RINDIANI – Seri 2
Melangkah di Lembaran Baru
Seperti kata ibuku, mungjin aku belum berjodoh dengan sebuah pekerjaan, begitulah keadaan yang harus kujalani. Penghasilan yang berasal dari kost 3 kamar milikku tentu saja tidak bisa kuandalkan sebagai penopang ekonomi untuk Nova dan diriku sendiri. Tak mungkin pula aku mengharapkan kedua orangtuaku untuk membiayai kehidupan kami berdua.
‘
Hhuufffff..’ sesulit ini kah hidup yang harus kujalani?
☆☆☆☆☆
Hari berganti minggu, dan sepertinya aku harus kembali mulai mencari lowongan pekerjaan, mulai mengirimkan lamaran lagi. Sudah 3 minggu berlalu sejak pertemuanku dengan Pram dirumah orang tuaku, dan belum juga ada informasi lowongan pekerjaan darinya.
Setelah berdiskusi dengan kedua orangtuaku, kuputuskan untuk kembali kerumahku, mulai mencari pekerjaan lagi. Aku sudah bertekad, akan melakukan pekerjaan apapun untuk memulai lembar hidupku yang baru. Kedua orantuaku pun dengan berat hati menyetujui keinginanku ini. Namun mereka tetap meminta agar Nova tetap bersama mereka, agar kesehariannya bisa diperhatikan dan hidupnya terawat.
Aku mengerti dan memaklumi keinginan kedua orangtuaku, apalagi tujuanku pulang ke kota untuk mencari pekerjaan, tentu saja kehadiran Nova akan sedikit merepotkanku.
Seiring dengan berjalannya waktu, kabar keretakan rumah tanggaku pun telah tersebar luas. Tetangga di kampung halaman, teman-temanku semasa kuliah yang masih mengingatku, semua telah mengetahuinya. Hal ini membuatku semakin minder dan malu untuk sekedar bertemu mereka, atau sekedar saling menyapa lewat media sosial. Banyak diantara mereka yang memberi dukungan padaku, namun ada pula yang meresponnya dengan nada miring. Seperti itulah realita yang kuhadapi, sebuah realita yang semakin mempersulit kehidupanku.
Yang membuatku sedikit terpukul adalah respon seorang teman kuliahku dulu, seorang wanita yang memang sangat cantik dan menyandang predikat ‘kembang kampus’ sejak pertama kalu menginjakkan kakinya disana, hingga selesi kuliah. Grup media sosial alumni kampus seangkatanku pun heboh dengan apa yang dia tuliskan disana.
‘
Gue kenal suamjnya si Rindi, lumayan cakep orangnya. Wajar aja kalo akhirnya dia selingkuh. Liat aja selingkuhannya jauh lebih cantik, seksi, ramping gitu. Laki mah emang gitu, kalo liat yang bening langsung main hati. Makanya kalo jadi cewek, jadi ibu rumah tangga, rajin-rajin ngerawat diri, biar suami betah dan gak main gila diluar.’
Setelah membaca postingan tersebut, aku memutuskan keluar dari grup itu, dan tak hanya sampai disitu saja, aku bahkan menutup semua akun media sosial milikku. Aku malu, teramat malu terhadap orang-orang diluar sana. Aku malu aib keluarga kecilku menjadi bahan perbincangan diluar sana.
Aku menghubungi Pram, memintanya untuk menjemputku karena aku membawa serta sebuah tas berukuran besar yang berisi pakaianku. Aku berencana untuk tinggal sementara waktu dikota, mencari lowongan pekerjaan, dan melihat kemungkinan jika ada peluang untuk membuka usaha kecil-kecilan sebagai rencana cadangan, jika aku belum menemukan pekerjaan.
Pram menyanggupinya, namun karena ia harus kuliah sampai sore hari, ia baru akan menjemputku malam harinya. Aku tak mempermasalahkannya, yang penting aku harus segera kembali ke kota dan memulai lagi mencari pekerjaan. Berat rasanya untuk berpisah dengan Nova, putri kecilku, namun aku tak punya pilihan lain. Aku harus melakukannya, demi kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Pram menepati janjinya untuk menjemputku. Ia tiba ketika hari sudah gelap.
“Kamu udah makan, Pram?”
“Belum bu, tadi habis kuliah langsung berangkat kesini, takut kemalaman.”
“Kalo begitu, kita makan malam sama-sama, biar nanti gak kelaparan dijalan” ajak ibuku.
Kehadiran Pram dirumahku selalu membawa suasana yang ceria. Nova, putri kecilku selalu ingin berada didekat Pram, sehingga Pram pun sedikit kesulitan dalam menyantap makanannya. Pram tidak keberatan dengan hal itu, ia malah nampak sangat menikmatinya.
Hampir pukul 10 malam, aku dan Pram pun pamit.
“Nak pram, bapak titip Rindi ya, nak”
“Iya pak.”
Dan seperti bisanya, Pram menyalami tangan kedua orangtuaku dan mencium punggung tangan mereka. Tak lupa, Pram mencium pipi Nova yang tengah tertidur lelap dalam pelukan ibuku.
Setelah aku memeluk dan menyalami kedua orangtuaku, kami pun berangkat.
“Kamu sehat Pram?”
“Sehat bu.”
“Ibu gimana, baik-baik aja kan?”
“Kayaknya hampir semua orang yang ibu kenal sudah tahu masalah rumah tangga ibu.”
“Ibu malu, Pram.” Keluhku.
Pram mengendarai mobil dengan lambat, karena jalan yang berkelok-kelok diatas perbukitan. Gelap dan sepi, karena tidak ada lampu penerangan jalan raya.
“Bu, kalo ibu masih mikirin apa kata-kata orang diluar sana, ibu gak bakal maju, gak bakal
move on. Kalo bisa sih, ibu fokus aja sama langkah hidup ibu. Toh selama ini, mereka bukan orang yang ngurusin hidup ibu, bukan orang yang peduli sama ibu, sama Nova.”
“Jangan dipikirkan bu, cuekin aja.” Sambungnya lagi.
“Iya sih, kamu benar Pram.”
Suasana sepi kembali mengitari kami, hanya deru suara mesin mobil yang membelah kesunyian perbukitan dalam gelap malam. Banyak hal yang kembali silih berganti merasuki kepalaku, salah satunya komentar pedas rekan kuliahku di grup media sosial.
“Pram, menurut kamu ibu kurang apa?”
“Hah..?? Maksudnya??”
“Ya kalo menurut kamu sebagai laki-laki, ibu ini kurang apa?”
“Haduuhhhh… bu. Kurang gimana? Maksudnya gimana?”
“Eeemmmm.. ibu kurang seksi ya? Kurang pinter diranjang ya?”
Pram terkejut dengan pertanyaanku.
“Maaf ya bu, saya kenal ibu belum lama lho. Dan kalo menurut saya, seksi itu tergantung selera masing-masing aja kok. Kalo urusan ranjang.. ya, hhmmmm, yang saya rasakan sih, ibu hebat.”
Aku malu mendengar jawaban Pram, lantas menundukkan wajahku yang aku yakin memerah.
“Kamu udah pernah bercinta, Pram?”
“Belum.”
“Hhaahh..?? Beneran..??”
“Bener bu. Belum pernah. Pacaran juga belum pernah.”
“Berarti waktu malam itu, kamu baru pertama..”
“Hehehehehehe… iya bu, pengalaman pertama.”
“Tapi kok kamu pinter gitu?? Kayak udah pengalaman.”
“Hhmmm.. kalo itu sih, ngikutin naluri aja, sama pernah lihat film bokep.”
“Haaduuhhhhh.. kamu ini. Ternyata masih perjaka ting-ting.”
Pram hanya tertawa, sementara aku masih terkejut dengan pengakuannya.
“Tapi kamu pinter, kayak udah berpengalaman.” Sambungku.
“Masa sih..? Eeeemmmm… ibu puas gak?”
“Ihhhh.. kok nanya gitu sih??” tanyaku balik karena malu.
“Ya pengen tau aja sih bu, ibu puas apa enggak? Atau mungkin malah gk suka?”
“Duuuhhhh.. kok jadi bahas gituan sih?! Protesku karena malu.
“Lhooo.. tadi kan emang kita lagi bahas urusan ranjang.” Balas Pram.
“Kalo saya sih puas sama permainan ibu, beneran puas.” Sambungnya lagi.
“Haduuuhhhhhh… Prammmm… udah ah.. ibu malu..!!” protesku sambil menutupi wajah dengan kedua tangan.
“Ya penasaran aja sih bu, pengen tau aja penilaian ibu.”
“Duuuuhhhhh, kamu ini makin nakal aja Pram.”
“Ya udah kalo kamu mau tau pendapat ibu.”
“Jujur aja, ibu puas malam itu.” Lanjutku.
Aku yakin wajahku merah padam karena telah berkata jujur tentang apa yang aku rasakan saat malam itu.
Pram adalah laki-laki pertama memberiku pengalaman pertama merasakan orgasme lewat
oral sex, hal yang belum pernah aku rasakan sebelumnya saat bercinta dengan suamiku.
Aku pernah menonton dilm porno beberapa kali, sebagai sarana untuk belajar, agar lebih pintar dalam melayani suamiku. Namun ternyata, realita berkata lain, suamiku kepincut dengan perempuan lain. Pahit, sungguh pahit kenyataan hidupku.
Suasana gelap disepanjang jalan menghadirkan pemandangan indah dilangit yang cerah. Ribuan, mungkin jutaan bintang bersinar, kerlipnya sempurna memperindah langit malam.
Hampir jam 12 malam kami tiba dirumahku, dikota pelajar.
“Bu, saya pamit ya, mau langsung istirahat, besok ada ujian.”
“Ooohhh, besok kamu ujian?? Kok gak ngomong sih?? Kalo ngomong kan ibu gak akan ganggu kamu Pram.” Protesku.
“Gak apa-apa kok bu, lagian cuman 1 mata kuliah aja. Sekalian juga lihat Nova, soalnya kangen sama dia.”
“Ya udah, kamu istirahat dulu, makasih ya Pram.”
Tampaknya Pram telah membersihkan rumahku, karena di setiap sudut ruangan, setiap perabotnya bersih dari debu, walaupun telah lama kutinggalkan. Dia benar-benar melaksanakan amanah yang kuberikan padanya untuk menjaga rumah ini.
Sejak peristiwa perselingkuhan suamiku, aku memiliki kebiasaan baru, sebuah kebiasaan yang buruk yaitu bergadang sampai larut malam. Terkadang badanku terasa lelah, namun mataku belum bisa tertutup karena begitu banyak hal yang tiba-tiba muncul dikepalaku. Aku telah berbaring dikamar tidurku, dan berharap agar bisa terlelap dengan segera, namun, lagi-lagi harapanku tak terwujud.
Aku kembali teringat akan perkataan rekan kuliahku yang sangat pedas. Mungkin, ada kebenaran yang terkandung dari tulisannya tersebut, bahwa sebagai cewek, sebagai ibu, harus pandai merawat diri untuk suami. Dalam hal ini aku setuju, namun apakah hanya karena hal itu, lantas suamiku berselingkuh?? Apakah aku sudah tidak menarik lagi dimatanya? Sebuah pertanyaan yang akan selalu menjadi penganggu bagiku.
Disisi lain, aku pun mengamini apa yang diucapakn oleh Pram, bahwa cantik itu relarif, tidak ada standar yang jelas untuk kategori cantik. Sebuah pemikiran dari dunia abu-abu yang masih jadi perdebatan. Tanpa sadar, akhirnya aku tertidur, terlelap dengan begitu banyak pertanyaan dikepalaku.
“Pram, kamu pakai mobil ibu aja biar gak kehujanan. Nanti kan kamu harus ujian.”
“Enggak bu, Pakai motor aja, saya malu sama teman-teman dikampus. Gak enak bu.”
“Pram, ini hujan lhooo.. dan kamu harus ujian. Pakaian kamu bisa basah, kamu bisa sakit.”
“Saya pakai jas hujan bu.”
“Udah, jangan ngeyel sama ibu. Kamu pakai mobil ibu aja, atau ibu yang anterin kamu ke kampus.”
Hujan kembali mengguyur bumi kota pelajar dengan deras. Beberpa titik ruas jalan bahkan tergenang banjir. Hal itulah yang membuatku memaksa Pram untuk memakai mobil, lagipula aku tidak memiliki rencana untuk keluar hari ini.
“Ya udah, kalo ibu aja yang anterin saya gimana?” tanya Pram.
“Iya, bisa kok. Sekalian ibu mau beli koran buat cari lowongan pekerjaan lagi. Oh iya, ibu juga mau belanja kebutuhan dapur.”
Sepanjang perjalanan, terlihat genangan air dimana-mana sementara hujan masih terus berlanjut. Langit tampak gelap, layaknya senja menjelang malam.
“Nanti dijemput jam brapa?” tanyaku.
“Jam 12 siang bu. Ujiannya selesai jam 12.”
“Okeee. Berarti ibu sempat belanja dulu, setelah itu ibu jemput.”
“Iya bu, gak dijemput juga gak apa-apa bu, nanti naik ojek aja.”
“Eehhh, engak boleh. Nanti ibu jemput.”
Dan sampailah kami didepan kampus Pram, sebuah kampus yang megah diwilayah Gejayan, tempat terjadinya tragedi memilukan yang merenggut korban jiwa, yang kemudian namanya di abadikan menjadi sebuah nama jalan di Gejayan tersebut.
“Semoga sukses ya Pram.”
“Iya bu, ibu hati-hati nyetirnya.”
“Makasih ya bu” sambungnya.
Saat ia hendak membuka membuka pintu mobil,
“Eehhhhh.. udah? Gitu aja??” kataku.
Segera Pram membatalkan niatnya. Jari telunjukku menunjuk ke pipiku sendiri sambil sedikit mencondongkan wajahku kearahnya. Pram paham dengan isyarat dariku, lantas mengecup pipi kiriku. Tak hanya sampai disitu, ia bahkan mencium bibirku, melumatnya dengan penuh perasaan. Aku sedikit terkejut, namun dengan segera, aku membalas dengan melumat bibirnya. Pram terlena dengan ciuman kami, namun aku harus segera mengakhirinya karena ada Ujian yang menantinya.
“Pram, inget ujian.”
“hehehehehe.. oke siap bu.”
“Fokus ke ujian aja lho Pram, jangan mikir macem-macem” kuingatkan lagi Pram.
Pram hanya tersenyum, sambil mengacungkan jempolnya. Aku meninggalkan kampus itu dengan senyum terkembang diwajahku. Entah mengapa aku bisa menjadi seperti ini, menjadi perempuan yang lebih agresif, layaknya ABG yang sedang dalam masa puber.
Aku kembali mengingat kejadian didepan rumahku, beberapa waktu yang lalu, ketika dengan nekatnya memintanya menciumku.
‘
Hhhuuuuuffffff’ aku sedang kasmaran’ gumanku dalam hati.
Sambil menunggu waktu menjemput Pram, aku belanja berbagai kebutuhan dapur sebagai persiapan untukku selama tinggal dirumah. Dan yang tak kalah pentingnya, aku membeli beberapa surat kabar, sebagai sarana mencari lowongan pekerjaan.
Masih ada banyak waktu yang tersisa sebelum menjemput Pram, dan kuputuskan untuk menunggunya di kampusnya. Sambil membaca koran, aku duduk di deretan bangku-bangku yang tersedia di hall. Tak ada yang memperhatikanku, karena mungkin mereka berpikir aku adalah salah satu mahasiswi disitu. Kemeja lengan panjang dipadu dengan celana jeans berwarna biru dan sepatu membuatku terlihat seperti mahasiswi.
Aku sedang asik melihat lowongan pekerjaan ketika tiba-tiba seorang wanita cantik duduk disampingku. Aku tak mengacuhkannya.
“Aku mau bicara.” Gumannya.
Aku lantas melihat kesekelilingku, tidak ada seorangpun yang duduk disitu selain kami berdua.
“Saya..??” tanyaku heran.
“Kupikir aku sudah memilikinya, tapi ternyata aku salah. Dia masih mengingatmu, dihatinya masih ada kamu.” Gumannya.
Aku mendengarkan setiap ucapannya, namun aku masih belum mengerti hal apa yang ia bicarakan, lagipula, aku tak mengenal gadis cantik yang berada disampingku ini.
“Terkadang dia masih bercerita tentang kamu. Dia selalu membandingkan aku denganmu. Rasa-rasanya aku bukan wanita sempurna dimatanya.” Sambungnya lagi.
‘
Deegg’ tiba-tiba aku tersadar. Wanita yang berada didepanku ini adalah wanita yang telah merebut suamiku!
Sekuat tenaga aku mencoba mengendalikan emosiku, menahan amarahku.
“Aku minta maaf. Aku merebutnya darimu.”
“Aku mencintainya.”
Entah mengapa aku kasihan padanya. Rasa amarah dan emosiku berubah setelah mendengar pengakuannya.
Sebuah kejujuran yang membutuhkan keberanian yang luar biasa besar. Wajahnya tampak sedih, seperti seorang yang sedang putus asa. Aku yakin, dia telah berkata jujur padaku.
“Mungkin kamu mendengar ucapan saya saat dikantor polisi waktu itu. Saya serius dengan ucapan saya waktu itu.”
“Saya tidak menyalahkan kamu, saya tidak menyalahkan suami saya, saya menganggap masalah ini sebagai takdir yang harus saya jalani. Itu saja.”
“Kamu jangan khawatir, sekarang dia milikmu karena saya sudah menghapusnya dalam kehidupan saya. Saya sudah menutup pintu hati saya untuknya.” Sambungku.
Wanita cantik dihadapanku hanya menundukkan wajahnya, tak sekalipun ia menatapku. Kulitnya putih bersih, tubuhnya ramping dengan rambut hitam legam yang terurai hingga ke bahu.
Dari kejauhan, kulihat Pram sedang berjalan menuju kearahku dan disampingnya, segerombolan teman-temannya yang telah kukenal.
“Kamu tenangkan hatimu. Jangan khawatir. Dia telah menjadi milikmu” kataku padanya sambil memegang pundaknya.
Tampaknya ia menyadari kedatangan Pram dan teman-temannya sehingga ia bangkit berdiri dan pergi begitu saja. Sebelum melangkah pergi, ia sempat menatapku dan sedikit tersenyum, sebuah senyum keterpaksaan dari hati yang sedang bimbang.
“Mbak kuliah disini..?” tanya Rita, salah satu teman perempuan Pram.
“Enggak, Ini cuman mau jemput Pram aja kok.”
“Jiiaaahh.. manja bener lo” timpal Rita.
“Ngomong-ngomong, mbak kenal sama Nita ya?” tanya seorang yang lain yang juga ikut bersama Pram.
“Nita..? Nita siapa??”
“Itu lho yang tadi ngobrol sama mbak.”
“Oooo.. itu.. Mbak gak kenal kok, lagian tadi dia cuman nanya jam berapa sekarang, terus sekalian aja mbak nanya ke dia, kenal Pram ato enggak, nanyain kalian pulang jam berapa. Ternyata dia gak kenal kalian.”
“Hehehehehe.. kirain mbak kenal dia, kalo kenal sih pengen nitip salam.” Celetuk salah satu teman pria Pram.
“Hhhhuuuuuuuuuu…!” sorak teman-temannya yang lain.
“Jangan bro.. lo gak bakal mampu. Denger-denger sih doi kekepan om-om gitu. Mending lo nyari yang lain." balas salah seorang teman pria Pram.
Aku terkejut mendengar perkataan teman Pram. Dan mungkin ada benarnya atas apa yang telah ia ucapkan, sejalan dengan apa yang kualami.
“Ya kali aja dia mau.”
“Hhhuuuuuuuu….” Lagi-lagi sekempulan anak muda itu bersorak.
“ngimpi lo..!” celetuk sesorang yang lain.
Aku tertawa melihat tingkah lucu mereka, dan keramaian mereka pun mengundang perhatian sejumlah mahasiswa mahasiswi yang lalu lalang disitu.
“Lo udah punya pacar, gak usah macem-macem.” Sahut yang lain.
“Mending kasih Pram aja, kasihan dia, udah musim hujan ini.” Timpal Rita.
Pram kembali menjadi sasaran candaan mereka. Ia hanya tertawa sambil menggelengkan kepala.
“Sudah sudah sudah… stop. Kalian mau ujian lagi atau mau pulang atau mau gimana?” tanyaku.
“Eh, makan bareng lagi yuk, di tempat biasa” jawab Rita.
“Boleh tuh..kebetulan gue laper.” Jawab teman Pram yang berasal dari ibukota, yang akhirnya kuketahui bernama Topan.
Dan akhirnya akupun mengikuti langkah mereka menyusuri lorong kampus Pram untuk menuju ke warung makan langganan mereka. Setelah keluar melalui pintu belakang kampus, kami memasuki sebuah gang kecil yang lebarnya hanya cukup untuk dilalui oleh 2 orang dewasa.
Warung kecil itu berada, tepat diujung jalan tersebut. Bentuknya hanya sebuah rumah biasa, dan ruang tamu disulap menjadi sebuah warung kecil yang berisi 4 meja, begitu juga dengan bagian terasnya. Suasana didalam sangat ramai karena bertepatan dengan jam makan siang.
Rombongan kami berjumlah 7 orang, sehingga kami harus menggabungkan 2 meja kecil agar bisa menampung kami.
Kami harus mengantri untuk mengambil menu makanan, karena diwarung ini memakai model prasmanan. Dan seperti biasa, canda dan tawa terus saja terjadi, membuat suasana warung semakin ramai.
“Maaf ya, ibu kerepotan soalnya si mbak yang biasa bantuin ibu disini udah berhenti.” kata si ibu pemilik warung sambil membersihkan sisa makanan diatas meja, sebelum kami gunakan.
“Kok ibu gak cari gantinya sih?” tanya Pram.
“Haduh Pram, kamu tau sulitnya nyari orang yang mau kerja kayak gini. Semua pada gengsi Pram, jadi ya terpaksa ibu yang kerjain semuanya.”
“Kalo kamu ada teman yang cari kerja, bilang ke ibu ya Pram, ibu bener-bener kerepotan sekarang.”
“Iya bu.”
Sambil menyantap makan siang, mereka terus saja bercanda. Dan sepertinya memang inilah bentuk pertemanan mereka, saling ejek, lalu salin tertawa bersama.
Sesekali Pram pun ikut terlibat dalam keramaian mereka, kemudian tertawa bersama-sama. Masa muda yang indah.
“Pram.. udah musim hujan. Dingin.” Celetuk Rita.
“Iya Pram, kalo cuman selimut doang mah gak asik, enakan selimut hidup, yang bisa meluk.” Timpal Topan.
Seperti biasanya, mereka kembali tertawa sementara Pram hanya tersenyum sambil terus menikmati makan siangnya.
“Lho kalian belum tau ya?? Pram belum cerita??” tanyaku ditengah tawa mereka, sementara Pram melirikku dengan tatapan aneh.
“Apaan mbak?” tanya Rita.
“Pram udah punya pasangan lhooo.. dia udah punya pacar sekarang.” Jawabku sambil menginjak kaki Pram dibawah meja, sementara ia masih menatapku dengan tatapan aneh.
“Yang bener mbak..?? Siapa?? Tanya Rita penasaran, begitu juga dengan wajah teman-temannya yang lain.
“Beneran lhooo. Pram udah punya pacar.” Jawabku dengan serius untuk meyakinkan mereka.
“Siapa mbak..??” Tanya Rita lagi.
“Kenalin..” jawabku sambil menjulurkan tanganku padanya.
Tiba-tiba suasana hening. Semua terdiam dan berhenti sejenak sambil memandang wajahku dan wajah Pram secara bergantian. Dengan raut wajah tak percaya, Rita menyalami tanganku.
“Telenovela yang bagus.” Sindir Topan.
“diiihhhhhh… sirik.” Balas Pram.
Dan mereka semua kembali tertawa. Untuk lebih meyakinkan, aku merangkul lengan Pram lalu menyandarkan wajahku disana.
“Udah sayang, biarin aja.” Gumanku sambil bermanja-manja dilengannya.
Mereka kembali terdiam, dan menatap kami dengan tatapan aneh, tatapan tidak percaya.
“Ini serius..??!” Tanya seorang teman laki-laki Pram yang belum kuketahui namanya.
“Serius dong..” jawabku.
“Iya kan sayang??” sambungku lagi dengan bertanya pada Pram.
Dibawah sana, aku kembali menginjak kaki Pram.
“Iyaaa..” jawabnya singkat, lalu mengecup keningku.”
Topan, dan beberapa teman Pram yang lain terbatuk-batuk melihat tingkah kami, sementara Rita memandang kami dengan mata terbelalak.
“Oke fix, kita makan!” seru salah seorang teman Pram.
“Iya.. traktiran.. pajak jadian kalian.” Sambung Rita.
“Eeehhh.. gak bisa..! Gak ada traktir-traktiran!” seru Pram.
Dan semua pun tertawa.
Bersama mereka, aku merasakan kegembiraan, melupakan sejenak beban hidupku. Mereka benar-benar menjalani hidupnya dengan penuh kesenangan, penuh tawa, tidak sepertiku yang telah dipenuhi oleh berbagai tuntutan dan beban hidup. Melihat mereka tertawa, melihat mereka tersenyum, sungguh sangat menyenangkan. Mereka terlihat begitu optimis menatap masa depan, terlihat tak memikirkan tentang kehidupan.
“Pulang yuk.” Kata Pram pada kami.
Satu persatu kami membayar makanan yang telah kami santap pada ibu pemilik warung.
“Pram, jangan lupa pesan ibu ya, kalo ada temanmu yang mau kerja disini.”
“Eh, gimana kalo saya aja bu??” tanyaku. Aku berdiri disamping Pram.
“Hah?? Mbak yakin?? Tanya si ibu, sementara Pram tercengang melihatku.
“Kayaknya sih bisa bu, emangnya kerjaannya apa?”
“Kerjaannya ambilin piring dan gelas yang udah terpakai dimeja, dibawa kedapur, nanti ada yang nyuci disana. Trus kamu bersiin meja, di lap biar bersih.”
“Ooo gitu.. kayaknya sih bisa tuh”
“ngomong-ngomong, gajinya berapa ya bu?” tanyaku lagi.
“Kalo gaji sih kecil mbak, ibu cuman mampu ngasih 800.000 per bulan. Tapi setiap hari minggu kita libur, sesuai jadwal perkuliahan kampus. Makan juga gratis disini mbak."
Bagiku, gaji sejumlah itu cukuplah besar jika dibandingkan dengan beban pekerjaannya yang terlihat mudah bagiku. Aku seorang ibu rumah tangga, dan pekerjaan itu adalah santapanku setiap hari.
“Ya udah, kalo gitu biar saya aja yang kerja disini, bantu-bantu ibu. Sambil nunggu panggilan kerjaan bu. Boleh?”
“Boleh banget mbak.. ibu malah senang. Ya udah, besok mbak datang jam setengah delapan pagi ya, bisa mbak?"
“Bisa bu.” Jawabku dengan antusias.
Pram masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan. Begitu juga dengan teman-temannya yang masih ada disitu. Setelah selesai membayar, kami pun membubarkan diri masing-masing.
“Brooooo… buruan pulang, ujan. Diluar dingin! Enakan dikamar, pakai selimut hidup” teriak Pram pada Topan yang telah pergi mendahului kami.
Disaat bersamaan, tanganku masih terselip dilengan Pram kemudian dengan gestur mengejek, aku menyandarkan pipiku dilengannya.
“Njjjiiiirrrrrrrrrrr….! Kammpreeettt loooo!!!!” makinya.
Sontak saja kami berdua tertawa puas setelah mampu mengerjainya. Kami terus berjalan, menyusuri lorong kampus Pram untuk kembali ke area Parkiran di bagian depan gedung.
“Mbak Rita.”
“Iya mbak?”
“Buruan pulang lho ya, hujan ini. Dingin. Kalo hujan gini sih enaknya pacaran aja mbak.” Sambungku lagi sambil memeluk erat pinggang Pram, sementara wajahku bersandar dibahu Pram.
“Eehhhh… iiihhhhhhh.. BODOOOOOOOO AMATTTTT....!!!!" Balasnya dengan wajah jutek.
Sekali lagi aku dan Pram tertawa puas karena telah membalas candaan mereka selama ini. Pram tampak senang mengerjai teman-temannya, begitu juga denganku.
Entah mengapa hari ini menjadi penuh warna bagiku terutama sejak bertemu dengan Nita, perempuan yang berhasil merebut suamiku. Bukan emosi yang muncul, melainkan rasa iba, kasihan terhadap Nita yang merasa dirinya belum mampu merebut hati suamiku, bahkan ketika suamiku telah meninggalkanku.
Aku memakluminya dan aku bisa merasakan apa yang Nita rasakan. Sama sepertiku, rasa kecewa dan sakit hati akibat hancurnya rumah tanggaku karena pengkhianatan.
Dan sejujurnya, aku tidak menyimpan dendam pada Nita, begitu juga terhadap suamiku. Seiring berjalannya waktu, perlahan… aku bisa menerima kenyataan bahwa inilah keadaanku, inilah takdir yang harus kujalani.
“Kok kelihatan senang banget?” tanya Pram.
“Senang?? Kok bisa? Emang ada yang beda?” tanyaku heran.
“Wajahnya kelihata ceria aja.” Jawab Pram, sembari menyetir.
“Hehehehehe.. gak apa-apa sih Pram, seneng aja liat kalian ngumpul gitu, kayaknya kalian hidup tanpa beban. Bawaannya bahagia mulu, ketawa, becanda, kayak gak ada beban.”
“Itu cuman penampakan luarnya kok. Daripada stres, pusing mikirin hidup, jadi ya dibawa santai aja sih bu. Dinikmati aja tiap prosesnya.”
“Saya juga sama seperti ibu, harus mikirin hidup. Sekarang mikirin kuliah, sambil buat rencana setelah kuliah mau gimana, rencananya apa? Mau kemana.”
Jawaban Pram menunjukkan kualitas kepribadiannya, dia benar, mereka sama sepertiku, yang membedakannya adalah bahwa aku terlalu banyak memikirkan hal-hal tersebut dan lupa cara menikmati hidupku.
Tak terasa, akhirnya kami sampai dirumah. Setelah memasukan mobil kedalam garasi, Pram membantuku membawa belanjaan kedapur.
“Pram, nanti malam mau makan apa?”
“Belum tau bu, ini kan masih siang.” “Haaduuuhhhh kamu ini.. ribet yah kalo nanya sesuatu sama kamu”
“Maksud ibu, kamu mau dimasakin apa? Tuh lihat, ibu udah belanja banyak.” Sambungku lagi.
“Oo gitu.. hhmmm.. apa aja deh bu, saya ngikut aja”
“Ya udah, kalo gitu nanti malam kita makan sama-sama ya. Ibu juga males kalo makan cuman sendirian.”
Sepanjang siang kugunakan waktuku untuk kembali mencari lowongan pekerjaan, lalu kembali membuat surat lamaran dan melengkapi beragam persyaratan sesuai yang tertera di iklan.
Aku begitu bersemangat dan merasa optimis bahwa kali ini, aku pasti akan mendapat pekerjaan yang aku cari.
Jam 7 malam, aku telah tenggelam dalam kesibukan didapur. Ditemani alunan lagu yang bersumber dari ponsel, aku bernyanyi sambil merajang sayuran, mempersiapkan bumbu untuk memasak makan malam dengan Pram. Susana hatiku sedang gembira.
“Duuuuh, emang bener lagi
happy ya bu? Sampe nyanyi-nyanyi gitu.”
“Eehhh… lho kok kamu masuk gak ngomong-ngomong sih Pram? Udah lama??”
“Lumayan lama sih, dengerin ibu nyanyi sampe 3 lagu, hehehe.. tadi saya ketuk pintu, tapi mungkin ibu gak denger, saya panggil pun ibu gak jawab, jadi ya masuk aja, kirain ibu kenapa-napa, eeeee ternyata lagi nyanyi disini.”
“Iya...yaa, maaf ya..”
“Ibu harus ceria seperti ini setiap hari.. harus bisa membahagiakan hati ibu sendiri.”
“Iya Pram.. makasih ya.”
“kamu buat minum, teh panas, hawanya dingin ini, bisa?” tanyaku.
“Okeee.. siap bu..”
Sejak kejadian dikantor polisi, hubunganku dengan Pram semakin dekat seiring waktu berjalan. Sedikit banyak aku belajar darinya, tentang bagaimana melalui masa-masa sulit hidup, bagaimana cara menikmati hidup.
Usianya memang jauh lebih muda dariku, namun kehadirannya sangat berdampak positif, sangat membantuku. Kegilaan yang terjadi dirumah orangtuaku pun tidak berdampak apa-apa. Pram masih tetaplah Pram yang dulu. Tak pernah sekalipun ia mencoba merayuku, atau mencari kesempatan untuk bercumbu denganku. Ia sangat menghormatiku.
Aku menjadi terbiasa dengan kehadirannya didekatku, dan mulai terbiasa untuk tampil tanpa mengenakan jilbab jika sedang berada dirumah. Dan seperti ketika saat pertama kali ia melihatku tanpa jilbab, ia memujiku.
“kayaknya sih emang lebih cocok dipanggil Mbak aja deh bu.”
“Kok bisa?? Umur ibu hampir 30 lhoo.”
“Tapi masih kelihatan kayak anak muda kok. Apalagi kayak tadi dikampus, pasti orang-orang yang lihat ibu mengira kalo ibu mahasiswi, kuliah disitu.”
“Gomballll… “ jawabku sambil menyeruput teh panas buatan Pram.
“Tapi ya terserah kamu aja Pram, mau panggil Mbak, boleh. Mau panggil ibu, boleh. Mau panggil sayang juga boleh kok.”
“Ehhhh.. kok sayang..??” tanyanya heran.
“Lhoooo… lupa ya..??” tadi dikampus kita bilang kalo kita pacaran lhooo.” Jawabku sambil tertawa.
“Hahahahahahahaha.. iya ya.. kita pacaran. Mimpi apa ya sampe bisa punya pacar kayak gini.”
“Lhoo.. makaudnya?? Punya pacar ibu-ibu gitu? Punya pacar gendut, jelek, tua gitu?” tanyaku.
Kami sedang dalam suasana bercanda, dan aku yakin pun sepaham denganku. Ia lalu mendekat kesampingku, kedua tangannya memegang lenganku, dan perlahan menuntun tubuhku untuk berhadapan dengannya.
“Yang saya lihat bukan fisik ibu, bukan tubuh ibu. Saya melihat hati ibu.”
Ia berkata sambil menatapku dalam-dalam, tatapan yang sama seperti saat untuk pertama kali ia mengecup bibirku diruang tengah rumahku, dikampung halamanku. Dan lagi-lagi aku tak mampu melawan tatapan itu. Aku hanya menundukkan sedikit wajahku demi menghindari tatapannya.
“Iya Pram.” Jawabku singkat.
“Ibu harus bangga dengan diri ibu sendiri, ibu harus percaya diri.” Sambungnya lagi.
Aku hanya mengangguk pelan, mengamini perkataannya yang memang benar adanya.
“Duuuuhhh.. pacarkuuuu.” Sambung Pram lagi sambil mengusap rambutku.
Kami tertawa bersama setelah ia mengucapkan kalimat yang sebenarnya lebih pantas untuk diucapkan oleh ABG tersebut.
Aku sengaja tak mengenakan jilbab karena telah terbiasa dengan kehadirannya. Aku masih tertawa pelan mendengar ucapannya, layaknya ABG yang sedang jatuh cinta.
“Lho kok ketawa?” tanyanya sambil mengangkat wajahku dengan jari telunjuknya.
“Gak apa sih Pram, lucu aja, kita kayak ABG.”
“Hahahahaha, iya sih kayak ABG, tapi gak apa, sesekali jadi ABG lagi aja biar gak bosan.”
Selalu saja ada jawaban diplomatis dan logis dari Pram yang membuatku kagum dan nyaman jika bersamanya. Dan semua ini membuatku sangat menikmati moment bersamanya.
“Ibu yakin mau kerja warung itu?”
“Yakin banget Pram. Sambil nunggu panggilan kerja, daripada ibu nganggur dirumah.”
Setelah makan malam bersama Pram, yang disertai dengan obrolan dan canda tawa, aku mengistirahatkan diri, bersiap menyambut hari baru, langkah baru dalam lembaran hidupku.
☆☆☆☆☆
“Bu, kita berangkatnya barengan aja, pakai motor aja. Gimana?”
“Lho nanti kamu pulang jam berapa? Ibu pulang jam 5 lho Pram.”
“Udah, tenang aja bu, nanti saya jemput. Saya selesai ujian jam 11 siang. Nanti saya kan bisa pulang dulu, sorenya baru saya jemput ibu."
“Tapi nanti kamu repot lho Pram.”
“Enggak kok bu, tenang aja. Kalo pakai motor, kita bisa hemat BBM bu.”
“Beneran gak ngerepotin kamu Pram?”
“Udah. Pokoknya ibu manut aja. Oke?” Pram bersikeras.
Apa yang dikatakan oleh Pram memang benar. Aku harus mulai berhemat, harus mulai mengatur keuanganku, karena sekarang aku adalah tulang punggung untuk diriku dan Nova putriku. Dan sekali lagi, Pram mendapatkan simpatiku.
Pram mengantar aku sampai didepan warung.
“Hari pertama bekerja, semangat..!” ucapnya sebelum melangkah pergi.
Aku hanya tersenyum melihat kepergiannya. Dia begitu antusias, begitu bersemangat dalam mendampingi aku, dia menularkan semangatnya padaku dan selalu mendorongku untuk selalu maju.
Warung kecil ini tidak terlalu ramai saat pagi, namun saat menjelang makan siang, pengunjungnya akan membludak. Masakan ala rumah, dan harga yang murah menjadi daya tarik tersendiri bagi para mahasiswa.
Aku sedang membersihkan meja ketika 2 orang mahasiswa masuk dan mulai memilih menu makanan mereka. Aku harus segera membersihkan meja-meja karena mendekati waktu jam makan siang, sebentar lagi warung kecil ini akan ramai pengunjung.
"Mbak baru ya disini?” tanya seseorang dari mereka.
“Iya mas, baru hari ini kerja."
Dari kejauhan, kulihat ibu pemilik warung nampak tidak nyaman dengan kehadiran kedua orang tersebut.
“Sayang.. cakep-cakep jadi pembantu.” Sambung temannya yang berkepala botak.
Aku menjadi tak nyaman, dan sedikit takut terhadap mereka. Setelah meja tersebut selesai kubersihkan, mereka langsung menempatinya. Tepat saat aku membalikkan badan dan hendak beranjak kedapur, kurasakan salah seorang dari mereka meremas pantatku.
“Ckckckckckckc… pantatnya montok..!” gumannya.
Shock, dan takut membuatku berdiri mematung tak jauh dari kedua orang itu sementara mereka tertawa setelah melakukan pelecehan itu.
Beberapa pengunjung warung pun tak ada yang berani menegur mereka.
Di depan pintu, kulihat Rita, Topan dan serombongan teman-teman Pram berdiri disana, Pram pun ada disana, berdiri dibelakang Rita. Mereka menyaksikan apa yang baru saja terjadi.
Seketika Pram maju, menabrak bahu Rita dan menghampiriku.
“Ibu baik-baik aja?”
Aku hanya berdiri mematung, tidak menjawab pertanyaan Pram. Aku shock.
Pram lantas mendatangi kedua orang tersebut.
‘
Bbbrraaaaaakkkk’
Pram menjambak rambut orang tersebut lalu menghantamkan wajahnya ke meja. Seluruh pengunjung warung kaget mendengar suara keras benturan tersebut.
Seorang yang lain hendak berdiri dan memukul Pram, namun Topan dan kedua temannya segera berdiri disamping Pram.
“Lo diem..Duduk lo!!” bentak Topan pada orang yang hendak memukul Pram, yang berkepala botak.
Rita menghampiriku lalu memelukku.
Sekilas kulihat darah menetes dari hidung orang yang wajahnya dihantamkan ke meja oleh Pram.
“kamu udah kuliah, udah dewasa, tapi gak tau cara menghormati perempuan” kata Pram.
‘
Bbbrrraaaakkkk’
Sekali lagi Pram menghantamkan wajah orang itu ke meja. Semua yang ada disitu terdiam. Pram terlihat begitu emosi. Wajahnya memerah dan tatapan matanya terlihat begitu tajam mengintimidasi.
“Udah Pram, gue yang urus” Topan menarik lengan Pram, menjauhkannya dari kedua orang itu.
“Siapa nama lo?”
'Ppllaaakkkkk!!'
Sebuah tamparan diberikan pada orang yang wajahnya berdarah.
“SIAPA NAMA LO?!” bentak Topan lagi.
“Rio bang.”
“Kalo lo..?” tanya Topan pada seorang yang lain.
“Diki bang”
“Udah lama gue perhatiin lo berdua. Sering gangguin cewek-cewek dikampus ini. Gue tau lo anak jurusan mana, lo angkatan berapa, lo tinggal dimana. Gue tau semua. Dan ini jadi peringatan pertama dan terakhir buat lo berdua. Sekali lagi lo kurang ajar sama cewek-cewek disini, gue jamin, lo bakalan babak belur dan masuk penjara. PAHAM..?!"
“Iya bang.”
“Sekarang lo minta maaf sama mbak itu.”
Kedua orang itu menghampiriku dan meminta maaf, namun aku tak menjawab apapun karena rasa takut dan shock masih menguasai tubuhku. Aku bahkan bersembunyi dibelakang tubuh Rita.
Akhirnya, kedua orang itu pergi dan ibu pemilik warung mengijinkan aku untuk beriatirahat sejenak, sekedar untuk menenagkan diri.
“Kalian makan duluan.” kata Pram seraya memegang tanganku pergi dari tempat itu.
Part 2 menyusul beberapa jam kedepan ya...