Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
-
Alamat alternatif sudah baru gan.
Bookmark alamat ini gan : https://bit.ly/ceksemprot
Atau buka dengan VPNIkuti alamat terbaru dari forum di : Follow Twitter @SemprotCom
DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku
- Thread starter merah_delima
- Start date
merah_delima
Calon Pertapa Semprot
Part 5
Rindiani
Sama halnya dengan Nina, aku pun memiliki fantasi seks dalam benakku, dan beberapa diantaranya telah terlaksana. Semuanya karena kehadiran lelakiku, Pram.
“Kalo kamu pengen, kan ada sex toys.”
Nina tertawa keras, begitu juga dengan Pram.
“Iya sih mbak. Tapi sesekali kan pengen juga ngerasain kontol beneran. Pengen dicium, dipeluk, digerayangin. Sex toys mah cuman buat pelengkap aja.”
“Cuddling..” guman Pram pelan.
“Nah itu tuh Pram. Bener.”
“Makanya buruan cari cowok.” kataku.
Nina tertawa pelan, sementara Pram menyeruput es sirup yang dibuat oleh Nina.
Baru saja ia meletakkan kembali itu dilantai, ponsel disakunya berdering. Aku sempat melirik, nama Topan tertera di layarnya. Pram segera menerima panggilan tersebut.
“Motor Topan mogok. Dia lagi di perpus. Dia minta rolong saya kesana bu.”
“Ya udah, bantuin dia dulu, ibu tunggu disini. Gapapa?”
“Iya bu. Nanti saya jemput.”
“Ya udah, buruan, kasihan Topan.” Sambung Nina.
Pram pun beranjak pergi, meninggalkan aku dan Nina.
“Nin, mbak numpang tiduran, boleh?”
“Boleh mbak, tuh tiduran diatas kasur.”
Aku segera beranjak naik ke atas kasurnya. Setelah seharian duduk, berkutat dengan tumpukan data-data, tubuhku terasa lelah, terutama punggung, leher dan pinggang.
“Mbak kecapekan??” tanya Nina setelah melihatku memijet tengkukku sendiri.
“Iya Nin, seharian didepan komputer, lehernya jadi kayak pegel.”
“Mau aku pijetin?”
“Emang Nina bisa mijet?”
“Ya pijet biasa gitu.”
“Iya deh, boleh. Pegel banget soalnya.”
Nina segera bangkit berdiri dan menutup pintu kamarnya. Aku duduk diatas kasurnya, dan Nina duduk tepat dibelakangku.
“Jilbabnya dilepas aja mbak, trus mbak tiduran, tengkurap.”
Aku menuruti saran Nina segera setelah aku berbaring tengkurap, Nina naik keatas tubuhku, duduk diatas punggung dan mulai memijet pundak dan tengkuk. Walaupun bukan pemijat profesional, namun Nina pandai dan cukup membuatku rileks.
“Enak banget Nin..” gumanku dengan mata terpejam.
“Iya.. tapi lebih enak kalo dipijetin cowok, soalnya tenaganya kan kuat.”
“Nanti pulang kerumah, minta dipijet lagi aja sama Pram mbak.”
“Iya sih, bener. Tapi kalo dipijetin Pram kan malah jadi repot. Yang ada jadi panas, horni, bisa-bisa mbak minta diperkosa.”
Nina tertawa terbahak-bahak dan terus memijet tengkuk dan pundakku.
“Ya gapapa dong mbak, kan sama pacar sendiri. Ngomong-ngomong, itu sex toysnya udah di cobain belum..?”
“Belum Nin, belum pengen. Lagian kan ada Pram. Ada yang asli.” jawabku lalu tertawa.
“Buat variasi dong mbak, bisa sekalian ngerasain double penetration juga lhoo. Jadi kontol Pram di memek mbak, dildo ato vibratornya di pantat mbak.”
Aku sempat berpikir seperti apa yang ia katakan, namun masih belum berani untuk mengungkapkannya pada lelakiku.
“Iya deh, nanti kapan-kapan mbak cobain..” jawabku singkat.
“Enak lho mbak.. cobain deh..”
“Eh.. apa mau nyoba sekarang??” sambungnya.
Aku tertawa pelan dan masih memejamkan mataku, menikmati pijetannya yang sangat memanjakan otot-otot leher dan pundakku.
“Nanti aja dirumah deh, nyobain bareng Pram.”
“Nah..gitu dong.. jadi sekalian pakai kontol beneran sama dildo..”
“Dduuhhhh.. enak banget jadi mbak Rin… jadi iri deh, jadi pengen..” sambungnya.
“Tuuhhhh kaaannnn… udah ah, jangan ngomongin yang enak-enak. Ganti topik aja sih biar gak horni.”
“Buruan cari suami Nin, biar bisa main tiap hari.” Kataku lagi.
Nina tertawa, lalu mengalihkan pijetannya pada punggungku.
“Nanti deh mbak.. lulus dulu baru cari suami.”
“Ya udah, berarti sementara ini mainnya sama sex toys aja dulu.” balasku.
“Iya sih.. kadang ya seminggu sekali aku main pakai dildo. Tapi ya kadang bosen juga. Pengen ngerasain lagi kontol beneran.” keluhnya.
“Cari om-om aja gih, pasti kan lebih hot dan berpengalaman.”
“Ooggaahhhhh.. gak mau aku mbak.”
“Sama Temenmu aja, yang udah kamu kenal Nin. Tapi yang masih singel. Jangan yang udah pacarnya.”
“Enggak ah.. kalo pun ada yang bisa, aku maunya cuman sama Pram aja. Kayaknya dia asik deh, buktinya mbak bisa lengket banget sama dia, bisa jatuh cinta gitu.”
“Haduuhhhh Ninaaaaaaaa..!” protesku.
“Ya gak bisa dong. Pram kan udah punya mbak.” kataku lagi.
Nina tertawa sambil bergeser turun, ia menduduki paha bagian atas, tepat dibawah pantatku.
“Iya, disitu dek, enak banget..” gumanku ketika tangannya memijet pinggangku.
“Bajunya ganggu mbak, dinaikin aja gapapa?” tanyanya.
“Iya..” jawabku singkat.
Nina menyingkap ujung bajuku lalu menariknya hingga ke bagian punggungku.
“Ckckckckckckck… seksi abis.. pakai G-string open crotch.” gumannya setelah melihat pinggulku.
Aku hanya tersenyum, dan terus memejamkan mata, menikmati pijetannya. Pinggangku pun perlahan dibuatnya nyaman dan rileks.
“Lagi pengen aja sih dek. Soalnya udah agak lama gak pakai g-string.”
“Pantatnya montok banget. Kalo main pakai gaya doggie, pasti Pram bisa merem melek.”
“Awasss lhoooo.. jangan dibayangin. Nanti jadi pengen lhooo.” gumanku.
Nina tertawa, lalu mulai mengalihkan pijetannya ke bagian pantatku.
“Iihhhhhhh… Deeekkkkk… jangan dimainin gitu… geliii tauuuuu…” protesku saat Nina menenggelamkan satu jarinya diantara belahan pantatku dan mempermainkan permukaan liang anusku dengan ujung jari.
Aku tak bisa bergerak maupun melawan, karena ia sedang menduduki pahaku. Nina tertawa pelan, lalu kembali memijetku.
“Mbak udah nyoba anal?”
Aku hanya mengangguk pelan.
“Enak? Suka?” “Sakit banget taauuuu.. perih Nin, padahal udah pakai baby oil lhooo.”
“Berarti mainnya kasar…?”
“Enggak juga sih.. mainnya pelan kok.” jawabku.
“Berarti kontol Pram kegedean.”
Aku hanya diam, tak membalas ucapannya.
“Iya?? Kontol Pram gede??” tanyanya lagi.
Aku mengangguk pelan, masih dengan mata terpejam.
“Kalo gak salah, aku ada kasih mbak dildo yang ukuran kecil, coba aja mbak main pakai itu bareng Pram.”
“Pram seneng banget kok. Dia bilang enak banget main anal.” kataku.
“Ya iyalah mbak.. lubang pantat kan kecil, sempit banget. Pasti cowok pada suka. Mantanku dulu aja suka banget.”
Aku sedang terlena karena pijetan Nina dan dering ponsel dari dalam tasku membuyarkannya. Pram menelponku. Ia mengabarkan kemungkinan ia akan sedikit lama untuk menjemputku karena masih membantu Topan memperbaiki sepeda motornya. Pram bersama Deva, Galang dan Topan.
“Pram kenapa mbak?”
“Enggak kok Nin, katanya masih lama bantuin Topan benerin motornya.”
“Ya udah, sekalian mbak istirahat aja dulu disini, sambil aku pijetin.”
“Emang kamu gak capek Nin?”
“Ya enggak lah mbak.. malah seneng kok.”
“kok bisa seneng? Kamu hobi mijetin ya?” tanyaku.
“Enggak sih, maksudnya seneng lihat pantat sama memek mbak Rin, kayaknya enak banget, legit, empuk.”
Aku tertawa pelan sambil berusaha memalingkan wajah untuk memandanginya.
“Legit? Gurih? Enak?? Emangnya kue.. ya udah, dimakan gih.” balasku lalu tertawa.
“Bener nih, boleh di icip??” tanyanya.
“Icip aja kalo mau, kalo gak jijik..”
Nina menundukkan kepala, kedua tangannya meremas kedua belah pantatku, menyibaknya hingga permukaan liang anusku pun terlihat. Aku tak melarangnya, berontak ataupun berusaha mencegahnya karena aku sangat menyukai sensasi yang ditimbulkan jika pantatku dijilati.
Lelakiku, Pram pun secara samar mengijinkankanku untuk melakukan hal seperti ini, walaupun ia tetap mengingatkanku untuk bisa mengendalikan birahiku.
“Beneran boleh? Nanti kalo mbak horni bisa repot lhoo Pram gak ada disini lhoo.” katanya sambil kembali duduk tegak diatas pahaku.
Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, Nina beranjak turun dan berbaring disampingku.
“Mbak kenal dewi gak? Temen Pram dulu waktu dia masih ngontrak rumah.” tanyanya.
“Yang kerja di butik itu?”
“Iya.. bener. Dulu waktu aku sering main ke kontrakan Pram, sering ketemu dia disana. Dia emang cantik banget kalo menurut aku. Awalnya aku pikir itu pacarnya Pram, tapi ternyata bukan.”
“Mereka gak pacaran, cuman temenan aja.” sambungnya.
“Iya, mbak pernah ketemu sekali sih sama si Dewi itu. Dan emang cantik banget Nin.”
“Nah itu yang buat aku gak habis pikir mbak. Kok Pram gak kepikiran buat pacaran sama dia? Atau paling enggak nidurin dia.”
“Nin.. kamu kan udah lama kenal Pram. Pasri kamu tau kalo Pram bukan cowok kayak gitu. Iya kan?”
“Iya sih mbak, kenal dia udah lama. Malah dulu pas awal-awal kenal, aku kira dia gay.”
Aku tertawa mendengar apa yang ia katakan. Kumiringkan tubuh untuk berhadapan dengannya, agar lebih nyaman berbincang dengannya.
“Karena dia begitu, makanya mbak suka sama dia. Dia emang pendiam sih, dan mungkin kalo menurut cewek lain, dia gak romantis.”
“Kayaknya sih iya.. gak ada romantis-romantisnya.” timpalnya.
“Tapi asik kok Nin. Beneran..”
“Mbak sih gak butuh dia harus bersikap romantis. Biarin aja dia jadi dirinya sendiri. Yang penting dia nyaman sama mbak, dan mbak nyaman sama dia.”
“Itu tuh.. yang kayak gitu yang aku cari mbak.”
“Umur kita ini udah bukan ABG lagi sih dek, jadi sekarang saatnya cari pasangan yang bisa buat kita nyaman. Bisa mendukung kita, bisa ngertiin kita. Gak perlu yang gaul, ato yang tajir. Yang penting nyaman.”
“Tapi Pram tajir kok. Aku aja gak nyangka. Awalnya aku kira dia cowok biasa-biasa aja sih. Soalnya penampilannya kayak gitu, pakaiannya itu-itu aja, motornya pun motor butut.”
“Walaupun Pram gak tajir, mbak pasti tetap pilih dia Nin. Jarang banget ada cowok kayak Pram.”
“Iya mbak, jarang banget. Aku juga pati mau kok kalo ada cowok kayak Pram gitu.”
“Tapi ya pasti susah banget nyarinya.” sambungnya.
“Sabar aja Nin.. nanti pasti ada jodoh terbaik buatmu.”
“Kalo gak ada, aku mau jadi istri kedua Pram aja.”
Aku tertawa keras mendengar perkataannya.
“Kok ketawa? Kita kan jadi sekeluarga. Tinggal serumah bertiga.”
Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum.
“Gak semudah itu sayang. Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Contohnya, orang tua Nina setuju apa enggak kalo Nina jadi istri kedua? Keluarga besar setuju atau enggak.”
“Iya juga ya mbak.. ribet.” gumannya sambil menatap langit-langit kamarnya.
“Sabar aja Nin.. sambil menunggu ketemu jodoh, kamu mempersiapkan dirimu, menikmati waktumu.”
“kalo ketemu cowok yang menurutku pas, aku sih pengen Pacaran dulu mbak, pengen kenal dulu sebelum nikah, biar gak salah pilih kayak mantanku dulu. Aku gak pengen buru-buru nikah.”
“Aku pengen lulus, cari kerja dulu buat nabung untuk masa depan.”
“Pinterrr… harus kayak gitu. Jadi kita punya sesuatu yang bisa dijadikan pegangan hidup untuk masa depan. Kalaupun udah nikah, dan kita sebagai istri tetap bekerja, menurut mbak sih itu malah bagus. Soalnya pendapatan kita bisa dijadikan cadangan seandainya suami kita, misalnya sakit, trus berhenti kerja.”
“Aku sih mikirnya kalo udah nikah mau tetap kerja, biar kalo mau beli apa gitu, apa buat keperluan aku, aku punya uang sendiri, jadi gak minta sama suami.”
“Pemikiran yang kayak gitu juga bagus sih Nin, jadi gak menambah beban suami. Tapi, seandainya suatu saat nanti menikah dan tetap bekerja, dan gajimu lebih besar dari gaji suami, kamu harus tetap menghormati dan menghargai suami.”
Nina mengangguk pelan, lalu berbaring menyamping, menghadap ke arahku.
“Nanti kalo lulus, aku pengen cari kerja dulu, pengen kayak mbak Rin, punya rumah sendiri, tinggal sendiri.”
“Gitu juga bagus, boleh kok. Itung-itung buat investasi.”
“Sekalian belajar hidup mandiri mbak. Kayak mbak Rin gini.” gumannya.
“Tapi gak mudah lho Nin.. kadang ya capek, bosen..soalnya apa-apa sendiri.”
“Lhooo.. ada Pram kan?”
“Iya.. maksud mbak waktu belum kenal Pram.”
Suara ketukan di pintu kamar menghentikan perbincangan kami.
“Pram..?? Kata Nina dengan sedikit keras.
“Iya Nin.”
“Masuk aja..”
Pintu pun terbuka dan lelakiku berdiri diisana.
“Kita pulang bu.”
“Masuk dulu dong. Tuh minumnya dihabisin. Udah aku buatin minum kok gak dihabisin.” gerutu nina sambil merapatkan tubuh padaku.
Pram pun menuruti perkataan Nina, dan duduk ditepian kasur, disampingku.
“Pram.. kalo aku peluk mbak Rin kayak gini, kamu gak cemburu kan?” katanya sambil menumpangkan satu kakinya diatas pinggul, dan satu tangannya diatas dadaku.
“Ya enggak lah Nin, biasa aja. Kalian kan sama-sama cewek.”
“Kalo sambil gini, gak marah juga?” katanya lagi sambil meremas lembut payudaraku.
“Eeeeeehhhhh… kok malah keterusan sih??” protesku.
Pram hanya tertawa sambil menggelengkan kepala.
“Gilannya kumat..” gumannya pelan, lalu menyeruput minumannya.
“Tuh… Pram gak marah kok mbak..”
“Iyaaaaa.. Pram gak marah.. trus kenapa? Mau ngapain??” tanyaku, sambil mencubit pipinya dengan gemes.
“Berarti kita bisa threesome dong.” katanya dengan raut wajah berseri.
“hhhaaaahhhhh..!????” seru Pram sambil menatap kami berdua.
Aku dan Nina tertawa melihat wajah lelakiku. Entah apa yang ada dibenaknya setelah mendengar apa yang dikatakan Nina.
Disampingku, Nina semakin merapatkan tubuh padaku, begitu juga dengan wajahnya, semakin mendekat ke sisi wajahku.
“Pram putih mana, paha aku atau paha mbak Rin?” tanyanya lagi sambil menyingkap baju panjang yang kukenakan hingga nyaris ke bagian pangkal pahaku.
Pram menatap kami dengan penuh keheranan, lantas berdiri dan berjalan ke arah pintu. Ia segera menutup pintu tersebut.
“Kok pintunya ditutup sih sayang?” tanyaku saat ia kembali duduk.
“Saya gak mau orang lain lihat tubuh ibu sama tubuh Nina.”
“Iyaa.. temenmu ini emang gila lintas batas. No limit gitu gak warasnya.”
“Jadi gimana, putih mana Pram.” tanya Nina lagi.
Pram menghela nafas, lalu memandangi paha kami.
“Sama-sama putih..” jawabnya singkat, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Kita kan selalu pakai celana panjang atau jilbab, jadi ya putih Nin.”
Seketika, raut wajahnya berubah, sambil memainkan alis, ia kembali mengusap pahaku. Wajah nakal, jahil, kembali terlukis disana.
“Pram.. udah tau belum? Kakakku yang cantik ini, hari ini pakai G-string lhooo..”
“Pram udah tauuuuuuuu..” balasku cepat, sambil menghalau tangannya yang mulai merayap menuju ke pangkal pahaku.
“Woowww… beneran udah tau Pram?” tanya Nina.
Pram hanya mengangguk dan kembali meraih cemilan dihadapannya.
“Nina, mbak pulang dulu ya.. udah sore. Mbak belum istirahat, Pram juga belum istirahat. Belum mandi.”
“Yaaahhhhh.. kok cepet sih pulangnya?? Padahal aku suka lho kalian main kesini. Aku ada temannya, ada temen ngobrol.”
“Besok aja lagi mainnya. Besok kan bisa ngobrol sama temen-temen lain di kampus.” jawabku.
“Iya deh..”
Pram bangkit berdiri, berjalan ke arah pintu.
“Ngobrol sama temen kostmu Nin, biar gak bosen dikamar.” Kata Pram sambil berdiri di depan pintu.
Aku dan Nina pun bangkit dari kasurnya, lalu duduk dilantai, sambil meraih tasku. Tak lupa kukenakan lagi jilbabku sebelum pulang.
“Mbak pulang dulu ya Nin.”
“Iya mbak… makasih udah main kesini.” “Iya, sama-sama.” jawabku sambil bangkit berdiri dan melangkah ke arah pintu. Nina menyusul dibelakangku, berdiri di antara aku dan lelakiku.
“Udah, gak usah keluar kamar. Tuh dibawah banyak cowok, celanamu pendek, ketat.” kata Pram.
Nina kembali memandang ke arah pangkal pahanya. “Biasa aja kalik Pram.”
“Enggak. Gak boleh.. kami turun sendiri aja, gak perlu di anter.”
“Iyaaa.. dengerin apa yang dibilang sama Pram. Itu celananya pendek banget. Ketat lagi. Tuh memeknya sampe nyetak gitu.” timpalku.
“Iya deh..”
“Ya udah, mbak pamit yaaa…” kataku sambil memegang lembut pipinya.
Nina mengangguk, lantas memeluk tubuhku dengan sangat erat.
“Nin.. pulang.” Kata Pram singat sambil melangkah pergi.
“Eehhhhh… udah.. gitu doang? Gak terima kasih atau apa gitu udah dibuatin es sirup” protesnya.
Pram berhenti melangkah, lalu kembali kedepan pintu sambil tersenyum.
“Iyaa. Makasih udah dibuatin es sirup Nin.”
“Nah.. gitu dong..” balasnya, lalu mendekati Pram dan memeluk erat tubuhnya.
“Eehhh… kok main peluk aja sih?? Protesku.
Pram tak bereaksi, ia hanya berdiri mematung sambil memandangku.
“Napa..? Mbak cemburu??” tanyanya sambil terus memeluk tubuh lelakiku tanpa memandangiku.
“Ya enggak sih..tapi kan gak enak dilihat orang lain.”
“Iissshhh biarin.. bodo amat. Iya kan Pram? Lagian aku meluk Pram, bukan suami orang orang lain.”
“Tapi dia kan pacar mbak..Ninaaaaaaaaa…” gumanku sambil mencubit lengannya dengan gemes.
Nina melepaskan pelukannya dan kembali memelukku.
“Makasih udah main kesini.. kalo bisa, sering-sering dong mbak, biar kita bisa ngobrol. Biar aku ada temennya.”
“Iya.. nanti kapan-kapan kalo ada waktu, kami main lagi kesini. Atau.. Nina main ke rumah mbak jiga gapapa kok.”
“Iya boleh deh.. lagian semester ini kan cuman skripsi doang. Bisa lebih santai.”
“Jangan terlalu santai Nin. Kalo bisa digarap secepatnya.” Kata Pram.
Nina mengangguk, lalu melepaskan pelukannya perlahan.
“Udah.. pulang gih.. keburu malam.”
= = =
“Emang dulu Nina sering main ke kontakan sayang?” tanyaku saat kami dalam perjalanan pulang.
“Ya gak sering sih bu, biasanya sih dia dateng pas hari libur. Biasanya sih hari minggu.”
“Gilanya makon parah..” gumanku pelan.
“Jangan marah atau tersinggung ya bu. Nina emang kayak gitu. Kadang tingkahnya emang kelewatan.”
“Iya sayang.. ibu gak marah kok. Biasa aja kok, gak tersinggung juga. Ibu malah seneng lihat dia akrab sama sayang, sama ibu. Seumur-umur, ibu belum pernah punya yang namanya sahabat lhoo.”
“Masa sih bu?” “Temen sekolah, atau temen kuliah, gak ada yang akrab? Gak ada yang deket?”
Aku menggeleng pelan, sambil memperhatikan suasana senja disepanjang jalan yang kami lalui.
“Makanya ibu senang banget kalo lihat kalian ngumpul, bercanda, makan bareng.. kayaknya seru, asik banget.”
“Nina gak berani sebebas itu sama Topan, Galang, apalagi sama Deva. Kalo sama Rita sih saya gak tau bu.”
“Kayaknya sih karena Nina itu anak bungsu, jadi bawaan manja masih ada.”
“Mungkinnsih kayak gitu bu. Cuman saya gak enak aja sama ibu. Soalnya kadang Nina itu gak lihat situasi, asal main gandeng aja, main peluk aja. Sama kayak Rita.” gerutunya.
“Gapapa kok sayang.. beneran gapapa. Ibu tau sayang gak akan pernah menyakiti ibu. Ibu ngerti kok. Jangan khawatir. Justru ibu senang lihat temen-temenmu bisa akrab dengan sayang.”
“Ngomong-ngomong, tadi pas Nina pake celana ketat gitu, sayang horni gak?”
Pram mengangguk pelan sambil tersenyum malu.
“Wajar kok.. normal..”
“Berarti ini tadi tegang dong..” kataku sambil mengusap kemaluannya dari balik celana panjang yang menutupi pinggulnya.
Pram kembali menganganggukkan kepala sambil terus mengendalikan stir mobil.
“Sekarang masih tegang?”
Sekali lagi lelakiku mengangguk.
“Ya udah, ibu lemesih deh.. mau?” tanyaku sambil menurunkan ritsleting celananya.
Pram tak menjawab pertanyaanku, namun satu tangannya menarik lenganku, memintaku untuk duduk mendekat, lalu mengecup kepalaku.
“Nanti di rumah aja bu..” gumannya pelan.
Aku sadar, tak mudah bagiku untuk mempertahankan Pram agar tetap menjadi lelakiku. Bagi perempuan yang telah mengenalnya, ia bagaikan magnet, memiliki daya tarik yang kuat.
Aku tahu, Pram bukanlah lelaki yang mudah goyah, mudah untuk tergoda dan jatuh hati pada wanita. Namun aku sadar, godaan itu takkan pernah hilang. Pengalaman pahit kehilangan suami telah memberiku pelajaran berharga agar berbenah diri, menjadi ibu, sekaligus istri yang lebih baik lagi.
♡♡♡ seri 12 TAMAT♡♡♡
Sampai jumpa di seri selanjutnya.
Terima kasih
Rindiani
Sama halnya dengan Nina, aku pun memiliki fantasi seks dalam benakku, dan beberapa diantaranya telah terlaksana. Semuanya karena kehadiran lelakiku, Pram.
“Kalo kamu pengen, kan ada sex toys.”
Nina tertawa keras, begitu juga dengan Pram.
“Iya sih mbak. Tapi sesekali kan pengen juga ngerasain kontol beneran. Pengen dicium, dipeluk, digerayangin. Sex toys mah cuman buat pelengkap aja.”
“Cuddling..” guman Pram pelan.
“Nah itu tuh Pram. Bener.”
“Makanya buruan cari cowok.” kataku.
Nina tertawa pelan, sementara Pram menyeruput es sirup yang dibuat oleh Nina.
Baru saja ia meletakkan kembali itu dilantai, ponsel disakunya berdering. Aku sempat melirik, nama Topan tertera di layarnya. Pram segera menerima panggilan tersebut.
“Motor Topan mogok. Dia lagi di perpus. Dia minta rolong saya kesana bu.”
“Ya udah, bantuin dia dulu, ibu tunggu disini. Gapapa?”
“Iya bu. Nanti saya jemput.”
“Ya udah, buruan, kasihan Topan.” Sambung Nina.
Pram pun beranjak pergi, meninggalkan aku dan Nina.
“Nin, mbak numpang tiduran, boleh?”
“Boleh mbak, tuh tiduran diatas kasur.”
Aku segera beranjak naik ke atas kasurnya. Setelah seharian duduk, berkutat dengan tumpukan data-data, tubuhku terasa lelah, terutama punggung, leher dan pinggang.
“Mbak kecapekan??” tanya Nina setelah melihatku memijet tengkukku sendiri.
“Iya Nin, seharian didepan komputer, lehernya jadi kayak pegel.”
“Mau aku pijetin?”
“Emang Nina bisa mijet?”
“Ya pijet biasa gitu.”
“Iya deh, boleh. Pegel banget soalnya.”
Nina segera bangkit berdiri dan menutup pintu kamarnya. Aku duduk diatas kasurnya, dan Nina duduk tepat dibelakangku.
“Jilbabnya dilepas aja mbak, trus mbak tiduran, tengkurap.”
Aku menuruti saran Nina segera setelah aku berbaring tengkurap, Nina naik keatas tubuhku, duduk diatas punggung dan mulai memijet pundak dan tengkuk. Walaupun bukan pemijat profesional, namun Nina pandai dan cukup membuatku rileks.
“Enak banget Nin..” gumanku dengan mata terpejam.
“Iya.. tapi lebih enak kalo dipijetin cowok, soalnya tenaganya kan kuat.”
“Nanti pulang kerumah, minta dipijet lagi aja sama Pram mbak.”
“Iya sih, bener. Tapi kalo dipijetin Pram kan malah jadi repot. Yang ada jadi panas, horni, bisa-bisa mbak minta diperkosa.”
Nina tertawa terbahak-bahak dan terus memijet tengkuk dan pundakku.
“Ya gapapa dong mbak, kan sama pacar sendiri. Ngomong-ngomong, itu sex toysnya udah di cobain belum..?”
“Belum Nin, belum pengen. Lagian kan ada Pram. Ada yang asli.” jawabku lalu tertawa.
“Buat variasi dong mbak, bisa sekalian ngerasain double penetration juga lhoo. Jadi kontol Pram di memek mbak, dildo ato vibratornya di pantat mbak.”
Aku sempat berpikir seperti apa yang ia katakan, namun masih belum berani untuk mengungkapkannya pada lelakiku.
“Iya deh, nanti kapan-kapan mbak cobain..” jawabku singkat.
“Enak lho mbak.. cobain deh..”
“Eh.. apa mau nyoba sekarang??” sambungnya.
Aku tertawa pelan dan masih memejamkan mataku, menikmati pijetannya yang sangat memanjakan otot-otot leher dan pundakku.
“Nanti aja dirumah deh, nyobain bareng Pram.”
“Nah..gitu dong.. jadi sekalian pakai kontol beneran sama dildo..”
“Dduuhhhh.. enak banget jadi mbak Rin… jadi iri deh, jadi pengen..” sambungnya.
“Tuuhhhh kaaannnn… udah ah, jangan ngomongin yang enak-enak. Ganti topik aja sih biar gak horni.”
“Buruan cari suami Nin, biar bisa main tiap hari.” Kataku lagi.
Nina tertawa, lalu mengalihkan pijetannya pada punggungku.
“Nanti deh mbak.. lulus dulu baru cari suami.”
“Ya udah, berarti sementara ini mainnya sama sex toys aja dulu.” balasku.
“Iya sih.. kadang ya seminggu sekali aku main pakai dildo. Tapi ya kadang bosen juga. Pengen ngerasain lagi kontol beneran.” keluhnya.
“Cari om-om aja gih, pasti kan lebih hot dan berpengalaman.”
“Ooggaahhhhh.. gak mau aku mbak.”
“Sama Temenmu aja, yang udah kamu kenal Nin. Tapi yang masih singel. Jangan yang udah pacarnya.”
“Enggak ah.. kalo pun ada yang bisa, aku maunya cuman sama Pram aja. Kayaknya dia asik deh, buktinya mbak bisa lengket banget sama dia, bisa jatuh cinta gitu.”
“Haduuhhhh Ninaaaaaaaa..!” protesku.
“Ya gak bisa dong. Pram kan udah punya mbak.” kataku lagi.
Nina tertawa sambil bergeser turun, ia menduduki paha bagian atas, tepat dibawah pantatku.
“Iya, disitu dek, enak banget..” gumanku ketika tangannya memijet pinggangku.
“Bajunya ganggu mbak, dinaikin aja gapapa?” tanyanya.
“Iya..” jawabku singkat.
Nina menyingkap ujung bajuku lalu menariknya hingga ke bagian punggungku.
“Ckckckckckckck… seksi abis.. pakai G-string open crotch.” gumannya setelah melihat pinggulku.
Aku hanya tersenyum, dan terus memejamkan mata, menikmati pijetannya. Pinggangku pun perlahan dibuatnya nyaman dan rileks.
“Lagi pengen aja sih dek. Soalnya udah agak lama gak pakai g-string.”
“Pantatnya montok banget. Kalo main pakai gaya doggie, pasti Pram bisa merem melek.”
“Awasss lhoooo.. jangan dibayangin. Nanti jadi pengen lhooo.” gumanku.
Nina tertawa, lalu mulai mengalihkan pijetannya ke bagian pantatku.
“Iihhhhhhh… Deeekkkkk… jangan dimainin gitu… geliii tauuuuu…” protesku saat Nina menenggelamkan satu jarinya diantara belahan pantatku dan mempermainkan permukaan liang anusku dengan ujung jari.
Aku tak bisa bergerak maupun melawan, karena ia sedang menduduki pahaku. Nina tertawa pelan, lalu kembali memijetku.
“Mbak udah nyoba anal?”
Aku hanya mengangguk pelan.
“Enak? Suka?” “Sakit banget taauuuu.. perih Nin, padahal udah pakai baby oil lhooo.”
“Berarti mainnya kasar…?”
“Enggak juga sih.. mainnya pelan kok.” jawabku.
“Berarti kontol Pram kegedean.”
Aku hanya diam, tak membalas ucapannya.
“Iya?? Kontol Pram gede??” tanyanya lagi.
Aku mengangguk pelan, masih dengan mata terpejam.
“Kalo gak salah, aku ada kasih mbak dildo yang ukuran kecil, coba aja mbak main pakai itu bareng Pram.”
“Pram seneng banget kok. Dia bilang enak banget main anal.” kataku.
“Ya iyalah mbak.. lubang pantat kan kecil, sempit banget. Pasti cowok pada suka. Mantanku dulu aja suka banget.”
Aku sedang terlena karena pijetan Nina dan dering ponsel dari dalam tasku membuyarkannya. Pram menelponku. Ia mengabarkan kemungkinan ia akan sedikit lama untuk menjemputku karena masih membantu Topan memperbaiki sepeda motornya. Pram bersama Deva, Galang dan Topan.
“Pram kenapa mbak?”
“Enggak kok Nin, katanya masih lama bantuin Topan benerin motornya.”
“Ya udah, sekalian mbak istirahat aja dulu disini, sambil aku pijetin.”
“Emang kamu gak capek Nin?”
“Ya enggak lah mbak.. malah seneng kok.”
“kok bisa seneng? Kamu hobi mijetin ya?” tanyaku.
“Enggak sih, maksudnya seneng lihat pantat sama memek mbak Rin, kayaknya enak banget, legit, empuk.”
Aku tertawa pelan sambil berusaha memalingkan wajah untuk memandanginya.
“Legit? Gurih? Enak?? Emangnya kue.. ya udah, dimakan gih.” balasku lalu tertawa.
“Bener nih, boleh di icip??” tanyanya.
“Icip aja kalo mau, kalo gak jijik..”
Nina menundukkan kepala, kedua tangannya meremas kedua belah pantatku, menyibaknya hingga permukaan liang anusku pun terlihat. Aku tak melarangnya, berontak ataupun berusaha mencegahnya karena aku sangat menyukai sensasi yang ditimbulkan jika pantatku dijilati.
Lelakiku, Pram pun secara samar mengijinkankanku untuk melakukan hal seperti ini, walaupun ia tetap mengingatkanku untuk bisa mengendalikan birahiku.
“Beneran boleh? Nanti kalo mbak horni bisa repot lhoo Pram gak ada disini lhoo.” katanya sambil kembali duduk tegak diatas pahaku.
Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, Nina beranjak turun dan berbaring disampingku.
“Mbak kenal dewi gak? Temen Pram dulu waktu dia masih ngontrak rumah.” tanyanya.
“Yang kerja di butik itu?”
“Iya.. bener. Dulu waktu aku sering main ke kontrakan Pram, sering ketemu dia disana. Dia emang cantik banget kalo menurut aku. Awalnya aku pikir itu pacarnya Pram, tapi ternyata bukan.”
“Mereka gak pacaran, cuman temenan aja.” sambungnya.
“Iya, mbak pernah ketemu sekali sih sama si Dewi itu. Dan emang cantik banget Nin.”
“Nah itu yang buat aku gak habis pikir mbak. Kok Pram gak kepikiran buat pacaran sama dia? Atau paling enggak nidurin dia.”
“Nin.. kamu kan udah lama kenal Pram. Pasri kamu tau kalo Pram bukan cowok kayak gitu. Iya kan?”
“Iya sih mbak, kenal dia udah lama. Malah dulu pas awal-awal kenal, aku kira dia gay.”
Aku tertawa mendengar apa yang ia katakan. Kumiringkan tubuh untuk berhadapan dengannya, agar lebih nyaman berbincang dengannya.
“Karena dia begitu, makanya mbak suka sama dia. Dia emang pendiam sih, dan mungkin kalo menurut cewek lain, dia gak romantis.”
“Kayaknya sih iya.. gak ada romantis-romantisnya.” timpalnya.
“Tapi asik kok Nin. Beneran..”
“Mbak sih gak butuh dia harus bersikap romantis. Biarin aja dia jadi dirinya sendiri. Yang penting dia nyaman sama mbak, dan mbak nyaman sama dia.”
“Itu tuh.. yang kayak gitu yang aku cari mbak.”
“Umur kita ini udah bukan ABG lagi sih dek, jadi sekarang saatnya cari pasangan yang bisa buat kita nyaman. Bisa mendukung kita, bisa ngertiin kita. Gak perlu yang gaul, ato yang tajir. Yang penting nyaman.”
“Tapi Pram tajir kok. Aku aja gak nyangka. Awalnya aku kira dia cowok biasa-biasa aja sih. Soalnya penampilannya kayak gitu, pakaiannya itu-itu aja, motornya pun motor butut.”
“Walaupun Pram gak tajir, mbak pasti tetap pilih dia Nin. Jarang banget ada cowok kayak Pram.”
“Iya mbak, jarang banget. Aku juga pati mau kok kalo ada cowok kayak Pram gitu.”
“Tapi ya pasti susah banget nyarinya.” sambungnya.
“Sabar aja Nin.. nanti pasti ada jodoh terbaik buatmu.”
“Kalo gak ada, aku mau jadi istri kedua Pram aja.”
Aku tertawa keras mendengar perkataannya.
“Kok ketawa? Kita kan jadi sekeluarga. Tinggal serumah bertiga.”
Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum.
“Gak semudah itu sayang. Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Contohnya, orang tua Nina setuju apa enggak kalo Nina jadi istri kedua? Keluarga besar setuju atau enggak.”
“Iya juga ya mbak.. ribet.” gumannya sambil menatap langit-langit kamarnya.
“Sabar aja Nin.. sambil menunggu ketemu jodoh, kamu mempersiapkan dirimu, menikmati waktumu.”
“kalo ketemu cowok yang menurutku pas, aku sih pengen Pacaran dulu mbak, pengen kenal dulu sebelum nikah, biar gak salah pilih kayak mantanku dulu. Aku gak pengen buru-buru nikah.”
“Aku pengen lulus, cari kerja dulu buat nabung untuk masa depan.”
“Pinterrr… harus kayak gitu. Jadi kita punya sesuatu yang bisa dijadikan pegangan hidup untuk masa depan. Kalaupun udah nikah, dan kita sebagai istri tetap bekerja, menurut mbak sih itu malah bagus. Soalnya pendapatan kita bisa dijadikan cadangan seandainya suami kita, misalnya sakit, trus berhenti kerja.”
“Aku sih mikirnya kalo udah nikah mau tetap kerja, biar kalo mau beli apa gitu, apa buat keperluan aku, aku punya uang sendiri, jadi gak minta sama suami.”
“Pemikiran yang kayak gitu juga bagus sih Nin, jadi gak menambah beban suami. Tapi, seandainya suatu saat nanti menikah dan tetap bekerja, dan gajimu lebih besar dari gaji suami, kamu harus tetap menghormati dan menghargai suami.”
Nina mengangguk pelan, lalu berbaring menyamping, menghadap ke arahku.
“Nanti kalo lulus, aku pengen cari kerja dulu, pengen kayak mbak Rin, punya rumah sendiri, tinggal sendiri.”
“Gitu juga bagus, boleh kok. Itung-itung buat investasi.”
“Sekalian belajar hidup mandiri mbak. Kayak mbak Rin gini.” gumannya.
“Tapi gak mudah lho Nin.. kadang ya capek, bosen..soalnya apa-apa sendiri.”
“Lhooo.. ada Pram kan?”
“Iya.. maksud mbak waktu belum kenal Pram.”
Suara ketukan di pintu kamar menghentikan perbincangan kami.
“Pram..?? Kata Nina dengan sedikit keras.
“Iya Nin.”
“Masuk aja..”
Pintu pun terbuka dan lelakiku berdiri diisana.
“Kita pulang bu.”
“Masuk dulu dong. Tuh minumnya dihabisin. Udah aku buatin minum kok gak dihabisin.” gerutu nina sambil merapatkan tubuh padaku.
Pram pun menuruti perkataan Nina, dan duduk ditepian kasur, disampingku.
“Pram.. kalo aku peluk mbak Rin kayak gini, kamu gak cemburu kan?” katanya sambil menumpangkan satu kakinya diatas pinggul, dan satu tangannya diatas dadaku.
“Ya enggak lah Nin, biasa aja. Kalian kan sama-sama cewek.”
“Kalo sambil gini, gak marah juga?” katanya lagi sambil meremas lembut payudaraku.
“Eeeeeehhhhh… kok malah keterusan sih??” protesku.
Pram hanya tertawa sambil menggelengkan kepala.
“Gilannya kumat..” gumannya pelan, lalu menyeruput minumannya.
“Tuh… Pram gak marah kok mbak..”
“Iyaaaaa.. Pram gak marah.. trus kenapa? Mau ngapain??” tanyaku, sambil mencubit pipinya dengan gemes.
“Berarti kita bisa threesome dong.” katanya dengan raut wajah berseri.
“hhhaaaahhhhh..!????” seru Pram sambil menatap kami berdua.
Aku dan Nina tertawa melihat wajah lelakiku. Entah apa yang ada dibenaknya setelah mendengar apa yang dikatakan Nina.
Disampingku, Nina semakin merapatkan tubuh padaku, begitu juga dengan wajahnya, semakin mendekat ke sisi wajahku.
“Pram putih mana, paha aku atau paha mbak Rin?” tanyanya lagi sambil menyingkap baju panjang yang kukenakan hingga nyaris ke bagian pangkal pahaku.
Pram menatap kami dengan penuh keheranan, lantas berdiri dan berjalan ke arah pintu. Ia segera menutup pintu tersebut.
“Kok pintunya ditutup sih sayang?” tanyaku saat ia kembali duduk.
“Saya gak mau orang lain lihat tubuh ibu sama tubuh Nina.”
“Iyaa.. temenmu ini emang gila lintas batas. No limit gitu gak warasnya.”
“Jadi gimana, putih mana Pram.” tanya Nina lagi.
Pram menghela nafas, lalu memandangi paha kami.
“Sama-sama putih..” jawabnya singkat, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Kita kan selalu pakai celana panjang atau jilbab, jadi ya putih Nin.”
Seketika, raut wajahnya berubah, sambil memainkan alis, ia kembali mengusap pahaku. Wajah nakal, jahil, kembali terlukis disana.
“Pram.. udah tau belum? Kakakku yang cantik ini, hari ini pakai G-string lhooo..”
“Pram udah tauuuuuuuu..” balasku cepat, sambil menghalau tangannya yang mulai merayap menuju ke pangkal pahaku.
“Woowww… beneran udah tau Pram?” tanya Nina.
Pram hanya mengangguk dan kembali meraih cemilan dihadapannya.
“Nina, mbak pulang dulu ya.. udah sore. Mbak belum istirahat, Pram juga belum istirahat. Belum mandi.”
“Yaaahhhhh.. kok cepet sih pulangnya?? Padahal aku suka lho kalian main kesini. Aku ada temannya, ada temen ngobrol.”
“Besok aja lagi mainnya. Besok kan bisa ngobrol sama temen-temen lain di kampus.” jawabku.
“Iya deh..”
Pram bangkit berdiri, berjalan ke arah pintu.
“Ngobrol sama temen kostmu Nin, biar gak bosen dikamar.” Kata Pram sambil berdiri di depan pintu.
Aku dan Nina pun bangkit dari kasurnya, lalu duduk dilantai, sambil meraih tasku. Tak lupa kukenakan lagi jilbabku sebelum pulang.
“Mbak pulang dulu ya Nin.”
“Iya mbak… makasih udah main kesini.” “Iya, sama-sama.” jawabku sambil bangkit berdiri dan melangkah ke arah pintu. Nina menyusul dibelakangku, berdiri di antara aku dan lelakiku.
“Udah, gak usah keluar kamar. Tuh dibawah banyak cowok, celanamu pendek, ketat.” kata Pram.
Nina kembali memandang ke arah pangkal pahanya. “Biasa aja kalik Pram.”
“Enggak. Gak boleh.. kami turun sendiri aja, gak perlu di anter.”
“Iyaaa.. dengerin apa yang dibilang sama Pram. Itu celananya pendek banget. Ketat lagi. Tuh memeknya sampe nyetak gitu.” timpalku.
“Iya deh..”
“Ya udah, mbak pamit yaaa…” kataku sambil memegang lembut pipinya.
Nina mengangguk, lantas memeluk tubuhku dengan sangat erat.
“Nin.. pulang.” Kata Pram singat sambil melangkah pergi.
“Eehhhhh… udah.. gitu doang? Gak terima kasih atau apa gitu udah dibuatin es sirup” protesnya.
Pram berhenti melangkah, lalu kembali kedepan pintu sambil tersenyum.
“Iyaa. Makasih udah dibuatin es sirup Nin.”
“Nah.. gitu dong..” balasnya, lalu mendekati Pram dan memeluk erat tubuhnya.
“Eehhh… kok main peluk aja sih?? Protesku.
Pram tak bereaksi, ia hanya berdiri mematung sambil memandangku.
“Napa..? Mbak cemburu??” tanyanya sambil terus memeluk tubuh lelakiku tanpa memandangiku.
“Ya enggak sih..tapi kan gak enak dilihat orang lain.”
“Iissshhh biarin.. bodo amat. Iya kan Pram? Lagian aku meluk Pram, bukan suami orang orang lain.”
“Tapi dia kan pacar mbak..Ninaaaaaaaaa…” gumanku sambil mencubit lengannya dengan gemes.
Nina melepaskan pelukannya dan kembali memelukku.
“Makasih udah main kesini.. kalo bisa, sering-sering dong mbak, biar kita bisa ngobrol. Biar aku ada temennya.”
“Iya.. nanti kapan-kapan kalo ada waktu, kami main lagi kesini. Atau.. Nina main ke rumah mbak jiga gapapa kok.”
“Iya boleh deh.. lagian semester ini kan cuman skripsi doang. Bisa lebih santai.”
“Jangan terlalu santai Nin. Kalo bisa digarap secepatnya.” Kata Pram.
Nina mengangguk, lalu melepaskan pelukannya perlahan.
“Udah.. pulang gih.. keburu malam.”
= = =
“Emang dulu Nina sering main ke kontakan sayang?” tanyaku saat kami dalam perjalanan pulang.
“Ya gak sering sih bu, biasanya sih dia dateng pas hari libur. Biasanya sih hari minggu.”
“Gilanya makon parah..” gumanku pelan.
“Jangan marah atau tersinggung ya bu. Nina emang kayak gitu. Kadang tingkahnya emang kelewatan.”
“Iya sayang.. ibu gak marah kok. Biasa aja kok, gak tersinggung juga. Ibu malah seneng lihat dia akrab sama sayang, sama ibu. Seumur-umur, ibu belum pernah punya yang namanya sahabat lhoo.”
“Masa sih bu?” “Temen sekolah, atau temen kuliah, gak ada yang akrab? Gak ada yang deket?”
Aku menggeleng pelan, sambil memperhatikan suasana senja disepanjang jalan yang kami lalui.
“Makanya ibu senang banget kalo lihat kalian ngumpul, bercanda, makan bareng.. kayaknya seru, asik banget.”
“Nina gak berani sebebas itu sama Topan, Galang, apalagi sama Deva. Kalo sama Rita sih saya gak tau bu.”
“Kayaknya sih karena Nina itu anak bungsu, jadi bawaan manja masih ada.”
“Mungkinnsih kayak gitu bu. Cuman saya gak enak aja sama ibu. Soalnya kadang Nina itu gak lihat situasi, asal main gandeng aja, main peluk aja. Sama kayak Rita.” gerutunya.
“Gapapa kok sayang.. beneran gapapa. Ibu tau sayang gak akan pernah menyakiti ibu. Ibu ngerti kok. Jangan khawatir. Justru ibu senang lihat temen-temenmu bisa akrab dengan sayang.”
“Ngomong-ngomong, tadi pas Nina pake celana ketat gitu, sayang horni gak?”
Pram mengangguk pelan sambil tersenyum malu.
“Wajar kok.. normal..”
“Berarti ini tadi tegang dong..” kataku sambil mengusap kemaluannya dari balik celana panjang yang menutupi pinggulnya.
Pram kembali menganganggukkan kepala sambil terus mengendalikan stir mobil.
“Sekarang masih tegang?”
Sekali lagi lelakiku mengangguk.
“Ya udah, ibu lemesih deh.. mau?” tanyaku sambil menurunkan ritsleting celananya.
Pram tak menjawab pertanyaanku, namun satu tangannya menarik lenganku, memintaku untuk duduk mendekat, lalu mengecup kepalaku.
“Nanti di rumah aja bu..” gumannya pelan.
Aku sadar, tak mudah bagiku untuk mempertahankan Pram agar tetap menjadi lelakiku. Bagi perempuan yang telah mengenalnya, ia bagaikan magnet, memiliki daya tarik yang kuat.
Aku tahu, Pram bukanlah lelaki yang mudah goyah, mudah untuk tergoda dan jatuh hati pada wanita. Namun aku sadar, godaan itu takkan pernah hilang. Pengalaman pahit kehilangan suami telah memberiku pelajaran berharga agar berbenah diri, menjadi ibu, sekaligus istri yang lebih baik lagi.
♡♡♡ seri 12 TAMAT♡♡♡
Sampai jumpa di seri selanjutnya.
Terima kasih
Bl4ckhorse
Guru Besar Semprot
- Daftar
- 17 Jul 2020
- Post
- 2.152
- Like diterima
- 20.590
Makasih nona @merah_delima 
Makadih sistaaa suhuuPart 5
Rindiani
Sama halnya dengan Nina, aku pun memiliki fantasi seks dalam benakku, dan beberapa diantaranya telah terlaksana. Semuanya karena kehadiran lelakiku, Pram.
“Kalo kamu pengen, kan ada sex toys.”
Nina tertawa keras, begitu juga dengan Pram.
“Iya sih mbak. Tapi sesekali kan pengen juga ngerasain kontol beneran. Pengen dicium, dipeluk, digerayangin. Sex toys mah cuman buat pelengkap aja.”
“Cuddling..” guman Pram pelan.
“Nah itu tuh Pram. Bener.”
“Makanya buruan cari cowok.” kataku.
Nina tertawa pelan, sementara Pram menyeruput es sirup yang dibuat oleh Nina.
Baru saja ia meletakkan kembali itu dilantai, ponsel disakunya berdering. Aku sempat melirik, nama Topan tertera di layarnya. Pram segera menerima panggilan tersebut.
“Motor Topan mogok. Dia lagi di perpus. Dia minta rolong saya kesana bu.”
“Ya udah, bantuin dia dulu, ibu tunggu disini. Gapapa?”
“Iya bu. Nanti saya jemput.”
“Ya udah, buruan, kasihan Topan.” Sambung Nina.
Pram pun beranjak pergi, meninggalkan aku dan Nina.
“Nin, mbak numpang tiduran, boleh?”
“Boleh mbak, tuh tiduran diatas kasur.”
Aku segera beranjak naik ke atas kasurnya. Setelah seharian duduk, berkutat dengan tumpukan data-data, tubuhku terasa lelah, terutama punggung, leher dan pinggang.
“Mbak kecapekan??” tanya Nina setelah melihatku memijet tengkukku sendiri.
“Iya Nin, seharian didepan komputer, lehernya jadi kayak pegel.”
“Mau aku pijetin?”
“Emang Nina bisa mijet?”
“Ya pijet biasa gitu.”
“Iya deh, boleh. Pegel banget soalnya.”
Nina segera bangkit berdiri dan menutup pintu kamarnya. Aku duduk diatas kasurnya, dan Nina duduk tepat dibelakangku.
“Jilbabnya dilepas aja mbak, trus mbak tiduran, tengkurap.”
Aku menuruti saran Nina segera setelah aku berbaring tengkurap, Nina naik keatas tubuhku, duduk diatas punggung dan mulai memijet pundak dan tengkuk. Walaupun bukan pemijat profesional, namun Nina pandai dan cukup membuatku rileks.
“Enak banget Nin..” gumanku dengan mata terpejam.
“Iya.. tapi lebih enak kalo dipijetin cowok, soalnya tenaganya kan kuat.”
“Nanti pulang kerumah, minta dipijet lagi aja sama Pram mbak.”
“Iya sih, bener. Tapi kalo dipijetin Pram kan malah jadi repot. Yang ada jadi panas, horni, bisa-bisa mbak minta diperkosa.”
Nina tertawa terbahak-bahak dan terus memijet tengkuk dan pundakku.
“Ya gapapa dong mbak, kan sama pacar sendiri. Ngomong-ngomong, itu sex toysnya udah di cobain belum..?”
“Belum Nin, belum pengen. Lagian kan ada Pram. Ada yang asli.” jawabku lalu tertawa.
“Buat variasi dong mbak, bisa sekalian ngerasain double penetration juga lhoo. Jadi kontol Pram di memek mbak, dildo ato vibratornya di pantat mbak.”
Aku sempat berpikir seperti apa yang ia katakan, namun masih belum berani untuk mengungkapkannya pada lelakiku.
“Iya deh, nanti kapan-kapan mbak cobain..” jawabku singkat.
“Enak lho mbak.. cobain deh..”
“Eh.. apa mau nyoba sekarang??” sambungnya.
Aku tertawa pelan dan masih memejamkan mataku, menikmati pijetannya yang sangat memanjakan otot-otot leher dan pundakku.
“Nanti aja dirumah deh, nyobain bareng Pram.”
“Nah..gitu dong.. jadi sekalian pakai kontol beneran sama dildo..”
“Dduuhhhh.. enak banget jadi mbak Rin… jadi iri deh, jadi pengen..” sambungnya.
“Tuuhhhh kaaannnn… udah ah, jangan ngomongin yang enak-enak. Ganti topik aja sih biar gak horni.”
“Buruan cari suami Nin, biar bisa main tiap hari.” Kataku lagi.
Nina tertawa, lalu mengalihkan pijetannya pada punggungku.
“Nanti deh mbak.. lulus dulu baru cari suami.”
“Ya udah, berarti sementara ini mainnya sama sex toys aja dulu.” balasku.
“Iya sih.. kadang ya seminggu sekali aku main pakai dildo. Tapi ya kadang bosen juga. Pengen ngerasain lagi kontol beneran.” keluhnya.
“Cari om-om aja gih, pasti kan lebih hot dan berpengalaman.”
“Ooggaahhhhh.. gak mau aku mbak.”
“Sama Temenmu aja, yang udah kamu kenal Nin. Tapi yang masih singel. Jangan yang udah pacarnya.”
“Enggak ah.. kalo pun ada yang bisa, aku maunya cuman sama Pram aja. Kayaknya dia asik deh, buktinya mbak bisa lengket banget sama dia, bisa jatuh cinta gitu.”
“Haduuhhhh Ninaaaaaaaa..!” protesku.
“Ya gak bisa dong. Pram kan udah punya mbak.” kataku lagi.
Nina tertawa sambil bergeser turun, ia menduduki paha bagian atas, tepat dibawah pantatku.
“Iya, disitu dek, enak banget..” gumanku ketika tangannya memijet pinggangku.
“Bajunya ganggu mbak, dinaikin aja gapapa?” tanyanya.
“Iya..” jawabku singkat.
Nina menyingkap ujung bajuku lalu menariknya hingga ke bagian punggungku.
“Ckckckckckckck… seksi abis.. pakai G-string open crotch.” gumannya setelah melihat pinggulku.
Aku hanya tersenyum, dan terus memejamkan mata, menikmati pijetannya. Pinggangku pun perlahan dibuatnya nyaman dan rileks.
“Lagi pengen aja sih dek. Soalnya udah agak lama gak pakai g-string.”
“Pantatnya montok banget. Kalo main pakai gaya doggie, pasti Pram bisa merem melek.”
“Awasss lhoooo.. jangan dibayangin. Nanti jadi pengen lhooo.” gumanku.
Nina tertawa, lalu mulai mengalihkan pijetannya ke bagian pantatku.
“Iihhhhhhh… Deeekkkkk… jangan dimainin gitu… geliii tauuuuu…” protesku saat Nina menenggelamkan satu jarinya diantara belahan pantatku dan mempermainkan permukaan liang anusku dengan ujung jari.
Aku tak bisa bergerak maupun melawan, karena ia sedang menduduki pahaku. Nina tertawa pelan, lalu kembali memijetku.
“Mbak udah nyoba anal?”
Aku hanya mengangguk pelan.
“Enak? Suka?” “Sakit banget taauuuu.. perih Nin, padahal udah pakai baby oil lhooo.”
“Berarti mainnya kasar…?”
“Enggak juga sih.. mainnya pelan kok.” jawabku.
“Berarti kontol Pram kegedean.”
Aku hanya diam, tak membalas ucapannya.
“Iya?? Kontol Pram gede??” tanyanya lagi.
Aku mengangguk pelan, masih dengan mata terpejam.
“Kalo gak salah, aku ada kasih mbak dildo yang ukuran kecil, coba aja mbak main pakai itu bareng Pram.”
“Pram seneng banget kok. Dia bilang enak banget main anal.” kataku.
“Ya iyalah mbak.. lubang pantat kan kecil, sempit banget. Pasti cowok pada suka. Mantanku dulu aja suka banget.”
Aku sedang terlena karena pijetan Nina dan dering ponsel dari dalam tasku membuyarkannya. Pram menelponku. Ia mengabarkan kemungkinan ia akan sedikit lama untuk menjemputku karena masih membantu Topan memperbaiki sepeda motornya. Pram bersama Deva, Galang dan Topan.
“Pram kenapa mbak?”
“Enggak kok Nin, katanya masih lama bantuin Topan benerin motornya.”
“Ya udah, sekalian mbak istirahat aja dulu disini, sambil aku pijetin.”
“Emang kamu gak capek Nin?”
“Ya enggak lah mbak.. malah seneng kok.”
“kok bisa seneng? Kamu hobi mijetin ya?” tanyaku.
“Enggak sih, maksudnya seneng lihat pantat sama memek mbak Rin, kayaknya enak banget, legit, empuk.”
Aku tertawa pelan sambil berusaha memalingkan wajah untuk memandanginya.
“Legit? Gurih? Enak?? Emangnya kue.. ya udah, dimakan gih.” balasku lalu tertawa.
“Bener nih, boleh di icip??” tanyanya.
“Icip aja kalo mau, kalo gak jijik..”
Nina menundukkan kepala, kedua tangannya meremas kedua belah pantatku, menyibaknya hingga permukaan liang anusku pun terlihat. Aku tak melarangnya, berontak ataupun berusaha mencegahnya karena aku sangat menyukai sensasi yang ditimbulkan jika pantatku dijilati.
Lelakiku, Pram pun secara samar mengijinkankanku untuk melakukan hal seperti ini, walaupun ia tetap mengingatkanku untuk bisa mengendalikan birahiku.
“Beneran boleh? Nanti kalo mbak horni bisa repot lhoo Pram gak ada disini lhoo.” katanya sambil kembali duduk tegak diatas pahaku.
Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, Nina beranjak turun dan berbaring disampingku.
“Mbak kenal dewi gak? Temen Pram dulu waktu dia masih ngontrak rumah.” tanyanya.
“Yang kerja di butik itu?”
“Iya.. bener. Dulu waktu aku sering main ke kontrakan Pram, sering ketemu dia disana. Dia emang cantik banget kalo menurut aku. Awalnya aku pikir itu pacarnya Pram, tapi ternyata bukan.”
“Mereka gak pacaran, cuman temenan aja.” sambungnya.
“Iya, mbak pernah ketemu sekali sih sama si Dewi itu. Dan emang cantik banget Nin.”
“Nah itu yang buat aku gak habis pikir mbak. Kok Pram gak kepikiran buat pacaran sama dia? Atau paling enggak nidurin dia.”
“Nin.. kamu kan udah lama kenal Pram. Pasri kamu tau kalo Pram bukan cowok kayak gitu. Iya kan?”
“Iya sih mbak, kenal dia udah lama. Malah dulu pas awal-awal kenal, aku kira dia gay.”
Aku tertawa mendengar apa yang ia katakan. Kumiringkan tubuh untuk berhadapan dengannya, agar lebih nyaman berbincang dengannya.
“Karena dia begitu, makanya mbak suka sama dia. Dia emang pendiam sih, dan mungkin kalo menurut cewek lain, dia gak romantis.”
“Kayaknya sih iya.. gak ada romantis-romantisnya.” timpalnya.
“Tapi asik kok Nin. Beneran..”
“Mbak sih gak butuh dia harus bersikap romantis. Biarin aja dia jadi dirinya sendiri. Yang penting dia nyaman sama mbak, dan mbak nyaman sama dia.”
“Itu tuh.. yang kayak gitu yang aku cari mbak.”
“Umur kita ini udah bukan ABG lagi sih dek, jadi sekarang saatnya cari pasangan yang bisa buat kita nyaman. Bisa mendukung kita, bisa ngertiin kita. Gak perlu yang gaul, ato yang tajir. Yang penting nyaman.”
“Tapi Pram tajir kok. Aku aja gak nyangka. Awalnya aku kira dia cowok biasa-biasa aja sih. Soalnya penampilannya kayak gitu, pakaiannya itu-itu aja, motornya pun motor butut.”
“Walaupun Pram gak tajir, mbak pasti tetap pilih dia Nin. Jarang banget ada cowok kayak Pram.”
“Iya mbak, jarang banget. Aku juga pati mau kok kalo ada cowok kayak Pram gitu.”
“Tapi ya pasti susah banget nyarinya.” sambungnya.
“Sabar aja Nin.. nanti pasti ada jodoh terbaik buatmu.”
“Kalo gak ada, aku mau jadi istri kedua Pram aja.”
Aku tertawa keras mendengar perkataannya.
“Kok ketawa? Kita kan jadi sekeluarga. Tinggal serumah bertiga.”
Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum.
“Gak semudah itu sayang. Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Contohnya, orang tua Nina setuju apa enggak kalo Nina jadi istri kedua? Keluarga besar setuju atau enggak.”
“Iya juga ya mbak.. ribet.” gumannya sambil menatap langit-langit kamarnya.
“Sabar aja Nin.. sambil menunggu ketemu jodoh, kamu mempersiapkan dirimu, menikmati waktumu.”
“kalo ketemu cowok yang menurutku pas, aku sih pengen Pacaran dulu mbak, pengen kenal dulu sebelum nikah, biar gak salah pilih kayak mantanku dulu. Aku gak pengen buru-buru nikah.”
“Aku pengen lulus, cari kerja dulu buat nabung untuk masa depan.”
“Pinterrr… harus kayak gitu. Jadi kita punya sesuatu yang bisa dijadikan pegangan hidup untuk masa depan. Kalaupun udah nikah, dan kita sebagai istri tetap bekerja, menurut mbak sih itu malah bagus. Soalnya pendapatan kita bisa dijadikan cadangan seandainya suami kita, misalnya sakit, trus berhenti kerja.”
“Aku sih mikirnya kalo udah nikah mau tetap kerja, biar kalo mau beli apa gitu, apa buat keperluan aku, aku punya uang sendiri, jadi gak minta sama suami.”
“Pemikiran yang kayak gitu juga bagus sih Nin, jadi gak menambah beban suami. Tapi, seandainya suatu saat nanti menikah dan tetap bekerja, dan gajimu lebih besar dari gaji suami, kamu harus tetap menghormati dan menghargai suami.”
Nina mengangguk pelan, lalu berbaring menyamping, menghadap ke arahku.
“Nanti kalo lulus, aku pengen cari kerja dulu, pengen kayak mbak Rin, punya rumah sendiri, tinggal sendiri.”
“Gitu juga bagus, boleh kok. Itung-itung buat investasi.”
“Sekalian belajar hidup mandiri mbak. Kayak mbak Rin gini.” gumannya.
“Tapi gak mudah lho Nin.. kadang ya capek, bosen..soalnya apa-apa sendiri.”
“Lhooo.. ada Pram kan?”
“Iya.. maksud mbak waktu belum kenal Pram.”
Suara ketukan di pintu kamar menghentikan perbincangan kami.
“Pram..?? Kata Nina dengan sedikit keras.
“Iya Nin.”
“Masuk aja..”
Pintu pun terbuka dan lelakiku berdiri diisana.
“Kita pulang bu.”
“Masuk dulu dong. Tuh minumnya dihabisin. Udah aku buatin minum kok gak dihabisin.” gerutu nina sambil merapatkan tubuh padaku.
Pram pun menuruti perkataan Nina, dan duduk ditepian kasur, disampingku.
“Pram.. kalo aku peluk mbak Rin kayak gini, kamu gak cemburu kan?” katanya sambil menumpangkan satu kakinya diatas pinggul, dan satu tangannya diatas dadaku.
“Ya enggak lah Nin, biasa aja. Kalian kan sama-sama cewek.”
“Kalo sambil gini, gak marah juga?” katanya lagi sambil meremas lembut payudaraku.
“Eeeeeehhhhh… kok malah keterusan sih??” protesku.
Pram hanya tertawa sambil menggelengkan kepala.
“Gilannya kumat..” gumannya pelan, lalu menyeruput minumannya.
“Tuh… Pram gak marah kok mbak..”
“Iyaaaaa.. Pram gak marah.. trus kenapa? Mau ngapain??” tanyaku, sambil mencubit pipinya dengan gemes.
“Berarti kita bisa threesome dong.” katanya dengan raut wajah berseri.
“hhhaaaahhhhh..!????” seru Pram sambil menatap kami berdua.
Aku dan Nina tertawa melihat wajah lelakiku. Entah apa yang ada dibenaknya setelah mendengar apa yang dikatakan Nina.
Disampingku, Nina semakin merapatkan tubuh padaku, begitu juga dengan wajahnya, semakin mendekat ke sisi wajahku.
“Pram putih mana, paha aku atau paha mbak Rin?” tanyanya lagi sambil menyingkap baju panjang yang kukenakan hingga nyaris ke bagian pangkal pahaku.
Pram menatap kami dengan penuh keheranan, lantas berdiri dan berjalan ke arah pintu. Ia segera menutup pintu tersebut.
“Kok pintunya ditutup sih sayang?” tanyaku saat ia kembali duduk.
“Saya gak mau orang lain lihat tubuh ibu sama tubuh Nina.”
“Iyaa.. temenmu ini emang gila lintas batas. No limit gitu gak warasnya.”
“Jadi gimana, putih mana Pram.” tanya Nina lagi.
Pram menghela nafas, lalu memandangi paha kami.
“Sama-sama putih..” jawabnya singkat, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Kita kan selalu pakai celana panjang atau jilbab, jadi ya putih Nin.”
Seketika, raut wajahnya berubah, sambil memainkan alis, ia kembali mengusap pahaku. Wajah nakal, jahil, kembali terlukis disana.
“Pram.. udah tau belum? Kakakku yang cantik ini, hari ini pakai G-string lhooo..”
“Pram udah tauuuuuuuu..” balasku cepat, sambil menghalau tangannya yang mulai merayap menuju ke pangkal pahaku.
“Woowww… beneran udah tau Pram?” tanya Nina.
Pram hanya mengangguk dan kembali meraih cemilan dihadapannya.
“Nina, mbak pulang dulu ya.. udah sore. Mbak belum istirahat, Pram juga belum istirahat. Belum mandi.”
“Yaaahhhhh.. kok cepet sih pulangnya?? Padahal aku suka lho kalian main kesini. Aku ada temannya, ada temen ngobrol.”
“Besok aja lagi mainnya. Besok kan bisa ngobrol sama temen-temen lain di kampus.” jawabku.
“Iya deh..”
Pram bangkit berdiri, berjalan ke arah pintu.
“Ngobrol sama temen kostmu Nin, biar gak bosen dikamar.” Kata Pram sambil berdiri di depan pintu.
Aku dan Nina pun bangkit dari kasurnya, lalu duduk dilantai, sambil meraih tasku. Tak lupa kukenakan lagi jilbabku sebelum pulang.
“Mbak pulang dulu ya Nin.”
“Iya mbak… makasih udah main kesini.” “Iya, sama-sama.” jawabku sambil bangkit berdiri dan melangkah ke arah pintu. Nina menyusul dibelakangku, berdiri di antara aku dan lelakiku.
“Udah, gak usah keluar kamar. Tuh dibawah banyak cowok, celanamu pendek, ketat.” kata Pram.
Nina kembali memandang ke arah pangkal pahanya. “Biasa aja kalik Pram.”
“Enggak. Gak boleh.. kami turun sendiri aja, gak perlu di anter.”
“Iyaaa.. dengerin apa yang dibilang sama Pram. Itu celananya pendek banget. Ketat lagi. Tuh memeknya sampe nyetak gitu.” timpalku.
“Iya deh..”
“Ya udah, mbak pamit yaaa…” kataku sambil memegang lembut pipinya.
Nina mengangguk, lantas memeluk tubuhku dengan sangat erat.
“Nin.. pulang.” Kata Pram singat sambil melangkah pergi.
“Eehhhhh… udah.. gitu doang? Gak terima kasih atau apa gitu udah dibuatin es sirup” protesnya.
Pram berhenti melangkah, lalu kembali kedepan pintu sambil tersenyum.
“Iyaa. Makasih udah dibuatin es sirup Nin.”
“Nah.. gitu dong..” balasnya, lalu mendekati Pram dan memeluk erat tubuhnya.
“Eehhh… kok main peluk aja sih?? Protesku.
Pram tak bereaksi, ia hanya berdiri mematung sambil memandangku.
“Napa..? Mbak cemburu??” tanyanya sambil terus memeluk tubuh lelakiku tanpa memandangiku.
“Ya enggak sih..tapi kan gak enak dilihat orang lain.”
“Iissshhh biarin.. bodo amat. Iya kan Pram? Lagian aku meluk Pram, bukan suami orang orang lain.”
“Tapi dia kan pacar mbak..Ninaaaaaaaaa…” gumanku sambil mencubit lengannya dengan gemes.
Nina melepaskan pelukannya dan kembali memelukku.
“Makasih udah main kesini.. kalo bisa, sering-sering dong mbak, biar kita bisa ngobrol. Biar aku ada temennya.”
“Iya.. nanti kapan-kapan kalo ada waktu, kami main lagi kesini. Atau.. Nina main ke rumah mbak jiga gapapa kok.”
“Iya boleh deh.. lagian semester ini kan cuman skripsi doang. Bisa lebih santai.”
“Jangan terlalu santai Nin. Kalo bisa digarap secepatnya.” Kata Pram.
Nina mengangguk, lalu melepaskan pelukannya perlahan.
“Udah.. pulang gih.. keburu malam.”
= = =
“Emang dulu Nina sering main ke kontakan sayang?” tanyaku saat kami dalam perjalanan pulang.
“Ya gak sering sih bu, biasanya sih dia dateng pas hari libur. Biasanya sih hari minggu.”
“Gilanya makon parah..” gumanku pelan.
“Jangan marah atau tersinggung ya bu. Nina emang kayak gitu. Kadang tingkahnya emang kelewatan.”
“Iya sayang.. ibu gak marah kok. Biasa aja kok, gak tersinggung juga. Ibu malah seneng lihat dia akrab sama sayang, sama ibu. Seumur-umur, ibu belum pernah punya yang namanya sahabat lhoo.”
“Masa sih bu?” “Temen sekolah, atau temen kuliah, gak ada yang akrab? Gak ada yang deket?”
Aku menggeleng pelan, sambil memperhatikan suasana senja disepanjang jalan yang kami lalui.
“Makanya ibu senang banget kalo lihat kalian ngumpul, bercanda, makan bareng.. kayaknya seru, asik banget.”
“Nina gak berani sebebas itu sama Topan, Galang, apalagi sama Deva. Kalo sama Rita sih saya gak tau bu.”
“Kayaknya sih karena Nina itu anak bungsu, jadi bawaan manja masih ada.”
“Mungkinnsih kayak gitu bu. Cuman saya gak enak aja sama ibu. Soalnya kadang Nina itu gak lihat situasi, asal main gandeng aja, main peluk aja. Sama kayak Rita.” gerutunya.
“Gapapa kok sayang.. beneran gapapa. Ibu tau sayang gak akan pernah menyakiti ibu. Ibu ngerti kok. Jangan khawatir. Justru ibu senang lihat temen-temenmu bisa akrab dengan sayang.”
“Ngomong-ngomong, tadi pas Nina pake celana ketat gitu, sayang horni gak?”
Pram mengangguk pelan sambil tersenyum malu.
“Wajar kok.. normal..”
“Berarti ini tadi tegang dong..” kataku sambil mengusap kemaluannya dari balik celana panjang yang menutupi pinggulnya.
Pram kembali menganganggukkan kepala sambil terus mengendalikan stir mobil.
“Sekarang masih tegang?”
Sekali lagi lelakiku mengangguk.
“Ya udah, ibu lemesih deh.. mau?” tanyaku sambil menurunkan ritsleting celananya.
Pram tak menjawab pertanyaanku, namun satu tangannya menarik lenganku, memintaku untuk duduk mendekat, lalu mengecup kepalaku.
“Nanti di rumah aja bu..” gumannya pelan.
Aku sadar, tak mudah bagiku untuk mempertahankan Pram agar tetap menjadi lelakiku. Bagi perempuan yang telah mengenalnya, ia bagaikan magnet, memiliki daya tarik yang kuat.
Aku tahu, Pram bukanlah lelaki yang mudah goyah, mudah untuk tergoda dan jatuh hati pada wanita. Namun aku sadar, godaan itu takkan pernah hilang. Pengalaman pahit kehilangan suami telah memberiku pelajaran berharga agar berbenah diri, menjadi ibu, sekaligus istri yang lebih baik lagi.
♡♡♡ seri 12 TAMAT♡♡♡
Sampai jumpa di seri selanjutnya.
Terima kasih
Mahatmanthis
Semprot Kecil
- Daftar
- 19 Nov 2017
- Post
- 79
- Like diterima
- 87
baru ngeh ada cerita keren kaya gini...jadi penasaran utk ikutin sampe tamat
phallus88
Tukang Semprot
- Daftar
- 5 Jul 2020
- Post
- 1.251
- Like diterima
- 9.481
Thanks lanjutan updatenya @merah_delima
indische
Kakak Semprot
Yah gagal 3somenya 
Spentig
Tukang Semprot
- Daftar
- 7 Jan 2018
- Post
- 1.172
- Like diterima
- 1.879
Kapan nih seri selanjutnya mbak...kangen..Part 5
Rindiani
Sama halnya dengan Nina, aku pun memiliki fantasi seks dalam benakku, dan beberapa diantaranya telah terlaksana. Semuanya karena kehadiran lelakiku, Pram.
“Kalo kamu pengen, kan ada sex toys.”
Nina tertawa keras, begitu juga dengan Pram.
“Iya sih mbak. Tapi sesekali kan pengen juga ngerasain kontol beneran. Pengen dicium, dipeluk, digerayangin. Sex toys mah cuman buat pelengkap aja.”
“Cuddling..” guman Pram pelan.
“Nah itu tuh Pram. Bener.”
“Makanya buruan cari cowok.” kataku.
Nina tertawa pelan, sementara Pram menyeruput es sirup yang dibuat oleh Nina.
Baru saja ia meletakkan kembali itu dilantai, ponsel disakunya berdering. Aku sempat melirik, nama Topan tertera di layarnya. Pram segera menerima panggilan tersebut.
“Motor Topan mogok. Dia lagi di perpus. Dia minta rolong saya kesana bu.”
“Ya udah, bantuin dia dulu, ibu tunggu disini. Gapapa?”
“Iya bu. Nanti saya jemput.”
“Ya udah, buruan, kasihan Topan.” Sambung Nina.
Pram pun beranjak pergi, meninggalkan aku dan Nina.
“Nin, mbak numpang tiduran, boleh?”
“Boleh mbak, tuh tiduran diatas kasur.”
Aku segera beranjak naik ke atas kasurnya. Setelah seharian duduk, berkutat dengan tumpukan data-data, tubuhku terasa lelah, terutama punggung, leher dan pinggang.
“Mbak kecapekan??” tanya Nina setelah melihatku memijet tengkukku sendiri.
“Iya Nin, seharian didepan komputer, lehernya jadi kayak pegel.”
“Mau aku pijetin?”
“Emang Nina bisa mijet?”
“Ya pijet biasa gitu.”
“Iya deh, boleh. Pegel banget soalnya.”
Nina segera bangkit berdiri dan menutup pintu kamarnya. Aku duduk diatas kasurnya, dan Nina duduk tepat dibelakangku.
“Jilbabnya dilepas aja mbak, trus mbak tiduran, tengkurap.”
Aku menuruti saran Nina segera setelah aku berbaring tengkurap, Nina naik keatas tubuhku, duduk diatas punggung dan mulai memijet pundak dan tengkuk. Walaupun bukan pemijat profesional, namun Nina pandai dan cukup membuatku rileks.
“Enak banget Nin..” gumanku dengan mata terpejam.
“Iya.. tapi lebih enak kalo dipijetin cowok, soalnya tenaganya kan kuat.”
“Nanti pulang kerumah, minta dipijet lagi aja sama Pram mbak.”
“Iya sih, bener. Tapi kalo dipijetin Pram kan malah jadi repot. Yang ada jadi panas, horni, bisa-bisa mbak minta diperkosa.”
Nina tertawa terbahak-bahak dan terus memijet tengkuk dan pundakku.
“Ya gapapa dong mbak, kan sama pacar sendiri. Ngomong-ngomong, itu sex toysnya udah di cobain belum..?”
“Belum Nin, belum pengen. Lagian kan ada Pram. Ada yang asli.” jawabku lalu tertawa.
“Buat variasi dong mbak, bisa sekalian ngerasain double penetration juga lhoo. Jadi kontol Pram di memek mbak, dildo ato vibratornya di pantat mbak.”
Aku sempat berpikir seperti apa yang ia katakan, namun masih belum berani untuk mengungkapkannya pada lelakiku.
“Iya deh, nanti kapan-kapan mbak cobain..” jawabku singkat.
“Enak lho mbak.. cobain deh..”
“Eh.. apa mau nyoba sekarang??” sambungnya.
Aku tertawa pelan dan masih memejamkan mataku, menikmati pijetannya yang sangat memanjakan otot-otot leher dan pundakku.
“Nanti aja dirumah deh, nyobain bareng Pram.”
“Nah..gitu dong.. jadi sekalian pakai kontol beneran sama dildo..”
“Dduuhhhh.. enak banget jadi mbak Rin… jadi iri deh, jadi pengen..” sambungnya.
“Tuuhhhh kaaannnn… udah ah, jangan ngomongin yang enak-enak. Ganti topik aja sih biar gak horni.”
“Buruan cari suami Nin, biar bisa main tiap hari.” Kataku lagi.
Nina tertawa, lalu mengalihkan pijetannya pada punggungku.
“Nanti deh mbak.. lulus dulu baru cari suami.”
“Ya udah, berarti sementara ini mainnya sama sex toys aja dulu.” balasku.
“Iya sih.. kadang ya seminggu sekali aku main pakai dildo. Tapi ya kadang bosen juga. Pengen ngerasain lagi kontol beneran.” keluhnya.
“Cari om-om aja gih, pasti kan lebih hot dan berpengalaman.”
“Ooggaahhhhh.. gak mau aku mbak.”
“Sama Temenmu aja, yang udah kamu kenal Nin. Tapi yang masih singel. Jangan yang udah pacarnya.”
“Enggak ah.. kalo pun ada yang bisa, aku maunya cuman sama Pram aja. Kayaknya dia asik deh, buktinya mbak bisa lengket banget sama dia, bisa jatuh cinta gitu.”
“Haduuhhhh Ninaaaaaaaa..!” protesku.
“Ya gak bisa dong. Pram kan udah punya mbak.” kataku lagi.
Nina tertawa sambil bergeser turun, ia menduduki paha bagian atas, tepat dibawah pantatku.
“Iya, disitu dek, enak banget..” gumanku ketika tangannya memijet pinggangku.
“Bajunya ganggu mbak, dinaikin aja gapapa?” tanyanya.
“Iya..” jawabku singkat.
Nina menyingkap ujung bajuku lalu menariknya hingga ke bagian punggungku.
“Ckckckckckckck… seksi abis.. pakai G-string open crotch.” gumannya setelah melihat pinggulku.
Aku hanya tersenyum, dan terus memejamkan mata, menikmati pijetannya. Pinggangku pun perlahan dibuatnya nyaman dan rileks.
“Lagi pengen aja sih dek. Soalnya udah agak lama gak pakai g-string.”
“Pantatnya montok banget. Kalo main pakai gaya doggie, pasti Pram bisa merem melek.”
“Awasss lhoooo.. jangan dibayangin. Nanti jadi pengen lhooo.” gumanku.
Nina tertawa, lalu mulai mengalihkan pijetannya ke bagian pantatku.
“Iihhhhhhh… Deeekkkkk… jangan dimainin gitu… geliii tauuuuu…” protesku saat Nina menenggelamkan satu jarinya diantara belahan pantatku dan mempermainkan permukaan liang anusku dengan ujung jari.
Aku tak bisa bergerak maupun melawan, karena ia sedang menduduki pahaku. Nina tertawa pelan, lalu kembali memijetku.
“Mbak udah nyoba anal?”
Aku hanya mengangguk pelan.
“Enak? Suka?” “Sakit banget taauuuu.. perih Nin, padahal udah pakai baby oil lhooo.”
“Berarti mainnya kasar…?”
“Enggak juga sih.. mainnya pelan kok.” jawabku.
“Berarti kontol Pram kegedean.”
Aku hanya diam, tak membalas ucapannya.
“Iya?? Kontol Pram gede??” tanyanya lagi.
Aku mengangguk pelan, masih dengan mata terpejam.
“Kalo gak salah, aku ada kasih mbak dildo yang ukuran kecil, coba aja mbak main pakai itu bareng Pram.”
“Pram seneng banget kok. Dia bilang enak banget main anal.” kataku.
“Ya iyalah mbak.. lubang pantat kan kecil, sempit banget. Pasti cowok pada suka. Mantanku dulu aja suka banget.”
Aku sedang terlena karena pijetan Nina dan dering ponsel dari dalam tasku membuyarkannya. Pram menelponku. Ia mengabarkan kemungkinan ia akan sedikit lama untuk menjemputku karena masih membantu Topan memperbaiki sepeda motornya. Pram bersama Deva, Galang dan Topan.
“Pram kenapa mbak?”
“Enggak kok Nin, katanya masih lama bantuin Topan benerin motornya.”
“Ya udah, sekalian mbak istirahat aja dulu disini, sambil aku pijetin.”
“Emang kamu gak capek Nin?”
“Ya enggak lah mbak.. malah seneng kok.”
“kok bisa seneng? Kamu hobi mijetin ya?” tanyaku.
“Enggak sih, maksudnya seneng lihat pantat sama memek mbak Rin, kayaknya enak banget, legit, empuk.”
Aku tertawa pelan sambil berusaha memalingkan wajah untuk memandanginya.
“Legit? Gurih? Enak?? Emangnya kue.. ya udah, dimakan gih.” balasku lalu tertawa.
“Bener nih, boleh di icip??” tanyanya.
“Icip aja kalo mau, kalo gak jijik..”
Nina menundukkan kepala, kedua tangannya meremas kedua belah pantatku, menyibaknya hingga permukaan liang anusku pun terlihat. Aku tak melarangnya, berontak ataupun berusaha mencegahnya karena aku sangat menyukai sensasi yang ditimbulkan jika pantatku dijilati.
Lelakiku, Pram pun secara samar mengijinkankanku untuk melakukan hal seperti ini, walaupun ia tetap mengingatkanku untuk bisa mengendalikan birahiku.
“Beneran boleh? Nanti kalo mbak horni bisa repot lhoo Pram gak ada disini lhoo.” katanya sambil kembali duduk tegak diatas pahaku.
Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, Nina beranjak turun dan berbaring disampingku.
“Mbak kenal dewi gak? Temen Pram dulu waktu dia masih ngontrak rumah.” tanyanya.
“Yang kerja di butik itu?”
“Iya.. bener. Dulu waktu aku sering main ke kontrakan Pram, sering ketemu dia disana. Dia emang cantik banget kalo menurut aku. Awalnya aku pikir itu pacarnya Pram, tapi ternyata bukan.”
“Mereka gak pacaran, cuman temenan aja.” sambungnya.
“Iya, mbak pernah ketemu sekali sih sama si Dewi itu. Dan emang cantik banget Nin.”
“Nah itu yang buat aku gak habis pikir mbak. Kok Pram gak kepikiran buat pacaran sama dia? Atau paling enggak nidurin dia.”
“Nin.. kamu kan udah lama kenal Pram. Pasri kamu tau kalo Pram bukan cowok kayak gitu. Iya kan?”
“Iya sih mbak, kenal dia udah lama. Malah dulu pas awal-awal kenal, aku kira dia gay.”
Aku tertawa mendengar apa yang ia katakan. Kumiringkan tubuh untuk berhadapan dengannya, agar lebih nyaman berbincang dengannya.
“Karena dia begitu, makanya mbak suka sama dia. Dia emang pendiam sih, dan mungkin kalo menurut cewek lain, dia gak romantis.”
“Kayaknya sih iya.. gak ada romantis-romantisnya.” timpalnya.
“Tapi asik kok Nin. Beneran..”
“Mbak sih gak butuh dia harus bersikap romantis. Biarin aja dia jadi dirinya sendiri. Yang penting dia nyaman sama mbak, dan mbak nyaman sama dia.”
“Itu tuh.. yang kayak gitu yang aku cari mbak.”
“Umur kita ini udah bukan ABG lagi sih dek, jadi sekarang saatnya cari pasangan yang bisa buat kita nyaman. Bisa mendukung kita, bisa ngertiin kita. Gak perlu yang gaul, ato yang tajir. Yang penting nyaman.”
“Tapi Pram tajir kok. Aku aja gak nyangka. Awalnya aku kira dia cowok biasa-biasa aja sih. Soalnya penampilannya kayak gitu, pakaiannya itu-itu aja, motornya pun motor butut.”
“Walaupun Pram gak tajir, mbak pasti tetap pilih dia Nin. Jarang banget ada cowok kayak Pram.”
“Iya mbak, jarang banget. Aku juga pati mau kok kalo ada cowok kayak Pram gitu.”
“Tapi ya pasti susah banget nyarinya.” sambungnya.
“Sabar aja Nin.. nanti pasti ada jodoh terbaik buatmu.”
“Kalo gak ada, aku mau jadi istri kedua Pram aja.”
Aku tertawa keras mendengar perkataannya.
“Kok ketawa? Kita kan jadi sekeluarga. Tinggal serumah bertiga.”
Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum.
“Gak semudah itu sayang. Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Contohnya, orang tua Nina setuju apa enggak kalo Nina jadi istri kedua? Keluarga besar setuju atau enggak.”
“Iya juga ya mbak.. ribet.” gumannya sambil menatap langit-langit kamarnya.
“Sabar aja Nin.. sambil menunggu ketemu jodoh, kamu mempersiapkan dirimu, menikmati waktumu.”
“kalo ketemu cowok yang menurutku pas, aku sih pengen Pacaran dulu mbak, pengen kenal dulu sebelum nikah, biar gak salah pilih kayak mantanku dulu. Aku gak pengen buru-buru nikah.”
“Aku pengen lulus, cari kerja dulu buat nabung untuk masa depan.”
“Pinterrr… harus kayak gitu. Jadi kita punya sesuatu yang bisa dijadikan pegangan hidup untuk masa depan. Kalaupun udah nikah, dan kita sebagai istri tetap bekerja, menurut mbak sih itu malah bagus. Soalnya pendapatan kita bisa dijadikan cadangan seandainya suami kita, misalnya sakit, trus berhenti kerja.”
“Aku sih mikirnya kalo udah nikah mau tetap kerja, biar kalo mau beli apa gitu, apa buat keperluan aku, aku punya uang sendiri, jadi gak minta sama suami.”
“Pemikiran yang kayak gitu juga bagus sih Nin, jadi gak menambah beban suami. Tapi, seandainya suatu saat nanti menikah dan tetap bekerja, dan gajimu lebih besar dari gaji suami, kamu harus tetap menghormati dan menghargai suami.”
Nina mengangguk pelan, lalu berbaring menyamping, menghadap ke arahku.
“Nanti kalo lulus, aku pengen cari kerja dulu, pengen kayak mbak Rin, punya rumah sendiri, tinggal sendiri.”
“Gitu juga bagus, boleh kok. Itung-itung buat investasi.”
“Sekalian belajar hidup mandiri mbak. Kayak mbak Rin gini.” gumannya.
“Tapi gak mudah lho Nin.. kadang ya capek, bosen..soalnya apa-apa sendiri.”
“Lhooo.. ada Pram kan?”
“Iya.. maksud mbak waktu belum kenal Pram.”
Suara ketukan di pintu kamar menghentikan perbincangan kami.
“Pram..?? Kata Nina dengan sedikit keras.
“Iya Nin.”
“Masuk aja..”
Pintu pun terbuka dan lelakiku berdiri diisana.
“Kita pulang bu.”
“Masuk dulu dong. Tuh minumnya dihabisin. Udah aku buatin minum kok gak dihabisin.” gerutu nina sambil merapatkan tubuh padaku.
Pram pun menuruti perkataan Nina, dan duduk ditepian kasur, disampingku.
“Pram.. kalo aku peluk mbak Rin kayak gini, kamu gak cemburu kan?” katanya sambil menumpangkan satu kakinya diatas pinggul, dan satu tangannya diatas dadaku.
“Ya enggak lah Nin, biasa aja. Kalian kan sama-sama cewek.”
“Kalo sambil gini, gak marah juga?” katanya lagi sambil meremas lembut payudaraku.
“Eeeeeehhhhh… kok malah keterusan sih??” protesku.
Pram hanya tertawa sambil menggelengkan kepala.
“Gilannya kumat..” gumannya pelan, lalu menyeruput minumannya.
“Tuh… Pram gak marah kok mbak..”
“Iyaaaaa.. Pram gak marah.. trus kenapa? Mau ngapain??” tanyaku, sambil mencubit pipinya dengan gemes.
“Berarti kita bisa threesome dong.” katanya dengan raut wajah berseri.
“hhhaaaahhhhh..!????” seru Pram sambil menatap kami berdua.
Aku dan Nina tertawa melihat wajah lelakiku. Entah apa yang ada dibenaknya setelah mendengar apa yang dikatakan Nina.
Disampingku, Nina semakin merapatkan tubuh padaku, begitu juga dengan wajahnya, semakin mendekat ke sisi wajahku.
“Pram putih mana, paha aku atau paha mbak Rin?” tanyanya lagi sambil menyingkap baju panjang yang kukenakan hingga nyaris ke bagian pangkal pahaku.
Pram menatap kami dengan penuh keheranan, lantas berdiri dan berjalan ke arah pintu. Ia segera menutup pintu tersebut.
“Kok pintunya ditutup sih sayang?” tanyaku saat ia kembali duduk.
“Saya gak mau orang lain lihat tubuh ibu sama tubuh Nina.”
“Iyaa.. temenmu ini emang gila lintas batas. No limit gitu gak warasnya.”
“Jadi gimana, putih mana Pram.” tanya Nina lagi.
Pram menghela nafas, lalu memandangi paha kami.
“Sama-sama putih..” jawabnya singkat, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Kita kan selalu pakai celana panjang atau jilbab, jadi ya putih Nin.”
Seketika, raut wajahnya berubah, sambil memainkan alis, ia kembali mengusap pahaku. Wajah nakal, jahil, kembali terlukis disana.
“Pram.. udah tau belum? Kakakku yang cantik ini, hari ini pakai G-string lhooo..”
“Pram udah tauuuuuuuu..” balasku cepat, sambil menghalau tangannya yang mulai merayap menuju ke pangkal pahaku.
“Woowww… beneran udah tau Pram?” tanya Nina.
Pram hanya mengangguk dan kembali meraih cemilan dihadapannya.
“Nina, mbak pulang dulu ya.. udah sore. Mbak belum istirahat, Pram juga belum istirahat. Belum mandi.”
“Yaaahhhhh.. kok cepet sih pulangnya?? Padahal aku suka lho kalian main kesini. Aku ada temannya, ada temen ngobrol.”
“Besok aja lagi mainnya. Besok kan bisa ngobrol sama temen-temen lain di kampus.” jawabku.
“Iya deh..”
Pram bangkit berdiri, berjalan ke arah pintu.
“Ngobrol sama temen kostmu Nin, biar gak bosen dikamar.” Kata Pram sambil berdiri di depan pintu.
Aku dan Nina pun bangkit dari kasurnya, lalu duduk dilantai, sambil meraih tasku. Tak lupa kukenakan lagi jilbabku sebelum pulang.
“Mbak pulang dulu ya Nin.”
“Iya mbak… makasih udah main kesini.” “Iya, sama-sama.” jawabku sambil bangkit berdiri dan melangkah ke arah pintu. Nina menyusul dibelakangku, berdiri di antara aku dan lelakiku.
“Udah, gak usah keluar kamar. Tuh dibawah banyak cowok, celanamu pendek, ketat.” kata Pram.
Nina kembali memandang ke arah pangkal pahanya. “Biasa aja kalik Pram.”
“Enggak. Gak boleh.. kami turun sendiri aja, gak perlu di anter.”
“Iyaaa.. dengerin apa yang dibilang sama Pram. Itu celananya pendek banget. Ketat lagi. Tuh memeknya sampe nyetak gitu.” timpalku.
“Iya deh..”
“Ya udah, mbak pamit yaaa…” kataku sambil memegang lembut pipinya.
Nina mengangguk, lantas memeluk tubuhku dengan sangat erat.
“Nin.. pulang.” Kata Pram singat sambil melangkah pergi.
“Eehhhhh… udah.. gitu doang? Gak terima kasih atau apa gitu udah dibuatin es sirup” protesnya.
Pram berhenti melangkah, lalu kembali kedepan pintu sambil tersenyum.
“Iyaa. Makasih udah dibuatin es sirup Nin.”
“Nah.. gitu dong..” balasnya, lalu mendekati Pram dan memeluk erat tubuhnya.
“Eehhh… kok main peluk aja sih?? Protesku.
Pram tak bereaksi, ia hanya berdiri mematung sambil memandangku.
“Napa..? Mbak cemburu??” tanyanya sambil terus memeluk tubuh lelakiku tanpa memandangiku.
“Ya enggak sih..tapi kan gak enak dilihat orang lain.”
“Iissshhh biarin.. bodo amat. Iya kan Pram? Lagian aku meluk Pram, bukan suami orang orang lain.”
“Tapi dia kan pacar mbak..Ninaaaaaaaaa…” gumanku sambil mencubit lengannya dengan gemes.
Nina melepaskan pelukannya dan kembali memelukku.
“Makasih udah main kesini.. kalo bisa, sering-sering dong mbak, biar kita bisa ngobrol. Biar aku ada temennya.”
“Iya.. nanti kapan-kapan kalo ada waktu, kami main lagi kesini. Atau.. Nina main ke rumah mbak jiga gapapa kok.”
“Iya boleh deh.. lagian semester ini kan cuman skripsi doang. Bisa lebih santai.”
“Jangan terlalu santai Nin. Kalo bisa digarap secepatnya.” Kata Pram.
Nina mengangguk, lalu melepaskan pelukannya perlahan.
“Udah.. pulang gih.. keburu malam.”
= = =
“Emang dulu Nina sering main ke kontakan sayang?” tanyaku saat kami dalam perjalanan pulang.
“Ya gak sering sih bu, biasanya sih dia dateng pas hari libur. Biasanya sih hari minggu.”
“Gilanya makon parah..” gumanku pelan.
“Jangan marah atau tersinggung ya bu. Nina emang kayak gitu. Kadang tingkahnya emang kelewatan.”
“Iya sayang.. ibu gak marah kok. Biasa aja kok, gak tersinggung juga. Ibu malah seneng lihat dia akrab sama sayang, sama ibu. Seumur-umur, ibu belum pernah punya yang namanya sahabat lhoo.”
“Masa sih bu?” “Temen sekolah, atau temen kuliah, gak ada yang akrab? Gak ada yang deket?”
Aku menggeleng pelan, sambil memperhatikan suasana senja disepanjang jalan yang kami lalui.
“Makanya ibu senang banget kalo lihat kalian ngumpul, bercanda, makan bareng.. kayaknya seru, asik banget.”
“Nina gak berani sebebas itu sama Topan, Galang, apalagi sama Deva. Kalo sama Rita sih saya gak tau bu.”
“Kayaknya sih karena Nina itu anak bungsu, jadi bawaan manja masih ada.”
“Mungkinnsih kayak gitu bu. Cuman saya gak enak aja sama ibu. Soalnya kadang Nina itu gak lihat situasi, asal main gandeng aja, main peluk aja. Sama kayak Rita.” gerutunya.
“Gapapa kok sayang.. beneran gapapa. Ibu tau sayang gak akan pernah menyakiti ibu. Ibu ngerti kok. Jangan khawatir. Justru ibu senang lihat temen-temenmu bisa akrab dengan sayang.”
“Ngomong-ngomong, tadi pas Nina pake celana ketat gitu, sayang horni gak?”
Pram mengangguk pelan sambil tersenyum malu.
“Wajar kok.. normal..”
“Berarti ini tadi tegang dong..” kataku sambil mengusap kemaluannya dari balik celana panjang yang menutupi pinggulnya.
Pram kembali menganganggukkan kepala sambil terus mengendalikan stir mobil.
“Sekarang masih tegang?”
Sekali lagi lelakiku mengangguk.
“Ya udah, ibu lemesih deh.. mau?” tanyaku sambil menurunkan ritsleting celananya.
Pram tak menjawab pertanyaanku, namun satu tangannya menarik lenganku, memintaku untuk duduk mendekat, lalu mengecup kepalaku.
“Nanti di rumah aja bu..” gumannya pelan.
Aku sadar, tak mudah bagiku untuk mempertahankan Pram agar tetap menjadi lelakiku. Bagi perempuan yang telah mengenalnya, ia bagaikan magnet, memiliki daya tarik yang kuat.
Aku tahu, Pram bukanlah lelaki yang mudah goyah, mudah untuk tergoda dan jatuh hati pada wanita. Namun aku sadar, godaan itu takkan pernah hilang. Pengalaman pahit kehilangan suami telah memberiku pelajaran berharga agar berbenah diri, menjadi ibu, sekaligus istri yang lebih baik lagi.
♡♡♡ seri 12 TAMAT♡♡♡
Sampai jumpa di seri selanjutnya.
Terima kasih
uangseribu
Semprot Lover
- Daftar
- 9 Dec 2013
- Post
- 254
- Like diterima
- 155
Lanjut.. Semoga byk adegan 3somenya
faisal_ichal
Semprot Lover
- Daftar
- 15 Aug 2014
- Post
- 286
- Like diterima
- 370
Mantap.. lanjutkan suhu....
Similar threads
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
