Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

RINDIANI – Seri 2
Melangkah di Lembaran Baru​


Seperti kata ibuku, mungjin aku belum berjodoh dengan sebuah pekerjaan, begitulah keadaan yang harus kujalani. Penghasilan yang berasal dari kost 3 kamar milikku tentu saja tidak bisa kuandalkan sebagai penopang ekonomi untuk Nova dan diriku sendiri. Tak mungkin pula aku mengharapkan kedua orangtuaku untuk membiayai kehidupan kami berdua.

Hhuufffff..’ sesulit ini kah hidup yang harus kujalani?

☆☆☆☆☆

Hari berganti minggu, dan sepertinya aku harus kembali mulai mencari lowongan pekerjaan, mulai mengirimkan lamaran lagi. Sudah 3 minggu berlalu sejak pertemuanku dengan Pram dirumah orang tuaku, dan belum juga ada informasi lowongan pekerjaan darinya.

Setelah berdiskusi dengan kedua orangtuaku, kuputuskan untuk kembali kerumahku, mulai mencari pekerjaan lagi. Aku sudah bertekad, akan melakukan pekerjaan apapun untuk memulai lembar hidupku yang baru. Kedua orantuaku pun dengan berat hati menyetujui keinginanku ini. Namun mereka tetap meminta agar Nova tetap bersama mereka, agar kesehariannya bisa diperhatikan dan hidupnya terawat.

Aku mengerti dan memaklumi keinginan kedua orangtuaku, apalagi tujuanku pulang ke kota untuk mencari pekerjaan, tentu saja kehadiran Nova akan sedikit merepotkanku.

Seiring dengan berjalannya waktu, kabar keretakan rumah tanggaku pun telah tersebar luas. Tetangga di kampung halaman, teman-temanku semasa kuliah yang masih mengingatku, semua telah mengetahuinya. Hal ini membuatku semakin minder dan malu untuk sekedar bertemu mereka, atau sekedar saling menyapa lewat media sosial. Banyak diantara mereka yang memberi dukungan padaku, namun ada pula yang meresponnya dengan nada miring. Seperti itulah realita yang kuhadapi, sebuah realita yang semakin mempersulit kehidupanku.

Yang membuatku sedikit terpukul adalah respon seorang teman kuliahku dulu, seorang wanita yang memang sangat cantik dan menyandang predikat ‘kembang kampus’ sejak pertama kalu menginjakkan kakinya disana, hingga selesi kuliah. Grup media sosial alumni kampus seangkatanku pun heboh dengan apa yang dia tuliskan disana.

Gue kenal suamjnya si Rindi, lumayan cakep orangnya. Wajar aja kalo akhirnya dia selingkuh. Liat aja selingkuhannya jauh lebih cantik, seksi, ramping gitu. Laki mah emang gitu, kalo liat yang bening langsung main hati. Makanya kalo jadi cewek, jadi ibu rumah tangga, rajin-rajin ngerawat diri, biar suami betah dan gak main gila diluar.’

Setelah membaca postingan tersebut, aku memutuskan keluar dari grup itu, dan tak hanya sampai disitu saja, aku bahkan menutup semua akun media sosial milikku. Aku malu, teramat malu terhadap orang-orang diluar sana. Aku malu aib keluarga kecilku menjadi bahan perbincangan diluar sana.

Aku menghubungi Pram, memintanya untuk menjemputku karena aku membawa serta sebuah tas berukuran besar yang berisi pakaianku. Aku berencana untuk tinggal sementara waktu dikota, mencari lowongan pekerjaan, dan melihat kemungkinan jika ada peluang untuk membuka usaha kecil-kecilan sebagai rencana cadangan, jika aku belum menemukan pekerjaan.

Pram menyanggupinya, namun karena ia harus kuliah sampai sore hari, ia baru akan menjemputku malam harinya. Aku tak mempermasalahkannya, yang penting aku harus segera kembali ke kota dan memulai lagi mencari pekerjaan. Berat rasanya untuk berpisah dengan Nova, putri kecilku, namun aku tak punya pilihan lain. Aku harus melakukannya, demi kehidupan yang lebih baik di masa depan.

Pram menepati janjinya untuk menjemputku. Ia tiba ketika hari sudah gelap.

“Kamu udah makan, Pram?”

“Belum bu, tadi habis kuliah langsung berangkat kesini, takut kemalaman.”

“Kalo begitu, kita makan malam sama-sama, biar nanti gak kelaparan dijalan” ajak ibuku.

Kehadiran Pram dirumahku selalu membawa suasana yang ceria. Nova, putri kecilku selalu ingin berada didekat Pram, sehingga Pram pun sedikit kesulitan dalam menyantap makanannya. Pram tidak keberatan dengan hal itu, ia malah nampak sangat menikmatinya.

Hampir pukul 10 malam, aku dan Pram pun pamit.

“Nak pram, bapak titip Rindi ya, nak”

“Iya pak.”

Dan seperti bisanya, Pram menyalami tangan kedua orangtuaku dan mencium punggung tangan mereka. Tak lupa, Pram mencium pipi Nova yang tengah tertidur lelap dalam pelukan ibuku.

Setelah aku memeluk dan menyalami kedua orangtuaku, kami pun berangkat.

“Kamu sehat Pram?”

“Sehat bu.”

“Ibu gimana, baik-baik aja kan?”

“Kayaknya hampir semua orang yang ibu kenal sudah tahu masalah rumah tangga ibu.”

“Ibu malu, Pram.” Keluhku.

Pram mengendarai mobil dengan lambat, karena jalan yang berkelok-kelok diatas perbukitan. Gelap dan sepi, karena tidak ada lampu penerangan jalan raya.

“Bu, kalo ibu masih mikirin apa kata-kata orang diluar sana, ibu gak bakal maju, gak bakal move on. Kalo bisa sih, ibu fokus aja sama langkah hidup ibu. Toh selama ini, mereka bukan orang yang ngurusin hidup ibu, bukan orang yang peduli sama ibu, sama Nova.”

“Jangan dipikirkan bu, cuekin aja.” Sambungnya lagi.

“Iya sih, kamu benar Pram.”

Suasana sepi kembali mengitari kami, hanya deru suara mesin mobil yang membelah kesunyian perbukitan dalam gelap malam. Banyak hal yang kembali silih berganti merasuki kepalaku, salah satunya komentar pedas rekan kuliahku di grup media sosial.

“Pram, menurut kamu ibu kurang apa?”

“Hah..?? Maksudnya??”

“Ya kalo menurut kamu sebagai laki-laki, ibu ini kurang apa?”

“Haduuhhhh… bu. Kurang gimana? Maksudnya gimana?”

“Eeemmmm.. ibu kurang seksi ya? Kurang pinter diranjang ya?”

Pram terkejut dengan pertanyaanku.

“Maaf ya bu, saya kenal ibu belum lama lho. Dan kalo menurut saya, seksi itu tergantung selera masing-masing aja kok. Kalo urusan ranjang.. ya, hhmmmm, yang saya rasakan sih, ibu hebat.”

Aku malu mendengar jawaban Pram, lantas menundukkan wajahku yang aku yakin memerah.

“Kamu udah pernah bercinta, Pram?”

“Belum.”

“Hhaahh..?? Beneran..??”

“Bener bu. Belum pernah. Pacaran juga belum pernah.”

“Berarti waktu malam itu, kamu baru pertama..”

“Hehehehehehe… iya bu, pengalaman pertama.”

“Tapi kok kamu pinter gitu?? Kayak udah pengalaman.”

“Hhmmm.. kalo itu sih, ngikutin naluri aja, sama pernah lihat film bokep.”

“Haaduuhhhhh.. kamu ini. Ternyata masih perjaka ting-ting.”

Pram hanya tertawa, sementara aku masih terkejut dengan pengakuannya.

“Tapi kamu pinter, kayak udah berpengalaman.” Sambungku.

“Masa sih..? Eeeemmmm… ibu puas gak?”

“Ihhhh.. kok nanya gitu sih??” tanyaku balik karena malu.

“Ya pengen tau aja sih bu, ibu puas apa enggak? Atau mungkin malah gk suka?”

“Duuuhhhh.. kok jadi bahas gituan sih?! Protesku karena malu.

“Lhooo.. tadi kan emang kita lagi bahas urusan ranjang.” Balas Pram.

“Kalo saya sih puas sama permainan ibu, beneran puas.” Sambungnya lagi.

“Haduuuhhhhhh… Prammmm… udah ah.. ibu malu..!!” protesku sambil menutupi wajah dengan kedua tangan.

“Ya penasaran aja sih bu, pengen tau aja penilaian ibu.”

“Duuuuhhhhh, kamu ini makin nakal aja Pram.”

“Ya udah kalo kamu mau tau pendapat ibu.”

“Jujur aja, ibu puas malam itu.” Lanjutku.

Aku yakin wajahku merah padam karena telah berkata jujur tentang apa yang aku rasakan saat malam itu.

Pram adalah laki-laki pertama memberiku pengalaman pertama merasakan orgasme lewat oral sex, hal yang belum pernah aku rasakan sebelumnya saat bercinta dengan suamiku.

Aku pernah menonton dilm porno beberapa kali, sebagai sarana untuk belajar, agar lebih pintar dalam melayani suamiku. Namun ternyata, realita berkata lain, suamiku kepincut dengan perempuan lain. Pahit, sungguh pahit kenyataan hidupku.

Suasana gelap disepanjang jalan menghadirkan pemandangan indah dilangit yang cerah. Ribuan, mungkin jutaan bintang bersinar, kerlipnya sempurna memperindah langit malam.

Hampir jam 12 malam kami tiba dirumahku, dikota pelajar.

“Bu, saya pamit ya, mau langsung istirahat, besok ada ujian.”

“Ooohhh, besok kamu ujian?? Kok gak ngomong sih?? Kalo ngomong kan ibu gak akan ganggu kamu Pram.” Protesku.

“Gak apa-apa kok bu, lagian cuman 1 mata kuliah aja. Sekalian juga lihat Nova, soalnya kangen sama dia.”

“Ya udah, kamu istirahat dulu, makasih ya Pram.”

Tampaknya Pram telah membersihkan rumahku, karena di setiap sudut ruangan, setiap perabotnya bersih dari debu, walaupun telah lama kutinggalkan. Dia benar-benar melaksanakan amanah yang kuberikan padanya untuk menjaga rumah ini.

Sejak peristiwa perselingkuhan suamiku, aku memiliki kebiasaan baru, sebuah kebiasaan yang buruk yaitu bergadang sampai larut malam. Terkadang badanku terasa lelah, namun mataku belum bisa tertutup karena begitu banyak hal yang tiba-tiba muncul dikepalaku. Aku telah berbaring dikamar tidurku, dan berharap agar bisa terlelap dengan segera, namun, lagi-lagi harapanku tak terwujud.

Aku kembali teringat akan perkataan rekan kuliahku yang sangat pedas. Mungkin, ada kebenaran yang terkandung dari tulisannya tersebut, bahwa sebagai cewek, sebagai ibu, harus pandai merawat diri untuk suami. Dalam hal ini aku setuju, namun apakah hanya karena hal itu, lantas suamiku berselingkuh?? Apakah aku sudah tidak menarik lagi dimatanya? Sebuah pertanyaan yang akan selalu menjadi penganggu bagiku.

Disisi lain, aku pun mengamini apa yang diucapakn oleh Pram, bahwa cantik itu relarif, tidak ada standar yang jelas untuk kategori cantik. Sebuah pemikiran dari dunia abu-abu yang masih jadi perdebatan. Tanpa sadar, akhirnya aku tertidur, terlelap dengan begitu banyak pertanyaan dikepalaku.

“Pram, kamu pakai mobil ibu aja biar gak kehujanan. Nanti kan kamu harus ujian.”

“Enggak bu, Pakai motor aja, saya malu sama teman-teman dikampus. Gak enak bu.”

“Pram, ini hujan lhooo.. dan kamu harus ujian. Pakaian kamu bisa basah, kamu bisa sakit.”

“Saya pakai jas hujan bu.”

“Udah, jangan ngeyel sama ibu. Kamu pakai mobil ibu aja, atau ibu yang anterin kamu ke kampus.”

Hujan kembali mengguyur bumi kota pelajar dengan deras. Beberpa titik ruas jalan bahkan tergenang banjir. Hal itulah yang membuatku memaksa Pram untuk memakai mobil, lagipula aku tidak memiliki rencana untuk keluar hari ini.

“Ya udah, kalo ibu aja yang anterin saya gimana?” tanya Pram.

“Iya, bisa kok. Sekalian ibu mau beli koran buat cari lowongan pekerjaan lagi. Oh iya, ibu juga mau belanja kebutuhan dapur.”

Sepanjang perjalanan, terlihat genangan air dimana-mana sementara hujan masih terus berlanjut. Langit tampak gelap, layaknya senja menjelang malam.

“Nanti dijemput jam brapa?” tanyaku.

“Jam 12 siang bu. Ujiannya selesai jam 12.”

“Okeee. Berarti ibu sempat belanja dulu, setelah itu ibu jemput.”

“Iya bu, gak dijemput juga gak apa-apa bu, nanti naik ojek aja.”

“Eehhh, engak boleh. Nanti ibu jemput.”

Dan sampailah kami didepan kampus Pram, sebuah kampus yang megah diwilayah Gejayan, tempat terjadinya tragedi memilukan yang merenggut korban jiwa, yang kemudian namanya di abadikan menjadi sebuah nama jalan di Gejayan tersebut.

“Semoga sukses ya Pram.”

“Iya bu, ibu hati-hati nyetirnya.”

“Makasih ya bu” sambungnya.

Saat ia hendak membuka membuka pintu mobil,

“Eehhhhh.. udah? Gitu aja??” kataku.

Segera Pram membatalkan niatnya. Jari telunjukku menunjuk ke pipiku sendiri sambil sedikit mencondongkan wajahku kearahnya. Pram paham dengan isyarat dariku, lantas mengecup pipi kiriku. Tak hanya sampai disitu, ia bahkan mencium bibirku, melumatnya dengan penuh perasaan. Aku sedikit terkejut, namun dengan segera, aku membalas dengan melumat bibirnya. Pram terlena dengan ciuman kami, namun aku harus segera mengakhirinya karena ada Ujian yang menantinya.

“Pram, inget ujian.”

“hehehehehe.. oke siap bu.”

“Fokus ke ujian aja lho Pram, jangan mikir macem-macem” kuingatkan lagi Pram.

Pram hanya tersenyum, sambil mengacungkan jempolnya. Aku meninggalkan kampus itu dengan senyum terkembang diwajahku. Entah mengapa aku bisa menjadi seperti ini, menjadi perempuan yang lebih agresif, layaknya ABG yang sedang dalam masa puber.

Aku kembali mengingat kejadian didepan rumahku, beberapa waktu yang lalu, ketika dengan nekatnya memintanya menciumku.

Hhhuuuuuffffff’ aku sedang kasmaran’ gumanku dalam hati.

Sambil menunggu waktu menjemput Pram, aku belanja berbagai kebutuhan dapur sebagai persiapan untukku selama tinggal dirumah. Dan yang tak kalah pentingnya, aku membeli beberapa surat kabar, sebagai sarana mencari lowongan pekerjaan.

Masih ada banyak waktu yang tersisa sebelum menjemput Pram, dan kuputuskan untuk menunggunya di kampusnya. Sambil membaca koran, aku duduk di deretan bangku-bangku yang tersedia di hall. Tak ada yang memperhatikanku, karena mungkin mereka berpikir aku adalah salah satu mahasiswi disitu. Kemeja lengan panjang dipadu dengan celana jeans berwarna biru dan sepatu membuatku terlihat seperti mahasiswi.


Aku sedang asik melihat lowongan pekerjaan ketika tiba-tiba seorang wanita cantik duduk disampingku. Aku tak mengacuhkannya.

“Aku mau bicara.” Gumannya.

Aku lantas melihat kesekelilingku, tidak ada seorangpun yang duduk disitu selain kami berdua.

“Saya..??” tanyaku heran.

“Kupikir aku sudah memilikinya, tapi ternyata aku salah. Dia masih mengingatmu, dihatinya masih ada kamu.” Gumannya.

Aku mendengarkan setiap ucapannya, namun aku masih belum mengerti hal apa yang ia bicarakan, lagipula, aku tak mengenal gadis cantik yang berada disampingku ini.

“Terkadang dia masih bercerita tentang kamu. Dia selalu membandingkan aku denganmu. Rasa-rasanya aku bukan wanita sempurna dimatanya.” Sambungnya lagi.

Deegg’ tiba-tiba aku tersadar. Wanita yang berada didepanku ini adalah wanita yang telah merebut suamiku!

Sekuat tenaga aku mencoba mengendalikan emosiku, menahan amarahku.

“Aku minta maaf. Aku merebutnya darimu.”

“Aku mencintainya.”

Entah mengapa aku kasihan padanya. Rasa amarah dan emosiku berubah setelah mendengar pengakuannya.

Sebuah kejujuran yang membutuhkan keberanian yang luar biasa besar. Wajahnya tampak sedih, seperti seorang yang sedang putus asa. Aku yakin, dia telah berkata jujur padaku.

“Mungkin kamu mendengar ucapan saya saat dikantor polisi waktu itu. Saya serius dengan ucapan saya waktu itu.”

“Saya tidak menyalahkan kamu, saya tidak menyalahkan suami saya, saya menganggap masalah ini sebagai takdir yang harus saya jalani. Itu saja.”

“Kamu jangan khawatir, sekarang dia milikmu karena saya sudah menghapusnya dalam kehidupan saya. Saya sudah menutup pintu hati saya untuknya.” Sambungku.

Wanita cantik dihadapanku hanya menundukkan wajahnya, tak sekalipun ia menatapku. Kulitnya putih bersih, tubuhnya ramping dengan rambut hitam legam yang terurai hingga ke bahu.

Dari kejauhan, kulihat Pram sedang berjalan menuju kearahku dan disampingnya, segerombolan teman-temannya yang telah kukenal.

“Kamu tenangkan hatimu. Jangan khawatir. Dia telah menjadi milikmu” kataku padanya sambil memegang pundaknya.

Tampaknya ia menyadari kedatangan Pram dan teman-temannya sehingga ia bangkit berdiri dan pergi begitu saja. Sebelum melangkah pergi, ia sempat menatapku dan sedikit tersenyum, sebuah senyum keterpaksaan dari hati yang sedang bimbang.

“Mbak kuliah disini..?” tanya Rita, salah satu teman perempuan Pram.

“Enggak, Ini cuman mau jemput Pram aja kok.”

“Jiiaaahh.. manja bener lo” timpal Rita.

“Ngomong-ngomong, mbak kenal sama Nita ya?” tanya seorang yang lain yang juga ikut bersama Pram.

“Nita..? Nita siapa??”

“Itu lho yang tadi ngobrol sama mbak.”

“Oooo.. itu.. Mbak gak kenal kok, lagian tadi dia cuman nanya jam berapa sekarang, terus sekalian aja mbak nanya ke dia, kenal Pram ato enggak, nanyain kalian pulang jam berapa. Ternyata dia gak kenal kalian.”

“Hehehehehe.. kirain mbak kenal dia, kalo kenal sih pengen nitip salam.” Celetuk salah satu teman pria Pram.

“Hhhhuuuuuuuuuu…!” sorak teman-temannya yang lain.

“Jangan bro.. lo gak bakal mampu. Denger-denger sih doi kekepan om-om gitu. Mending lo nyari yang lain." balas salah seorang teman pria Pram.

Aku terkejut mendengar perkataan teman Pram. Dan mungkin ada benarnya atas apa yang telah ia ucapkan, sejalan dengan apa yang kualami.

“Ya kali aja dia mau.”

“Hhhuuuuuuuu….” Lagi-lagi sekempulan anak muda itu bersorak.

“ngimpi lo..!” celetuk sesorang yang lain.

Aku tertawa melihat tingkah lucu mereka, dan keramaian mereka pun mengundang perhatian sejumlah mahasiswa mahasiswi yang lalu lalang disitu.

“Lo udah punya pacar, gak usah macem-macem.” Sahut yang lain.

“Mending kasih Pram aja, kasihan dia, udah musim hujan ini.” Timpal Rita.

Pram kembali menjadi sasaran candaan mereka. Ia hanya tertawa sambil menggelengkan kepala.

“Sudah sudah sudah… stop. Kalian mau ujian lagi atau mau pulang atau mau gimana?” tanyaku.

“Eh, makan bareng lagi yuk, di tempat biasa” jawab Rita.

“Boleh tuh..kebetulan gue laper.” Jawab teman Pram yang berasal dari ibukota, yang akhirnya kuketahui bernama Topan.

Dan akhirnya akupun mengikuti langkah mereka menyusuri lorong kampus Pram untuk menuju ke warung makan langganan mereka. Setelah keluar melalui pintu belakang kampus, kami memasuki sebuah gang kecil yang lebarnya hanya cukup untuk dilalui oleh 2 orang dewasa.

Warung kecil itu berada, tepat diujung jalan tersebut. Bentuknya hanya sebuah rumah biasa, dan ruang tamu disulap menjadi sebuah warung kecil yang berisi 4 meja, begitu juga dengan bagian terasnya. Suasana didalam sangat ramai karena bertepatan dengan jam makan siang.

Rombongan kami berjumlah 7 orang, sehingga kami harus menggabungkan 2 meja kecil agar bisa menampung kami.

Kami harus mengantri untuk mengambil menu makanan, karena diwarung ini memakai model prasmanan. Dan seperti biasa, canda dan tawa terus saja terjadi, membuat suasana warung semakin ramai.

“Maaf ya, ibu kerepotan soalnya si mbak yang biasa bantuin ibu disini udah berhenti.” kata si ibu pemilik warung sambil membersihkan sisa makanan diatas meja, sebelum kami gunakan.

“Kok ibu gak cari gantinya sih?” tanya Pram.

“Haduh Pram, kamu tau sulitnya nyari orang yang mau kerja kayak gini. Semua pada gengsi Pram, jadi ya terpaksa ibu yang kerjain semuanya.”

“Kalo kamu ada teman yang cari kerja, bilang ke ibu ya Pram, ibu bener-bener kerepotan sekarang.”
“Iya bu.”

Sambil menyantap makan siang, mereka terus saja bercanda. Dan sepertinya memang inilah bentuk pertemanan mereka, saling ejek, lalu salin tertawa bersama.

Sesekali Pram pun ikut terlibat dalam keramaian mereka, kemudian tertawa bersama-sama. Masa muda yang indah.

“Pram.. udah musim hujan. Dingin.” Celetuk Rita.

“Iya Pram, kalo cuman selimut doang mah gak asik, enakan selimut hidup, yang bisa meluk.” Timpal Topan.

Seperti biasanya, mereka kembali tertawa sementara Pram hanya tersenyum sambil terus menikmati makan siangnya.

“Lho kalian belum tau ya?? Pram belum cerita??” tanyaku ditengah tawa mereka, sementara Pram melirikku dengan tatapan aneh.

“Apaan mbak?” tanya Rita.

“Pram udah punya pasangan lhooo.. dia udah punya pacar sekarang.” Jawabku sambil menginjak kaki Pram dibawah meja, sementara ia masih menatapku dengan tatapan aneh.

“Yang bener mbak..?? Siapa?? Tanya Rita penasaran, begitu juga dengan wajah teman-temannya yang lain.

“Beneran lhooo. Pram udah punya pacar.” Jawabku dengan serius untuk meyakinkan mereka.

“Siapa mbak..??” Tanya Rita lagi.

“Kenalin..” jawabku sambil menjulurkan tanganku padanya.

Tiba-tiba suasana hening. Semua terdiam dan berhenti sejenak sambil memandang wajahku dan wajah Pram secara bergantian. Dengan raut wajah tak percaya, Rita menyalami tanganku.

“Telenovela yang bagus.” Sindir Topan.

“diiihhhhhh… sirik.” Balas Pram.

Dan mereka semua kembali tertawa. Untuk lebih meyakinkan, aku merangkul lengan Pram lalu menyandarkan wajahku disana.

“Udah sayang, biarin aja.” Gumanku sambil bermanja-manja dilengannya.

Mereka kembali terdiam, dan menatap kami dengan tatapan aneh, tatapan tidak percaya.

“Ini serius..??!” Tanya seorang teman laki-laki Pram yang belum kuketahui namanya.

“Serius dong..” jawabku.

“Iya kan sayang??” sambungku lagi dengan bertanya pada Pram.

Dibawah sana, aku kembali menginjak kaki Pram.

“Iyaaa..” jawabnya singkat, lalu mengecup keningku.”

Topan, dan beberapa teman Pram yang lain terbatuk-batuk melihat tingkah kami, sementara Rita memandang kami dengan mata terbelalak.

“Oke fix, kita makan!” seru salah seorang teman Pram.

“Iya.. traktiran.. pajak jadian kalian.” Sambung Rita.

“Eeehhh.. gak bisa..! Gak ada traktir-traktiran!” seru Pram.

Dan semua pun tertawa.

Bersama mereka, aku merasakan kegembiraan, melupakan sejenak beban hidupku. Mereka benar-benar menjalani hidupnya dengan penuh kesenangan, penuh tawa, tidak sepertiku yang telah dipenuhi oleh berbagai tuntutan dan beban hidup. Melihat mereka tertawa, melihat mereka tersenyum, sungguh sangat menyenangkan. Mereka terlihat begitu optimis menatap masa depan, terlihat tak memikirkan tentang kehidupan.

“Pulang yuk.” Kata Pram pada kami.

Satu persatu kami membayar makanan yang telah kami santap pada ibu pemilik warung.

“Pram, jangan lupa pesan ibu ya, kalo ada temanmu yang mau kerja disini.”

“Eh, gimana kalo saya aja bu??” tanyaku. Aku berdiri disamping Pram.

“Hah?? Mbak yakin?? Tanya si ibu, sementara Pram tercengang melihatku.

“Kayaknya sih bisa bu, emangnya kerjaannya apa?”

“Kerjaannya ambilin piring dan gelas yang udah terpakai dimeja, dibawa kedapur, nanti ada yang nyuci disana. Trus kamu bersiin meja, di lap biar bersih.”

“Ooo gitu.. kayaknya sih bisa tuh”

“ngomong-ngomong, gajinya berapa ya bu?” tanyaku lagi.

“Kalo gaji sih kecil mbak, ibu cuman mampu ngasih 800.000 per bulan. Tapi setiap hari minggu kita libur, sesuai jadwal perkuliahan kampus. Makan juga gratis disini mbak."

Bagiku, gaji sejumlah itu cukuplah besar jika dibandingkan dengan beban pekerjaannya yang terlihat mudah bagiku. Aku seorang ibu rumah tangga, dan pekerjaan itu adalah santapanku setiap hari.

“Ya udah, kalo gitu biar saya aja yang kerja disini, bantu-bantu ibu. Sambil nunggu panggilan kerjaan bu. Boleh?”

“Boleh banget mbak.. ibu malah senang. Ya udah, besok mbak datang jam setengah delapan pagi ya, bisa mbak?"

“Bisa bu.” Jawabku dengan antusias.

Pram masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan. Begitu juga dengan teman-temannya yang masih ada disitu. Setelah selesai membayar, kami pun membubarkan diri masing-masing.

“Brooooo… buruan pulang, ujan. Diluar dingin! Enakan dikamar, pakai selimut hidup” teriak Pram pada Topan yang telah pergi mendahului kami.

Disaat bersamaan, tanganku masih terselip dilengan Pram kemudian dengan gestur mengejek, aku menyandarkan pipiku dilengannya.

“Njjjiiiirrrrrrrrrrr….! Kammpreeettt loooo!!!!” makinya.

Sontak saja kami berdua tertawa puas setelah mampu mengerjainya. Kami terus berjalan, menyusuri lorong kampus Pram untuk kembali ke area Parkiran di bagian depan gedung.

“Mbak Rita.”

“Iya mbak?”

“Buruan pulang lho ya, hujan ini. Dingin. Kalo hujan gini sih enaknya pacaran aja mbak.” Sambungku lagi sambil memeluk erat pinggang Pram, sementara wajahku bersandar dibahu Pram.

“Eehhhh… iiihhhhhhh.. BODOOOOOOOO AMATTTTT....!!!!" Balasnya dengan wajah jutek.

Sekali lagi aku dan Pram tertawa puas karena telah membalas candaan mereka selama ini. Pram tampak senang mengerjai teman-temannya, begitu juga denganku.

Entah mengapa hari ini menjadi penuh warna bagiku terutama sejak bertemu dengan Nita, perempuan yang berhasil merebut suamiku. Bukan emosi yang muncul, melainkan rasa iba, kasihan terhadap Nita yang merasa dirinya belum mampu merebut hati suamiku, bahkan ketika suamiku telah meninggalkanku.

Aku memakluminya dan aku bisa merasakan apa yang Nita rasakan. Sama sepertiku, rasa kecewa dan sakit hati akibat hancurnya rumah tanggaku karena pengkhianatan.

Dan sejujurnya, aku tidak menyimpan dendam pada Nita, begitu juga terhadap suamiku. Seiring berjalannya waktu, perlahan… aku bisa menerima kenyataan bahwa inilah keadaanku, inilah takdir yang harus kujalani.

“Kok kelihatan senang banget?” tanya Pram.

“Senang?? Kok bisa? Emang ada yang beda?” tanyaku heran.

“Wajahnya kelihata ceria aja.” Jawab Pram, sembari menyetir.

“Hehehehehe.. gak apa-apa sih Pram, seneng aja liat kalian ngumpul gitu, kayaknya kalian hidup tanpa beban. Bawaannya bahagia mulu, ketawa, becanda, kayak gak ada beban.”

“Itu cuman penampakan luarnya kok. Daripada stres, pusing mikirin hidup, jadi ya dibawa santai aja sih bu. Dinikmati aja tiap prosesnya.”

“Saya juga sama seperti ibu, harus mikirin hidup. Sekarang mikirin kuliah, sambil buat rencana setelah kuliah mau gimana, rencananya apa? Mau kemana.”

Jawaban Pram menunjukkan kualitas kepribadiannya, dia benar, mereka sama sepertiku, yang membedakannya adalah bahwa aku terlalu banyak memikirkan hal-hal tersebut dan lupa cara menikmati hidupku.

Tak terasa, akhirnya kami sampai dirumah. Setelah memasukan mobil kedalam garasi, Pram membantuku membawa belanjaan kedapur.

“Pram, nanti malam mau makan apa?”

“Belum tau bu, ini kan masih siang.” “Haaduuuhhhh kamu ini.. ribet yah kalo nanya sesuatu sama kamu”

“Maksud ibu, kamu mau dimasakin apa? Tuh lihat, ibu udah belanja banyak.” Sambungku lagi.

“Oo gitu.. hhmmm.. apa aja deh bu, saya ngikut aja”

“Ya udah, kalo gitu nanti malam kita makan sama-sama ya. Ibu juga males kalo makan cuman sendirian.”

Sepanjang siang kugunakan waktuku untuk kembali mencari lowongan pekerjaan, lalu kembali membuat surat lamaran dan melengkapi beragam persyaratan sesuai yang tertera di iklan.

Aku begitu bersemangat dan merasa optimis bahwa kali ini, aku pasti akan mendapat pekerjaan yang aku cari.

Jam 7 malam, aku telah tenggelam dalam kesibukan didapur. Ditemani alunan lagu yang bersumber dari ponsel, aku bernyanyi sambil merajang sayuran, mempersiapkan bumbu untuk memasak makan malam dengan Pram. Susana hatiku sedang gembira.

“Duuuuh, emang bener lagi happy ya bu? Sampe nyanyi-nyanyi gitu.”

“Eehhh… lho kok kamu masuk gak ngomong-ngomong sih Pram? Udah lama??”

“Lumayan lama sih, dengerin ibu nyanyi sampe 3 lagu, hehehe.. tadi saya ketuk pintu, tapi mungkin ibu gak denger, saya panggil pun ibu gak jawab, jadi ya masuk aja, kirain ibu kenapa-napa, eeeee ternyata lagi nyanyi disini.”

“Iya...yaa, maaf ya..”

“Ibu harus ceria seperti ini setiap hari.. harus bisa membahagiakan hati ibu sendiri.”

“Iya Pram.. makasih ya.”

“kamu buat minum, teh panas, hawanya dingin ini, bisa?” tanyaku.

“Okeee.. siap bu..”

Sejak kejadian dikantor polisi, hubunganku dengan Pram semakin dekat seiring waktu berjalan. Sedikit banyak aku belajar darinya, tentang bagaimana melalui masa-masa sulit hidup, bagaimana cara menikmati hidup.

Usianya memang jauh lebih muda dariku, namun kehadirannya sangat berdampak positif, sangat membantuku. Kegilaan yang terjadi dirumah orangtuaku pun tidak berdampak apa-apa. Pram masih tetaplah Pram yang dulu. Tak pernah sekalipun ia mencoba merayuku, atau mencari kesempatan untuk bercumbu denganku. Ia sangat menghormatiku.

Aku menjadi terbiasa dengan kehadirannya didekatku, dan mulai terbiasa untuk tampil tanpa mengenakan jilbab jika sedang berada dirumah. Dan seperti ketika saat pertama kali ia melihatku tanpa jilbab, ia memujiku.

“kayaknya sih emang lebih cocok dipanggil Mbak aja deh bu.”

“Kok bisa?? Umur ibu hampir 30 lhoo.”

“Tapi masih kelihatan kayak anak muda kok. Apalagi kayak tadi dikampus, pasti orang-orang yang lihat ibu mengira kalo ibu mahasiswi, kuliah disitu.”

“Gomballll… “ jawabku sambil menyeruput teh panas buatan Pram.

“Tapi ya terserah kamu aja Pram, mau panggil Mbak, boleh. Mau panggil ibu, boleh. Mau panggil sayang juga boleh kok.”

“Ehhhh.. kok sayang..??” tanyanya heran.

“Lhoooo… lupa ya..??” tadi dikampus kita bilang kalo kita pacaran lhooo.” Jawabku sambil tertawa.

“Hahahahahahahaha.. iya ya.. kita pacaran. Mimpi apa ya sampe bisa punya pacar kayak gini.”

“Lhoo.. makaudnya?? Punya pacar ibu-ibu gitu? Punya pacar gendut, jelek, tua gitu?” tanyaku.

Kami sedang dalam suasana bercanda, dan aku yakin pun sepaham denganku. Ia lalu mendekat kesampingku, kedua tangannya memegang lenganku, dan perlahan menuntun tubuhku untuk berhadapan dengannya.

“Yang saya lihat bukan fisik ibu, bukan tubuh ibu. Saya melihat hati ibu.”

Ia berkata sambil menatapku dalam-dalam, tatapan yang sama seperti saat untuk pertama kali ia mengecup bibirku diruang tengah rumahku, dikampung halamanku. Dan lagi-lagi aku tak mampu melawan tatapan itu. Aku hanya menundukkan sedikit wajahku demi menghindari tatapannya.

“Iya Pram.” Jawabku singkat.

“Ibu harus bangga dengan diri ibu sendiri, ibu harus percaya diri.” Sambungnya lagi.

Aku hanya mengangguk pelan, mengamini perkataannya yang memang benar adanya.

“Duuuuhhh.. pacarkuuuu.” Sambung Pram lagi sambil mengusap rambutku.


Kami tertawa bersama setelah ia mengucapkan kalimat yang sebenarnya lebih pantas untuk diucapkan oleh ABG tersebut.

Aku sengaja tak mengenakan jilbab karena telah terbiasa dengan kehadirannya. Aku masih tertawa pelan mendengar ucapannya, layaknya ABG yang sedang jatuh cinta.

“Lho kok ketawa?” tanyanya sambil mengangkat wajahku dengan jari telunjuknya.

“Gak apa sih Pram, lucu aja, kita kayak ABG.”

“Hahahahaha, iya sih kayak ABG, tapi gak apa, sesekali jadi ABG lagi aja biar gak bosan.”

Selalu saja ada jawaban diplomatis dan logis dari Pram yang membuatku kagum dan nyaman jika bersamanya. Dan semua ini membuatku sangat menikmati moment bersamanya.

“Ibu yakin mau kerja warung itu?”

“Yakin banget Pram. Sambil nunggu panggilan kerja, daripada ibu nganggur dirumah.”

Setelah makan malam bersama Pram, yang disertai dengan obrolan dan canda tawa, aku mengistirahatkan diri, bersiap menyambut hari baru, langkah baru dalam lembaran hidupku.

☆☆☆☆☆

“Bu, kita berangkatnya barengan aja, pakai motor aja. Gimana?”

“Lho nanti kamu pulang jam berapa? Ibu pulang jam 5 lho Pram.”

“Udah, tenang aja bu, nanti saya jemput. Saya selesai ujian jam 11 siang. Nanti saya kan bisa pulang dulu, sorenya baru saya jemput ibu."

“Tapi nanti kamu repot lho Pram.”

“Enggak kok bu, tenang aja. Kalo pakai motor, kita bisa hemat BBM bu.”

“Beneran gak ngerepotin kamu Pram?”

“Udah. Pokoknya ibu manut aja. Oke?” Pram bersikeras.

Apa yang dikatakan oleh Pram memang benar. Aku harus mulai berhemat, harus mulai mengatur keuanganku, karena sekarang aku adalah tulang punggung untuk diriku dan Nova putriku. Dan sekali lagi, Pram mendapatkan simpatiku.

Pram mengantar aku sampai didepan warung.

“Hari pertama bekerja, semangat..!” ucapnya sebelum melangkah pergi.

Aku hanya tersenyum melihat kepergiannya. Dia begitu antusias, begitu bersemangat dalam mendampingi aku, dia menularkan semangatnya padaku dan selalu mendorongku untuk selalu maju.

Warung kecil ini tidak terlalu ramai saat pagi, namun saat menjelang makan siang, pengunjungnya akan membludak. Masakan ala rumah, dan harga yang murah menjadi daya tarik tersendiri bagi para mahasiswa.

Aku sedang membersihkan meja ketika 2 orang mahasiswa masuk dan mulai memilih menu makanan mereka. Aku harus segera membersihkan meja-meja karena mendekati waktu jam makan siang, sebentar lagi warung kecil ini akan ramai pengunjung.

"Mbak baru ya disini?” tanya seseorang dari mereka.

“Iya mas, baru hari ini kerja."

Dari kejauhan, kulihat ibu pemilik warung nampak tidak nyaman dengan kehadiran kedua orang tersebut.

“Sayang.. cakep-cakep jadi pembantu.” Sambung temannya yang berkepala botak.

Aku menjadi tak nyaman, dan sedikit takut terhadap mereka. Setelah meja tersebut selesai kubersihkan, mereka langsung menempatinya. Tepat saat aku membalikkan badan dan hendak beranjak kedapur, kurasakan salah seorang dari mereka meremas pantatku.

“Ckckckckckckc… pantatnya montok..!” gumannya.

Shock, dan takut membuatku berdiri mematung tak jauh dari kedua orang itu sementara mereka tertawa setelah melakukan pelecehan itu.

Beberapa pengunjung warung pun tak ada yang berani menegur mereka.

Di depan pintu, kulihat Rita, Topan dan serombongan teman-teman Pram berdiri disana, Pram pun ada disana, berdiri dibelakang Rita. Mereka menyaksikan apa yang baru saja terjadi.

Seketika Pram maju, menabrak bahu Rita dan menghampiriku.

“Ibu baik-baik aja?”

Aku hanya berdiri mematung, tidak menjawab pertanyaan Pram. Aku shock.

Pram lantas mendatangi kedua orang tersebut.

Bbbrraaaaaakkkk

Pram menjambak rambut orang tersebut lalu menghantamkan wajahnya ke meja. Seluruh pengunjung warung kaget mendengar suara keras benturan tersebut.

Seorang yang lain hendak berdiri dan memukul Pram, namun Topan dan kedua temannya segera berdiri disamping Pram.

“Lo diem..Duduk lo!!” bentak Topan pada orang yang hendak memukul Pram, yang berkepala botak.

Rita menghampiriku lalu memelukku.

Sekilas kulihat darah menetes dari hidung orang yang wajahnya dihantamkan ke meja oleh Pram.

“kamu udah kuliah, udah dewasa, tapi gak tau cara menghormati perempuan” kata Pram.

Bbbrrraaaakkkk

Sekali lagi Pram menghantamkan wajah orang itu ke meja. Semua yang ada disitu terdiam. Pram terlihat begitu emosi. Wajahnya memerah dan tatapan matanya terlihat begitu tajam mengintimidasi.

“Udah Pram, gue yang urus” Topan menarik lengan Pram, menjauhkannya dari kedua orang itu.

“Siapa nama lo?”

'Ppllaaakkkkk!!'

Sebuah tamparan diberikan pada orang yang wajahnya berdarah.

“SIAPA NAMA LO?!” bentak Topan lagi.

“Rio bang.”

“Kalo lo..?” tanya Topan pada seorang yang lain.

“Diki bang”

“Udah lama gue perhatiin lo berdua. Sering gangguin cewek-cewek dikampus ini. Gue tau lo anak jurusan mana, lo angkatan berapa, lo tinggal dimana. Gue tau semua. Dan ini jadi peringatan pertama dan terakhir buat lo berdua. Sekali lagi lo kurang ajar sama cewek-cewek disini, gue jamin, lo bakalan babak belur dan masuk penjara. PAHAM..?!"

“Iya bang.”

“Sekarang lo minta maaf sama mbak itu.”

Kedua orang itu menghampiriku dan meminta maaf, namun aku tak menjawab apapun karena rasa takut dan shock masih menguasai tubuhku. Aku bahkan bersembunyi dibelakang tubuh Rita.

Akhirnya, kedua orang itu pergi dan ibu pemilik warung mengijinkan aku untuk beriatirahat sejenak, sekedar untuk menenagkan diri.

“Kalian makan duluan.” kata Pram seraya memegang tanganku pergi dari tempat itu.

Part 2 menyusul beberapa jam kedepan ya... :rose:
 
Terakhir diubah:
part 2

☆☆☆☆☆

Pram membawaku kebagian belakang kampus, ke sebuah bangunan tempat yang sepertinya berfungsi sebagai gudang. Tempat itu sangatlah sepi karena terletak dibagian sudut kompleks kampus.

“Ibu baik-baik aja kan?”

Lama aku terdiam, dan akhirnya Pram memelukku. Kurasakan ia mengusap punggungku yang tertutupi oleh jilbab.

Beberapa saat kemudian, ia melepaskan pelukannya, namun kedua tangannya masih melingkar di pinggangku.

“Iya.. ibu baik-baik aja Pram. Ibu cuman shock, ibu takut.”

“Sekarang udah gak apa-apa kok bu. Mereka emang anak-anak kurang ajar. Tapi mereka pasti gak akan berani macem-macem lagi.”

“Iya.. makasih ya Pram.”

Entah apa yang terjadi padaku jika Pram tak ada disaat seperti ini. Dia semakin menunjukkan kepeduliannya, semakin menunjukkan tanggungjawabnya terhadapku, yang bukan siapa-siapa baginya. Aku hanya ibu kostnya, hanya ibu kost. Aku bukan saudaranya, bukan pula seseorang yang istimewa. Tetapi caranya memperlakukanku, perhatiannya, membuatku semakin yakin, dia benar-benar pemuda yang istimewa.

“Pram, kita balik ke warung yuk. Kasian ibu, pasti kerepotan. Ini kan jam makan siang.”

Pram mengangguk. Sekali lagi aku memeluknya sebagai ucapan terima kasih. Dan seperti biasanya, dalam setiap pelukan kami, ia selalu mengecup keningku, suatu perbuatan yang sungguh membuatku merasa terlindungi dan disayangi olehnya.

Seperti dugaanku, ketika kami sampai disana, warung makan itu telah dipenuhi oleh para pengunjung. Dan aku pun kembali bekerja karena keadaanku sudah lebih baik dan tenang. Karena kesibukanku, aku tak menyadari kepergian Pram.

Aku baru bisa bersantai sejenak ketika jam makan siang berakhir, karena pengunjung yang datang hanya sedikit.

Ternyata pekerjaan ini tidak semudah yang aku bayangkan. Kakiku terasa pegel karena harus mondar mandir antara dapur dan bagian depan warung.

Aku sedang bersantai didapur, mengistirahatkan kakiku ketika si ibu pemilik warung datang menghampiriku.

“Maaf ya mbak, tadi ibu gak bisa bantuin mbak. Ibu gak berani mbak, ibu takut.”

“Iya, gak apa-apa kok bu. Saya juga gak kenapa napa kok. Saya baik-baik aja bu.”

“Ya syukurlah kalo begitu. Mbak jangan kapok kerja disini ya.”

“Enggak kok bu.. ibu tenang aja.. saya masih mau kerja disini kok.”

“Makasih ya mbak.”

“Mbak udah lama pacaran sama mas Pram..?”

“Hehehehehehehe… enggak kok bu, gak begitu kok. Kita gak pacaran kok. Kita cuman pura-pura aja. Saya kasian liat Pram selalu dikerjain teman-temannya karena dia jomblo, jadi ya kita pura-pura aja pacaran biar mereka gak ngejek lagi."

“Oaalaaahhhh mbak, mbak. Ibu kira kalian pacaran, hahahahahaha..”

“Pram itu emang baik mbak, dari awal kuliah disini gak pernah macem-macem, gak pernah aneh-aneh. Baru hari ini aja ibu lihat Pram marah seperti itu.”

“Oooo gitu ya. Jadi ibu udah lama dong kenal sama Pram.”

“Iya mbak, sejak dia masuk kuliah disini. Orangnya sopan, baik, ramah. Ibu jarang nemuin mahasiswa seperti Pram."

“Kalo Nita ibu kenal?” tanyaku penasaran.

“Nita yang mana ya mbak? Ibu kenal banyak mahasisawa disini. Banyak yang namanya Nita mbak.”

“Itu lho bu, yang cantik banget itu, kulitnya putih, rambutnya sebahu.”

“Ooo itu mbak Anita. Udah lama ibu gak lihat dia mbak. Kalo dulu seing makan disini, tapi udah lama banget itu. Ibu cuman pernah dengar gosip aja beberapa bulan lalu, kalo Anita mau menikah. Tapi ibu gak tau, bener atau enggak. Soalnya ibu cuman denger dari cerita anak-anak kampus yang lagi makan disini.”

“Ooo gitu.”

“Anak itu memang cantik, tapi terlalu pendiam mbak. Mungkin dia gak punya banyak teman dikampus.”

Percakapan kami terhenti ketika ada suara dari arah depan memanggil si ibu. Sepertinya ada pengunjung yang datang.

Lagi-lagi aku mendengar hal yang baik tentang lelaki yang selama beberapa waktu ini hadir dalam kehidupanku ini, dan aku yakin si ibu pemilik warung tidak berbohong padaku, karena aku pun telah merasakan kebaikannya.

Hari ini adalah salah satu bukti kebaikannya itu, saat membelaku dan melindungiku dari hal buruk.

Waktu terus berjalan, dan tak terasa hari pertama bekerja telah selesai. Pram muncul didepanku, tepat saat aku akan melangkah keluar.

“Pulang..?” tanyanya. Aku hanya mengangguk.

“Kayaknya ibu kecapekan.”

“Iya, kaki ibu pegel banget.” Jawabku sambil memegang pinggangnya. Kami sedang dalam perjalanan pulang, menggunakan sepeda motornya.

“hehehehehehe… baru hari pertama lho bu.”

“Iya lhooo.. ternyata capek juga. Ibu kira sih mudah aja, eh ternyata capek banget."

Pram hanya tertawa mendengar jawabanku.

“Pram, nanti malam kita makan diluar aja yuk.?” Kataku saat kami telah tiba dirumah.

“Lho, ibu kan udah belanja banyak. Ngapain makan diluar?”

“Ibu capek, rasanya malas banget mau masak.”

“Ya udah, nanti malam biar saya aja yang masak. Gak perlu makan diluar bu. Inget, ibu harus berhemat."

“Emang kamu bisa masak??”

“hehehehehe… lihat aja nanti.”

Aku sengaja berlama-lama dikamar mandi, memanjakan tubuhku dengan menikmati guyuran air dari shower. Betisku yang terasa capek pun kupijat, sekedar pijatan ringan untuk mengurangi rasa pegal akibat bekerja hari pertama. Dipangkal pahaku, bulu-bulu yang menutupi kemaluanku pun terlihat mulai tumbuh lebat. Aku tidak terbiasa membiarkan kemaluanku tertutupi oleh bulu-bulu seperti itu, sehingga dengan terpaksa, aku harus mencukurnya.


Sentuhan-sentuhan di organ vitalku sendiri lambat laun memicu birahiku. Permukaan vagina yang bersih dan licin karena foam bercampur dengan sabun membuat jemariku semakin intens bergerak. Aku terbuai kenikmatan ciptaanku sendiri!

Telah lama aku merasakan kenikmatan orgasme setelah permainan panas bersama Pram beberapa waktu lalu dirumahku. Sejak berpisah dengan suamiku, praktis baru sekali aku merasakannya, karena aku tidak pernah melakukan masturbasi.

Pikiranku selalu dipenuhi oleh beban hidup yang harus kuhadapi. Aku benar-benar lupa dengan diriku sendiri, benar-benar lupa cara menyenangkan diriku sendiri!

Jariku sibuk merangsang vaginaku sendiri, bahkan sesekali kumasukan hingga jauh kedalam, menyentuh titik yang disebut G-Spot demi merasakan kenikmatan dan kepuasan nafsuku. Cairan kental perlahan mulai keluar dari kemaluanku, bercampur dengan sabun dan foam yang masih menempel disana. Licin, becek, dan sangat basah.

Aku sedang terangsang hebat, dan hampir mencapai orgasme yang kuinginkan. Jemariku semakin liar dan buas mengerjai vaginaku sendiri, dan

Bbbrrrraaakkkkkk'

Samar-samar terdengar suara benda yang jatuh dari luar kamarku.

Hhuuuuffffffff….’

Nafsuku hilang seketika karena terkejut dengan suara itu. Pikiran buruk segera menghantui, apalagi baru beberapa jam lalu, kejadian tak mengenakkan menimpaku. Mungkin saja kedua mahasiswa yang telah melecehkan aku ingin balas dendam, ingin memperkosaku. Atau mungkin ada perampok atau pencuri.

Aku segera membasuh tubuhku dan buru-buru menutupinya dengan selembar handuk. Jantungku berdebar, berdetak kencang.

Aku mengintip dari celah pintu kamarku namun tak ada seorangpun diluar. Pintu depan telah tertutup dan terkunci sejak sore tadi. Pintu samping, yang berhadapan dengan kamar Pram memang jarang aku kunci jika Pram berada dikost. Posisinya pun sama, tertutup rapat.

Suara yang samar-samar kembali terdengar dari dapur, seperti suara seseorang sedang memotong sesuatu. Dengan perlahan aku menuju kesana, dan mengintip.

“Kamu kok masuk rumah gak panggil ibu sih Pram?? Buat ibu takut aja, kirain ada orang jahat masuk kesini.”Protesku.

Ia berdiri membelakangiku, karena sedang memotong sayur.

“Maaf bu, Tadi saya udah ketuk pintu, udah panggil-panggil ibu, tapi sepertinya ibu gak denger, karena mungkin lagi mandi.”jawabnya.

“Duuhh... maaf ya bu..” sambungnya setelah melihatku, namun segera mengalihkan pandangannya karena aku hanya menutupi tubuhku dengan selembar handuk.

Sebagian payudaraku, dan sebagian pahaku terlihat olehnya.

“Oo gitu.. ya udah, ibu pakai pakaian dulu ya.”

Aku meninggalkannya dan kembali ke kamar tidurku. Aku sempat melirik ke arah pangkal paha Pram, melihat kemaluannya yang samar-samar tercetak lewat celana pendek yang dikenakannya.

Sambil berpakaian, pikiran kotor pun kembali merasukiku. Mungkin karena tadi aku belum sempat mendapatkan orgasmeku, apalagi telah sekian lama sejak aku merasakannya bersama Pram dirumahku.

Aku ingin mengulangi perbuatan itu lagi. Aku ingin merasakan sentuhannya lagi, malam ini!

Namun disisi lain, aku bingung bagaimana cara memenuhi keingianku tersebut. Aku tak mungkin langsung mengatakan padanya, berterus terang bahwa aku ingin bercinta dengannya. Sangat tidak mungkin karena kemungkinan Pram akan menolaknya. Ia bukan tipe laki-laki Seperti itu, setidaknya itulah asumsiku setelah beberapa waktu dekat dengannya.

Sejak permainan panas dirumahku tempo hari, tak pernah sekalipun Pram menyinggung hal tersebut, tak pernah sekalipun kami membicarakannya. Ia pun tak pernah merayuku, atau sekedar mencandaiku dengan hal-hal yang berbau seks. Ia sangat menghormatiku.

Dan kini, didepan cermin dikamar tidurku, aku terjebak kebingungan untuk menemukan cara agar malam ini aku bisa bercinta dengannya.

Sambil memilih pakaian yang akan kukenakan, aku terus terus memikirkan caranya.

Dan..

Mataku tertuju pada selembar daster yang telah lama tak kugunakan karena ukurannya yang kecil, sangat sesak jika kupakai. Hanya seperempat bagian pahaku yang bisa tertutupi olehnya. Itulah pilihanku. Aku akan mencoba menggoda Pram dengan penampilanku. Kuharap aku berhasil.

“Pram, mau masak apa?” tanyaku. Aku berdiri disampingnya.

“Mau masak sayur bening. Ibu suka sayur bening?”

“Iya, ibu suka kok.”

Sementara mempersiapkan masakannya, Pram telah merebus air dan telah mendidih.

“Sini..” Pram menarik lenganku, kemudian memaksaku untuk duduk dikursi.

“Kok disuruh duduk sih, ibu kan mau bantu kamu memasak.”

Pram hanya menggengkan kepala, tanda ketidaksetujuannya.

“Sekarang ibu duduk. Istirahat. Saya yang masak.”

Ia lantas mengambil sebuah ember, mengisinya dengan air. Lalu menuangkan sejumlah garam kedalamnya. Ia meletakkan ember itu tepat didepan kakiku. Sejurus kemudian, ia menuangkan air panas kedalam ember tadi, mengaduknya, lalu mencelupkan jarinya kesana untuk sekedar merasakan suhunya.

“Udah pas.”

“Sekarang ibu rendam kakinya dalam ember ini.” Perintahnya.

“Ini cara tradisional untuk mengurangi pegel dikaki, bu. Saya diajarin sama orang tua saya.” Sambungnya lagi.

Akupun menuruti permintaannya. Peluangku untuk menggoda dirinya tertutup sudah. Pram kembali ke meja dimana bahan masakannya berada. Ia larut dalam kesibukannya sementara aku menikmati waktuku dengan merendamkan kaki didalam seember air hangat. Mati kutu, mati gaya, aku hanya berdiam diri melihat dia sibuk memasak.

Melihat Pram sibuk memasak membuatku sadar, aku terlalu egois hanya untuk kesenangku. Aku memanfaatkan kebaikannya untuk memuaskan hasratku, padahal belum tentu Pram menginginkan hal tersebut.

Tiba-tiba aku malu pada diriku sendiri, pada prilaku yang seakan menjadi wanita murahan, menggoda lelaki hanya demi seks.

“Sudah selesai, saatnya kita makan” serunya, memecah keheningan.

“Kok ibu melamun sih?” tanyanya saat melihatku hanya diam.

“Makasih ya Pram, kamu udah baik banget sama ibu.” Aku lantas memeluk pinggangnya saat ia berdiri disampingku.

“Saya hanya membantu semampu saya bu, sebisa saya.” Jawabnya.

“Ibu gak tau harus baimana membalas kebaikanmu.”

“Cukup doakan biar saya sehat selalu, kuliahnya lancar, dan bisa cepet lulus.”

Aku terharu mendengar jawabannya yang cukup sederhana.

Kuueratkan pelukanku dipinggangnya dan tak terasa, sebutir air mata mengalir melalui sudut mataku.

“Kita makan yuk.” Gumannya.

Kulepaskan pelukanku dan ia pun melihat jejak air mata dipipiku. Dengan lembut disekanya pipiku, kemudian mengecup keningku.

Tak banyak yang kami bicarakan selagi menikmati makanan hasil masakan Pram karena aku masih dalam situasi merasa bersalah. Berbeda dengan Pram, ia nampak lahap menyantap makanan yang ada di piringnya.

“Pram, ini rendam kaki sampai berapa jam?”

“Sampai airnya terasa dingin bu. Nanti airnya diganti lagi dengan air hangat.”

Ia benar-benar memintaku untuk mengistirahatkan tubuh. Ia menolak ketika aku hendak membereskan piring-piring bekas yang kami gunakan.

“Sekarang ibu nonton tv aja. Saya bereskan dapur dulu.” Perintahnya.

Kuturuti perkataannya dan menunggu diruang tengah sambil menonton tv. Hampir 15 menit kemudian, ia datang dengan menenteng ember berisi air hangat.

“Nah, sekarang direndam sambil dipijetin kakinya, biar besok pagi pegelnya hilang. Biar bisa siap kerja lagi.”

“Eh…, gk usah Pram. Direndam aja cukup kok, uda lumayan enakan kok.”

“Udah.. ibu rileks aja ya.. ibu santai aja.” Balasnya sembari memasukan kedua tangannya kedalam ember yang berisi kakiku dan mulai memijatnya.

Pijetannya pada kakiku benar-benar membuatku rileks. Posisinya membelakangi televisi, berbeda denganku yang duduk disofa menghadap ke arahnya. Daster yang kukenakan hanya mampu menutupi sedikit bagian pahaku, dan ketika aku duduk, praktis daster itu akan tertarik keatas, hingga hampir sampai di pangkal pahaku. Beberapa kali kucoba menariknya turun agar menutupi bagian intimku, namun sia-sia saja karena beberpa saat kemudian daster itu akan kembali tertarik keatas.

“Ibu sih, pakai bajunya pendek banget.” Gumannya sambil menunduk. Tak sekalipun ia menengok kedepan.

“Iya Pram.. maaf ya. Kamu risih ya? Kamu gak suka ya?” tanyaku sambil kembali berusaha menutupi selangkanganku. Namun usahaku sia-sia karena ujung dasterku segera kembali ke posisinya semula.

“Eh, enggak kok bu. Beneran.. biasa aja kok.”

Jika saja Pram memandang kedepan, kearahku, aku yakin ia akan melihat celana dalamku. Dan ia pasti akan melihat samar bayangan kemaluanku, karena berbahan kain tipis dan sangat transparan. Namun Pram pernah mengangkat wajahnya. Pandangannya hanya berfokus pada tangannya yang sedang memijat kakiku.

Pijatannya benar-benar enak, dan rasa capek di sekitar betisku mulai berkurang.

“Nah.. udah selesai. Airnya udah dingin bu.” Serunya.

“Iyaa, makasih ya Pram.. ini kaki ibu beneran udah enakan. Kamu pinter mijetnya.”

Pram masih saja menundukkan wajahnya, kemudian berdiri dan membawa ember itu kembali kedapur, tanpa sedikitpun melirik kearahku. Ia menghindari menatap ke arah pangkal pahaku.

Ia kembali dengan sehelai kain lap bersih. Lalu meletakkanya didepan kakiku. Dengan lembut ia menuntun kakiku untuk berpijak diatas kain tersebut, agar lantainya tidak basah.

“Sudah hampir jam 10 bu, saatnya ibu istirahat.”

“Iya, pijetan kamu enak, ibu jadi ngantuk.”

“Besok Pagi sarapan disini ya Pram.” Kataku sambil mengantarkan Pram ke pintu.

Kehadirannya disekitarku sangat berdampak. Setidaknya aku tidak merasa kesepian, walaupun ia bukanlah tipe orang yang banyak bicara. Kebersamaan kami lebih banyak diisi dengan diam, atau sekedar obrolan ringan yang tidak penting. Dibalik sikap pendiamnya, aku merasakan kepeduliannya, merasakan perhatiannya begitu besar dan dalam terhadapku.

Tentang permainan panas kami beberapa waktu lalu, mungkin hal itu terjadi karena kami sama-sama terbawa oleh suasana, dan hal itu mengalir begitu saja, terjadi secara alami. Aku yakin akan hal itu karena setelah kejadian itu, sikapnya padaku pun tak berubah, tak pernah mencari kesempatan atau celah untuk mengulanginya lagi.

♤♤♤♤♤♤

Aku tidur dengan sangat pulas berkat pijatan Pram. Aku sudah siap untuk bekerja di hari kedua. Pagi buta aku sudah terjaga. Setelah mandi, aku siapkan sarapan untuk kami berdua, seperti janjiku semalam padanya. Tubuhku hanya berbalut selembar kimono handuk, tanpa mengenakan pakaian dalam karena aku sendirian didalam rumah.

Hampir jam lima pagi, sarapan kami telah siap yaitu nasi goreng dan telur mata sapi. Aku sedang merasakan suasana pagi seperti yang pernah diajarkan Pram padaku ketika Pram mengetuk pintu.

“Kok pagi-pagi udah bangun sih Pram?” kataku, saat membuka pintu untuknya.

Ia hanya tersenyum. Wajahnya terlihat segar karena sudah mandi, walaupun pakaian yang dikenakannya masih belum berganti.

“Mau sarapan sekarang?” tanyaku lagi saat kami berada didapur.

Seperti kejadian sebelumnya, ia kembali menempelkan jari telunjuknya tepat didepan bibirku. Ia memintaku untuk diam. Aku paham, ia ingin menikmati keheningan pagi.

Pram lantas membuka pintu dapur dan berdiri disisi pintu. Suasana diluar masih gelap, dan titik-titik embun nampak berjatuhan, membasahi bumi. Aku menyusulnya lalu berdiri disisi pintu lainnya, disampingnya.

Sekilas ia memandangku, lalu kembali menatap lurus kedepan, tanpa sepatah katapun. Beberapa menit berlalu dan hawa dingin mulai terasa menusuk hingga ke tulangku. Aku lantas beralih, berdiri tepat dibelakang Pram. Tubuhku sangat dekat dengannya, hanya menyisakan sedikit ruang, sehingga aku bisa menyandarkan daguku di bahunya.

“Dingin.” Gumanku, seraya melipat kedua tangan didepan dadaku.

Pram melirik ke arahku, disertai usapan dipipiku. Ia lantas mengulurkan kedua tangannya kebelakang, mendesak tubuhku untuk lebih mendekat lagi, merapat dengan tubuhnya. Kuikuti keinginannya, dan tanganku melingkar dipinggangnya, menguncinya tepat diperutnya.

Lama kami berdiam, melihat dedaunan yang basah karena titik-titik embun, melihat redup sinar bintang yang perlahan ternggelam karena hari menjelang pagi.

Beberapa saat berselang, Pram memutar tubuhnya sehingga kami saling berhadapan dan tatapan kami akhirnya bertemu.

“Kakinya masih pegel” tanya Pram sambil menyingkirkan beberapa helai rambut dikeningku.

Aku menggelengkan kepala.

“Sarapan yuk.” Pram masih bersandar disisi pintu sambil memperhatikanku saat mempersiapkan nasi goreng buatanku.

Tiba-tiba ia mendekatiku dan memeluk tubuhku dari belakang. Kuhentikan sejenak kesibukanku dan menikmati hangat peluknya ditengah pagi yang dingin.

Sisi pipiku disebelah kiri diciuminya berkali-berkali dan kurasakan perlukannya semakin erat. Aku bisa merasakan kemaluannya yang telah mengeras menempel dibagian belakang tubuhku.

Kecupan-kecupan itu lambat laun memantik gairahku, apalagi kecupan itu menyasar sisi pipi, yang dekat dengan telingaku.

Tak tahan dengan godaanya, aku membalikkan tubuh, lantas menatap matanya dalam-dalam. Aku sedang bergairah!.

Tanpa membuang waktu, aku langsung melumat bibirnya dengan rakus, seiring birahi yang mulai menguasaiku. Pagi itu semakin sempurna ketika ia membalas ciumanku, melumat bibirku dengan penuh nafsu. Hatiku semakin bersorak ketika satu tangannya mulai bergerak membuka ikatan kimono handuk yang melilit dipinggangku.

Tanpa tertutupi celana dalam, tangan Pram langsung menjamah kemaluanku. Begitu juga dengan tanganku, sibuk meremas penisnya yang masih terbungkus celana pendek.


Ia terus mendesak tubuhku yang telah terhimpit meja. Akhirnya aku tak punya pilihan lain, selain duduk diatas meja makan.

Sambil terus saling melumat bibir, kedua tangannya meremas payudaraku, sedikit lebih keras dari yang pernah ia lakukan sebelumnya. Pram sangat bernafsu sekali pagi ini.

Sekitar leherku pun tak luput dari kecupannya. Dan ketika tanganku menyelinap masuk kedalam celananya, kudengar hembusan nafasnya yang berat sedangkan lidahnya sibuk menari tepat dibagian bawah kupingku.

Sesaat kemudian, ia kembali melumat bibirku dengan buas, dan kubalas dengan lumatan yang buas pula pada bibirnya.

Dibawah, kedua tangannya sibuk memilin putingku yang telah mengeras. Sesekali dicubitnya dengan lembut, lalu kembali memilinnya. Ia benar-benar sedang dalam birahi tinggi.

Setelah puas menikmati bibirku, ia melepaskan ciumannya. Sejenak kami saling betatapan, hanya sekejap, lalu kembali berciuman.

Hanya sesaat, lantas ia melepaskan lumatannya pada bibirku. Kemudian ia bersimpuh dihadapanku, dan memandang kemaluanku dengan penuh nafsu karena posisi kedua pahaku kubuka selebar mungkin.

Gelombang nafasu yang menerpaku telah membuat kemaluanku sedikit basah. Sedikit cairan keluar dan mengalir perlahan melalui celah liang vaginaku, dan bermuara tepat dibagian bawahnya. Pram lantas sedikit membuka bibir vaginaku dan langsung menilati bagian dalamnya.

“Hhheeemmmpppp…” nafasku tertahan saat lidah itu menyentuh kemaluanku. Desahannku tertahan, karena aku tak ingin terdengar sampai keluar rumah. Akibat rangsangan yang begitu hebat, kedua tanganku menjambak rambutnya dan mendorongnya kedepan, ke arah kemaluanku. Aku ingin Pram menjilati seluruh bagian kemaluanku, aku ingin ia melahap vaginaku dengan kasar!

Diluar, langit perlahan mulai terang. Aku lantas mendorong kepala Pram agar menjauh dari kemaluanku.

“Kita ke kamar.” Kataku.

Sambil bergandengan tangan, kami berlari kecil menuju ke kamar tidurku.

Pram berbaring ditengah ranjang, setelah sebelumnya aku membantunya melucuti seluruh pakaian yang ia kenakan.

Melihat tubuh telanjangnya semakin membuatku bergairah. Segera saja kulepaskan kimonoku dan menyusulnya.

Dengan liar kulahap kemaluannya. Kujilat, kukulum, bahkan kukocok dengan kasar. Aku benar-benar dirasuki nafsu membara!

Pram lantas mengarahkan tubuhku agar naik keatasnya. Ia meminta posisi 69, agar kami bisa saling mengerjai kemaluan masing-masing.


Ganasnya permainanku mampu diimbanginya. Kurasakan ia pun dengan lahap menyantap kemaluanku. Jarinya pun ikut terlibat bermain, keluar dan masuk dicelah sempit vaginaku.

Licin, basah dan penuh cairan yang terus mengalir keluar akhirnya membasahi tempat tidurku. Keadaan yang sama pun terjadi pada kemaluan Pram. Air liurku membasahi sekitar batang penisnya, hingga menetes jauh kebawah, ke ranjangku. Aku tak perduli, aku ingin nafsuku terpuaskan.

Melalui jendela kamarku, kulihat langit telah terang. Pagi telah datang dan sebentar lagi mentari akan menampakkan wujudnya. Permainan ini harus segera tuntas agar aku tak terlambat masuk kerja.

Kusudahi permainanku dipenis Pram, dan perlahan turun dari atas tubuhnya. Namun tampaknya Pram masih ingin menikmati vaginaku, sehinga wajahnya terus mengikuti, menempel erat dikemaluanku saat aku aku beranjak turun.

Ia menatapku heran, namun aku segera naik kembali ketasnya.

“Ibu yakin?” tanyanya saat satu tanganku terulur kebawah, ke penisnya dan memposisikannya tepat didepan liang vaginaku.

Aku hanya menagngguk, sambil memberikan senyum padanya. Aku merasa sudah siap untuk melanjutkan permainan kami. Dan aku sangat menginginkannya.

Dengan mata terpejam, perlahan kuturunkan pinggulku dan penis Pram pun perlahan mulai memasuki vaginaku, seiring pinggulku yang terus menekan kebawah.

Aku menikmati setiap gesekan yang terjadi selama penis itu memasuki tubuhku. Benar-benar nikmat yang luar biasa!

Beberapa detik kemudian, penis itu telah tenggelam sempurna kedalam vaginaku. Aku berdiam diri sejenak, membiarkan otot-otot disekitar selangkanganku menyesuaikan diri dengan kehadiran penis Pram disana. Apalagi, ukurannya yang terbilang istimewa, lebih besar dan sedikit lebih panjang dari penis suamiku.

Saat kubuka mata, kulihat Pram masih memejamkan matanya. Dengan lembut kulumat bibirnya.

Setelah beberpa saat, aku mulai menggerakkan pinggulku. Benar saja, sesuai dengan bayanganku, kenikmatan yang kurasakan jauh lebih dahsyat karena seluruh rongga vaginaku dipenuhi oleh penisnya. Ukurannya yang panjang pun semakin menambah kenikmatan karena terasa sampai menyentuh bagian terdalam kemaluanku.

Aku mendesah pelan dan terus menggoyang pinggulku, sementara Pram mulai aktif menggerayangi dadaku.

Sesekali kami berciuman, saling mengigit lembut bibir sementara jemarinya beraksi memilin putingku.

Karena dilanda birahi tinggi, pinggulku mulai bergerak liar, maju dan mundur, naik dan turun, semua dalam irama yang tak teratur. Gesekan antara penis dan celah vaginaku menghasilkan sensasi luar biasa besar.

Tak sampai beberapa menit, kemaluanku semakin basah dan licin. Tentu saja hal ini semakin mempermudah gerakan penisnya didalam vaginaku.

Hanya beberapa saat kemudian, kurasakan otot-otot disekitar vaginaku berkedut, berkontraksi hebat. Sebentar lagi aku akan mencapai orgasmeku!

Gerakan pinggulku semakin cepat dan liar. Kakiku bak pegas yang bergerak sempurna, menahan beban bobot tubuhku saat pinggulku bergerak naik dan turun dalam tempo cepat. Suara benturan antara pahanya dan pinggulku benar-benar erotis, bahkan kaki ranjangku berdecit akibat panasnya permainan kami.

Cairan yang keluar dari kemaluanku semakin banyak, membasahi sekitar pangkal penisnya. Aku benar-benar menikmati setiap detik penis itu menghujam liang vaginaku. Kedua tangan Pram masih sibuk menggerayangi payudaraku dan gerakanku pun berganti agar memudahkan Pram kembali mengisap dadaku. Sambil menyodorkan puting payudarakuku ke mulutnya, pinggulku kembali bergerak maju dan mundur, gerakan memutar yang menjadi kesukaanku karena setiap bagian dalam liang vaginaku bisa tersentuh, bergesekan, yang menghasilkan kenikmatan tiada tara.

Gerakan itu pulalah yang akhirnya menghantarkan orgasmeku, disertai desahaan panjang sementara kedua tangan Pram mencengkram kedua belah pantatku. Dan ternyata, hanya beberapa detik berselang, Pram pun mencapai orgasmenya! Kurasakan semburan sperma terjadi beberapa kali didalam vaginaku.



Aku langsung melumat bibirnya, dan menekan pinggulku semaksimal mungkin agar penisnya semakin tenggelam dalam kemaluanku.

Tubuhku benar-benar lemas dan akhirnya jatuh dalam pelukan Pram. Aku bisa merasakan jantungnya sedang berdetak kencang, sama sepertiku. Tubuh telanjang kami saling berhimpitan, disertai keringat yang bercucuran.

Beberapa menit berlalu, Pram masih saja memelukku dengan erat. Jam di dinding menunjukkan hampir jam 6.30 pagi. Dibawah sana, kurasakan penis Pram telah meninggalkan liang vaginaku, sementara cairan spermanya mengalir keluar, membasahi selangkangan Pram, meluncur hingga ke permukaan ranjangku.

“Kok tadi kamu nanya ibu yakin atau enggak sih Pram?” tanyaku sambil membelai rambutnya beberapa saat kemudian.

“Gak apa-apa kok, cuman ingin memastikan aja. Takut kalo nanti sesudah terjadi, ibu nyesel.”

Aku tersenyum mendengar jawabannya. Segera aku kembali melumat bibirnya sebagai tanda, bahwa aku tak menyesal sedikitpun karena bercinta dengannya. Tampaknya Pram bisa memahami jawabanku, yang berupa ciuman hangat.

“Kamu nyesel?” tanyaku.

Pram menggelengkan kepala. Lantas kami berciuman kembali. Sebuah ciuman lembut yang lebih mengarah kepada ungkapan rasa sayang, bukan nafsu seperti kejadian tadi.

“Dduuuuuhhhh.. lemes..” gumanku seraya turun dari atas tubuhnya dan berbaring disisinya.

Bukannya membiarkanku beristirahat, Pram malah naik ke atasku dan mulai mencumbui wajahku lagi.

“Habisnya ibu nggemesin sih.” Jawabnya sambil menghujani wajahku dengan ciuman.

“Eh, nggemesin gimanaaa?”

“Ya nggemesin aja. Pokonya nggemesin.” Jawabnya.

“Kamu ini….” Balasku sambil mengusap kedua pipinya.

“Semalam ibu dipijetin, eh paginya udah dibikin lemes lagi.” Candaku.

“heheheheheheh… nanti malam saya pijetin lagi deh.”

“Enggak Pram, Ibu becanda aja kok.”

Lama kami berdiam diri, dan Pram masih menikmati empuknya payudaraku yang ia gunakan sebagai alas kepalanya. Aku seperti sedang memanjakan putri kecilku, Nova.

Dengan gemes Pram menciumi kedua payudaraku, bahkan meninggalkan jejak memar disana. Sebuah kecupan pun disematkannya pada kedua putingku, lalu turun dari ranjang.

“Mau kemana?”

“Mandi bu, bentar lagi ibu kerja lho.”

“Mandi disini aja, sama ibu.” Kataku seraya turun dari ranjang.

Sambil saling menyabuni tubuh, kami bercanda, tertawa dengan riang, seperti anak kecil yang tak memikirkan tentang kehidupan.

“Curang ihh.. dari tadi yang disabunin cuman dada sama kemaluan ibu aja.” Gumanku.

“Iya.. biar samaan bu, dari tadi ibu juga cuman sabunin burung aja.” Balasnya.

Aku tertawa terbahak-bahak mendengar jawabannya. Dan dia benar, sejak beberapa saat lalu, aku secara tak sadar selalu menggengam penisnya, mengusapnya hingga menimbulkan banyak busa sabun disana.

Pram lantas bersimpuh dihadapanku, lalu membimbing satu kakiku untuk menapak diatas kloset duduk yang ada disamping. Kemaluanku pun terpampang sempurna karena kedua pahaku terbuka lebar.

Kuhidupkan shower agar aliran airnya membersihkan sabun yang masih menempel disekitar kemaluanku, karena aku yakin, Pram akan mengoralku, ia akan melahap vaginaku lagi.

Disertai air yang terus mengalir, Pram memandangi kemaluanku dengan seksama. Entah mengapa, aku senang ia memandangi kemaluanku seperti itu. Aku suka tatapannya pada vaginaku. Aku bahkan membuka bibir kemaluanku untuknya, agar ia puas memandangi seluruh bagiannya.

“Bu…” katanya sambil menyusupkan jari telunjuknya kedalam belahan vaginaku yang sedikit merekah.

“Kalo ibu pipis, airnya keluar lewat mana???”

Satu tanganku yang tadinya memegang kepalanya kugunakan untuk menutup mulutku, agar suara tertawaku tidak sampai terdengar keluar. Aku benar-Benar tertawa keras namun tertahan karena mendengar pertanyaannya yang konyol!

Gairahku pun hilang seketika!

Pram pun tertawa, namun tak beranjak dari posisinya.

“Haaadduuuhhhhh kamu ini ada-ada ajaaaaa Pram.!” Seruku.

“Lho.. saya serius bu, nanya beneran.” “Kalo ibu pipis, airnya keluar lewat mana??” sambungnya lagi.

Aku yakin, Aku akan terjebak lebih lama lagi dikamar mandi jika tak segera menjawab pertanyaannya karena sepertinya Pram masih menunggu jawaban dariku.

“Ya udah, nih lihat..” kataku seraya kembali membuka bibir kemaluan, sementara Pram mendekatkan wajahnya ke arah kemaluanku.

“Kalo perempuan pipis, airnya keluar sini.” Kataku seraya menunjuk ke arah lubang kencing yang letaknya tak jauh dibawah Klitoris.

“Ooo lewat sini..” gumannya sambil menyentuhnya.

“Iiihhhhh… geliiii Pram…!”

“Jangan digituiinnnnn, nanti pipis beneran lhooo!” sambungku.

“Baguslah.. biar sekalian liat ibu pipis” balasnya sambil terus memainkan lubang kencingku.

Birahiku perlahan mulai muncul kembali, namun sepertinya Pram tidak memperdulikannya. Ia kembali menjilati vaginaku, tepat dibagian lubang kencing dan meninggalkan air liurnya disana.

Lalu ia kembali memainkan jemarinya. Usapannya sukses memancing gairahku, dan juga merangsang air seniku untuk keluar.

Hanya beberapa saat kemudian, air seni itu keluar, meluncur deras mengenai tubuh Pram. Sedikit bagian wajahnya terkena, karena terlambat menghindari kencing yang tiba-tiba keluar.

“Ooo.. kalo cewek pipis gitu yaaa..” gumannya.

“…..”

Entah apa yang ada di benak Pram dengan semua keluguannya itu. Dan sekali lagi, birahiku hilang seketika! Berganti dengan rasa lucu akibat tingkahnya.

☆☆☆☆☆

part 3 akan rilis beberapa jam kedepan. Selamat menikmati :rose:
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd