Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Finding Reality ACT II

Part 55: Warning!!


Screenshot-20210614-113018-2.jpg


"Haduuhh... Males banget gue" suara keluhan Rafli.

Aku diam saja tanpa menganggapinya.

"Kenapa gue harus sekelompok sama lo mulu sih?" masih keluhan, masih juga dari orang yang sama.

Aku masih diam, masih juga tidak menanggapinya.

"Lagian baru masuk juga, udah langsung dikasih tugas aja.."

Aku tetap diam. Ini namanya konsistensi.

"WOI!!! LO RESPON DONG!!" dan sekarang keluhannya berubah menjadi protes.

"Lo berharap gue respon apa?" akhirnya aku merespon. "Kalo lo emang ga mau sekelompok sama gue, ya bilang sana sama dosennya lah"

"Bukan gue ga mau. Sekelompok sama lo itu paling enak, nilainya nanti pasti paling tinggi" balas Rafli dengan yakin. "Apalagi pas presentasi, cara lo jelasin gampang dipahamin"

"Terus masal--"

"Tapi pas sesi tanya jawab...," sela Rafli. "...nanti pasti ada aja pertanyaan-pertanyaan ga jelas kayak..., 'Adrian udah punya pacar belom?', 'Adrian tipe ceweknya yang kayak gimana sih??', 'Adrian habis kelas ini, sibuk engga?'.. Macem-macem lah, MALES GUE DENGERNYA!!"

"Ya ga usah lo dengerin" balasku santai. "Ngapain lo dengerin juga?" dan kenapa sepertinya dia hafal dengan daftar pertanyaannya?

"Tapi kenapa dosennya ga negur cewek-cewek yang suka nanyain hal kayak gitu ya?"

"Ya mana gue tau"

"Apa jangan-jangan dia juga penasaran sama jawaban lo" Rafli mengambil kesimpulan yang menjengkelkan.

"Hah?!!" aku kaget. Tentu saja aku kaget. Dosen kami itu laki-laki, jadi jika apa yang diucapkan Rafli itu adalah benar..., agak seram ya.

"Dia kan punya anak cewek" tambah Rafli yang cukup sedikit menenangkanku, tapi aku tetap akan waspada pada dosen kami.

Ya, memang begitu. Setiap mendapat tugas presentasi, selalu saja ada pertanyaan-pertanyaan seperti yang disebutkan Rafli tadi.
Meskipun pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah benar-benar aku jawab -selama ini aku hanya menanggapinya dengan senyuman saja-, tapi mungkin pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan terus keluar sampai aku benar-benar memberikan jawaban. Dan saat presentasi nanti, kemungkinan besar hal tersebut akan kembali terjadi.

Mungkin suatu hari nanti, aku akan membawa Shani ke kampus untuk-- tunggu sebentar, sepertinya itu terlalu kejam. Karena itu pasti akan benar-benar menghilangkan 'harapan' mereka.
Lalu siapa? Apa aku harus membawa Gracia? Lagipula bukankah sudah pernah tersebar kalau pacarku adalah Gracia kan..
Tapi kurasa bahkan seorang Gracia tidak perlu sampai harus turun tangan.

Apa harus Anin?
Tunggu sebentar.., kenapa tiba-tiba Anin yang terlintas di kepalaku?
Oke, lupakan semua itu tadi. Kita kembali ke cerita.

TING~

Itu bukan hanya suara dari hapeku, itu juga suara dari hape milik Rafli.

"Jose nyuruh ke kantin nih" ucap Rafli yang sebenarnya tanpa perlu dia beritahu pun aku juga sudah tahu karena Jose juga mengirim chat kepadaku.

"Lo duluan aja.. Gue ada perlu" ucapku yang kemudian segera pergi meninggalkan Rafli.

"Mau kemana? Woi!"

Aku tak menjawab Rafli dan hanya melambaikan tanganku. Tak semuanya harus diketahui bukan, lagipula setelah itu Rafli sendiri jiga tak berteriak memanggilku. Cukup pengertian memang..

•••​

Alasanku sebenarnya tidak langsung ke kantin bersama Rafli adalah karena aku harus pergi ke perpus terlebih dahulu.

Tidak, jangan terlalu positif thinking terhadapku. Aku tidak serajin itu.
Aku bukannya mau mencari bahan untuk tugas. Ada buku yang memang harus kukembalikan. Dan sepertinya tenggat waktunya hari ini.., atau sudah terlewat? Entahlah.

Tapi..., kenyataannya setelah aku benar-benar berada di perpus, setelah mengembalikan buku -yang untungnya ternyata aku tidak harus membayar denda- aku tetap mengunjungi rak buku. Aku mencari beberapa bahan untuk tugas.
Sejak kapan aku jadi serajin ini? Entahlah. Mungkin aku hanya iseng saja.

"Sebentar lagi.." tiba-tiba aku mendengar suara berat khas laki-laki di sebelahku. Tapi suara itu terdengar lirih. Aku tahu betul siapa pemilik suara ini.

Otomatis aku menengok dan mendapati si pemilik suara sedang sibuk melihat-lihat buku. Melihat dia yang sepertinya tingginya bertambah, entah kenapa membuatku sedikit kesal. Sialan..

Merasa diperhatikan, dia pun juga ikut menengok ke arahku. Sorot matanya yang tajam masih terlihat sama diingatanku.

"Sebentar lagi.." dia hanya mengulangi perkataannya yang sebelumnya.

Sebenarnya aku tidak mau menanggapinya, bukan karena apa-apa. Tapi ini perpus, dilarang berisik disini.
Akan tetapi rasa penasaranku akan maksud dari perkataannya itu akhirnya membuatku bertanya juga.

"Maks--"

"Udahlah, sekarang lo temuin temen-temen lo dulu sana.." potongnya sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku.
Tepat setelah mengucapkan kalimat yang hampir membuatku tertawa, dia pun lantas pergi meninggalkanku.

Daripada aku pusing memikirkan maksud dari perkataannya, aku mengikuti sarannya untuk menemuin Jose dan yang lainnya ke kantin.

•••​

"Nah, ini dia.. Pesen-pesen sana"

Begitu sampai di kantin, aku langsung disambut oleh Jose dan yang lainnya yang tengah lahap makan. Dan Jose juga yang menyuruhku untuk segera memesan sesuatu.

"Apa'an nih?" aku masih bingung.

"Udah, pesen aja.. Ditraktir Sam" jelas Jose yang menghentikan kunyahannya sejenak. Sedangkan Rafli dan Tedi seolah tidak peduli dengan kedatanganku, mereka terlihat khusyuk melahap makanannya. Dan Samuel sendiri terlihat murung sembari melihat isi dompetnya. Melihat itu semua, aku bisa langsung menyimpulkan apa yang sedang terjadi.

"Gue ga usah deh, kasihan Sam" balasku. "Lagian kayaknya lo bertiga pada maksa ya minta ditraktir"

Tiga orang yang kumaksud itu seketika merespon dengan cengiran seolah tak berdosa.

"Emang susah ya.. Susah nyari alesan buat benci sama lo" celetuk Samuel tiba-tiba.

"Hah? Kenapa??"

"Lain kali aja gue traktir sendiri ya" sahut Samuel tanpa menjawab pertanyaanku. Terserahlah.

"Kalo boleh tau dalam rangka apa lo traktir-traktir gini?" tanyaku yang sedikit penasaran. Karena seingatku ulang tahun Samuel sudah lewat.

"Baru jadian dia.." Jose yang menjawab.

"Oh..." balasku. Tapi sepersekian detik kemudian diri ini tersadar akan sesuatu. "Bukannya lo sama Mia udah jadian dari lama?"

"Udah putus.. Sekarang dia sama Sasha" kembali Jose yang menjawab.

Oke, itu sudah cukup menjelaskan bagiku. Ngomong-ngomong gercep juga ya. Aku tidak ingin memikirkan yang macam-macam sebenarnya, tapi jika ingin berfikiran negatif.. Mungkin putus karena selingkuh, kemudian ketahuan dan akhirnya jadian dengan selingkuhannya. Tapi sekali lagi, itu hanya pikiran liarku.

"Mau nanya apa lagi?" tanya Jose balik yang kemudian kubalas hanya dengan gelengan kepala saja. Seperti yang kujelaskan tadi, tidak semuanya harus diketahui bukan.

"Padahal alesan putusnya Samuel kan ada hubungannya sama--"

"Ted!!!" Jose dengan cepat memotong ucapan Tedi. Membuatku jadi sedikit penasaran.

"Lagian Sam juga, pake ditanyain beneran.." ucap Tedi lagi.

"Udah diem!!" Rafli menyenggol Tedi agar dia segera diam.

Tingkah mereka semua membuatku jadi semakin penasaran.

"Ternyata disini para pecundang ngumpul" tiba-tiba terdengar suara yang membuat kami berlima sedikit terkaget. Bagaimana tidak kaget kalau ada monyet bisa berbicara.

Tapi kami berlima hanya diam, tanpa ada niatan sedikitpun untuk menanggapi si pemilik suara barusan. Dia tidak sendirian, ada seseorang yang menemaninya. Tapi dia hanya diam dan belum bersuara sedikitpun.

BRAK!!!

Tiba-tiba Tedi menggebrak meja hingga membuat kami semua terkaget. Masih sambil mengunyah, dia melirik sinis ke arah dua orang yang mendatangi kami.
Setelah itu dia mengambil minum, menafik nafas, dan barulah...,

"Maksud lo apa, BANGSAT!!"

Jedanya kelamaan, anjir!!

"Santai, gue ga ada maksud buat nyari ribut.." balas si 'monyet' itu. Ucapannya sungguh bertolak belakang dengan ucapannya yang sebelumnya ketika baru muncul. Dan orang yang bersamanya terlihat tidak tertarik dengan apapun yang diucapkannya. "Gue kesini cuma--"

"Bullshxx.."

Aku, Jose dan yang lain langsung kaget. Bagaimana tidak, orang yang daritadi diam itu tiba-tiba bersuara dengan mengucapkan kata seperti itu.

"Maksud lo apa, Vin?" si 'monyet' yang omongannya dipotong pun terlihat emosi.

"Adriansyah.." ucap seseorang yang dipanggil 'Vin' tersebut.

Aku tidak langsung membalasnya. Terlebih dahulu aku memberi isyarat pada Jose untuk diam sejenak karena sepertinya dia ingin melakukan sesuatu.

"Ya?" ucapku kemudian.

"Danial. Gedung 4. Rooftop. Sekarang" sungguh singkat, tapi tidak menjelaskan apapun sebenarnya.

Huft~
Aku menghela nafas sejenak.

Kemudian aku berdiri dan berpesan..,

"Nitip barang-barang gue bentar ya" ucapku pada Jose dan yang lain.

"Woi, lo mau kemana? Mau ngapain?" tanya Jose curiga.

"Ga denger kata Kevin tadi?" balasku. "Ke rooftop lah.."

"Jangan aneh-aneh" Jose masih berusaha mencegahku.

"Aneh-aneh apa? Palingan juga cuma ngobrol biasa" balasku lagi.

"Terus kenapa sekarang lo peregangan otot?" tanya Rafli.

"Gapapa. Iseng aja..,"

"Sorot mata lo keliatan kayak pengen mukulin orang" sahut Jose.

"Ga usah khawatir gitu lah.."

"Kita semua percaya lo bakal balik utuh. Tapi yang kita khawatirin itu, akibat dari perbuatan lo nanti"

"Udahlah, gue duluan" kasihan anak orang jadi kering kelamaan nunggu di rooftop. Kan panas.

"Woi, Dri!!" panggil Jose lagi. "Yan!!!"

Tapi aku sudah tak lagi mengindahkan kata-katanya. Karena sepertinya hal ini memang lebih baik untuk segera diselesaikan.
Dan ketika melewati kedua orang yang tadi datang memberitahu keberadaan Danial, aku mendengar sebuah bisikan..,

"Jangan berlebihan"

•••​

Sebenarnya saat diberitahu kalau waktunya 'sebentar lagi', aku tidak pernah mengira kalau akan secepat ini.

"Akhirnya lo dateng juga. Gue puji keberanian lo karena lo ga lar--"

"WOI!!!" potongku. "Lain kali bisa milih tempat lain engga!!? Capek gila naik tangganya!!" protesku. "Mana pan--"

BOUGH!!

Ah, sial!
Aku sudah menduga kalau pukulan itu akan datang, tapi aku tidak pernah menduga kalau ternyata cukup sakit juga. Dan sepertinya ujung bibirku sedikit berdarah.
Tidak perlu kujelaskan siapa yang baru saja memukulku. Kelakuan siapa lagi kalau bukan Danial.

Setelah menyeka ujung bibirku yang sedikit berdarah, aku lalu melirik ke arah Danial dan kemudian bertanya..,

"Udah kan ya? Kalo gitu, gue balik ya"

"Kenapa?"

Apanya yang 'kenapa'?
Kenapa justru dia yang bertanya. Bukankah situasi saat ini lebih cocok aku yang bertanya seperti itu?
Dia memanggilku kesini, aku datang, dan dia langsung memukulku.
HARUSNYA AKU YANG BERTANYA 'KENAPAAA'!!!!

"Kenapa Manda masih suka nginget-nginget lo, anjing!! Pacarnya sekarang itu kan gue!!!"

"Ya lo tanyain sendiri lah, bego.. Kenapa malah ngamuk ke gue?" sepertinya ada yang salah dengan otak orang ini.

Aku sebenarnya sudah bisa menebak kalau kali ini pun masih ada hubungannya juga dengan Manda. Tapi sepertinya kali ini sudah berlebihan, harus segera diselesaikan.

"HHAAAA...!!!" pukulan berikutnya datang, tapi dengan sigap aku dapat menghindarinya dengan mudah.

Detik berikutnya hujan pukulan dari Danial di arahkan padaku. Tapi karena di mataku itu terlihat lambat dan semakin lambat, tentu aku bisa kembali menghindarinya.
Pukulan kakekku jauh lebih cepat dan lebih menyakitkan. Masa dia kalah dengan seorang kakek tua?

Hanya menghindar dan terus menghindar membuatku lama-kelamaan merasa bosan. Maka dari itu, di saat aku menemukan celah di pukulannya yang entah ke berapa, diriku langsung menangkap lengannya dan kemudian menariknya disertai juga dengan tolakan pada punggungnya dengan menggunakan kakiku.

"AAAAARRRRRKKKKKKK.....!!!!!!"

Itu tidak akan memberikan cedera serius padanya, tapi mungkin hanya akan sedikit menggeser sendi yang berada di bahunya. Kemungkinan dia hanya akan merasakan sedikit rasa nyeri di bahunya. Atau mungkin juga tidak..

Atau mungkin juga iya. Karena sekarang Daniel terlihat sedang meringis kesakitan sembari memegangi bahunya. Baiklah, kurasa sudah cukup.

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, aku segera berbalik badan bermaksud meninggalkannya. Tapi baru beberapa langkah aku berjalan..,

"ANJ*NG!!! LO PIKIR DENGAN GINI DOANG GUE NYERAH HAH!!?" teriak Danial penuh emosi.

Huft~
Aku sedikit menghela nafas.

"Lo pikir dari awal gue serius nanggepin lo?" balasku sambil menoleh ke arahnya dan menatapnya tajam.

Danial tidak menjawab sepatah kata pun, dia hanya terdiam sambil memegangi bahunya. Bahkan nafasnya yang tadinya ngos-ngosan kini seperti tertahan oleh sesuatu.

Karena berfikir kalau hal ini tidak akan berakhir dengan mudah, maka aku pun memutuskan untuk sedikit meladeninya. Aku kembali berbalik badan dan memasang kuda-kuda.

"Nah, gitu.. Sekarang ayo kita sele--"

BOUGH!!

Sebelum dia lebih banyak mengucapkan hal-hal tidak penting lagi, tinjuku sudah lebih cepat menghampiri hidungnya dengan telak.
Pukulan itu membuatnya sedikit mundur dan menjaga jarak. Tapi dengan cepat pula aku kembali membuatnya berada dalam jangkauan pukulanku. Danial yang sibuk memegangi hidungnya yang berdarah tak bisa berbuat banyak ketika pukulan-pukulanku kembali menghujani wajahnya.
Namun sialnya, dia juga berhasil mencuri kesempatan untuk melindungi wajahnya menggunakan kedua lengannya. Karena wajahnya sudah 'terlindungi' sasaranku berikutnya tak lain adalah badannya. Tak masalah jika dia ingin melindungi wajah agar tidak semakin babak belur, tapi akan kupastikan kalau sekujur tubuhnya akan merasakan sakit untuk sementara waktu.

Saat aku mulai merasa 'hiburan'ku ini akan berlangsung cukup lama, tapi ternyata tidak juga. Karena...,

"YAAANN!!!"

Bukan. Bukan teriakan Jose yang membuatku berhenti menggunakan teknik 'Gomu-Gomu no Gatling Gun', tapi karena orang yang memanggilku ke rooftop ini sekarang sedang meringkuk tepat di hadapanku.

"Pemandangan yang tidak bisa dilihat setiap hari.." celetukku sambil menunjuk ke arah Danial.

"Beneran lo hajar habis-habisan?" tanya Jose yang datang bersama dengan yang lain.

"Haha!! Gue bilang juga apa.." sahut Rafli yang kemudian menyenggol orang di sebelahnya, Tedi.

"Cih.." keluh Tedi yang kemudian merogoh sakunya dan memberikannya pada Rafli.

Tunggu sebentar.., apa mereka taruhan?

Sedangkan Samuel, dia terlihat diam saja tanpa berkomentar apapun. Namun ternyata tidak hanya mereka berempat yang datang, ada juga si 'monyet' alias Irfan yang buru-buru membantu Danial untuk berdiri. Dan di belakangnya ada Kevin yang terlihat lebih santai.

"Gue udah bilang 'jangan berlebihan'.." ucapnya pelan dengan melirik ke arahku yang lalu hanya kubalas dengan memutar bola mataku.

"MAS DANI!!!" tiba-tiba muncul seorang tokoh baru, pak Adi.

Dia adalah salah seorang staff di kampus ini. Tidak perlu terlalu mengingatnya, karena belum tentu dia akan muncul lagi kedepannya.
Tapi pertanyaannya adalah.., kenapa pak Adi bisa secara random berada di tempat ini?

"Mas Dani, maaf saya telat.." seperti Irfan tadi, pak Adi juga buru-buru menghampiri Danial.

"Gapapa, masih sesuai rencana kan" balas Danial.

Ah, jadi begitu.. Mereka merencanakan sesuatu. Tapi kenapa firasatku tidak 'memperingatkanku' ya?
Harusnya aku diperingatakan untuk tidak pergi ke rooftop, karena pada dasarnya aku tidak harus menuruti 'undangan' Danial bukan.
Apakah aku sudah kehilangan kemampuan 'firasat' ini?
Ataukah semesta merencanakan hal lain?

"Mmpphhh..." tiba-tiba terdengar Kevin seolah sedang menahan tawa. Setelahnya dia memberi kode padaku untuk segera pergi dari tempat ini.

Benar juga, kenapa aku masih berada di tempat ini. Dengan segera aku langsung menghampiri Jose dan yang lain.

"Woi, kalian berdua tadi taruhan apa?" tanyaku pada Rafli dan Tedi.

"Tedi bilang lo bakalan ngelempar Danial ke bawah" jawab Rafli yang kutahu itu pasti bercanda.

"Ya engga lah!! Bukan!! Kita cuma taruhan berapa lama Danial bisa bertahan" Tedi mengkoreksi. "Kalo pas kami nyampe dia masih berdiri, gua yang menang. Kalo sebaliknya, Rafli yang menang"

"Ngomong-ngomong tas kalian kemana?" tanyaku lagi yang baru menyadari adanya sesuatu yang janggal.

"Kita tinggal di kantin.." balas Rafli santai.

"Tas gue juga? Ga ada yang jagain?" tanyaku.

"Oh iya ya" mereka berempat tidak ada yang sadar pada hal sepele semacam itu..

"Gue udah titipin ke pas Syamsuri" sahut Samuel yang akhirnya bersuara.

"APA?!!" dan teriakan Danial pun merusak suasana. Reflek aku pun menoleh sebentar. "Lo ga salah info??"

"Maaf, mas Dani.., tapi udah saya cek berkali-kali dan memang begitu kenyataannya" ucap pak Adi yang sepertinya melakukan suatu kesalahan hingga membuat Danial merasa frustasi.

"Anj***!! Bang***! Gue udah babak belur gini dan ga ada hasilnya?"

Kemudian dengan penuh emosi Danial berjalan mendekatiku lalu menarik kerah bajuku dengan segenap tenaganya yang tersisa. Tentunya Jose dan yang lain tidak tinggal diam, mereka bermaksud untuk membantuku melepaskan diri. Tapi karena aku merasa hal itu tidak perlu, maka aku pun mencegahnya.

"Ga usah maksain.., bahu lo masih sakit kan" ucapku santai.

Dan benar saja, tak lama kemudian Danial dengan sendirinya melepaskan kerah bajuku.

"Lo mau sesempurna apalagi, bangs*t!!" aku semakin tidak mengerti dengan apa yang diucapkannya.

Tapi setelah mengucapkan hal itu, Danial lalu berbalik badan. Tepat pada saat itulah aku langsung memegang bahunya dan..,

"Lo mau ap-- AARRRGGGHH!!!" sebelum menyelesaikan kalimatnya, aku sudah terlebih dahulu mengembalikan posisi bahunya yang tadi sempat kugeser. Ya, aku merasa sedikit bertanggung jawab.

"Yuk, balik.." ajakku pada Jose dan yang lain.

"Siala.... Hah??"

Sebelum protes harusnya kau perhatikan dulu, batinku.

•••​

"Kalian duluan aja deh.." ucapku pada Jose dan yang lainnya ketika kami sudah tinggal sedikit lagi sampai ke kantin. "Gue mau ke toilet dulu. Cuci tangan" tambahku yang langsung berganti arah menuju ke toilet.

Mereka berempat tidak menanggapi apapun. Tidak menjawab, ataupun bertanya.
Sejak tadi mereka berempat memang tidak berkata apa-apa lagi. Mungkin mereka juga menyadarinya, sadar kalau sedang diawasi, atau lebih tepatnya diikuti.

"Lo mau sampe kapan ngikutin gue, woi!!" tanyaku kepada seseorang yang sepertinya menungguku di depan toilet ketika aku sedang mencuci tangan di wastafel.

"M-M-Ma-Ma-Makasih.., bahu gue..." ucapannya menggantung. Dan terdengar terpaksa.

Seharusnya dia tidak perlu berterimakasih, itu memang tanggung jawabku. Lagipula terasa aneh mendengar ucapan terimakasih keluar dari bibirnya.
Sebenarnya apa tujuannya? Kenapa tidak langsung ke intinya saja?

"Bokap lo.." dan kenapa tiba-tiba ayahku dibawa-bawa? "Emang bener, bokap lo itu--"

"Ga usah bawa-bawa orang lain. Kalo lo ada masalahnya sama gue, ya selesaiin antara kira berdua aja. Jangan bawa-bawa orang lain" ucapku ketika melangkah keluar dari toilet. "Mendingan lo ke UKS dulu deh.."

Tunggu sebentar..,
UKS itu kan singkatan dari Unit Kesehatan Sekolah. Tapi ini kan di kampus bukan di sekolah, lalu namanya apa dong?
UKK? Unit Kesehatan Kampus?
Eh?!! 'Sekolah' atau 'Siswa' ya?
Karena kalau ternyata UKS adalah Unit Kesehatan Siswa, berarti disini..., UKM? Unit Kesehatan Mahasiswa?

Sialan..
Bedebah satu ini masih saja mengikutiku.
Dia tidak sadar apa kalau tindakannya sekarang ini membuat kami berdua menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak, mungkin hampir seluruh kampus tahu kalau Danial tidak suka padaku, tapi saat ini dirinya justru mengikutiku dengan wajahnya yang masih babak belur.

Aku tidak punya pilihan lain, akan kubiarkan saja dia mengikutiku untuk semenatar waktu hingga....,

"Udah nih, udah nyampe masuk lo!!" perintahku ketika kami berdua berada di depan UKS? UKK? UKM? TERSERAHLAH!!

"Lo siapa nyuruh-nyuruh gue?" dasar keras kepala. Padahal aku sudah repot-repot menggiringnya ke tempat ini.

Tanpa memperdulikan ucapannya lagi, aku langsung saja membuka pintu ruang unit kesehatan ini dan masuk ke dalam.

"Permisi.." kalau kemana-mana harus permisi-permisi dulu kan.

Tidak terlihat adanya orang dan ada jawaban juga. Tapi sedetik kemudian terlihat tirai bilik ranjang bergeser dan kini terlihatlah sesosok gadis cantik, tercantik di kampus ini menurutku.. Bisa dibilang dia adalah 'Shani'nya kampus ini.

Tapi jangan pernah menanyakan lebih cantik siapa, dia atau Shani. Jangan!!!

"Ai??" sapaku yang lalu berjalan mendekatinya.

"Adrian~~" dia berbalik menyapa dengan sebuah senyuman manis menghiasi wajahnya.

Dia adalah Aisyah, tapi aku lebih suka memanggilnya Ai. Tidak apa-apa, tidak ada alasan khusus, dan Aisyah sendiri juga tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut.
Aisyah, nama yang cukup indah sebenarnya, tapi menjadi sedikit 'turun kasta' setelah munculnya aplikasi joget-joget itu. Kalian pasti paham apa maksudku. Jadi kuharap, suatu saat nanti akan ada sebuah lagu yang 'mengembalikan' keindahan dari nama itu..

"Kemana aja lama ga keliatan?" tanyaku kemudian yang kini sudah berada di dekatnya.

"Ga kemana-mana kok.. Cuma aku ambil cuti aja" jawabnya. "Ada urusan"

"Oh..."

"BTW kamu sama Dill-- Eh??!! Ini kenapa?!!" Aisyah nampak terkejut. "Ujung bibir kamu kok...," ternyata memang berbekas.

"Oh, ini.. Ini cuma...., habis jatoh aja" jawabku sekenanya.

"Kok bisa? Kamu ga ati-ati ya.."

"Ya..., gimana ya.. Namanya juga musibah, jatoh dari tangga" tambahku agar semakin meyakinkan. "Jatoh dari lantai 2 ke lantai 3"

"Hah?" sepertinya aku salah bicara.

"Eh, gini.. Aku kan lagi di lantai 2, mau ke lantai 3" saatnya menggunakan kemampuan mengarang bebas. "Pas mau naik tangga--"

"Woi!! Jangan abaiin gue!!" ternyata sampah masyarakat satu ini masih ada disini.

"Oh.. Oke, sekarang aku ngerti. Dasar cowok" ucap Aisyah begitu selesai menengok ke arah Danial. "Diem disitu!! Duduk!" perintahnya kemudian padaku yang langsung kuturuti.

Lalu Aisyah berdiri dan mengambil kotak obat sebelum akhirnya kembali duduk di dekatku.

"Mungkin bakal agak perih--"

"Woi!! Kalo mau ngobatin, harusnya gue dulu dong" potong Danial dengan protesnya. Bukankah tadi dia berlagak tidak mau dirawat..

"Diem!! Duduk aja dulu, gantian!" Aisyah tidak kalah galak.

"Tapi kan gue yang lebih--"

"Kalo ujian, yang dikerjain soal yang gampang dulu kan.. Jadi diem, ga usah banyak protes!!"

Memangnya begitu ya?
Kalau aku sih, mengerjakan soal ujian sesuai urutan nomor saja.
Tunggu, bukan itu fokusnya kan.

"Atatatatatata..." teriakku reflek karena tidak siap dengan rasa perih yang tiba-tiba muncul akibat kapas berbalur obat merah yang ditekankan oleh Aisyah pada lukaku. "Sakiiitt..."

"Jangan manja.."

"Atatatatatata..." aku kembali berteriak karena Aisyah kali ini menekan lebih keras. Sepertinya dia sengaja melakukannya.

"Kalian bisa berenti berantem ngga sih.." ucap Aisyah tiba-tiba. "Kami capek kalo harus ngurus ini itu cuma bertujuh doang.. Apalagi yang terakhir itu, ngurusin ospek"

Tunggu sebentar, sepertinya ada yang aneh..

"Bertujuh?" tanyaku.

"Ya kan yang selalu engga ikut itu, kamuuu.." Aisyah kembali menekan dengan keras.

"Atataw....,"

"Orang itu" Aisyah sambil melirik ke arah Danial. Tetap menekan dengan keras.

"Ataw...,"

"Sama Kevin"

"Aw..," yang terakhir aku mungkin sudah mulai terbiasa.

Ternyata Kevin juga tidak ikut.
Lagipula ini kampus aneh.. Tidak ada BEM, tapi kalau ada kegiatan semacam ospek dan sebagainya dilimpahkannya pada 10 orang yang memiliki nilai tertinggi saat ujian masuk, TOP TEN.
Aku sudah pernah menceritakannya kan.. Soal TOP TEN, kalau mungkin kalian lupa, baca ulang saja. Tapi aku tidak memaksa.

"Ehmm.., Ai.. Apa luka aku separah itu, sampe harus selama ini kamu ngerawatnya?" tanyaku yang baru menyadari kalau durasi waktu Aisyah untuk merawat lukaku sepertinya sudah terlalu lama. Dan tidak hanya itu, barusan juga wajahnya juga sudah semakin dekat.

"Eh?!!" dia terkaget. "Iya, iya.. Maaf"

"Kalian kalo diperhatiin, agak mirip" ucap Danial tiba-tiba. Untuk apa juga coba dia memperhatikan segala. "Mendingan lo sama dia aja daripada ngejar-ngejar Manda gue.." yang mengejar-ngejar Manda juga siapa?

"Bisa diem ga?" balas Aisyah.

"Bisa cepet ga?" kali ini Danial yang tak mau kalah. "Giliran gue kapan?"

"Udah, kamu rawat dulu aja" ucapku pada Aisyah. Meskipun kurasa itu akan sulit baginya karena Aisyah bukanlah seorang dokter hewan.

Setelah aku mengucapkan hal tersebut, lalu Aisyah dengan malas dan ogah-ogahan berjalan ke arah Danial.

"Ngomong-ngomong kenapa kamu bisa ada disini, Ai?" tanyaku guna mengisi kekosongan. "Ngerjain tugas?" tebakku kemudian setelah melihat layar laptop Aisyah. "Tapi kok disini?"

"Kan enak.. Kalo capek, bisa tiduran dulu" jawaban Aisyah cukup masuk akal. "Lagian kan aku mahasiswi kedokteran"

Benar juga yang diucapkannya. Tapi memangnya hal yang umum ya bagi seorang mahasiswi kedokteran untuk mengerjakan tugas di ruangan unit kesehatan?

"Kak Aisyah~~" tiba-tiba terdengar sebuah suara dari arah pintu yang membuatku menoleh.

Itu adalah Aldilla, atau yang biasa dipanggil Dilla. Dia adalah sepupu dari Aisyah. Dan kalau Aisyah adalah Shani-nya kampus ini, bisa dibilang kalau Dilla adalah Gracia-nya kampus ini.

Oh iya, saat aku bilang kalau Aisyah adalah Shani-nya kampus ini dan Dilla adalah Gracia-nya kampus ini. Maksudku bukanlah mereka memiliki kemiripan secara fisik, tapi aura dan pesona mereka lah yang hampir mirip. Aisyah dengan keanggunannya yang membuat siapapun bisa jatuh hati padanya, meskipun kadang ada juga yang iri, tapi dia bisa menanggapinya dengan bijak. Lalu Dilla yang dapat memberikan keceriaan dimanapun dia berada, tapi dia juga bisa sangat diandalkan di saat yang tepat.

"Aa...dri..an..." sapa Dilla dengan canggungnya.

"Hai, La.." balasku yang berusaha untuk sesantai mungkin, meskipun sebenarnya diri ini juga jadi ikut canggung.

Kenapa aku canggung?
Ayolah, tidak semua hal harus di ungkapkan bukan.
Yang terpenting, persoalanku sekarang adalah mencari cara untuk keluar dari suasana canggung ini.

"Nah, kan.. Bener disini" dan terdengar lagi sebuah suara dari arah pintu yang membuatku reflek menoleh kembali ke arah sana.

"Kenapa?" tanyaku pada Jose dan yang lain. Mereka kembali mengikutiku, kali ini ke UK-- terserahlah.

"Hape lo daritadi bunyi, takutnya penting.." jawab Rafli sembari menyerahkan handphone dan barang-barangku yang lainnya.

"Kalo gitu, gue pergi dulu ya.." pamitku kepada yang lainnya. Akhirnya aku berhasil kabur juga.

Saat ku melihat notifikasi di handphone-ku, aku pun cukup terkejut dengan banyaknya misscall dan chat yang masuk. Tapi bukan itu yang buatku benar-benar terkejut, melainkan adalah nama yang tertera disitu. Tertulis..., 'BangKe'.

•••​

"Ngapain kesini?" baru beberapa langkah, aku langsung disambut oleh si tukang marah-marah. Siapa lagi kalau bulan Shania. "Sekarang jadwalnya team J, bukan K3!!"

Ya, aku juga sudah tahu akan hal itu. Lagipula aku kesini juga bukan karena keinginanku sendiri kan.
Aku kesini karena diminta oleh bang Kenzo, aku membaca salah satu chat dari dia yang memintaku untuk datang 'kesini'. Karena aku rasa theater terlalu mencolok, lalu kantor JOT juga aku tidak tahu tepatnya ada dimana, jadi aku pun menyimpulkan kalau 'kesini' yang dimaksud adalah ke rumah latihan. Dimana sekarang terlihat ada team J sedang berlatih.

Tunggu sebentar.., team J?!!
Aku pun segera mempercepat langkahku karena firasatku mengatakan kalau aku harus menghindari--

"Mau kemana?" terlambat. Dia sudah lebih cepat menahan tanganku tepat sebelum aku mulai menaiki tangga.

"Atas.." jawabku singkat. Berharap tidak ketahuan.

Sambil mengerutkan dahinya gadis yang menahanku itu langsung menolehkan wajahku agar menghadap ke arahnya.

"Itu bibir kenapa?" sekali lagi dia bertanya.

"Gapapa" jawabanku masih singkat.

"Kenapa?" dia bertanya sekali lagi. Kurasa orang-orang terlalu berlebihan, esok hari ketika aku bangun pagi, luka ini mungkin juga sudah tidak akan meninggalkan bekas sedikitpun. Aku hanya perlu sedikit tidur..

"Jatuh dari tangga" sekarang aku tidak memberi tambahan tentang 'lantai' agar terdengar meyakinkan.

"Jawab yang jujur!!" ternyata masih keliatan bohongnya. "Jawab yang jujur atau aku aduin ke ci Shani ya.." dia kemudian mengancam.

"Jangan!!" reflek aku berusaha mencegahnya. Aku hanya tidak ingin Shani khawatir..

"Kalo ga mau diaduin, ada syaratnya.." dia tersenyum, tapi firasatku tidak enak. "Gampang kok, cukup panggil aku 'kakak' aja"

"Apa'an sih, Stef.." ya, 'adikku' ini memang sedikit merepotkan. Apalagi semenjak mengetahui 'hubungan' diantara kami, dia jadi lebih cerewet dari biasanya. Terutama perihal status kakak dan adik.

Ya, daritadi itu memang Stefi. Memang siapa lagi di team J yang bisa langsung menyadari kalau ada yang 'aneh' pada diriku jika bukan adikku sendiri?
Mungkin dia juga memiliki semacam firasat atau apapun dia mau menyebutnya.

"Udah ya, 'KAKAK' mau ke atas dulu.." ejekku yang kemudian melanjutkan menaiki tangga, meninggalkan Stefi yang sedang cemberut saat ini.

Terserah dia mau mengadukannya pada Shani atau tidak. Aku tidak peduli.
Lagipula jika aku memang benar-benar diadukan pada Shani, kemungkinan besar akibatnya.., memang aku akan kena omel, tapi kemudian aku pasti akan dimanja olehnya karena seperti yang kusebutkan tadi, dia pasti khawatir jika mengetahui keadaanku.

"Eh?! Ada lo, bang.." aku langsung mendapati bang Andre begitu masuk ke studio. "Sendirian aja? Bang Fey mana?" tanyaku kemudian sambil dudum di salah satu kursi.

"Kayaknya hari ini ga dateng" balasnya. "Eh, lo mau dengerin lagunya acoustic versi fix?" tawarnya kemudian.

"Boleh.." jawabku singkat. Aku juga sedikit penasaran.

Begitu mendengar jawabanku, bang Andre dengan segera langsung memainkan satu lagu yang tentunya adalah lagu original pertama dari JKT Acoustic.


"Ho Woah... Ho Woah... Ho Woah... Oh.. Oh..

Hey, yeah, yeah, yeah..~

Ho Woah... Ho Woah... Ho Woah..."



"Wah..." celetukku ketika mendengar ada 'sesuatu' di bagian intronya.

"Kenapa?"

"Gapapa, keren aja.. Mereka udah bisa 'mengisi kekosongan' di intro sama improvisasi" balasku. "Belajar dari siapa?" tanyaku kemudian.

"Pake nanya lagi!!!" tapi tiba-tiba diri ini dibentak.

Lalu tanpa mengatakan apa-apa lagi, bang Andre terlihat membuka-buka folder di komputer seperti mencari sesuatu. Dan setelah ketemu, dia langsung membukanya, atau lebih tepatnya memainkannya.


"Ooohhh... Yeah.. Yee..
Nanana Nanana Aa.. Aaaa... Ah... Yeah


"Yeah.. Yee... Yeah.. Yee... Ah.. Ah..~
Ye.. Yeah.. Yee.. Yeah.. Yee... Yeah.. Ye.. Ah.. Ah..~"



"Gimana?" tanya bang Andre. "Masih mau sok polos lagi?"

"Harusnya lo cukup mainin demo-2 aja" ungkapku.

"Oh iya, '1,2' ada semacem gitunya juga kan di bagian intro" komentar bang Andre. "Tapi untung mereka belom pernah dengerin fairytale ya.."

Jangan!!
Jangan sampai ada orang lain lagi yang mendengarkannya. Atau nanti malah makin banyak tekanan terhadapku supaya memperdengarkan versi full-nya.
Memperdengarkan sedikit demo Good Night tempo hari saja sudah sesuatu yang salah sepertinya. Jangan lagi..

"Tapi gue bingung deh, tadi itu kan demo-2, sama demo-1" ucap bang Andre. "Tapi kenapa demo-1 yang udah jelas-jelas namanya '1' tapi lagunya kayak belom selesai sendiri. Ga ada verse-2, okelah gapapa. Tapi ga ada bridge sama coda itu agak aneh untuk sebuah lagu. Kenapa?"

"Yahhh..., emang belom selesai aja" balasku sambil menyenderkan punggungku ke sandaran kursi.

Sebenarnya memang ada beberapa faktor yang membuatku pada saat itu tidak bisa, atau lebih tepatnya tidak sanggup untuk menyelesaikannya. Tapi seperti kataku.., 'pada saat itu'.
Mungkin memang sudah waktunya aku menyelesaikannya.

"Ngomong-ngomong lo ngapain kesini?" bang Andre tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang harusnya dia tanyakan sedari tadi.

"Disuruh BangKe. Gue juga ga tau, ada apa sebenernya.." jawabku seadanya. "Lo tau ga dia dimana?"

Bang Andre hanya mengelengkan kepalanya sebagai jawaban.

"Hei, aku menunggumu daritadi.. Kenapa kau malah berada disini?" wah, panjang umur.

"Hoi, BangKe.. Ada apa lo nyuruh gue kesini?" tanyaku langsung tanpa basa-basi.

"Aku hanya-- Bibirmu kenapa?" tanyanya tiba-tiba begitu melihat ujung bibirku.

"Emang masih ada bekasnya ya?" tanyaku balik. Sepertinya aku harus segera tidur.

"Lah, iya bibir lo kenapa?" bang Andre yang baru sadar pun akhirnya ikut bertanya. Dasar tidak peka.

"Gapapa,.." jawabku singkat.

"Kita harus berbicara berdua"

Belum sempat aku membalas, bang Kenzo sudah berbalik badan dan berjalan menjauh. Mau tidak mau aku pun mengikutinya.
Dan begitu kami sudah berada benar-benar hanya berdua, dia pun segera bertanya..,

"Dengan siapa kau berkelahi?"

"Emangnya lo orangtua gue?" dia tidak harus tau kan..

"Jawab saja!!" tunggu, kenapa suasana jadi serius begini?

"Ada, teman satu kampus" meskipun tidak bisa dibilang 'teman' juga sih.

"Benar hanya teman kampusmu? Tidak perlu kau tutupi.."

"Lo nanya, gue jawab. Lo masih nanya. Kalo lo ga percaya, ga usah nanya"

"Jika mrmang benar yang kau katakan itu, syukurlah.." ucapnya kemudian.

"Kenapa sih emang?" aku merasa kalau bang Kenzo sedang mengkhawatirkan sesuatu.

"Oh iya, bisakah kau lebih sering berada di tempat ini saja?" permintaan yang cukup aneh

"Pertanyaan gue tadi belum lo jawab" balasku. "Lagian apa alasannya gue harus 'sering' ada disini?"

Bang Kenzo tak langsung menjawab pertanyaanku, dia terlihat berfikir sejenak sebelum akhirnya menoleh ke arahku. Dan dari sorot matanya itu, aku bisa melihat kalau dia memang sedang mengkhawatirkan sesuatu.

"Kudengar...," akhirnya dia kembali bersuara. "Orang itu telah kembali"

Tunggu sebentar..,
Orang itu? Jangan bilang yang dia maksud adalah...,
nah ini yg gw tunggu, sisi lain dari kehidupan si kampret, bukan idup isinya cuma eue doang wkwkwk

thx updatenya huuu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd