Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

Waduuhhh.. hhmmm.. kayaknya sih gak akan sampe segitunya sih bang.. alurnya gak akan sadis dan seaporadis itu kok.. cenderung datar-datar aja sih.

Nah, seri 12 nanti mulai memasuki dunia kerja.. lihat aja deh gimana situasinya nanti. Aku usahakan sih se-real mungkin, biar imajinasinya gak rusak berantakan.
Kalau liat tulisan merah kaya gini tuh jadi inget SENJA sama SAE :sendirian: ...
 
Next Rindiani the series



Kalo sambil gini, gak marah juga?” katanya lagi sambil meremas lembut payudaraku.

"Eeeeeehhhhh… kok malah keterusan sih??” protesku.

Pram hanya tertawa sambil menggelengkan kepala.

“Gilannya kumat..” gumannya pelan, lalu menyeruput minumannya.

“Tuh… Pram gak marah kok mbak..”

“Iyaaaaa.. Pram gak marah.. trus kenapa? Mau ngapain??” tanyaku, sambil mencubit pipinya dengan gemes.

“Berarti kita bisa threesome dong.” katanya dengan raut wajah berseri.

“Eehhhhh..!????” seru Pram sambil menatap heran kami berdua.



Coming soon
Wkwkwkwk.. Gak bakalan mau tuh pram... Kan updatenya cuma sepotong aja kan belom full.. Feeling ane sih kagak kejadian itu threesome.. Tapi gak tahu lagi kalo bu rindi nya pengen ngebisex... Pram gak bakalan ikut ikut..
 
RINDIANI The Series – Seri 12
Menjalani Mimpi​


Part 1



Rindiani


Rita tengah berdiri dengan senyum sumringah di depan pintu.

“Kok kamu bisa sampai disini?” tanyaku terheran-heran.

“Naik taksi.” jawabnya singkat sambil memasuki rumahku, walaupun aku belum mempersilahkannya.

“Dari tadi aku ketuk pintu, tapi gak dibukain.” gerutunya saat aku kembali menutup pintu.

Suara rintik hujan dan karena kami tengah terlarut dalam percintaan di dapur membuat aku dan Pram lupa akan segalanya, sampai-sampai tak mendengar ketukan pintu.

“Kok kamu tau rumah mbak??” tanyaku lagi.

“Tadi aku telpon Nina,nanya dia.” katanya sambil terus melangkah memasuki rumahku hingga ke ruang tengah.

Rita meletakkan sebuah tas diatas meja lalu duduk dikursi sambil menatapku tajam, sementara aku memandanginya dengan penuh keheranan.

“Kok rambut mbak berantakan gitu??” tanyanya dengan tatapan penuh selidik.

Belum sempat aku menjawab pertanyaan tersebut, Pram melangkah keluar dari kamar tidurku. Pandangan Rita pun beralih padanya. Dan seperti yang kuduga, ia langsung tersenyum jahil.

“Kayaknya aku menganggu yang lagi enak-enak.” gumannya sambil memainkan bola matanya.

Tanpa banyak kata, aku lantas duduk disampingnya dan mencubit pinggangnya hingga ia menjerit dan berusaha menghindariku.

Pram hanya bisa menghela nafas panjang sambil ikut duduk disofa, disamping Rita.

“Bete di kost, sepi, jadi aku main kesini.” kata Rita kemudian.

“Tadinya mau main ketempat Nina, tapi pasti gak asik.” sambungnya sambil melihat-lihat ruangan tengah rumahku.

“Mau minum? Teh, atau kopi? Atau air putih?” tanyaku.

“Gak usah bu, Rita mau langsung pulang kok.” jawab Pram.

Rita menatap tajam ke arah Pram.

“Mau ngusir nih? Emang tega ngusir aku??” balas Rita.

Pram hanya tertawa pelan, kemudian beranjak ke dapur.

“Kalian tinggal serumah?” tanya Rita.

“Iyaaaa…” jawab Pram dari arah dapur.

Aku hanya tersenyum malu mendengar jawaban Pram.

“Iya, Pram tinggal sama mbak disini.” jawabku.

“Oooo… berarti udah serumah.” gumannya sambil kembali memainkan bola matanya.

“Yuk ke dapur. Tadi ada oleh-oleh dikasih Nina. Kita ngopi sambil ngemil.” kataku.

Rita mengangguk, lalu mengikuti langkahku menuju ke dapur. Kami mendapati Pram tengah merebus air, dan menunggunya mendidih, ia berdiri didekat kompor dan membelakangi kami sehingga tak menyadari kehadiran kami.

“Bang, kopi satu.” kata Rita sambil melangkah mendekati Pram.

“Jangan terlalu manis ya bang, secara aku udah manis gini.” sambungnya.

“kamu iniiii.. gak di kampus, gak disini, otaknya gak pernah sinkron.” guman Pram.

Aku hanya tertawa melihat tingkah kedua orang tersebut. Sambil duduk dan menyeruput kopiku, aku menikmati keusilan Rita yang terus saja menggoda lelakiku. Dan seperti biasanya, Pram hanya membalasnya dengan senyum sambil menggelengkan kepala.

“Kopi atau teh?” tanya Pram.

“Teh aja deh. Kalo kopi ntar malah gak bisa tidur.”

Pram membuat segelas teh untuk Rita dan ikut bergabung bersamaku dan Rita di meja makan. Sambil menikmati oleh-oleh dari Nina, kami berbincang ringan, sekedar bercakap-cakap mengisi waktu.

“Pram, itu yang tentang keluarga Galang gimana? Kita kudu nyumbang berapa?” tanya Rita.

“Belum tau juga sih Rit. Harusnya sih kita nanya Nina, soalnya dia yang tahu banyak tentang keluarga Galang.”

“Kasihan Galang..” guman Rita pelan.

“Kalo gak salah sih, adiknya Galang itu cuman satu orang. Cewek kalo gak salah, sekarang udah SMA kelas tiga. Kata Pram.

“Nina pernah cerita juga sih, katanya adiknya itu juga pinter kayak Galang gitu.”

“Sayang banget kalo Anak pinter kayak gitu gak lanjut kuliah.” kataku.

Pram mengela nafas, lalu menyeruput kopi dan menikmati pisang sale dihadapan kami.

“Dulu, waktu pertama kali lihat Galang, rasanya seneng aja sih, soalnya jarang banget ada cowok yang betah dan rajin ke perpustakaan. Asik aja ngelihatnya.”

“Waktu itu sih belum kenal. Trus sekali waktu, aku lihat Galang sama Deva. Deva kan udah kenal aku, jadi ya dikenalin juga sama Galang sama Nina.” kata Rita sambil mengenang moment tersebut.

“Kamu kan adik kelas mereka, kok betah banget sih sama mereka? Emang temen seangkatanmu gak pada asik?” tanyaku.

“Ada juga temen seangkatanku mbak, tapi kalo menurutku sih lebih asik sama kalian. Heboh, rame, bikin betah kalo lagi ngumpul.”

“Dulu, aku kira Galang itu Pacarnya Nina. Eh, ternyata bukan.”

“Naksir Galang?” tanya Pram.

“Enggak.. bukan selera aku.” jawab Rita.

“Emang selera Rita yang seperti gimana?” tanyaku.

“Yang gaul dong mbak.. kalo bisa yang tajir mlintir, cakep. Trus yang tititnya gede.”

Pram sedang menyeruput kopinya dan ketika mendengar jawaban Rita, Ia terbatuk-batuk hingga beberapa saat lamanya. Dan aku hanya bisa tertawa keras mendengar jawaban konyol Rita.

“Ni anak otaknya kudu dibersihkan.” guman Pram.

“Gimana sih? Jawaban aku kan bener. Coba deh dipikir? Ngapain punya cowok cakep, tajir, tapi tititnya kecil kayak jari kelingking..?? Kan gak asik banget tuh..” bantah Rita.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala, sedangkan Pram tertunduk malu mendengar apa yang Nina katakan.

“Tititnya Pram Gede?” tanya Rita sambil berbisik padaku.

“Astagaaaaa… Ritttaaaaaaa…. Hhiiiiiiihhhhhh…!!!!” Protesku.

Rita hanya tertawa sementara Pram memandangi tingkah kami berdua dengan tatapan aneh.

“Tanya sendiri sama yang punya..” kataku kemudian.

“Eehhh.. kok aku sih??” protes Rita.

“Lhoo.. kan Rita yang nanya..” jawabku.

“Nanya apaan?” tanya Pram bingung.

“Ini lhoo sayang.. Rita penasaran, trus nanya tititnya sayang gede apa enggak.” jawabku.

“Mmbaaakkkkkkk…..!!!” Protes Rita sambil berusaha mencubitku, namun aku segera menghindar dan berlari ke belakang tubuh Pram. Wajahnya memerah, dan aku yakin Rita sangat malu pada Pram.

“Itu kan cuman bercanda ajaaaaa. Beneran kok Pram..” kata Rita dengan wajah memerah.

Pram tertawa, begitu juga denganku karena melihat Rita bak mati kutu dihadapan kami.

“Kalo beneran juga gapapa kok, mbak sih santai aja, terserah yang punya titit aja.” kataku lagi sambil memegang pundak lelakiku.

Mendengar ucapanku, Rita semakin menundukkan wajah, ia bahkan menutupinya dengan kedua telapak tangannya karena malu, sementara Pram menengadah, menatapku dengan penuh tanya. Sambil tersenyum, kukedipkan satu mata pada lelakiku.

“Udaahhh.. beneran aku cuman bercanda aja kok..” rengek Rita dengan wajah memerah.

Melihat Rita yang telah kehabisan akal, akhirnya aku kembali duduk disampingnya lalu menyeruput kopi.

“Udah.. kopinya diminum tuh, keburu dingin” gumanku.

Pram beranjak dari tempat duduknya lalu meraih segelas air putih.

“Ibu juga mau air putihnya.” kataku.

Pram mengangguk, lalu membawakannya untukku. Saat ia berdiri disampingku untuk meletakkan air putih tersebut, aku mendapati Rita memandangi sekilas pangkal paha lelakiku. Aku segera memegang tangan Pram dan menuntunnya untuk berdiri diantara kursiku dan Kursi Rita.

“Beneran gak mau lihat tititnya pacar mbak?” tanyaku pada Rita.

“Haaaaahhhhh???? Haaduuhhhhh… mbbaaaakkkkkk…. !!” protesnya sambil berusaha kembali mencubitku.

Kecepatan gerakan tangannya membuatku tak sempat lagi mengelak, dan Rita pun langsung mencubit pinggangku dengan gemes. Melihatku dalam keadaan terdesak, Pram segera menolongku dengan memegang tangan Rita dan berusaha melepaska cubitannya.

“Kalian seperti Tom and Jerry.” gumannya pelan saat Rita telah melepaskan tangannya dari tubuhku.

“Pacarmumu tuhhh… nakal banget.” Protes Rita.

Pram hanya bisa tertawa, lantas kembali duduk dan kembali menikmati kopinya.

“Kamu yang nakal.. udah punya cowok, masih aja sering gangguin pacar mbak.” balasku.

Rita hanya tertawa mendengar balasanku, lantas meraih pisang sale dihadapan kami dan menyantapnya.

“Aku cuman bercanda kok mbak.. asik aja godain Pram, soalnya Pram kan kalo di gangguin gak pernah ngebalas.” katanya.

“Nakall.” guman Pram pelan.

“Emang cowokmu tau? Kalo kamu sering godain Pram? Dia gak cemburu?” tanyaku.

“Dia tau kok, tapi kan aku cuman bercanda aja. Gak tau juga sih mabk, marah apa enggak dianya. Tapi aku sih cuek aja.”

“Ngomong-Ngomong, ini rumah mbak sendiri?? Mbak tinggal disini sendirian??” tanyanya.

“Iya..” jawabku singkat.

“Kerenn.. masih muda udah punya rumah sendiri.” “Punya kost-kostan lagi, udah gitu tinggal bareng Pram.” sambungnya.

“Ya gak selalu enak juga sih Rit. Kan harus kerja juga biar ada duit tambahan. Bayar listrik, bayar air, kebutuhan dapur.”

“Iya sih, butuh biaya juga.” gumannya.

“Kenapa kalian gak nikah aja sih??” tanyanya lagi.

Pram tertawa mendengar pertanyaan Rita.

“Kita belum siap Rit.. Pram aja belum lulus kuliah.” jawabku.

“Ya harusnya gak masalah dong.. lagian kan udah tinggal serumah.”

“Belum saatnya Rit. Kita belum siap.”

“Beneran.. enak banget jadi mbak Rin. Bisa tinggal bareng pacar. Pasti asik banget.” gumannya.

“Bisa kelonan tiap saat.” katanya lagi.

Pram tertawa sambil menatapku, seolah sedang mengejekku karena birahiku yang selalu tinggi setiap hari.

“Gak selalu tiap saat juga kaliii Rit.. kalo tiap saat bisa-bisa jalannya ngesot dong.”

Pram dan Rita tertawa mendengar jawabanku. Apa yang dikatakan oleh Rita benar adanya, sesuai dengan gambaran diriku yang sebenarnya, namun semua itu mampu dikendalikan oleh Pram dengan baik.

Jika saja Pram tak melakukannya, mungkin saja apa yang dikatakan oleh Rita sungguh-sungguh terjadi.

Masih menjadi sebuah misteri bagiku, mengapa aku menjadi kecanduan terhadap seks, pasca kedekatanku dengan Pram. Aku seolah tak pernah merasa bosan maupun puas dengan sentuhan-sentuhan erotis lelakiku, Pram.

Dibalik kehebatannya dalam memuaskan hasratku, Pram pun mampu mengendalikanku. Ia tak selalu menuruti keinginanku untuk bersetubuh. Aku menaklumi hal itu karena Pram tak ingin aku dikuasai oleh nafsu, dikendalikan oleh birahiku.

“Emang kemarin pas pulang, kamu kelonan sama cowokmu tiap hari?” tanyaku.

Rita mengangguk lalu tertawa pelan.

“kecil-kecil cabe rawit..” gumanku.

“Gapapa sih Rit, mbak sih biasa aja, cuek aja.” sambungku lagi.

“Emang kalian sering gituan?” tanya Rita.

Sejenak, Pram menggelengkan kepala.

“Kok jadi bahas gituan?” tanyanya heran.

“Idihhh.. biasa aja kali Pram. Selow aja.” Rita kembali menatapku sambil tersenyum nakal. Ekspresi wajahnya yang jahil mulai kembali nampak.

“Jangan tanya mbak aja. Tuh, tanyain Pram juga.” Protesku.

Akhirnya Rita pun melayangkan pandangannya Pram. Tatapn matanya membuat Pram tersipu hingga ia menundukkan wajah karena malu.

“Kamu iniiiii yahhhhh… dateng-dateng cuman mau ngerjain orang ajaaaa..!” protesku pada Rita karena melihat tingkahnya.

“Eh.. bukan ngerjain kok. Aku cuman nanya aja sih. Penasaran aja gitu, soalnya kalian kan tinggal serumah. Pasti udah kayak suami istri kan??” bantah Rita.

“Ya udah, mbak jawab deh.. kita emang tinggal serumah, tapi gak tiap hari kita kelonan. Biasanya sih dua hari sekali.”

“Ckckckckckck.. asiknyaaa enak banget jadi kalian.” gumannya.

“Rasanya sih biasa aja kok, ngalir gitu aja kok Rit.”

Pram yang sedari tadi hanya berdiam diri akhirnya berdiri sambil membawa gelas berisi kopi miliknya.

“Mau kemana?” tanya Rita.

“Nonton tv Rit. Kalian lanjutin aja ngobrolnya.”

Aku mengangguk sambil menatap lelakiku meninggalkan kami.

“Kok bisa sih, mbak pacaran sama Pram?” tanya Rita.

“Emang kenapa sih?”

“Ya gapapa sih, soalnya selama ini Pram kan gak tertarik sama cewek. Kayaknya dia cuek banget kalo sama cewek.”

“Gak tau juga yah.. ya pokoknya suka aja sama Pram. Orangnya tenang, pendiam, asik aja sih.” jawabku.

“Iya, emang pendiam banget. Dulu waktu awal-awal kenal Pram, kayaknya bingung mau ngobrol apa sama dia, soalnya dia kayak cuek gitu.”

“Ya cocok aja kalo ketemu kamu. Kamu sering buat keributan, Pram pendiam.”

Rita tertawa mendengar celotehku lantas kembali menyeruput kopinya.

“kalian emang pasangan yang serasi..” guman Rita.

“Serasi gimana? Apanya yang serasi?” tanyaku.

“Ya gak tau aja sih, tapi aku seneng aja liat kalian. Kayaknya klop gitu. Pasangan ideal.”

“Biasa aja sih Rit.. yang penting harus saling mengenal dan saling pengertian”

Rita mengangguk pelan, sambil memandangi Pram yang kembali ke meja makan dan meraih makanan ringan dihadapan kami.

“Daripada penasaran, ngeliatin mulu, tanyain aja langsung ke orangnya. Apa mau lihat langsung??” gumanku sambil menatap Rita karena memergokinya menatap pangkal paha lelakiku.

“Apaan sih mbak Riiinnnn??” Protes Rita.

Aku tertawa sambil memegang tangan Pram yang tengah berdiri disampingku.

“Mbak Rindi gilaaaa.” gumannya pelan.

Pram pun tertawa melihat Rita salah tingkah akibat ulahku.

“Santai aja sih Rit.. kalo mau lihat punya Pram gapapa kok. Mbak sih gak masalah. Jangankan lihat, kamu pegang kamu isep juga gapapa kok. Terserah Pram aja.” kataku sambil memandangi Pram dan mengedipkan mata.

“Gimana sayang.. boleh?” tanyaku Pada Pram.

Pram hanya tersenyum namun wajahnya tampak tegang, sementara Rita masih menundukkan kepalanya karena malu.

“Bu, bentar lagi Deva mau kesini. Katanya mau bicarain soal bantuan buat keluarga Galang.”

“Deva telpon sayang?” tanyaku.

Pram mengangguk, lantas kembali ke ruang tengah.

“Pas banget.” guman Rita.

“Apanya yang pas?” “Aku emang pengen banget nolongin Galang mbak, beneran. Aku sedih aja sih kalo sampe dia cuti semester ini.”

“Cuman, masalahnya mungkin aku gak bisa bantu banyak mbak.” kata Rita lagi.

Aku tersenyum dan dalam hati merasa tersentuh dengan kebaikan dan kepedulian Rita. Dibalik sikapnya yang jahil dan usil, ia memiliki hati yang mulia, memiliki kepekaan sosial terhadap situasi disekitarnya.

“Gak peduli sekecil apapun bantuanmu, pasti bermanfaat banget buat keluarga Galang.”

“Bukan soal besar kecilnya sih Rit, tapi soal kepedulianmu, dan keikhlasanmu.” sambungku.

“Iya mbak.. aku ngerti. Cuman, rasanya gak enak aja gak bisa bantu banyak.”

“Gapapa kok Rit, mbak ngerti. Mbak juga gak bisa bantu banyak sih, tapi cuman semampu mbak aja.”

Kami sedang mencoba menghitung biaya pengeluaran secara kasar, terutama untuk kebutuhan dapur keluarga Galang ketika Pram dan Deva akhirnya bergabung bersama kami di meja makan.

“Rumah mbak jauh banget.” guman Deva sambil meraih makanan ringan dihadapannya.

“Iya.. yang penting gak sejauh Afganistan.” jawabku.

Deva tertawa sambil meletakkan tas selempangnya diatas meja.

“Pram, tadi aku mikir-mikir. Bantuan untuk keluarga Galang dikasih sekali aja atau perbulan?”

“Kalo menurutku, sebaiknya perbulan aja Pram. Jadi tiap bulan, kita sisihkan uang pribadi kita buat keluarganya.” sambung Deva.

“Menurut saya juga sebaiknya begitu, nanti kita bicarakan lagi sama yang lain. Nina tahu banyak tentang keluarga Galang, jadi nanti kita bicarakan sama dia, sekaligus perkiraan jumlah kebutuhan tiap bulannya.” kata Pram.

Cukup lama kami berbincang tentang berbagai hal di meja makan hingga akhirnya Deva dan Rita pun pamit, karena hari telah menjelang malam.

Kesunyian kembali melingkupi rumahku pasca kepergian teman-teman Pram.

“Mau masak sekarang?” tanyaku saat kami kembali ke dalam rumah, ke kamar tidurku.

“Nanti aja bu, saya belum lapar.” jawabnya sambil duduk di tepian ranjang.

Aku hendak melangkah ke arah lemari pakaian ketika Pram meraih jemariku dan menuntun tubuhku untuk duduk diatas pangkuannya.

Segera saja kutarik naik ujung rokku hingga kebagian pinggang agar nyaman saat duduk diatasnya.

“Seragam kerja ibu pakaian biasa atau berjilbab?”

“Seragamnya ada dua macam, yang biasa sama pakai jilbab. Ibu pilih yang pakai jilbab.”

“Tapi mungkin minggu depan baru bisa dapet seragamnya. Untuk sementara ini, ibu pakai pakaian kerja biasa aja dulu.” sambungku.

“Udah ada pakaiannya?”

“Udah.. ibu punya beberapa pakaian formal yang cocok untuk kerja kantoran.” balasku sambil mengusap pipinya.

“Pasti ibu makin cantik kalo pakai pakaian kantoran.” gumannya sambil memegang erat pinggangku.

“Ya enggak dong sayang. Disana malah banyak yang cantik lhoo, apalagi yang di resepsionis itu.”

Pram tersenyum lalu mendekatkan wajahnya dan melumat bibirku hingga beberapa saat.

“Ibu ke dapur dulu ya, beresin gelas-gelas yang tadi kita pakai.”

Pram merebahkan tubuh diatas ranjang dengan kaki terjuntai ke lantai, saat aku bangkit berdiri dan meninggalkannya.

“Sayang tunggu sebentar ya..” kataku sambil melangkah.

Pram mengangguk dan menikmati waktunya dengan berbaring disana.

Didapur, sambil mencuci gelas-gelas, aku membayangkan kehidupan yang akan kujalani jika telah bekerja. Tentu saja waktu bersama lelakiku akan sangat berkurang, ditambah dengan kesibukannya dalam menyusun skripsi, bahkan, bukan tidak mungkin, kami akan kehilangan moment kebersamaan, atau bahkan hanya sekedar bersantai dan menikmati senja seperti hari ini.

Aku harus belajar untuk membagi waktu, meluangkan sedikit bagiannya untuk lelakiku, karena bagaimana pun, Pram tetaplah bagian terpenting dalam hatiku. Aku tak mungkin melupakannya, membiarkannya melewati hari-hari tanpa perhatian dariku.

Hampir limabelas menit kemudian, terdengar suara televisi dari ruang tengah. Tampaknya Pram mengurungkan niat untuk beristirahat dikamar tidur.

“Nanti gak usah masak bu, kita makan diluar aja.” kata Pram saat aku duduk disampingnya.

“Kenapa? Emangnya sayang lagi pengen makan apa?”

“Enggak sih bu, karena ibu udah dapet kerjaan, malam ini kita rayain, kita makan diluar. Gimana?”

“Haadduuhhhh… kerja aja belum lhooo.. kok udah dirayain segala sih Pram?”

“Lho, gapapa kok. Pokonya kita makan diluar. Ibu mau makan apa? Saya yang traktir.”

“Makan sate kambing. Boleh?”

“Boleh dong bu… saya juga suka kok.” jawabnya antusias.

“Ya udah, kita jalan sekarang aja biar pulangnya gak kemalaman.” kataku.

Sambil bergandengan tangan, kami melangkah kembali menuju ke kamar tidur untuk berganti pakaian.

“Harus pakai jilbab. Gak boleh pakai pakaian yang seksi.” guman Pram saat aku membuka pintu lemari pakaian.

“Iyaaa sayangkuuuu.. ibu pakai jilbab kok. Pakai rok panjang juga.” jawabku.

Pram tersenyum lantas memelukku dari belakang. Pelukannya begitu erat, begitu hangat dan beberapa kali pula ia mengecup kepalaku dengan mesra.

“Harus pakai pakaian dalam juga.” bisiknya.

Aku tertawa pelan, menumpangkan kedua tanganku diatas lengannya yang melinggkar di pinggangku.

“Harus ya??” tanyaku, lalu menjulurkan tangan ke arah belakang dan mengusap lembut kemaluannya.

“Kalo ibu gak mau, gimana?” sambungku.

Perlahan, Pram menarik naik ujung rok yang kukenakan hingga ke bagian pangkal paha, lantas mengusap kemaluanku dari balik celana dalam yang menutupinya.

“Harussss.. harus pakai pakaian dalam.”

Segera kutuntun telapak tangannya memasuki celana dalamku, dan membiarkannya disana.

“Iyaaa sayang.. ibu nurut apa kata sayang. Tapi..”

Pram kembali tertawa mendengar ucapanku sementara dibawah sana, jemarinya mulai bermain, menelusuri lekuk vaginaku dengan perlahan.

“Tapi apa? Ibu makin nakal lhoo.. disuruh pakai pakaian dalam aja susahnya minta ampun.”

“tapi… ibu yang traktir makan malam kita.”

“Ooooo.. saya kira ‘tapi’ apa..” jawabnya lalu tertawa, dan dibawah sana, ia mencubit bibir vaginaku dengan sedikit keras hingga membuat tubuhku tersentak.

Giliranku tertawa mendengar apa yang lelakiku katakan.

“Emang sayang mikirnya gimana?”

“Saya kira ibu mau diperkosa dulu baru pakai pakaian dalam.” jawabnya.

Aku tertawa pelan mendengar jawabannya karena tak menyangka apa yang ia pikirkan.

Di pangkal pahaku, kurasakan satu jarinya mulai tenggelam sedikit-demi sedikit, secara perlahan, kedalam liang kenikmatanku. Pram membangkitkan kembali gairahku dan tentu saja aku segera membalas dengan menyusupkan tangan kedalam celananya.

Aku menemukan kemaluan lelakiku telah mengeras dengan sempurna, dan hal ini membuatku semakin bernafsu, apalagi moment percintaan kami didapur rumahku sempat terganggu dengan kehadiran teman-teman Pram.

“Iya.. pengen juga di entot sayang.” bisikku nakal sambil meremas batang penisnya.

Pram segera menuntun tubuhku untuk berhadapan dengannya. Dan ketika kami telah saling berhadapan, aku langsung menyambar bibir lelakiku.

Dengan buas kulumat dan kuhisap, sementara dibagian bawah, kedua tanganku bergerak cepat, dengan cekatan melucuti celananya. Hanya dalam beberapa detik, tubuh bagian bawah lelakiku telah terbebas, dan tanganku dapat bergrak dengan leluasa mengerjai penisnya.

Sama halnya dengan Pram, jermarinya bergerak lincah melucuti rok, berikut celana dalamku. Tanpa membuang waktu, Pram langsung mengirimkan satu jarinya memasuki liang kenikmatanku.

Kocokannya begitu cepat dan dalam hingga membuat tubuhku terguncang. Rintihan, desahanku segera mengalun lembut saat Pram menundukkan kepala dan mulai menjilati sekujur dadaku.

Kesunyian ujung hari pasca kepergian teman-teman Pram pun pecah. Suara gemercik hujan rintik berganti dengan desahan dan rintihan, silih berganti.

Hanya dalam sekejab, tubuh kami kembali berbalut keringat. Hawa dingin tak lagi terasa akibat buas dan panas permainan kami.

Aku sedang akan bersimpuh, untuk menikmati penisnya dengan mulutku namun Pram mencegahnya. Ia lantas menuntunku untuk kembali berdiri tegak, dan melumat bibirku dengan lembut.

Perlahan jemarinya meninggalkan kemaluanku setelah berhasil membuatnya basah karena cairan lubrikasi yang mengalir keluar dari krmaluanku.

Setelah puas menikmati bibirku, Pram memasukkan jemarinya yang berlumuran cairan tersebut kedalam mulutku. Segera saja kuhisap dan kujilati hingga bersih.

Pram tersenyum sambil memandangiku, dan kembali mengerjai kemaluanku.

Sekali lagi, lidahnya menari liar menelusuri lekuk dadaku, jilatannya yang hangat membekas disekujurnya, meninggalkan jejak air liur disana.

Kedua putingku pun tak luput dari hisapannya, bahkan sesekali digigitnya dengan lembut hingga membuatku melayang merasakan sensasi antara sakit dan nikmat.

Diselangkanganku, kali ini bukan hanya satu jari yang ia kirimkan ke liang vaginaku, melainkan dua jari sekaligus.


Rasa-rasanya lutuku sudah tak mampu lagi untuk menahan beban tubuhku sendiri karena mulai goyah dan gemetar akibat hebatnya rangsangannya.

Sambil terus mengocok liang kemaluanku, ia kembali menjilati leherku dan beberapa kali menghisap kulitku dengan sangat keras hingga terasa sedikit perih.

Aku yakin, bekas hisapannya tersebut akan meninggalkan memar, meninggalkan jejak kemerahan disana.

♡♡♡ bersambung ♡♡♡

Part 2 akan rilis dalam beberapa kedepan.

Terima kasih :rose:
 
Siiip.. Alurnya santai dan ngalir.. Walaupun sedikit kentang gak jd pram di perkosa dulu.. Kirain udh langsung 3some aja ..

Ditunggu lagi beberapa jam.kedepan nya.. Apakah terjadi 3some nya.. hehehehee..
 
bikin senyum2 sendiri sesion yg ini,btw makasih ya sis sudah update lagi,semoga RL nya slalu lancar.
Di tunggu mbk rin exib nya lagi😁
 
RINDIANI The Series – Seri 12
Menjalani Mimpi​


Part 1



Rindiani


Rita tengah berdiri dengan senyum sumringah di depan pintu.

“Kok kamu bisa sampai disini?” tanyaku terheran-heran.

“Naik taksi.” jawabnya singkat sambil memasuki rumahku, walaupun aku belum mempersilahkannya.

“Dari tadi aku ketuk pintu, tapi gak dibukain.” gerutunya saat aku kembali menutup pintu.

Suara rintik hujan dan karena kami tengah terlarut dalam percintaan di dapur membuat aku dan Pram lupa akan segalanya, sampai-sampai tak mendengar ketukan pintu.

“Kok kamu tau rumah mbak??” tanyaku lagi.

“Tadi aku telpon Nina,nanya dia.” katanya sambil terus melangkah memasuki rumahku hingga ke ruang tengah.

Rita meletakkan sebuah tas diatas meja lalu duduk dikursi sambil menatapku tajam, sementara aku memandanginya dengan penuh keheranan.

“Kok rambut mbak berantakan gitu??” tanyanya dengan tatapan penuh selidik.

Belum sempat aku menjawab pertanyaan tersebut, Pram melangkah keluar dari kamar tidurku. Pandangan Rita pun beralih padanya. Dan seperti yang kuduga, ia langsung tersenyum jahil.

“Kayaknya aku menganggu yang lagi enak-enak.” gumannya sambil memainkan bola matanya.

Tanpa banyak kata, aku lantas duduk disampingnya dan mencubit pinggangnya hingga ia menjerit dan berusaha menghindariku.

Pram hanya bisa menghela nafas panjang sambil ikut duduk disofa, disamping Rita.

“Bete di kost, sepi, jadi aku main kesini.” kata Rita kemudian.

“Tadinya mau main ketempat Nina, tapi pasti gak asik.” sambungnya sambil melihat-lihat ruangan tengah rumahku.

“Mau minum? Teh, atau kopi? Atau air putih?” tanyaku.

“Gak usah bu, Rita mau langsung pulang kok.” jawab Pram.

Rita menatap tajam ke arah Pram.

“Mau ngusir nih? Emang tega ngusir aku??” balas Rita.

Pram hanya tertawa pelan, kemudian beranjak ke dapur.

“Kalian tinggal serumah?” tanya Rita.

“Iyaaaa…” jawab Pram dari arah dapur.

Aku hanya tersenyum malu mendengar jawaban Pram.

“Iya, Pram tinggal sama mbak disini.” jawabku.

“Oooo… berarti udah serumah.” gumannya sambil kembali memainkan bola matanya.

“Yuk ke dapur. Tadi ada oleh-oleh dikasih Nina. Kita ngopi sambil ngemil.” kataku.

Rita mengangguk, lalu mengikuti langkahku menuju ke dapur. Kami mendapati Pram tengah merebus air, dan menunggunya mendidih, ia berdiri didekat kompor dan membelakangi kami sehingga tak menyadari kehadiran kami.

“Bang, kopi satu.” kata Rita sambil melangkah mendekati Pram.

“Jangan terlalu manis ya bang, secara aku udah manis gini.” sambungnya.

“kamu iniiii.. gak di kampus, gak disini, otaknya gak pernah sinkron.” guman Pram.

Aku hanya tertawa melihat tingkah kedua orang tersebut. Sambil duduk dan menyeruput kopiku, aku menikmati keusilan Rita yang terus saja menggoda lelakiku. Dan seperti biasanya, Pram hanya membalasnya dengan senyum sambil menggelengkan kepala.

“Kopi atau teh?” tanya Pram.

“Teh aja deh. Kalo kopi ntar malah gak bisa tidur.”

Pram membuat segelas teh untuk Rita dan ikut bergabung bersamaku dan Rita di meja makan. Sambil menikmati oleh-oleh dari Nina, kami berbincang ringan, sekedar bercakap-cakap mengisi waktu.

“Pram, itu yang tentang keluarga Galang gimana? Kita kudu nyumbang berapa?” tanya Rita.

“Belum tau juga sih Rit. Harusnya sih kita nanya Nina, soalnya dia yang tahu banyak tentang keluarga Galang.”

“Kasihan Galang..” guman Rita pelan.

“Kalo gak salah sih, adiknya Galang itu cuman satu orang. Cewek kalo gak salah, sekarang udah SMA kelas tiga. Kata Pram.

“Nina pernah cerita juga sih, katanya adiknya itu juga pinter kayak Galang gitu.”

“Sayang banget kalo Anak pinter kayak gitu gak lanjut kuliah.” kataku.

Pram mengela nafas, lalu menyeruput kopi dan menikmati pisang sale dihadapan kami.

“Dulu, waktu pertama kali lihat Galang, rasanya seneng aja sih, soalnya jarang banget ada cowok yang betah dan rajin ke perpustakaan. Asik aja ngelihatnya.”

“Waktu itu sih belum kenal. Trus sekali waktu, aku lihat Galang sama Deva. Deva kan udah kenal aku, jadi ya dikenalin juga sama Galang sama Nina.” kata Rita sambil mengenang moment tersebut.

“Kamu kan adik kelas mereka, kok betah banget sih sama mereka? Emang temen seangkatanmu gak pada asik?” tanyaku.

“Ada juga temen seangkatanku mbak, tapi kalo menurutku sih lebih asik sama kalian. Heboh, rame, bikin betah kalo lagi ngumpul.”

“Dulu, aku kira Galang itu Pacarnya Nina. Eh, ternyata bukan.”

“Naksir Galang?” tanya Pram.

“Enggak.. bukan selera aku.” jawab Rita.

“Emang selera Rita yang seperti gimana?” tanyaku.

“Yang gaul dong mbak.. kalo bisa yang tajir mlintir, cakep. Trus yang tititnya gede.”

Pram sedang menyeruput kopinya dan ketika mendengar jawaban Rita, Ia terbatuk-batuk hingga beberapa saat lamanya. Dan aku hanya bisa tertawa keras mendengar jawaban konyol Rita.

“Ni anak otaknya kudu dibersihkan.” guman Pram.

“Gimana sih? Jawaban aku kan bener. Coba deh dipikir? Ngapain punya cowok cakep, tajir, tapi tititnya kecil kayak jari kelingking..?? Kan gak asik banget tuh..” bantah Rita.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala, sedangkan Pram tertunduk malu mendengar apa yang Nina katakan.

“Tititnya Pram Gede?” tanya Rita sambil berbisik padaku.

“Astagaaaaa… Ritttaaaaaaa…. Hhiiiiiiihhhhhh…!!!!” Protesku.

Rita hanya tertawa sementara Pram memandangi tingkah kami berdua dengan tatapan aneh.

“Tanya sendiri sama yang punya..” kataku kemudian.

“Eehhh.. kok aku sih??” protes Rita.

“Lhoo.. kan Rita yang nanya..” jawabku.

“Nanya apaan?” tanya Pram bingung.

“Ini lhoo sayang.. Rita penasaran, trus nanya tititnya sayang gede apa enggak.” jawabku.

“Mmbaaakkkkkkk…..!!!” Protes Rita sambil berusaha mencubitku, namun aku segera menghindar dan berlari ke belakang tubuh Pram. Wajahnya memerah, dan aku yakin Rita sangat malu pada Pram.

“Itu kan cuman bercanda ajaaaaa. Beneran kok Pram..” kata Rita dengan wajah memerah.

Pram tertawa, begitu juga denganku karena melihat Rita bak mati kutu dihadapan kami.

“Kalo beneran juga gapapa kok, mbak sih santai aja, terserah yang punya titit aja.” kataku lagi sambil memegang pundak lelakiku.

Mendengar ucapanku, Rita semakin menundukkan wajah, ia bahkan menutupinya dengan kedua telapak tangannya karena malu, sementara Pram menengadah, menatapku dengan penuh tanya. Sambil tersenyum, kukedipkan satu mata pada lelakiku.

“Udaahhh.. beneran aku cuman bercanda aja kok..” rengek Rita dengan wajah memerah.

Melihat Rita yang telah kehabisan akal, akhirnya aku kembali duduk disampingnya lalu menyeruput kopi.

“Udah.. kopinya diminum tuh, keburu dingin” gumanku.

Pram beranjak dari tempat duduknya lalu meraih segelas air putih.

“Ibu juga mau air putihnya.” kataku.

Pram mengangguk, lalu membawakannya untukku. Saat ia berdiri disampingku untuk meletakkan air putih tersebut, aku mendapati Rita memandangi sekilas pangkal paha lelakiku. Aku segera memegang tangan Pram dan menuntunnya untuk berdiri diantara kursiku dan Kursi Rita.

“Beneran gak mau lihat tititnya pacar mbak?” tanyaku pada Rita.

“Haaaaahhhhh???? Haaduuhhhhh… mbbaaaakkkkkk…. !!” protesnya sambil berusaha kembali mencubitku.

Kecepatan gerakan tangannya membuatku tak sempat lagi mengelak, dan Rita pun langsung mencubit pinggangku dengan gemes. Melihatku dalam keadaan terdesak, Pram segera menolongku dengan memegang tangan Rita dan berusaha melepaska cubitannya.

“Kalian seperti Tom and Jerry.” gumannya pelan saat Rita telah melepaskan tangannya dari tubuhku.

“Pacarmumu tuhhh… nakal banget.” Protes Rita.

Pram hanya bisa tertawa, lantas kembali duduk dan kembali menikmati kopinya.

“Kamu yang nakal.. udah punya cowok, masih aja sering gangguin pacar mbak.” balasku.

Rita hanya tertawa mendengar balasanku, lantas meraih pisang sale dihadapan kami dan menyantapnya.

“Aku cuman bercanda kok mbak.. asik aja godain Pram, soalnya Pram kan kalo di gangguin gak pernah ngebalas.” katanya.

“Nakall.” guman Pram pelan.

“Emang cowokmu tau? Kalo kamu sering godain Pram? Dia gak cemburu?” tanyaku.

“Dia tau kok, tapi kan aku cuman bercanda aja. Gak tau juga sih mabk, marah apa enggak dianya. Tapi aku sih cuek aja.”

“Ngomong-Ngomong, ini rumah mbak sendiri?? Mbak tinggal disini sendirian??” tanyanya.

“Iya..” jawabku singkat.

“Kerenn.. masih muda udah punya rumah sendiri.” “Punya kost-kostan lagi, udah gitu tinggal bareng Pram.” sambungnya.

“Ya gak selalu enak juga sih Rit. Kan harus kerja juga biar ada duit tambahan. Bayar listrik, bayar air, kebutuhan dapur.”

“Iya sih, butuh biaya juga.” gumannya.

“Kenapa kalian gak nikah aja sih??” tanyanya lagi.

Pram tertawa mendengar pertanyaan Rita.

“Kita belum siap Rit.. Pram aja belum lulus kuliah.” jawabku.

“Ya harusnya gak masalah dong.. lagian kan udah tinggal serumah.”

“Belum saatnya Rit. Kita belum siap.”

“Beneran.. enak banget jadi mbak Rin. Bisa tinggal bareng pacar. Pasti asik banget.” gumannya.

“Bisa kelonan tiap saat.” katanya lagi.

Pram tertawa sambil menatapku, seolah sedang mengejekku karena birahiku yang selalu tinggi setiap hari.

“Gak selalu tiap saat juga kaliii Rit.. kalo tiap saat bisa-bisa jalannya ngesot dong.”

Pram dan Rita tertawa mendengar jawabanku. Apa yang dikatakan oleh Rita benar adanya, sesuai dengan gambaran diriku yang sebenarnya, namun semua itu mampu dikendalikan oleh Pram dengan baik.

Jika saja Pram tak melakukannya, mungkin saja apa yang dikatakan oleh Rita sungguh-sungguh terjadi.

Masih menjadi sebuah misteri bagiku, mengapa aku menjadi kecanduan terhadap seks, pasca kedekatanku dengan Pram. Aku seolah tak pernah merasa bosan maupun puas dengan sentuhan-sentuhan erotis lelakiku, Pram.

Dibalik kehebatannya dalam memuaskan hasratku, Pram pun mampu mengendalikanku. Ia tak selalu menuruti keinginanku untuk bersetubuh. Aku menaklumi hal itu karena Pram tak ingin aku dikuasai oleh nafsu, dikendalikan oleh birahiku.

“Emang kemarin pas pulang, kamu kelonan sama cowokmu tiap hari?” tanyaku.

Rita mengangguk lalu tertawa pelan.

“kecil-kecil cabe rawit..” gumanku.

“Gapapa sih Rit, mbak sih biasa aja, cuek aja.” sambungku lagi.

“Emang kalian sering gituan?” tanya Rita.

Sejenak, Pram menggelengkan kepala.

“Kok jadi bahas gituan?” tanyanya heran.

“Idihhh.. biasa aja kali Pram. Selow aja.” Rita kembali menatapku sambil tersenyum nakal. Ekspresi wajahnya yang jahil mulai kembali nampak.

“Jangan tanya mbak aja. Tuh, tanyain Pram juga.” Protesku.

Akhirnya Rita pun melayangkan pandangannya Pram. Tatapn matanya membuat Pram tersipu hingga ia menundukkan wajah karena malu.

“Kamu iniiiii yahhhhh… dateng-dateng cuman mau ngerjain orang ajaaaa..!” protesku pada Rita karena melihat tingkahnya.

“Eh.. bukan ngerjain kok. Aku cuman nanya aja sih. Penasaran aja gitu, soalnya kalian kan tinggal serumah. Pasti udah kayak suami istri kan??” bantah Rita.

“Ya udah, mbak jawab deh.. kita emang tinggal serumah, tapi gak tiap hari kita kelonan. Biasanya sih dua hari sekali.”

“Ckckckckckck.. asiknyaaa enak banget jadi kalian.” gumannya.

“Rasanya sih biasa aja kok, ngalir gitu aja kok Rit.”

Pram yang sedari tadi hanya berdiam diri akhirnya berdiri sambil membawa gelas berisi kopi miliknya.

“Mau kemana?” tanya Rita.

“Nonton tv Rit. Kalian lanjutin aja ngobrolnya.”

Aku mengangguk sambil menatap lelakiku meninggalkan kami.

“Kok bisa sih, mbak pacaran sama Pram?” tanya Rita.

“Emang kenapa sih?”

“Ya gapapa sih, soalnya selama ini Pram kan gak tertarik sama cewek. Kayaknya dia cuek banget kalo sama cewek.”

“Gak tau juga yah.. ya pokoknya suka aja sama Pram. Orangnya tenang, pendiam, asik aja sih.” jawabku.

“Iya, emang pendiam banget. Dulu waktu awal-awal kenal Pram, kayaknya bingung mau ngobrol apa sama dia, soalnya dia kayak cuek gitu.”

“Ya cocok aja kalo ketemu kamu. Kamu sering buat keributan, Pram pendiam.”

Rita tertawa mendengar celotehku lantas kembali menyeruput kopinya.

“kalian emang pasangan yang serasi..” guman Rita.

“Serasi gimana? Apanya yang serasi?” tanyaku.

“Ya gak tau aja sih, tapi aku seneng aja liat kalian. Kayaknya klop gitu. Pasangan ideal.”

“Biasa aja sih Rit.. yang penting harus saling mengenal dan saling pengertian”

Rita mengangguk pelan, sambil memandangi Pram yang kembali ke meja makan dan meraih makanan ringan dihadapan kami.

“Daripada penasaran, ngeliatin mulu, tanyain aja langsung ke orangnya. Apa mau lihat langsung??” gumanku sambil menatap Rita karena memergokinya menatap pangkal paha lelakiku.

“Apaan sih mbak Riiinnnn??” Protes Rita.

Aku tertawa sambil memegang tangan Pram yang tengah berdiri disampingku.

“Mbak Rindi gilaaaa.” gumannya pelan.

Pram pun tertawa melihat Rita salah tingkah akibat ulahku.

“Santai aja sih Rit.. kalo mau lihat punya Pram gapapa kok. Mbak sih gak masalah. Jangankan lihat, kamu pegang kamu isep juga gapapa kok. Terserah Pram aja.” kataku sambil memandangi Pram dan mengedipkan mata.

“Gimana sayang.. boleh?” tanyaku Pada Pram.

Pram hanya tersenyum namun wajahnya tampak tegang, sementara Rita masih menundukkan kepalanya karena malu.

“Bu, bentar lagi Deva mau kesini. Katanya mau bicarain soal bantuan buat keluarga Galang.”

“Deva telpon sayang?” tanyaku.

Pram mengangguk, lantas kembali ke ruang tengah.

“Pas banget.” guman Rita.

“Apanya yang pas?” “Aku emang pengen banget nolongin Galang mbak, beneran. Aku sedih aja sih kalo sampe dia cuti semester ini.”

“Cuman, masalahnya mungkin aku gak bisa bantu banyak mbak.” kata Rita lagi.

Aku tersenyum dan dalam hati merasa tersentuh dengan kebaikan dan kepedulian Rita. Dibalik sikapnya yang jahil dan usil, ia memiliki hati yang mulia, memiliki kepekaan sosial terhadap situasi disekitarnya.

“Gak peduli sekecil apapun bantuanmu, pasti bermanfaat banget buat keluarga Galang.”

“Bukan soal besar kecilnya sih Rit, tapi soal kepedulianmu, dan keikhlasanmu.” sambungku.

“Iya mbak.. aku ngerti. Cuman, rasanya gak enak aja gak bisa bantu banyak.”

“Gapapa kok Rit, mbak ngerti. Mbak juga gak bisa bantu banyak sih, tapi cuman semampu mbak aja.”

Kami sedang mencoba menghitung biaya pengeluaran secara kasar, terutama untuk kebutuhan dapur keluarga Galang ketika Pram dan Deva akhirnya bergabung bersama kami di meja makan.

“Rumah mbak jauh banget.” guman Deva sambil meraih makanan ringan dihadapannya.

“Iya.. yang penting gak sejauh Afganistan.” jawabku.

Deva tertawa sambil meletakkan tas selempangnya diatas meja.

“Pram, tadi aku mikir-mikir. Bantuan untuk keluarga Galang dikasih sekali aja atau perbulan?”

“Kalo menurutku, sebaiknya perbulan aja Pram. Jadi tiap bulan, kita sisihkan uang pribadi kita buat keluarganya.” sambung Deva.

“Menurut saya juga sebaiknya begitu, nanti kita bicarakan lagi sama yang lain. Nina tahu banyak tentang keluarga Galang, jadi nanti kita bicarakan sama dia, sekaligus perkiraan jumlah kebutuhan tiap bulannya.” kata Pram.

Cukup lama kami berbincang tentang berbagai hal di meja makan hingga akhirnya Deva dan Rita pun pamit, karena hari telah menjelang malam.

Kesunyian kembali melingkupi rumahku pasca kepergian teman-teman Pram.

“Mau masak sekarang?” tanyaku saat kami kembali ke dalam rumah, ke kamar tidurku.

“Nanti aja bu, saya belum lapar.” jawabnya sambil duduk di tepian ranjang.

Aku hendak melangkah ke arah lemari pakaian ketika Pram meraih jemariku dan menuntun tubuhku untuk duduk diatas pangkuannya.

Segera saja kutarik naik ujung rokku hingga kebagian pinggang agar nyaman saat duduk diatasnya.

“Seragam kerja ibu pakaian biasa atau berjilbab?”

“Seragamnya ada dua macam, yang biasa sama pakai jilbab. Ibu pilih yang pakai jilbab.”

“Tapi mungkin minggu depan baru bisa dapet seragamnya. Untuk sementara ini, ibu pakai pakaian kerja biasa aja dulu.” sambungku.

“Udah ada pakaiannya?”

“Udah.. ibu punya beberapa pakaian formal yang cocok untuk kerja kantoran.” balasku sambil mengusap pipinya.

“Pasti ibu makin cantik kalo pakai pakaian kantoran.” gumannya sambil memegang erat pinggangku.

“Ya enggak dong sayang. Disana malah banyak yang cantik lhoo, apalagi yang di resepsionis itu.”

Pram tersenyum lalu mendekatkan wajahnya dan melumat bibirku hingga beberapa saat.

“Ibu ke dapur dulu ya, beresin gelas-gelas yang tadi kita pakai.”

Pram merebahkan tubuh diatas ranjang dengan kaki terjuntai ke lantai, saat aku bangkit berdiri dan meninggalkannya.

“Sayang tunggu sebentar ya..” kataku sambil melangkah.

Pram mengangguk dan menikmati waktunya dengan berbaring disana.

Didapur, sambil mencuci gelas-gelas, aku membayangkan kehidupan yang akan kujalani jika telah bekerja. Tentu saja waktu bersama lelakiku akan sangat berkurang, ditambah dengan kesibukannya dalam menyusun skripsi, bahkan, bukan tidak mungkin, kami akan kehilangan moment kebersamaan, atau bahkan hanya sekedar bersantai dan menikmati senja seperti hari ini.

Aku harus belajar untuk membagi waktu, meluangkan sedikit bagiannya untuk lelakiku, karena bagaimana pun, Pram tetaplah bagian terpenting dalam hatiku. Aku tak mungkin melupakannya, membiarkannya melewati hari-hari tanpa perhatian dariku.

Hampir limabelas menit kemudian, terdengar suara televisi dari ruang tengah. Tampaknya Pram mengurungkan niat untuk beristirahat dikamar tidur.

“Nanti gak usah masak bu, kita makan diluar aja.” kata Pram saat aku duduk disampingnya.

“Kenapa? Emangnya sayang lagi pengen makan apa?”

“Enggak sih bu, karena ibu udah dapet kerjaan, malam ini kita rayain, kita makan diluar. Gimana?”

“Haadduuhhhh… kerja aja belum lhooo.. kok udah dirayain segala sih Pram?”

“Lho, gapapa kok. Pokonya kita makan diluar. Ibu mau makan apa? Saya yang traktir.”

“Makan sate kambing. Boleh?”

“Boleh dong bu… saya juga suka kok.” jawabnya antusias.

“Ya udah, kita jalan sekarang aja biar pulangnya gak kemalaman.” kataku.

Sambil bergandengan tangan, kami melangkah kembali menuju ke kamar tidur untuk berganti pakaian.

“Harus pakai jilbab. Gak boleh pakai pakaian yang seksi.” guman Pram saat aku membuka pintu lemari pakaian.

“Iyaaa sayangkuuuu.. ibu pakai jilbab kok. Pakai rok panjang juga.” jawabku.

Pram tersenyum lantas memelukku dari belakang. Pelukannya begitu erat, begitu hangat dan beberapa kali pula ia mengecup kepalaku dengan mesra.

“Harus pakai pakaian dalam juga.” bisiknya.

Aku tertawa pelan, menumpangkan kedua tanganku diatas lengannya yang melinggkar di pinggangku.

“Harus ya??” tanyaku, lalu menjulurkan tangan ke arah belakang dan mengusap lembut kemaluannya.

“Kalo ibu gak mau, gimana?” sambungku.

Perlahan, Pram menarik naik ujung rok yang kukenakan hingga ke bagian pangkal paha, lantas mengusap kemaluanku dari balik celana dalam yang menutupinya.

“Harussss.. harus pakai pakaian dalam.”

Segera kutuntun telapak tangannya memasuki celana dalamku, dan membiarkannya disana.

“Iyaaa sayang.. ibu nurut apa kata sayang. Tapi..”

Pram kembali tertawa mendengar ucapanku sementara dibawah sana, jemarinya mulai bermain, menelusuri lekuk vaginaku dengan perlahan.

“Tapi apa? Ibu makin nakal lhoo.. disuruh pakai pakaian dalam aja susahnya minta ampun.”

“tapi… ibu yang traktir makan malam kita.”

“Ooooo.. saya kira ‘tapi’ apa..” jawabnya lalu tertawa, dan dibawah sana, ia mencubit bibir vaginaku dengan sedikit keras hingga membuat tubuhku tersentak.

Giliranku tertawa mendengar apa yang lelakiku katakan.

“Emang sayang mikirnya gimana?”

“Saya kira ibu mau diperkosa dulu baru pakai pakaian dalam.” jawabnya.

Aku tertawa pelan mendengar jawabannya karena tak menyangka apa yang ia pikirkan.

Di pangkal pahaku, kurasakan satu jarinya mulai tenggelam sedikit-demi sedikit, secara perlahan, kedalam liang kenikmatanku. Pram membangkitkan kembali gairahku dan tentu saja aku segera membalas dengan menyusupkan tangan kedalam celananya.

Aku menemukan kemaluan lelakiku telah mengeras dengan sempurna, dan hal ini membuatku semakin bernafsu, apalagi moment percintaan kami didapur rumahku sempat terganggu dengan kehadiran teman-teman Pram.

“Iya.. pengen juga di entot sayang.” bisikku nakal sambil meremas batang penisnya.

Pram segera menuntun tubuhku untuk berhadapan dengannya. Dan ketika kami telah saling berhadapan, aku langsung menyambar bibir lelakiku.

Dengan buas kulumat dan kuhisap, sementara dibagian bawah, kedua tanganku bergerak cepat, dengan cekatan melucuti celananya. Hanya dalam beberapa detik, tubuh bagian bawah lelakiku telah terbebas, dan tanganku dapat bergrak dengan leluasa mengerjai penisnya.

Sama halnya dengan Pram, jermarinya bergerak lincah melucuti rok, berikut celana dalamku. Tanpa membuang waktu, Pram langsung mengirimkan satu jarinya memasuki liang kenikmatanku.

Kocokannya begitu cepat dan dalam hingga membuat tubuhku terguncang. Rintihan, desahanku segera mengalun lembut saat Pram menundukkan kepala dan mulai menjilati sekujur dadaku.

Kesunyian ujung hari pasca kepergian teman-teman Pram pun pecah. Suara gemercik hujan rintik berganti dengan desahan dan rintihan, silih berganti.

Hanya dalam sekejab, tubuh kami kembali berbalut keringat. Hawa dingin tak lagi terasa akibat buas dan panas permainan kami.

Aku sedang akan bersimpuh, untuk menikmati penisnya dengan mulutku namun Pram mencegahnya. Ia lantas menuntunku untuk kembali berdiri tegak, dan melumat bibirku dengan lembut.

Perlahan jemarinya meninggalkan kemaluanku setelah berhasil membuatnya basah karena cairan lubrikasi yang mengalir keluar dari krmaluanku.

Setelah puas menikmati bibirku, Pram memasukkan jemarinya yang berlumuran cairan tersebut kedalam mulutku. Segera saja kuhisap dan kujilati hingga bersih.

Pram tersenyum sambil memandangiku, dan kembali mengerjai kemaluanku.

Sekali lagi, lidahnya menari liar menelusuri lekuk dadaku, jilatannya yang hangat membekas disekujurnya, meninggalkan jejak air liur disana.

Kedua putingku pun tak luput dari hisapannya, bahkan sesekali digigitnya dengan lembut hingga membuatku melayang merasakan sensasi antara sakit dan nikmat.

Diselangkanganku, kali ini bukan hanya satu jari yang ia kirimkan ke liang vaginaku, melainkan dua jari sekaligus.


Rasa-rasanya lutuku sudah tak mampu lagi untuk menahan beban tubuhku sendiri karena mulai goyah dan gemetar akibat hebatnya rangsangannya.

Sambil terus mengocok liang kemaluanku, ia kembali menjilati leherku dan beberapa kali menghisap kulitku dengan sangat keras hingga terasa sedikit perih.

Aku yakin, bekas hisapannya tersebut akan meninggalkan memar, meninggalkan jejak kemerahan disana.

♡♡♡ bersambung ♡♡♡

Part 2 akan rilis dalam beberapa kedepan.

Terima kasih :rose:
Luaaaarrrr biasa.....
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd