Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

Bimabet
Part 3



Rindiani


Setelah penisnya berada tepat didepan liang vaginaku, Pram segera menggerakkan pinggul, memajukannya perlahan sehingga penisnya pun memasuki tubuhku. Disertai kecupan lembut di tengkuk, Pram terus memasukkan penisnya lebih dalam, hingga akhirnya berhenti bergerak saat pinggulnya telah menepel erat dengan pinggulku.

Sekali lagi, aku melumat bibirnya lalu mulai menuntun pinggulnya untuk bergerak, menyetubuhiku, mengocok vaginaku dengan kemaluannya. Dan ia pun segera memenuhi keinginanku, mulai bergerak maju dan mundur perlahan sembari kedua tangannya meremas payudaraku.

Basah dan licin liang vaginaku, ditambah luluran baby oil di kemaluannya membuat gerakan keluar masuk penisnya semakin mudah dan lancar. Kenikmatan yang kurasakan pun semakin berlipat karena bibirnya terus bergerak, mengecup leher dan tengkuk, sementara kedua payudaraku diremas, dipermainkannya kedua putingku dengan sesuka hati.

Sambil mendesah pelan, pinggulnya terus bergerak dan bisa kurasakan semakin lama semakin cepat. Hujaman penisnya pun semakin dalam, hingga membuat tubuhku terdesak dengan meja didepanku.

Puas dengan payudara, satu tangannya langsung menyerbu kemaluanku, mengusap dan mempermainkan clitorisku.

Tak sampai tiga menit kemudian, aku mencapai orgasme yang keempat. Lututku, sekujur kakiku bergetar hebat, sementara Pram terus menghujamkan penisnya kedalam liang vaginaku. Tak sedetikpun ia menghentikannya, bahkan ketika tubuhku menggelinjang hebat, bergerak liar karena gelombang orgasme yang menerpa.

Beberapa detik berlalu, ketika rasa nikmat orgasme itu mereda, lelekakiku kembali memperlambat gerakan pinggulnya. Dipeganggnya pipiku dengan lembut, lalu mengarahkan wajahku ke arahnya dan melumat bibirku.

“Enak banget..” bisikku pelan, dengan nafas yang masih menderu.

Pram tersenyum, lantas mengecup pipiku sementara pinggulnya terus bergerak pelan, memanjakan kemaluanku dengan penisnya.

Sesaat kemudian, ia mengeluarkan penisnya dari kemaluanku, memintaku untuk sedikit mundur, lalu kembali menuntun tubuhku unruk membungkuk. Kedua siku kugunakan untuk menopang tubuh bagian atas.

Kuturuti semua kemauannya karena aku ingin menyenagkan hatinya, ingin memuaskan hasratnya, seperti yang telah ia lakukan padaku.

Segera setelahnya, Pram kembali menuangkan baby oil ke sekujur pantatku, lalu meremasnya sambil bersimpuh. Dikocoknya liang vaginaku hingga beberapa saat, membuatku meringis karena kecepatan tangannya dan sedikit lebih kasar. Perih, namun cukup memberi sensasi kenikmatan.

Ia kembali berdiri setelah mampu membuat cairan lubrikasi dari vaginaku keluar dan menetes jatuh ke lantai, lalu kembali mengarahkan penisnya kemaluannya ke sela pahaku.

Plaaakkkkkk..’

Sebuah tamparan lumayan keras mendarat di pantatku. Tentu saja aku terkejut dengan tindakan kasarnya tersebut. Permukaan kulitku terasa panas dan sakit, namun entah mengapa aku sangat menyukainya, sangat menikmatinya.

Tak sampai sedetik kemudian, Pram kembali menghujamkan penisnya kedalam liang vaginaku dengan sebuah gerakan cepat dan sekali lagi tubuhku tersentak karena aksinya.

Hujaman penisnya pun lebih cepat dari sebelumnya, hingga membuat meja riasku ikut bergetar.

Dari pantulan cermin dihadapanku, aku menikmati permainan panas kami. Aku menyukai ekspresi wajah penuh nafsu lelakiku saat mengerjai tubuhku. Aku bahkan mempermainkan clitorisku sendiri demi menambah kenikmatan.

Hanya beberapa menit berselang, tak sampai lima menit, aku kembali diguncang orgasme hebat saat Pram semakin menambah kecepatan tusukan penisnya. Pram tahu akan hal itu, karena tubuhku kembali menggelinjang hebat dan air seni kembali memancar dari kemaluanku.

Ia tak berhenti sesaat pun, dan terus melanjutkan goyangan pinggulnya sambil memeluk pinggangku dengan erat.

Aku benar-benar kehabisan tenaga karena kehebatannya. Ia membuatku tak berdaya dengan panasnya permainan kami.

Ditengah deru nafasnya, ia memperlambat tusukan penisnya, seolah memberiku waktu untuk beristirahat, sambil mengecup lembut leherku.

Lelah yang kurasakan tak memadamkan gelora birahi yang masih membara dalam tubuhku. Gerakan pelan pinggulnya berhenti beberapa saat kemudian, namun penisnya masih terjepit diantara celah pahaku, dalam liang kenikmatanku.

Perlahan aku kembali memajukan pinggul hingga akhirnya penis Pram keluar dari tubuhku. Banyaknya cairan yang keluar dari kemaluanku segera mengalir perlahan melalui kedua pahaku, sebagian lainnya menetes jatuh ke lantai.

Aku kembali duduk dan memandangi penis lelakiku yang penuh berlumur cairan kental. Kudekatkan wajah dan mulai menjilatinya, mengulum bagian ujungnya, dan akhirnya memasukkan seluruh bagiannya kedalam mulutku.

Tak ada rasa jijik, karena aku sangat menyukainya dan begitu bernafsu melihat penisnya yang istimewa. Pram, lelakiku mendesah panjang saat aku megeluarkan penisnya perlahan sementara kedua bibirku mencengkram erat sekujur batang penisnya. Pram terlena, terbuai dengan permainanku.

“Masih kuat?” tanyaku, lalu mempermainkan ujung penisnya dengan ujung lidahku.

Pram tersenyum sambil memegang lembut pipiku, lalu mengangguk. Aku kembali berdiri membelakanginya, lantas kembali meraih penisnya dan mengarahkannya kembali ke tubuhku, namun kali ini, aku mengarahkannya ke pantatku, kedepan liang anusku.

Pram tak menolak sedikitpun, ia hanya mengikuti kemauanku. Dan ketika ujung penisnya telah menyentuh permukaan liang anusku, kulemaskan otot cincin yang melingkar di ujungnya.

“Buuuu…” guman Pram pelan saat aku hendak memundurkan pinggulku agar penisnya memasuki liang anusku.

Aku menoleh kesamping, lantas melumat bibirnya dengan lembut dan perlahan mulai memundurkann pinggul. Sedikit demi sedikit, penis lelakiku mulai menyeruak masuk.

Jantungku berdebar hebat saat perih mulai terasa disekitar liang anusku. Aku tak memperdulikannya dan terus memundurkan pinggul sambil melumat bibir lelakiku dengan mesra.

Nafasku tercekat saat kurasakan kepala penisnya berhasil memasuki liang anusku karena rasa perih itu semakin bertambah kuat. Lagi-lagi, aku tak memperdulikannya dan terus memaksakan penisnya memasuki tubuhku.


Seperti yang pernah diceritakan oleh Nina. Pengalaman pertama ini benar-benar mendebarkan dan menyakitkan, namun aku masih mampu menahan rasa sakit tersebut karena rasa penasaran terhadap anal seks.

Demikian juga dengan Pram, nafas lelakiku pun menderu, namun tetap berdiri dan menahan posisinya saat pinggulku bergerak mundur, mengejar penisnya. Dan hanya beberapa saat kemudian, permukaan pantatku menyentuh pinggulnya. Aku yakin, mungkin setengah bagian penisnya telah tenggelam dalam liang anusku.

Aku berdiam diri sejenak, melepaskan lumatanku pada bibirnya. Pram memandangaku dengan mata sayu sambil memeluk erat tubuhku.

Aku yakin lelakiku merasakan kenikmatan yang lebih besar karena sempitnya liang tersebut.

Hampir tigapuluh detik kemudian, pinggulku mulai bergerak pelan, sangat pelan karena rasa perih yang masih mendera.

Aku meringis pelan sementara lelakiku terlihat begitu menikmatinya. Hal tersebut semakin menambah kenekatanku untuk melanjutkan permainan kami ditengah rasa sakit yang hebat. Sebisa mungkin aku melemaskan otot pantatku, namun karena ukuran penis lelakiku tergolong besar, rasa perih itu tetap timbul, bahkan semakin hebat saat pinggulku mulai bergerak.

Pram memejamkan mata dan kupandangi wajahnya memalui pantulan cermin dihadapanku. Aku meyukainya, menikmatinya. Sebisa mungkin kutahan sakit dan perih yang mendera karena melihat lelakiku begitu terbuai dan terlena dengan seks anal ini. Ini adslah pengalaman pertamaku, dan tentu saja hal baru bagi kami berdua.

Baru beberapa kali pinggulku bergerak maju dan mundur, Pram merintih, mendesah panjang disertai semburan hangat spermanya didalam liang anusku. Dipeluknya erat tubuhku sambil menghujamkan penisnya kebih dalam memasuki pantatku.

Aku merintih sambil mengepalkan tangan karena rasa sakit saat ia tiba-tiba melakukan hal tersebut. Aku tahu, Pram tidak sengaja, namun terjadi secara refleks karena rasa nikmat yang menghantamnya.

Kujulurkan tangan ke arah belakang dan kembali merangkul lehernya. Hanya beberapa detik kemudian, ketika semburan sperma itu terhenti, perhan aku memajukan pinggul agar penisnya keluar dari tubuhku. Pram kembali melumat bibirku saat aku melakukannya, dan ketika kemaluannya telah tercabut sempurna, Pram kembali mendesah karena gesekan antara liang anusku yang sempit dengan batang kemaluannya.

Berbanding terbalik denganku, perih, dan terasa sakit masih terasa, namun aku menahannya dengan sekuat tenaga agar lelakiku tak mengetahuinya. Aku tak ingin mengecewakannya, ataupun membuatnya tak nyaman karena ia terlihat begitu menyukainya.

Akupun ingin mengobati rasa penasaranku akibat mendengar cerita Nina. Namun, melihat lelakiku begitu menikmatinya, aku sungguh merasa senang dan bahagia walaupun harus melewatinya dengan rasa sakit.

“Enak banget.” Bisiknya setelah aku memutar tubuh, kembali berhadapan dan memeluknya dengan sangat erat.

“Makasih bu.” bisiknya lagi, lalu mengecup pipiku.

Tentu saja uacapan terima kasih darinya membuatku terenyuh, tersentuh dihati. Aku tahu, ia mengucapkannya dari lubuk hati, dengan penuh ketulusan.

Kubalas dengan mengecup lembut keningnya, dan mempererat pelukanku. Aku sangat menyayanginya dan telah jatuh hati padanya.

“Mandi yuk..” katanya kemudian.

Aku mengangguk, lantas merangkul pinggulnya, melangkah disisinya menuju ke kamar mandi.

“Ibu kuat banget, padahal udah keluar lima kali..” gumannya.

“Emang sayang capek?” tanyaku.

Pram tersenyum lalu mengangguk.

“Tenaga ibu gak ada habisnya. Kayak mesin.” katanya lagi sambil mengusap punggungku dengan sabun.

“Ini lhooo yang bikin ibu betah main sama sayang. Ketagihan..” balasku sambil mengocok pelan penisnya. Pram tertawa pelan lalu memelukku.

“Yang tadi enak banget..” bisiknya.

“Yang mana sih sayang..?”

“Kayaknya tadi ibu ngerasa enak semua..” sambungku.

Pran tersenyum sambil menyembunyikan wajahnya di sisi leherku. Ia memelukku dengan sangat erat.

“Yang main di pantat? Anal??” tanyaku.

“Iyaa..” jawabnya pelan.

“Syukurlah kalo sayang suka. Ibu juga suka kok.”

“Gak sakit..??” tanyanya sambil memandang wajahku.

Aku menggeleng pelan, sambil mengusap pipinya.

“Awalnya sakit dikit, perih.. tapi lama-lama jadi enak..” jawabku berbohong.

Pram lantas melumat bibirku dengan lembut.

“Mau lagi??” tanyaku.

Pram menggelengkan kepala lantas bersimpuh didepanku, mengusap paha hingga kakiku dengan sabun.

Jika saja ia tahu bahwa aku menahan rasa sakit saat mencoba seks anal, aku yakin ia tak akan mau melakukannya, apalagi mengulanginya kembali. Aku telah cukup mengenalnya dan yakin akan hal itu. Rasa sayangnya begitu besar padaku dan tak pernah sekalipun ia menyakitiku.

Sebelum bangkit berdiri, pram menyempatkan diri mengecup vaginaku.

“Romantis banget sih sayang..” gumanku sambil melingkarkan tangan di lehernya.

Kedua tangannya segera melingkar dipinggangku sambil mendekatkan wajahnya. Dengan lembut ia melumat bibirku hingga beberapa saat lamanya.

“Kamar tidur kita berantakan banget.” bisiknya.

Aku tertawa dan tertunduk malu.

“Malam ini kita tidur di kamar sayang aja. Besok pagi ibu bereskan.”

Pram menggelengkan kepala. Ia tak setuju dengan usulanku.

“Besok saya yang bereskan. Sore saat ibu pulang kerja, kamar kita sudah rapi kembali. Rumah ini sudah bersih.” katanya.

“Kalo sayang capek, besok sore aja kita bereskan sama-sama.”

“Saya gak capek kok bu. Ibu tenang aja. Saya yang bereskan.”

Sekembalinya dari kamar mandi, segera kuraih pakaianku dan kembali memilih G-String, sesuai saran lelakiku. Pram kembali terpesona dan memujiku saat ia melihatku mengenakan celana dalam tersebut.

“Seksi, montok, menggairahkan..” gumannya sambil menepuk pelan pantatku.

“Dari tadi pantat ibu ditampar terussss..” kataku sambil mencubit pipinya.

“Abisnya pantat ibu nggemesin..”

“kapan-kapan, kalo kita main lagi, sayang mau anal lagi?” tanyaku sambil mengusap lembut pipinya.

Pram hanya tersenyum, lantas menganggukan kepalanya.

“Sayang suka? Beneran suka?? Gak jijik?” tanyaku Lagi-lagi.

Ia menggelengkan kepala.

“Ya udah kalo sayang suka.. nanti kita main lagi.” bisikku.

Pram lantas memeluk tubuhku dengan sangat erat, mengecup pipi dan keningku berkali-kali. Aku tahu dan bisa merasakan kasih sayangnya lewat tindakannya tersebut.

Bagiku, kami telah melangkah jauh, layaknya sepasang suami istri yang telah terikat menjadi satu hati.

Seiring waktu berjalan, ia mulai belajar mengimbangiku, mempelajari tentang diriku, begitupun sebaliknya. Sejauh ini, aku belum menemukan satupun sikap maupun sifatnya yang bertentangan dengan pribadiku. Ia terlihat sempurna dimataku, bersikap dan bertindak layaknya seorang pria dewasa, seorang suami yang sangat menyayangiku.

Caranya memperlakukanku bak seorang ratu membuat hatiku luluh dan jatuh cinta padanya.

“Ibu pengen coba pakai high heels juga. Boleh?” kataku setelah mengenakan kembali pakaianku.

“Boleh dong bu. Pasti makin kelihatan anggun.”

High heels 5cm yang kukenakan memang sangat serasi dengan pakaian yang membalut tubuhku. Dan Pram pun kembali terkagum-kagum dengan penampilanku.


“Sempurna..” gumannya saat kami telah keluar dari rumah dan bersiap berangkat untuk makan malam.

“Makasih sayang..” balasku.

= = =

Waktu menunjukkan hampir pukul delapan malam ketika kami meninggalkan rumah, menuju ke wilayah kota, untuk sekedar mencari makan malam berupa sate, sesuai rencana kami sebelumnya.

“Besok, sayang anterin ibu kerja atau ibu berangkat sendiri?” tanyaku saat kami telah memasuki area kota.

“Ibu mau saya anterin?”

“Kalo gak merepotkan, ibu maunya dianterin sayang, dijemput juga.”

“Kalo gitu, besok saya anterin bu. Gak merepotkan sama sekali kok. Pulangnya juga saya jemput.”

Aku mengangguk pelan, sambil memandang wajahnya dengan senyum.

Seperti biasanya, kami memilih sate samirono sebagai tempat makan malam. Warung sate yang telah terkenal karena menu khas sate ayam dan kambing ini selalu dipadati pengunjung setiap harinya.

Tepat saat kami tiba disana.

“Maaf mas, mbak, mejanya penuh.. tapi kalo mau nunggu sebentar, mungkin nanti ada yang kosong. Atau mau dibungkus aja?” tanya si pelayan pada Pram.

“Gimana bu, mau dibungkus aja? Atau nunggu sebentar?” tanya Pram padaku.

“Kita tunggu aja gapapa kok..”

Samirono, sebuah area dalam lingkaran kampus-kampus ternama di kota pelajar merupakan area padat penduduk. Kost-kostan dan warung makan banyak tersebar diwilayah ini, dan sudah dipastikan selalu ramai setiap harinya.

Kami menikmati suasana malam sambil menunggu meja untuk kami tempati.

“Disini rame banget. Kalo punya kost-kostan didaerah ini, lumayan buat penghasilan.” gumanku sambil memandangi hilir mudik kendaraan yang melintas.

“Iya bu, pasti lumayan. Tapi saya gak terlalu suka. Terlalu ramai. Saya suka kost ditempat ibu. Sepi, tenang banget.”

“Iya sih, tapi kan jauh dari kampus sayang..”

“Gapapa kok bu.. ada motor juga. Jadi gak masalah.”

Beberapa pengunjung lain yang datang setelah kami pun terpaksa ikut mengantri, menunggu meja kosong.

“Bu, saya beli air mineral dulu. Ibu tunggu disini ya.. gapapa?”

“Sekalian beliin ibu juga.” kataku.

Aku memandangi Pram sambil tersenyum saat ia melangkah pergi. Bayangan masa lalu pun kembali menghampiri pikiranku, ketika pertama kali melihatnya saat sedang mencari kost di rumahku. Aku sangat beruntung karena bisa mengenalnya, dekat dengannya, dan akhirnya menjadi wanita spesial dimatanya.

“Hey cantik.. sendirian aja?” sapa seorang pria membuyarkan lamunanku.

Aku tertugun sambil menoleh ke arahnya. Aku sama sekali tidak mengenal laki-laki itu.

“Maaf.. anda siapa?” tanyaku.

Lelaki itu hanya tersenyum, lalu menjuluran tangannya untuk bersalaman denganku.

“Hendra.” katanya kemudian sambil menjabat erat tanganku.

Aku terdiam dan segera menarik tanganku.

“Kita belum pernah kenal. Dan bukan teman juga.” sambungnya lagi.

'Laki-laki iseng.’ gumanku dalam hati.

Entah mengapa Pram pergi begitu lama. Aku mulai merasa tidak nyaman dengan kehadiran Hendra karena tatapannya yang seolah penuh nafsu, memandangi payudaraku, lekuk tubuhku.

Aku berusaha mengacuhkannya, namun ia kembali mengajakku berbincang-bincang.

“Kuliah dimana?” tanyanya.

“Saya udah lulus mas. Udah kerja.”

“Ooohhh.. maaf, saya kira masih kuliah. Abisnya kelihatan masih muda banget. Masih cantik.”

Gombbaaallll banget sih..!” kataku dalam hati.

“Sendirian aja? Lagi ngantri pesan sate?”

Karena sedang berbicara dengannya, aku tak menyadari kehadiran Pram disampingku. Secara spontan aku segera menggengam erat jemarinya.

“Iya, lagi ngantri nunggu meja kosong. Kita mau makan. Kenalin mas, ini suami saya.” kataku dengan wajah berseri.

Aku bisa melihat raut wajah hendra berubah drastis setelah melihat Pram disisiku.

“Hendra.” gumannya.

“Pram.” jawab lelakiku sambil menjabat tangannya.

Pasca kedatangan Pram, Hendra pun pamit, sedikit bergeser menjauh sambil menunggu pesanan makanannya.

“Temen ibu?” tanya Pram.

“Bukan. Ibu gak kenal.”

Pram tersenyum, lantas menyerahkan sebotol air mineral padaku.

“Pasti cowok iseng..” gumannya pelan sambil meneguk air mineral.

“Iya.. dateng-dateng manggil ibu ‘hey cantik’ trus kenalan.” gerutuku.

Pram tertawa pelan sambil meremas jemariku.

“Masih gak percaya kalo saya bilang ibu cantik? Ibu seksi?” tanyanya dengan berbisik.

Aku tersenyum sambil menundukkan wajah.

“Iya.. tapi yang bilang kayak gitu cuman kamu aja. Yang lain laki-laki gak jelas. Cowok mata keranjang. Pasti maunya cuman ngentot doang.”

Pram kembali tertawa, sementara pandangannya mengawasi para pengunjung didalam warung, sekedar melihat-lihat sekiranya ada meja yang hendak ditinggalkan oleh para pengungjung lainnya.

“Pantat ibu menggoda. Pasti tadi dia iseng karena lihat bodi ibu. Pakaian ibu kan ketat banget.” kata Pram lagi.

Aku menoleh ke belakang, dan melihat pinggulku. Pram benar. Baju panjang yang kukenakan memang cukup ketat, membentuk tubuhku, bahkan bulatan kedua belah pantatku tercetak jelas, apalagi aku mengenakan G-string sebagai celana dalam.

“Dasar buaya..” gumanku pelan lalu menegguk air mineral pemberian Pram.

Hanya beberapa saat kemudian, si pelayan warung tersebut mempersilahkan aku dan Pram untuk menempati sebuah meja kosong yang ada.

“Sate kambing dua ya mas. Es jeruk dua.” kata Pram pada si pelayan saat kami telah duduk.

Sesekali aku menangkap basah hendra sedang menatapku dari luar warung, namun aku mengabaikannya, berpura-pura tidak melihatnya. Beberapa pengunjung laki-laki lain duduk dimeja lain, dihadapanku pun melakukan hal yang sama, memandangi lekuk payudaraku. Tatapan liar seolah menelanjangiku itu sedikit banyak membuatku percaya pada apa yang dikatakan oleh lelakiku, bahwa aku masih cukup menarik bagi laki-laki lain.

“Besok jadi ketemuan sama Nina?” tanyaku.

“Harus jadi bu, biar bisa kirim uang secepatnya untuk keluarga Galang.”

“Untuk uang bulanan Galang, gimana?” tanyaku.

“Nanti kita diakusikan juga sama yang lain bu. Sebaiknya sih semua lewat Nina. Kalo sama Nina, Galang gak sungkan. Beda dengan saya atau lainnya.”

Hampir limabelas menit kemudian, sate pesanan kami pun telah tersaji.

“Mas, tambah sate ayam satu porsi ya, gak pakai lontong.” kataku saat si pelayan hendak melangkah pergi.

“Iya mbak.. sebentar ya..” jawabnya.

Pram nampak terkejut, lalu tersenyum.

“Doyan apa laper?” tanyanya.

“Ibu laper banget.” kataku pelan.

“Iya.. tadi kan udah kerja keras.” gumannya.

Aku tertawa pelan, dan dibawah meja menendang kakinya dengan pelan.

“Ngomong-ngomong, kalo uang bulanan saya kasih tiap minggu aja gimana bu? Menurut ibu gimana?”

“Bisa juga begitu, tapi temen-temen yang lain gimana? Mereka setuju apa enggak. Sebaiknya kita bicarakan lagi bareng mereka.”

Sejenak aku kami terdiam, menikmati makan malam dalam diam ditengah keramaian para pengunjung lain yang sedang bercengkrama, berbincang-bincang disekeliling kami.

Hanya dalam waktu singkat, tak sampai duapuluh menit, satu porsi sate kambing bagianku ludes. Rasa lapar yang mendera sedikit terobati setelah melahap satu porsi sate.

“Sayang mau?” tanyaku sambil menawarkan sate ayam yang masih utuh dihadapan kami.

Pram menggelengkan kepala.

“Buat ibu aja. Saya udah kenyang bu.”

Tanpa basa-basi, aku kembali menyatap satu porsi sate ayam. Beberapa pengunjung yang duduk didepanku sesekali memandangiku. Mungkin saja mereka merasa heran dan takjub karena aku melahap dua porsi sate sekaligus. Aku tak perduli dengan hal itu karena benar-benar merasa lapar.

Pram telah selesai menyantap bagiannya dan ikut memandangiku. Sesekali ia tersenyum ke arahku.

“Kenapa? Kok senyum-senyum?” tanyaku.

“Ibu bener-bener laper ya?”

“Ini masih ada lontong bu, saya udah kenyang. Mau..??”

Aku mengangguk pelan sambil terus mengunyah makanan tersebut. Tak berapa lama kemudian sate ayam itu ludes, ditambah beberapa potong lontong sisa milik Pram.

“Hhmmmmm…. Legaaaaa… kenyang banget.” gumanku setelah meneguk es jeruk.

“Masih mau nambah lagi?” tanya pram.

“Enggak.. kenyang banget.”

Hampir setengah jam setelahnya, kami duduk bersantai disana hingga akhirnya pergi meninggalkan warung tersebut.

“Gimana? Menurut sayang ibu pantes gak kalo pakai pakaian ini untuk kerja?”

“Bagus kok bu, pantes banget. Ibu kelihatan anggun, cantik.” jawabnya sambil mengendalikan stir mobil.

“Gak terlalu ketat? Terlalu seksi?”

“Iya sih, agak ketat bu, tapi masih dalam batas wajar kok. Kelihatan seksi, tapi bukan murahan.”

Aku bergeser mendekat ke arahnya, lantas mengecup pipinya. Kusandarkan kepala dibahunya dan ikut memandang kedepan, melihat kendaran yang padat, memenuhi jalan-jalan yang kami lalui. Kedua tanganku melingkar di pinggangnya dengan mesra dan sesekali ia mengecup kepalaku yang tertutupi jilbab.

“Tadi ibu ngenalin saya ke cowok itu sebagai suami ibu. Ibu gak malu??” tanya Pram memecah keheningan.

“Enggak dong sayang. Justru ibu senang, ibu bangga kalo seandainya punya suami seperti kamu.”

“Pasti cowok itu iri sama saya.” balasnya.

Aku tertawa pelan sambil mempererat pelukanku.

“Ibu gak ngabarin bapak ibu dirumah kalo ibu udah dapet kerja?”

“Nanti aja sayang, hari minggu kan kita pulang.”

Kesunyian kembali melingkupi kami, dan aku kembali terlarut dalam duniaku, menikmati kebersamaan dengannya.

Aku tak memungkiri bahwa sesungguhnya aku telah menambatkan harapan cintaku sepenuhnya pada Pram. Aku berharap, ia adalah pendamping hidupku kelak.

Aku telah menemukan kebahagiaan, menemukan kenyamanan bersamanya. Putri kecilku pun sepertinya merasakan hal yang sama denganku, begitu juga dengan kedua orangtuaku.

Semua berjalan dengan baik dan apa yang ada diantara kami bukan hanya tentang sekedar seks. Dimataku, hubungan ini jauh lebih besar, jauh lebih kompleks daripada yang terlihat. Tautan dua hati kami semakin erat, dan aku yakin, Pram, lelakiku pun merasakan hal yang sama.

Perhatian dan kasih sayangnya terhadap Nova adalah sebuah hal benar-benar membahagiakanku, membuatku luluh dan semakin mencintainya. Nova bukanlah darah dagingnya, namun ia memperlakukannya dengan sebagaimana mestinya.

Aku yakin, ia melakukannya bukan hanya sekedar untuk menyenangkanku, tetapi ia melakukannya berdasarkan ketulusan, dari lubuk hati. Tak sedikitpun aku meragukan kebaikan hatinya.

♡♡♡ bersambung ♡♡♡

Part 4 akan rilis dalam beberapa jam


kedepan Terima kasih :rose:
Ssssistaaa suhuu mantaaab
 
Pram main api nih, masa ngedukung Mbak Rindi pake pakaian ketat begitu ke kantor, pake g string lagi. Nunggu kelanjutannya part 4
 
Part 4



Rindiani


Pagi-pagi buta aku telah terbangun dari tidurku saat adzan subuh berkumandang. Kupandangi tubuh telanjangku dan lelakiku, Pram yang masih terlelap.

Dengan lembut kukecup keningnya dan bersiap memulai hari baru. Sebuah langkah dalam perjalanan hidupku, yang mungkin akan membawa perubahan untukku dan masa depanku.

Ini adalah hari pertama aku bekerja, dan aku sudah tidak sabar untuk memulainya.

Sesaat setelah keluar dari mandi, aku mendapati Pram masih terlelap. Tidurnya begitu nyenyak setelah semalaman merapikan dan membersihkan kamar tidur yang berantakan karena percintaan panas kami.

Aku berdiri disamping ranjang dan kembali memandanginya sambil tersenyum.

Aku beruntung bisa mengenalmu’ gumaku dalam hati sambil membenahi selimut yang menutupi tubuhnya.

Sambil menyiapkan sarapan dalam keadaan telanjang, kunikmati keheningan pagi, seperti yang selalu dilakukan oleh Pram. Aku tak lagi merasakan beban hidupku, karena semuanya tampak sempurna, tidak ada sesuatu yang kurang. Aku kembali tersenyum seorang diri, didapur.

“Pagi bu..” sapa Pram dari arah belakang dan langsung memelukku erat.

“Pagi sayang.” balasku sambil mengecup pipinya yang berada disampingku.

Aku bisa merasakan penisnya menempel erat dibagian tubuhku. Pram pun sedang tidak mengenakan pakaian saat menyusulku ke dapur.

“Kopi? Teh?susu?” tanyaku.

“Kopi bu.”

“Susunya ini aja.” sambungnya sambil meremas lembut kedua payudaraku, memilin kedua putingku.

“Nakal..”

Pram tertawa lantas mengecup pipiku. Kedua tangannya meninggalkan payudara dan kembali memelukku erat.

Hampir sepuluh menit ia memelukku dengan sangat erat, hingga akhirnya melepaskan tubuhku dan berdiri disampingku.

Segelas kopi untuknya, dan segelas susu untukku tersaji, beserta pisang goreng.

“Udah siap kerja hari pertama?” tanyanya setelah menegguk kopi.

Aku mengangguk pelan, sambil mengunyah pisang goreng.

“Doain ibu biar bisa lancar kerjaannya.” kataku.

“Iya bu. Pasti saya doain.”

Selesai menyantap sarapan pagi, membereskan piring dan gelas, kami kembali ke kamar tidurku. Jam didinding menunjukkan hampir pukul lima pagi.

“Nanti pulang dari kampus jam berapa?” tanyaku sambil mengenakan Bra.

“Saya udah gak ada mata kuliah bu, cuman tinggal skripsi aja. Nanti mau ke perpustakaan dulu, trus mau ketemu dosen pembimbing.”

“Berarti semester ini santai dong.”

“Gak juga sih bu, mau ngejar beresin skripsi.” jawabnya sambil duduk di tepian ranjang.

“Semoga semuanya lancar ya sayang. Biar cepet lulus.” kataku, seraya meraih sehelai G-string dari dalam lemari.

Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum, lalu melangkah mendekat sambil menggengam celana dalam itu.

“Pakein celana dalamnya.” kataku manja sambil berdiri diantara kedua pahanya.

Pram tertawa sambil memegang pinggulku. Kedua tapak tangannya segera merayap perlahan ke bagian belakang, dan meremas lembut pantatku.

“Iya buuuu…” jawabnya singkat, lalu mengecup permukaan perutku.

Kuserahkan celana dalam itu padanya, dan ketika ia membuka lipatannya, ia tertawa sambil menatapku.

“Ini sih sama aja gak pakai celana dalam bu.” gumannya sambil memasukan jari ke bagian tengah celana dalam itu.

“Lhooo kata sayang kan harus pakai celana dalam.” protesku manja.

“Ini celana dalam open crocth sayang.. emang kayak gini ini modelnya. Biasanya emang bagian memeknya gak ketutup.” kataku lagi.

Pram memandangi celana dalam tersebut, lalu mulai memasangkannya pada pinggulku.

“Kalo pakai ini kan simpel. Kali aja pas ibu lagi kebelet pipis, atau mau main sama sayang, jadinya gak perlu copot celana dalam. Iya kan?”


Beberapa kali aku memutar tubuh dihadapannya, memamerkan celana dalam seksi yang telah terpasang di pinggulku.

Pram kembali tertawa sambil memandangi kemaluanku dan mengusapnya. Ia bangkit berdiri dan kembali memelukku, mengecup keningku dengan penuh rasa.

Aku membalas pelukannya, lalu melumat bibirnya dengan lembut. Sesaat setelah ciuman itu berakhir, pram, mengusap pipiku, lalu kembali mengecup keningku.

“Yuk, siap-siap berangkat.”

= = =

“Nanti kalo sayang gak bisa jemput, kabarin ibu ya, biar ibu gak nunggu.”

“Nanti saya jemput kok bu. Pulang jam lima kan?”

Aku mengangguk pelan. Dan sebelum keluar dari mobil, Pram mengecup keningku dengan mesra.

“Selamat bekerja bu.” ucapnya kemudian.

Kubalas dengan melumat bibirnya, pelan dan dengan penuh rasa sambil mengusap pipinya.

“Doakan ibu..” bisikku kemudian.

Pram mengangguk sambil menempelkan telapak tangannya dipipiku. Hampir dua menit kemudian ia pergi meninggalkanku, saat aku telah memasuki lobi hotel.

Senyum ramah para karyawan disana menyambutku, membukakan pintu untukku, dan mempersilahkanku masuk.

Aku hendak menaiki tangga bagian belakang untuk menuju ke ruang kerja ketika Bayu menghampiri dan menyapaku.

“Pagi bu..” sapanya dengan ramah.

“Pagi mas..”

“Kalo ibu mau ke ruang kerja, ibu bisa pakai lift di bagian depan.” katanya sambil mengiringi langkahku.

“Hanya bu Rindi dan bo bos, serta karyawan yang bertugas di lift yang boleh mengaksesnya.

“Lewat sini aja mas, itung-itung sekalian buat olahraga.”

Bayu tertawa, sambil terus mengiringi langkahku hingga di ruang kerjaku.

“Saya sudah minta laporan kerja tiap departemen selama tiga bulan belakangan. Nanti ibu pelajari dulu, lalu bandingkan per bulannya. Apakah ada penurunan, atau kenaikan, atau hal apa saja.” katanya, sambil memegang tumpukan file yang tersusun rapi dimejaku.

“Kalo ibu perlu saya, atau siapa saja, silahkan pakai telfon ini. Ini telfon paralel, dan daftarnya ada disini.” katanya lagi.

“Iya mas, makasih ya mas. Tolong saya dibantu ya, saya belum terlalu paham dengan semua pekerjaan ini.”

“Silahkan duduk bu.” katanya lagi.

“Oh iya, makasih mas.”

Untuk pertama kalinya, akhirnya duduk dikursi kerja yang sesungguhnya. Aku memiliki ruang kerja, memiliki meja kerja sendiri.

“Nanti, ibu bisa hubungi saya seandainya ada yang belum jelas.”

“Iya mas, makasih mas.” kataku.

Setelah bayu meninggalkan ruangan, aku kembali berdiri dan membuka tirai jendela ruang kerjaku. Kuhidupkan AC dan kembali duduk disana, membuka file laporan kerja yang diberikan oleh Bayu.

Kuhidupkan komputer dihadapanku, dan mulai melihat data-data yang ada disana, sebagai perbandingan.

Hampir dua jam aku berkutat dengan data-data tersebut, mempelajari beragam kode dan simbol serta istilah dalam manajemen perhotelan.

Dinginnya Ac membuat mataku sedikit mengantuk, sehingga aku memutuskan untuk beristirahat sejenak.

Aku segera keluar ruangan, menuruni tangga dan menemui Bayu. Saat memasuki ruangannya, Bayu nampak terkejut melihatku.

“Ada apa bu?”

“Mas, kalo mau buat kopi disebelah mana?” tanyaku sambil berdiri didepan mejanya.

Bayu tertawa pelan, lalu beranjak dari kursinya.

“Kalo ibu butuh sesuatu, makanan, atau minuman, ada office girl yang siap melayani ibu. Ibu cukup telfon bagian dapur, nanti diantarkan ke ruangan ibu.”

“Ooo gituuuu…” jawabku sambil tersenyum.

“Kalo ibu mau pergi-pergi, ada kendaraan yang siap mengantarkan, supirnya pun ada.” sambungnya.

Dengan semua fasilitas yang tersedia, tentu saja aku merasa takjub dan semakin bersemangat. Aku yakin, aku pasti mampu menghadapi pekerjaan ini.

“Okey, makasih mas Bayu.” kataku sebelum beranjak pergi.

Saat sedang menapaki tangga untuk kembali ke ruanganku, aku berpapasan dengan seorang karyawan wanita.

“Siang bu..” sapanya ramah.

“Iya, selamat siang.”

“Saya Lisa bu, dari bagian dapur.”

Aku mengulurkan tangan dan Lisa pun segera menyambutnya.

“Saya Rindiani. Biasa dipanggil Rindi.”

“Oh iya, saya bisa pesan kopi?”

“Bisa bu.”

“Kopi panas, jangan terlalu manis ya mbak.”

“Iya bu.”

“Okey, terima kasih Lisa.”

Sesampainya di ruanganku, aku berdiri sejenak didepan jendela, memandangi hiruk pikuk jalan raya dibawah sana. Tempat ini akan menjadi rumah ketiga bagiku, untuk beberapa waktu kedepan sehingga aku berusaha sebaik mungkin untung beradaptasi, menyamankan diriku dengan keadaan disekitarku.

Hampir sepuluh menit kemudian, terdengar ketukan pintu. Dan setelah mendengar suaraku, pintu itu terbuka. Lisa mengantarkan kopi pesananku.

“Lisa udah lama kerja disini?”

“Baru tiga tahun bu.”

“Wah, lumayan lama dong. Udah berkeluarga?”

“Iya bu, baru satu tahun menikah.”

Aku mengajaknya untuk duduk di sofa di samping meja kerjaku, sekedar untuk berbincang dengannya.

“Asli dari sini?”

“Bukan bu, saya dari temanggung.”

“Ooo.. temanggung. Pantes aja Lisa putih banget. Ternyata dari daerah sana.”

“Dulu sekolah disini?”

“Iya bu, saya SMA dan kuliah disini.”

“Lhooo.. Lisa kuliah?? Ambil jurusan apa??”

“Iya bu, saya ambil jurusan perhotelan. Tapi cuman D3 aja bu.”

“Kenapa lisa bisa kerja di bagian dapur?” tanyaku heran.

“Gapapa bu, waktu saya kirim lamaran kerjaan, kebetulan posisi yang kosong ya cuman bagian dapur.”

“Saya butuh kerjaan ini bu, buat pengalaman.”

“Suami dikampung atau disini?”

“Dikampung bu.”

“Disini kost?”

“Iya bu.”

“Baiklah Lisa, tetap semangat bekerja ya. Saya juga baru disini, jadi tolong bantu saya.”

Lisa mengangguk, lalu pamit undur diri untuk kembali bekerja.

Dan akhirnya aku kembali berkubang dengan tumpukan data-data hingga berjam-jam lamanya, ditemani segelas kopi.

Aku memfokuskan perhatian pada arus keuangan, dimana omset pendapatan selama beberapa tahun kebelakang cenderung stagnan. Hampir tidak ada peningkatan yang berarti.

Kubuka juga file dari divisi marketing, dan melihat laporan kegiatan, kinerja selama beberapa tahun kebelakang. Dari penilaianku secara singkat, semua berjalan normal. Hotel tidak mengalami devisit, atau bisa dikatakan sehat sebagai sebuah badan usaha.

Rumit banget..’ gumanku dalam hati.

Aku benar-benar lupa waktu, lupa akan segalanya ketika akhirnya ponselku berdering. Pram menelponku dan mengabarkan bahwa ia telah berada di parkiran hotel untuk menjemputku.

Kutepuk keningku sendiri. Heran bercampur kaget setelah melihat jam di dinding telah menunjukkan pukul lima sore.

Aku melewatkan jam makan siang, bahkan melupakan lelakiku, sekedar untuk menyapanya. Aku lupa akan segalanya.

Saat keluar dari pintu lift, aku melangkah mendekati bagian front office. Senyum ramah seorang wanita muda nan cantik menyambutku.

“Selamat sore bu.. mau pulang?” tanyanya.

“Iya, selamat sore. Mau pulang.”

Aku segera mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengannya.

“Rindiani.” kataku.

“Veny.” balasnya sambil tersenyum ramah.

“Veny pulang jam berapa?” tanyaku.

“Nanti jam enam bu, pergantian sift.”

“Ooo… okey. Maaf, saya baru disini, jadi belum banyak mengetahui lingkungan kerja kita disini.”

“Iya, gapapa bu.”

“Saya pamit ya Ven, selamat bekerja.” kataku lagi.

Saat melewati pintu depan, aku melangkah cepat menuju ke mobil yang terparkir tak jauh dari pintu masuk area parkiran.

Senyum manis lelakiku langsung menyambutku saat aku membuka pintu. Dan ketika aku telah menutup pintu, aku bergeser mendekat ke arahnya. Kuusap pipi lelakiku dengan lembut, mendekatkan wajahku, lalu melumat bibirnya. Pram membalas ciumanku dengan mesra, dan akhirnya sebuah kecupan pun mendarat di keningku.

“Sayang, kita langsung ke kost Nina ya.”

“Gak pulang dulu?? Ibu gak kecapekan??”

Aku menggelengkan kepala.

“Seharian cuman mempelajari laporan-laporan departemen.”

“Ibu gak capek kok, cuman lehernya pegel aja.” sambungku sambil memegang tengkuk dan mengerakkan leher.

“Nanti saya pijetin bu.”

Aku kembali tersenyum dan menyandarkan kepalaku di pundaknya.

“Cuman di pijetin aja?” tanyaku genit sambil mengusap dadanya.

Pram tertawa, satu tangannya melepaskan stir dan kembali mengusap pipi kiriku.

“Binal..” bisiknya lembut, lalu mengecup permukaan jilbab yang menutupi kepalaku.

Aku tertawa, dan mempererat pelukanku pada pinggangnya.

Hampir sepuluh menit kemudian, kami tiba di kost Nina. Karena Pram telah mengabarkan padanya tentang kedatangan kami, ia telah menunggu kami didepan kamar tidurnya.

“Uuuuhhhhhh.. kakakku seksi abissssss…” gumannya saat melihat kehadiranku dan Pram yang berjalan disisiku.

Kami menghampirinya dan aku disambut dengan pelukan hangat.

“Yang seksi itu kamu dek.. itu celana pendek banget, ketat lagi.. gak malu sama Pram?” tanyaku, sambil mengiringi langkahnya memasuki kamar.


“Gak mungkin Pram tergoda. Gak mungkin banget. Mbak Rin lebih seksi dan montok, bohay banget.” balasnya sambil duduk dilantai.

Aku dan Pram pun ikut duduk bersamanya diatas tikar plastik.

“Sayang, jangan tergoda yaaa?” kataku pada Pram.

Lelakiku hanya tertawa pelan sambil menggelengkan kepala.

“Tuh.. gak bakal tergoda kok.. mbak tenang aja deh.. walaupun aku telanjang, paling juga cuman dicuekin sama dia.” kata Nina.

“Hadduuhhhh… udah.. udah.. kita omongin tentang masalah Galang aja..”

“Iyaa kakakku cantikkkk.”

Nina kembali berdiri dan berjalan ke arah meja belajarnya. Diraihnya selembar kertas dan meletakkannya dihadapanku.

“Tadi kami sempet ngobrol juga. Nah, untuk sumbangan teman-teman itu segini per bulannya mbak.” kata Nina.

“Deva 300 ribu. Rita 300 ribu. Topan 500 ribu.”

“Kalo untuk keluarganya, mbak sih bisa mengira-ngira per bulannya sekitar tiga juta.” kataku.

“Itu udah semuanya bu? Sama kebutuhan dapur?” tanya Pram.

Aku mengangguk pelan.

“Nah, kalo untuk uang bulanan buat Galang, aku sih mikirnya sejuta udah cukup.” timpal Nina.

“Iya, segitu udah cukup.” sahut Pram.

“Berarti, setiap bulannya, sekitar empat juta. Untuk keluarganya tiga juta. Untuk Galang sendiri satu juta.” gumanku.

“Aku bisa kasih dua juta per bulan mbak.” kata Nina.

Tentu saja aku terkejut dengan ucapannya.

“Dua juta??? Kamu yakin??” tanyaku.

“Iya.. yakin.. aku udah ceritain semuanya ke orang tuaku. Aku bilang ke mereka kalo Galang adalah teman yang udah mengubah aku, benerin kuliahku sampe sekarang. Orang tuaku sih bilang gak masalah. Mereka mau membantu kok.”

Pram mengangguk pelan.

“Tiga juta juga bisa kok. Nanti jatah bulananku aku potong dikit buat Galang.”

“Pram, gimana?” tanya Nina.

“Saya bisa kasih dua juta per bulan Nin.” jawab lelakiku.

“Oke, duit dari kalian berdua udah empat juta. Kalo dijumlahkan sama punya Rita, Deva, Topan, totalnya lima juta seratus ribu.

“Mbak mau nyumbang berapa? Itu udah lebih dari cukup lhoo.” kata Nina.

“Untuk sementara ini, ibu gak perlu ikut menyumbang.” Kata Pram.

“Kita lihat situasi dan perkembangan dulu.” sambungnya.

Aku dan Nina mengangguk bersamaan.

“Uangnya besok di transfer Nin.” kata Pram sambil mengeluarkan setumpuk uang dan menyerahkannya pada Nina.

“Iya Pram, besok pagi aku transfer.”

Nina menerima uang tersebut dan meletakkannya dalam laci meja belajarnya.

“Kalian mau minum? Ini ada sirup lhoo.” katanya.

“Boleh..” jawab Pram.

Nina membuat tiga gelas sirup dan menghidangkannya untuk kami. Tak lupa ia menyertakan cemilan sebagai teman ngobrol kami.

“Gimana kerjaannya mbak Rin?” tanyanya.

“Baru hari pertama sih Nin, jadi ya masih belum tau. Tapi kayaknya sih bakalan berat.”

“Santai aja sih mbak, pasti mbak bisa kok. Kalo masih awal kan emang biasanya gitu. Tapi pas udah dijalani, udah ngerti, jadi kayak biasa aja.”

“Lagian kan ada Pram. Ada penyemangat kerja..” sambungnya.

“Pasti semangat sih Nin. Moga aja mbak mampu deh.”

“Ngomong-ngomong, Nina punya keluarga disini?”

“Enggak mbak. Gak ada keluarga sama sekali.”

“Emang Nina berapa bersaudara?” tanyaku lagi.

“Empat mbak, aku bungsu dan perempuan sendiri. Kakakku semua cowok.”

“Wah.. jadi paling cantik sendiri dong..”

“Tapi lebih asik kalo punya saudara cewek mbak, ada temen curhat, temen main. Kalo cowok semua kan gak asik.”

“Oh iya Nin, hampir kelupaan. Adiknya Galang satu aja? Cewek?” tanya Pram.

“Iya, satu. Cewek.”

“Sekarang udah SMA. Pinter kayak Galang. Sejak SD sampe sekarang selalu masuk tiga besar terbaik disekolah” sambungnya.

“Kok kamu tahu banyak tentang keluarga Galang?” tanyaku.

“Ya nanya dong mbak.. aku kan bukan peramal..”

“…..”

Pram tertawa, sementara aku hanya melongo mendengar jawabannya.

“Kalo lagi bosen di kost, kadang aku main ke kost Galang.

Dulu waktu Pram masih ngontrak rumah, aku juga sering main kesana kok.”

“Iya.. sekarang udah ngekost, jadi kamu males main.” timpal Pram.

“Bukan males sih Pram. Tapi kan kostmu jauh. Udah gitu aku gak enak kalo sering main kesana. Takut gangguin kalian.”

“Gangguin apaan sih?” protesku.

Nina tertawa sambil memainkan alis matanya. Raut wajah jahil mulai nampak disana.

“Dulu aku pernah main ke kontrakan Pram. Pas sampe sana, langsung masuk kamar mandi karena kebelet pipis. Sangking kebeletnya, aku masuk kamar mandi langsung jongkok, gak tutup pintu. Tau-tau Pram berdiri didepan pintu. Dia bengong liat aku pipis.”

“Aku juga kaget sih, tapi gak bisa ngapa-ngapain, soalnya pas kencingnya lagi keluar. Jadi ya aku masa bodo aja. Lagian Pram gitu lhooo.. dia kan anak baik.”

Pram tertawa pelan sambil menundukkan wajahnya. Tampaknya ia malu dengan cerita Nina.

“Kok bisa?? Emang kamu gak ijin sama Pram kalo mau pipis??” tanyaku.

“Boro-boro ijin. Pipisnya udah gak nahan, bisa-bisa ngompol aku mbak.”

“Trus gimana?” tanyaku penasaran.

“Trus Pram nutup pintunya. Gitu doang.”

Aku tertawa mendengar cerita Nina. Aku yakin, Nina tidak berbohong dengan cerita tersebut. Pram sungguh lelaki yang baik.

“Coba kalo sama cowok lain. Mungkin aku udah diperkosa kalik mbak.” sambungnya.

Kulihat wajah lelakiku memerah karena mendengar apa yang Nina ceritakan. Baru kali ini aku memdengar kisah ini, karena Pram tidak pernah menceritakannya padaku.

“Oh iya, tadi Rita kok kayak gak asik ya.. biasanya selalu godain Pram, seneng banget ngerjain Pram. Tapi tadi kok kayak kalem gitu.. rada aneh.” kata Nina lagi.

Aku tertawa, begitu juga dengan Pram. Kuceritakan pada Nina tentang kejadian kemarin sore, saat Rita datang berkunjung ke rumahku, dimana aku dan Pram mengerjainya habis-habisan. Nina pun tertawa mendengar kisahku.

“Pasti dia kapok, gak berani usil sama Pram lagi.”

“Kadang anak itu emang ngeselin banget Nin.” timpal Pram.

“Rita gak berani sih. Coba kalo aku yang digituin, pasti aku mau.”

“Lhoooooo….? Kok…??” tanyaku heran.

Nina tertawa, sementara Pram tersenyum sambil menggelengkan kepala.

“Kan cuman lihat titit doang. Daripada lihat di internet mulu, lihat di film bokep mulu, sesekali lihat titit beneran dong, biar gak bosen.”

“Hadduuhhhhhhh… bener-bener salah orang. Harusnya mbak gak cerita ke kamu deh Nin.”

“Idih.. selow aja mbak. Aku sih santai kok. Lagian kan aku kenal mbak, kenal Pram juga. Seandainya pun emang beneran, pasti kalian gak akan ember ke orang lain kan?”

Aku menggelengkan kepala, heran dengan kegilaan Nina.

“Bu.. Nina ini sama gilanya sama Rita. Cuman bedanya Nina usilnya kalo lagi sendirian gini. Kalo sama temen-temen lain, dia diem, tenang.” kata Pram.

Nina tertawa, lalu menyeruput minuman di gelasnya.

“Kalo sama yang lain, aku rada sungkan sih Pram. Kalo sama kamu kan beda. Asik aja. Sama mbak Rin juga gitu. Walaupun baru kenal, tapi rasanya asik aja sih.”

“Iya sih, mbak juga ngerasa kayak gitu. Tapi gak tau gimana Rita, soalnya belum terlalu kenal dia Nin. Sejauh ini sih orangnya asik, walaupun usilnya udah level neraka.” timpalku.

“Rita itu ya gitu mbak. Usil, nakal, tapi baik kok.”

“Makanya aku males ganti pakaian waktu tau mbak sama Pram mau kesini. Cuek aja.”

“Astagaaa.. tapi ya gak gitu juga kali deekkkkk..” protesku sambil mencubit pinggangnya.

“Itu celana udah pendek, ketet lagi. Tuh memeknya nyetak banget.” sambungku.

Nina menundukkan wajah dan melihat ke arah selangkangannya.

“Biasa aja kok mbak. Iya kan Pram?” tanyanya pada lelakiku.

Pram menghela nafas panjang, sambil memalingkan wajahnya. Nampaknya ia ingin menghindari menatap ke arah pangkal paha Nina.

“Kalo tiba-tiba Pram pengen gimana??” tanyaku.

“Ya gak mungkin dong mbak..” jawabnya santai.

“Seandainya pun dia pengen, aku sih oke aja. Yang penting mainnya bertiga, sama mbak juga, biar gak dikatain selingkuh.” sambungnya.

Pram masih memandang ke arah lain sambil menepuk keningnya, lalu menggelengakn kepala.

“Mulai dah..” gumannya pelan.

“Threesome??” tanyaku lagi.

Nina mengangguk.

“Tapi hanya sebatas seks, gak boleh main hati.”

“Mampus..” guman Pram pelan.

Aku dan Nina tertawa melihat tingkah Pram yang tampaknya heran dan kaget dengan topik yang kami perbincangkan.

“Gilaaaa…” gumanku.

Nina tertawa pelan, lalu meraih makanan ringan yang ia sajikan dan menyantapnya.

“Bukan gila sih mbak, tapi variasi aja, just for fun aja.”

“Tapi terlalu ekstrim Nin.. variasi sih bagus, biar gak bosen, tapi kan aneh.” sahut Pram.

“Kalo menurut aku sih gak aneh Pram. Yang penting kalian harus punya komitmen yang kuat. Saling percaya, dan partner ketiga pun orang yang bisa dipercaya. Ini cuman sebatas seks aja sih, gak lebih.”

“Ada benarnya juga.” kataku singkat.

“Tapi kalo aku, misalnya udah punya cowok atau suami, trus diajak threesome, aku sih maunya sama cowok aja, gak mau sama cewek. Dan cowoknya harus aku yang pilih.”

Pram kembali menggelengkan kepala, begitu juga denganku. Nina memang benar-benar memiliki fantasi yang liar dan panas.

“Udah ah.. ngomongin yang panasnya cukup. Ntar kalo aku jadi pengen malah repot.”

“Eehhhh.. pengen apa?” tanyaku.

“Pengen ngentot lah mbakku sayanggggg… masa pengen jungkir balik.”

“…..”

Pram kembali mengembuskan nafas panjang, entah apa yang ada dalam pikiran lelakiku.

♡♡♡ bersambung ♡♡♡

Part 5 akan rilis dalam beberapa jam kedepan.

Terima kasih :rose:
 
Part 4



Rindiani


Pagi-pagi buta aku telah terbangun dari tidurku saat adzan subuh berkumandang. Kupandangi tubuh telanjangku dan lelakiku, Pram yang masih terlelap.

Dengan lembut kukecup keningnya dan bersiap memulai hari baru. Sebuah langkah dalam perjalanan hidupku, yang mungkin akan membawa perubahan untukku dan masa depanku.

Ini adalah hari pertama aku bekerja, dan aku sudah tidak sabar untuk memulainya.

Sesaat setelah keluar dari mandi, aku mendapati Pram masih terlelap. Tidurnya begitu nyenyak setelah semalaman merapikan dan membersihkan kamar tidur yang berantakan karena percintaan panas kami.

Aku berdiri disamping ranjang dan kembali memandanginya sambil tersenyum.

Aku beruntung bisa mengenalmu’ gumaku dalam hati sambil membenahi selimut yang menutupi tubuhnya.

Sambil menyiapkan sarapan dalam keadaan telanjang, kunikmati keheningan pagi, seperti yang selalu dilakukan oleh Pram. Aku tak lagi merasakan beban hidupku, karena semuanya tampak sempurna, tidak ada sesuatu yang kurang. Aku kembali tersenyum seorang diri, didapur.

“Pagi bu..” sapa Pram dari arah belakang dan langsung memelukku erat.

“Pagi sayang.” balasku sambil mengecup pipinya yang berada disampingku.

Aku bisa merasakan penisnya menempel erat dibagian tubuhku. Pram pun sedang tidak mengenakan pakaian saat menyusulku ke dapur.

“Kopi? Teh?susu?” tanyaku.

“Kopi bu.”

“Susunya ini aja.” sambungnya sambil meremas lembut kedua payudaraku, memilin kedua putingku.

“Nakal..”

Pram tertawa lantas mengecup pipiku. Kedua tangannya meninggalkan payudara dan kembali memelukku erat.

Hampir sepuluh menit ia memelukku dengan sangat erat, hingga akhirnya melepaskan tubuhku dan berdiri disampingku.

Segelas kopi untuknya, dan segelas susu untukku tersaji, beserta pisang goreng.

“Udah siap kerja hari pertama?” tanyanya setelah menegguk kopi.

Aku mengangguk pelan, sambil mengunyah pisang goreng.

“Doain ibu biar bisa lancar kerjaannya.” kataku.

“Iya bu. Pasti saya doain.”

Selesai menyantap sarapan pagi, membereskan piring dan gelas, kami kembali ke kamar tidurku. Jam didinding menunjukkan hampir pukul lima pagi.

“Nanti pulang dari kampus jam berapa?” tanyaku sambil mengenakan Bra.

“Saya udah gak ada mata kuliah bu, cuman tinggal skripsi aja. Nanti mau ke perpustakaan dulu, trus mau ketemu dosen pembimbing.”

“Berarti semester ini santai dong.”

“Gak juga sih bu, mau ngejar beresin skripsi.” jawabnya sambil duduk di tepian ranjang.

“Semoga semuanya lancar ya sayang. Biar cepet lulus.” kataku, seraya meraih sehelai G-string dari dalam lemari.

Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum, lalu melangkah mendekat sambil menggengam celana dalam itu.

“Pakein celana dalamnya.” kataku manja sambil berdiri diantara kedua pahanya.

Pram tertawa sambil memegang pinggulku. Kedua tapak tangannya segera merayap perlahan ke bagian belakang, dan meremas lembut pantatku.

“Iya buuuu…” jawabnya singkat, lalu mengecup permukaan perutku.

Kuserahkan celana dalam itu padanya, dan ketika ia membuka lipatannya, ia tertawa sambil menatapku.

“Ini sih sama aja gak pakai celana dalam bu.” gumannya sambil memasukan jari ke bagian tengah celana dalam itu.

“Lhooo kata sayang kan harus pakai celana dalam.” protesku manja.

“Ini celana dalam open crocth sayang.. emang kayak gini ini modelnya. Biasanya emang bagian memeknya gak ketutup.” kataku lagi.

Pram memandangi celana dalam tersebut, lalu mulai memasangkannya pada pinggulku.

“Kalo pakai ini kan simpel. Kali aja pas ibu lagi kebelet pipis, atau mau main sama sayang, jadinya gak perlu copot celana dalam. Iya kan?”


Beberapa kali aku memutar tubuh dihadapannya, memamerkan celana dalam seksi yang telah terpasang di pinggulku.

Pram kembali tertawa sambil memandangi kemaluanku dan mengusapnya. Ia bangkit berdiri dan kembali memelukku, mengecup keningku dengan penuh rasa.

Aku membalas pelukannya, lalu melumat bibirnya dengan lembut. Sesaat setelah ciuman itu berakhir, pram, mengusap pipiku, lalu kembali mengecup keningku.

“Yuk, siap-siap berangkat.”

= = =

“Nanti kalo sayang gak bisa jemput, kabarin ibu ya, biar ibu gak nunggu.”

“Nanti saya jemput kok bu. Pulang jam lima kan?”

Aku mengangguk pelan. Dan sebelum keluar dari mobil, Pram mengecup keningku dengan mesra.

“Selamat bekerja bu.” ucapnya kemudian.

Kubalas dengan melumat bibirnya, pelan dan dengan penuh rasa sambil mengusap pipinya.

“Doakan ibu..” bisikku kemudian.

Pram mengangguk sambil menempelkan telapak tangannya dipipiku. Hampir dua menit kemudian ia pergi meninggalkanku, saat aku telah memasuki lobi hotel.

Senyum ramah para karyawan disana menyambutku, membukakan pintu untukku, dan mempersilahkanku masuk.

Aku hendak menaiki tangga bagian belakang untuk menuju ke ruang kerja ketika Bayu menghampiri dan menyapaku.

“Pagi bu..” sapanya dengan ramah.

“Pagi mas..”

“Kalo ibu mau ke ruang kerja, ibu bisa pakai lift di bagian depan.” katanya sambil mengiringi langkahku.

“Hanya bu Rindi dan bo bos, serta karyawan yang bertugas di lift yang boleh mengaksesnya.

“Lewat sini aja mas, itung-itung sekalian buat olahraga.”

Bayu tertawa, sambil terus mengiringi langkahku hingga di ruang kerjaku.

“Saya sudah minta laporan kerja tiap departemen selama tiga bulan belakangan. Nanti ibu pelajari dulu, lalu bandingkan per bulannya. Apakah ada penurunan, atau kenaikan, atau hal apa saja.” katanya, sambil memegang tumpukan file yang tersusun rapi dimejaku.

“Kalo ibu perlu saya, atau siapa saja, silahkan pakai telfon ini. Ini telfon paralel, dan daftarnya ada disini.” katanya lagi.

“Iya mas, makasih ya mas. Tolong saya dibantu ya, saya belum terlalu paham dengan semua pekerjaan ini.”

“Silahkan duduk bu.” katanya lagi.

“Oh iya, makasih mas.”

Untuk pertama kalinya, akhirnya duduk dikursi kerja yang sesungguhnya. Aku memiliki ruang kerja, memiliki meja kerja sendiri.

“Nanti, ibu bisa hubungi saya seandainya ada yang belum jelas.”

“Iya mas, makasih mas.” kataku.

Setelah bayu meninggalkan ruangan, aku kembali berdiri dan membuka tirai jendela ruang kerjaku. Kuhidupkan AC dan kembali duduk disana, membuka file laporan kerja yang diberikan oleh Bayu.

Kuhidupkan komputer dihadapanku, dan mulai melihat data-data yang ada disana, sebagai perbandingan.

Hampir dua jam aku berkutat dengan data-data tersebut, mempelajari beragam kode dan simbol serta istilah dalam manajemen perhotelan.

Dinginnya Ac membuat mataku sedikit mengantuk, sehingga aku memutuskan untuk beristirahat sejenak.

Aku segera keluar ruangan, menuruni tangga dan menemui Bayu. Saat memasuki ruangannya, Bayu nampak terkejut melihatku.

“Ada apa bu?”

“Mas, kalo mau buat kopi disebelah mana?” tanyaku sambil berdiri didepan mejanya.

Bayu tertawa pelan, lalu beranjak dari kursinya.

“Kalo ibu butuh sesuatu, makanan, atau minuman, ada office girl yang siap melayani ibu. Ibu cukup telfon bagian dapur, nanti diantarkan ke ruangan ibu.”

“Ooo gituuuu…” jawabku sambil tersenyum.

“Kalo ibu mau pergi-pergi, ada kendaraan yang siap mengantarkan, supirnya pun ada.” sambungnya.

Dengan semua fasilitas yang tersedia, tentu saja aku merasa takjub dan semakin bersemangat. Aku yakin, aku pasti mampu menghadapi pekerjaan ini.

“Okey, makasih mas Bayu.” kataku sebelum beranjak pergi.

Saat sedang menapaki tangga untuk kembali ke ruanganku, aku berpapasan dengan seorang karyawan wanita.

“Siang bu..” sapanya ramah.

“Iya, selamat siang.”

“Saya Lisa bu, dari bagian dapur.”

Aku mengulurkan tangan dan Lisa pun segera menyambutnya.

“Saya Rindiani. Biasa dipanggil Rindi.”

“Oh iya, saya bisa pesan kopi?”

“Bisa bu.”

“Kopi panas, jangan terlalu manis ya mbak.”

“Iya bu.”

“Okey, terima kasih Lisa.”

Sesampainya di ruanganku, aku berdiri sejenak didepan jendela, memandangi hiruk pikuk jalan raya dibawah sana. Tempat ini akan menjadi rumah ketiga bagiku, untuk beberapa waktu kedepan sehingga aku berusaha sebaik mungkin untung beradaptasi, menyamankan diriku dengan keadaan disekitarku.

Hampir sepuluh menit kemudian, terdengar ketukan pintu. Dan setelah mendengar suaraku, pintu itu terbuka. Lisa mengantarkan kopi pesananku.

“Lisa udah lama kerja disini?”

“Baru tiga tahun bu.”

“Wah, lumayan lama dong. Udah berkeluarga?”

“Iya bu, baru satu tahun menikah.”

Aku mengajaknya untuk duduk di sofa di samping meja kerjaku, sekedar untuk berbincang dengannya.

“Asli dari sini?”

“Bukan bu, saya dari temanggung.”

“Ooo.. temanggung. Pantes aja Lisa putih banget. Ternyata dari daerah sana.”

“Dulu sekolah disini?”

“Iya bu, saya SMA dan kuliah disini.”

“Lhooo.. Lisa kuliah?? Ambil jurusan apa??”

“Iya bu, saya ambil jurusan perhotelan. Tapi cuman D3 aja bu.”

“Kenapa lisa bisa kerja di bagian dapur?” tanyaku heran.

“Gapapa bu, waktu saya kirim lamaran kerjaan, kebetulan posisi yang kosong ya cuman bagian dapur.”

“Saya butuh kerjaan ini bu, buat pengalaman.”

“Suami dikampung atau disini?”

“Dikampung bu.”

“Disini kost?”

“Iya bu.”

“Baiklah Lisa, tetap semangat bekerja ya. Saya juga baru disini, jadi tolong bantu saya.”

Lisa mengangguk, lalu pamit undur diri untuk kembali bekerja.

Dan akhirnya aku kembali berkubang dengan tumpukan data-data hingga berjam-jam lamanya, ditemani segelas kopi.

Aku memfokuskan perhatian pada arus keuangan, dimana omset pendapatan selama beberapa tahun kebelakang cenderung stagnan. Hampir tidak ada peningkatan yang berarti.

Kubuka juga file dari divisi marketing, dan melihat laporan kegiatan, kinerja selama beberapa tahun kebelakang. Dari penilaianku secara singkat, semua berjalan normal. Hotel tidak mengalami devisit, atau bisa dikatakan sehat sebagai sebuah badan usaha.

Rumit banget..’ gumanku dalam hati.

Aku benar-benar lupa waktu, lupa akan segalanya ketika akhirnya ponselku berdering. Pram menelponku dan mengabarkan bahwa ia telah berada di parkiran hotel untuk menjemputku.

Kutepuk keningku sendiri. Heran bercampur kaget setelah melihat jam di dinding telah menunjukkan pukul lima sore.

Aku melewatkan jam makan siang, bahkan melupakan lelakiku, sekedar untuk menyapanya. Aku lupa akan segalanya.

Saat keluar dari pintu lift, aku melangkah mendekati bagian front office. Senyum ramah seorang wanita muda nan cantik menyambutku.

“Selamat sore bu.. mau pulang?” tanyanya.

“Iya, selamat sore. Mau pulang.”

Aku segera mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengannya.

“Rindiani.” kataku.

“Veny.” balasnya sambil tersenyum ramah.

“Veny pulang jam berapa?” tanyaku.

“Nanti jam enam bu, pergantian sift.”

“Ooo… okey. Maaf, saya baru disini, jadi belum banyak mengetahui lingkungan kerja kita disini.”

“Iya, gapapa bu.”

“Saya pamit ya Ven, selamat bekerja.” kataku lagi.

Saat melewati pintu depan, aku melangkah cepat menuju ke mobil yang terparkir tak jauh dari pintu masuk area parkiran.

Senyum manis lelakiku langsung menyambutku saat aku membuka pintu. Dan ketika aku telah menutup pintu, aku bergeser mendekat ke arahnya. Kuusap pipi lelakiku dengan lembut, mendekatkan wajahku, lalu melumat bibirnya. Pram membalas ciumanku dengan mesra, dan akhirnya sebuah kecupan pun mendarat di keningku.

“Sayang, kita langsung ke kost Nina ya.”

“Gak pulang dulu?? Ibu gak kecapekan??”

Aku menggelengkan kepala.

“Seharian cuman mempelajari laporan-laporan departemen.”

“Ibu gak capek kok, cuman lehernya pegel aja.” sambungku sambil memegang tengkuk dan mengerakkan leher.

“Nanti saya pijetin bu.”

Aku kembali tersenyum dan menyandarkan kepalaku di pundaknya.

“Cuman di pijetin aja?” tanyaku genit sambil mengusap dadanya.

Pram tertawa, satu tangannya melepaskan stir dan kembali mengusap pipi kiriku.

“Binal..” bisiknya lembut, lalu mengecup permukaan jilbab yang menutupi kepalaku.

Aku tertawa, dan mempererat pelukanku pada pinggangnya.

Hampir sepuluh menit kemudian, kami tiba di kost Nina. Karena Pram telah mengabarkan padanya tentang kedatangan kami, ia telah menunggu kami didepan kamar tidurnya.

“Uuuuhhhhhh.. kakakku seksi abissssss…” gumannya saat melihat kehadiranku dan Pram yang berjalan disisiku.

Kami menghampirinya dan aku disambut dengan pelukan hangat.

“Yang seksi itu kamu dek.. itu celana pendek banget, ketat lagi.. gak malu sama Pram?” tanyaku, sambil mengiringi langkahnya memasuki kamar.


“Gak mungkin Pram tergoda. Gak mungkin banget. Mbak Rin lebih seksi dan montok, bohay banget.” balasnya sambil duduk dilantai.

Aku dan Pram pun ikut duduk bersamanya diatas tikar plastik.

“Sayang, jangan tergoda yaaa?” kataku pada Pram.

Lelakiku hanya tertawa pelan sambil menggelengkan kepala.

“Tuh.. gak bakal tergoda kok.. mbak tenang aja deh.. walaupun aku telanjang, paling juga cuman dicuekin sama dia.” kata Nina.

“Hadduuhhhh… udah.. udah.. kita omongin tentang masalah Galang aja..”

“Iyaa kakakku cantikkkk.”

Nina kembali berdiri dan berjalan ke arah meja belajarnya. Diraihnya selembar kertas dan meletakkannya dihadapanku.

“Tadi kami sempet ngobrol juga. Nah, untuk sumbangan teman-teman itu segini per bulannya mbak.” kata Nina.

“Deva 300 ribu. Rita 300 ribu. Topan 500 ribu.”

“Kalo untuk keluarganya, mbak sih bisa mengira-ngira per bulannya sekitar tiga juta.” kataku.

“Itu udah semuanya bu? Sama kebutuhan dapur?” tanya Pram.

Aku mengangguk pelan.

“Nah, kalo untuk uang bulanan buat Galang, aku sih mikirnya sejuta udah cukup.” timpal Nina.

“Iya, segitu udah cukup.” sahut Pram.

“Berarti, setiap bulannya, sekitar empat juta. Untuk keluarganya tiga juta. Untuk Galang sendiri satu juta.” gumanku.

“Aku bisa kasih dua juta per bulan mbak.” kata Nina.

Tentu saja aku terkejut dengan ucapannya.

“Dua juta??? Kamu yakin??” tanyaku.

“Iya.. yakin.. aku udah ceritain semuanya ke orang tuaku. Aku bilang ke mereka kalo Galang adalah teman yang udah mengubah aku, benerin kuliahku sampe sekarang. Orang tuaku sih bilang gak masalah. Mereka mau membantu kok.”

Pram mengangguk pelan.

“Tiga juta juga bisa kok. Nanti jatah bulananku aku potong dikit buat Galang.”

“Pram, gimana?” tanya Nina.

“Saya bisa kasih dua juta per bulan Nin.” jawab lelakiku.

“Oke, duit dari kalian berdua udah empat juta. Kalo dijumlahkan sama punya Rita, Deva, Topan, totalnya lima juta seratus ribu.

“Mbak mau nyumbang berapa? Itu udah lebih dari cukup lhoo.” kata Nina.

“Untuk sementara ini, ibu gak perlu ikut menyumbang.” Kata Pram.

“Kita lihat situasi dan perkembangan dulu.” sambungnya.

Aku dan Nina mengangguk bersamaan.

“Uangnya besok di transfer Nin.” kata Pram sambil mengeluarkan setumpuk uang dan menyerahkannya pada Nina.

“Iya Pram, besok pagi aku transfer.”

Nina menerima uang tersebut dan meletakkannya dalam laci meja belajarnya.

“Kalian mau minum? Ini ada sirup lhoo.” katanya.

“Boleh..” jawab Pram.

Nina membuat tiga gelas sirup dan menghidangkannya untuk kami. Tak lupa ia menyertakan cemilan sebagai teman ngobrol kami.

“Gimana kerjaannya mbak Rin?” tanyanya.

“Baru hari pertama sih Nin, jadi ya masih belum tau. Tapi kayaknya sih bakalan berat.”

“Santai aja sih mbak, pasti mbak bisa kok. Kalo masih awal kan emang biasanya gitu. Tapi pas udah dijalani, udah ngerti, jadi kayak biasa aja.”

“Lagian kan ada Pram. Ada penyemangat kerja..” sambungnya.

“Pasti semangat sih Nin. Moga aja mbak mampu deh.”

“Ngomong-ngomong, Nina punya keluarga disini?”

“Enggak mbak. Gak ada keluarga sama sekali.”

“Emang Nina berapa bersaudara?” tanyaku lagi.

“Empat mbak, aku bungsu dan perempuan sendiri. Kakakku semua cowok.”

“Wah.. jadi paling cantik sendiri dong..”

“Tapi lebih asik kalo punya saudara cewek mbak, ada temen curhat, temen main. Kalo cowok semua kan gak asik.”

“Oh iya Nin, hampir kelupaan. Adiknya Galang satu aja? Cewek?” tanya Pram.

“Iya, satu. Cewek.”

“Sekarang udah SMA. Pinter kayak Galang. Sejak SD sampe sekarang selalu masuk tiga besar terbaik disekolah” sambungnya.

“Kok kamu tahu banyak tentang keluarga Galang?” tanyaku.

“Ya nanya dong mbak.. aku kan bukan peramal..”

“…..”

Pram tertawa, sementara aku hanya melongo mendengar jawabannya.

“Kalo lagi bosen di kost, kadang aku main ke kost Galang.

Dulu waktu Pram masih ngontrak rumah, aku juga sering main kesana kok.”

“Iya.. sekarang udah ngekost, jadi kamu males main.” timpal Pram.

“Bukan males sih Pram. Tapi kan kostmu jauh. Udah gitu aku gak enak kalo sering main kesana. Takut gangguin kalian.”

“Gangguin apaan sih?” protesku.

Nina tertawa sambil memainkan alis matanya. Raut wajah jahil mulai nampak disana.

“Dulu aku pernah main ke kontrakan Pram. Pas sampe sana, langsung masuk kamar mandi karena kebelet pipis. Sangking kebeletnya, aku masuk kamar mandi langsung jongkok, gak tutup pintu. Tau-tau Pram berdiri didepan pintu. Dia bengong liat aku pipis.”

“Aku juga kaget sih, tapi gak bisa ngapa-ngapain, soalnya pas kencingnya lagi keluar. Jadi ya aku masa bodo aja. Lagian Pram gitu lhooo.. dia kan anak baik.”

Pram tertawa pelan sambil menundukkan wajahnya. Tampaknya ia malu dengan cerita Nina.

“Kok bisa?? Emang kamu gak ijin sama Pram kalo mau pipis??” tanyaku.

“Boro-boro ijin. Pipisnya udah gak nahan, bisa-bisa ngompol aku mbak.”

“Trus gimana?” tanyaku penasaran.

“Trus Pram nutup pintunya. Gitu doang.”

Aku tertawa mendengar cerita Nina. Aku yakin, Nina tidak berbohong dengan cerita tersebut. Pram sungguh lelaki yang baik.

“Coba kalo sama cowok lain. Mungkin aku udah diperkosa kalik mbak.” sambungnya.

Kulihat wajah lelakiku memerah karena mendengar apa yang Nina ceritakan. Baru kali ini aku memdengar kisah ini, karena Pram tidak pernah menceritakannya padaku.

“Oh iya, tadi Rita kok kayak gak asik ya.. biasanya selalu godain Pram, seneng banget ngerjain Pram. Tapi tadi kok kayak kalem gitu.. rada aneh.” kata Nina lagi.

Aku tertawa, begitu juga dengan Pram. Kuceritakan pada Nina tentang kejadian kemarin sore, saat Rita datang berkunjung ke rumahku, dimana aku dan Pram mengerjainya habis-habisan. Nina pun tertawa mendengar kisahku.

“Pasti dia kapok, gak berani usil sama Pram lagi.”

“Kadang anak itu emang ngeselin banget Nin.” timpal Pram.

“Rita gak berani sih. Coba kalo aku yang digituin, pasti aku mau.”

“Lhoooooo….? Kok…??” tanyaku heran.

Nina tertawa, sementara Pram tersenyum sambil menggelengkan kepala.

“Kan cuman lihat titit doang. Daripada lihat di internet mulu, lihat di film bokep mulu, sesekali lihat titit beneran dong, biar gak bosen.”

“Hadduuhhhhhhh… bener-bener salah orang. Harusnya mbak gak cerita ke kamu deh Nin.”

“Idih.. selow aja mbak. Aku sih santai kok. Lagian kan aku kenal mbak, kenal Pram juga. Seandainya pun emang beneran, pasti kalian gak akan ember ke orang lain kan?”

Aku menggelengkan kepala, heran dengan kegilaan Nina.

“Bu.. Nina ini sama gilanya sama Rita. Cuman bedanya Nina usilnya kalo lagi sendirian gini. Kalo sama temen-temen lain, dia diem, tenang.” kata Pram.

Nina tertawa, lalu menyeruput minuman di gelasnya.

“Kalo sama yang lain, aku rada sungkan sih Pram. Kalo sama kamu kan beda. Asik aja. Sama mbak Rin juga gitu. Walaupun baru kenal, tapi rasanya asik aja sih.”

“Iya sih, mbak juga ngerasa kayak gitu. Tapi gak tau gimana Rita, soalnya belum terlalu kenal dia Nin. Sejauh ini sih orangnya asik, walaupun usilnya udah level neraka.” timpalku.

“Rita itu ya gitu mbak. Usil, nakal, tapi baik kok.”

“Makanya aku males ganti pakaian waktu tau mbak sama Pram mau kesini. Cuek aja.”

“Astagaaa.. tapi ya gak gitu juga kali deekkkkk..” protesku sambil mencubit pinggangnya.

“Itu celana udah pendek, ketet lagi. Tuh memeknya nyetak banget.” sambungku.

Nina menundukkan wajah dan melihat ke arah selangkangannya.

“Biasa aja kok mbak. Iya kan Pram?” tanyanya pada lelakiku.

Pram menghela nafas panjang, sambil memalingkan wajahnya. Nampaknya ia ingin menghindari menatap ke arah pangkal paha Nina.

“Kalo tiba-tiba Pram pengen gimana??” tanyaku.

“Ya gak mungkin dong mbak..” jawabnya santai.

“Seandainya pun dia pengen, aku sih oke aja. Yang penting mainnya bertiga, sama mbak juga, biar gak dikatain selingkuh.” sambungnya.

Pram masih memandang ke arah lain sambil menepuk keningnya, lalu menggelengakn kepala.

“Mulai dah..” gumannya pelan.

“Threesome??” tanyaku lagi.

Nina mengangguk.

“Tapi hanya sebatas seks, gak boleh main hati.”

“Mampus..” guman Pram pelan.

Aku dan Nina tertawa melihat tingkah Pram yang tampaknya heran dan kaget dengan topik yang kami perbincangkan.

“Gilaaaa…” gumanku.

Nina tertawa pelan, lalu meraih makanan ringan yang ia sajikan dan menyantapnya.

“Bukan gila sih mbak, tapi variasi aja, just for fun aja.”

“Tapi terlalu ekstrim Nin.. variasi sih bagus, biar gak bosen, tapi kan aneh.” sahut Pram.

“Kalo menurut aku sih gak aneh Pram. Yang penting kalian harus punya komitmen yang kuat. Saling percaya, dan partner ketiga pun orang yang bisa dipercaya. Ini cuman sebatas seks aja sih, gak lebih.”

“Ada benarnya juga.” kataku singkat.

“Tapi kalo aku, misalnya udah punya cowok atau suami, trus diajak threesome, aku sih maunya sama cowok aja, gak mau sama cewek. Dan cowoknya harus aku yang pilih.”

Pram kembali menggelengkan kepala, begitu juga denganku. Nina memang benar-benar memiliki fantasi yang liar dan panas.

“Udah ah.. ngomongin yang panasnya cukup. Ntar kalo aku jadi pengen malah repot.”

“Eehhhh.. pengen apa?” tanyaku.

“Pengen ngentot lah mbakku sayanggggg… masa pengen jungkir balik.”

“…..”

Pram kembali mengembuskan nafas panjang, entah apa yang ada dalam pikiran lelakiku.

♡♡♡ bersambung ♡♡♡

Part 5 akan rilis dalam beberapa jam kedepan.


Terima kasih :rose:
Terima kasih update nya
 
Alhamdulillah, di malam sebelum lebaran ada THR dari sista, makasih banyak sista atas apdate nya...

Waah, ada part 5 nih,, jarang² loh dikasi lebih dari 4 part... Wkwkwk
Baik banget sista
:Peace: :Peace:
 
seneng bangt baca rindiani....semoga ceritanya bs sampai tamat.syukur2 ada yg baru lg.terimakasih merahnya yg delima
 
Part 4



Rindiani


Pagi-pagi buta aku telah terbangun dari tidurku saat adzan subuh berkumandang. Kupandangi tubuh telanjangku dan lelakiku, Pram yang masih terlelap.

Dengan lembut kukecup keningnya dan bersiap memulai hari baru. Sebuah langkah dalam perjalanan hidupku, yang mungkin akan membawa perubahan untukku dan masa depanku.

Ini adalah hari pertama aku bekerja, dan aku sudah tidak sabar untuk memulainya.

Sesaat setelah keluar dari mandi, aku mendapati Pram masih terlelap. Tidurnya begitu nyenyak setelah semalaman merapikan dan membersihkan kamar tidur yang berantakan karena percintaan panas kami.

Aku berdiri disamping ranjang dan kembali memandanginya sambil tersenyum.

Aku beruntung bisa mengenalmu’ gumaku dalam hati sambil membenahi selimut yang menutupi tubuhnya.

Sambil menyiapkan sarapan dalam keadaan telanjang, kunikmati keheningan pagi, seperti yang selalu dilakukan oleh Pram. Aku tak lagi merasakan beban hidupku, karena semuanya tampak sempurna, tidak ada sesuatu yang kurang. Aku kembali tersenyum seorang diri, didapur.

“Pagi bu..” sapa Pram dari arah belakang dan langsung memelukku erat.

“Pagi sayang.” balasku sambil mengecup pipinya yang berada disampingku.

Aku bisa merasakan penisnya menempel erat dibagian tubuhku. Pram pun sedang tidak mengenakan pakaian saat menyusulku ke dapur.

“Kopi? Teh?susu?” tanyaku.

“Kopi bu.”

“Susunya ini aja.” sambungnya sambil meremas lembut kedua payudaraku, memilin kedua putingku.

“Nakal..”

Pram tertawa lantas mengecup pipiku. Kedua tangannya meninggalkan payudara dan kembali memelukku erat.

Hampir sepuluh menit ia memelukku dengan sangat erat, hingga akhirnya melepaskan tubuhku dan berdiri disampingku.

Segelas kopi untuknya, dan segelas susu untukku tersaji, beserta pisang goreng.

“Udah siap kerja hari pertama?” tanyanya setelah menegguk kopi.

Aku mengangguk pelan, sambil mengunyah pisang goreng.

“Doain ibu biar bisa lancar kerjaannya.” kataku.

“Iya bu. Pasti saya doain.”

Selesai menyantap sarapan pagi, membereskan piring dan gelas, kami kembali ke kamar tidurku. Jam didinding menunjukkan hampir pukul lima pagi.

“Nanti pulang dari kampus jam berapa?” tanyaku sambil mengenakan Bra.

“Saya udah gak ada mata kuliah bu, cuman tinggal skripsi aja. Nanti mau ke perpustakaan dulu, trus mau ketemu dosen pembimbing.”

“Berarti semester ini santai dong.”

“Gak juga sih bu, mau ngejar beresin skripsi.” jawabnya sambil duduk di tepian ranjang.

“Semoga semuanya lancar ya sayang. Biar cepet lulus.” kataku, seraya meraih sehelai G-string dari dalam lemari.

Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum, lalu melangkah mendekat sambil menggengam celana dalam itu.

“Pakein celana dalamnya.” kataku manja sambil berdiri diantara kedua pahanya.

Pram tertawa sambil memegang pinggulku. Kedua tapak tangannya segera merayap perlahan ke bagian belakang, dan meremas lembut pantatku.

“Iya buuuu…” jawabnya singkat, lalu mengecup permukaan perutku.

Kuserahkan celana dalam itu padanya, dan ketika ia membuka lipatannya, ia tertawa sambil menatapku.

“Ini sih sama aja gak pakai celana dalam bu.” gumannya sambil memasukan jari ke bagian tengah celana dalam itu.

“Lhooo kata sayang kan harus pakai celana dalam.” protesku manja.

“Ini celana dalam open crocth sayang.. emang kayak gini ini modelnya. Biasanya emang bagian memeknya gak ketutup.” kataku lagi.

Pram memandangi celana dalam tersebut, lalu mulai memasangkannya pada pinggulku.

“Kalo pakai ini kan simpel. Kali aja pas ibu lagi kebelet pipis, atau mau main sama sayang, jadinya gak perlu copot celana dalam. Iya kan?”


Beberapa kali aku memutar tubuh dihadapannya, memamerkan celana dalam seksi yang telah terpasang di pinggulku.

Pram kembali tertawa sambil memandangi kemaluanku dan mengusapnya. Ia bangkit berdiri dan kembali memelukku, mengecup keningku dengan penuh rasa.

Aku membalas pelukannya, lalu melumat bibirnya dengan lembut. Sesaat setelah ciuman itu berakhir, pram, mengusap pipiku, lalu kembali mengecup keningku.

“Yuk, siap-siap berangkat.”

= = =

“Nanti kalo sayang gak bisa jemput, kabarin ibu ya, biar ibu gak nunggu.”

“Nanti saya jemput kok bu. Pulang jam lima kan?”

Aku mengangguk pelan. Dan sebelum keluar dari mobil, Pram mengecup keningku dengan mesra.

“Selamat bekerja bu.” ucapnya kemudian.

Kubalas dengan melumat bibirnya, pelan dan dengan penuh rasa sambil mengusap pipinya.

“Doakan ibu..” bisikku kemudian.

Pram mengangguk sambil menempelkan telapak tangannya dipipiku. Hampir dua menit kemudian ia pergi meninggalkanku, saat aku telah memasuki lobi hotel.

Senyum ramah para karyawan disana menyambutku, membukakan pintu untukku, dan mempersilahkanku masuk.

Aku hendak menaiki tangga bagian belakang untuk menuju ke ruang kerja ketika Bayu menghampiri dan menyapaku.

“Pagi bu..” sapanya dengan ramah.

“Pagi mas..”

“Kalo ibu mau ke ruang kerja, ibu bisa pakai lift di bagian depan.” katanya sambil mengiringi langkahku.

“Hanya bu Rindi dan bo bos, serta karyawan yang bertugas di lift yang boleh mengaksesnya.

“Lewat sini aja mas, itung-itung sekalian buat olahraga.”

Bayu tertawa, sambil terus mengiringi langkahku hingga di ruang kerjaku.

“Saya sudah minta laporan kerja tiap departemen selama tiga bulan belakangan. Nanti ibu pelajari dulu, lalu bandingkan per bulannya. Apakah ada penurunan, atau kenaikan, atau hal apa saja.” katanya, sambil memegang tumpukan file yang tersusun rapi dimejaku.

“Kalo ibu perlu saya, atau siapa saja, silahkan pakai telfon ini. Ini telfon paralel, dan daftarnya ada disini.” katanya lagi.

“Iya mas, makasih ya mas. Tolong saya dibantu ya, saya belum terlalu paham dengan semua pekerjaan ini.”

“Silahkan duduk bu.” katanya lagi.

“Oh iya, makasih mas.”

Untuk pertama kalinya, akhirnya duduk dikursi kerja yang sesungguhnya. Aku memiliki ruang kerja, memiliki meja kerja sendiri.

“Nanti, ibu bisa hubungi saya seandainya ada yang belum jelas.”

“Iya mas, makasih mas.” kataku.

Setelah bayu meninggalkan ruangan, aku kembali berdiri dan membuka tirai jendela ruang kerjaku. Kuhidupkan AC dan kembali duduk disana, membuka file laporan kerja yang diberikan oleh Bayu.

Kuhidupkan komputer dihadapanku, dan mulai melihat data-data yang ada disana, sebagai perbandingan.

Hampir dua jam aku berkutat dengan data-data tersebut, mempelajari beragam kode dan simbol serta istilah dalam manajemen perhotelan.

Dinginnya Ac membuat mataku sedikit mengantuk, sehingga aku memutuskan untuk beristirahat sejenak.

Aku segera keluar ruangan, menuruni tangga dan menemui Bayu. Saat memasuki ruangannya, Bayu nampak terkejut melihatku.

“Ada apa bu?”

“Mas, kalo mau buat kopi disebelah mana?” tanyaku sambil berdiri didepan mejanya.

Bayu tertawa pelan, lalu beranjak dari kursinya.

“Kalo ibu butuh sesuatu, makanan, atau minuman, ada office girl yang siap melayani ibu. Ibu cukup telfon bagian dapur, nanti diantarkan ke ruangan ibu.”

“Ooo gituuuu…” jawabku sambil tersenyum.

“Kalo ibu mau pergi-pergi, ada kendaraan yang siap mengantarkan, supirnya pun ada.” sambungnya.

Dengan semua fasilitas yang tersedia, tentu saja aku merasa takjub dan semakin bersemangat. Aku yakin, aku pasti mampu menghadapi pekerjaan ini.

“Okey, makasih mas Bayu.” kataku sebelum beranjak pergi.

Saat sedang menapaki tangga untuk kembali ke ruanganku, aku berpapasan dengan seorang karyawan wanita.

“Siang bu..” sapanya ramah.

“Iya, selamat siang.”

“Saya Lisa bu, dari bagian dapur.”

Aku mengulurkan tangan dan Lisa pun segera menyambutnya.

“Saya Rindiani. Biasa dipanggil Rindi.”

“Oh iya, saya bisa pesan kopi?”

“Bisa bu.”

“Kopi panas, jangan terlalu manis ya mbak.”

“Iya bu.”

“Okey, terima kasih Lisa.”

Sesampainya di ruanganku, aku berdiri sejenak didepan jendela, memandangi hiruk pikuk jalan raya dibawah sana. Tempat ini akan menjadi rumah ketiga bagiku, untuk beberapa waktu kedepan sehingga aku berusaha sebaik mungkin untung beradaptasi, menyamankan diriku dengan keadaan disekitarku.

Hampir sepuluh menit kemudian, terdengar ketukan pintu. Dan setelah mendengar suaraku, pintu itu terbuka. Lisa mengantarkan kopi pesananku.

“Lisa udah lama kerja disini?”

“Baru tiga tahun bu.”

“Wah, lumayan lama dong. Udah berkeluarga?”

“Iya bu, baru satu tahun menikah.”

Aku mengajaknya untuk duduk di sofa di samping meja kerjaku, sekedar untuk berbincang dengannya.

“Asli dari sini?”

“Bukan bu, saya dari temanggung.”

“Ooo.. temanggung. Pantes aja Lisa putih banget. Ternyata dari daerah sana.”

“Dulu sekolah disini?”

“Iya bu, saya SMA dan kuliah disini.”

“Lhooo.. Lisa kuliah?? Ambil jurusan apa??”

“Iya bu, saya ambil jurusan perhotelan. Tapi cuman D3 aja bu.”

“Kenapa lisa bisa kerja di bagian dapur?” tanyaku heran.

“Gapapa bu, waktu saya kirim lamaran kerjaan, kebetulan posisi yang kosong ya cuman bagian dapur.”

“Saya butuh kerjaan ini bu, buat pengalaman.”

“Suami dikampung atau disini?”

“Dikampung bu.”

“Disini kost?”

“Iya bu.”

“Baiklah Lisa, tetap semangat bekerja ya. Saya juga baru disini, jadi tolong bantu saya.”

Lisa mengangguk, lalu pamit undur diri untuk kembali bekerja.

Dan akhirnya aku kembali berkubang dengan tumpukan data-data hingga berjam-jam lamanya, ditemani segelas kopi.

Aku memfokuskan perhatian pada arus keuangan, dimana omset pendapatan selama beberapa tahun kebelakang cenderung stagnan. Hampir tidak ada peningkatan yang berarti.

Kubuka juga file dari divisi marketing, dan melihat laporan kegiatan, kinerja selama beberapa tahun kebelakang. Dari penilaianku secara singkat, semua berjalan normal. Hotel tidak mengalami devisit, atau bisa dikatakan sehat sebagai sebuah badan usaha.

Rumit banget..’ gumanku dalam hati.

Aku benar-benar lupa waktu, lupa akan segalanya ketika akhirnya ponselku berdering. Pram menelponku dan mengabarkan bahwa ia telah berada di parkiran hotel untuk menjemputku.

Kutepuk keningku sendiri. Heran bercampur kaget setelah melihat jam di dinding telah menunjukkan pukul lima sore.

Aku melewatkan jam makan siang, bahkan melupakan lelakiku, sekedar untuk menyapanya. Aku lupa akan segalanya.

Saat keluar dari pintu lift, aku melangkah mendekati bagian front office. Senyum ramah seorang wanita muda nan cantik menyambutku.

“Selamat sore bu.. mau pulang?” tanyanya.

“Iya, selamat sore. Mau pulang.”

Aku segera mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengannya.

“Rindiani.” kataku.

“Veny.” balasnya sambil tersenyum ramah.

“Veny pulang jam berapa?” tanyaku.

“Nanti jam enam bu, pergantian sift.”

“Ooo… okey. Maaf, saya baru disini, jadi belum banyak mengetahui lingkungan kerja kita disini.”

“Iya, gapapa bu.”

“Saya pamit ya Ven, selamat bekerja.” kataku lagi.

Saat melewati pintu depan, aku melangkah cepat menuju ke mobil yang terparkir tak jauh dari pintu masuk area parkiran.

Senyum manis lelakiku langsung menyambutku saat aku membuka pintu. Dan ketika aku telah menutup pintu, aku bergeser mendekat ke arahnya. Kuusap pipi lelakiku dengan lembut, mendekatkan wajahku, lalu melumat bibirnya. Pram membalas ciumanku dengan mesra, dan akhirnya sebuah kecupan pun mendarat di keningku.

“Sayang, kita langsung ke kost Nina ya.”

“Gak pulang dulu?? Ibu gak kecapekan??”

Aku menggelengkan kepala.

“Seharian cuman mempelajari laporan-laporan departemen.”

“Ibu gak capek kok, cuman lehernya pegel aja.” sambungku sambil memegang tengkuk dan mengerakkan leher.

“Nanti saya pijetin bu.”

Aku kembali tersenyum dan menyandarkan kepalaku di pundaknya.

“Cuman di pijetin aja?” tanyaku genit sambil mengusap dadanya.

Pram tertawa, satu tangannya melepaskan stir dan kembali mengusap pipi kiriku.

“Binal..” bisiknya lembut, lalu mengecup permukaan jilbab yang menutupi kepalaku.

Aku tertawa, dan mempererat pelukanku pada pinggangnya.

Hampir sepuluh menit kemudian, kami tiba di kost Nina. Karena Pram telah mengabarkan padanya tentang kedatangan kami, ia telah menunggu kami didepan kamar tidurnya.

“Uuuuhhhhhh.. kakakku seksi abissssss…” gumannya saat melihat kehadiranku dan Pram yang berjalan disisiku.

Kami menghampirinya dan aku disambut dengan pelukan hangat.

“Yang seksi itu kamu dek.. itu celana pendek banget, ketat lagi.. gak malu sama Pram?” tanyaku, sambil mengiringi langkahnya memasuki kamar.


“Gak mungkin Pram tergoda. Gak mungkin banget. Mbak Rin lebih seksi dan montok, bohay banget.” balasnya sambil duduk dilantai.

Aku dan Pram pun ikut duduk bersamanya diatas tikar plastik.

“Sayang, jangan tergoda yaaa?” kataku pada Pram.

Lelakiku hanya tertawa pelan sambil menggelengkan kepala.

“Tuh.. gak bakal tergoda kok.. mbak tenang aja deh.. walaupun aku telanjang, paling juga cuman dicuekin sama dia.” kata Nina.

“Hadduuhhhh… udah.. udah.. kita omongin tentang masalah Galang aja..”

“Iyaa kakakku cantikkkk.”

Nina kembali berdiri dan berjalan ke arah meja belajarnya. Diraihnya selembar kertas dan meletakkannya dihadapanku.

“Tadi kami sempet ngobrol juga. Nah, untuk sumbangan teman-teman itu segini per bulannya mbak.” kata Nina.

“Deva 300 ribu. Rita 300 ribu. Topan 500 ribu.”

“Kalo untuk keluarganya, mbak sih bisa mengira-ngira per bulannya sekitar tiga juta.” kataku.

“Itu udah semuanya bu? Sama kebutuhan dapur?” tanya Pram.

Aku mengangguk pelan.

“Nah, kalo untuk uang bulanan buat Galang, aku sih mikirnya sejuta udah cukup.” timpal Nina.

“Iya, segitu udah cukup.” sahut Pram.

“Berarti, setiap bulannya, sekitar empat juta. Untuk keluarganya tiga juta. Untuk Galang sendiri satu juta.” gumanku.

“Aku bisa kasih dua juta per bulan mbak.” kata Nina.

Tentu saja aku terkejut dengan ucapannya.

“Dua juta??? Kamu yakin??” tanyaku.

“Iya.. yakin.. aku udah ceritain semuanya ke orang tuaku. Aku bilang ke mereka kalo Galang adalah teman yang udah mengubah aku, benerin kuliahku sampe sekarang. Orang tuaku sih bilang gak masalah. Mereka mau membantu kok.”

Pram mengangguk pelan.

“Tiga juta juga bisa kok. Nanti jatah bulananku aku potong dikit buat Galang.”

“Pram, gimana?” tanya Nina.

“Saya bisa kasih dua juta per bulan Nin.” jawab lelakiku.

“Oke, duit dari kalian berdua udah empat juta. Kalo dijumlahkan sama punya Rita, Deva, Topan, totalnya lima juta seratus ribu.

“Mbak mau nyumbang berapa? Itu udah lebih dari cukup lhoo.” kata Nina.

“Untuk sementara ini, ibu gak perlu ikut menyumbang.” Kata Pram.

“Kita lihat situasi dan perkembangan dulu.” sambungnya.

Aku dan Nina mengangguk bersamaan.

“Uangnya besok di transfer Nin.” kata Pram sambil mengeluarkan setumpuk uang dan menyerahkannya pada Nina.

“Iya Pram, besok pagi aku transfer.”

Nina menerima uang tersebut dan meletakkannya dalam laci meja belajarnya.

“Kalian mau minum? Ini ada sirup lhoo.” katanya.

“Boleh..” jawab Pram.

Nina membuat tiga gelas sirup dan menghidangkannya untuk kami. Tak lupa ia menyertakan cemilan sebagai teman ngobrol kami.

“Gimana kerjaannya mbak Rin?” tanyanya.

“Baru hari pertama sih Nin, jadi ya masih belum tau. Tapi kayaknya sih bakalan berat.”

“Santai aja sih mbak, pasti mbak bisa kok. Kalo masih awal kan emang biasanya gitu. Tapi pas udah dijalani, udah ngerti, jadi kayak biasa aja.”

“Lagian kan ada Pram. Ada penyemangat kerja..” sambungnya.

“Pasti semangat sih Nin. Moga aja mbak mampu deh.”

“Ngomong-ngomong, Nina punya keluarga disini?”

“Enggak mbak. Gak ada keluarga sama sekali.”

“Emang Nina berapa bersaudara?” tanyaku lagi.

“Empat mbak, aku bungsu dan perempuan sendiri. Kakakku semua cowok.”

“Wah.. jadi paling cantik sendiri dong..”

“Tapi lebih asik kalo punya saudara cewek mbak, ada temen curhat, temen main. Kalo cowok semua kan gak asik.”

“Oh iya Nin, hampir kelupaan. Adiknya Galang satu aja? Cewek?” tanya Pram.

“Iya, satu. Cewek.”

“Sekarang udah SMA. Pinter kayak Galang. Sejak SD sampe sekarang selalu masuk tiga besar terbaik disekolah” sambungnya.

“Kok kamu tahu banyak tentang keluarga Galang?” tanyaku.

“Ya nanya dong mbak.. aku kan bukan peramal..”

“…..”

Pram tertawa, sementara aku hanya melongo mendengar jawabannya.

“Kalo lagi bosen di kost, kadang aku main ke kost Galang.

Dulu waktu Pram masih ngontrak rumah, aku juga sering main kesana kok.”

“Iya.. sekarang udah ngekost, jadi kamu males main.” timpal Pram.

“Bukan males sih Pram. Tapi kan kostmu jauh. Udah gitu aku gak enak kalo sering main kesana. Takut gangguin kalian.”

“Gangguin apaan sih?” protesku.

Nina tertawa sambil memainkan alis matanya. Raut wajah jahil mulai nampak disana.

“Dulu aku pernah main ke kontrakan Pram. Pas sampe sana, langsung masuk kamar mandi karena kebelet pipis. Sangking kebeletnya, aku masuk kamar mandi langsung jongkok, gak tutup pintu. Tau-tau Pram berdiri didepan pintu. Dia bengong liat aku pipis.”

“Aku juga kaget sih, tapi gak bisa ngapa-ngapain, soalnya pas kencingnya lagi keluar. Jadi ya aku masa bodo aja. Lagian Pram gitu lhooo.. dia kan anak baik.”

Pram tertawa pelan sambil menundukkan wajahnya. Tampaknya ia malu dengan cerita Nina.

“Kok bisa?? Emang kamu gak ijin sama Pram kalo mau pipis??” tanyaku.

“Boro-boro ijin. Pipisnya udah gak nahan, bisa-bisa ngompol aku mbak.”

“Trus gimana?” tanyaku penasaran.

“Trus Pram nutup pintunya. Gitu doang.”

Aku tertawa mendengar cerita Nina. Aku yakin, Nina tidak berbohong dengan cerita tersebut. Pram sungguh lelaki yang baik.

“Coba kalo sama cowok lain. Mungkin aku udah diperkosa kalik mbak.” sambungnya.

Kulihat wajah lelakiku memerah karena mendengar apa yang Nina ceritakan. Baru kali ini aku memdengar kisah ini, karena Pram tidak pernah menceritakannya padaku.

“Oh iya, tadi Rita kok kayak gak asik ya.. biasanya selalu godain Pram, seneng banget ngerjain Pram. Tapi tadi kok kayak kalem gitu.. rada aneh.” kata Nina lagi.

Aku tertawa, begitu juga dengan Pram. Kuceritakan pada Nina tentang kejadian kemarin sore, saat Rita datang berkunjung ke rumahku, dimana aku dan Pram mengerjainya habis-habisan. Nina pun tertawa mendengar kisahku.

“Pasti dia kapok, gak berani usil sama Pram lagi.”

“Kadang anak itu emang ngeselin banget Nin.” timpal Pram.

“Rita gak berani sih. Coba kalo aku yang digituin, pasti aku mau.”

“Lhoooooo….? Kok…??” tanyaku heran.

Nina tertawa, sementara Pram tersenyum sambil menggelengkan kepala.

“Kan cuman lihat titit doang. Daripada lihat di internet mulu, lihat di film bokep mulu, sesekali lihat titit beneran dong, biar gak bosen.”

“Hadduuhhhhhhh… bener-bener salah orang. Harusnya mbak gak cerita ke kamu deh Nin.”

“Idih.. selow aja mbak. Aku sih santai kok. Lagian kan aku kenal mbak, kenal Pram juga. Seandainya pun emang beneran, pasti kalian gak akan ember ke orang lain kan?”

Aku menggelengkan kepala, heran dengan kegilaan Nina.

“Bu.. Nina ini sama gilanya sama Rita. Cuman bedanya Nina usilnya kalo lagi sendirian gini. Kalo sama temen-temen lain, dia diem, tenang.” kata Pram.

Nina tertawa, lalu menyeruput minuman di gelasnya.

“Kalo sama yang lain, aku rada sungkan sih Pram. Kalo sama kamu kan beda. Asik aja. Sama mbak Rin juga gitu. Walaupun baru kenal, tapi rasanya asik aja sih.”

“Iya sih, mbak juga ngerasa kayak gitu. Tapi gak tau gimana Rita, soalnya belum terlalu kenal dia Nin. Sejauh ini sih orangnya asik, walaupun usilnya udah level neraka.” timpalku.

“Rita itu ya gitu mbak. Usil, nakal, tapi baik kok.”

“Makanya aku males ganti pakaian waktu tau mbak sama Pram mau kesini. Cuek aja.”

“Astagaaa.. tapi ya gak gitu juga kali deekkkkk..” protesku sambil mencubit pinggangnya.

“Itu celana udah pendek, ketet lagi. Tuh memeknya nyetak banget.” sambungku.

Nina menundukkan wajah dan melihat ke arah selangkangannya.

“Biasa aja kok mbak. Iya kan Pram?” tanyanya pada lelakiku.

Pram menghela nafas panjang, sambil memalingkan wajahnya. Nampaknya ia ingin menghindari menatap ke arah pangkal paha Nina.

“Kalo tiba-tiba Pram pengen gimana??” tanyaku.

“Ya gak mungkin dong mbak..” jawabnya santai.

“Seandainya pun dia pengen, aku sih oke aja. Yang penting mainnya bertiga, sama mbak juga, biar gak dikatain selingkuh.” sambungnya.

Pram masih memandang ke arah lain sambil menepuk keningnya, lalu menggelengakn kepala.

“Mulai dah..” gumannya pelan.

“Threesome??” tanyaku lagi.

Nina mengangguk.

“Tapi hanya sebatas seks, gak boleh main hati.”

“Mampus..” guman Pram pelan.

Aku dan Nina tertawa melihat tingkah Pram yang tampaknya heran dan kaget dengan topik yang kami perbincangkan.

“Gilaaaa…” gumanku.

Nina tertawa pelan, lalu meraih makanan ringan yang ia sajikan dan menyantapnya.

“Bukan gila sih mbak, tapi variasi aja, just for fun aja.”

“Tapi terlalu ekstrim Nin.. variasi sih bagus, biar gak bosen, tapi kan aneh.” sahut Pram.

“Kalo menurut aku sih gak aneh Pram. Yang penting kalian harus punya komitmen yang kuat. Saling percaya, dan partner ketiga pun orang yang bisa dipercaya. Ini cuman sebatas seks aja sih, gak lebih.”

“Ada benarnya juga.” kataku singkat.

“Tapi kalo aku, misalnya udah punya cowok atau suami, trus diajak threesome, aku sih maunya sama cowok aja, gak mau sama cewek. Dan cowoknya harus aku yang pilih.”

Pram kembali menggelengkan kepala, begitu juga denganku. Nina memang benar-benar memiliki fantasi yang liar dan panas.

“Udah ah.. ngomongin yang panasnya cukup. Ntar kalo aku jadi pengen malah repot.”

“Eehhhh.. pengen apa?” tanyaku.

“Pengen ngentot lah mbakku sayanggggg… masa pengen jungkir balik.”

“…..”

Pram kembali mengembuskan nafas panjang, entah apa yang ada dalam pikiran lelakiku.

♡♡♡ bersambung ♡♡♡

Part 5 akan rilis dalam beberapa jam kedepan.


Terima kasih :rose:
Mohon maaf lahir bagin suhuuu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd