Part 4
Rindiani
Pagi-pagi buta aku telah terbangun dari tidurku saat adzan subuh berkumandang. Kupandangi tubuh telanjangku dan lelakiku, Pram yang masih terlelap.
Dengan lembut kukecup keningnya dan bersiap memulai hari baru. Sebuah langkah dalam perjalanan hidupku, yang mungkin akan membawa perubahan untukku dan masa depanku.
Ini adalah hari pertama aku bekerja, dan aku sudah tidak sabar untuk memulainya.
Sesaat setelah keluar dari mandi, aku mendapati Pram masih terlelap. Tidurnya begitu nyenyak setelah semalaman merapikan dan membersihkan kamar tidur yang berantakan karena percintaan panas kami.
Aku berdiri disamping ranjang dan kembali memandanginya sambil tersenyum.
‘
Aku beruntung bisa mengenalmu’ gumaku dalam hati sambil membenahi selimut yang menutupi tubuhnya.
Sambil menyiapkan sarapan dalam keadaan telanjang, kunikmati keheningan pagi, seperti yang selalu dilakukan oleh Pram. Aku tak lagi merasakan beban hidupku, karena semuanya tampak sempurna, tidak ada sesuatu yang kurang. Aku kembali tersenyum seorang diri, didapur.
“Pagi bu..” sapa Pram dari arah belakang dan langsung memelukku erat.
“Pagi sayang.” balasku sambil mengecup pipinya yang berada disampingku.
Aku bisa merasakan penisnya menempel erat dibagian tubuhku. Pram pun sedang tidak mengenakan pakaian saat menyusulku ke dapur.
“Kopi? Teh?susu?” tanyaku.
“Kopi bu.”
“Susunya ini aja.” sambungnya sambil meremas lembut kedua payudaraku, memilin kedua putingku.
“Nakal..”
Pram tertawa lantas mengecup pipiku. Kedua tangannya meninggalkan payudara dan kembali memelukku erat.
Hampir sepuluh menit ia memelukku dengan sangat erat, hingga akhirnya melepaskan tubuhku dan berdiri disampingku.
Segelas kopi untuknya, dan segelas susu untukku tersaji, beserta pisang goreng.
“Udah siap kerja hari pertama?” tanyanya setelah menegguk kopi.
Aku mengangguk pelan, sambil mengunyah pisang goreng.
“Doain ibu biar bisa lancar kerjaannya.” kataku.
“Iya bu. Pasti saya doain.”
Selesai menyantap sarapan pagi, membereskan piring dan gelas, kami kembali ke kamar tidurku. Jam didinding menunjukkan hampir pukul lima pagi.
“Nanti pulang dari kampus jam berapa?” tanyaku sambil mengenakan Bra.
“Saya udah gak ada mata kuliah bu, cuman tinggal skripsi aja. Nanti mau ke perpustakaan dulu, trus mau ketemu dosen pembimbing.”
“Berarti semester ini santai dong.”
“Gak juga sih bu, mau ngejar beresin skripsi.” jawabnya sambil duduk di tepian ranjang.
“Semoga semuanya lancar ya sayang. Biar cepet lulus.” kataku, seraya meraih sehelai G-string dari dalam lemari.
Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum, lalu melangkah mendekat sambil menggengam celana dalam itu.
“Pakein celana dalamnya.” kataku manja sambil berdiri diantara kedua pahanya.
Pram tertawa sambil memegang pinggulku. Kedua tapak tangannya segera merayap perlahan ke bagian belakang, dan meremas lembut pantatku.
“Iya buuuu…” jawabnya singkat, lalu mengecup permukaan perutku.
Kuserahkan celana dalam itu padanya, dan ketika ia membuka lipatannya, ia tertawa sambil menatapku.
“Ini sih sama aja gak pakai celana dalam bu.” gumannya sambil memasukan jari ke bagian tengah celana dalam itu.
“Lhooo kata sayang kan harus pakai celana dalam.” protesku manja.
“Ini celana dalam open
crocth sayang.. emang kayak gini ini modelnya. Biasanya emang bagian memeknya gak ketutup.” kataku lagi.
Pram memandangi celana dalam tersebut, lalu mulai memasangkannya pada pinggulku.
“Kalo pakai ini kan simpel. Kali aja pas ibu lagi kebelet pipis, atau mau main sama sayang, jadinya gak perlu copot celana dalam. Iya kan?”
Beberapa kali aku memutar tubuh dihadapannya, memamerkan celana dalam seksi yang telah terpasang di pinggulku.
Pram kembali tertawa sambil memandangi kemaluanku dan mengusapnya. Ia bangkit berdiri dan kembali memelukku, mengecup keningku dengan penuh rasa.
Aku membalas pelukannya, lalu melumat bibirnya dengan lembut. Sesaat setelah ciuman itu berakhir, pram, mengusap pipiku, lalu kembali mengecup keningku.
“Yuk, siap-siap berangkat.”
= = =
“Nanti kalo sayang gak bisa jemput, kabarin ibu ya, biar ibu gak nunggu.”
“Nanti saya jemput kok bu. Pulang jam lima kan?”
Aku mengangguk pelan. Dan sebelum keluar dari mobil, Pram mengecup keningku dengan mesra.
“Selamat bekerja bu.” ucapnya kemudian.
Kubalas dengan melumat bibirnya, pelan dan dengan penuh rasa sambil mengusap pipinya.
“Doakan ibu..” bisikku kemudian.
Pram mengangguk sambil menempelkan telapak tangannya dipipiku. Hampir dua menit kemudian ia pergi meninggalkanku, saat aku telah memasuki lobi hotel.
Senyum ramah para karyawan disana menyambutku, membukakan pintu untukku, dan mempersilahkanku masuk.
Aku hendak menaiki tangga bagian belakang untuk menuju ke ruang kerja ketika Bayu menghampiri dan menyapaku.
“Pagi bu..” sapanya dengan ramah.
“Pagi mas..”
“Kalo ibu mau ke ruang kerja, ibu bisa pakai lift di bagian depan.” katanya sambil mengiringi langkahku.
“Hanya bu Rindi dan bo bos, serta karyawan yang bertugas di lift yang boleh mengaksesnya.
“Lewat sini aja mas, itung-itung sekalian buat olahraga.”
Bayu tertawa, sambil terus mengiringi langkahku hingga di ruang kerjaku.
“Saya sudah minta laporan kerja tiap departemen selama tiga bulan belakangan. Nanti ibu pelajari dulu, lalu bandingkan per bulannya. Apakah ada penurunan, atau kenaikan, atau hal apa saja.” katanya, sambil memegang tumpukan file yang tersusun rapi dimejaku.
“Kalo ibu perlu saya, atau siapa saja, silahkan pakai telfon ini. Ini telfon paralel, dan daftarnya ada disini.” katanya lagi.
“Iya mas, makasih ya mas. Tolong saya dibantu ya, saya belum terlalu paham dengan semua pekerjaan ini.”
“Silahkan duduk bu.” katanya lagi.
“Oh iya, makasih mas.”
Untuk pertama kalinya, akhirnya duduk dikursi kerja yang sesungguhnya. Aku memiliki ruang kerja, memiliki meja kerja sendiri.
“Nanti, ibu bisa hubungi saya seandainya ada yang belum jelas.”
“Iya mas, makasih mas.” kataku.
Setelah bayu meninggalkan ruangan, aku kembali berdiri dan membuka tirai jendela ruang kerjaku. Kuhidupkan AC dan kembali duduk disana, membuka file laporan kerja yang diberikan oleh Bayu.
Kuhidupkan komputer dihadapanku, dan mulai melihat data-data yang ada disana, sebagai perbandingan.
Hampir dua jam aku berkutat dengan data-data tersebut, mempelajari beragam kode dan simbol serta istilah dalam manajemen perhotelan.
Dinginnya Ac membuat mataku sedikit mengantuk, sehingga aku memutuskan untuk beristirahat sejenak.
Aku segera keluar ruangan, menuruni tangga dan menemui Bayu. Saat memasuki ruangannya, Bayu nampak terkejut melihatku.
“Ada apa bu?”
“Mas, kalo mau buat kopi disebelah mana?” tanyaku sambil berdiri didepan mejanya.
Bayu tertawa pelan, lalu beranjak dari kursinya.
“Kalo ibu butuh sesuatu, makanan, atau minuman, ada office girl yang siap melayani ibu. Ibu cukup telfon bagian dapur, nanti diantarkan ke ruangan ibu.”
“Ooo gituuuu…” jawabku sambil tersenyum.
“Kalo ibu mau pergi-pergi, ada kendaraan yang siap mengantarkan, supirnya pun ada.” sambungnya.
Dengan semua fasilitas yang tersedia, tentu saja aku merasa takjub dan semakin bersemangat. Aku yakin, aku pasti mampu menghadapi pekerjaan ini.
“Okey, makasih mas Bayu.” kataku sebelum beranjak pergi.
Saat sedang menapaki tangga untuk kembali ke ruanganku, aku berpapasan dengan seorang karyawan wanita.
“Siang bu..” sapanya ramah.
“Iya, selamat siang.”
“Saya Lisa bu, dari bagian dapur.”
Aku mengulurkan tangan dan Lisa pun segera menyambutnya.
“Saya Rindiani. Biasa dipanggil Rindi.”
“Oh iya, saya bisa pesan kopi?”
“Bisa bu.”
“Kopi panas, jangan terlalu manis ya mbak.”
“Iya bu.”
“Okey, terima kasih Lisa.”
Sesampainya di ruanganku, aku berdiri sejenak didepan jendela, memandangi hiruk pikuk jalan raya dibawah sana. Tempat ini akan menjadi rumah ketiga bagiku, untuk beberapa waktu kedepan sehingga aku berusaha sebaik mungkin untung beradaptasi, menyamankan diriku dengan keadaan disekitarku.
Hampir sepuluh menit kemudian, terdengar ketukan pintu. Dan setelah mendengar suaraku, pintu itu terbuka. Lisa mengantarkan kopi pesananku.
“Lisa udah lama kerja disini?”
“Baru tiga tahun bu.”
“Wah, lumayan lama dong. Udah berkeluarga?”
“Iya bu, baru satu tahun menikah.”
Aku mengajaknya untuk duduk di sofa di samping meja kerjaku, sekedar untuk berbincang dengannya.
“Asli dari sini?”
“Bukan bu, saya dari temanggung.”
“Ooo.. temanggung. Pantes aja Lisa putih banget. Ternyata dari daerah sana.”
“Dulu sekolah disini?”
“Iya bu, saya SMA dan kuliah disini.”
“Lhooo.. Lisa kuliah?? Ambil jurusan apa??”
“Iya bu, saya ambil jurusan perhotelan. Tapi cuman D3 aja bu.”
“Kenapa lisa bisa kerja di bagian dapur?” tanyaku heran.
“Gapapa bu, waktu saya kirim lamaran kerjaan, kebetulan posisi yang kosong ya cuman bagian dapur.”
“Saya butuh kerjaan ini bu, buat pengalaman.”
“Suami dikampung atau disini?”
“Dikampung bu.”
“Disini kost?”
“Iya bu.”
“Baiklah Lisa, tetap semangat bekerja ya. Saya juga baru disini, jadi tolong bantu saya.”
Lisa mengangguk, lalu pamit undur diri untuk kembali bekerja.
Dan akhirnya aku kembali berkubang dengan tumpukan data-data hingga berjam-jam lamanya, ditemani segelas kopi.
Aku memfokuskan perhatian pada arus keuangan, dimana omset pendapatan selama beberapa tahun kebelakang cenderung stagnan. Hampir tidak ada peningkatan yang berarti.
Kubuka juga file dari divisi marketing, dan melihat laporan kegiatan, kinerja selama beberapa tahun kebelakang. Dari penilaianku secara singkat, semua berjalan normal. Hotel tidak mengalami devisit, atau bisa dikatakan sehat sebagai sebuah badan usaha.
‘
Rumit banget..’ gumanku dalam hati.
Aku benar-benar lupa waktu, lupa akan segalanya ketika akhirnya ponselku berdering. Pram menelponku dan mengabarkan bahwa ia telah berada di parkiran hotel untuk menjemputku.
Kutepuk keningku sendiri. Heran bercampur kaget setelah melihat jam di dinding telah menunjukkan pukul lima sore.
Aku melewatkan jam makan siang, bahkan melupakan lelakiku, sekedar untuk menyapanya. Aku lupa akan segalanya.
Saat keluar dari pintu lift, aku melangkah mendekati bagian front office. Senyum ramah seorang wanita muda nan cantik menyambutku.
“Selamat sore bu.. mau pulang?” tanyanya.
“Iya, selamat sore. Mau pulang.”
Aku segera mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengannya.
“Rindiani.” kataku.
“Veny.” balasnya sambil tersenyum ramah.
“Veny pulang jam berapa?” tanyaku.
“Nanti jam enam bu, pergantian sift.”
“Ooo… okey. Maaf, saya baru disini, jadi belum banyak mengetahui lingkungan kerja kita disini.”
“Iya, gapapa bu.”
“Saya pamit ya Ven, selamat bekerja.” kataku lagi.
Saat melewati pintu depan, aku melangkah cepat menuju ke mobil yang terparkir tak jauh dari pintu masuk area parkiran.
Senyum manis lelakiku langsung menyambutku saat aku membuka pintu. Dan ketika aku telah menutup pintu, aku bergeser mendekat ke arahnya. Kuusap pipi lelakiku dengan lembut, mendekatkan wajahku, lalu melumat bibirnya. Pram membalas ciumanku dengan mesra, dan akhirnya sebuah kecupan pun mendarat di keningku.
“Sayang, kita langsung ke kost Nina ya.”
“Gak pulang dulu?? Ibu gak kecapekan??”
Aku menggelengkan kepala.
“Seharian cuman mempelajari laporan-laporan departemen.”
“Ibu gak capek kok, cuman lehernya pegel aja.” sambungku sambil memegang tengkuk dan mengerakkan leher.
“Nanti saya pijetin bu.”
Aku kembali tersenyum dan menyandarkan kepalaku di pundaknya.
“Cuman di pijetin aja?” tanyaku genit sambil mengusap dadanya.
Pram tertawa, satu tangannya melepaskan stir dan kembali mengusap pipi kiriku.
“Binal..” bisiknya lembut, lalu mengecup permukaan jilbab yang menutupi kepalaku.
Aku tertawa, dan mempererat pelukanku pada pinggangnya.
Hampir sepuluh menit kemudian, kami tiba di kost Nina. Karena Pram telah mengabarkan padanya tentang kedatangan kami, ia telah menunggu kami didepan kamar tidurnya.
“Uuuuhhhhhh.. kakakku seksi abissssss…” gumannya saat melihat kehadiranku dan Pram yang berjalan disisiku.
Kami menghampirinya dan aku disambut dengan pelukan hangat.
“Yang seksi itu kamu dek.. itu celana pendek banget, ketat lagi.. gak malu sama Pram?” tanyaku, sambil mengiringi langkahnya memasuki kamar.
“Gak mungkin Pram tergoda. Gak mungkin banget. Mbak Rin lebih seksi dan montok, bohay banget.” balasnya sambil duduk dilantai.
Aku dan Pram pun ikut duduk bersamanya diatas tikar plastik.
“Sayang, jangan tergoda yaaa?” kataku pada Pram.
Lelakiku hanya tertawa pelan sambil menggelengkan kepala.
“Tuh.. gak bakal tergoda kok.. mbak tenang aja deh.. walaupun aku telanjang, paling juga cuman dicuekin sama dia.” kata Nina.
“Hadduuhhhh… udah.. udah.. kita omongin tentang masalah Galang aja..”
“Iyaa kakakku cantikkkk.”
Nina kembali berdiri dan berjalan ke arah meja belajarnya. Diraihnya selembar kertas dan meletakkannya dihadapanku.
“Tadi kami sempet ngobrol juga. Nah, untuk sumbangan teman-teman itu segini per bulannya mbak.” kata Nina.
“Deva 300 ribu. Rita 300 ribu. Topan 500 ribu.”
“Kalo untuk keluarganya, mbak sih bisa mengira-ngira per bulannya sekitar tiga juta.” kataku.
“Itu udah semuanya bu? Sama kebutuhan dapur?” tanya Pram.
Aku mengangguk pelan.
“Nah, kalo untuk uang bulanan buat Galang, aku sih mikirnya sejuta udah cukup.” timpal Nina.
“Iya, segitu udah cukup.” sahut Pram.
“Berarti, setiap bulannya, sekitar empat juta. Untuk keluarganya tiga juta. Untuk Galang sendiri satu juta.” gumanku.
“Aku bisa kasih dua juta per bulan mbak.” kata Nina.
Tentu saja aku terkejut dengan ucapannya.
“Dua juta??? Kamu yakin??” tanyaku.
“Iya.. yakin.. aku udah ceritain semuanya ke orang tuaku. Aku bilang ke mereka kalo Galang adalah teman yang udah mengubah aku, benerin kuliahku sampe sekarang. Orang tuaku sih bilang gak masalah. Mereka mau membantu kok.”
Pram mengangguk pelan.
“Tiga juta juga bisa kok. Nanti jatah bulananku aku potong dikit buat Galang.”
“Pram, gimana?” tanya Nina.
“Saya bisa kasih dua juta per bulan Nin.” jawab lelakiku.
“Oke, duit dari kalian berdua udah empat juta. Kalo dijumlahkan sama punya Rita, Deva, Topan, totalnya lima juta seratus ribu.
“Mbak mau nyumbang berapa? Itu udah lebih dari cukup lhoo.” kata Nina.
“Untuk sementara ini, ibu gak perlu ikut menyumbang.” Kata Pram.
“Kita lihat situasi dan perkembangan dulu.” sambungnya.
Aku dan Nina mengangguk bersamaan.
“Uangnya besok di transfer Nin.” kata Pram sambil mengeluarkan setumpuk uang dan menyerahkannya pada Nina.
“Iya Pram, besok pagi aku transfer.”
Nina menerima uang tersebut dan meletakkannya dalam laci meja belajarnya.
“Kalian mau minum? Ini ada sirup lhoo.” katanya.
“Boleh..” jawab Pram.
Nina membuat tiga gelas sirup dan menghidangkannya untuk kami. Tak lupa ia menyertakan cemilan sebagai teman ngobrol kami.
“Gimana kerjaannya mbak Rin?” tanyanya.
“Baru hari pertama sih Nin, jadi ya masih belum tau. Tapi kayaknya sih bakalan berat.”
“Santai aja sih mbak, pasti mbak bisa kok. Kalo masih awal kan emang biasanya gitu. Tapi pas udah dijalani, udah ngerti, jadi kayak biasa aja.”
“Lagian kan ada Pram. Ada penyemangat kerja..” sambungnya.
“Pasti semangat sih Nin. Moga aja mbak mampu deh.”
“Ngomong-ngomong, Nina punya keluarga disini?”
“Enggak mbak. Gak ada keluarga sama sekali.”
“Emang Nina berapa bersaudara?” tanyaku lagi.
“Empat mbak, aku bungsu dan perempuan sendiri. Kakakku semua cowok.”
“Wah.. jadi paling cantik sendiri dong..”
“Tapi lebih asik kalo punya saudara cewek mbak, ada temen curhat, temen main. Kalo cowok semua kan gak asik.”
“Oh iya Nin, hampir kelupaan. Adiknya Galang satu aja? Cewek?” tanya Pram.
“Iya, satu. Cewek.”
“Sekarang udah SMA. Pinter kayak Galang. Sejak SD sampe sekarang selalu masuk tiga besar terbaik disekolah” sambungnya.
“Kok kamu tahu banyak tentang keluarga Galang?” tanyaku.
“Ya nanya dong mbak.. aku kan bukan peramal..”
“…..”
Pram tertawa, sementara aku hanya melongo mendengar jawabannya.
“Kalo lagi bosen di kost, kadang aku main ke kost Galang.
Dulu waktu Pram masih ngontrak rumah, aku juga sering main kesana kok.”
“Iya.. sekarang udah ngekost, jadi kamu males main.” timpal Pram.
“Bukan males sih Pram. Tapi kan kostmu jauh. Udah gitu aku gak enak kalo sering main kesana. Takut gangguin kalian.”
“Gangguin apaan sih?” protesku.
Nina tertawa sambil memainkan alis matanya. Raut wajah jahil mulai nampak disana.
“Dulu aku pernah main ke kontrakan Pram. Pas sampe sana, langsung masuk kamar mandi karena kebelet pipis. Sangking kebeletnya, aku masuk kamar mandi langsung jongkok, gak tutup pintu. Tau-tau Pram berdiri didepan pintu. Dia bengong liat aku pipis.”
“Aku juga kaget sih, tapi gak bisa ngapa-ngapain, soalnya pas kencingnya lagi keluar. Jadi ya aku masa bodo aja. Lagian Pram gitu lhooo.. dia kan anak baik.”
Pram tertawa pelan sambil menundukkan wajahnya. Tampaknya ia malu dengan cerita Nina.
“Kok bisa?? Emang kamu gak ijin sama Pram kalo mau pipis??” tanyaku.
“Boro-boro ijin. Pipisnya udah gak nahan, bisa-bisa ngompol aku mbak.”
“Trus gimana?” tanyaku penasaran.
“Trus Pram nutup pintunya. Gitu doang.”
Aku tertawa mendengar cerita Nina. Aku yakin, Nina tidak berbohong dengan cerita tersebut. Pram sungguh lelaki yang baik.
“Coba kalo sama cowok lain. Mungkin aku udah diperkosa kalik mbak.” sambungnya.
Kulihat wajah lelakiku memerah karena mendengar apa yang Nina ceritakan. Baru kali ini aku memdengar kisah ini, karena Pram tidak pernah menceritakannya padaku.
“Oh iya, tadi Rita kok kayak gak asik ya.. biasanya selalu godain Pram, seneng banget ngerjain Pram. Tapi tadi kok kayak kalem gitu.. rada aneh.” kata Nina lagi.
Aku tertawa, begitu juga dengan Pram. Kuceritakan pada Nina tentang kejadian kemarin sore, saat Rita datang berkunjung ke rumahku, dimana aku dan Pram mengerjainya habis-habisan. Nina pun tertawa mendengar kisahku.
“Pasti dia kapok, gak berani usil sama Pram lagi.”
“Kadang anak itu emang ngeselin banget Nin.” timpal Pram.
“Rita gak berani sih. Coba kalo aku yang digituin, pasti aku mau.”
“Lhoooooo….? Kok…??” tanyaku heran.
Nina tertawa, sementara Pram tersenyum sambil menggelengkan kepala.
“Kan cuman lihat titit doang. Daripada lihat di internet mulu, lihat di film bokep mulu, sesekali lihat titit beneran dong, biar gak bosen.”
“Hadduuhhhhhhh… bener-bener salah orang. Harusnya mbak gak cerita ke kamu deh Nin.”
“Idih.. selow aja mbak. Aku sih santai kok. Lagian kan aku kenal mbak, kenal Pram juga. Seandainya pun emang beneran, pasti kalian gak akan ember ke orang lain kan?”
Aku menggelengkan kepala, heran dengan kegilaan Nina.
“Bu.. Nina ini sama gilanya sama Rita. Cuman bedanya Nina usilnya kalo lagi sendirian gini. Kalo sama temen-temen lain, dia diem, tenang.” kata Pram.
Nina tertawa, lalu menyeruput minuman di gelasnya.
“Kalo sama yang lain, aku rada sungkan sih Pram. Kalo sama kamu kan beda. Asik aja. Sama mbak Rin juga gitu. Walaupun baru kenal, tapi rasanya asik aja sih.”
“Iya sih, mbak juga ngerasa kayak gitu. Tapi gak tau gimana Rita, soalnya belum terlalu kenal dia Nin. Sejauh ini sih orangnya asik, walaupun usilnya udah level neraka.” timpalku.
“Rita itu ya gitu mbak. Usil, nakal, tapi baik kok.”
“Makanya aku males ganti pakaian waktu tau mbak sama Pram mau kesini. Cuek aja.”
“Astagaaa.. tapi ya gak gitu juga kali deekkkkk..” protesku sambil mencubit pinggangnya.
“Itu celana udah pendek, ketet lagi. Tuh memeknya nyetak banget.” sambungku.
Nina menundukkan wajah dan melihat ke arah selangkangannya.
“Biasa aja kok mbak. Iya kan Pram?” tanyanya pada lelakiku.
Pram menghela nafas panjang, sambil memalingkan wajahnya. Nampaknya ia ingin menghindari menatap ke arah pangkal paha Nina.
“Kalo tiba-tiba Pram pengen gimana??” tanyaku.
“Ya gak mungkin dong mbak..” jawabnya santai.
“Seandainya pun dia pengen, aku sih oke aja. Yang penting mainnya bertiga, sama mbak juga, biar gak dikatain selingkuh.” sambungnya.
Pram masih memandang ke arah lain sambil menepuk keningnya, lalu menggelengakn kepala.
“Mulai dah..” gumannya pelan.
“Threesome??” tanyaku lagi.
Nina mengangguk.
“Tapi hanya sebatas seks, gak boleh main hati.”
“Mampus..” guman Pram pelan.
Aku dan Nina tertawa melihat tingkah Pram yang tampaknya heran dan kaget dengan topik yang kami perbincangkan.
“Gilaaaa…” gumanku.
Nina tertawa pelan, lalu meraih makanan ringan yang ia sajikan dan menyantapnya.
“Bukan gila sih mbak, tapi variasi aja,
just for fun aja.”
“Tapi terlalu ekstrim Nin.. variasi sih bagus, biar gak bosen, tapi kan aneh.” sahut Pram.
“Kalo menurut aku sih gak aneh Pram. Yang penting kalian harus punya komitmen yang kuat. Saling percaya, dan partner ketiga pun orang yang bisa dipercaya. Ini cuman sebatas seks aja sih, gak lebih.”
“Ada benarnya juga.” kataku singkat.
“Tapi kalo aku, misalnya udah punya cowok atau suami, trus diajak threesome, aku sih maunya sama cowok aja, gak mau sama cewek. Dan cowoknya harus aku yang pilih.”
Pram kembali menggelengkan kepala, begitu juga denganku. Nina memang benar-benar memiliki fantasi yang liar dan panas.
“Udah ah.. ngomongin yang panasnya cukup. Ntar kalo aku jadi pengen malah repot.”
“Eehhhh.. pengen apa?” tanyaku.
“Pengen ngentot lah mbakku sayanggggg… masa pengen jungkir balik.”
“…..”
Pram kembali mengembuskan nafas panjang, entah apa yang ada dalam pikiran lelakiku.
♡♡♡ bersambung ♡♡♡
Part 5 akan rilis dalam beberapa jam kedepan.
Terima kasih