-hipotesis.
“Mas ingat perkataan Mang Diman di atas tebing kemarin sore?” Tanya Rengganis tiba-tiba. Terpikir akan suatu kemungkinan.
“Perkataan Mang Diman yang mana Dek?” Tanya Saka balik.
“Yang tentang Anggaraksa.. kata Mang Diman Ibu pernah bilang kalau selama Anggaraksa bisa ditancapkan, sehelai benang pun enggak akan bisa menyentuh Lemah Kidul. Tapi tsunami yang menerpa daerah ini, serta gugurnya para Natha pelindung tanah ini, kemungkinan itu karena..” Rengganis meragu, menggantung sejenak kalimatnya.
“Kamu benar Dek..” Saka terperanjat dari pemikirannya. Ia langsung bangkit dan duduk kembali, wajahnya tegang bukan main.
“Berarti Anggaraksa ndak pernah ditancapin Dek.. Para Natha di sini menghalau tsunami kemarin tanpa bantuan Anggaraksa, itulah alasan mereka harus berkorban nyawa, dan sisa gelombang tetap menghantam pesisir.. itu karena Anggaraksa ndak bersama mereka Dek..” Saka terengah menerangkan pemikirannya.
“Dan jika pun Anggaraksa bersama para Natha, dan mereka berhasil meredam amukan tsunami yang datang. Itu pasti akan sangat menguras seluruh kekuatan para pelindung tanah ini, dan itu adalah saat yang tepat untuk merebut Anggaraksa dari tangan Lemah Kidul Mas..” Rengganis menambahkan hipotesis yang tengah mereka terka.
“Benar Dek.. kemungkinann besar mereka hendak melindungi Anggaraksa! Karena mereka tahu, Hematala mengincar pusaka-pusaka sakti untuk bisa menekan daerah lain penopang pulau ini. Dari itu, Natha-Natha di sini mengirim orang untuk membawa Anggaraksa bersamanya Dek.. mereka hendak menjauhkan Anggaraksa dari jangkauan Hematala..”
“Dan mereka sudah memperhitungkan ini matang-matang Mas, mereka mempercayakan Anggaraksa kepada pemilik Asta Braja itu, dengan harapan orang tersebut mampu melindungi Anggaraksa..” Saka berkata dengan semangatnya, kedua tangannya mengguncang lembut bahu sang istri.
“Lalu ada lima mayat orang Hematala yang ditemukan di Herang, juga di Dermawangi, itu berarti.. pemilik Asta braja tersebut kemungkinan ditugaskan untuk mengantar tongkat itu ke suatu tempat oleh Abah Natha langsung..” Ujar Rengganis tak kalah bersemangat. Pasangan suami istri itu tersenyum bahagia. Karena setelah berhari-hari lamanya mereka diliputi keputusasaan, akhirnya mereka memiliki secercah harapan, bahwa masih ada yang tersisa dari tanah selatan yang porak-poranda ini.
“Tapi kemana Dek? Kemana kiranya Anggaraksa itu hendak diamankan oleh Abah Natha?” Tanya Saka kembali memutar otaknya.
“Anggaraksa.. Asta Braja..” Gumam Rengganis memeras lagi isi kepalanya.
“Secara alami, orang-orang terpilih dari Lemah Kidul memiliki kemampuan dasar untuk merangkai dan mengendalikan air, kita asumsikan pemilik Asta Braja ini pasti sudah hatam segala kemampuan dasar sebagai seorang putra Lemah Kidul..” Rengganis bergumam, menjabarkan isi kepalanya.
“Lalu jika seorang dari Lemah Kidul yang sudah mahir dalam Talang Drawa memiliki Asta Braja, sudah hatam dalam memanipulasi partikel air sekaligus bisa membangkitkan amukan petir, kemana ia diharuskan pergi guna memperkuat perlindungan bagi Anggaraksa Mas?” Tanya Rengganis dengan wajah serius. Saka diam sejenak.
Mengenai Talang Drawa, itu tak ubahnya nama dari sebuah kemampuan spesial macam Liris Kisma (Atur Tanah) milik orang-orang Parung Wetan, Lalu Aneka ajian kabut milik Rengganis, Luru Kalacakra milik Saka, maupun Lipat Jagat milik Mang Diman. Talang sendiri dalam bahasa lama berarti jalan air, sedang Drawa sendiri artinya air. Jadi Talang Drawa kurang lebih adalah kemampuan dari seseorang untuk menjadi jalan bagi aliran air. Dalam hal ini adalah kemampuan memanipulasi dan mengendalikan air.
“Talang Drawa.. Asta Braja.. air.. petir.. dengan kemungkinan Abah Natha yang benar-benar sudah kehilangan kepercayaan pada Parung Wetan, berarti kita asumsikan para pelindung Lemah Kidul berpikir bahwa Hematala yang memiliki kemampuan dasar memanipulasi api, akan dibantu pengendalian tanah dari Parung Wetan. Jadi apa yang paling efektif untuk menghadapi tanah dan api sekaligus selain air dan petir Dek?” Saka menjelaskan pemikirannya dan balik melempar pertanyaan pada rengganis.
“Tanah sendiri lemah terhadap petir, dan api lemah terhadap air. Tapi di saat bersamaan, air sangat lemah jika harus dihadapkan dengan pengendalian tanah. Dan petir pun enggak akan terlalu jumawa jika beradu dengan api. Jadi kuncinya berarti ada di..” Rengganis kembali menggantung kalimatnya, kali ini bukan karena berpikir, melainkan karena tersadar akan sesuatu.
“Lebur angin..”
“Lebur angin..”
Ucap Saka dan Rengganis bersamaan dengan suara lirih dan parau. Wajah mereka yang tadinya sebatas serius memikirkan jawaban dari sebuah pertanyaan, kini justru menegang sebab jawaban yang mereka dapatkan.
“Kita harus segera kembali ke Purantara Mas!”
Bersambung..